• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. menuju ke arah masyarakat yang berstruktur global. Sebagai akibat dari perkembangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. menuju ke arah masyarakat yang berstruktur global. Sebagai akibat dari perkembangan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemajuan teknologi telah merubah struktur masyarakat dari yang bersifat lokal menuju ke arah masyarakat yang berstruktur global. Sebagai akibat dari perkembangan teknologi yang sangat pesat itu, lambat laun teknologi informasi dengan sendirinya juga telah mengubah perilaku masyarkat dan peradaban manusia secara global.. Selain itu, perkembangan teknologi informasi telah meynebabkan perubahan sosial secara signifikan berlangsung demikian cepat. Hal ini ditandai dengan munculnya bebrapa bentuk inovasi teknologi yang salah satunya adalah internet atau interconnected network. dan telah menciptakan dunia baru atau biasa diseut cyberspace.

Pada intinya internet adalah jaringan komputer yang terhubung satu sama lain melalui media komnuikasi, seperti. serat kabel telepon, serat optik, satelit maupun gelombang frekuensi.1 Jaringan komputer ini mampu berukuran kecil seperti Local Area Network (LAN) yang biasa dipakai secara intern di kantor-kantor atau bisa disebut dengan intranet, dapat juga berukuran super besar seperti internet.. Internet (Inter- Network) adalah sebutan untuk sekumpulan jaringan komputer yang menghubungkan situs akademik, pemerintahan, komersial, organisasi, maupun perorangan. Cyberspace

1 Maskum dan Wiwik Meilarati, 2017, Aspek Hukum Penipuan Berbasis Internet, CV Keni Media, Bandung, hal. 13

(2)

2 adalah sebuah dunia komunikasi berbasis komputer (computer mediated communication) ini menawarkan realitas yang baru, yaitu realitas virtual (virtual reality). Dengan terciptanya realitas virtual dari penggunaan internet itu, pengguna diberikan kesempatan untuk berkelana menelusuri dunia cyberspace dengan menembus batas kedaulatan suatu negara, batas budaya, batas agama, batas geografis, politik, ras, hirarki, birokrasi, dan sebagainya.2. Internet menyediakan akses untuk layanan telekomunikasi dan sumber daya informasi untuk jutaan pemakainya yang tersebar di seluruh dunia. Hadirnya internet ini dimanfaatkan oleh masyarakat dunia dari berbagai kalangan untuk berbagai kegiatan, seperti mencari informasi, mengirim informasi dan melakukan kegiatan bisnis atau non bisnis.3 Kegiatan ini disebut sebagai kegiatan telematika (cyber activities). Di dalam cyber activities peran teknologi sangat besar, karena semakin tingginya teknologi yang dimiliki maka semakin besar juga peluang masyarakat untuk menggunakan internet dalam kehidupan sehari-hari..

Sebagaimana lazimnya pembaharuan teknologi, internet selain memberi manfaat juga menimbulkan efek buruk dengan terbukanya peluang penyalahgunaan teknologi tersebut.. Salah satu masalah yang muncul akibat perkembangan teknologi informasi adalah lahirnya kejahatan-kejahatan yang sifatnya baru, khususnya yang menggunakan

2 Agus Raharjo, 2002, Cyber Crime: Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 1.

3 Choirul Ihwan, 2006, Carding Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam (online), http://aristhu03.files.wordpress.com/2006/10/carding-perspektif-hukum-positif-dan-hukum- islam.pdf, .(9 Mei 2019).

(3)

3 internet sebagai alat bantunya, yang lebih dikenal cybercrimes (kejahatan dunia maya)..

Dalam arti yang lebih sempit cybercrime adalah computer crime yang ditujukan terhadap sistem atau jaringan komputer, sedangkan dalam arti luas, cybercrime mencakup semua bentuk baru kejahatan yang ditujukan kepada komputer, jaringan komputer dan penggunanya serta bentuk-bentuk kejahatan tradisional yang sekarang dilakukan dengan menggunakan atau dengan bantuan alat-alat komputer (computer related crime).4.

Kejahatan carding merupakan salah satu bagian dari kejahatan cyber atau cyber crime yaitu kejahatan yang memanfaatkan teknologi canggih sebagai alat untuk mencapai tujuan untuk melakukan kejahatan. Carding adalah cyber crime dengan cara mencuri data kartu kredit dari nasabah suatu bank, sehingga si pelaku carding (carder) dapat menggunakan data tersebut untuk keuntungan pribadi. Tujuan utamanya adalah untuk membelanjakan secara tidak sah kartu kredit yang telah didapatkan ataupun untuk memperoleh dana milik pengguna sah kartu kredit tersebut. Akibat dari kejahatan dunia maya dapat lebih luas daripada tindak pidana konvensional, karena para pelaku tidak dibatasi oleh waktu dan georgafis, oleh karena itu wilayah terjadinya tidak hanya secara lokal atau nasional tetapi juga transnasional dan internasional..

Perkembangan kasus carding di Indonesia bergerak sangat cepat. Menurut hasil riset terkini yang dilakukan perusahaan sekuriti Clearcommecre

4 Dua dokumken konferensi PBB mengenai The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders di Havana, Cuba pada tahun 1990, dan di Wina, Austria pada tahun 2000

(4)

4 (www.clearcommerce.com) yang berbasis di Texas, menyatakan bahwa Indonesia berada di urutan pertama negara asal pelaku Cyber fraud.5

Fenomena tindak pidana pembajakan kartu kredit atau biasa disebut carding telah meresahkan banyak negara tidak terkecuali Amerika. Berdasarkan data telemitri yang dirilis oleh geminiadvisory.io menyatakan bahwa Amerika menjadi peringkat pertama negara dengan rata-rata korban pembajakan kartu kredit (carding) terbanyak yaitu sejumlah 41,6 juta dolar Amerika. Pelacakan oleh Pusat Sumber Daya Pencurian Identitas (ITRC) dan CyberScout menunjukkan bahwa terdapat 791 pelanggaran data kartu kredit yang dilaporkan terjadi di Amerika Serikat pada akhir Juni 20176. Angka ini meningkat 29 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2016, dan jumlah tertinggi yang tercatat untuk setiap periode setengah tahun.7 Database keluhan konsumen konsulat Federal Trade Commission Amerika telah mengumpulkan 13 juta keluhan dari tahun 2012 sampai 2016, dengan 3 juta di tahun 2016 saja. Dari jumlah tersebut, 42 persen terkait kecurangan pembajakan kartu kredit, dan 13 persen adalah keluhan pencurian identitas kartu kredit. Hampir 1,3 juta pengaduan terkait dengan penipuan. Konsumen melaporkan membayar lebih dari $ 744 juta dalam keluhan penipuan tersebut, jumlah median yang dibayarkan adalah $ 450. Lima puluh satu

5 Endah Lestari, Tinjauan Yuridis Kejahatan Penggunaan Kartu Kredit di Indonesia, Jurnal Hukum Vol. XVIII No.18, April 2010 1-16, hal.2

6 Creditcards.com/credit-card-news/credit-card-security-id-theft-fraud-statistics-1276.php, diakses pada 09 mei 2019

7 Identity Theft Resource Center, “At Mid-Year, U.S. Data Breaches Increase at Record Pace”, July 2017

(5)

5 persen konsumen yang melaporkan keluhan terkait kecurangan juga melaporkan jumlah yang dibayarkan.8

Tingginya kasus tindak pidana carding yang terjadi di Indonesia dan Amerika memberikan gambaran bahwa memang harus ada penegakan hukum yang baik agar kejahatan tersebut dapat ditekan dan dicegah. Penegakan hukum yang dimaksud akan terwujud apabila ada regulasi dan Undang-Undang yang mengatur secara jelas dan pasti dari masing-masing negara tersebut. Bahwa di Indonesia sendiri, sebelum lahirnya UU No.11 tahun 2008 tentang Infomrasi dan Transaksi Elektronik, Badan Pembinaan Hukum Nasional mencoba mempelajari bentuk-bentuk kejahatan yang berkaitan dengan aktivitas di cyberspace termasuk di dalamnya kejahatan kartu kredit dengan perundang-undangan pidana yang ada..

Hasil identifikasi itu berupa pengkatgeorian perbuatan kejahatan cyber ke dalam delik- delik KUHP yaitu mengkategorikan beberapa kegiatan dunia maya diantaranya: Joy Computing (Pasal 362 KUHP), Hacking (Pasal 167 dan Pasal 551 KUHP), The Trojna Horse (Pasal 372 dan Pasal 374 KUHP), Data Leakage (Pasal 322 dan Pasal 323 KUHP), Data Diddling (Pasal 263 KUHP), Penyia-nyiaan data komputer (Pasal 406 KUHP), dan Carding (Pasal 378 dan Pasal 379a KUHP). Maka mau tidak mau Polri harus menggunakan pasal-pasal di dalam KUHP seperti pasal pencurian, pemalsuan dan penggelapan untuk menjerat para carder, dan ini jelas memunculkanberbagai

8 Federal Trade Commission, “Consumer Sentinel Network Data Book January-December 2016”, March 2017

(6)

6 masalah dalam pembuktiannya karena mengingat karakteristik dari cyber crime sebagaimana telah disebutkan di atas yang terjadi secara nonfisik dan lintas negara..

Setelah munculnya UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elekrtonik, menurut beberapa sumber kejahatan carding dijerat dengan Pasal 363 ayat (1) ke -4 jo. Pasal 56 KUHP atau Pasal 30 Jo Pasal 46 UU No. 11 Tahun 2008. Pada putusan Nomor 1193/Pid/B/2013PN.Jkt.Sel. tersangka dari tindak pidana yang sudah dilakukan tersebut dijerat dengan Pasal 363 ayat (1) ke -4 jo. Pasal 56 KUHP. Namun beberapa ahli hukum melalui jurnal, dan website hukum yang telah diterbitkan berpendapat bahwa kejahatan carding dapat dijerat dengan Pasal 263 ayat (2) KUHP, atau dengan pasal 30 Jo Pasal 46 UU No. 11 Tahun 2008. Hal ini membuktikan bahwa sesungguhnya kejahatan carding belum memiliki regulasi yang tepat dan pasti karena masih menimbulkan perbedaan penilaian dasar hukum untuk menjerat kejahatan tersebut.

Untuk itu penulis tertarik melakukan penelitian dan perbandingan hukum tentang regulasi kejahatan penipuan/pembajakan kartu kredit (carding) negara Indonesia dengan Amerika. Mengingat beberapa negara maju seperti Amerika sudah memilki regulasi yang jelas mengenai kejahatan carding itu sendiri. Diharapkan melalui perbandingan hukum tersebut, terwujudnya suatu harmonisasi hukum agar regulasi kejahatan carding di Indonesia jelas adanya dan terciptanya kepastian, keadilan, serta kemanfaatan hukum sebagai tujuan besar hukum Indonesia.

(7)

7 B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaturan tentang tindak pidana pembajakan kartu kredit (carding) di negara Indonesia dengan Amerika?

2. Bagaimana bentuk pertanggung jawaban pidana, perbuatan pidana, dan ancaman sanksi dari pengaturan tindak pidana pembajakan kartu kredit (carding) di negara Indonesia dengan Amerika?

C. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan mengkaji pengaturan tentang tindak pidana pembajakan kartu kredit (carding) di negara Indonesia. dengan Amerika

2. Untuk mengeathui dan mengkaji bentuk pertanggung jawaban pidana, perbuatan pidana, dan ancaman sanksi dari pengaturan tindak pidana pembajakan kartu kredit (carding) di negara Indonesia dengan Amerika

D. Manfaat Penelitian

1) Memberikan sumbnagan berupa ilmu pengetahuan atau gagasan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya..

2) Untuk menambah ilmu pengetahuan atau gagasan tentang hal–hal yang berkaitan dengan kejahatan kartu kredit yang terjadi di Indonesia, terutama dalam hal modus-modus operandi kejahatan carding itu dilakukan oleh para carder di Indonesia..

(8)

8 3) Untuk menambah referensi dan bahan masukan untuk penelitian hukum

selanjutnya..

E. Kegunaan Penelitian

a. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai modus operandi kejahatan carding yang dilakukan oleh para carder atau pelaku kejahatan carding di Indonesia..

b. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai penerapan pemberian sanksi pidana pada tindak pidana carding..

F. Rujukan/ Kerangka Teori

1. Tindak Kejahatan

Menurut pandangan hukum, yang dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan manusia yang melanggar atau bertentangan dengan apa yang telah ditentukan dalam kaidah hukum, atau lebih tegasnya bahwa perbuatan yang dilanggar larangan yang diterapkan dalam kaidah hukum, dan tidak memenuhi dan atau melawan perintah-perintah yang telah ditetapkan dalam kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat dimana yang bersangkutan hidup dalam suatu kelompok masyarakat..

Secara yuridis formal, kejaahtan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoral), merugikan masyarakat, sifatnya asosial

(9)

9 dan melanggar hukum serta Undang-undang pidana.9 Terkait dengan persoalan ini Sudarto juga menyatakan10, bahwa dua hal yang sangat penting dalam hukum pidana adalah syarat-syarat untuk memungkinkan penjatuhan pidana dan pidana. Apabila hal yang pertama dijelaskan lebih lanjut, maka dapat disimpulkan, bahwa dalam hukum pidana ada tiga pokok persoalan: pertama, tentang perbuatan yang dilaragn (tindak pidana), kedua tetnang orang yang melanggar larangan itu (kesalahan), dan ketiga tentang pidana yang diancamkan kepada si pelakui itu (pidana).

2. Carding

Terdapat beberapa pengertian credit card fraud dari beberapa ahli dan organisasi terkait. National White Collar Crime Center didalam sebuah artikel yang berjudul Credit Card Fruad memberikan pengertian, bahwa: “Credit card fraud is the unauthorized use of a credit card with the purpose of obtaining anything of value with the intent to defraud.”11 Definisi tersebut dapat diterjemahkan bahwa Credit card fraud adalah penggunaan tidak sah sebuah kartu kredit dengan tujuan memperoleh sesuatu yang berharga dengan maksud untuk menipu. Lebih lengkap, Tej Paul Bahtla mendefinisikan12 bahwa terjadinya credit card fraud dalam hal ketika seseorang menggunakan kartu

9 www.kamushukum.com, Definisi Kamus Hukum Online

10 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1982, hal.150

11 Wall, April D. (ed), Credit Card Fraud, Fairmont, National White Collar Crime Center, 2008, hlm 1 diunduh dari <http://www.nw3c.org/ docs/whitepapers/credit_card_fradu_[01/03/2019]

12 Bhatla, Tej Paul (eds), “Understanding Credit Card Frauds”, Cards Business Review#2003–01, 2003, hlm. 1 diunduh dari <http://www.pop center.org/problems/credit_card_fraud/PDFs/ Bhatla..pdf>

[01/03/2019]

(10)

10 kredit orang lain untuk alasan pribadi sedangkan pemilik kartu dan penerbit kartu tidak menyadari bahwa kartu miliknya sedang digunakan seacara tidak sah.. Selanjutnya, seseorang tersebut menggunakan kartu tanpa ada hubungannya dengan pemegang kartu atau penerbit, dan tidak mempunyai niat baik untuk menghubungi pemilik kartu atau membuat pembayaran atas pembelian yang dilakukannya.. Berdasarkan pada dua pengertian tersebut dapat penulis ambil pengertian bahwa credit card fraud adalah tindakan seseorang menggunakan kartu kredit milik orang lain secara melawan hak dengan tujuan untuk memperoleh sesuatu yang berharga baik untuk menguntungkan dirinya sendiri maupun orang lain dengan maksud untuk menipu..

3. Pelaku

Kegiatan siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata, meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian, subyek pelakunya harus digolongkan juga sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata..13 Pelaku dari tindak pidana carding adalah individu maupun suatu perkumpulan (grup) yang menggunakan kartu kredit secara tidak sah dengan tujuan mendapatkan sesuatu yang berharga dengan maksud untuk menipu..

Dengan kata lain, pelaku carding adalah orang maupun kumpulan orang (grup) yang melakukan kegiatan carding. Pelaku lazim disebut dengan carder karena modus ini bukan cara hacking (hacker sebutan pelakunya) yang sesungguhnya.

13 Purwadi, Kejahatan Mayantara cyber crime dalam http://advokatpurwadi.blogspot.co.id/2009/04/

kejahatan-mayantara-cyber-crime-di.html diaskes pada (01/03/2019).

(11)

11 G. Metode Penulisan

1. Jenis Penelitian Hukum

Dalam melakukan penelitian hukum ini, jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian hukum normatif yaitu suatu penelitian yang berfokus pada Undang- Undang Dasar 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, United States Constitutions (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Amerika), serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan penelitian ini memerlukan data sekunder (bahan hukum) sebagai data utama.

2. Jenis Metode Pendekatan

Perbandignan hukum sebagai metode, yaitu perbandingan hukum dianggap sebagai suatu cara untuk menelaah hukum secara kopmerehensif dengan mengkaji juga sistem, kaidah, dan sjearah hukum lebih dari satu negara atau lebih dari satu sistem hukum, meskipun sama-sama mashi berlaku dalam datu negara.

Pendekatan yang dipergunakan dalam melakukan perbandingan hukum bila dilihat dari objek studi perbandingan hukum ada 2 (dua) jenis yaitu perbandingan hukum substantif, dan perbandingan infrastruktur hukum.. Dalam penulisan hukum ini penulis menggunakan pendekatan perbandingan hukum substantif yaitu dengan membandingkan antara 2 (dua) atau lebih dari hukum substantif (misalnya,

(12)

12 perbandingan tentang hukum pidana, kontrak, hukum tata negara, dan sebagainya).

Perbandingan hukum substantif yang digunakan adalah dengan membnadingkan hukum pidana dari masing-masing negara objek penelitian yaitu Indonesia dengan Amerika.14

Perbandingan hukum ini menggunakan pendekatan fungsional. Metode fungsional berorientasi pada problema, dan memperhatikan hubungan antara suatu peraturan dan masyarakat tempat bekerjanya aturan itu. Mempertanyakan fungsi sesuatu norma, itu mengandung arti diikutinya pandangan bahwa hukum merupakan instrumen. Dalam hal ini hukum dipandang sebagai sarana untuk mengatur dan mengendalikan masyarakat, sebagai suatu gejala yang menimbulkan gejala lain di masyarakat.

3. Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Bahan hukum primer, meliputi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penulisan hukum ini yakni:

1) Undang-Undang Dasar 1945;

2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia;

3) United States Constitutions (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Amerika);

14 www.suduthukum.com/2016/11/pendekatan-dan-metode-perbandingan-hukum.html

(13)

13 4) Undang Undang nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik (ITE)

2. Bahan hukum sekunder, berupa pendapat hukum yang diperoleh melalui buku-buku, artikel, dan pendapat hukum dari narasumber yang berhubungan dengan peraturan pembajakan kartu kredit (carding) dalam tulisan ini.

3. Bahan hukum tersier yakni kamus bahasa Indonesia, kamus hukum, dan skripsi terkait dengan peraturan pembajakan kartu kredit (carding)

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik yang dipakai untuk menelusuri dan mengumpulkan bahan hukum yang diperlukan melalui lirbary research. Proses penelusuran dan pengmupulan bahan hukum tersebut dengan melakukan pencairan ke beberapa perpustakaan di perguruan tigngi antara lain di Universitas Muhammadiyah Malang dan Universitas lainya.

5. Analisa Bahan Hukum

Setelah seluruh bahan hukum telah tekrumpul selanjutnya penulis akan memulai analisis permasalahan hukum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan akan dikaji dan dainalisa dengan kaidah-kaidah dan teori hukum, agar mampu menjawab permasalahan dengan ilmiah, obyektif, komprehensif, dan dapat dipertanggungjawabkan. Untuk memfokuskan analisa tersebut, norma-norma dan teori-teori yang harus diutamakan ialah yang berhubungan langsung dengan tindak pidana pembajakan kartu kredit (carding).

(14)

14 H. Rencana Sistematika Penulisan

Penulisan hukum ini dibagi dalam empat bab. Adapun sistmeatika yang dimaksud yaitu:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan pendahuluan yang diawali dengan latar belakang, rumusan pemrasalahan yang diturunkan dari latar belakang masalah yang digunakan dalam penulisan ini, tujuan penelitian, manfaat peneltian, kegunaan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penelitian.. Sub bab metode penelitian diuraikan lebih lanjut mengenai metode pendkeatan, jenis bahan hukum, teknik pengumpulan bahan hukum dan analisa bahan hukum..

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tetang kajian-kajian teoritik yang berkaitan dengan permasalahan tindak pidana pembajakan kartu kredit (carding) antara lain: pengertian cybercrime, bentuk-bentuk cybercrime, delik cybercrime, dan penjelasan tindak pidana carding itu sendiri.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi mengenai uraian pembahasan yang diangkat oleh penulis dan kemudian dianalisa dan dikaji kesesuaian atau keselarasan berdasarkan

(15)

15 kenyataan yang ada didukung dengan teori-teori yang relevan dengan permasalahn dalam penulisan ini..

BAB IV : PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir dalam penelitian hukum ini dimana berisi kesimpulan dari pebmahasan bab sebelumnya serta berisikan saran penulisan dalam menanggapi permasalahan yang menjadi fokus kajian analisa..

Referensi

Dokumen terkait

Aplikasi yang dikembangkan dapat memberikan kemudahan bagi pelanggan untuk melakukan pemesanan layanan di salon kecantikan. Pemilik salon melakukan registrasi pada

Untuk menciptakan budaya bertanggung jawab terhadap pelaku usaha, Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur kewajiban pelaku usaha yang merupakan manifestasi dari

orientasikan pada upaya memahami detail-detail hukuman tersebut, maka pembahasan pun tidak disinggung secara rinci, kecuali pada beberapa bagian yang secara sengaja dibicarakan

1) Pratikan melakukan konsultasi dengan guru pembimbing mengenai teknik pengelolaan kelas yang sesuai untuk mata pelajaran yang akan diajarkannya. 2) Diciptakan suasana

engagement as a mediator between job resources and proactive behaviour”, International Journal of Human Resource Management, Vol.. Introduction to Management

M.Si., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan banyak membantu dan direpotkan disela-sela kesibukan beliau yang sangat padat dan masih dapat

Masyarakat Cianjur Selatan dengan wilayah administratif tepat berada di sepanjang pantai Kabupaten Cianjur adalah sebagaimana halnya masyarakat di sepanjang

Menurut Sawyer (2009:10) audit internal adalah sebuah penilaian yang sistematis dan objektif yang dilakukan auditor internal terhadap operasi dan kontrol yang