• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUDIDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BUDIDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI STRUKTUR DAN KOMPOSISI HUTAN TANAMAN MANGROVE HASIL RESTORASI 4

TAHUN DENGAN PENDEKATAN ASPEK HIDROLOGI DI KAWASAN HUTAN MANGROVE

LUBUK KERTANG

SKRIPSI

Musaddad Daulay 161201052 Budidaya Hutan

DEPARTEMEN BUDIDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2020

(2)

EVALUASI STRUKTUR DAN KOMPOSISI HUTAN TANAMAN MANGROVE HASIL RESTORASI 4 TAHUN DENGAN PENDEKATAN ASPEK HIDROLOGI DI KAWASAN

HUTAN MANGROVE LUBUK KERTANG

SKRIPSI

Oleh:

Musaddad Daulay 161201052 Budidaya Hutan

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Kehutanan

Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN BUDIDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2020

(3)
(4)

PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Musaddad Daulay

NIM : 161201052

Judul Skripsi : Evaluasi Struktur dan Komposisi Hutan Tanaman Mangrove Hasil Restorasi 4 Tahun dengan Pendekatan Aspek Hidrologi di Kawasan Hutan Mangrove Lubuk Kertang.

Menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan skripsi ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Medan, Oktober 2020

Musaddad Daulay NIM 161201052

(5)

ABSTRACT

MUSADDAD DAULAY: Structure and Composition Evaluation of Restoration Result of 4 Years Mangrove Forest with Hydrological Aspects Approached in Lubuk Kertang, Mangrove Forest. Supervised by MOHAMMAD BASYUNI.

The damage level of mangrove forest in Indonesia recently increased rapidly, so it is very important to optimally manage, utilize and preserve mangrove forest ecosystems that have been degrded. This study was aimed to determine the diversity of mangrove species, structure, and composition in mangrove forest restoration area and to unsderstand the hydrological aspects of the logger data system in the Lubuk Kertang Mangrove Forest Restoration area, Brandan Barat District, Langkat Regency. In this study, data was collected by using installation of a mini buoy logger, while the sampling and measurement of each location was carried out by using the census method. The result of this study showed that the dominant of the species are R. apiculata and S. alba at each growth level, while the lowest population was found in A. marina at seddling level, and E. agallocha at sapling level. In this study location 6 types of species were found in 3 families (Avicenniaceae, Rhizophoraceae, dan Sonneratiaceae) which were classified as true mangrove.

Keywords: Data Logger, Importance Value, Mangrove Forest, Vegetation Analysis.

(6)

ABSTRAK

MUSADDAD DAULAY: Evaluasi Struktur dan Komposisi Hutan Tanaman Mangrove Hasil Restorasi 4 Tahun dengan Pendekatan Aspek Hidrologi di Kawasan Hutan Mangrove Lubuk Kertang. Dibimbing oleh MOHAMMAD BASYUNI.

Tingkat kerusakan hutan mangrove di Indonesia saat ini telah mengalami peningkatan yang sangat cepat, sehingga sangat penting untuk mengolah, memanfaatkan dan melestarikan kembali ekosistem hutan mangrove yang telah rusak secara optimal, oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis mangrove, struktur dan komposisi di kawasan restorasi hutan mangrove dan mengetahui aspek hidrologi dari sistem data logger di kawasan restorasi hutan mangrove Lubuk Kertang, Kecamatan Brandan Barat, Kabupaten Langkat. Pengambilan data pada penelitian ini menggunakan pemasangan alat logger mini buoy, pada pengambilan sampel dan pengukuran di masing-masing lokasi dilakukan dengan menggunakan metode sensus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis yang mendominasi adalah R. apiculata dan S. alba pada setiap tingkat pertumbuhan, sedangkan terendah terdapat pada A.

marina tingkat semai dan E. agallocha pada tingkat pancang. Pada lokasi penelitian ini ditemukan sebanyak 6 jenis spesies yang termaksud dalam 3 famili (Avicenniaceae, Rhizophoraceae, dan Sonneratiaceae) yang termasuk dalam mangrove sejati.

Kata kunci: Analisis Vegetasi, Data Logger, Hutan Mangrove, Indek Nilai Penting.

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sei Buluh pada tanggal 17 September 1998. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara oleh pasangan Bapak Irhan Daulay dan Ibu Alm. Liswinarti. Penulis memulai pendidikan formal di MIS Madinatussalam Deli Serdang pada tahun 2004-2010, Sekolah Menengah Pertama di MTs Negeri 2 Medan pada tahun 2010-2013, Sekolah Menengah Atas di SMA An-Nizam Medan pada tahun 2013-2016, dan pada tahun 2016 penulis diterima di Fakultas Kehutanan USU melalui jalur SNMPTN dan memilih minat Departemen Budidaya Hutan.

Selain mengikuti perkuliahan, penulis merupakan ketua umum organisasi Rain Forest USU tahun 2018-2019, anggota HIMAS USU, dan pernah mengikuti Kemah Kerja Budaya (KKB) pada tahun 2018 di Takengon, Aceh Tengah.

Penulis telah mengikuti Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan di Kawasan Hutan Mangrove Lubuk Kertang pada tahun 2018. Pada tahun 2019 penulis juga telah menyelesaikan Praktik Kerja Lapang (PKL) di Perum Perhutani KPH Madiun, Jawa Timur. Pada awal tahun 2020 penulis melaksanakan penelitian dengan judul Evaluasi Struktur dan Komposisi Hutan Tanaman Mangrove Hasil Restorasi 4 Tahun dengan Pendekatan Aspek Hidrologi di Kawasan Hutan Mangrove Lubuk Kertang di bawah bimbingan Bapak Prof. Mohammad Basyuni, S.Hut., M.Si., Ph.D.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Evaluasi Struktur dan Komposisi Hutan Tanaman Mangrove Hasil Restorasi 4 Tahun dengan Pendekatan Aspek Hidrologi di Kawasan Hutan Mangrove Lubuk Kertang” ini disusun sebagai syarat untuk menyelesaikan tugas akhir di Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Mohammad Basyuni, S.Hut., M.Si., Ph.D sebagai Dosen Pembimbing yang telah membimbing, memberi masukan dan arahan kepada penulis dalam menulis dan menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dewan penguji sidang skripsi saya yakni Ibu Prof. Rahmawaty, S.Hut., M.Si., Ph.D, Bapak Arif Nuryawan, S.Hut, M.Si., Ph.D, dan Bapak Moehar Maraghiy Harahap, S.Hut., M.Sc.

Penulis juga mengucapkan Terimakasih kepada kedua orang tua yaitu bapak Irhan Daulay dan ibu Alm. Liswinarti serta Abang kandung saya Muhammad Ridho Daulay. Kemudian kepada Rizka Amelia S.Hut dan Yuntha Bimantara S.Hut. sebagai asisten dosen, teman-teman satu tim penelitian Elma Asvira Vardhani dan Ismaini Lestari, tim riset di lapangan yaitu Syarief Ginting, Fajar Ikhsan dan Donny Faldi yang memberi dukungan serta membantu dalam penelitian penulis. Dan juga penulis mengucapkan terimakasih kepada Fazilla Oktaviani S.Hut, Rangga Dwinata S.Hut, Riyan Hari Azhari, S.Hut yang turut membantu dan memberi saran kepada penulis dalam menulis skripsi ini. Serta penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman Hut B 2016 dan teman-teman Budidaya Hutan 2016 Selain itu, penulis juga berterima kasih kepada teman-teman saya yang tidak dapat dapat disebutkan namanya satu persatu.

(9)

Penulis berharap, semoga pihak yang telah memberikan semua bentuk bantuan mendapat balasan dari Allah SWT atas amal perbuatannya. Dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, Oktober 2020

Musaddad Daulay

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

PERNYATAAN ORIGINALITAS ... ii

ABSTRACT ... iii

ABSTRAK ... iv

RIWAYAT HIDUP ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR... xi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian... 2

Manfaat Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 3

Ekosistem Mangrove ... 4

Kondisi Hutan Mangrove di Indonesia ... 5

Fungsi dan Peranan Mangrove ... 5

Restorasi Hutan Mangrove... 8

Data Logger... 9

Operasi Data Logger... 10

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu... 11

Bahan dan Alat Penelitian... 11

Prosedur Penelitian ... 12

Penentuan Transek dan Plot Pengamatan... 12

Pemasangan Logger Mini Buoy ... 12

Pengumpulan data... 13

Analisis Data... 14

Analisis Vegetasi ... 14

Analisis Data Logger ... 16

Parameter Penelitian ... 16

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Vegetasi ... 17

Aspek Hidrologi dengan Data Logger Mini Buoy ... 23

(11)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 33 Saran ... 33 DAFTAR PUSTAKA ... 34

(12)

DAFTAR TABEL

No Teks Halaman

1. Hasil perhitungan jumlah individu, tinggi, dan diameter pada

tingkat semai, pancang... 17

2. Kerapatan relatif, frekuensi relatif, dan dominansi relatif pada tingkat semai, pancang... 18

3. Hasil perhitungan indeks nilai penting (INP) pada tingkat semai, pancang ... 19

4. Indeks keanekaragaman pada tingkat semai, pancang ... 21

5. Indeks keanekaragaman taksonomi pada tingkat semai, pancang ... 22

6. Pengukuran logger mini buoy pada spesies S. alba. ... 24

7. Pengukuran logger mini buoy pada spesies R. apiculata ... 26

8. Pengukuran logger mini buoy pada spesies R, mucronata ... 28

9. Pengukuran logger mini buoy pada spesies A. marina... 30

10. Pengukuran logger mini buoy pada spesies B. gymnorrhiza ... 32

(13)

DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman

1. Lokasi penelitian di kawasan restorasi Hutan Mangrove Lubuk

Kertang... 11

2. Tata letak transek dan plot pengamatan... 12

3. Posisi logger dalam tabung centrifudge ... 13

4. Logger yang telah terpasang di lapangan... 13

5. Pengukuran logger mini buoy pada spesies S. alba ... 23

6. Pengukuran logger mini buoy pada spesies R. apiculata ... 25

7. Pengukuran logger mini buoy pada spesies R. mucronata ... 27

8. Pengukuran logger mini buoy pada spesies A. marina... 20

9. Pengukuran logger mini buoy pada spesies B. Gymnorrhiza ... 31

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis. Dikatakan kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah yang mempunyai kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation yang tinggi (Julaikha dan Lita, 2017). Menurut Majid (2016) hutan mangrove terdapat di daerah pantai yang terus menerus terendam dalam air laut dan dipengaruhi pasang surut air laut, tanahnya terdiri atas lumpur dan pasir, secara harafiah, luasan hutan mangrove hanya sekitar 3% dari luas seluruh kawasan hutan dan 25% dari seluruh hutan mangrove di dunia.

Di Indonesia, hutan mangrove tumbuh dan tersebar di seluruh Nusantara, mulai dari Pulau Sumatera sampai dengan Pulau Irian. Luas hutan mangrove pada tahun 1993 diperkirakan sekitar 2,49 juta hektar. Dari seluruh hutan mangrove yang ada di Indonesia, ditemukan sekitar 202 jenis tumbuhan yang hidup pada hutan mangrove, dari sejumlah jenis tersebut, sebanyak 43 merupakan jenis tumbuhan mangrove sejati, sementara jenis lainnya merupakan jenis tumbuhan yang biasanya berasosiasi dengan hutan mangrove, dari 43 jenis mangrove tersebut, 33 jenis termasuk klasifikasi pohon dan sisanya adalah termasuk jenis perdu (Pramudji, 2001). Menurut Basyuni et al. (2019) hutan mangrove di Indonesia khususnya Sumatera Utara mengalami tekanan dengan cepat, lebih dari 1,1 juta hektar sejak 1980 hingga 2011, hutan mangrove di Indonesia telah berkurang. Konversi mangrove menjadi budidaya, semak belukar, lahan tandus, dan perkebunan kelapa sawit menjadi tanggung jawab utama degradasi mangrove di Sumatera Utara. Oleh karena itu, rehabilitasi mangrove diperlukan untuk melestarikan keberadaan hutan mangrove. Meskipun rehabilitasi mangrove telah dilakukan secara Internasional, akan tetapi tidak secara merata khususnya di Indonesia.

(15)

2

Fokus dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi struktur dan komposisi hutan tanaman mangrove hasil restorasi 4 tahun dengan pendekatan aspek hidrologi dimana untuk melihat aspek hidrologi tersebut menggunakan alat yaitu logger mini buoy. Kawasan penelitian ini pertama kali ditanam pada tahun 2016 dengan cara tanam seedling dimana spesies yang ditanam hanya satu jenis tanaman yakni R. apiculata. Gunawan et al. (2011) mendefinisikan struktur vegetasi sebagai hasil penataan ruang oleh komponen penyusun tegakan dan bentuk hidup, stratifikasi, dan penutupan vegetasi yang digambarkan melalui keadaan diameter, tinggi, penyebaran dalam ruang, keanekaragaman tajuk, serta kesinambungan jenis. Selanjutnya, Gunawan et al. (2011) mendefinisikan komposisi vegetasi sebagai daftar floristik dari jenis vegetasi yang ada dalam suatu komunitas.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengevaluasi informasi mengenai aspek hidrologi dari sistem data logger di kawasan Restorasi Hutan Mangrove Lubuk Kertang, Kecamatan Brandan Barat, Kabupaten Langkat.

2. Untuk mengevaluasi informasi keanekaragaman jenis mangrove, struktur dan komposisi dikawasan Restorasi Hutan mangrove Lubuk Kertang, Kecamatan Brandan Barat, Kabupaten Langkat.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan restorasi serta memberikan informasi mengenai aspek hidrologi dengan penggunaan alat sensor (mini buoy) dan kinerja dari sistem data logger.

(16)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di hutan mangrove Desa Lubuk Kertang Kecamatan Brandan Barat, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Desa Lubuk Kertang memiliki 5 dusun, yaitu Dusun Janggus (Dusun I), Dusun Paluh Tabuhan (Dusun II), Dusun Tepi Gandu (Dusun III), Dusun Alur Lebah (Dusun IV) dan Dusun Kelapa Enam (Dusun V). Batas-batas Administrasi Desa Lubuk Kertang adalah sebagai berikut :

a) Sebelah utara : Desa Pintu Air/Tanjung Pasir Kecamatan Pangkalan Susu b) Sebelah Timur : Desa Perlis Kecamatan Brandan Barat

c) Sebelah Selatan : Desa Pangkalan Batu Kecamatan Pangkalan Susu d) Sebelah Barat : Desa Paya Tampak Kecamatan Pangkalan Susu

Lokasi penelitan ini merupakan tempat program rehabilitasi mangrove dengan jenis R. apiculata. Program rehabilitasi dilaksanakan pada Desember 2015 dan bulan Mei 2016. Sebelah Utara lokasi penelitian ini berbatasan dengan silvofishery milik USU dan kelompok lestari mangrove, sebelah Timur berbatasan dengan perkebunan kelapa sawit milik warga, sebelah Selatan berbatasan dengan tambak milik warga, dan sebelah Barat berbatasan dengan hutan tanaman mangrove yang berusia lebih dari 7 tahun.

Hutan restorasi dalam peneltian ini berada di Desa Lubuk Kertang, Provinsi Sumatera Utara. Letak geografisnya 4˚03’30.18” LU dan 98˚16’00.19”

BT yang ditanam dalam dau tahap, yaitu pada tahun 2015 penanaman dengan menggunakan cara tanam propagul sedangkan pada tahun 2016 penanaman dilakukan dengan menggunakan cara tanam seedling. Seedling yang akan ditanam umurnya sama dengan umur penanaman menggunakan propagul karena seedling ini dibibitkan bersamaan dengan waktu penanaman menggunakan propagul yaitu tahun 2015.

Hutan mangrove merupakan sumber daya alam tropis yang mempunyai manfaat ganda, baik dari aspek sosial, ekonomi, maupun ekologi. Berbeda dengan

(17)

4

hutan daratan, hutan mangrove memiliki habitat yang lebih spesifik karena adanya interaksi antara komponen penyusun ekosistem yang kompleks dan rumit.

Komponen penyusun ekosistem tersebut saling berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang utuh dan tidak dapat berdiri sendiri. Hutan mangrove termasuk tipe ekosistem yang tidak terpengaruh oleh iklim, tetapi faktor edafis sangat dominan dalam pembentukan ekosistem ini (Poedjirahajoe et al. 2017).

Hutan mangrove lebih dikenal sebagai hutan bakau. Secara umum hutan mangrove didefinisikan sebagai tipe hutan yang tumbuh pada daerah pasang surut (terutama pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Hutan mangrove merupakan eksosistem utama pendukung kehidupan masyarakat pesisir. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia makanan bagi biota laut, penahan abrasi pantai, penahan gelombang pasang dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, hutan mangrove juga bisa berfungsi untuk menyediakan kebutuhan pangan penduduk di sekitarnya. Tumbuhan yang hidup di hutan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut.

Umumnya mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas (pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan anaerob. Mangrove tersebar di seluruh lautan tropik dan subtropik, tumbuh hanya pada pantai yang terlindung dari gerakan gelombang, bila keadaan pantai sebaliknya, benih tidak mampu tumbuh dengan sempurna dan menancapkan akarnya (Riwayati, 2014).

Ekosistem Mangrove

Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, dikatakan kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah yang berada di bawahnya termasuk tanah perkembangan muda (saline young soil) yang mempunyai kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation yang tinggi. Kandungan bahan organik, total nitrogen, dan

(18)

5

ammonium termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi pada bagian arah daratan. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.

Mangrove tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar, biasanya di sepanjang sisi pulau yang terlindung dari angin atau di belakang terumbu karang di lepas pantai yang terlindung (Julaikha dan Lita, 2017).

Menurut Haris (2014) dari segi fisik maka keberadaan hutan mangrove merupakan pelindung garis pantai dan pencegah abrasi. Pengambilan hasil hutan berupa kayu dan non kayu oleh masyarakat setempat haruslah tetap dapat mempertahankan keberadaan dan daya dukung hutan mangrove tersebut.

Kondisi Hutan Mangrove di Indonesia

Pada 15 - 20 tahun lalu, luas hutan mangrove di Indonesia memiliki sekitar 8 juta hektar, namun saat ini diperkirakan hanya sekitar 2,5 juta hektar. Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Keunikan yang dimiliki ekosistem mangrove di Indonesia adalah memiliki keanekaragaman jenis yang tertingi di dunia. Sebaran mangrove di Indonesia banyak terdapat di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas penyebaran mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun 1993.

Kondisi hutan mangrove di beberapa daerah saat ini cukup kritis, diantaranya terdapat di Kabupaten Deli Serdang dan Langkat, Sumatera Utara, terdapat kerusakan seluas 4.000 hektar di Kabupaten Deli Serdang dan 2.000 hektar di Kabupaten Langkat, hal ini menyatakan bahwa sekitar 6.000 hektar dari 15.765 hektar hutan mangrove di Sumatera Utara mengalami kerusakan (Riwayati, 2014).

Fungsi dan Peranan Mangrove

Hutan mangrove memiliki banyak fungsi, selain manfaat yang langsung secara nyata dirasakan oleh masyarakat dan bahkan menjadi sumber penghidupan ekonomi seperti kayu dan pohon, ikan, kepiting,dan lain sebagainya juga manfaat tidak langsung penahan abrasi dan tempat ikan bertelur dan memijah. Namun,

(19)

6

seiring dengan meningkatnya aktivitas masyarakat di wilayah pesisir dan kebutuhan yang yang tinggi menyebabkan hutan mangrove mengalami tekanan yang dapat mengancam keberadaan dan fungsinya. Kondisi tersebut pada

akhirnya dapat merugikan manusia dan alam karena terkait dengan berkurangnya fungsi-fungsi baik ekologis maupun ekonomi dan fungsi lainnya.

Kawasan hutan mangrove selain berfungsi secara fisik sebagai penahan abrasi pantai, sebagai fungsi biologinya mangrove menjadi penyedia bahan makanan bagi kehidupan manusia terutama ikan, udang, kerang dan kepiting, serta sumber energi bagi kehidupan di pantai seperti plankton, nekton dan algae, secara umum fungsi hutan mangrove secara fisik yaitu; menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai dari proses erosi atau abrasi, serta menahan atau menyerap tiupan angin kencang dan laut ke darat, menahan sedimen secara periodik sampai terbentuk lahan baru, sebagai kawasan penyangga proses intrusi atau rembesan air laut ke darat, atau sebagi filter air asin menjadi tawar. Adapun fungsi kimia ekosistem mangrove adalah sebagi tempat terjadinya proses daur ulang yang menghasilkan oksigen, sebagai penyerap karbondioksida, sebagai pengolah bahan-bahan limbah hasil pencemaran industri dan kapal-kapal di lautan.

Fungsi biologi hutan mangrove adalah sebagai penghasil bahan pelapukan yang merupakan sumber makanan penting bagi invertebrata kecil pemakan bahan pelapukan (detritus), yang kemudian berperan sebagai sumber makanan bagi hewan yang lebih besar, sebagai kawasan pemijah atau asuhan (nursery ground) bagi udang, ikan, kepiting, kerang, dan sebagainya, yang setelah dewasa akan kembali lepas ke pantai, sebagai kawasan untuk berlindung, bersarang, serta berkembang biak bagi burung dan satwa lain, sebagai sumber plasma nutfah dan genetika, sebagai habitat alami bagi berbagai jenis biota darat dan laut lainya.

Fungsi ekonomi hutan mangrove adalah penghasil kayu, misalnya kayu bakar, arang, serta kayu untuk bahan bangunan dan perabot rumah tangga, penghasil bahan baku industri, misalnya pulp, kertas, tekstil, makanan, obat-obatan, alkohol, penyamak kulit, kosmetik, dan zat pewarna, penghasil bibit ikan, udang, kerang, kepiting, telur burung madu. Fungsi lain (wanawisata) hutan mangrove adalah

(20)

7

sebagai kawasan wisata alami pantai dengan keindahan vegetasi satwa, serta berperahu di sekitar mangrove, sebagai tempat pendidikan, konservasi, dan penelitian. Ekosistem mangrove memiliki berbagai potensi manfaat baik langsung maupun tidak langsung. Hutan mangrove juga merupakan sumber bahan baku berbagai jenis industri dan habitat berbagai jenis fauna (Majid, 2016).

Mangrove juga memiliki fungsi ekologis sebagai habitat berbagai jenis satwa liar. Keanekaragaman fauna di hutan mangrove cukup tinggi, secara garis besar dapat dibagi dua kelompok, yaitu fauna akuatik seperti ikan, udang, kerang, dan lainnya serta kelompok terestrial seperti insekta, reptilia, amphibia, mamalia, dan burung (Julaikha dan Lita, 2017).

Ekosistem mangrove merupakan ekosistem peralihan antara darat dan laut yang dikenal memiliki peran dan fungsi sangat besar. Secara ekologis mangrove memiliki fungsi yang sangat penting dalam memainkan peranan sebagai mata rantai makanan di suatu perairan, yang dapat menumpang kehidupan berbagai jenis ikan, udang dan moluska. Perlu diketahui bahwa hutan mangrove tidak hanya melengkapi pangan bagi biota aquatik saja, akan tetapi juga dapat menciptakan suasana iklim yang kondusif bagi kehidupan biota aquatik, serta memiliki kontribusi terhadap keseimbangan siklus biologi di suatu perairan.

Kekhasan tipe perakaran beberapa jenis tumbuhan mangrove seperti Rhizophora sp., Avicennia sp. dan Sonneratia sp. dan kondisi lantai hutan, kubangan serta alur-alur yang saling berhubungan merupakan perlidungan bagi larva berbagai biota laut. Kondisi seperti ini juga sangat penting dalam menyediakan tempat untuk bertelur, pemijahan dan pembesarkan serta tempat mencari makan berbagai macam ikan dan udang kecil, karena suplai makanannya tersedia dan terlindung dari ikan pemangsa. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat bagi jenis- jenis ikan, kepiting dan kerang-kerangan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi (Pramudji, 2001).

(21)

8

Restorasi Hutan Mangrove

Restorasi hutan mangrove merupakan suatu upaya untuk memperbaiki fungsi ekologis hutan mangrove yang telah terdegradasi agar dapat kembali kekeadaan semula. Restorasi berkelanjutan dan pemeliharaan suksesi alami hutan mangrove bertujuan untuk mengembalikan kondisi vegetasi hutan menuju ke kondisi klimaks (hutan primer) melalui proses suksesi sebagai upaya dalam konservasi. Konservasi biodiversitas berkembang sebagai upaya guna menghadapi krisis keanekaragaman hayati termasuk keanekaragaman hayati yang ada di hutan mangrove. Salah satu tujuannya adalah mempelajari dampak dari kegiatan manusia terhadap spesies, komunitas dan ekosistem, serta mengupayakan pendekatan untuk menghindari kepunahan spesies dan mengembalikan spesies yang terancam ke ekosistem yang masih berfungsi. Restorasi hutan mangrove membutuhkan strategi yang tepat sesuai dengan karakteristik lingkungan yang ada di sekitar kawasan tersebut. Karakteristik lingkungan yang dimaksud meliputi karakteristik fisik, kimia dan biologi lingkungan; serta sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Di samping itu diperlukan juga kebijakan dari pemerintah yang mendukung tercapainya pembangunan kawasan pesisir secara berkelanjutan, serta peran lembaga swadaya masyarakat (Eddy et al. 2019).

Mangrove dapat tumbuh secara maksimal apabila terdapat sirkulasi air yang cukup, tumbuh sesuai substatnya, tidak ada predasi ataupun hama bagi vegetasi mangrove. tidak ada penebangan liar dan nutrisi substrat yang tercukupi.

Suksesi terjadi apabila suatu komunitas tumbuhan mengalami kerusakan akibat berbagai faktor, seperti api, banjir, edafis, dan biotis. Faktor edafis timbul karena pengaruh tanah seperti komposisi tanah, kelembaban tanah, suhu tanah dan keadaan air tanah. Sedangkan biotis adalah faktor yang disebabkan oleh manusia, misalnya penebangan/ pengambilan kayu. Terkait dengan faktor-faktor penyebab kerusakan ekosistem mangrove, ada tiga faktor utama penyebab kerusakan mangrove, yaitu (1) pencemaran, (2) konversi hutan mangrove yang kurang memperhatikan faktor lingkungan dan (3) penebangan yang berlebihan (Ario et al. 2015).

(22)

9

Data Logger

Data logger merupakan suatu instrumen elektronik yang memiliki kemampuan untuk membaca besaran pada alam (misal temperatur, kecepatan angin, kadar gas, arus dan tegangan listrik) yang dibaca oleh sensor elektronik maupun elektromekanik, kemudian menuliskan nilai besaran yang terbaca tersebut ke dalam memori. Perekaman dapat dilakukan dalam rentang waktu tertentu, baik harian, bulanan, bahkan tahunan dengan waktu sampling yang dapat diatur. Jumlah sensor yang digunakan akan bergantung terhadap kemampuan perangkat keras yang digunakan, jika data logger tersebut memiliki single-channel maka hanya dapat digunakan untuk satu jenis pengukuran, apabila multichannel maka dapat digunakan untuk membaca beberapa besaran secara bersamaan.

Dalam perkembangannya data logger terbagi menjadi dua jenis yaitu data logger konvensional dan data logger berbasis komputer (Ikhsan dan Yuwaldi, 2014).

Sistem data logger ini digunakan sebagai sensor pembacaan dan pengiriman data dari objek yang diukur serta dilengkapi dengan media penyimpanan sd card yang bertujuan untuk back up data apabila terjadi kerusakan pada komputer. Kemudian sub sistem software, dimana merupakan sebuah sistem untuk mengontrol, membaca, memproses, dan menyimpan data hasil pengukuran dari data logger dengan kecepatan pembacaan minimal 1 menit yang bertujuan untuk mengurangi terjadinya loss data ketika penyimpanaan data pada database.

Data hasil pembacaan tersebut kemudian divalidasikan dalam bentuk grafik pada sistem software untuk informasi tambahan mengenai kondisi tertentu. Data logger merupakan sebuah perangkat elektronik yang digunakan untuk mengumpulkan dan merekam data dari objek yang direkam baik secara terintegrasi dengan sensor eksternal maupun sensor internal seperti sensor arus dan sensor tegangan (Sanjaya et al. 2017).

Data logger adalah suatu alat elektronik yang berfungsi mencatat data dari waktu ke waktu secara continue. Data logger juga dapat didefinisikan sebagai alat untuk melakukan data logging yang biasanya ukuran fisiknya kecil, bertenaga baterai, portabel, dan dilengkapi dengan mikroprosesor, memori internal untuk menyimpan data dan sensor. Beberapa data logger diantarmukakan dengan

(23)

10

komputer dan menggunakan software untuk mengaktifkan data logger melihat dan menganalisis data yang terkumpul, sementara yang lain memiliki peralatan antarmuka sendiri (keypad dan LCD) dan dapat digunakan sebagai perangkat yang berdiri sendiri. Data logger berbasis PC (PC-based data logger) menggunakan komputer, biasanya PC, untuk mengumpulkan data melalui sensor dalam rangka menganalisis dan menampilkan hasilnya. Sistem data logger juga dapat menyediakan fitur tambahan seperti perhitungan waktu proses pemantauan alarm dan kontrol. SCADA (supervisory control and data acquisition) merupakan evolusi lebih lanjut dari sistem data logger berbasis komputer, dimana data disajikan dalam bentuk grafis sehingga operator dapat mengawasi percobaan atau proses (Marpaung dan Ervianto, 2012).

Operasi Data Logger

Karakteristik pencatat data adalah untuk mengambil pengukuran sensor dan menyimpan data untuk digunakan di masa mendatang. Namun, aplikasi pencatatan data jarang diperlukan hanya membutuhkan akuisisi dan penyimpan data. Diperlukan kemampuan untuk menganalisis dan menyajikan data untuk menentukan hasil dan membuat keputusan berdasarkan data logger. Adapun aplikasi pencatatan data yang lengkap umumnya membutuhkan sebagian besar elemen/komponen yang diilustrasikan di bawah ini (Badhiye et al. 2011).

1. Eksperimen: Berbagai parameter yang nilainya direkam dari lingkungan atau objek tertentu diberikan sebagai input ke sensor di bagian eksperimen.

2. Sensor: Input dari berbagai sumber diberikan ke data logger melalui berbagai sensor untuk mengukur berbagai parameter seperti suhu, kelembaban di mana sinyal listrik dikonversi ke suhu dan nilai kelembaban.

3. Antarmuka Pengguna: Antarmuka untuk interaksi dengan perangkat lunak dan sensor disediakan dan menggunakan analisis algoritma yang diimplementasikan untuk penyimpanan data.

4. Perangkat Lunak: menampilkan informasi yang disimpan dari sensor untuk dan juga memelihara data untuk penyimpanan lama.

(24)

11

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2020 sampai dengan Agustus 2020 di Hutan Kawasan Restorasi Hutan Mangrove Lubuk Kertang, Kecamatan Brandan Barat, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara.

Gambar 1. Lokasi penelitian di kawasan restorasi Hutan Mangrove Lubuk Kertang

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah vegetasi kawasan restorasi hutan mangrove, tali rafia, tally sheet.

Alat yang digunakan adalah GPS (Global Positioning System), logger mini buoy, kamera, bungkus gger, tabung, plastik, software MSR 6.02.06 dan R studio, alat tulis, haga meter, Phi band, Pita ukur, parang, dan buku panduan pengenalan ekosistem hutan mangrove, kabel T, busa pengganjal, pengait, para film, besi pemberat

(25)

12

Prosedur Penelitian

1. Penentuan Transek dan Plot Pengamatan

Pengambilan sampel dan pengukuran di masing- masing lokasi dilakukan analisis vegetasi pada areal penelitian seluas 1,6 hektar dengan menggunakan metode sensus, dimana data yang dikumpulkan adalah data primer yang diperoleh langsung dari lapangan dan kemudian dilakukan analisis data. Metode ini dapat digunakan untuk menganalisis vegetasi suatu wilayah yang luas dan keadaan komunitasnya belum diketahui keberadaannya, serta pada lokasi penelitian yang bervariasi ketinggian, keadaan tanah, dan topografi. Penentuan transek dan plot pengamatan yaitu untuk transek dibuat suatu jalur yang lebarnya 10 m2, dan untuk plot juga dibuat petak berukuran 10 m2 pada masing-masing plotnya. Untuk tata letak jalur atau transek dapat disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Tata letak transek dan plot pengamatan

2. Pemasangan Logger mini buoy

Dalam Penempatan Logger dilapangan konektor perlu diarahkan menuju tutup tabung centrifudge

60 m Ta

mb ak

(26)

13

Gambar 3. Posisi logger dalam tabung centrifudge

Bungkus logger dengan plastik untuk menghindari gerakan di dalam tabung dimana tutup tabung centrifuge dilapisi dengan plastik dari dalam untuk menghindari kebocoran dan pengait yang berada diujung tabung centrifudge dikaitkan dan kemudian diberi pemberat.

Gambar 4. Logger yang telah terpasang di lapangan

3. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data primer. Data primer adalah data yang diperoleh dari lapangan berupa data jenis vegetasi, diameter dan tinggi yang kemudian dilakukan analisis data dengan menggunakan metode sensus. Metode sensus adalah cara pengumpulan data dimana seluruh elemen populasi yang diselidiki. Metode sensus dilakukan terhadap semua jenis vegetasi untuk mengetahui jenis-jenis vegetasi yang terdapat di lokasi penelitian

(27)

14

dengan menggunakan parameter diameter dan tinggi. Selanjutnya dilakukan pengumpulan data hidrologi. Data pengukuran hidrologi diperoleh dengan pemasangan logger pada area restotasi lalu dilakukan analisis data dengan menggunakan software R Studio.

4. Analisis Data

4.1 Analisis Vegetasi

Analisis vegetasi merupakan cara untuk mengetahui kompsisi jenis, dan struktur vegetasi dalam suatu ekosistem, dimana data yang diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan dihitung untuk menentukan variabel sebagai berikut (Kusmana, 1997).

a. Komposisi

Komposisi merupakan persentase jumlah individu suatu jenis mengrove di semua lokasi pengamatan berdasarkan total seluruh individu. Komposisi tumbuhan dapat diartikan sebagai suatu variasi jenis flora yang menyusun suatu komunitas. Perhitungan nilai komposisi ini berdasarkan rumus:

Komposisi = x 100%

b. Frekuensi

Frekuensi jenis adalah suatu nilai yang menunjukkan penyebaran dari suatu jenis dalam plot. Nilai ini didapat dengan menghitung jumlah plot yang ditempati suatu jenis dibagi dengan jumlah semua plot yang ada.

Frekuensi (F) suatu jenis, dihitung dengan rumus : F =

Frekuensi Relatif (FR) suatu jenis, dihitung dengan rumus:

FR = x 100 %

c. Kerapatan

Kerapatan memberikan gambaran jumlah individu dalam plot. Nilai dari kerapatan tersebut dapat dihitung menggunakan rumus

K =

(28)

15

KR = d. Dominansi

Dominansi (Dominancy) memberikan gambaran tentang penguasaan jenis dalam plot. Nilai ini di dapat dengan menghitung luas bidang dasar suatu jenis dan kemudian dibagi dengan luas seluruh plot yang ada.

Dominansi (D) suatu jenis, dihitung dengan rumus:

D =

Dominansi Relatif (DR) suatu jenis, dihitung dengan rumus:

DR = x 100 %

e. Indeks Nilai Penting (INP)

Indeks Nilai penting (Importance value) merupakan nilai penguasaan masing-masing jenis vegetasi di suatu daerah. Nilai penting dihitung dengan rumus sebagai berikut:

INP = KR + FR +DR (Pohon)

INP = KR + FR (Semai dan pancang) f. Indeks Keanekaragaman

Keanekaragaman spesies (H’) merupakan parameter vegetasi yang sangat berguna untuk membandingkan berbagai komunitas tumbuhan, terutama untuk faktor-faktor lingkungan atau abiotik terhadap komunitas atau untuk mengetahui keadaan suksesi atau stabilitas komunitas. Karena dalam suatu komunitas pada umumnya terdapat berbagai jenis tumbuhan, maka semakin stabil keadaan komunitas, semakin tinggi keanekaragaman spesies tumbuhannya. Perhitungan keanekaragaman spesies diperoleh dari rumus Indeks Shannon (Indriyanto, 2008) sebagai berikut.

Hʼ=-∑{(ni/N) log (ni/N)}

Keterangan :

H’ = indeks keanekaragaman shannon Ni = nilai penting dari spesies ke-i N = jumlah seluruh spesies pohon.

(29)

16

Nilai H’ dikategorikan sebagai berikut (Odum,1993).

1. H’ < 2 : keanekaragaman rendah 2. H’ 2—3 : keanekaragaman sedang 3. H’ > 3 : keanekaragaman tinggi

Indeks Keanekaragaman juga dapat dihitung dengan menggunakan Indeks Taksonomi.

Δ+ = [∑∑ i<jωij] / [ S(s-1)/2]

Keterangan:

Δ+ = Indeks Taksonomi

S = Jumlah spesies yang ada dan untuk penjumlahan ganda i dan j = jangkauan keberadaan spesies

Indeks keanekaragaman taksonomi digunakan untuk melihat persamaan atau perbandingan dengan indek Shannon Wienner. Warwick dan Clarke (1995) mendefinisikan perbedaan ukuran yang memenuhi persyaratan menggabungkan kekayaan takson yang lebih tinggi dan konsep kemerataan.

4.2 Analisis Data Logger

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data primer.

Parameter hidrologi yang diukur dengan memasang alat water logger yang ditanam didalam kawasan restorasi selama 30 hari penuh.

5. Parameter Penelitian

Parameter yang diamati adalah genangan per pasang (inundation per tide) (min), kecepatan arus (current Velocity) (m/s), kecepatan gelombang (wave orbital velocity) (m/s), jendela kesempatan (windows of opportunity) (d)

(30)

17

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Vegetasi

Tabel 1. Hasil Perhitungan Jumlah Individu,Tinggi, dan Diameter pada tingkat semai, pancang

N o

Spesies Jumlah Individu Rata-Rata Tinggi

(cm)

Rata-Rata Diameter Semai Pancang Semai Pancang Pancang 1

.

Avicennia marina

11 20 42,81 2,92 2,8

2 .

Bruguiera gymnorrhiza

16 20 58,31 3,09 3,2

3 Excoecaria agallocha

- 13 - 2,10 1,26

4 Rhizophora apiculata

1035 4310 44,53 3,03 3,20

5 Rhizophora mucronata

14 23 32,21 3,34 3

6 Rhizophora stylosa 351 1438 46,24 3,69 2,95 7 Sonneratia alba 1344 1921 48,05 4,01 3,64 8 Sonneratia

caseolaris

- 2 - 2 1,3

Keterangan: (-) tidak ada

Pada Tabel 1 dapat diketahui bahwa jenis yang mendominasi terdapat pada R. apiculata dan S. alba pada setiap tingkat pertumbuhan, sedangkan terendah terdapat pada A. marina tingkat semai dan E. agallocha pada tingkat pancang.

Pada lokasi penelitian ini ditemukan sebanyak 6 jenis spesies yang termaksud dalam 3 famili (Avicenniaceae, Rhizophoraceae, dan Sonneratiaceae) yang termasuk dalam mangrove sejati. Banyaknya spesies R. apiculata yang ditemukan disebabkan oleh peluang ditemukannya spesies ini di titik lebih banyak, selain itu kondisi substrat yang dijumpai di lokasi penelitian mendukung pertumbuhan spesies ini.

Hidayat (2017) mengatakan bahwa indeks nilai penting spesies tumbuhan pada suatu komunitas merupakan salah satu parameter yang menunjukkan peranan spesies tumbuhan tersebut dalam komunitasnya tersebut. Kehadiran suatu spesies tumbuhan pada suatu daerah menunjukkan kemampuan adaptasi dengan habitat dan toleransi yang lebar terhadap kondisi lingkungan. Semakin besar nilai

(31)

18

INP suatu spesies semakin besar tingkat penguasaan terhadap komunitas dan sebaliknya. Penguasaan spesies tertentu dalam suatu komunitas apabila spesies yang bersangkutan berhasil menempatkan sebagian besar sumberdaya yang ada dibandingkan dengan spesies yang lainnya

Adapun data hasil perhitungan Kerapatan Relatif, Frekuensi Relatif, dan Dominansi Relatif pada tingkat semai,pancang dan pohon dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kerapatan Relatif, Frekuensi Relatif, dan Dominansi Relatif pada tingkat semai, pancang

No Spesies KR FR DR

Semai (%)

Pancang (%)

Semai (%)

Pancang (%)

Pancang (%) 1. Avicennia

marina

0,39 0,26 1,50 1,90 12,53

2. Bruguiera gymnorrhiza

0,57 0,26 2,64 2,22 16,37

3 Excoecaria agallocha

- 0,17 - 1,90 2,54

4 Rhizophora apiculata

37,35 55,63 36,22 30,38 16,37 5 Rhizophora

mucronata

0,50 0,30 2,64 2,53 14,39

6 Rhizophora stylosa

12,66 18,56 21,13 30,38 13,91 7 Sonneratia

alba

48,50 24,80 36,22 30,38 21,18 8 Sonneratia

caseolaris

- 0,03 - 0,32 2,70

Total 100 100 100 100 100

Keterangan: (-) tidak ada

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat pada kategori semai kerapatan relatif (KR) tertinggi terdapat pada spesies S. alba yaitu sebesar 48,50% dan terendah terdapat pada jenis A. marina sebesar 0.39%. Sedangkan pada kategori pancang kerapatan relatif (KR) tertinggi terdapat pada spesies R. apiculata sebesar 55,63%

dan terendah terdapat pada jenis E. agallocha sebesar 0.17%. Hal ini karena jumlah spesies yang ditemukan dikawasan penelitian adalah paling rendah, yaitu 13 individu diseluruh luas plot. kerapatan relatif (KR) keseluruhan tingkat baik dari semai maupun pancang yang tertinggi terdapat pada jenis R. apiculata sebesar 55,63%. Hal ini disebabkan karena banyaknya jumlah individu yang

(32)

19

ditemukan pada seluruh plot dikawasan penelitian. Menurut Sari et al. (2018) Kerapatan menunjukkan padatnya pertumbuhan tumbuhan disetiap plot pengamatan.

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat pada kategori semai frekuensi relatif (FR) tertinggi terdapat pada jenis R. apiculata dan S. alba yaitu sebesar 36.22%

dan terendah terdapat pada jenis A. marina sebesar 1,50%, sedangkan pada kategori pancang frekuensi relatif (FR) tertinggi terdapat pada jenis S. alba, R. apiculata dan R. stylosa sebesar 30,38% dan terendah terdapat pada jenis S. caseolaris yaitu sebesar 0,32%.

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat pada kategori pancang yaitu S. alba yang memiliki nilai dominansi relatif (DR) tertinggi yaitu sebesar 21,18%. Hal ini disebabkan jenis S. alba mampu berkompetisi dan memiliki daya adaptasi yang tinggi untuk memperoleh unsur hara yang lebih banyak daripada jenis lain sehingga volume batang cukup besar dan tajuk yang luas yang menyebabkan jenis S. alba tingkat penguasaan dari suatu jenis atau dominansinya lebih tinggi dari jenis lainnya bahkan lebih dominan daripada R. apiculata yang merupakan spesies yang ditanam awal pada areal penelitian ini. Sedangkan spesies E. agallocha memiliki nilai dominansi relatif (DR) terendah yaitu sebesar 2,54%.

Adapun data hasil perhitungan indeks nilai penting (INP) pada tingkat semai dan pancang dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil perhitungan indeks nilai penting (INP) pada tingkat semai, pancang

No Spesies Indeks Nilai Penting

Semai (%) Pancang (%)

1 Avicennia marina 1,90 14,69

2 Bruguiera gymnorrhiza 3,21 18,84

3 Excoecaria agallocha - 4,60

4 Rhizophora apiculata 73,57 102,39

5 Rhizophora mucronata 2,76 17,22

6 Rhizophora stylosa 33,79 62,85

7 Sonneratia alba 84,72 76,36

8 Sonneratia caseolaris - 3,04

Total 200 300

Keterangan: (-) tidak ada

(33)

20

Berdasarkan Tabel. 3 dapat dilihat bahwa pada kategori pancang diperoleh Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi terdapat pada jenis R. apiculata sebesar 102,39% dan terendah terdapat pada jenis E. agallocha sebesar 4,60%. Hal ini disebabkan jenis R. apiculata memiliki indeks nilai penting tertinggi karena kondisi substrat sangat cocok untuk pertumbuhannya, sehingga mangrove jenis ini menyebar merata pada setiap stasiun pengamatan, sedangkan pada kategori semai indeks nilai penting (INP) tertinggi terdapat pada jenis S. alba sebesar 84,72% dan terendah terdapat pada jenis A. marina sebesar 1.90%.

Indeks nilai penting merupakan salah satu indikasi yang berguna untuk melihat dominasi antar masing-masing spesies yang ada pada lokasi penelitian dan juga dapat menunjukkan spesies mana yang mendominasi pada lokasi tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hidayat (2017) yang menyatakan bahwa Indeks Nilai Penting ini menunjukkan spesies yang mendominasi di lokasi penelitian

Menurut Sari et al. (2018) indeks nilai penting (INP) adalah nilai yang menunjukkan peranan dari keberadaan suatu jenis tumbuhan dalam komunitas tumbuhan. Berdasarkan hal tersebut Indeks nilai penting yang tinggi akan sangat mempengaruhi suatu komunitas tumbuhan. INP dikategorikan sebagai berikut INP > 42,66 dikategorikan tinggi, INP 21,96 – 42,66 dikategorikan sedang, INP<

21,96 dikategorikan rendah.

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa pada tingkat pancang

R. apiculata yang memiliki Indeks Nilai Penting yang tertinggi , sedangkan pada tingkat semai adalah S. alba. Hasil analisis vegetasi tumbuhan tersebut menunjukkan peranan penting terhadap komunitas tumbuhan dikawasan restorasi hutan mangrove Lubuk Kertang. Dan juga besarnya nilai INP menunjukkan seberapa besar pengaruh tumbuhan tersebut bagi ekosistem.

Jenis yang memiliki INP paling besar maka jenis tersebut yang mempunyai daya adaptasi, daya kompetisi dan kemampuan reproduksi yang lebih baik dibandingkan dengan tumbuhan yang lain dalam satu lingkungan tertentu.

Dari jenis mangrove diatas, species R. apiculata dan S. alba yang memiliki nilai tertinggi ini mengindikasikan bahwa spesies ini dapat beregenerasi, berkompetisi

(34)

21

dan beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan mangrove seperti faktor salinitas, suhu dan lainnya.

Adapun data Hasil Perhitungan Indeks Keanekaragaman pada tingkat semai, pancang dan pohon dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener pada tingkat semai, pancang

No Spesies Indeks Keanekaragaman

Semai Pancang

1 Avicennia marina 0,02 0.01

2 Bruguiera gymnorrhiza 0,02 0,01

3 Excoecaria agallocha - 0,01

4 Rhizophora apiculata 0,36 0,32

5 Rhizophora mucronata 0,02 0,01

6 Rhizophora stylosa 0,26 0,31

7 Sonneratia alba 0,35 0,34

8 Sonneratia caseolaris - 0,00

Total 1,05 1,05

Keterangan: (-) tidak ada

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa nilai indeks keanekaragaman pada kategori semai dan pancang hanya berkisar antara 0,01–0,36. Dapat disimpulkan bahwasanya indeks keanekaragaman pada lokasi ini rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mernisa dan Wahyu (2017) yang menyatakan bahwa Kriteria nilai indeks keanekaragaman jenis menurut Shannon-Wiener adalah, H’ <

1 keanekaragaman rendah; H’ = 1 s/d 3 keanekaragaman sedang; H’ > 3 = keanekaragaman tinggi.

Menurut Kartika et al. (2018) nilai indeks keanekaragaman yang rendah menunjukkan rendahnya jenis mangrove yang mampu hidup di ekosistem mangrove dengan kondisi salinitas dan penggenangan. Pada tingkat semai, nilai indeks keanekaragaman yang tertinggi adalah R. apiculata dengan nilai 0,36, dan yang terendah terdapat pada A. marina, B. gymnorrhiza dan R. mucronata dengan nilai 0,02. Sedangkan pada tingkat pancang, nilai indeks keanekaragaman tertinggi adalah pada S. alba dengan nilai indeks 0,36, dan yang terendah adalah pada S. caseolaris dengan nilai indeks 0,00.

Pada hasil yang didapat pada Tabel 4 terlihat bahwa pengaruh yang tidak signifikan antara parameter lingkungan lokasi penelitian dengan keanekaragaman mangrove pada lokasi penelitian ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mernisa

(35)

22

dan Wahyu (2017) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang tidak signifikan antar parameter lingkungan dengan keanekaragaman mangrove.

Hubungan parameter lingkungan yaitu suhu air, suhu udara, kelembaban, salinitas, pH dan intensitas cahaya dengan keanekaragaman mangrove adalah rendah. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi abiotik yang terdapat pada area pengamatan memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap keanekaragaman mangrove.

Suhu merupakan faktor pembatas utama dalam ekosistem, bila suhu udara berubah dengan cepat maka tentu saja mempengaruhi perubahan suhu air. Suhu mempunyai pengaruh besar terhadap aktivitas organisme.

Kondisi lingkungan abiotik tidak berpengaruh secara signifikan terhadap keanekaragaman mangrove dimungkinkan karena faktor lain yaitu kemampuan mangrove untuk mentoleransi kondisi lingkungan abiotik yang ada di sekitarnya dengan cara merubah struktur morfologi maupun fisiologisnya untuk beradaptasi.

Keberhasilan hutan restorasi di Desa Lubuk Kertang ditandai dengan bertambahnya keanekaragaman jenis. Di kawasan restorasi ditemukan 9 jenis dalam 5 family mangrove sejati setelah 4 tahun dilakukan penanaman.

Pertumbuhan Hutan mangrove sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut, salinitas, kondisi subrat tempat tumbuh dan keterbukaan terhadap hempasan gelombang. Sonneratia dan Rhizophora spp. dapat tumbuh dengan baik di tepi daratan hutan mangrove yang airnya kurang asin, tanah berlumpur dan di sepanjang sungai kecil yang terkena pasang surut.

Tabel 5. Indeks Keanekaragaman Taksonomi pada tingkat semai, pancang

No Spesies Indeks Keanekaragaman

Semai Pancang

1 Avicennia marina 0,02 0

2 Bruguiera gymnorrhiza 0,02 0

3 Excoecaria agallocha - 0

4 Rhizophora apiculata 0,19 0,28

5 Rhizophora mucronata 0 0

6 Rhizophora stylosa 0,06 0,09

7 Sonneratia alba 0,24 0,12

8 Sonneratia caseolaris - 0

Total 0,5 0,5

Keterangan: (-) tidak ada

(36)

23

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa indeks keanekaragaman taksonomi pada lokasi penelitian ini sangat rendah dimana berkisar hanya 0-0,48. Indeks keanekaragaman taksonomi ini digunakan untuk melihat persamaan atau perbandingan dengan indeks keanekaragaman Shannon-Wienner. Warwick dan Clarke (1995) mendefinisikan keragaman/ perbedaan ukurann yang memenuhi hal diatas persaratan menggabungkan kekayaan takson yang lebih tinggi dan konsep kemerataan. Indeks keanekaragaman pada suatu komunitas sangat bergantung dengan jumlah individu serta jumlah spesies yang terdapat pada komunitas tersebut.

Data Logger mini bouy

Dari hasil pengukuran data logger mini buoy pada kawasan restorasi hutan mangrove Lubuk Kertang, Kecamatan Brandan Barat, Kabupaten Langkat terdapat lima spesies yang diukur yaitu S. alba dan R. apiculata pada bulan Januari-Februari, dan R. mucronata, A. marina dan B. gymnorrhiza pada bulan Februari–Maret.

Adapun pengukuran pada spesies S. alba dapat dilihat pada Gambar 5 dan Tabel 6.

Gambar 5. Pengukuran logger mini buoy pada spesies S. alba

Gambar

Gambar 1. Lokasi penelitian di kawasan restorasi Hutan Mangrove Lubuk Kertang
Gambar 2. Tata letak transek dan plot pengamatan
Gambar 4. Logger yang telah terpasang di lapangan
Gambar 5. Pengukuran logger mini buoy pada spesies S. alba
+5

Referensi

Dokumen terkait

KAPASITAS 0,3 KW/HARI SELAMA 1 JAM (Analisa Laju Konsumsi Biogas (m 3 /menit) sebagai Bahan Bakar Genset Terhadap Beban Listrik yang Digunakan) ” Laporan Tugas Akhir ini

Pendekatan inside-out pada dasarnya dilakukan untuk mengidentifikasikan kesempatan-kesempatan bisnis yang dimungkinkan oleh perkembangan teknologi informasi sehingga

Tidak ada irregular verb yang dimulai dengan “N.” O. offset offset

Terima kasih dan selamat tinggal, demikian judul berita utama tabloid News of the World , surat kabar terbesar dunia yang telah berusia 168 tahun dengan jumlah pembaca loyal

Dari hasil uji statistik dapat dilihat ada interaksi yang signifikan antara pembelajaran kimia berbasis problem solving menggunakan lab riil dan lab virtuil dengan kemampuan

Hasil analisis ini menunjukkan bahwa integrasi antara pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja sektor pertanian di Indonesia tidak terjadi secara sempurna Hasil ini sejalan

Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat meraih gelar Sarjana Administrasi Publik dan dengan penelitian ini, peneliti dapat menerapkan ilmu-ilmu yang sudah

- Aksi membangun traffic untuk mendapatkan kunjungan ke website, and portal yang mungkin akan digunakan dengan links atau barnners ke situs lain. - Aksi untuk