8 BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Kajian Pustaka 1. Kajian Komunikasi
a. Pengertian
Komunikasi menurut Asaari, Hanim, & Irawan (2016: 4) merupakan proses penyampaian ide, pesan, dan gagasan dari dua belah pihak yang berperan sebagai sumber (yang menyampaikan pesan) dan penerima pesan yang selanjutnya akan memberikan reaksi atas pesan yang disampaikan.
Sedangkan menurut Mansur (2016: 87) komunikasi merupakan suatu proses dinamis yang menggunakan bahasa sebagai alat utamanya dalam rangka individu melakukan hubungan sosial dengan individu lainnya dengan melibatkan ekspresi perasaan, penyampaian ide, keinginan, kebutuhan-kebutuhan, dan tujuan. Pengertian komunikasi juga dijelaskan oleh West & Turner (2017: 5) yang menyebutkan bahwa komunikasi merupakan suatu proses sosial dimana seorang individu menggunakan berbagai macam simbol untuk membangun dan menginterpretasikan makna dalam lingkungan mereka.
Simbol yang digunakan dalam komunikasi menurut Hanum (2017: 46) dapat berupa simbol konkret yang berkaitan dengan pengungkapan suatu objek dan simbol abstrak yang berkaitan dengan pengungkapan sebuah pikiran, ide, atau gagasan. Simbol komunikasi akan membantu komunikan untuk mengungkapkan maksud dan membantu pendengar untuk memahami maksud dari informasi yang disampaikan. Dari beberapa pendapat ahli diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa komunikasi merupakan suatu proses dinamis dengan menggunakan Bahasa dan simbol untuk mrnyampaikan ide atau gagasan, mengungkapkan maksud dan menginterpetasikan makna dalam lingkungan.
b. Prinsip Komunikasi
Prinsip komunikasi adalah penjabaran lebih jauh dan rinci dari definisi atau hakikat komunikasi (Mulyana, 2016: 91). Prinsip komunikasi merupakan pegangan dalam menjabarkan berbagai hal yang berkaitan dengan komunikasi. Mulyana (2016:92) menjabarkan prinsip komunikasi menjadi 12 poin, yaitu:
1) Komunikasi adalah suatu proses simbolik.
Dalam komunikasi digunakan beberapa simbol atau lambang untuk menunjukkan sesuatu lainnya, dan disepakati oleh sekelompok orang.
2) Setiap perilaku mempunyai potensi komunikasi.
Sikap yang ditunjukkan oleh seseorang dapat berpotensi sebagai komunikasi bahkan dengan sikap diam sekalipun.
3) Komunikasi memiliki dimensi isi dan dimensi hubungan.
Dimensi isi dalam komunikasi dapat disandi secara verbal sedangkan simensi hubungan dapat disandi secara non verbal 4) Komunikasi berlangsung dalam berbagai tingkat dan kesenjangan.
Komunikasi dapat terjai secara tidak sengaja dan dapat terjadi setelah direncanakan secara matang.
5) Komunikasi berangksung dalam konteks ruang dan waktu.
Komunikasi dapat terjadi dalam berbagai konteks fisik dan ruang (suasana, iklim, suhu dsb.), waktu, sosial, dan psikologis.
6) Komunikasi melibatkan prediksi peserta komunikasi.
Dalam proses komunikasi, setiap yang terlibat dapat meramalkan arah komunikasi dan efek perilaku komunikasi yang dilakukan.
7) Komunikasi bersifat sistemik
Komunikasi terikat pada sistem kehidupan manusia yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya.
8) Kemiripan latar belakang sosial-budaya menjadikan komunikasi semakin efektif.
Semakin besar kemiripan antar orang yang berkomunikasi maka semakin mudah tersampaikannya maksud dan tujuan komunikasi.
9) Komunikasi bersifat non sekuensial
10) Komunikasi bersifat prosesual, dinamis, dan transaksional 11) Komunikasi bersifat irreversibel
12) Komunikasi bukan panasea untuk menyelesaikan masalah
Selain Mulyana, Karyaningsih (2018:49) juga mengungkapkan bahwa prinsip komunikasi yang harus dipegang agar komunikasi menjadi efektif yaitu REACH atau respect, empathy, audible, clarity, dan humble.
1. Respect (respek) yang merupakan penghormatan atau perasaan positif dari dalam diri kepada lawan bicara
2. Empathy (empati) yang merupakan kemampuan untuk memposisikan diri pada situasi atau kondisi yang sedang dialami oleh lawan bicara
3. Audible (dapat didengar) yaitu pesan yang disampaikan harus dapat didengar dan dimengerti dengan baik oleh lawan bicara
4. Clarity (jelas) yaitu pesan yang disampaikan harus jelas agar dapat diterima dengan baik
5. Humble (rendah hati) yaitu kemampuan untuk mempersilakan orang lain berbicara terlebih dahulu dan menjadi pendengar yang baik
Berdasarkan pendapat ahli diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat beberapa prinsip komunikasi yang harus dipegang oleh pelaku komunikasi (komunikator dan komunikan) agar komunikasi dapat berjalan dengan baik dan efektif yaitu memahami hakikat komunikasi, melibatkan pelaku komunikasi secara menyeluruh, mengungkapkan dengan jelas, memberikan perhatian kepada lawan bicara dan dinamis.
c. Jenis Komunikasi
Komunikasi memiliki dua sifat umum yaitu langsung dan tidak langsung. Komunikasi langsung merupakan komunikasi yang dapat berupa proses tatap muka (face to face) antar individu, sedangkan komunikasi tidak langsung merupakan komunikasi dimana manusia akan membutuhkan perantara atau media untuk menghubungkan antara individu satu dan yang lainnya seperti TV, surat kabar, internet dll (Kurniati, 2016: 5).
Kemudian dari dua sifat diatas, komunikasi dibagi lagi menjadi dua jenis yaitu komunikasi verbal dan komunikasi non verbal. Mulyana (2016:
260) menjelaskan bahwa simbol atau pesan verbal merupakan semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Kemudian, suatu sistem atau kode verbal disebut bahasa. Sedangkan pesan non verbal menurut Mulyana (2016: 343) merupakan semua isyarat yang bukan kata-kata.
Sejalan dengan itu, Sejalan dengan pendapat diatas, Karyaningsih (2018:
24) menyebutkan bahwa komunikasi verbal yaitu komunikasi yang menggunakan bahasa lisan, sedangkan komunikasi non verbal merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan isyarat tubuh, gerak tubuh, atau tanda-tanda yang bukan secara lisan. Sehingga berdasarkan pendapat ahli diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa komunikasi verbal merupakan segala bentuk simbol yang menggunakan kata-kata dalam menyampaikanya, sedangkan komunikasi non verbal menggunakan segala cara kecuali kata-kata (isyarat, ekspresi wajah dan sebagainya) untuk menyampaikan suatu pesan tertentu.
d. Komunikasi Efektif
Komunikasi yang efektif menurut Hanum (2017:46) merupakan komunikasi yang mampu menghasilkan perubahan sikap (attitude change) pada orang lain selama proses komunikasi berlangsung. Komunikasi dapat dikatakan efektif apabila pesan yang ingin disampaikan dalam proses
komununikasi dapat tersampaikan dengan baik dan dipahami dengan seksama.
Komunikasi yang efektif dapat dibangun di semua lingkungan komunikasi, baik lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Di dalam keluarga, Ibu cenderung memiliki waktu yang lebih banyak daripada ayah oleh karenanya iklim komunikasi dan pola komunikasi yang baik akan lebih banyak ditanamkan oleh ibu. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Firdanianty (2016: 128) hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa ibu memiliki pola komunikasi remaja lebih tinggi dibandingkan dengan ayah secara signifikan. Sehingga dalam hal komunikasi di lingkungan keluarga, orang tua terutama ibu memiliki peran yang sangat besar dalam membangun dan membentuk pola komunikasi dengan anak mereka.
e. Cara Berkomunikasi dengan Anak
Tantangan setiap orangtua dalam membangun komunikasi dapat berbeda-beda beberapa hal seperti latar belakang pendidikan, kondisi lingkungan, kondisi anak, jenis kelamin, usia anak dan sebagainya.
Berbagai cara dilakukan termasuk membangun komunikasi yang baik antara orang tua dan anak agar tidak ada kecanggungan dalam berkomunikasi dan bertukar pikiran. Hanum (2017: 54) menggunakan bahasa yang baik, dwibahasa, atau bahasa yang lebih dapat mempengaruhi kemampuan bahasa dan bicaranya terutama pada anak anak yang memiliki kelainan atau anak berkebutuhan khusus. Dalam berkomunikasi dengan anak orangtua harus mempertimbangkan kemampuan bahasa dan komunikasi anak agar komunikasi bisa berjalan efektif. Hanum (2017: 54) menjelaskan beberapa hal yang harus diperhatikan orangtua dalam menjalin komunikasi dengan anak, diantaranya adalah:
1) Memilih waktu yang tepat untuk berkomunikasi dengan anak 2) Usahakan duduk berhadapan saat memulai komunikasi dengan
anak
3) Sampaikan tujuan komunikasi dengan jelas, benar, dan mudah dipahami anak
4) Ajak anak untuk dapat berbicara dua arah
5) Hindari sikap yang tidak mendukung terjalinnya komunikasi dengan bak seperti marah, berbicara dengan kata yang tidak dimengerti anak, berbicara terlalu cepat, berbicara sambil mengomel dan sebagainya
6) Berikan dukungan komunikasi verbal dan non verbal dengan anak 7) Arahkan anak untuk memahami bahwa komunikasi yang dilakukan
ini penting dan bermakna
8) Gunakan bahasa yang dimengerti dan mudah dipahami anak 9) Perhatikan suasana hati anak dengan baik.
Salah satu aspek yang harus diperhatikan oleh ibu dalam berkomunikasi dengan anak mereka adalah usia karena pada dasarnya, kemampuan komunikasi anak mengalami perkembangan yang selaras dengan usia. MacDonald, (2004:62) mengungkapkan bahwa terdapat lima tahap perkembangan yang dilalui oleh anak dalam menjalin hubungan sosial dan komunikasi seperti: interaksi, komunikasi non verbal, bahasa sosial, percakapan, dan komunikasi lingkungan/masyarakat. Sejalan dengan MacDonal, Sussman dalam Marhamah (2019: 9) juga mengungkapkan adanya 4 tahap perkembangan komunikasi anak autis, yaitu: 1) the own agenda stage, pada tahap ini anak tidak memberikan respon kepada ajakan komunikasi dari lingkungan sekitar, 2) the requester stage, tahap yang kedua anak mulai menunjukkan ketertarikan komunikasi dan menyadari pengaruh komunikasi yang ditunjukkan dengan Gerakan tertentu saat menginginkan sesuatu, 3) the erarly communication stage, pada tahap ini anak mulai menggunakan komunikasi non verbal seperti isyarat dalam komunikasi, dan 4) the partner stage, pada tahap ini kemampuan komunikasi semakin berkembang dan mampu melakukan
komunikasi sederhana yang bersifat mengulang atau sudah sering dilakukan. Adanya beberapa tahapan dalam perkembangan kemampuan komunikasi ini menunjukkan bahwa semakin anak memasuki usia dewasa maka semakin banyak pula tantangan yang dirasakan orang tua dibandingkan saat anak masih berada di rentang usia anak-anak. Sehingga pola komunikasi yang dibutuhkan oleh remajapun memiliki perbedaan.
Pola komunikasi yang dimaksukan adalah pola komunikasi yang nyaman, tidak ada pertengkaran yang berarti remaja menginginkan orang tua untuk berbicara secara lembut dan tidak membentak-bentak. Saat memasuki masa remaja, anak-anak akan cenderung berpikir lebih komplesk, sehingga orang tua harus pandai dalam membangun komunikasi dengan anak-anaknya.
Berbicara dengan remaja relatif berbeda dengan berbicara kepada anak-anak. Beberapa cara berkomunikasi dengan remaja menurut Sanjaya (2020) dalam artikel “Center for Marriage and Family” Universitas Ciputra diantaranya adalah:
1) Tidak menggurui, berbicara dalam kurun waktu yang lama, dan menyergap dengan beberapa bahasan tertentu
2) Menyimpan rahasia yang disampaikan anak rapat-rapat
3) Mendengarkan dengan cermat kegelisahan dan perasaan anak.
4) Menghargai pandangan anak tentang sesuatu hal 5) Memberikan pujian
6) Memberikan waktu untuk berbicara dengan anak dan menemukan sesuatu yang disukai anak
7) Tunjukkan kalau orang tua menyayangi anaknya dengan tulus Untuk anak yang memiliki keterbukaan dengan orang tuanya tentu akan mengurangi tantangan yang dihadapi oleh orang tua dalam membangun pola komunikasi yang baik dalam keluarga. Akan tetapi berbeda dengan orang tua anak berkebutuhan khusus autis. Bahkan
sebelum mengalami masa pubertas, anak-anak sudah menunjukkan kesulitan dalam mengkomunikasikan maksud dan perasaan yang dialaminya. Ditambah dengan adanya pubertas dimana anak akan cenderung berpikir lebih kompleks, mengalami beberapa perubahan baik secara fisik maupun emosinya. Rakhmatin & Amilia (2018: 160) menjelaskan bahwa komunikasi verbal dengan anak autis harus dilakukan secara langsung, tegas, singkat dan jelas supaya dapat diterima dan dipahami dengan mudah oleh anak autis. Rakhmatin & Amilia juga menjelaskan komunikasi dengan anak autis dilakukan secara langsung karena diperlukan pembiasaan kontak mata terlebih dahulu. Hal itu menjadikan tantangan bagi orang tua anak autis lebih besar dibandingkan dengan orang tua anak yang normal karena harus secara cermat memikirkan kalimat yang digunakan dan memastikan anak autis terlibat kontak mata. Dilihat dari segi emosional, anak pada umumnya cenderung dapat mengendalikan emosi yang dirasakannya, hal ini dikarenakan anak regular tidak memiliki masalah pada struktur otak yang mengendalikan emosi, sedangkan bagi anak autis lebih cenderung meledak-ledak dikarenakan masalah pada struktur orak (sistem limbik) yang mengatur emosi (Khoirunnisa & Nursalim, 2012: 108). Kondisi emosional anak autis yang sedari kecil relatif meledak-ledak atau mudah terpancing ditambah dengan pubertas yang dialami menjadikan orang tua harus menerapkan strategi yang berbeda dalam membangun komunikasi dengan anak-anak mereka supaya komunikasi terjalin dengan kondusif.
2. Kajian Autisme
a. Pengertian Anak Autis
Autis merupakan salah satu dari sekian banyak klasifikasi anak berkebutuhan khusus. Definisi Autis secara harfiah menurut Sutejo &
Wulandari (2013: 115) berasal dari bahasa Yunani “auto” yang berarti
sendiri, hal ini didasarkan pada kebiasaan anak autis yang suka menyendiri, dan seakan-akan hidup di dunianya sendiri. Dari segi neurologis, Dewi, Inayatillah, & Yullyana (2018: 290) mendefinisikan autis sebagai anak yang mengalami gangguan neurobiologis berat sehingga dapat mempengaruhi kemampuan anak dalam belajar, berkomunikasi, keberadaan anak dalam lingkungan, hubungan sosial dengan orang lain, dan kemampuan anak dalam mengurus diri.
Menurut Mansur (2016: 82) autisme merupakan suatu gangguan perkembangan yang sangat kompleks menyangkut beberapa aspek seperti komunikasi, interaksi sosial, gangguan sensoris, pola bermain, perilaku, emosi dan aktivitas imajinasi. Sejalan dengan itu, dalam American Psychiatric Association (2013: 58) juga disebutkan bahwa:
Autism spectrum disorder is frequently associated with intellectual impairment and structural language disorder (i.e., an inability to comprehend and construct sentences with proper grammar), which should be noted under the relevant specifiers when applicable.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa autisme merupakan gangguan perkembangan kompleks yang menyangkut beberapa aspek seperti bahasa, sosial dan kemampuan imajinasi sehingga berpengaruh pada kemampuan anak berinteraksi dengan lingkungannya.
b. Waktu dan Sebab Terjadinya Autis
Sebelum dilakukannya penelitian oleh para ahli medis, autis sering dikaitkan dengan hal-hal mistis di luar nalar. Beberapa kalangan masyarakat mempercayai bahwasanya autis terjadi karena tipu daya setan melalui guna-guna atau santet. Akan tetapi semakin lama perkembangan ilmu pengetahuan telah menjawab bagaimana seorang anak dapat menjadi autis yang menggeser paradigma mistis terkait penyebab autis yang sebelumnya sudah berkembang di kalangan masyarakat.
National Institute of Neurological Disorders and Stroke (2020) menjelaskan bahwa terdapat dua kemungkinan factor penyebab terjadinya autism diantaranya adalah:
1) Genetik
Autisme Spectrum Diosorder dapat terjadi karena adanya gangguan perkembangan otak pada awal perkembangan yang kemungkinan disebabkan karena adanya kelainan genetik yang dimilikinya dan individu lain dalam keluarganya
2) Kelahiran Prematur
Kelahiran anak secara prematur dapat menyebabkan anak mengalami autis dikarenakan perkembangannya yang belum sempurna.
3) Lingkungan
Lingkungan memberikan peran terjadinya anak autis setelah dilahirkan (post natal).
Autis bukan penyakit yang dapat disembuhkan, namun dapat ditanggulanggi dengan terapi dengan terapis profesional untuk mengoptimalkan fungsi tubuh yang lainnya. Diagnosis autis dapat dilakukan cepat atau lambat tergantung pada beberapa hal seperti yang diungkapkan dalam American Psychiatric Association (2013: 55):
Autistm spectrum disorder is characterized by persistent deficit in social communication and social interactive across multiple contexts, including deficit in social reciprocity, nonverbal communicative behaviour used for social social interaction, and skills in developing, maintaining, and understanding relationship.
Sejalan dengan itu, dalam panduan yang diterbitkan oleh FK-KMK UGM (2019) dijelaskan bahwa anak autis sejatinya dapat didiagnosis sebelum usia 2 tahun, akan tetapi tidak sedikit pula anak autis yang baru terdeteksi saat usia 4 tahun. Autisme juga dapat terjadi sejak dalam kandungan, seperti yang dijelaskan oleh Patricia Rodier dalam Suteja &
Wulandari (2013: 117) bahwa gejala autisme dan cacat dari lahir
disebabkan karena adanya kerusakan pada jaringan otak yang terjadi sebelum 20 hari pada saat pembentukan janin. Selajalan dengan itu, Mansur (2016: 82) menjelaskan bahwa autis terjadi karena adanya kerusakan otak dan dapat terdeteksi sejak lahir atau pada masa balita (dibawah 3 tahun) yang menyebabkan anak susah membentuk hubungan sosial dan mengembangkan komunikasi secara normal.
Sehingga dari pendapat para ahli diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa autisme dapat terjadi karena sebab genetik, kelahiran prematur, dan juga faktor lingkungan dan dapat dideteksi umumnya sebelum mencapai usia 2 tahun.
c. Karakteristik dan Hambatan Anak Autis
Kondisi anak autis dapat dipengaruhi oleh beberapa hal dan dapat terlihat berbeda antara anak satu dengan yang lainnya. Menurut Dewi, dkk (2018: 290) karakteristik anak autis satu dengan yang lainnya dapat berbeda-beda, akan tetapi secara garis besar karakteristik anak autis dapat diihat dari 3 hal yaitu kemampuan komunikasi, gangguan perilaku, dan gangguan interaksi sosial, yang dijabarkan sebagai berikut :
1) Kemampuan Komunikasi
Anak autis mengalami beberapa ganguanneurologis salah satunya di bagian cerebellum yang berfungsi sebagai pengatur sensorik, mengingat, perhatian, dan kemampuan bahasanya. Secara umum, anak autis mengalami gangguan dalam kemampuan komunikasi verbal dan non verbal yang ditandai dengan beberapa gejala seperti:
perkembangan Bahasa lambat, suka meniru atau membeo, tampal seperti anak tuli (tidak merespon), sulit berbicara, terkadang kata yang digunakan tidak sesuai dengan artinya, mengoceh tanpa arti dan cenderung dilakukan secara berulang, dan bicara anak autis tidak dipakai sebagai komunikasi.
2) Gangguan perilaku
Anak autis mengalami gangguan neurologis pada bagian system limbik yang merupakan pusat emosi sehingga menyebabkannya sulit mengendalikan emosi, mudah marah, agresif, menangis tanpa sebab, dan takut pada hal-hal tertentu. Perilaku agresif pada anak autis juga dipengaruhi oleh kemampuan komunikasinya yang kurang baik sehingga menganggu kemampuan interaksi sosialnya.
3) Gangguan interaksi sosial
Gangguan interaksi sosial anak autis ditunjukkan dengan perilaku anak yang suka menghindar bahkan menolak kontak mata, tidak mau menoleh jika dipanggil, tidak berusaha untuk berinteraksi dengan orang lain, lebih suka bermain sendiri, tidak memiliki empati, seringkali menolak untuk dipeluk, menjauh jika didekati orang lain untuk diajak bermain.
Hambatan komunikasi anak autis juga dijelaskan oleh American Psychiatric Association (2013: 31):
Autistm spectrum disorder is characterized by persistent deficit in social communication and social interactive across multiple contexts, including deficit in social reciprocity, nonverbal communicative behaviour used for social social interaction, and skills in developing, maintaining, and understanding relationship.
Dari kutipan diatas, dapat dipahami bahwa Autisme dapat ditandai dengan adanya penurunan secara terus menerus terhadap kemampuan komunikasi sosial dan interaksi sosial pada beberapa konteks secara kompleks, yang dalam hal ini termasuk defisit dalam timbal balik sosial, perilaku komunikatif non verbal yang digunakan untuk berinteraksi sosial, dan juga kemampuan dalam mengembangkan, memelihara, dan memahami suatu hubungan.
Selanjutnya, American Psychiatric Association (2013: 50) juga menjelaskan beberapa hambatan yang dialami oleh anak autis dalam berbagai bidang sebagai berikut:
1) Defisit atau kekurangan dalam kemampuan timbal balik hubungan sosial dan emosional. Mulai dari kemampuan bersosial yang abnormal, seperti: kegagalan dalam komunikasi dua arah (bolak-balik atau saling sahut), kegagalan dalam pengungkapan minat, emosi, atau memberikan pengaruh. Kemudian kegagalan untuk memulai atau menanggapi interaksi sosial.
2) Memiliki kesulitan dalam menggunakan berbagai perilaku nonverbal seperti: kontak mata, ekspresi muka, sikap tubuh, dam bahasa tubuh lainnya yang mengatur interaksi sosial.
3) Kesulitan dalam membangun, mempertahankan, dan memahami suatu bubungan. Yang dapat dilihat dari kesulitan dalam menyesuaikan perilaku agar selaras dengan berbagai konteks sosial, kesulitan dalam melakukan permainan imajinatif atau dalam membangun prtemanan, hingga hilangnya minat untuk membangun hubungan pertemanan dengan teman sebayanya.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa secara umum anak autis memiliki permasalahan yang sangat kompleks terutama dalam kemampuan interaksi sosial. Anak autis memiliki kecenderungan sulit untuk memulai dan mempertahankan komunikasi dengan lingkungannya. Oleh karenanya anak autis akan lebih terlihat pendiam, dan memiliki minat yang rendah terhadap hubungan sosial dengan lingkungan di sekitarnya.
3. Pola Komunikasi Anak Autis
Umumnya anak-anak akan mulai mengoceh pada usia sekitar 6 bulan, mulai belajar membentuk kata pada usia sekitar satu tahun, dan belajar
merangkai kata sebelum 18 bulan, hal ini berbeda dengan anak autis, saat anak pada umumnya telah mengetahui nama, memahami konsep abstrak antara laki-laki dan perempuan, mampu merespon ya atau tidak, dan mengikuti beberapa perintah sederhana, anak autis mungkin hanya dapat echolalia (membeo) terhadap apa yang dikatakan atau tidak dapat bicara sama sekali (Mansur, 2016: 88). Selain itu kemampuan bahasa anak autis satu dengan yang lainnya dapat berbeda-beda.
Kidd (2011, 97) menjelaskan bahwa kemampuan komunikasi anak autis beragam, mulai yang tidak mau berkomunikasi dengan orang lain sama sekali, meniru pembicaraan orang lain, hingga berbicara tiada henti.
Berdasarkan beberapa kondisi kemampuan komunikasi anak autis yang diungkapkan oleh para ahli dapat ditarik kesimpulan bahwasanya kemampuan anak autis satu dengan yang lainnya mungkin saja berbeda, ada yang hanya dapat membeo, tidak memiliki kemampuan bahasa/komunikasi sama sekali, hingga yang berbicara tanpa henti tergantung pada seberapa besar gangguan neurologis pada ranah bahasa di otak yang dialami oleh anak autis.
4. Kajian Pubertas a. Pengertian Pubertas
Pubertas merupakan suatu tahapan dalam kehidupan remaja yang lebih dilandasi oleh pertumbuhan fisik, kemudian dikaitkan dengan perkembangan kebutuhan psikologisnya (Khuzaiyah, 2015). Widyawati dalam Indrawati & Wahyudi (2017: 11) menjelaskan bahwa pubertas merupakan suatu periode dimana individu mengalami kematangan kerangka seksual yang terjadi secara cepat terutama di masa awal remaja.
Kematangan kerangka seksual pada saat pubertas terjadi pada semua individu, baik yang normal maupun anak berkebutuhan khusus.
Kematangan kerangka seksual yang dialami oleh individu membawa
perubahan yang terlihat secara signifikan. Perubahan yang dialami oleh anak perempuan tentunya akan berbeda dengan anak laki-laki. Akan tetapi secara keseluruhan perubahan yang terjadi mengarah ke kematangan seksual anak.
b. Waktu Terjadinya Pubertas
Masa pubertas terjadi ketika seorang anak telah memasuki usia remaja.
Waktu terjadinya pubertas anata laki-laki dan perempuan tidaklah sama, laki-laki mengalami pubertas antara usia 11-13 tahun sedangkan untuk perempuan relatif lebih cepat yaitu pada usia 10 hingga 11 tahun (Parenting, 2021).
Hardy, Lintang, & Ari (2016: 156) mengungkapkan bahwa beberapa anak dapat mengalami perbedaan pada masa pubertas, rata-rata anak laki- laki mengalami awal pubertas pada usia 10,7 (±1) tahun, sedangkan perempuan 10 (±0,9 Tahun). Berdasarkan data tersebut, diungkapkan bahwa rata-rata anak mengalami pubertas lebih cepat dibandinglan standar usia anak yang mengalami pubertas, laku-laki 11,6 tahun dan perempuan 11,2 tahun.
Berdasarkan data diatas, diketahui bahwa usia awal anak mengalami pubertas berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, ada kemungkinan lebih cepat, normal, dan juga lebih lambat dibandingkan dengan usia normal anak mengalami pubertas. Perbedaan ini bisa dikarenakan pengaruh hormon, kesehatan, dan juga lingkungan tempat tinggal setiap individu (Parenting, 2021).
c. Ciri-Ciri Pubertas
Saat memasuki masa pubertas, seorang individu akan mengalami beberapa perubahan dalam tubuhnya baik secara fisik maupun emosi.
Perubahan yang paling nampak terkait dengan seks primer seks sekunder.
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2018) perubahan seks primer mencakup perubahan yang berkaitan langsung dengan organ
reproduksi, pada laki-laki akan mengalami mimpi basah dan perempuan akan mengalami menstruasi. Sedangkan perubahan seks sekunder sebagai penyerta dari perubahan seks primer pada laki-laki dapat berupa tumbuhnya jakun, perubahan suara, penis dan buah zakar bertambah besar, terjadinya ereksi dan ejakulasi, badan berotot, tumbuhnya kumis, cambang, tumbuh rambut di ketiak dan di kemaluan, sedangkan perubahan seks sekunder yang dialami oleh perempuan diantaranya adalah: payudara membesar, pinggul melebar, tumbuh rambut di sekitar ketiak dan kemaluan.
Perubahan yang dialami oleh remaja ini seringkali sulit diatasi oleh anak-anak yang mulai memasuki masa pubertas. Suryani, dkk (2013: 138) mengungkapkan permasalahan yang dialami oleh remaja saat memasuki masa pubertas diantaranya adalah sulitnya menyesuaikan diri terhadap perubahan fisik dan perubahan psikologis yang dialami. Perubahan pasca pubertas dialami seluruh individu baik anak normal maupun anak autis, akan tetapi gejolak pubertas yang dialami oleh anak autis cenderung memiliki perbedaan dari anak umum lainnya.
Ciri seksualitas remaja autis yang telah memasuki masa pubertas dijelaskan oleh Indrawati & Wahyudi (2017: 112) bahwa anak autis cenderung menampilkan kepentingan seksual dan berbagai perilaku seksual. Indrawati & Wahyudi (2017: 113) menjelaskan bahwa secara umum, anak autis menunjukkan gejolak pubertas cenderung berbeda dengan anak pada umumnya, dimana anak autis menunjukkan perilaku sesksual seperti masturbasi, menggosokkan alat kelamin mereka, hingga membuka baju di hadapan publik.
Gambar 2.1 Ciri-ciri pubertas (Sumber: kuliahdesain.com)
B. Kerangka Berpikir
Anak autis merupakan satu dari sekian banyak klasifikasi anak berkebutuhan khusus. Anak autis memiliki hambatan yang kompleks terkait kemampuan komunikasi, gangguan perilaku, dan kemampuan dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Lingkungan terkecil yang dimiliki anak autis adalah lingkungan keluarga dimana ada ayah dan ibu yang memimpin keluarga. Dalam membangun komunikasi dengan anak autis perlu dipertimbangkan faktor kenyamanan anak autis supaya komunikasi dapat berjalan dengan kondusif.
Kenyamanan dan keterbukaan dalam komunikasi memberikan peluang besar untuk menjadikan setiap proses komunikasi menjadi menjadi efektif. Terdapat banyak topik yang dibahas di dalam keluarga terutama oleh ibu, mulai dari topik yang umum hingga topik khusus seperti pubertas. Saat memasuki masa pubertas, anak autis akan mengalami banyak perubahan dalam dirinya seperti kematangan organ fisik dan juga kematangan seksual yang ditandai dengan mimpi basah pada anak laki-laki dan menstruasi pada anak perempuan. Hambatan komunikasi dan interaksi sosial yang dimiliki anak autis menjadi tantangan tersendiri bagi orang tua dalam menyampaikan topik pubertas kepada anak autis, seperti apa saja perubahan yang mungkin terjadi dan bagaimana menyikapinya. Sehingga dalam
hal ini cara ibu dalam menyampaikan topik pubertas sangat berpengaruh terhadap pemahaman dan penerimaan anak autis. Oleh karena itu penelitian ini difokuskan untuk menggali pola komunikasi ibu dalam memberikan pemahaman pubertas kepada remaja autis.
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir Ibu Remaja
Autis
Remaja Autis
Masa Pubertas Anak Autis
Hambatan Komunikasi
Anak Autis
Kemampuan Komunikasi Anak Autis Hubungan
Ibu dan Anak Autis
Cara Ibu Berkomunikasi
dengan remaja Autis
Perubahan- perubahan yang dialami oleh remaja
autis
Pola Komunikasi Ibu Dalam Memberikan Pemahaman Pubertas Kepada Remaja Autis