• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Perendaman Hormon Tiroksin dan Hormon Pertumbuhan Rekombinan terhadap Perkembangan Awal serta Pertumbuhan Larva Ikan Patin Siam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektivitas Perendaman Hormon Tiroksin dan Hormon Pertumbuhan Rekombinan terhadap Perkembangan Awal serta Pertumbuhan Larva Ikan Patin Siam"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

MUHAMMAD MUTTAQIN. Effectivity of immersion thyroxine and recombinant growth hormone on growth and early development of striped catfish larvae. Supervised by AGUS OMAN SUDRAJAT and ALIMUDDIN.

Catfish hatchery requires technology and engineering to maximize the development and growth of catfish. In this research the hormone thyroxine (T4), and recombinant growth hormone (G) and mix of thyroxine and growth hormones (GT) were administered by immersion to enhance the development and growth of catfish larvae. Research was using completely randomized design, with 4 treatments and 5 replications; A, control; B, thyroxine hormone (T4) 0.1 mg / L, and C, T4 and G (GT) (0.1 mg / L and 10 mg / L) D, G 10 mg / L. Immersion was performed for 1 hour. The results showed that the rate of yolk absorption at 16 hours post immersion was higher (P<0.05) in treatment B (96.98%) compared with treatments A (18.54%), C (20.59%), and D (32.90%). Larval growth of treatments B (24.85 mm) and C (24.00 mm) was higher (P <0.05) compared with treatments A (21.71 mm) and D (23.18 mm). Survival rate among treatments were similar (P>0.05). The size of liver cell and cytoplasm of treated larvae were larger than the control. Behavior of fish in the treatments B and C showed more active than the treatments A and D. Thus, combination of thyroxine and recombinant growth hormone treatment (C) has an efficiency of yolk utilization, and higher in early larval striped catfish development and growth.

Keywords: striped catfish, T4, G, yolk absorption, growth, survival, liver histology.

(2)

ABSTRAK

MUHAMMAD MUTTAQIN. Efektivitas Perendaman Hormon Tiroksin dan Hormon Pertumbuhan Rekombinan terhadap Perkembangan Awal serta Pertumbuhan Larva Ikan Patin Siam. Dibimbing oleh AGUS OMAN SUDRAJAT dan ALIMUDDIN.

Pembenihan ikan patin membutuhkan teknologi dan rekayasa untuk memaksimumkan perkembangan, dan pertumbuhan ikan patin. Pada penelitian ini dilakukan pemberian hormon tiroksin (T4), dan hormon pertumbuhan rekombinan (G) serta hormon gabungan antara hormon tiroksin dan hormon pertumbuhan (GT) melalui perendaman untuk memacu perkembangan dan pertumbuhan larva ikan patin. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap, dengan 4 perlakuan dan 5 kali ulangan; A, kontrol; B, hormon tiroksin (T4) 0,1 mg/L; C, T4 dan G (GT) (0,1 mg/L dan 10 mg/L); D, G 10 mg/L. Perendaman dilakukan selama 1 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju penyerapan kuning telur pada jam ke-16 setelah perendaman lebih cepat (P<0,05) pada perlakuan B (96,98%) dibandingkan dengan perlakuan A (18,54%), C (20,59%), dan D (32,90%). Pertumbuhan larva yang diberi perlakuan B (24,85 mm) dan C (24,00 mm) lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan A (21,71 mm) dan D (23,18 mm). Tingkat kelangsungan hidup antar perlakuan tidak berbeda (P>0,05). Ukuran sel dan sitoplasma hati ikan perlakuan relatif lebih besar dibandingkan kontrol. Tingkah laku ikan pada perlakuan B dan C lebih aktif dibandingkan perlakuan A dan D. Dengan demikian kombinasi hormon tiroksin dan hormon pertumbuhan rekombinan secara bersama (C) memiliki efisiensi pemanfaatan kuning telur, perkembangan dan pertumbuhan lebih tinggi pada larva ikan patin.

Kata kunci: Ikan patin, T4, GH, penyerapan kuning telur, pertumbuhan, kelangsungan hidup, histologi hati.

(3)

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2008 mencatat bahwa dalam tiga tahun terakhir produksi perikanan budidaya Indonesia meningkat secara signifikan sebesar 10,85% per tahun. KKP juga akan memacu produksi perikanan budidaya tahun 2014 sebesar 16,89 juta ton atau meningkat 353% dibandingkan dengan produksi 2009 sebesar 4,78 juta ton. Selain itu, KKP menetapkan sembilan komoditas perikanan untuk dijadikan produk perikanan budidaya. Ikan patin Siam (Pangasianodon hypopthalmus) merupakan salah satu ikan air tawar yang menjadi target KKP. Ikan ini sangat digemari masyarakat karena memiliki cita rasa yang khas, kandungan protein tinggi, dan dapat dikonsumsi segar serta bahan olahan. Nilai ekonomis ikan patin sangat tinggi, ditunjukkan oleh harga induk matang gonad mencapai Rp.250.000,- per ekor, harga telur Rp.5-7,- per butir, harga benih ¾ inci Rp.60,- per ekor, dan harga benih ukuran 1 (satu) inci Rp.80,- per ekor (BBPBAT Sukabumi 2012).

(4)

Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas hormon tiroksin adalah dosis dan cara pemberian hormon, lama pencahayaan, kualitas makanan, waktu pemberian makanan, stres, spesies, dan ukuran ikan (Weatherlay dan Gill 1986). Menurut Djojosoebagio (1996) hormon tiroksin dapat merangsang laju oksidasi dalam sel terhadap bahan makanan, meningkatkan laju konsumsi oksigen, meningkatkan pertumbuhan, dan mempercepat proses metamorfosis. Norfirdaus (1997) menyatakan bahwa pembentukan bintik mata, gelembung renang, dan pigmentasi lebih cepat terjadi pada larva ikan betutu yang diberi hormon tiroksin konsentrasi 0,1 mg/L. Pada salinitas 1 mg/L dengan dosis T4 0,1 mg/L dapat merangsang peningkatan panjang, dan berat ikan mas dibanding kontrol, selain itu juga SR ikan mas umur 8 hari pada dosis 0,01 ppm mencapai 85% (Lam 1985). Berdasarkan fungsinya tersebut, hormon T4 diharapkan dapat mempercepat metabolisme, dan metamorfosis larva ikan sehingga dapat melewati masa kritisnya. Namun demikian dengan mempercepat metabolisme dan metamorfosis dimungkinkan terjadinya kekerdilan ikan karena energi yang digunakan terfokus pada metamorfosis ikan. Norfirdaus (1997) melaporkan bahwa perendaman hormon tiroksin terjadi gejala abnormal seperti kerusakan jaringan, tulang punggung yang bengkok dan larva tumbuh lambat (kerdil). Sehubungan hal tersebut, maka dibutuhkan hormon yang lain untuk memacu pertumbuhan ikan sehingga ikan dapat terdiferensiasi dan tumbuh cepat tanpa adanya masalah samping. Salah satu hormon yang dapat digunakan dalam memacu pertumbuhan ikan adalah GH. GH merupakan merupakan salah satu hormon hidrofilik polipeptida yang tersusun atas asam amino.

(5)

Gambar 1. Mekanisme kerja perendaman hormon pertumbuhan.

GH mengatur pertumbuhan tubuh, reproduksi, sistem imun, dan mengatur tekanan osmosis pada ikan teleostei, serta mengatur metabolisme di antaranya aktivitas lipolitik, dan anabolisme vertebrata. Kandungan GH dalam tubuh ikan berkisar antara 0,2-111,2 ng/mL plasma darah (Bjornsson et al. 1988, Takahashi et al. 1991; Fabridge et al. 1992; Nordgarden et al. 2005).

Penggunaan GH dapat dilakukan melalui beberapa metode, yaitu melalui oral, perendaman, dan penyuntikan. Metode oral dan perendaman merupakan metode yang relatif lebih mudah untuk diaplikasikan dalam budidaya. Alimuddin et al. (2010) telah berhasil membuat protein hormon pertumbuhan rekombinan (rGH) ikan gurame, ikan mas, dan ikan kerapu kertang. Pemberian rGH yang berbeda pada ikan nila melalui teknik penyuntikan meningkatkan bobot 20,94% (rGH ikan kerapu kertang), 18,09% (rGH ikan mas), dan 16,99% (rGH ikan gurame) (Lesmana 2010). Acosta et al. (2007) melaporkan perendaman hormon pertumbuhan dapat meningkatkan bobot ikan nila sebesar 171%.

(6)

sedangkan Aminah (2012, belum dipublikasikan) melaporkan bobot ikan sebesar 28%. Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan rentang dosis yang cukup luas, yaitu antara 3–12 mg/L, sehingga pada penelitian ini dipilih dosis hormon pertumbuhan ikan kerapu kertang 10 mg/L. Melihat peran hormon tiroksin dan rGH, serta hasil penelitian sebelumnya, diharapkan hormon ini juga berperan dalam perkembangan awal dan pertumbuhan larva ikan patin.

1.2 Tujuan

(7)

II. BAHAN DAN METODE

2. 1 Rancangan penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan dan 5 kali ulangan. Rancangan perlakuan yang diberikan pada larva ikan patin (Lampiran 1), yaitu:

a. Kontrol : media tidak diberi larutan hormon

b. Perlakuan T : perendaman larva ikan patin dengan hormon tiroksin 0,1 mg/L c. Perlakuan GT : perendaman larva ikan patin dengan hormon tiroksin 0,1 mg/L

dan hormon rGH 10 mg/L

d. Perlakuan G : perendaman larva ikan patin dengan hormon rGH 10 mg/L

2.2 Persiapan wadah

Akuarium berukuran 20x20x25 cm sebanyak 21 unit dimasukkan ke dalam akuarium berukuran 150x70x25 cm yang diberi thermostat sebanyak 2 buah, kemudian akuarium yang berukuran besar ditutupi dengan plastik hitam di bagian luarnya. Hal ini dilakukan agar suhu setiap akuarium sama dan stabil.

Sumber air yang digunakan berasal dari tandon penampungan air yang berada di Departemen Budidaya Perairan. Air yang digunakan sebelumnya ditampung di tandon dan diendapkan selama 1 hari, serta diberi aerasi kuat, dan thermostat. Akuarium diisi air sebanyak 6 liter atau dengan tinggi air 15 cm. Agar suhu air di dalam akuarium tetap stabil, maka pada akuarium besar dipasangi thermostat dengan daya 50 Watt sebanyak 2 unit dengan kisaran suhu 30-31 oC. Setiap akuarium kecil diberi aerasi yang berasal dari aerator 2 titik sebanyak 2 unit (Lampiran 2).

2.3 Penyediaan larva ikan patin

(8)

2.4 Penyediaan hormon tiroksin

Thyrax (levothyroxine sodium) dengan dosis 0,1 mg per tablet diambil sebanyak 5 tablet, lalu dilarutkan dalam 5 L air sehingga diperoleh dosis 0,1 mg/L. Selanjutnya hormon dimasukkan ke dalam wadah 200 mL untuk perlakuan (Lampiran 3).

2.5 Penyediaan rGH

Produksi protein rGH dilakukan menggunakan bakteri Escherichia coli BL 21. Klon bakteri E. coli yang mengandung pCold-l/ElGH dikultur awal dalam 4 mL media 2xYT cair yang mengandung ampisilin, dan diinkubasi menggunakan shaker pada suhu 37oC selama 18 jam. Setelah itu dilakukan subkultur dengan mengambil sebanyak 1% dari kultur awal, dan dimasukkan ke dalam 100 mL media 2xYT cair baru dan diinkubasi lagi pada suhu 15 oC selama 30 menit, ditambahkan IPTG 1 mM sebanyak 1 mL, dan diinkubasi menggunakan shaker pada suhu 15 oC selama 24 jam. Bakteri hasil kultur dikumpulkan dengan sentrifugasi pada 12.000 rpm selama 1 menit.

Lisis dinding sel bakteri dilakukan secara kimiawi menggunakan lisozim. Pelet bakteri hasil sentrifugasi dicuci menggunakan 1 mL bufer TE per 200 mg bakteri dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 20 menit, disentrifugasi pada 12.000 rpm selama 1 menit dan kemudian supernatan dalam tabung mikro dibuang. Pelet bakteri sebanyak 200 mg dalam tabung mikro ditambahkan sebanyak 500 µL larutan lisozim (10 mg dalam 1 mL bufer TE), diinkubasi pada suhu 37 oC selama 20 menit, lalu disentrifiugasi pada 12.000 rpm selama 1 menit, supernatan dibuang dan pelet yang terbentuk merupakan protein rGH dalam bentuk badan inklusi (inclusion body). Pelet rGH dicuci dengan PBS sebanyak 1 kali, dan disimpan pada suhu -80 0C hingga akan digunakan.

2.6 Penebaran dan pemeliharaan larva

a. Perendaman hormon tiroksin

(9)

dengan saringan teh. Dosis tiroksin diambil berdasarkan penelitian Roger (1997). Lama perendaman adalah 1 jam. Setelah perendaman, larva dimasukkan ke dalam akuarium pemeliharaan larva yang berukuran 20x20x25 cm3. Larva ini dipelihara selama 12 hari (Lampiran 4).

b. Perendaman hormon rGH

Larva sebanyak 240 ekor yang baru menetas dimasukkan ke dalam media yang mengandung protein rGH dengan dosis 10 mg/L dan 0,01% BSA (bovine serum albumin) selama 1 jam. Pada saat perendaman tidak dilakukan kejutan salinitas. Hal ini karena ukuran larva yang masih kecil serta belum defenitif sehingga diduga larva ikan akan mati. Selanjutnya larva dimasukkan ke dalam akuarium pemeliharaan larva. Larva dipelihara selama 12 hari (Lampiran 4).

c. Perendaman hormon tiroksin dan rGH

Larva ikan patin Siam yang baru menetas dimasukkan ke dalam media yang mengandung protein rGH dengan dosis 10 mg/L dan 0,01% BSA, serta ditambahkan hormon T4 dengan dosis 0,1 mg/L. Larva direndam selama 1 jam. Setelah itu, larva dimasukkan ke dalam akuarium pemeliharaan larva, dan dipelihara selama 12 hari (Lampiran 4).

2.7 Pemberian pakan

Pemberian pakan berupa naupli Artemia dilakukan pada larva ikan patin umur 48 jam setelah menetas atau menjelang kuning telur habis. Pemberian pakan dilakukan setiap 2-3 jam. Setelah larva berumur 4 hari pakan yang diberikan dicampur dengan cacing sutera Limnodrilus sp. yang sebelumnya dilakukan pencacahan, dan diberikan secara at satiation, setiap 3-4 jam. Pada umur 4 hari larva ikan diberi cacing sutera saja.

2.8 Pengamatan perkembangan larva

(10)

kuning telur habis dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi mikrometer. Hasil pengukuran dikonversi dalam satuan milimeter dengan cara mengalibarasi mikroskop tersebut menggunakan mikrometer objektif. Hasil konversi ini kemudian menghitung volume, dan laju penyerapan kuning telur. Perhitungan volume, dan laju penyerapan kuning telur menggunakan rumus Blaxter dan Hempel dalam Nacario (1983), yaitu:

a. Volume kuning telur larva (V):

V= (π/6)LH2

dengan V : volume kuning telur (mm3)

L : diameter kuning telur memanjang (mm), dan H : diameter kuning telur memendek (mm)

b. Laju penyerapan kuning telur (LPK)

LPK = (ln V0 - lnVt)/t x 100

dengan LPK : laju penyerapan kuning telur (%/jam)

V0 : volume kuning telur awal periode sampling (mm3) Vt : volume kuning telur akhir periode sampling (mm3), dan t : periode sampling (jam)

2.9 Pertumbuhan larva

Pertumbuhan diketahui dengan mengukur panjang total larva ikan. Panjang total adalah jarak antara ujung terminal mulut hingga ujung sirip ekor. Panjang total dihitung dengan cara mengambil lima ekor ikan setiap perlakuan yang selanjutnya diukur panjang total di atas kertas melimeter blok.

2.10 Kelangsungan hidup larva

(11)

SR = Nt / N0 x 100 %

SR : Kelangsungan hidup (%)

Nt : Jumlah larva yang hidup pada akhir pemeliharaan (ekor) N0 : Jumlah larva yang ditebar (ekor)

2.11 Histologi hati

Proses pembuatan preparat histologi diawali dengan fiksasi menggunakan larutan Bouin‟s. Setelah itu hati direndam dalam larutan fiksasi, lalu dilalanjutkan dengan dehidrasi yaitu proses pengeluaran air dari dalam jaringan dengan menggunakan etanol, clearing yaitu proses pembersihan etanol dari dalam jaringan dan digantikan dengan xylol. Proses selanjutnya yaitu embedding, yaitu proses penyusupan parafin ke dalam jaringan. Setelah itu hati ikan dimasukkan ke dalam cetakan kertas, dan diisi dengan parafin (blocking).

Setelah blok parafin beku, maka dilakukan pemotongan blok dengan mikrotom dengan ketebalan potongan 5-10 µ m secara membujur, kemudian jaringan yang telah dipotong ditempatkan di permukaan air 40 oC di dalam water bath, selajutnya ditempatkan pada kaca objek dan biarkan mengering. Tahap terakhir adalah pewarnaan menggunakan pewarna hematatoxylin eosin serta meneteskan entelen atau canada balsam lalu ditutup dengan gelas penutup.

2.12 Tingkah laku ikan

(12)

2.12 Analisis statistik

(13)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

3.1.1 Perkembangan larva ikan

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan penurunan volume kuning telur larva (Gambar 2, dan Lampiran 5), dan peningkatan laju penyerapan kuning telur setiap jamnya (Gambar 3, dan Lampiran 6). Pada jam ke-4 volume kuning telur tidak berbeda nyata pada setiap perlakuan (p>0,05), sedangkan pada jam ke-0, jam ke-8, jam ke-12, jam ke-16, dan jam ke-20 volume kuning telur berbeda nyata antar perlakuan (p<0,05).

Gambar 2. Volume kuning telur larva ikan patin pada setiap perlakuan selama pemeliharaan.

Pada jam ke-0 perlakuan GT berbeda nyata terhadap perlakuan lainnya (p<0,05), sedangkan perlakuan G dan perlakuan T tidak berbeda nyata (p>0,05). Pada jam ke-8 dan jam ke-12 perlakuan T, dan perlakuan GT tidak berbeda nyata (p>0,05), tetapi berbeda nyata terhadap perlakuan K dan perlakuan G (p<0,05), sedangkan pada jam ke-16 dan jam ke-20 perlakuan T berbeda nyata terhadap perlakuan lainnya (p<0,05), tetapi pada perlakuan GT dan G tidak berbeda nyata satu sama lain (p>0,05). Begitu juga pada perlakuan G dan perlakuan K tidak berbeda nyata satu sama lainnya (p>0,05).

Waktu (jam ke-)

(14)

0

Gambar 3. Laju penyerapan kuning telur larva ikan patin pada setiap perlakuan selama pemeliharaan.

Seperti ditunjukkan pada Gambar 2 dan Lampiran 7, bahwa perlakuan perendaman hormon tiroksin memiliki laju penyerapan kuning telur lebih cepat dibandingkan perlakuan lainnya. Laju penyerapan kuning telur tidak dipengaruhi oleh perlakuan hormon berbeda pada jam ke-4, jam ke-12, dan jam ke-20, sedangkan pada jam ke-8 dan jam ke-16 dipengaruhi oleh perlakuan hormon tirokain (p<0,05).

3.1.2 Pertumbuhan ikan

Hasil pengukuran panjang total larva ikan patin yang dipelihara selama 12 hari untuk masing-masing perlakuan disajikan pada Gambar 3 dan Lampiran 7. Panjang larva yang diberi perlakuan perendaman hormon tiroksin, lebih panjang dibandingkan perlakuan lainnya. Panjang total larva ikan patin pada hari ke-0 dan 3 pada semua perlakuan tidak berbeda nyata (p>0,05), sedangkan pada hari ke-6, ke-9, dan ke-12 semua perlakuan panjang total ikan patin berbeda nyata (p<0,05). Pada hari ke-6 dan ke-12 perlakuan kontrol berbeda nyata dengan perlakuan T yaitu 23,09% dan 14,41%, GT yaitu 20,0% dan 10,55%, dan perlakuan G yaitu 15,08% dan 6,77% (p<0,05), tetapi pada hari ke-9 perlakuan G dan GT tidak berbeda nyata terhadap perlakuan tiroksin (p>0,05). Pada hari ke-12

Waktu (jam ke-)

(15)

0,00 perlakuan kontrol dan G tidak berbeda nyata (p>0,05), sedangkan perlakuan tiroksin dan GT berbeda nyata (p<0,05), tetapi perlakuan G dan GT berbeda nyata (p<0,05) dan perlakuan GT dan tiroksin berbeda nyata (p<0,05).

Gambar 4. Rerata panjang total (mm) larva ikan patin pada setiap perlakuan pada saat pengamatan.

Gambar 5. Panjang total (mm) ikan patin Siam pada setiap perlakuan saat panen umur 12 hari.

(16)

3.1.3 Tingkat kelangsungan hidup

Hasil pengamatan terhadap kelangsungan hidup larva ikan patin Siam yang dipelihara selama 12 hari memiliki rerata sebesar 79% (Gambar 6 dan Lampiran 8). Tingkat kelangsungan hidup tidak berbeda nyata antar perlakuan (p>0,05).

Gambar 6. Rerata tingkat kelangsungan hidup (%) larva ikan patin yang tidak direndam (K), dan direndam hormon tiroksin (T), hormon

pertumbuhan rekombinan (G), dan tiroksin dan hormon pertumbuhan rekombinan (G).

3.1.4 Histologi hati

Hasil histologi hati larva ikan patin pada hari ke-15 disajikan pada Gambar 7. Histologi hati diambil pada umur hari ke-15 pemeliharaan serta diamati dengan mikroskop Olympus BH2-RFCA perbesaran 400x, diambil menggunakan kamera digital Sony W210 dengan 2,4x zoom. Pada perlakuan hormon tiroksin ukuran jaringan sel dan sitoplasma masih kecil, pada perlakuan hormon tiroksin ukuran jaringan sel dan sitoplasma telah sangat besar (Gambar 7b), pada perlakuan hormon gabungan ukuran jaringan sel dan sitoplasma besar (Gambar 7c), dan pada perlakuan GH ukuran jaringan sel dan sitoplasma berukuran besar

Perlakuan

a a a

(17)

(Gambar 7d), sedangkan perlakuan kontrol ukuran jaringan sel dan sitoplasma berukuran kecil (Gambar 7a).

Gambar 7. Histologi hati ikan kontrol yang tidak direndam hormon (a), direndam dengan tiroksin (b), GT (c), dan hormon pertumbuhan rekombinan (d). Tanda panah pada gambar menunjukkan ukuran jaringan sel ( ) dan sitoplasma ( ).

3.2 Pembahasan

3.2.1 Perkembangan ikan

Volume kuning telur berbeda nyata pada beberapa perlakuan (Gambar 2). Pada dasarnya, perlakuan perendaman hormon tiroksin dapat menurunkan volume kuning telur dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini dikarenakan hormon tiroksin dapat memacu perkembangan proses pembentukan organ pada larva ikan sehingga volume kuning telur lebih banyak terserap. Hal ini didukung oleh Lam dan Reddy (1992) bahwa pemberian tiroksin dapat mempercepat proses diferensiasi, dan pertumbuhan pada ikan mas koki, serta memacu pembentukan jari-jari sirip dorsal dan anal.

Volume telur larva ikan patin yang diberi perlakuan hormon tiroksin dan hormon rGH dapat menurun dengan cepat, akan tetapi pada perlakuan

a b

c d

20 µm 20 µm

(18)

perendaman menggunakan rGH volume kuning telur tidak cepat menurun dan belum bekerja . Hal ini juga didukung oleh volume pada perlakuan hormon rGH yang tidak terlalu cepat menurun. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan hormon ini tidak bekerja antara lain, hormon ElrGH yang diberikan ke larva ikan patin tidak kompatibel, dosis yang diberikan tidak optimum, serta waktu perendaman yang tidak optimum. Selain itu pada penelitian ini juga tidak dilakukan kejutan salinitas seperti pada penelitian ikan gurame, ikan betok maupun ikan sidat sehingga diduga hormon rGH tidak dapat masuk ketubuh ikan secara maksimum.

Laju penyerapan kuning telur tertinggi yaitu 96,98% didapatkan pada perlakuan perendaman hormon tiroksin. Pada jam ke-16 hampir semua larva yang diamati kuning telurnya telah terserap, dan pada jam ke-20 semua larva yang diamati telah habis kuning telurnya. Dengan demikian, hormon tiroksin 0,1 mg/L yang diberikan pada larva ikan patin bekerja dengan optimum. Norfirdaus (1997) menyatakan bahwa pembentukan bintik mata, gelembung renang, dan pigmentasi lebih cepat terjadi pada larva ikan betutu yang diberi hormon tiroksin konsentrasi 0,1 ppm. Perlakuan gabungan antara hormon tiroksin dan rGH tidak begitu meningkatkan laju penyerapan kuning telur tetapi pertumbuhan pada perlakuan ini sangat cepat sehingga pemanfaatan kuning telurnya lebih efisien dibandingkan perlakuan tiroksin. Hal ini diduga karena volume kuning telur pada perlakuan tersebut tidak cepat habis sehingga laju penyerapan kuning juga tidak cepat.

3.2.2 Pertumbuhan ikan

(19)

tiroksin dapat meningkatkan metabolime tubuh. Dengan peningkatan metabolisme tubuh, dapat menyebabkan larva ikan patin yang direndam dengan hormon tiroksin memiliki tingkat pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya.

Perlakuan perendaman gabungan hormon tiroksin dan rGH memiliki pertumbuhan panjang total sebesar 24 mm pada saat hari ke-12. Pertumbuhan hormon gabungan ini diduga hanya hormon tiroksin yang bekerja, sedangkan hormon rGH belum bekerja secara optimum. Hal ini didukung dengan tidak telalu maksimum hasil perlakuan dengan hormon rGH. Meskipun perlakuan hormon gabungan bukan pertumbuhan terbaik tetapi hormon gabungan lebih efesien dibandingkan hormon tiroksin. Hal ini dikarenakan pada jam ke-16 kuning telur perlakuan tiroksin telah terserap 96,97%/jam dengan panjang total pada hari ke-3 sebasar 7,88±0,56 mm sedangkan pada perlakuan hormon gabungan kuning telur yang terserap hanya 20,596%/jam dengan panjang total pada hari ke-3 sebesar 7,72±0,61 mm. Dengan demikian bahwa hormon gabungan dapat meningkatkan panjang total dengan tidak mempercepat laju penyerapan kuning telur.

(20)

3.2.3 Tingkat kelangsungan hidup

Rerata tingkat kelangsungan hidup larva ikan patin pada penelitian ini sebesar 79%. Perlakuan dengan perendaman hormon tiroksin memiliki tingkat kelangsungan hidup paling tinggi. Hal ini dikarenakan, adanya penyerapan kuning telur yang optimum, sehingga dapat menyebabkan perkembangan pada organ tubuh ikan berjalan dengan baik. Selain itu, diperkuat dengan pertumbuhan larva ikan patin yang cepat. Hasil penelitian Lam (1980) pada ikan mujair menggunakan hormon tiroksin dengan kadar 0,1 ppm diperoleh tingkat kelangsungan hidup lebih baik dibandingkan kontrol.

Perlakuan perendaman hormon gabungan hormon tiroksin dan hormon rGH memiliki tingkat kelangsungan hidup paling rendah. Rendahnya tingkat kelangsungan hidup dimungkinkan karena larva ikan stres akibat perendaman hormon secara bersamaan.

3.2.4 Histologi hati

Hati merupakan organ yang memiliki peran penting dalam mahluk hidup. Berdasarkan hasil histologi hati larva ikan didapat pada perlakuan kontrol, perlakuan hormon tiroksin dan rGH, serta perlakuan hormon rGH didapat ukuran jaringan sel hati dan ukuran sitoplasma masih kecil. Ukuran jaringan sel dan sitoplasma masih kecil dikarenakan pertumbuhan pada larva ikan tidak cepat. Perlakuan tiroksin memiliki ukuran jaringan sel hati dan ukuran sitoplasma sangat besar (Gambar 7b). Besarnya ukuran sel dan sitoplasma ini diakibatkan oleh hormon tiroksin yang harus dikonversi menjadi triiodotironin atau beberapa bentuk lainnya. Djojosoebagio (1996) menyatakan bahwa proses konversi ini berlangsung di hati dan ginjal dengan bantuan enzim T4-5‟-deiodinase yang dihasilkan oleh mikrosoma.

(21)

sitoplasma berbutir keruh mungkin disebabkan oleh pengendapan protein yang disebut sebagai degenerasi albumin.

3.2.5 Analisis biaya

(22)

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Perendaman hormon (hormon tiroksin, kombinasi hormon tiroksin dan hormon pertumbuhan, dan hormon pertumbuhan) dapat meningkatkan perkembangan dan pertumbuhan larva ikan patin Siam. Perendaman dengan kombinasi hormon tiroksin 0,1 mg/L dan hormon pertumbuhan rekombinan 10 mg/L secara bersamaan memiliki pertumbuhan yang tinggi (24 mm) yang dicapai selama 12 hari, dengan efisiensi penyerapan laju kuning telur yang tinggi (80%). Kelangsungan hidup larva sama pada semua perlakuan.

4.2 Saran

(23)

EFEKTIVITAS PERENDAMAN HORMON TIROKSIN DAN HORMON PERTUMBUHAN REKOMBINAN TERHADAP PERKEMBANGAN

AWAL SERTA PERTUMBUHAN LARVA IKAN PATIN SIAM

MUHAMMAD MUTTAQIN

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(24)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

EFEKTIVITAS PERENDAMAN HORMON TIROKSIN DAN HORMON

PERTUMBUHAN REKOMBINAN TERHADAP PERKEMBANGAN

AWAL SERTA PERTUMBUHAN LARVA IKAN PATIN SIAM

adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2012

MUHAMMAD MUTTAQIN

(25)

EFEKTIVITAS PERENDAMAN HORMON TIROKSIN DAN HORMON PERTUMBUHAN REKOMBINAN TERHADAP PERKEMBANGAN

AWAL SERTA PERTUMBUHAN LARVA IKAN PATIN SIAM

MUHAMMAD MUTTAQIN

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Teknologi & Manajemen Perikanan Budidaya

Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(26)

Judul Skripsi : Efektivitas Perendaman Hormon Tiroksin dan Hormon Pertumbuhan Rekombinan terhadap Perkembangan Awal serta Pertumbuhan Larva Ikan Patin Siam

Nama Mahasiswa : Muhammad Muttaqin Nomor Pokok : C14080072

Disetujui

Pembimbing I

Dr. Ir. Agus Oman Sudrajat, M.Sc. NIP. 196408131991031001

Pembimbing II

Dr. Alimuddin. S.Pi., M.Sc. NIP. 197001031995121001

Diketahui

Ketua Departemen Budidaya Perairan

Dr. Ir. Odang Carman, M.Sc NIP. 195912221986011001

(27)

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadiran Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini diberi judul

“Efektivitas Perendaman Hormon Tiroksin dan Hormon Pertumbuhan Rekombinan terhadap Perkembangan Awal serta Pertumbuhan Larva Ikan Patin Siam. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Maret 2012, bertempat di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Agus Oman Sudrajat, M.Sc selaku dosen Pembimbing I dan Bapak Dr. Alimuddin, S.Pi., M.Sc selaku dosen Pembimbing II serta Ibu Dr. Sri Nuryati, S.Pi., M.Si selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 2. Kedua orang tua (Bapak Romzi dan Ibu Tri Mulyani, S.Pd), „Mak‟ (Hj.

Robiha), dan adikku (Yeni Puspitasari dan Muhammad Muladi) serta paman dan bibik yang telah memberikan dorongan semangat, materi, doa, dan kasih sayang kepada penulis.

3. Pak Wawan yang telah memberikan bantuan penyediaan ikan patin dan artemia.

4. Kunthi Fahmar Sandy, S.KPm yang telah meluangkan waktu, dorongan

semangat, do‟a, dan memberikan kasih sayang kepada penulis.

5. Moch Hib Ibnu Hib yang telah menjadi rekan penulis selama penelitian.

6. Fajar Maulana, Hikma Nadatul Hikma, dan Rima Khasana Putri sebagai teman seperjuangan selama penelitian di lab betok dan lab nila .

7. Teman-temanku: Bayu Dwi Santoso, Muhammad Firdaus, Sofyan Agustiawan, dan teman-teman pondok “SABAR” (Burhanudin Faisal, Asep Bulqini, Dendi Hidayatullah, Nur Aqil, dan Ahmad Fauzan) yang telah membantu penulis

selama melakukan penelitian dan do‟a untuk keberhasilan penulis serta

(28)

8. Teman-teman angkatan „45 BDP (PATMO) atas kekompakan, kebersamaan,

dan do‟anya selama ini.

9. Serta semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu.

Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, tetapi semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Mei 2012

(29)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 25 September 1989 di Desa Ulak Kerbau Baru, Kecamatan Tanjung Raja, Kab. Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Romzi dan Tri Mulyani, S.Pd.

Pada tahun 2002 penulis menamatkan Sekolah Dasar di SD Negeri 1 Ulak Kerbau Baru, Kec Tajung Raja (Ogan Ilir). Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 2 Tanjung Raja (Ogan Ilir) pada tahun 2005, dan Sekolah Menengah Atas di SMA 1 Tanjung Raja (Ogan Ilir) pada tahun 2008.

Pada tahun 2008, penulis diterima sebagai mahasiswa program studi Teknologi Menejemen Perikanan Budidaya, Departemen Budidaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Selama masa perkuliahan, penulis aktif menjadi anggota Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Ikatan Mahasiswa Bumi Sriwijaya (IKAMUSI) pada tahun 2009, anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) C bidang Komunikasi dan Informasi (KOMINFO) pada tahun 2010, ketua Pekan Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian (PKM-P) yang didanai DIKTI dengan judul „Potensi Tumbuhan Egeria densa sebagai pengganti aerator‟ (2011), anggota Pekan Kreativitas

Mahasiswa bidang Kewirausahaan (PKM-K) yang didanai DIKTI dengan judul

„Akuakultur Aquaku‟ (2011), ketua Pekan Kreativitas Mahasiswa bidang

Penelitian (PKM-P) yang didanai DIKTI dengan judul „Efektivitas perendaman hormon tiroksin (T4) terhadap perkembangan, pertumbuhan, dan kelangsungan

(30)

ABSTRAK

MUHAMMAD MUTTAQIN. Efektivitas Perendaman Hormon Tiroksin dan Hormon Pertumbuhan Rekombinan terhadap Perkembangan Awal serta Pertumbuhan Larva Ikan Patin Siam. Dibimbing oleh AGUS OMAN SUDRAJAT dan ALIMUDDIN.

Pembenihan ikan patin membutuhkan teknologi dan rekayasa untuk memaksimumkan perkembangan, dan pertumbuhan ikan patin. Pada penelitian ini dilakukan pemberian hormon tiroksin (T4), dan hormon pertumbuhan rekombinan (G) serta hormon gabungan antara hormon tiroksin dan hormon pertumbuhan (GT) melalui perendaman untuk memacu perkembangan dan pertumbuhan larva ikan patin. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap, dengan 4 perlakuan dan 5 kali ulangan; A, kontrol; B, hormon tiroksin (T4) 0,1 mg/L; C, T4 dan G (GT) (0,1 mg/L dan 10 mg/L); D, G 10 mg/L. Perendaman dilakukan selama 1 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju penyerapan kuning telur pada jam ke-16 setelah perendaman lebih cepat (P<0,05) pada perlakuan B (96,98%) dibandingkan dengan perlakuan A (18,54%), C (20,59%), dan D (32,90%). Pertumbuhan larva yang diberi perlakuan B (24,85 mm) dan C (24,00 mm) lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan A (21,71 mm) dan D (23,18 mm). Tingkat kelangsungan hidup antar perlakuan tidak berbeda (P>0,05). Ukuran sel dan sitoplasma hati ikan perlakuan relatif lebih besar dibandingkan kontrol. Tingkah laku ikan pada perlakuan B dan C lebih aktif dibandingkan perlakuan A dan D. Dengan demikian kombinasi hormon tiroksin dan hormon pertumbuhan rekombinan secara bersama (C) memiliki efisiensi pemanfaatan kuning telur, perkembangan dan pertumbuhan lebih tinggi pada larva ikan patin.

Kata kunci: Ikan patin, T4, GH, penyerapan kuning telur, pertumbuhan, kelangsungan hidup, histologi hati.

(31)

ABSTRACT

MUHAMMAD MUTTAQIN. Effectivity of immersion thyroxine and recombinant growth hormone on growth and early development of striped catfish larvae. Supervised by AGUS OMAN SUDRAJAT and ALIMUDDIN.

Catfish hatchery requires technology and engineering to maximize the development and growth of catfish. In this research the hormone thyroxine (T4), and recombinant growth hormone (G) and mix of thyroxine and growth hormones (GT) were administered by immersion to enhance the development and growth of catfish larvae. Research was using completely randomized design, with 4 treatments and 5 replications; A, control; B, thyroxine hormone (T4) 0.1 mg / L, and C, T4 and G (GT) (0.1 mg / L and 10 mg / L) D, G 10 mg / L. Immersion was performed for 1 hour. The results showed that the rate of yolk absorption at 16 hours post immersion was higher (P<0.05) in treatment B (96.98%) compared with treatments A (18.54%), C (20.59%), and D (32.90%). Larval growth of treatments B (24.85 mm) and C (24.00 mm) was higher (P <0.05) compared with treatments A (21.71 mm) and D (23.18 mm). Survival rate among treatments were similar (P>0.05). The size of liver cell and cytoplasm of treated larvae were larger than the control. Behavior of fish in the treatments B and C showed more active than the treatments A and D. Thus, combination of thyroxine and recombinant growth hormone treatment (C) has an efficiency of yolk utilization, and higher in early larval striped catfish development and growth.

Keywords: striped catfish, T4, G, yolk absorption, growth, survival, liver histology.

(32)

DAFTAR ISI 2.8 Pengamatan perkembangan larva ... 7 2.9 Pertumbuhan larva ... 8

(33)

3.2.2 Pertumbuhan ikan... 16 3.2.3 Tingkat kelangsungan hidup ... 18 3.2.4 Histologi hati ... 18 3.2.5 Analisis biaya ... 19

IV. KESIMPULAN DAN SARAN ... 20 4.1 Kesimpulan... ... .. 20 4.2 Saran ... ... ... 20

DAFTAR PUTAKA ... ... 21

(34)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Mekanisme kerja perendaman hormon pertumbuhan ... 3 2. Volume kuning telur larva ikan patin pada setiap perlakuan selama

pemeliharaan. ... 11 3. Laju penyerapan kuning telur larva ikan patin pada setiap perlakuan

selama pemeliharaan... ... 12 4. Rerata panjang total (mm) larva ikan patin pada setiap perlakuan

selama pemeliharaan ... . 13 5. Panjang total (mm) ikan patin pada setiap perlakuan saat panen umur

12 hari ... . 13 6. Rerata tingkat kelangsungan hidup (%) larva ikan patin yang tidak

direndam (K), dan direndam hormon tiroksin (T), hormon

pertumbuhan rekombinan (G), dan tiroksin dan hormon pertumbuhan

rekombinan (G) ... . 14 7. Histologi hati ikan kontrol yang tidak direndam hormon (a), direndam

dengan tiroksin (b), GT (c), dan hormon pertumbuhan rekombinan (d). Tanda panah pada gambar menunjukkan ukuran jaringan sel dan

(35)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Rancangan perlakuan... ... 25 2. Persiapan wadah ... 25 3. Penyediaan hormon tiroksin ... 25 4. Perlakuan perendaman hormon... ... 26 5. Laju penyerapan kuning telur ... 28 6. Volume kuning telur... ... 29 7. Pertumbuhan panjang total... ... 29 8. Tingkat kelangsungan hidup... ... 30 9. Pertumbuhan panjang total panen... ... 31 10. Wadah perlakuan... ... 31 11. Wadah penetasan Artemia... ... 31 12. Analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji Tukey laju penyerapan

kuning telur... ... 32 13. Analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji Tukey volume

kuning telur... ... 35 14. Analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji Tukey panjang total... 39 15. Analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji Tukey tingkat

kelangsungan hidup... 42 16. Analisis biaya produksi larva ikan patin menggunakan hormon

(36)

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2008 mencatat bahwa dalam tiga tahun terakhir produksi perikanan budidaya Indonesia meningkat secara signifikan sebesar 10,85% per tahun. KKP juga akan memacu produksi perikanan budidaya tahun 2014 sebesar 16,89 juta ton atau meningkat 353% dibandingkan dengan produksi 2009 sebesar 4,78 juta ton. Selain itu, KKP menetapkan sembilan komoditas perikanan untuk dijadikan produk perikanan budidaya. Ikan patin Siam (Pangasianodon hypopthalmus) merupakan salah satu ikan air tawar yang menjadi target KKP. Ikan ini sangat digemari masyarakat karena memiliki cita rasa yang khas, kandungan protein tinggi, dan dapat dikonsumsi segar serta bahan olahan. Nilai ekonomis ikan patin sangat tinggi, ditunjukkan oleh harga induk matang gonad mencapai Rp.250.000,- per ekor, harga telur Rp.5-7,- per butir, harga benih ¾ inci Rp.60,- per ekor, dan harga benih ukuran 1 (satu) inci Rp.80,- per ekor (BBPBAT Sukabumi 2012).

(37)

Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas hormon tiroksin adalah dosis dan cara pemberian hormon, lama pencahayaan, kualitas makanan, waktu pemberian makanan, stres, spesies, dan ukuran ikan (Weatherlay dan Gill 1986). Menurut Djojosoebagio (1996) hormon tiroksin dapat merangsang laju oksidasi dalam sel terhadap bahan makanan, meningkatkan laju konsumsi oksigen, meningkatkan pertumbuhan, dan mempercepat proses metamorfosis. Norfirdaus (1997) menyatakan bahwa pembentukan bintik mata, gelembung renang, dan pigmentasi lebih cepat terjadi pada larva ikan betutu yang diberi hormon tiroksin konsentrasi 0,1 mg/L. Pada salinitas 1 mg/L dengan dosis T4 0,1 mg/L dapat merangsang peningkatan panjang, dan berat ikan mas dibanding kontrol, selain itu juga SR ikan mas umur 8 hari pada dosis 0,01 ppm mencapai 85% (Lam 1985). Berdasarkan fungsinya tersebut, hormon T4 diharapkan dapat mempercepat metabolisme, dan metamorfosis larva ikan sehingga dapat melewati masa kritisnya. Namun demikian dengan mempercepat metabolisme dan metamorfosis dimungkinkan terjadinya kekerdilan ikan karena energi yang digunakan terfokus pada metamorfosis ikan. Norfirdaus (1997) melaporkan bahwa perendaman hormon tiroksin terjadi gejala abnormal seperti kerusakan jaringan, tulang punggung yang bengkok dan larva tumbuh lambat (kerdil). Sehubungan hal tersebut, maka dibutuhkan hormon yang lain untuk memacu pertumbuhan ikan sehingga ikan dapat terdiferensiasi dan tumbuh cepat tanpa adanya masalah samping. Salah satu hormon yang dapat digunakan dalam memacu pertumbuhan ikan adalah GH. GH merupakan merupakan salah satu hormon hidrofilik polipeptida yang tersusun atas asam amino.

(38)

Gambar 1. Mekanisme kerja perendaman hormon pertumbuhan.

GH mengatur pertumbuhan tubuh, reproduksi, sistem imun, dan mengatur tekanan osmosis pada ikan teleostei, serta mengatur metabolisme di antaranya aktivitas lipolitik, dan anabolisme vertebrata. Kandungan GH dalam tubuh ikan berkisar antara 0,2-111,2 ng/mL plasma darah (Bjornsson et al. 1988, Takahashi et al. 1991; Fabridge et al. 1992; Nordgarden et al. 2005).

Penggunaan GH dapat dilakukan melalui beberapa metode, yaitu melalui oral, perendaman, dan penyuntikan. Metode oral dan perendaman merupakan metode yang relatif lebih mudah untuk diaplikasikan dalam budidaya. Alimuddin et al. (2010) telah berhasil membuat protein hormon pertumbuhan rekombinan (rGH) ikan gurame, ikan mas, dan ikan kerapu kertang. Pemberian rGH yang berbeda pada ikan nila melalui teknik penyuntikan meningkatkan bobot 20,94% (rGH ikan kerapu kertang), 18,09% (rGH ikan mas), dan 16,99% (rGH ikan gurame) (Lesmana 2010). Acosta et al. (2007) melaporkan perendaman hormon pertumbuhan dapat meningkatkan bobot ikan nila sebesar 171%.

(39)

sedangkan Aminah (2012, belum dipublikasikan) melaporkan bobot ikan sebesar 28%. Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan rentang dosis yang cukup luas, yaitu antara 3–12 mg/L, sehingga pada penelitian ini dipilih dosis hormon pertumbuhan ikan kerapu kertang 10 mg/L. Melihat peran hormon tiroksin dan rGH, serta hasil penelitian sebelumnya, diharapkan hormon ini juga berperan dalam perkembangan awal dan pertumbuhan larva ikan patin.

1.2 Tujuan

(40)

II. BAHAN DAN METODE

2. 1 Rancangan penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan dan 5 kali ulangan. Rancangan perlakuan yang diberikan pada larva ikan patin (Lampiran 1), yaitu:

a. Kontrol : media tidak diberi larutan hormon

b. Perlakuan T : perendaman larva ikan patin dengan hormon tiroksin 0,1 mg/L c. Perlakuan GT : perendaman larva ikan patin dengan hormon tiroksin 0,1 mg/L

dan hormon rGH 10 mg/L

d. Perlakuan G : perendaman larva ikan patin dengan hormon rGH 10 mg/L

2.2 Persiapan wadah

Akuarium berukuran 20x20x25 cm sebanyak 21 unit dimasukkan ke dalam akuarium berukuran 150x70x25 cm yang diberi thermostat sebanyak 2 buah, kemudian akuarium yang berukuran besar ditutupi dengan plastik hitam di bagian luarnya. Hal ini dilakukan agar suhu setiap akuarium sama dan stabil.

Sumber air yang digunakan berasal dari tandon penampungan air yang berada di Departemen Budidaya Perairan. Air yang digunakan sebelumnya ditampung di tandon dan diendapkan selama 1 hari, serta diberi aerasi kuat, dan thermostat. Akuarium diisi air sebanyak 6 liter atau dengan tinggi air 15 cm. Agar suhu air di dalam akuarium tetap stabil, maka pada akuarium besar dipasangi thermostat dengan daya 50 Watt sebanyak 2 unit dengan kisaran suhu 30-31 oC. Setiap akuarium kecil diberi aerasi yang berasal dari aerator 2 titik sebanyak 2 unit (Lampiran 2).

2.3 Penyediaan larva ikan patin

(41)

2.4 Penyediaan hormon tiroksin

Thyrax (levothyroxine sodium) dengan dosis 0,1 mg per tablet diambil sebanyak 5 tablet, lalu dilarutkan dalam 5 L air sehingga diperoleh dosis 0,1 mg/L. Selanjutnya hormon dimasukkan ke dalam wadah 200 mL untuk perlakuan (Lampiran 3).

2.5 Penyediaan rGH

Produksi protein rGH dilakukan menggunakan bakteri Escherichia coli BL 21. Klon bakteri E. coli yang mengandung pCold-l/ElGH dikultur awal dalam 4 mL media 2xYT cair yang mengandung ampisilin, dan diinkubasi menggunakan shaker pada suhu 37oC selama 18 jam. Setelah itu dilakukan subkultur dengan mengambil sebanyak 1% dari kultur awal, dan dimasukkan ke dalam 100 mL media 2xYT cair baru dan diinkubasi lagi pada suhu 15 oC selama 30 menit, ditambahkan IPTG 1 mM sebanyak 1 mL, dan diinkubasi menggunakan shaker pada suhu 15 oC selama 24 jam. Bakteri hasil kultur dikumpulkan dengan sentrifugasi pada 12.000 rpm selama 1 menit.

Lisis dinding sel bakteri dilakukan secara kimiawi menggunakan lisozim. Pelet bakteri hasil sentrifugasi dicuci menggunakan 1 mL bufer TE per 200 mg bakteri dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 20 menit, disentrifugasi pada 12.000 rpm selama 1 menit dan kemudian supernatan dalam tabung mikro dibuang. Pelet bakteri sebanyak 200 mg dalam tabung mikro ditambahkan sebanyak 500 µL larutan lisozim (10 mg dalam 1 mL bufer TE), diinkubasi pada suhu 37 oC selama 20 menit, lalu disentrifiugasi pada 12.000 rpm selama 1 menit, supernatan dibuang dan pelet yang terbentuk merupakan protein rGH dalam bentuk badan inklusi (inclusion body). Pelet rGH dicuci dengan PBS sebanyak 1 kali, dan disimpan pada suhu -80 0C hingga akan digunakan.

2.6 Penebaran dan pemeliharaan larva

a. Perendaman hormon tiroksin

(42)

dengan saringan teh. Dosis tiroksin diambil berdasarkan penelitian Roger (1997). Lama perendaman adalah 1 jam. Setelah perendaman, larva dimasukkan ke dalam akuarium pemeliharaan larva yang berukuran 20x20x25 cm3. Larva ini dipelihara selama 12 hari (Lampiran 4).

b. Perendaman hormon rGH

Larva sebanyak 240 ekor yang baru menetas dimasukkan ke dalam media yang mengandung protein rGH dengan dosis 10 mg/L dan 0,01% BSA (bovine serum albumin) selama 1 jam. Pada saat perendaman tidak dilakukan kejutan salinitas. Hal ini karena ukuran larva yang masih kecil serta belum defenitif sehingga diduga larva ikan akan mati. Selanjutnya larva dimasukkan ke dalam akuarium pemeliharaan larva. Larva dipelihara selama 12 hari (Lampiran 4).

c. Perendaman hormon tiroksin dan rGH

Larva ikan patin Siam yang baru menetas dimasukkan ke dalam media yang mengandung protein rGH dengan dosis 10 mg/L dan 0,01% BSA, serta ditambahkan hormon T4 dengan dosis 0,1 mg/L. Larva direndam selama 1 jam. Setelah itu, larva dimasukkan ke dalam akuarium pemeliharaan larva, dan dipelihara selama 12 hari (Lampiran 4).

2.7 Pemberian pakan

Pemberian pakan berupa naupli Artemia dilakukan pada larva ikan patin umur 48 jam setelah menetas atau menjelang kuning telur habis. Pemberian pakan dilakukan setiap 2-3 jam. Setelah larva berumur 4 hari pakan yang diberikan dicampur dengan cacing sutera Limnodrilus sp. yang sebelumnya dilakukan pencacahan, dan diberikan secara at satiation, setiap 3-4 jam. Pada umur 4 hari larva ikan diberi cacing sutera saja.

2.8 Pengamatan perkembangan larva

(43)

kuning telur habis dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi mikrometer. Hasil pengukuran dikonversi dalam satuan milimeter dengan cara mengalibarasi mikroskop tersebut menggunakan mikrometer objektif. Hasil konversi ini kemudian menghitung volume, dan laju penyerapan kuning telur. Perhitungan volume, dan laju penyerapan kuning telur menggunakan rumus Blaxter dan Hempel dalam Nacario (1983), yaitu:

a. Volume kuning telur larva (V):

V= (π/6)LH2

dengan V : volume kuning telur (mm3)

L : diameter kuning telur memanjang (mm), dan H : diameter kuning telur memendek (mm)

b. Laju penyerapan kuning telur (LPK)

LPK = (ln V0 - lnVt)/t x 100

dengan LPK : laju penyerapan kuning telur (%/jam)

V0 : volume kuning telur awal periode sampling (mm3) Vt : volume kuning telur akhir periode sampling (mm3), dan t : periode sampling (jam)

2.9 Pertumbuhan larva

Pertumbuhan diketahui dengan mengukur panjang total larva ikan. Panjang total adalah jarak antara ujung terminal mulut hingga ujung sirip ekor. Panjang total dihitung dengan cara mengambil lima ekor ikan setiap perlakuan yang selanjutnya diukur panjang total di atas kertas melimeter blok.

2.10 Kelangsungan hidup larva

(44)

SR = Nt / N0 x 100 %

SR : Kelangsungan hidup (%)

Nt : Jumlah larva yang hidup pada akhir pemeliharaan (ekor) N0 : Jumlah larva yang ditebar (ekor)

2.11 Histologi hati

Proses pembuatan preparat histologi diawali dengan fiksasi menggunakan larutan Bouin‟s. Setelah itu hati direndam dalam larutan fiksasi, lalu dilalanjutkan dengan dehidrasi yaitu proses pengeluaran air dari dalam jaringan dengan menggunakan etanol, clearing yaitu proses pembersihan etanol dari dalam jaringan dan digantikan dengan xylol. Proses selanjutnya yaitu embedding, yaitu proses penyusupan parafin ke dalam jaringan. Setelah itu hati ikan dimasukkan ke dalam cetakan kertas, dan diisi dengan parafin (blocking).

Setelah blok parafin beku, maka dilakukan pemotongan blok dengan mikrotom dengan ketebalan potongan 5-10 µ m secara membujur, kemudian jaringan yang telah dipotong ditempatkan di permukaan air 40 oC di dalam water bath, selajutnya ditempatkan pada kaca objek dan biarkan mengering. Tahap terakhir adalah pewarnaan menggunakan pewarna hematatoxylin eosin serta meneteskan entelen atau canada balsam lalu ditutup dengan gelas penutup.

2.12 Tingkah laku ikan

(45)

2.12 Analisis statistik

(46)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

3.1.1 Perkembangan larva ikan

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan penurunan volume kuning telur larva (Gambar 2, dan Lampiran 5), dan peningkatan laju penyerapan kuning telur setiap jamnya (Gambar 3, dan Lampiran 6). Pada jam ke-4 volume kuning telur tidak berbeda nyata pada setiap perlakuan (p>0,05), sedangkan pada jam ke-0, jam ke-8, jam ke-12, jam ke-16, dan jam ke-20 volume kuning telur berbeda nyata antar perlakuan (p<0,05).

Gambar 2. Volume kuning telur larva ikan patin pada setiap perlakuan selama pemeliharaan.

Pada jam ke-0 perlakuan GT berbeda nyata terhadap perlakuan lainnya (p<0,05), sedangkan perlakuan G dan perlakuan T tidak berbeda nyata (p>0,05). Pada jam ke-8 dan jam ke-12 perlakuan T, dan perlakuan GT tidak berbeda nyata (p>0,05), tetapi berbeda nyata terhadap perlakuan K dan perlakuan G (p<0,05), sedangkan pada jam ke-16 dan jam ke-20 perlakuan T berbeda nyata terhadap perlakuan lainnya (p<0,05), tetapi pada perlakuan GT dan G tidak berbeda nyata satu sama lain (p>0,05). Begitu juga pada perlakuan G dan perlakuan K tidak berbeda nyata satu sama lainnya (p>0,05).

Waktu (jam ke-)

(47)

0

Gambar 3. Laju penyerapan kuning telur larva ikan patin pada setiap perlakuan selama pemeliharaan.

Seperti ditunjukkan pada Gambar 2 dan Lampiran 7, bahwa perlakuan perendaman hormon tiroksin memiliki laju penyerapan kuning telur lebih cepat dibandingkan perlakuan lainnya. Laju penyerapan kuning telur tidak dipengaruhi oleh perlakuan hormon berbeda pada jam ke-4, jam ke-12, dan jam ke-20, sedangkan pada jam ke-8 dan jam ke-16 dipengaruhi oleh perlakuan hormon tirokain (p<0,05).

3.1.2 Pertumbuhan ikan

Hasil pengukuran panjang total larva ikan patin yang dipelihara selama 12 hari untuk masing-masing perlakuan disajikan pada Gambar 3 dan Lampiran 7. Panjang larva yang diberi perlakuan perendaman hormon tiroksin, lebih panjang dibandingkan perlakuan lainnya. Panjang total larva ikan patin pada hari ke-0 dan 3 pada semua perlakuan tidak berbeda nyata (p>0,05), sedangkan pada hari ke-6, ke-9, dan ke-12 semua perlakuan panjang total ikan patin berbeda nyata (p<0,05). Pada hari ke-6 dan ke-12 perlakuan kontrol berbeda nyata dengan perlakuan T yaitu 23,09% dan 14,41%, GT yaitu 20,0% dan 10,55%, dan perlakuan G yaitu 15,08% dan 6,77% (p<0,05), tetapi pada hari ke-9 perlakuan G dan GT tidak berbeda nyata terhadap perlakuan tiroksin (p>0,05). Pada hari ke-12

Waktu (jam ke-)

(48)

0,00 perlakuan kontrol dan G tidak berbeda nyata (p>0,05), sedangkan perlakuan tiroksin dan GT berbeda nyata (p<0,05), tetapi perlakuan G dan GT berbeda nyata (p<0,05) dan perlakuan GT dan tiroksin berbeda nyata (p<0,05).

Gambar 4. Rerata panjang total (mm) larva ikan patin pada setiap perlakuan pada saat pengamatan.

Gambar 5. Panjang total (mm) ikan patin Siam pada setiap perlakuan saat panen umur 12 hari.

(49)

3.1.3 Tingkat kelangsungan hidup

Hasil pengamatan terhadap kelangsungan hidup larva ikan patin Siam yang dipelihara selama 12 hari memiliki rerata sebesar 79% (Gambar 6 dan Lampiran 8). Tingkat kelangsungan hidup tidak berbeda nyata antar perlakuan (p>0,05).

Gambar 6. Rerata tingkat kelangsungan hidup (%) larva ikan patin yang tidak direndam (K), dan direndam hormon tiroksin (T), hormon

pertumbuhan rekombinan (G), dan tiroksin dan hormon pertumbuhan rekombinan (G).

3.1.4 Histologi hati

Hasil histologi hati larva ikan patin pada hari ke-15 disajikan pada Gambar 7. Histologi hati diambil pada umur hari ke-15 pemeliharaan serta diamati dengan mikroskop Olympus BH2-RFCA perbesaran 400x, diambil menggunakan kamera digital Sony W210 dengan 2,4x zoom. Pada perlakuan hormon tiroksin ukuran jaringan sel dan sitoplasma masih kecil, pada perlakuan hormon tiroksin ukuran jaringan sel dan sitoplasma telah sangat besar (Gambar 7b), pada perlakuan hormon gabungan ukuran jaringan sel dan sitoplasma besar (Gambar 7c), dan pada perlakuan GH ukuran jaringan sel dan sitoplasma berukuran besar

Perlakuan

a a a

(50)

(Gambar 7d), sedangkan perlakuan kontrol ukuran jaringan sel dan sitoplasma berukuran kecil (Gambar 7a).

Gambar 7. Histologi hati ikan kontrol yang tidak direndam hormon (a), direndam dengan tiroksin (b), GT (c), dan hormon pertumbuhan rekombinan (d). Tanda panah pada gambar menunjukkan ukuran jaringan sel ( ) dan sitoplasma ( ).

3.2 Pembahasan

3.2.1 Perkembangan ikan

Volume kuning telur berbeda nyata pada beberapa perlakuan (Gambar 2). Pada dasarnya, perlakuan perendaman hormon tiroksin dapat menurunkan volume kuning telur dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini dikarenakan hormon tiroksin dapat memacu perkembangan proses pembentukan organ pada larva ikan sehingga volume kuning telur lebih banyak terserap. Hal ini didukung oleh Lam dan Reddy (1992) bahwa pemberian tiroksin dapat mempercepat proses diferensiasi, dan pertumbuhan pada ikan mas koki, serta memacu pembentukan jari-jari sirip dorsal dan anal.

Volume telur larva ikan patin yang diberi perlakuan hormon tiroksin dan hormon rGH dapat menurun dengan cepat, akan tetapi pada perlakuan

a b

c d

20 µm 20 µm

(51)

perendaman menggunakan rGH volume kuning telur tidak cepat menurun dan belum bekerja . Hal ini juga didukung oleh volume pada perlakuan hormon rGH yang tidak terlalu cepat menurun. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan hormon ini tidak bekerja antara lain, hormon ElrGH yang diberikan ke larva ikan patin tidak kompatibel, dosis yang diberikan tidak optimum, serta waktu perendaman yang tidak optimum. Selain itu pada penelitian ini juga tidak dilakukan kejutan salinitas seperti pada penelitian ikan gurame, ikan betok maupun ikan sidat sehingga diduga hormon rGH tidak dapat masuk ketubuh ikan secara maksimum.

Laju penyerapan kuning telur tertinggi yaitu 96,98% didapatkan pada perlakuan perendaman hormon tiroksin. Pada jam ke-16 hampir semua larva yang diamati kuning telurnya telah terserap, dan pada jam ke-20 semua larva yang diamati telah habis kuning telurnya. Dengan demikian, hormon tiroksin 0,1 mg/L yang diberikan pada larva ikan patin bekerja dengan optimum. Norfirdaus (1997) menyatakan bahwa pembentukan bintik mata, gelembung renang, dan pigmentasi lebih cepat terjadi pada larva ikan betutu yang diberi hormon tiroksin konsentrasi 0,1 ppm. Perlakuan gabungan antara hormon tiroksin dan rGH tidak begitu meningkatkan laju penyerapan kuning telur tetapi pertumbuhan pada perlakuan ini sangat cepat sehingga pemanfaatan kuning telurnya lebih efisien dibandingkan perlakuan tiroksin. Hal ini diduga karena volume kuning telur pada perlakuan tersebut tidak cepat habis sehingga laju penyerapan kuning juga tidak cepat.

3.2.2 Pertumbuhan ikan

(52)

tiroksin dapat meningkatkan metabolime tubuh. Dengan peningkatan metabolisme tubuh, dapat menyebabkan larva ikan patin yang direndam dengan hormon tiroksin memiliki tingkat pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya.

Perlakuan perendaman gabungan hormon tiroksin dan rGH memiliki pertumbuhan panjang total sebesar 24 mm pada saat hari ke-12. Pertumbuhan hormon gabungan ini diduga hanya hormon tiroksin yang bekerja, sedangkan hormon rGH belum bekerja secara optimum. Hal ini didukung dengan tidak telalu maksimum hasil perlakuan dengan hormon rGH. Meskipun perlakuan hormon gabungan bukan pertumbuhan terbaik tetapi hormon gabungan lebih efesien dibandingkan hormon tiroksin. Hal ini dikarenakan pada jam ke-16 kuning telur perlakuan tiroksin telah terserap 96,97%/jam dengan panjang total pada hari ke-3 sebasar 7,88±0,56 mm sedangkan pada perlakuan hormon gabungan kuning telur yang terserap hanya 20,596%/jam dengan panjang total pada hari ke-3 sebesar 7,72±0,61 mm. Dengan demikian bahwa hormon gabungan dapat meningkatkan panjang total dengan tidak mempercepat laju penyerapan kuning telur.

(53)

3.2.3 Tingkat kelangsungan hidup

Rerata tingkat kelangsungan hidup larva ikan patin pada penelitian ini sebesar 79%. Perlakuan dengan perendaman hormon tiroksin memiliki tingkat kelangsungan hidup paling tinggi. Hal ini dikarenakan, adanya penyerapan kuning telur yang optimum, sehingga dapat menyebabkan perkembangan pada organ tubuh ikan berjalan dengan baik. Selain itu, diperkuat dengan pertumbuhan larva ikan patin yang cepat. Hasil penelitian Lam (1980) pada ikan mujair menggunakan hormon tiroksin dengan kadar 0,1 ppm diperoleh tingkat kelangsungan hidup lebih baik dibandingkan kontrol.

Perlakuan perendaman hormon gabungan hormon tiroksin dan hormon rGH memiliki tingkat kelangsungan hidup paling rendah. Rendahnya tingkat kelangsungan hidup dimungkinkan karena larva ikan stres akibat perendaman hormon secara bersamaan.

3.2.4 Histologi hati

Hati merupakan organ yang memiliki peran penting dalam mahluk hidup. Berdasarkan hasil histologi hati larva ikan didapat pada perlakuan kontrol, perlakuan hormon tiroksin dan rGH, serta perlakuan hormon rGH didapat ukuran jaringan sel hati dan ukuran sitoplasma masih kecil. Ukuran jaringan sel dan sitoplasma masih kecil dikarenakan pertumbuhan pada larva ikan tidak cepat. Perlakuan tiroksin memiliki ukuran jaringan sel hati dan ukuran sitoplasma sangat besar (Gambar 7b). Besarnya ukuran sel dan sitoplasma ini diakibatkan oleh hormon tiroksin yang harus dikonversi menjadi triiodotironin atau beberapa bentuk lainnya. Djojosoebagio (1996) menyatakan bahwa proses konversi ini berlangsung di hati dan ginjal dengan bantuan enzim T4-5‟-deiodinase yang dihasilkan oleh mikrosoma.

(54)

sitoplasma berbutir keruh mungkin disebabkan oleh pengendapan protein yang disebut sebagai degenerasi albumin.

3.2.5 Analisis biaya

(55)

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Perendaman hormon (hormon tiroksin, kombinasi hormon tiroksin dan hormon pertumbuhan, dan hormon pertumbuhan) dapat meningkatkan perkembangan dan pertumbuhan larva ikan patin Siam. Perendaman dengan kombinasi hormon tiroksin 0,1 mg/L dan hormon pertumbuhan rekombinan 10 mg/L secara bersamaan memiliki pertumbuhan yang tinggi (24 mm) yang dicapai selama 12 hari, dengan efisiensi penyerapan laju kuning telur yang tinggi (80%). Kelangsungan hidup larva sama pada semua perlakuan.

4.2 Saran

(56)

DAFTAR PUSTAKA

Acosta, J.R., Morales, R., Morales, A., Alonso, M., Estrada, M.P. 2007. Pichia pastoris expressing recombinant tilapia growth hormone accelerates the growth of tilapia. Biotechnol Lett 29: 1671-1676.

Affandi, R. 2002. Fisiologi hewan air. Unri press. Riau. Hal; 213.

Alimuddin, Lesmana I, Sudrajat A.O, Carman O, Faizal I. 2010. Production and bioactivity potential of three recombinant growth hormones of farmed fish. Indonesian Aquaculture Journal 5(1): 11-17.

Aminah. 2012. Aplikasi protein rekombinan hormon pertumbuhan ikan kerapu kertang (rElHP) pada ikan sidat stadia eel dengan dosis berbeda melalui metode perendaman (belum dipublikasikan).

BBPBAT Sukabumi. 2012. Harga ikan patin. http://bbat-sukabumi.tripod.com/ikan.html. [11 April 2012].

Bjornsson B.T, Ogasawara T, Hirano T, Bolton J.P, Bern H.A. 1988. Elevated growth hormone levels in stunted Atlantic salmon, Salmo salar. Aquaculture73: 275-281.

Crab R, Avnimelech Y, Defoirdt T, Bossier P, Verstraete W. 2007. Nitrogen removal techniques in aquaculture for a sustainable production. Aquaculture 270: 1–14.

Daneyanti R. 2001. Pengaruh lama perendaman di dalam larutan hormon tiroksin terhadap kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan larva kerapu tikus. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 43 hal.

Djojosaebagio S. 1990. Fisiologis kelenjar endokrin. Volume 1. Pusat Antar Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hal;137.

Effendie M. 1979. Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. Hal 106. Fabridge K.J, Flett P.A, Leatherland J.F. 1992. Temporal effects of restricted diet

and compensatory increased dietary intake on thyroid function, plasma growth hormone levels and tissue lipid reserves in rainbow trout, Oncorhynchus mykiss. Aquaculture, 104, 157-174.

(57)

Himawan S. 1990. Patalogi. Bagian Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Cetak Ulang. Unversitas Indonesia. 44p.

KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan). 2008. Produktivitas budidaya ikan di Indonesia. www.dkp.go.id[5 Februari 201].

__________________________________. 2010. Sembilan Komoditas Unggulan. www.dkp.go.id [7 Oktober 2011].

Lam T.J. 1980. Throxine enhances larval development and survival in Sarotherodon (Tilapia) mossambicus Rppel. Aquaculture 44: 201-212. ________. 1985. Effect of salinity and throxine on larval survival, growth and

develompment in the carp, Cyprinus carpio. Aquaculture, 44: 201-212. ________, Reddy, P.K. 1992. Effect of tyroid hormone on morphogenesis and

growth of larvae and fry of telescopic-eye black goldfish, Carassius auratus. Aquaculture, 107: 384-394.

Lesmana I. 2010. Produksi dan bioaktivitas protein rekombinan hormon pertumbuhan dari tiga jenis ikan budidaya. [Tesis]. Depertemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Nacario J. 1983. The effect of thyroxcine on the larvae and fry of Sarotheradon

niloticus L. Aquaculture 34:73-83.

Nordgarden U, Hansen G.I, Sundby A, Bjornsson, B.T. 2005. Endocrine growth regulation of adult atlantic salmon in seawater. The effects of light regime on plasma growth hormone, insuline-like growth factor-I, and insulin levels. Aquacultur 250:860-871.

Norfirdaus A. 1997. Pengaruh perendaman di dalam larutan hormon tiroksin terhadap perkembangan dan kelangsungan hidup larva ikan betutu (Oxyeleotris mamorata). [Skripsi]. Fakulktas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.

Putra H.G.P. 2011. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan gurame yang diberi protein rekombinan GH melalui perendaman dengan dosis berbeda. [Skripsi]. Departemen Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

(58)

Takahashi A, Ogasawara T, Kawauchi H, Hirano T. 1991. Effects of stress and fasting on plasma growth hormone levels in the immature rainbow trout. Nipp Suis Gakk57: 231-235.

(59)
(60)

Lampiran 1. Rancangan perlakuan

Lampiran 2. Persiapan wadah

Ket :

Batu aerasi

Thermostat

Aerator

Infus selang

A

(61)

Lampiran 4. Perlakuan/perendaman hormon

Ket :

Larva ikan patin umur 0 hari

Wadah perlakuan (toples)

(62)

Lampiran 5. Volume kuning telur (mm)

0,462±0,037a 0,251±0,017a 0,137±0,0127a 0,048±0,005a 0,025±0,0103a 0,003±0,003a

T

0,401±0,057ab 0,253±0,045a 0,081±0,019b 0,028±0,007b 0,001±0,031c 0,000±0,000b

GT

0,391±0,033b 0,225±0,022a 0,088±0,033b 0,031±0,011b 0,013±0,004b 0,000±0,000ab

G

0,396±0,009 ab 0,211±0,011a 0,149±0,016a 0,056±0,005a 0,015±0,003ab 0,001±0,006ab

Ket :

K : Kontrol

T : Perendaman hormon tiroksin GT : Perendaman hormon tiroksin + GH G : Perendaman hormon pertumbuhan (GH)

- Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda nyata (P<0,05).

(63)

Lampiran 6. Laju Penyerapan kuning telur (%/jam)

Rata-rata±SD 15,24±2,29a 15,18±2,51a 26,08±0,614a 18,54±10,43a 65,36±33,61a

T

Rata-rata±SD 11,69±2,58a 28,81±7,73b 26,56±0,87a 96,98±4,44b 100,00±0,00b

GT

Rata-rata±SD 13,84±3,16a 24,72±9,42a 25,79±0,69a 20,59±10,99a 92,22±7,95a

G

T : Perendaman hormon tiroksin GT : Perendaman hormon tiroksin + GH G : Perendaman hormon pertumbuhan (GH)

- Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda nyata (P<0,05).

(64)

Lampiran 7. Pertumbuhan panjang total (mm)

Rata-rata±SD 5,49±0,48 6,97±0,99a 10,74±1,09a 18,28±1,07a 21,71±0,812a

T

Rata-rata±SD 5,49±0,48 7,88±0,56a 13,22±0,36b 20,43±0,53b 24,84±1,21c

GT

Rata-rata±SD 5,49±0,48 7,72±0,61a 12,91±0,74b 19,41±1,03ab 24,00±0,44 bc

G

Rata-rata±SD 5,49±0,48 7,28±0,37a 12,36±0,43b 19,28±0,60ab 23,18±1,42ab

Ket :

K : Kontrol

T : Perendaman hormon tiroksin GT : Perendaman hormon tiroksin + GH G : Perendaman hormon pertumbuhan (GH)

- Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda nyata (P<0,05).

(65)

Lampiran 8. Tingkat kelangsungan hidup (%)

T : Perendaman hormon tiroksin GT : Perendaman hormon tiroksin + GH G : Perendaman hormon pertumbuhan (GH)

- Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda nyata (P<0,05).

(66)

Lampiran 9. Pertumbuhan panjang total panen

Lampiran 10. Wadah perlakuan

Lampiran 11. Wadah penetasan Artemia kontrol

Perendaman hormon tiroksin

(67)

Lampiran 12. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dan Uji Turkey laju penyerapan Within Groups 6550,852 16 409,428

(68)

Gambar

Gambar 1. Mekanisme kerja perendaman hormon pertumbuhan.
Gambar 2. Volume kuning telur larva ikan patin pada setiap perlakuan selama
Gambar 3.  Laju penyerapan kuning telur larva ikan patin pada setiap perlakuan
Gambar 4.  Rerata panjang total (mm) larva ikan patin pada setiap perlakuan pada
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan antara produktivitas primer dengan intensitas cahaya pada tiap kedalaman, dapat dikatakan pada lapisan permukaan 0 – 50 cm produktivitas primer adalah kecil 124,33 –

Implementasi sistem senayan untuk menggantikan sistem RBTC dan DIGILIB dengan cara migrasi data, migrasi proses bisnis dan penambahan modul dapat dilakukan dengan

 Diskusi kelompok (4-6 orang) tentang: ‘“Hal-hal yang diamati dalam pembelajaran yang PAKEM” ditinjau dari beberapa hal, antara lain: kegiatan anak dan bentuk

Terkait dengan SK pemberian hak atas tanah yang diterbitkan oleh Kantah Kabupaten Mamasa tanpa mengimplementasikan Pasal 7 PP PPh yang mewajibkan adanya lampiran

Saya tidak meminta bantuan teman dalam mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru PAI2. Saya segera mengerjakan tugas yang diberikan oleh

Fisher’s Eact Test hubungan antara Pengetahuan HIV-AIDS dengan upaya pencegahan diperoleh nilai P Value: 0.005 &gt; 0,001 maka dapat disimpulkan ada hubungan yang

Palestin (2006) mengemukakan salah satu dari berbagai faktor yang mempengaruhi sikap dan tindakan yang berkaitan dengan kesehatan adalah hal – hal yang berkaitan dengan

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah IAA dapat dihasilkan oleh isolat-isolat jamur yang terdapat di Laboratorium Mikrobiologi dan juga bisa digunakan