• Tidak ada hasil yang ditemukan

GENTA HREDAYA Volume 5 No 2 Oktober 2021 P ISSN E ISSN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "GENTA HREDAYA Volume 5 No 2 Oktober 2021 P ISSN E ISSN"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Krishna & Yogiswari

173

Relevansi Konsep Penciptaan Alam Semesta Lontar Bhuwana Sangksepa dan Pemahaman Kosmos Masyarakat Bali

Oleh:

Ida Bagus Wika Krishna

Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja Email: wikakrishna@gmail.com

Krisna S. Yogiswari

Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja Email: yogiswarikrisna@gmail.com

ABSTRACT

Local wisdom is a local idea or view that is wise, full of wisdom, is of a good nature which is embedded and followed by members of the community. This view is closely related to the nature of traditional institutions, strict contextuality as well as universal. Lontar Bhuwana Sangksepa as a form of traditional literature that contains a lot of local wisdom, especially about the process of creating the universe. This study uses a qualitative approach with the hermeneutic method. This study found that the cosmological values contained in Lontar Bhuwana have an influence on the daily life of the Balinese people, this can be seen from the determination of space in the Balinese residential pattern and the calculation of the implementation and form of ritual facilities performed by the Balinese people are strongly influenced by the understanding of the cosmos. developing in society. This study also finds that there is a relevance of the concept of cosmology in Lontar Bhuwana Sangksepa to the understanding of the Balinese cosmos.

Keywords: Cosmology, Balinese Society, Lontar Bhuwana Sangksepa

I. PENDAHULUAN

Salah satu pemahaman Hindu mengenai alam semesta ini yaitu alam semesta memiliki sebuah kesadaran. Alam semesta ini bukanlah semata-mata benda mati yang tidak memiliki kesadaran, melainkan alam semesta ini hidup sebagaimana halnya mahluk hidup. Oleh karena itu, manusia sebagai mahluk hidup yang berkuasa terhadap alam semesta raya ini tidak dapat memperlakukan alam sekehendak hati, karena alam sama seperti mahluk hidup, perlu makan, minum, perawatan, dan tentunya kasih sayang.

Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat dikatakan bahwa alam semesta ini memiliki kesadaran. Kesadaran itulah yang disebut sebagai kesadaran kosmis. Kesadaran ini yang tidak dapat dijangkau oleh ilmuwan barat yang hanya berkutat pada data dan

hasil laboratorium tersebut. selain itu, ilmuwan Barat hanya menjabarkan proses penciptaan alam semesta ini bersifat siklik.

Namun, lain halnya bagi Hindu yang memaparkan bahwa alam semesta ini mengalami proses yang siklik.

Pandangan kosmologi Hindu mengenai asal mula alam semesta ini adalah bertumpu kepada keberadaan Tuhan. Tuhan yang dijadikan sebagai penyebab adanya alam semesta ini. Salah satu lontar yang menggambarkan pemahaman tentang kosmologi Hindu atau penciptaan dunia adalah lontar Bhuwana Sangkșépa. Lontar Bhuwana Sangkșépa ini bersifat siwaistis yang mana Siwa memiliki kedudukan tertinggi dan Siwa yang menciptakan dunia ini. Terdapat keunikan yang dijumpai oleh peneliti di dalam teks ini, yang mana teks ini membahas

GENTA HREDAYA

Volume 5 No 2 Oktober 2021 P ISSN 2598-6848 E ISSN 2722-1415

(2)

Krishna & Yogiswari

174

mengenai penciptaan alam semesta berdasarkan kepada pemahaman Hindu di Bali. Lontar ini berisikan konsep kosmologi yang sangat unik untuk dikaji. Keunikan kosmologi yang diceritakan di dalamnya lebih merujuk pada pemahaman kosmologi Hindu di Bali, yang mana lebih menggunakan istilah-istilah dalam kehidupan beragama di Bali.

Teks ini merupakan sebuah teks yang unik karena menggunakan Bahasa Sansekerta dalam penjabarannya dan diterjemahkan kedalam bahasa jawa kuna serta Indonesia. Peneliti belum pernah menemukan lontar yang menggunakan bahasa sansekerta dan diterjemahkan kembali kedalam bahasa Jawa Kuno sebelumnya. Selain itu, teks ini secara jelas menjelaskan mengenai proses penciptaan alam semesta maupun peleburannya.

Penjelasan tentang alam semesta di dalam teks ini dijabarkan sesuai dengan pemahaman masyarakat Bali yang mana, dalam penciptaan alam semesta pengawi menjabarkan bahwa alam ini tercipta melalui aksara suci. Begitupun dengan peleburan alam semesta, yang mana alam semesta secara bertahap hilang perlahan.

Lontar Bhuwana Sangkșépa merupakan salah satu lontar penting yang memuat ajaran tentang Siwatattwa. Di dalam dialog itu dijelaskan mengenai hakikat hubungan Bhuwana Agung (makrokosmos) dengan Bhuwana Alit (mikrokosmos) beserta dengan dewa- dewanya. Pemahaman kosmologi Hindu yang diungkapkan di dalam teks ini, menjabarkan secara singkat namun jelas tentang alam semesta ini. Terdapat kemiripan dalam isi dari teks ini dengan teks teks import (teks india). Berdasarkan kemiripan tersebut penulis ingin mengkaji lebih dalam tentang teks ini.

METODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif bidang filsafat, dengan konsep kosmologi dalam Lontar Bhuwana Sangksepa dan pemahaman kosmos masyarakat Bali sebagai objek

material. Jenis penelitian yang akan dilakukan merupakan penelitian kualitatif dengan design penelitian terfokus pada library research. Dalam penelitian ini cara pengumpulan data yang utama adalah dengan meneliti pustaka berupa teks Bhuwana Sangkșépa. Pada penelitian kualitatif, peneliti sendiri merupakan alat utama dalam pengumpulan data (Nasution, 2002:9). Instrumen pendukung yang diperlukan dalam pengumpulan data adalah kertas dan alat tulis. Untuk menyusun rancangan studi, draf hasil penelitian dan laporan penelitian dibutuhkan seperangkat komputer atau laptop. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan (dengan kajian pada sumber utama), dokumen (dengan kajian dari teks pendukung), dan wawancara. Teknik penentuan informan digunakan dalam penelitian ini untuk menggali lebih dalam pemahaman masyarakat di Bali tentang pemahaman kosmos dan untuk memahami secara mendalam tentang istilah dalam teks Bhuwana Sangkșépa ini. Data yang telah dikumpulkan kemudian direduksi untuk menentukan data yang sesuai untuk dianalisis menggunakan metode hermeneutika, sesuai dengan tahapan hermeneutika sehingga hasil analisis data diharapkan merupakan data yang benar- benar objektif. Hasil analisis kritis terhadap data kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif-naratif.

II. PEMBAHASAN

2.1 Konsep Penciptaan Alam Semesta Lontar Bhuwana Sangksepa

Alam semesta tidaklah ada begitu saja, tentunya mengalami suatu proses yang panjang sehingga dunia ini tercipta. Sama halnya seperti seekor laba-laba yang membangun rumahnya. Secara perlahan- lahan dan mengalami suatu proses yang bertahap. Laba-laba merangkai jaring demi jaring untuk menciptakan rumahnya sehingga ia merasa nyaman untuk menempati rumahnya. Pengetahuan tentang alam semesta ini merupakan sebuah

(3)

Krishna & Yogiswari

175

pengetahuan yang tidak akan ada habisnya untuk dibahas. Pencarian awal penciptaan alam semesta inipun terus berlanjut seakan- akan menjadi suatu rahasia yang perlu diungkapkan. Di dalamVeda menjelaskan bahwa alam semesta ini diciptakan melalui suatu perkembangan. Tahapan awal penciptaan alam semesta dijelaskan pula di dalam beberapa teks seperti Rgveda, Upanishad maupun karya sastra tradisional lainnya, lontar.

Di dalam sloka teks Bhuwana Sangkșépa dijelaskan mengenai awal dari penciptaan dunia ini yang disampaikan melalui sebuah dialog yaitu:

Etvam putra māhapŗsnam, Sarva sandeha nasanam, Janmetva iśa tattvañca, vakșyāmi śŗnu te vidhih.

(Bhuwana Sangkșépa, sloka 3)

Ika takwanta kamung Kumara tan pahingan mūlanya, tan papadha preśnanta ring kadi kami, haywa śangsaya warahangkwi kitānaku, prayatna ta kita ruměngwa wuwus mami, mwang kita Bhațāri.

Terjemahannya:

Kamu kumara! Pertanyaanmu itu mulia benar, tiada bandingannya bagiku.

Janganlah khawatir. Akan kuajarkan hal itu kepadamu anakku. Hendaknya engkau bersungguh-sungguh mendengarkan kata- kataku. Demikian pula engkau Bhațāri.

(Kantor Dokumentasi, 1995:25)

Pertanyaan ini berawal karena kurangnya pengetahuan Bhatari Uma mengenai pengetahuan yoga sebagai salah satu jalan mencapai kalepasan yang dijelaskan dalam sloka pertama dan kedua.

Pada sloka ini Bhatari Uma memulai pertanyaannya yang mana Bhatari Uma ingin mengetahui mengenai asal mula penjelmaan Tuhan (Bhatara Iswara). Oleh karena itu pada sloka ini dijawablah oleh Bhatara Iswara yang mana Bhatara Iswara akan menjelaskan mengenai hakikat dari asal mula dunia ini kepada Kumara.

Proses penciptaan dalam Lontar Bhuwana Sangksepa secara ringkas dapat ditunjukkan dalam bagan penciptaan alam semesta di bawah ini, dapat dilihat bahwa dunia ini mengalami evolusi yang terjadi secara dinamis. Proses penciptaan yang bertahap itu dapat digambarkan menjadi suatu bagan penciptaan. Bagan penciptaan itu dapat digambarkan menjadi :

Bagan Penciptaan Alam Semesta dalam Lontar Bhuwana Sangkșépa

Sumber: Konstruksi Peneliti

Proses penciptaan alam semesta dalam teks Bhuwana Sangkșépa bahwa alam semesta ini mengalami perubahan yang dinamis. Berdasarkan pada bagan diatas, proses dari penciptaan alam semesta ini secara jelas digambarkan bahwa; 1).

Pada awalnya alam semesta ini bersifat sunya/hampa/niskala; 2). Lahirlah matra yang merupakan kausa prima yang menyebabkan pembentukan alam semesta;

3). Kemudian kausa prima ini melahirkan Nādānta yang merupakan sabda halus dalam penciptaan alam semesta; 4).

Munculah nāda yan merupakan sabda suci yang berada di dalam alam semesta pada saat itu; 5). Setelah itu, munculah Windu yang merupakan sebuah tanda-tanda yang menandakan keberadaan Siwa di dalam alam semesta; 6).Ardhacandra merupakan peruwujudan bulan setengah, apabila dianalogikan merupakan salah satu atribut

NISKAL A/

SUNYA

MATR A

NĀDĀ

NTA NĀDA WINDU

ARDHAC ANDRA WIŚW

A TRYAK

SARA PAÑCABR

AHMA

SWARA DAN WYAÑJANA

PAÑCĀ KSARA

SARWĀK SARA

(4)

Krishna & Yogiswari

176

yang digunakan oleh Siwa yang terletak di bagian kepala beliau. Pada saat nada, windu maupun ardhacandra ini meurpakan penyebab dari keberadaan dunia yang disebut sebagai Tri Antah Karana; 7).

lahirlah Wiswa yang meurpakan keseluruhan unsur universal; 8).Tryaksara digambarkan sebagai unsur pembentuk berupa tiga mantra yatu Ang, Ung, Mang ketiga mantra ini merupakan perwujudan dari Tri Murti beserta denga sifatnya yaitu Tri Guna.; 9). Setelah itu, lahirlah Pancabrahma yang merupakan Panca dewata maupun Pancanana yang merupakan lima perwujudan dari Siwa Murti, Panca Brahma ini terdiri dari lima mantra suci yaitu Sa, Ba, Ta, A, dan I. pada akhirnya Panca Brahma inilah yang pada akhirnya menciptakan Panca Tan Matra. ; 10). Pañcāksara merupakan lima mantra suci yang terdiri dari Na, Ma, Si, Wa, dan Ya. Kelima mantra ini merupakan unsur dalam pembentukan manusia, yang disebut dengan Panca Maha Bhuta; 11). Setelah itu, Panca Brahma dan Panca Aksara ini kemudian menjadi satu yang pada akhirnya menghasilkan Dasa Aksara yang merupakan awal dari pembentukan Dasendrya. 12). Sarwaksara merupakan keseluruhan mantra yang ada di dunia ini;

13). Pada akhirnya munculah Swara dan Wyanjana yang merupakan cara seseorang dalam melafalkan manra-mantra suci.

Seperti itulah penciptaan alam semesta berdasarkan Bhuwana Sangksepa.

2.2 Konsep Penciptaan Alam Semesta Lontar Bhuwana Sangksepa dan Pemahaman Kosmos Masyarakat Bali

Teks Bhuwana Sangkșepa menjelaskan tentang asal mula dari keberadaan dunia ini (kosmologi), yang mana juga menjelaskan tentang hakikat kehidupan. Yang mana dijelaskan bahwa kehidupan di dunia ini adalah untuk sementara dan tidak kekal adanya.

Pemahaman bahwa kehidupan ini tidak kekal pun dimiliki oleh masyarakat Hindu, sehingga tercetusnya konsep reinkarnasi di

Hindu. Selain itu, di dalam teks menjelaskan pula bahwa terdapat suatu jalan untuk mencapai kebebasan yang tertinggi yang mana di dalam teks disebutkan sebagai Nirbhana. Namun, dalam pengimplementasiannya di masyarakat pemahaman tersebut dikenal sebagai Moksha.

Pengetahuan yang sedemikian hingga tersebut dijelaskan oleh I Gede Suwantana (Wawancara: 23 Februari 2021) bahwa lontar Bhuwana Sangkșepa mendapat pengaruh besar dari kitab import seperti purana, itihasa dan beberapa kitab agama, namun dengan kecerdasan pengawi jaman dahulu beliau mengkontekskan ajaran tersebut kedalam pengetahuan lokal.

Pengetahuan yang terdapat di dalam lontar telah Bhuwana Sangkșepa telah memberikan kontribusi secara langsung kepada masyarakat Hindu khususnya dalam kehidupan masyarakat di Bali. Namun, pengetahuan tersebut tidak secara serta merta dipahami oleh masyarakat di Bali.

Pengetahuan masyarakat Bali tentang Tattwa ataupun hakikat keberadaan dunia ini memerlukan panduan dari seorang guru.

Di dalam Hindu Bali pengetahuan tentang kosmologi dan tentang Tuhan hanyalah dimiliki oleh kaum Brahmana saja, dan yang menuliskan tentang teks-teks di Bali ini adalah seorang Brahmana pula.

Terdapat 3 tahapan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat Bali. ketiga pemahaman tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Struktur Pemahaman Tattwa di Bali

Sumber: Dok. Yogiswari, Wawancara Suyoga, 2021

Orang Suci Orang Intelektual

Orang Awam

(5)

Krishna & Yogiswari

177

Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan bahwa Orang suci memiliki peranan tertinggi dalam menuliskan setiap pengetahuan tentang kosmologi. Oleh karena pengetahuannya yang telah melebihi siapapun dan penetahuan tentang Tuhan dapat dikuasai secara benar. Mengapa demikian? Karena pada dasarnya setiap orang suci tentunya melakukan suatu penglihatan mengenai Tuhan termasuk alam semesta ini secara mendalam.

Sehingga untuk menelisik secara mendalam, orang suci melakukan suatu perenungan maupun pencarian kebenaran tersebut.

Perenungan filosofis yang dilakukan oleh para orang suci tersebut menghasilkan suatu pengetahuan yang luar biasa hebatnya. Salah satu Darsana yang memiliki kemiripan dengan perenungan tersebut disebut dengan Samkhya. Dalam proses pencarian kebenaran di dalam samkhya dijelaskan bahwa terdapat tiga sistem atau cara untuk mengetahui kebenaran. Samkhya mempergunakan 3 sistem cara mencari pengetahuan kebenaran Pratyaksa (pengamatan langusng), Anumana (penyimpulan) dan Apta Vakya (penegasan yang benar). Kata

“apta”, artinya “pantas” atau “benar” yang ditujukan kepada wahyu-wahyu Veda atau guru-guru yan mendapatkan wahyu (Maswinara: 1999: 155).

Seperti itu pula lah yang dilakukan seorang sulinggih dalam mendapatkan pengetahuan yang benar itu. Selanjutnya, kaum intelek berusaha untuk menjadikan pengetahuan tersebut menjadi logis. Usaha melogikakan pengetahuan yang telah dirumuskan oleh orang suci tersebut merupakan upaya untuk menjadikan masyarakat menjadi paham tentang hakikat Tuhan serta awal mula keberadaan alam semesta. Selanjutnya, orang awam hanyalah sebagai pendengar setia, karena mereka kurang mengerti tentang pengetahuan tattwa tersebut. kaum intelektual dan orang sucilah yang lebih menguasai pengetahuan tersebut.

Suyoga (wawancara, 26 Februari 2021) menjelaskan tentang Gambar diatas yang mana pada umumnya pengetahuan masyarakat Bali tentang teks sangatlah minim. Pengetahuan tersebut hanyalah dimiliki oleh kamu Orang suci yang pada akhirnya pengetahuan tersebut dipermudah dan dilogikakan oleh kaum intelektual untuk mempermudah masyarakat memahami teks ini. Hingga pada akhirnya pengetahuan ini dapat sampai kedalam masyarakat di Bali.

Dibalik semua itu, kaum orang suci pun membentuk suatu konsep untuk menjaga keselarasan dari alam semesta ini.

Konsep tersebut dikenal dengan Tri Hita Karana. Konsep ini adalah konsep yang telah mendarah daging dan dipedomani oleh masyarakat Bali sebagai cara dalam menjaga alam semesta ini. Tri Hita Karana ini merupakan upaya untuk menjadikan segala yang ada di dunia ini menjadi satu kesatuan yang selaras dan harmonis.

Gunarta (wawancara, kamis 26 Februari 2021) menjelaskan bahwa Tri Hita Karana ini merupakan tiga pilar dalam kehidupan yang memegang peranan yang penting sebagai upaya dalam menciptakan keharmonisan dengan Tuhan, Sesama dan Alam sekitar. Keseimbangan kosmos dapat terjadi apabila manusia melakukan peranan mereka secara baik sebagai bagian dari kosmos ini. tanggung jawab terhadap peranan tersebut akan menjaga lingkaran kosmos berjalan sesuai dengan perputarannya.

Bagi masyarakat Bali, ketika dapat menerapkan Tri Hita Karana ini secara baik dan benar, maka peredaran kosmos ini akan baik pula. Seperti yang telah dijelaskan oleh Kadek Gunarta di atas, diperlukan peranan manusia dalam menjaga kesimbangan kosmos.

Keseimbangan tersebut merupakan kesimbangan kerja, menjaga alam dan bersyukur. Menjadi bagian dari kosmos ini merupakan suatu tanggung jawab yang besar pula untuk merawat sehingga alam semesta dapat seimbang.

(6)

Krishna & Yogiswari

178

Suyoga dan Suwantana (2014:1) menjelaskan bahwa masyarakat Bali memandang alam semesta diciptakan oleh Tuhan. Di dalam menjaga keteraturan gerak semesta, Tuhan telah meletakan dasar Hukum yang di dalam Hindu disebut sebagai Rta. Rta adalah hukum alam yang mengatur segala bentuk aktivitas alam yang kompleks dan smepurna. Masyarakat Bali memahaminya sebagai hubungan harmonis antara tiga hal yang disebut Tri Hita karana. Ketiga bagian tersebut meliputi Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan.

Parahyangan merupakan konsep keselarasan atau keharmonisan yang hendaknya diciptakan antara manusia dan Tuhan. Dalam parahyangan ini, masyarakat Bali pada umumnya mewujudkan rasa sembah Bhakti mereka dengan melakukan ritual. Ritual-ritual ini merupakan simbol perwujudan rasa syukur terhadap apa yang telah diberikan dalam kehidupan ini yang baik maupun yang buruk. Ritual inilah yang disebutkan sebagai sebuah cara untuk menjaga keharmonisan dengan Tuhan. Upaya menjaga keselarasan antara Tuhan ini dalam kosmologi merupakan perwujudan dari rasa terima kasih umatnya karena Tuhanlah yang menciptakan alam semesta.

Ritual ini dipergunakan sebagai salah satu dari pemahaman masyarakat tentang keberadaan Tuhan sebagai awal dari penciptaan. Berdasarkan wawancara kepada Sandika (Wawancara, 25 Februari 2021) menjelaskan bahwa orientasi berfikir orang Bali tentang alam semesta ini tidak berkrucut pada teks tetapi masyarakat Bali mewujudkannya kedalam ritus dan tradisi. Pemahaman tentang alam semesta di dalam teks hanya dimiliki oleh seorang pengawi saja. Terdapat kecendrungan di dalam masyarakat untuk lebih praktik (melaksanakan) tidak terlalu mencendrungkan dirinya kepada tattwa.

Segala pemahaman tentang alam semesta ini diwujudkan kedalam bentuk yang tidak verbal namun ditunjukan kedalam bentuk laku. Salah satu bentuk pemahaman orang Bali terhadap kosmologi dapat dilihat dari

segala ritus yang didasarkan hari-hari tertentu (wewaran). Yang mana wewaran merupakan pengetahuan tentang kosmologi itu sendiri. segala aktivitas yang dilakukan oleh orang Bali pada dasarnya mengandung tattwa maupun etika, meskipun mereka sendiri tidak menyadari hal tersebut.

Berdasarkan pemaparan Sandika tersebut bahwa orang Bali pada umumnya mewujudkan pemahaman tentang kosmologi mereka melalui laku atau tindakan. Tindakan tersebut merupakan ritus yang muncul di kalangan masyarakat.

Masyarakat memahami konsep tentang alam semesta ini namun mereka sangat minim pengetahuan tentang istilah yang menyatakan tentang keberadaan alam semesta ini. Disisi lain, oleh karena memahami keberadaan dunia ini disebabkan oleh Tuhan dan masyarakat bersyukur telah diberikan kehidupan di dunia ini, hal tersebutlah yang mendasari setiap orang ingin melakukan hubungan yang harmonis dengan Tuhan.

Masyarakat Bali dalam melaskanakan ritualnya, tanpa sengaja menggunakan sarana yang berwujudkan simbol-simbol. Simbol simbol tersebut merupakan simbol dari alam semesta yaitu segitiga, segiempat dan lingkaran, yaitu:

Bentuk Sarana Ritual di Bali

Sumber: Dok. Yogiswari, Wawancara Sandika, 2021

Berdasarkan gambar di atas, ketiga gambar ini merupakan perwujudan alam semesta dalam bentuk sarana. Oleh karena itulah banten yang ada di Bali ini merupakan perwujudan alam semesta.

Dimulai dari bentuk segitiga, segitiga dalam proses pembentukan alam semesta merupakan perwujudan dari Panca aksara, terdiri dari. Ang, Ung dan Mang.Panca aksara ini merupakan simbolisasi dari Tri Kona (tiga siklus), Tri Murti (trinitas), dan

(7)

Krishna & Yogiswari

179

Tri Guna (tiga sifat). Tri kona terdiri dari kelahiran, kehidupan dan kematian, TriMurti terdiri dari Brahma (Uttpeti), Wisnu (sthiti), dan Siwa (Pralina), sedangkan TriGuna terdiri Satwam, Rajas, dan Tamas. Ketiga hal ini sangat melekat dalam pengetahuan masyarakat, dalam berperilaku setiap orang hendaknya melakukan perbuatan yang sattwam (baik) tidak terlalu aktif dan tidak pasif.

Hendaknya masyarakat menyadari bahwa lahir, hidup, dan mati merupakan suatu siklus yang mana hal tersebut tidaklah dapat dicegah.

Kedua yaitu segiempat merupakan perwujudan dari panca aksara. Panca aksara ini merupakan unsur materi yang membentuk alam semesta. Terdiri dari Na, Ma, Si, Wa, dan Ya. Panca aksara dalam proses penciptaan alam semesta berkembang menjadi panca mahabhuta yang menyusun segala lapisan materi yang ada di dunia ini. kemudian, bentuk lingkaran merupakan wujud dari panca brahma. Panca Brahma terdiri dari Sa, Ba, Ta, A, dan I. Dalam pemahaman kosmis, kelima mantra ini merupakan wujud dari panca tan matra yaitu unsur terhalus yang membentuk alam semesta. Asalam proses penciptaan maupun peleburan, ketiga bentuk dengan aksaranya sangatlah diperlukan.

Dalam pelaksanakan ritus yang ada di Bali, ketiga bentuk inilah yang digunakan sebagai sarana. Berdasarkan kepada pemahaman orang Bali tentang ritual yang ada di Bali, dapat disebutkan bahwa orang Bali memahami tentang isi dari alam semesta ini namun, tidak mengetahui istilah-istilah Barat ini.

Disamping pemahaman kosmos pun sudah dilaksanakan di Bali. hal tersebut dapat dilihat pada saat melakukan persembahyangan, sebagai wujud dari rasa Bhakti masyarakat kepada Tuhan sebagai Sang pencipta.

Sandika (Wawancara; 25 Februari 2021) dalam persembahyangan di Bali khusunya, masyarakat mengangkat tangan sebanyak 5 kali. Diawali dengan tangan

kosong (tanpa sarana), kemudian kedua sampai keempat menggunakan sarana bunga (sesuai dengan dewata), dan terakhir kembali kepada tangan kosong (tanpa sarana). Ini merupakan sebuah konsep kosmologi yang dimiliki oleh orang Bali.

Berdasarkan pemahaman Sandika di atas, telah dijelaskan bahwa pada awal persembahyangan masyarakat tidak menggunakan sarana apapun, yang mana di dalam pemahaman kosmos di dalam teks ini juga dijelaskan bahwa pada awal penciptaan segala wujud materi tidak ada.

Dalam tahapan kedua munculah berbagai macam materi sebagai penghias alam semesta beserta dengan manifestasi Tuhan yang menjaga alam semesta. Pada persembahyangan terakhir, persembahyangan pun ditutup dengan melakukan tangan kosong kembali. Hal tersebut bermakna bahwa segala yang berawal dari kesunyiaan akan kembali kepada kesunyian juga. Demikian tata cara bersembahyang orang Bali yang mengandung makna kosmologi Hindu yang bersifat siklik. Berdasarkan darihal tersebut, terbuktilah pemahaman evolusi kosmologi samkhya juga di kalangan masyarakat Bali yang menyatakan alam semesta ini mengalami pengembangan maupun penyusutan.

Pawongan, dalam Tri Hita Karana manusia hendaknya menciptakan hubungan yang baik sesama manusia, itulah pawongan. Dalam kosmologi, keselarasan antar manusia ini sangatlah penting dalam mewujudkan keselarasan alam semesta.

Mengapa demikian? Hal tersebut dikarenakan keselarasan alam semesta (Bhuwana Agung) ditentukan pula oleh keselarasan manusia (Bhuwana Alit).

Sebuah ajaran yang ditawarkan untuk menjaga keselarasan umat yaitu tri kaya parisuddha hendaknya diimplementasikan.

Tri Kaya Parisuddha ini terdiri dari berbicara yang baik, berbfikir yang baik, dan berakivitas yang baik. Ketiga hal inilah yang hendaknya dilakukan setiap orang untuk menjaga alam semesta tetap dalam porosnya.

(8)

Krishna & Yogiswari

180

Layaknya manusia alam semesta inipun memiliki kesadaran kosmis yang mana akan merespon segala perkataan, perbuatan maupun pikiran, entah baik maupun buruk. Oleh karena itulah, sangat penting dalam menjaga ketiga hal tersebut dan menjadikannya selaras. Pemahaman masyarakat Bali tentang kosmos seperti inilah yang diterapkan. Pada dasarnya masyarakat telah mengimplementasikan pengetahuannya tentang kosmos ini yaitu dengan berusaha untuk menciptakan hubungan baik dengan sesame manusia.

Palemahan, merupakan sebuah konsep yang mana hendaknya masyarakat mengharmoniskan dirinya dengan alam sekitar. Salah satu contohnya yaitu dengan membangun rumah. Dalam membangun rumah, masyarakat Hindu di Bali pada umumnya lebih memilih untuk bertempat tinggal di daerah antara Gunung maupun lautan. Sistem orientasi arah pun sangat diperhitungkan dalam membangun rumah.

Hal ini dipergunakan sebagai salah satu jalan untuk menjaga keharmonisan antara manusia (Bhuwana Alit) dengan alam semesta (Bhuwana Agung).

Suyoga (2015: 68) berpendapat bahwa sistem orientasi arah masyarakat Bali kuno, dari poros kaja ke kelod. Kaja dalam bahasa Bali berarti ke gunung sedangkan kelod berarti menuju ke laut.

Dalam tradisir Bali para dewata memiliki tempat tinggal yang permanen di ketinggian gunung-gunung, khususnya di pusat ketinggian gunung agung. Tempat paling suci di Bali adalah pura besakih yang ada di kaki gunung agung. Daerha di bawah gunung agung, daerah tengah, dipercaya sebagai tempat yang tepat untuk manusia, sementara dunia paling bawah, lautan merupakan habitat setan dan iblis.

Tergambar bahwa tempat yang lebih tinggi merupakan sapta loka dan sapta patala kebawah.

Berdasarkan dari pemaparan diatas, diketahui bahwa gnung merupakan daerah yang suci. Sama halnya di dalam teks ini menjelaskan bahwa, tempat yang berada lebih atas merupakan tempat dewata dan

tempat yang dibawah merupakan tempat dari raksasa. Konsep ini merupakan konsep dari Sapta Loka dan Sapta Patala, yang mana pemahaman masyarakat terhadap pembagian ini dikenal dengan Tri Mandala (Utama, Madya, Nista). Gunung sebagai tempat yang tertinggi merupakan sthana dari dewa-dewa, manusia akan berada di tengah tengah yaitu madya, dan para raksasa akan berada di tempat yang lebih rendah.

I Putu Gde Suyoga (wawancara, kamis 26 februari 2015) menjelaskan bahwa konsep alam semesta ini diimplementasikan oleh orang Bali dalam membangun hunian (rumah) mereka.

Dimana di dalam membangun rumah, seseorang tentunya mempergunakan sikut (ukuran) mereka tersendiri sehingga rumah tersebut dapat nyaman pada saat ditempati.

selain itu, di dalam konsep Hindu Bali mengenal dengan adanya ulu dan teben.

Ulun adalah tempat yang lebih tingi dan teben adalah tempat yang lebih rendah.

Dalam membangun huniannya, masyarakat memperhitungkan beberapa hal untuk itu, yang mana masyarakat tidak secara serta merta mebangun namun diperlukan sebuah perhitungan untuk menciptakan keselarasan bagi pemiliknya.

Dalam perhitungan pembuatan rumah pada dasarnya masyarakaat Bali menggunakan perhitungan yang dikenal dengan Asta Kosala-Kosali (sikut). Perhitungan tersebut diambil dari panjang, tinggi dan lebar pemiliki rumah sehingga rumah tersebut dapat menjadi hunian yang layak bagi mereka. Dalam membuat hunian pun terdapat suatu interaksi antara alam semesta dan manusia hendaknya harmonis.

Selain itu pula, masyarakat Bali sangatlah memperhitungkan hulu dan teben. Yang mana telah dijelaskan sebelumnya bahwa hulun merupakan tempat yang lebih suci dan teben merupakan tempat yang lebih kotor.

Sehingga, dalam menentukan posisi tempat tidur masyarakat Bali sangatlah sensitive dan posisinya haruslah menuju ke arah gunung. Karena gununglah yang dianggap

(9)

Krishna & Yogiswari

181

posisi yang suci. Hal tersebut terjadi karena gunung dianggap sebagai tempat para dewata, dan kepala merupakan tempat yang lebih suci, oleh karena itulah kepala hendaknya berada sesuai dengan arah gunung. Sedangkan kaki hendaknya menuju ke arah laut atau arah yang bersebrangan dengan kepala.

Arsitektur tradisional Bali yan dilandasi oleh ajaran Hindu, mengenal dua sumbu dalam pembagian mandala ‘tata ruang’ yakni sumbu natural dan ritual.

Sumbu natural yaitu arah timur dan barat sbeagai orientasi terbit dan terbenamnya matahari. Sumbu ritual yakni posisi gunung dan laut sebagau orientasi hulu dan teben suci dan leteh/cemer. (Bandem dan Frederik, 2004:viii)

Berdasarkan hal tersebutlah, masyarakat Bali pada umumnya membangun hunian mereka lebih menuju arah gunung daripada lautan. Hal tersebut mencerminkan keseimbangan antara alam sekitar dan manusi yang dijaga hingga saat ini. Pemahaman inilah yang dijadikan sebagai pedoman dalam menjaga keharmonisan antara lingkungan dan manusia.

Disamping itu, bagi masyarakat Bali rumah dapat digambarkan sebagai makrokosmos dan manusia dapat disebutkan sebagai mikrokosmosnya. Oleh karena pengukuran yang digunakan dalam membangun hunian yaitu ukuran manusia, maka dapat dikatakan bahwa apa yang ada di dalam makrokosmos terdapat pula dalam mikrokosmos. Hal tersebutpun tergambar dalam pengetahuan kosmologi Hindu yang mana menjelaskan bahwa segala yang ada di dalam alam semesta ini terdapat pula di dalam manusia. Sehingga, kontribusi pemahaman kosmos ini sangatlah luas di masyarakat Bali.

III. PENUTUP

Ketertarikan tentang alam semesta ini mengakibatkan persaingan antara pandangan Barat dan pandangan Timur tentang alam semesta. Bagi kaum Barat pengetahuan yang membahas mengenai

alam semesta dikenal dengan cosmology sedangkan pandangan Hindu mengenal istilah viratvidya sebagai pengetahuan yang membahas mengenai alam semesta.

Persaingan tersebut juga dapat dilihat dari bermunculannya teori-teori baru yang ingin mengungkap keberadaan alam semesta ini.

Pandangan Hawking (2004:134) menyatakan di era modern pun banyak teori muncul seputar asal mula alam semesta ini.

Tetapi walaupun dengan peralatan canggih yang dimiliki para ilmuwan modern mereka belum juga mampu tuntas masalah penciptaan ini. Malahan kian hari kian banyak muncul teori baru yang menggugurkan teori sebelumnya. Mungkin akan ditemukan teori yang sempurna kalau manusia benar-benar pandai atau bahkan tidak akan pernah ada teori yang memadai tentang penciptaan.

Hal tersebut terjadi di Barat karena para ilmuan pada umumnya dan lebih cendrung menyimpulkan segala yang ada di dunia ini berdasarkan pada empirisme.

Empirisme yang dimaksudkan adalah berkutat pada data-data yang ada dan laboratorium dalam proses meneliti proses penciptaan. Lain halnya dengan pada agamawan yang menyimpulkan mengenai keberadaan dunia ini yang mana mereka menggabungkan antara spiritual dan metafisik.

Bhuwana Sangkșépamerupakan teks Tattwa yang bersifat Siwaistis. Teks ini mengandung pengetahuan tentang hakikat Siwa sebagai Tuhan yang tertinggi. Proses penciptaan alam semesta dalam teks in mencakup: Penciptaan alam semesta yang mana segala hal dimulai dari sesuatu yang sunya; Tuhan sebagai Asal Mula Alam Semesta yang mana Tuhan dianggap sebagai pencipta dari segala wujud materi yang ada di dunia ini; Tuhan meliputi Alam Semesta; Pembentukan Panca Wara, Sad Wara, dan Sapta Wara, yang mana dalam proses penciptaan alam semesta terdapat mantra-mantra yang mengakibatkan munculnya ketiga hal tersebut di dalam alam semesta; Alam Semesta Menyatu dalam Tubuh Tuhan; Peleburan Alam

(10)

Krishna & Yogiswari

182

Semesta, merupakan proses kosmologi dalam Hindu yang mana alam semesta ini tidak hanya diciptakan. Namun, alam semesta juga mengalami peleburan dan kembali kepada-Nya.

Relevansi konsep kosmologi ini sangatlah nampak pada masyarakat Bali, meskipun pada dasarnya mereka tidak mengetahui tentang istilah kosmologi yang terkandung di dalam teks-teks di Bali.

Meskipun tidak mengetahui secara tattwa,

namun masyarakat Bali

mengimplementasikan pengetahuan kosmos tersebut kedalam kehidupan sehari- hari dan menjadikannya pedoman. Sebuah cara yang digunakan oleh masyarakat Bali untuk memahami kosmos ini yaitu dengan memahami konsep Tri Hita Karana.

Konsep tersebut merupakan sebuah cara untuk menjaga keseimbangan kosmos.

DAFTAR PUSTAKA

Ananda, I Nyoman, 2004. Konsep Ketuhanan Dalam Teks Wrhaspati Tattwa. Thesis. Denpasar: Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.

Ananda, I Nyoman. 2008. Konsep Penciptaan Dunia dan Manusia dalam Wrhaspati Tattwa. IHDN Denpasar: Jurnal Sphatika.

Azwar, Saifudin. 2003. Metode penelitian . Yogyakarta :Pustaka Pelajar.

Bandem, I Made dan Frederik Eugene deBoer.2004. Kaja dan Klod Tarian Bali dalam Transisi. Terjemahan.

Jogjakarta: Badan Penerbit Institut Seni Indonesia.

Donder, I Ketut. 2007. Kosmologi Hindu:

Penciptaan, Pemeliharaan dan Peleburan serta Penciptaan Kembali Alam Semesta. Surabaya: Paramita.

Hawking, Stephen W. 2004. Teori Segala Sesuatu, Asal Usul dan Kepunahan Alam Semesta. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Kaelan. 2012. Metode Penelitian Kualitatif Interdisipliner Bidang Social

Budaya Filsafat Seni Agama dan Humaniora. Yogyakarya:

Paradigma.

Kastama, Emo. 1987. Menjelajah ke Alam Atom sampai Bintang; Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Kinten , I Gede. 2005. Konsep Ketuhanan dalam Teks Ganapati Tattwa. Thesis.

Denpasar: Program Pascasarjana Institut Hindu Dharma Negeri Denpsasr.

Maswinara, I Wayan. 2006. Sistem Filsafat

Hindu (Sarva Darsana

Samgraha).Surabaya:Paramita.

Moleong, J Lexy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Rosdakarya.

Moleong, J.Lexy. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:

Remaja Rosdakarya.

Ram, Pandit Sri dan Ramanuja Achari.

2005. The Cosmic

Game.Sydney:Simha Publications Tangkas, I Made. 2008. Asal dan Alasan

Penciptaan Alam Semesta (Perspektif Teologi Hindu). IHDN Denpasar:

Jurnal Sanjiwani.

Referensi

Dokumen terkait

Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial Volume 20 No 1 April 2021 ISSN 1412 6451 E ISSN 2528 0430 Daftar Isi 1 2 3 4 5 6 Peran Dinas Sosial Kota Surabaya dalam Mendukung Program

Nama Jurnal, Tahun terbit, Volume, Nomor,

Solusi yang diharapkan oleh Pabrik Gula Toelangan lebih dilihat dari segi teknik dan sosial di dalam pabrik yaitu dengan melakukkan revitalisasi PG untuk mengatasi

Menggugah sebuah diskursus untuk menelisik fenomena tersebut secara mendalam sebagai sebuah upaya mengedukasi dan menyumbangkan gagasan pemikiran dalam menjunjung tinggi

Ketiga, metode pembelajaran dijalankan dengan mengedepankan pendayagunaan potensi sumberdaya manusia, pelayanan pendidikan, keterbukaan akses, kearifan lokal dan

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 213/PMK.07/2010 dan Nomor 58 Tahun 2010 tentang Tahapan Persiapan

Permasalahan penelitian ini adalah (1) Bagaimana kemampuan mendeskripsikan cara pencegahan kerusakan lingkungan (erosi, abrasi, banjir, dan longsor) tanpa menggunakan

Keberadaan sebuah Pura tidak lepas dari sejarah berdirinnya Pura tersebut, begitu juga Pura Dalem Ularan di Banjar Kuwum Desa Banyuatis Kecamatan Banjar kabupaten