IDA BAGUS GEDE PARAMITA 67
KAJIAN STILISTIKA DAN SEMIOTIK
DALAM CERITA “WATUGUNUNG”
Oleh
Ida Bagus Gede Paramita STAHN Mpu Kuturan Singaraja, Email: [email protected]
ABSTRACT
The purpose of this research is to examine the stylistic aspects which include text schemes, message structures, and language structures in the story and also to reveal the meaning behind the symbols of Hindu rituals in the story. The method used in this research is qualitative method. Primary data were obtained from the Satua Watugunung text, while secondary data were obtained from books and online publications that supported the research discussion. The data collected is then selected to assist the analysis and the final step is drawing conclusions. The result of this research is that various forms of Balinese local wisdom are neatly stored in Balinese literary works. Balinese oral literature as a form of Balinese purwa literature has a role in maintaining the local wisdom of Balinese culture. specifically in Watugunung research, the stylistic elements contained in the Watugunung story are known and the meaning behind the symbols in the Watugunung story is revealed.
Keywords: Stylistics, Semiotics, Watugunung
I. PENDAHULUAN
Masyarakat Bali memiliki
karakteristik yang diilhami oleh kearifan lokal. Kearifan lokal muncul dari dalam masyarakat sendiri, disebarluaskan secara non-formal, dan dimiliki secara kolektif oleh masyarakat yang bersangkutan.
Selain itu, kearifan lokal juga
dikembangkan selama beberapa generasi dan tertanam di dalam cara hidup masyarakat yang bersangkutan sebagai sarana untuk mempertahankan hidup. Kearifan lokal juga berperan sebagai filter dalam era pembangunan dan globalisasi ini, sehingga kemajuan-kemajuan yang dicapai tidak menimbulkan kekosongan jiwa dan mudah dimasuki budaya dari luar yang belum sempat disaring. Demikian pula halnya dalam citra kearifan lokal dalam kesusastraan Bali baik lisan maupun tulis, banyak sekali mengandung unsur-unsur kearifan lokal. Kearifan lokal memperkuat akar budaya Bali yang
ditunjukkan melalui kreativitas budaya yang tinggi.
Menurut Ratna (2008: 290) karya sastra adalah wakil zamannya, karya sastra memiliki nilai dokumenter yang dengan sendirinya harus dinilai sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat karya sastra dihasilkan, yang disebut sebagai analisis emik. Satua lahir dari masyarakat kebanyakan dan bersifat anonim. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sangat relevan dalam menggambarkan kehidupan masyarakat yang sesungguhnya. Maka dari itu, karya sastra dikatakan sebagai cerminan dari kehidupan masyarakat. Meskipun telah hidup turun-temurun hingga sekian generasi, nilai dalam karya sastra selalu relevan dalam kehidupan masyarakat yang sebenarnya (Paramita, 2020)
Berbagai bentuk kearifan lokal Bali
terekam dalam karya sastra Bali,
khususnya sastra lisan. Sastra lisan Bali sebagai bentuk kesusastraan Bali purwa
memiliki andil dalam usaha
GENTA HREDAYA Volume 5 No 1 April 2021
P ISSN 2598-6848 E ISSN 2722-1415IDA BAGUS GEDE PARAMITA 68 mempertahankan kearifan lokal budaya
Bali. Demikian pula sebaliknya, sastra lisan Bali memerlukan pemertahanan dari pemiliknya. Salah satu ragam sastra lisan dalam kebudayaan Bali yang dikenal adalah satua. Satua merupakan ragam prosa rakyat yang biasanya tidak panjang dan diceritakan secara lisan atau oral oleh tukang satua (juru cerita) yang biasanya orang tua pada saat malam hari menjelang anak tidur. Satua banyak menceritakan tokoh-tokoh binatang (fabel), dongeng-dongeng jenaka, dogeng panji dan kepercayaan terhadap sesuatu (mithe) (Danandjaya, 16:1984). Karena sifatnya yang lisan, satua memiliki beberapa variasi yang berbeda menurut tempat dan juru ceritanya. Saat bercerita juru cerita sering menambahi atau mengurangi
bagian-bagian tertentu dalam satua
(Paramita, 2020).
Kebertahanan sastra lisan dalam kehidupan masyarakat Bali dikarenakan faktor sosial kultural terutama kuatnya mitos-mitos yang tertanam dalam sastra lisan. Keberadaan sastra lisan di Bali seringkali didukung dengan mitos-mitos setempat yang diyakini masyarakatnya. Di Desa Adat Seminyak Badung misalnya, masyarakat sangat mempercayai mitos larangan menarikan tari rejang dewa. Mitos ini dikukuhkan dengan legenda Men Gobleg, raksasa perempuan yang suka menyembunyikan penari rejang yang ada pada barisan belakang. Cerita serupa juga ditemukan di Banjar Sanggulan, Desa Banjar Anyar Tabanan, yakni tentang raksasa penghuni goa sanggulan yang suka menyembunyikan penari rejang yang ada pada barisan paling belakang. Tetapi
mitos yang tumbuh di kalangan
masyarakat Sanggulan bukan pantangan
mementaskan tari rejang, tetapi
pantangan memakan buah timbul
(keluwih), karena pohon itulah yang digunakan membunuh raksasa tersebut. Di Tenganan Pegringsingan Karangasem, dikenal cerita I Tundung yang diperkuat dengan mitos tentang seekor ular besar
yang menjaga hutan setempat. Di
beberapa desa, sastra lisan malah diposisikan hampir setara dengan ajaran agama sehingga terus disosialisasikan lewat berbagai cara, termasuk ritual. Di Desa Gunaksa Klungkung dilaksanakan ritual nandan yakni berupa pengorbanan sapi. Ritual ini didasarkan pada cerita rare angon yang sangat dikenal dalam tradisi lisan Bali.
Cerita tentang Watugunung juga memiliki tempat khusus pada masyarakat Bali. Sastra lisan yang menceritakan kelahiran Watugunung bagi masyarakat Bali mengandung mitos-mitos yang berkaitan dengan hari suci bagi Umat Hindu. Mitos Watugunung seperti yang dikisahkan dalam gegurita Watugung, sebagai sebuah kepercayaan masyarakat Bali menceritakan tentang seorang raja yang pada masa anak-anak memiliki nama Si Jabang Bayi yang dipukul kepalanya oleh ibunya (Dewi Sinta) ketika akan meminta makan. Watugunung adalah hitungan terakhir dalam wuku (pawukon). Keberadaan mitos Watugunung sangat berkaitan dengan rerainan yang ada di Bali.
Watugunung adalah salah satu nama wuku atau pawukon. Satu wuku terdiri atas tujuh hari (dina dalam masyarakat Bali) dalam hitungan hari bagi masyarakat Bali. Wuku Watugunung berkaitan dengan perayaan hari saraswati bagi masyarakat Bali merupakan hari pemberkatan atau hari turunnya ilmu pengetahuan. Wuku Watugunung juga memiliki rentetan dengan hari-hari suci lainnya yang lasim disebut dengan rerainan. Keberadaan cerita Watugunung pada masyarakat Bali tersebar luas, khususnya bagi masyarakat sastra Bali. Orang yang tekun mendalami kesusastraan Bali yang lasim disebut orang yang nyastra mengetahui dan mengamalkan mitos-mitos yang terdapat dalam cerita Watugunung. Sebagai sebuah
sastra lisan, cerita Watugunung
merupakan sastra pagantian (Bagus, 1979 : 13). Kata gantian atau gentian berasal dari kata ganti dengan imbuhan –an yang digunakan untuk menunjukkan bahwa
IDA BAGUS GEDE PARAMITA 69 ragam sastra tersebut selalu berubah-ubah
(maganti-ganti) karena tidak ditulis (Suteja, 2008 : 302). Pengaruh ini rupanya juga terjadi dalam cerita Watugunung yang ditemukan dalam versi penceritaan, akan tetapi dengan konsep dan makna yang sama.
Kajian terhadap cerita Watugunung
sudah seringkali dilakukan seperti
Couteau (2016) melakukan perbandingan terhadap cerita Watunung dan Oedipus, Keduanya memiliki struktur dasar naratif yang serupa. Namun, mempunyai arti yang berbeda. Di satu sisi, mitos Oedipus melambangkan antroposentrisme Barat dengan sosok “Oedipus” sebagai prototipe manusia Barat yang terpisah dari kosmos, rasional, dan “bebas” namun dirongrong oleh kebutaan / kekosongan. Di sisi lain, mitos Watugunung dapat dikatakan
sebagai salah satu penentu
kosmosentrisme Bali / Jawa dengan sosok Watugunung sebagai prototipe manusia yang berusaha hidup selaras dengan irama kosmos. Dia tidak “bebas” tetapi dia merasa tercerahkan. Begitu Pula kajian struktur dan fungsi cerita Watugunung
(Febriadiana, 2018) mendeskripsikan
struktur naratif pada teks Satua Betara Watugunung Dalam Cerita Rakyat Daerah Bali serta menganalisis fungsi yang terkandung dalam teks Satua Betara Watugunung Dalam Cerita Rakyat Daerah Bali.
penelitian ini mengkaji Cerita Watugunung dari sisi stilistika dan Semiotika. Stilistika adalah salah satu studi yang mengkaji bagaimana seorang sastrawan memanipulasi kaidah-kaidah yang ada dalam sebuah bahasa, sekaligus
efek yang ditimbulkan dari
penggunaannya dalam sebuah karya. Stilistika juga sering disebut ilmu yang menyelidiki penggunaan bahasa dalam karya sastra dengan mempertimbangkan
keindahan aspek-aspeknya. Sehingga
yang menjadi tujuan penelitian cerita
Watugunung adalah unsur stilistika yang meliputi skematik (teks), struktur pesan, dan struktur bahasa. Sedangkan dari segi semiotikanya, akan mengkaji makna dibalik mitos-mitos yang terdapat dalam cerita Watugunung. Karena itu sangat menarik mengkaji cerita Watugunung dengan pendekatan tersebut.
Penelitian ini akan mendeskripsikan unsur-unsur stilistik dan mengkaji makna dibalik mitos-mitos cerita Watugunung.
Untuk membantu penulis membuat
deskripsi yang baik dan valid maka digunakan beberapa pustaka maupun yang dapat menunjang dalam melakukan kajian terhadap cerita Watugunung. Sedangkan data utamanya adalah cerita Watugunung. Data tersebut kemudaian akan dipilah, dipilih dan disederhanakan sehingga dari data kasar yang terkumpul akan menjadi data yang layak dan valid. Data tersebut kemudian disajikan untuk memperkuat deskripsi dalam penelitian ini. Langkah terakhir adalah penarikan kesimpulan.
II. PEMBAHASAN
2.1 Unsur Stilistika dalam Cerita Watugunung
2.1.1 Skematik (teks) Cerita
Watugunung
Unsur skematik yang akan dikaji dalam penelitian ini meliputi beberapa hal seperti raingkasan cerita Watugunung yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang semula bahasa sumbernya adalah bahasa Bali, selanjutnya akan dibahasa struktur pesan dan struktur bahasa dalam cerita Watugunung.
Ringkasan Cerita Watugunung
Cerita Watugunung diawali dengan asal usul dari tokoh Watugunung. Watugunung adalah putra dari raja Jalasenggara yaitu Prabhu Hyang Kalagiri bersama permaisurinya yang bernama
IDA BAGUS GEDE PARAMITA 70 Dewi Sinta. Prabhu Hyang Kalagiri
memiliki dua permaisuri yaitu Dewi Sinta dan Dewi Landep. Ketika Watugunung lahir, sang prabhu pergi ke hutan melakukan tapa brata sedangkan Dewi Sinta dan Dewi Landep dititahkan untuk memelihara putra beliau. Ketika masih kecil Watugunung disebut dengan nama Si Jabang Bayi, adalah anak yang nakal dan kuat makan. Suatu ketika, karena Dewi Sinta belum selesai memasak tetapi Si Jabang Bayi meronta minta makan. Dewi Sinta akhirnya memukul kepala Si Jabang Bayi dengan ulekan hingga luka dan berdarah. Si Jabang Bayi akhirnya menangis dan pergi meninggalkan Dewi Sinta.
Di sebuah gunung, Si Jabang Bayi
melakukan tapa brata hingga
mendapatkan anugerah kesaktian dari Sang Hyang Siwa Budha. Semenjak itulah Si Jabang Bayi bernama Watugunung. Karena kesaktian yang dimilikinya,
Watugunung menyerang dan
mengalahkan dua puluh tujuh kerajaan. Sampai akhirnya Watugunung menyerang kerajaan Jalasanggara yang dipimpin Dewi Sinta dan Dewi Landep. Kerajaan Jalasanggarapun mampu dikalahkan dan Watugunung mengawini Dewi Sinta dan Dewi Landep.
Setelah kerajaan Jalasenggara
dipimpin Watugunung dengan Dewi Sinta dan Dewi Landep sebagai permaisurinya, wilayah kerajaan terkena musibah dan
malapetaka. Hingga suatu ketika
Watugunung bersama kedua permaisuriya sedang bersenang-senang, tidak sengaja Dewi Sinta melihat bekas luka di kepala Watugunung. Dewi Sinta kemudian menanyakan perihal bekas luka tersebut dan Watugunung pun menceritakan kejadiannya dahulu. Dewi Sinta akhirnya
sadar bahwa Watugunung adalah
putranya, maka Dewi Sinta meminta Watugunung untuk meminang Dewi
Nawangratih. Hal itu dilakukan Dewi
Sinta agar dapat terlepas dari
Watugunung. Watugunung pun akhirnya ke sorga meminang Dewi Nawangratih. Namun kehendak Watugunung ditolak oleh para dewa hingga terjadilah perang. Watugunung dihadapi oleh Dewa Wisnu yang berwujud kurma (kura-kura), hingga Watugunung dapat dikalahkan. Kematian Watugunung membuat para dewa sedih, hingga ia dihidupkan kembali. Tetapi setiap dihidupkan Watugunung kembali dibunuh oleh Dewa Wisnu hingga akhirnya Dewa Sukra meminta kepada Dewa Wisnu untuk memaafkan kesalahan
Watugunung. Dewa Wisnupun
mengabulkan permohonan tersebut
hingga kutukan terhadap Watugunung pun dilontarkan agar setiap enam bulan sekali Watugunung jatuh ke dunia.
Bagian Pembuka dalam Cerita Lisan
Watugunung
Seperti halnya sastra lisan Bali yang disebut satua, cerita Watugunung dalam penceritaannya menggunakan pola-pola satua pada umumnya. Tukang cerita akan
mengawali ceritanya dengan
menyebutkan “ada reko katuturan satua” atau “ada kone katuturan satua” (ada konon sebuah cerita). Kata reko memiliki persamaan dengan kata kone yang bermakna sama yaitu ‘konon’. Dalam menghubungakan dengan babak-babak dalam cerita, tukang cerita menggunakan kata-kata “kasuen-suen lantas” atau “gelisin satua” atau “suba lantas keto” yang bermakna ‘singkat cerita’. Untuk mengakhiri cerita menggunakan kata-kata atau ungkapan “guak maling kuud, satua bawak suba suud” yang bermakna cerita pendek telah berakhir. “guak maling kuud” adalah semacam pantun dalam bahasa Bali termasuk basita paribasa. Kata kuud sebagai sampiran dan kata suud sebagai isi. Kata-kata yang digunakan sebagai kalimat pembuka dalam sastra lisan Bali merupakan kelas bahasa
IDA BAGUS GEDE PARAMITA 71 masyarakat biasa yang disebut basa
kepara. Hal tersebut sesuai dengan keberadaan sastra lisan Bali yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat Bali. Basa kepara yang digunakan juga
bertujuan untuk mempermudah
penceritaan dan pemahaman si pendengar. Sastra lisan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat digunakan sebagai media komunikasi dan pendidikan moral budi pekerti anak. Sehingga cendrung yang sebagai pendengar sastra lisan Bali adalah anak-anak. Dengan demikian bahasa yang digunakanpun adalah bahasa yang mudah dimengerti oleh anak-anak (Paramita, 2020).
Gaya Penceritaan Cerita Watugunung Cerita “Watugunung” adalah sastra lisan Bali yang disebut satua. Sastra lisan Bali disebut pula dengan istilah sastra pagantian (Bagus, 1979 : 13). Kata pegantian menunjukkan bahwa ragam
sastra tersebut selalu berubah-ubah
(maganti-ganti) karena tidak ditulis (Suteja, 2008 : 302). Pengisahan ceritapun
selalu berubah-ubah. Dalam cerita
Watugunung hal tersebut juga terjadi. Ada tukang cerita yang mengawali ceritanya dengan tokoh Watugunung yang telah menjadi raja di kerajaan Jalasenggara
tanpa menceritakan asal-usul
Watugunung. Atau ada juga mengawali dengan asal-usul Watugunung, yaitu anak dari raja Hyang Kalagiri dengan Dewi Sinta melahirkan Si Jabang Bayi dan setelah besar bernama Watugunung. Seperti dalam kutipan “ ada katuturan satua Sang Watugunung” (ada cerita tentang Sang Wutugunung), atau “ada reko satua sang Prabhu Jalasenggara”
(ada konon cerita sang Prabhu
Jalasenggara).
Tetapi ada juga mengawali cerita dengan menyebutkan tempat seperti dalam kutipan “ada kone katuturan satua di panegara Gilingwesi” (ada konon cerita di kerajaan/wilayah Gilingwesi). Tempat juga sering berubah-ubah dalam penyebutannya. Ada yang menyebut
kerajaan Jalasenggara dan ada juga yang menyebutkan Gilingwesi. Hal inilah yang menunjukkan bahwa sastra lisan selalu berubah-ubah dalam gaya penceritaannya.
Tetapi perubahan tersebut tidak
berpengaruh pada makna secara
keseluruhan cerita. Perbedaan perbedaan terjadi pada penyebutan nama tempat, awal pengisahan saja (Paramita & Arini, 2020).
Ungkapan Khas dalam Cerita
Watugunung
Dalam akhir cerita ada ungkapan yang menjadi semacam amanat dalam cerita “Watugunung” yaitu ketika Dewa Wisnu mengutuk Watugunung, “ ih iba Watugunung, baan gede dosan ibane, nira mastu iba, jastasmat, apang ngenem bulan iba ulung” (hai kamu Watugunung, karena dosamu teramat besar, aku mengutukmu, jastasmat, agar kamu setiap enam bulan jatuh). Kalimat “……apang ngenem bulan iba ulung” adalah
ungkapan pamastu (kutukan) yang
menjadi mitos masyarakat Bali tentang Watugunung runtuh yang ditandai dengan turun hujan lebat selama sehari hingga dua hari atau kemarau pada jatuhnya wuku watugunung (perhitungan hari menurut Hindu di Bali).
Selain kalimat di atas, ungkapan
khas yang terdapat dalam cerita
Watugunung banyak berbentuk kata-kata seperti candung watang (bangkai/mayat), paid-paidan (dari kata ‘paid’ yang berarti ‘seret’), buda urip (dihidupkan kembali oleh Budha), panegtegan (dari kata ‘enteg’ yang berarti ‘stabil’), dan pagredanan (berasal dari kata ‘redana’
bhs Kawi-Sansekerta yang berarti
‘bertapa/beryoga’). Semua ungkapan-ungkapan tersebut merupakan istilah atau sebutan hari pada wuku watugunung dalam perhitungan hari bagi masyarakat Hindu di Bali.
IDA BAGUS GEDE PARAMITA 72
2.1.2 Struktur Pesan Cerita
Watugunung
Tokoh-tokoh dalam cerita
Watugunung memiliki makna yang dapat dikaji secara semiotik. Kajian semiotik dimaksudkan untuk membedah dari sudut kode-kode yang terdapat dalam karya sastra sebagai sebuah tanda non verbal. Tokoh-tokoh dalam cerita Watugunung
sesungguhnya mengandung makna
sehingga perlu dianalisis. Analisis
dilakukan dengan menghubungkan kode bahasa, kode sastra dan kode budaya yang dianut dan diahami oleh masyarakat Hindu di Bali.
Watugunung bagi masyarakat
Hindu di Bali dikenal sebagai nama wuku
terakhir dalam perhitungan hari
masyarakat Hindu di Bali. Wuku dimulai dengan wuku sinta yang jumlah harinya adalah tujuh (7) hari dimulai dengan rahina redite yang disamakan dengan hari minggu. Setiap rahina redite merupakan hitungan pertama/hari petama awal wuku. Wuku jumlahnya tiga puluh (30) sehingga tiga puluh dikali tujuh (7) adalah dua ratus sepuluh (210) hari yang disebut aweton atau selama enam (6) bulan dalam hitungan kalender. Sehingga setiap enam bulan sekali peredaran wuku watugunung. Sehingga dalam cerita Watugunung dikutuk setiap enam bulan runtuh (jatuh)
adalah benar adanya yaitu wuku
watugunung akan jatuh setiap enam bulan sekali. Perhitungan wuku watugunung merupakan perhitungan wuku yang tidak
memiliki rerainan (upacara agama
menurut Hindu yang meliputi ; buda kliwon, tumpek, buda wage, anggarkasih). Sehingga wuku ini disebut wuku leteh (hari cemar). Leteh atau cemar bermakna sebagai sesuatu yang kotor, gelap dan
bodoh. Sehingga kebodohan dan
kegelapan harus disikapi dengan sebuah panyomian (penyucian) yaitu dengan
melaksanakan upacara atau yajnya.
Upacara yang dilaksanakan pada wuku watugunung adalah hari Saraswati sebagai
hari penyucian aksara atau ilmu
pengetahuan.
Kata ‘watugunung’ berasal dari dua kata yaitu kata ‘watu’ dan kata ‘gunung’. Kata ‘watu’ juga disebut ‘batu’ (morfem ‘w’ dan ‘b’ adalah satu artikulasi) yang memiliki makna keras, kasar yang dapat dimaknai sebagai kebodohan seperti ungkapan ‘kepala batu’ yang berarti bodoh. Sifat bodoh atau malas dalam ajaran agama Hindu tergolong kedalam sifat tamas dalam konsep Tri Guna (satwam, rajas, tamas). Dalam konsep Tri Murti, sifat tamas dimiliki oleh Siva
sebagai pamralima atau pelebur.
Sedangkan kata’gunung’ bermakna
gunung sebagai kata benda. Gunung merupakan tempat yang suci selain laut bagi masyarakat di Bali dengan konsep “segara gunung”. Gunung juga dimaknai sebagai tempat yang tinggi atau sebagai ‘ulu’ (kepala), sehingga gunung memiliki posisi yang utama bagi kehidupan masyarakat Hindu di Bali. ‘ulu’ bermakna sebagai yang tersuci dan sebagai tempat pemujaan, yang dalam masyarakat Hindu Dewa Siva diposisikan sebagai ‘ulu’ atau
Tuhan. Gunung juga merupakan
pralambang dari ‘lingga’ sebagai simbol dari Siva. ‘lingga’ diidentikkan dengan gunung dan pasangannya ‘yoni’ sebagai lambang ‘laut’. ‘Watugunung’ merupakan konsep ‘siwatatwa’ yang digunakan oleh
masyarakat Hindu di Bali yang
direfleksikan kedalam mitologi dengan
aplikasi rerainan sebagai wahana
melaksanakan upacara yadnya. Upacara yadnya adalah wujud kongkret dari konsep siwatatwa.
2.1.3 Struktur Bahasa dalam Cerita Watugunung
Secara bentuk dan fungsi bahasa yang digunakan dalam cerita Watugunung menunjukkan sebuah bentuk stratifikasi sosial masyarakat Bali. Hubungan sosial dalam masyarakat Bali tercermin pula melalui bahasa yang digunakan. Adanya anggah ungguhing basa dalam masyarakat Bali menunjukkan bahwa
IDA BAGUS GEDE PARAMITA 73
beradab. Bagaimana bahasa yang
sepatutnya digunakan seorang anak kepada orang tua, serta orang tua menuntun anak-anak agar memiliki karakter yang luhur sebagai cermin budaya timur.
Cerita Watugunung disampaikan dengan bahasa Bali dalam tingkatan standar yang diistilahkan dengan kepara. Dalam menjelaskan atau mengantarkan cerita, bahasa Bali kepara mendominasi seperti dalam mengawali cerita “ada reko katuturan satua” (ada konon cerita), menghubungkan antar episode “suba lantas keto” atau “gelisin satua” (singkat cerita), dan mengakhiri cerita “keto katuturan satuane, goak ngamaling kuud, satua bawak suba suud” (demikianlah ceritanya, cerita singkat telah berakhir). Namun dalam dialog-dialog antara tokoh (dewa-dewa) menggunakan basa alus (singgih/sor) seperti “Singgih Ratu Bhatara panguluning Dewata,….” (biaklah Ratu Bhatara yang disembah oleh para dewa,..) adalah jenis basa alus singgih yang digunakan untuk orang yang lebih dituakan/dihormati. Lain halnya dengan contoh berikut “ Pradene titiang ulung ring daat, mangda wenten sabeh….” (jika hamba terjatuh di daratan, agar turun hujan….) adalah jenis basa alus sor yang digunakan untuk enyatakan diri kepada orang yang dituakan/dihormati.
Dalam situasi pertengkaran juga menggunakan basa kasar tetapi tetap dalam koridor pendidikan. Sehingga norma pendidikan sebagai amanat cerita tetap diunggulkan. Seperti dalam kutipan “ih iba Watugunung…” (hai kau Watugunung,…) adalah jenis basa kasar pisan. Kata ‘iba’ untuk menyatakan orang kedua tunggal dengan nada yang sangat kasar. Basa ‘iba’ tidak boleh digunakan dalam percakapan sehari-hari walaupun berbicara antar sesama teman sejawat.
2.2 Makna Mitos dalam Cerita Watugunung
Mitos selalu berhubungan dengan yang sakral. Mitos bukan merupakan pemikiran intelektual dan bukan pula hasil logika, melainkan lebih merupakan orientasi spiritual dan mental untuk berhubungan dengan yang illahi. Bagi masyarakat arkais tradisional, mitos berarti suatu cerita yang benar dan cerita yang benar ini menjadi milik mereka yang
paling berharga, karena merupakan
sesuatu yang suci, bermakna, menjadi contoh model bagi tindakan mahluk supra-natural. Levi-Strauss (2005) ; bahwa manusia bukanlah mahluk di luar alam dan mahluk agresif terhadap alam, melainkan sebagai bagian dari alam, manusia sebenarnya bersahabat dengan alam yang menentukan hidup dan
pemikirannya. Manusia sering
menggunakan segi-segi lembut dalam
alam raya untuk menggambarkan
kelembutan manusia dan menggunakan sifat-sifat alam yang perkasa untuk menggambarkan seorang prajurit yang
sedang maju perang. Kepercayaan
terhadap kekuatan-kekuatan gaib yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari (peristiwa alamiah), di balik peristiwa tersebut manusia meyakini ada pengaruh dari kekuasaan luar biasa, penuh misteri,
sedangkan manusia tidak bisa
membuktikan dengan akal pikirannya Danandjaja (1984-17) menyatakan, mitos merupakan realitas logika yang tertunda. Mitos memberikan manusia cara untuk memaknai sesuatu yang sulit diterima oleh manusia sehingga sifatnya
adalah memberikan tuntunan yang
walaupun sedikit bersifat dogma. Dalam masyarakat dan budaya Bali, mitos menduduki tempat yang utama yaitu
sebagai pedoman prilaku manusia.
Masyarakat Bali memiliki sebuah kearifan lokal yang dapat diterima secara luas dalam menata keharmonisan kehidupan manusia yang dikenal dengan istilah ‘tri hita karana’ yaitu menuju keharmonisan manusia dengan menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, manusia dengan
IDA BAGUS GEDE PARAMITA 74 lingkungannya. Mitos dalam hal ini ikut
memberikan legalitas terhadap
pelaksanaan konsep tersebut.
CeritaWwatugunung memiliki
mitos-mitos yang sebagian oleh
masyarakat Bali dijadikan sebagai tradisi, seperti halnya perayaan hari Saraswati yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali. Pada hari ini umat Hindu membuat
upacara dan sesajen untuk
dipersembahkan kepada Dewi Saraswati sebagai dewa dari ilmu pengetahuan. Pada saat upacara ini, pustaka-pustaka yang berupa lontar, buku dan sejenisnya diupacarai sehingga ada mitos yang menyatakan bahwa pada hari Saraswati tidak diperkenankan untuk membaca dan menulis. Bagi kalangan intelektual, fenomena tersebut jelas menuai pro dan kontra. Sesungguhnya jika dicermati, hal
tersebut merupakan sebuah bentuk
kearifan yang mendidik manusia untuk menghargai sesuatu. Paham agama Hindu adalah ‘brata’, wujud ‘brata’ pada umat Hindu di Bali adalah berhenti sejenak. Manusia tiap hari (malam) tidur, hanya sekali setahun satu malam tidak tidur yaitu pada hari ‘siwa latri’. Demikian pula manusia setiap hari bekerja, pergi kesana kemari, menghibur diri, menghidupkan
api, hanya sekali setahun tidak
melalakukan hal tersebut yaitu pada hari nyepi. Manusia setiap hari seharusnya belajar, membaca, menulis, hanya sekali tidak yaitu pada perayaan hari saraswati, dari jam enam pagi hingga enam sore, malamnya wajib membaca kitab-kitab
suci. Mitos-mitos dalam cerita
watugunung mengandung makna sebagi berikut :
Watugunung runtuh
Dengan ciri akan turun hujan atau kemarau adalah bermakna bahwa manusia yang terlahir sebagai mahluk lemah dan
bodoh sehingga keruntuhan yang
dimaksud adalah manusia dalam proses memperbaiki hidup dengan belajar dan menghayati hidup untuk mengabdikan diri dalam hidup sebagai sebuah yajnya.
Candung Watang
Bermakna sebagai pemahaman
manusia terhadap diri yang terbentuk dari unsur panca mahabutha yaitu badan kasar dan panca tan matra yaitu unsur yang kekal dalam diri manusia. Mitos yang menyatakan tidak boleh mengubur mayat pada hari tersebut sebagai simbolisasi pemahaman terhadap jasad manusia yang jika telah mati akan tidak memiliki makna apa-apa. Sehingga manusia diharapkan melihat dan memperhatikan tubuhnya yang sesungguhnya tidak kekal.
Paid-paidan
sebagai bentuk pembelajaran bahwa untuk mencapai ketingkat yang sempurna manusia harus memposisikan pikiran yang tertinggi, bukan badan kasar yang diunggulkan. Mitos tidak diperkenankan untuk naik pohon atau ke tempat-tempat yang tinggi adalah sebagai simbol bahwa manusia tidak baik mengunggulkan jasmaninya dalam hidup karena tidak kekal.
Buda Urip
Sering disebut hari yang diberkati hanya sampai jam dua belas siang adalah simbolisasi bahwa hidup di dunia sesungguhnya singkat sehingga harus dimanfaatkan untuk mengasah diri agar
tidak lagi terikat oleh lingkaran
reinkarnasi dan mampu menuju sangkan paraning dumadi dengan suka tan pabalik prihati yaitu keluar dari kenestapaan hidup. Karena hidup sesungguhnya
bukanlah sesuatu yang sempurna.
Setengah hari juga bermakna bahwa dalam mempelajari ilmu pengetahuan hanya akan mampu dilakukan dengan baik ketika umur masih muda karena daya ingat dan logika masih sangat tajam. Hari Panegtegan dan Pangredanan adalah hari yang digunakan untuk mempersiapkan diri untuk menuju wisuda yaitu menuju terbebas dari kebodohan dan kesempurnaan sebagai tujuan tertinggi
IDA BAGUS GEDE PARAMITA 75
mencapai moksartham jagadhita.
Panegtegan bermakna mendiamkan agar tenang, dan pangredanan bermakna menciptakan sesuatu dari kekuatan pikiran yang bersih dan cerdas.
Saraswati
Dewi saraswati sebagai simbol
pengetahuan dengan rupa wanita cantik, bertangan empat dengan piranti seperti genitri symbol kesinambungan tiada
putus-putus, kropak simbol sumber
pengetahuan, lontar simbol bahan bacaan atau sumber ilmu pengetahuan dan rebab sebagai simbol seni dan budaya. Perayaan ini sebagai puncak kemenangan pikiran yang telah terbebas dari kebodohan.
Banyu pinaruh
Melakukan penyucian diri dengan dating ke tempat-tempat mata air. Banyu pinaruh bermakna skil atau keterampilan. Banyu adalah air sumber kehidupan pinaruh adalah pengetahuan. Orang yang berilmu
adalah orang yang telah mampu
mengaplikasikan ilmunya dalam sebuah
tindakan atau keterampilan. Jadi
pengetahuan bukan untuk hal yang tidak berguna tetapi untuk mencapai tingkat kesejahteraan hidup.
Soma ribek
Dengan menghaturkan sesaji kepada dewa kemakmuran. Hubungan antara ilmu
pengetahuan, keterampilan adalah
tercapainya jagadhita yaitu kemapanan dalam hidup. Tujuan Dharma adalah mencapai moksa dan kesejahteraan hidup. Hidup manusia mutlak membutuhkan pangan atau makanan, karena proses manusia lahir ke dunia adalah untuk melangsungkan kehidupan dan menjaga
dunia. Sehingga proses mencapai
kesempurnaan hidup mutlak diperlukan dengan memenuhi kebutuhan pokok manusia yaitu makanan.
Sabuh Mas
Dengan melaksanakan upacara kepada dewa kekayaan bermakna bahwa manusia
harus memenuhi kebutuhan pokoknya yaitu makanan, pakaian, dan rumah tempat tinggal. Kekayaan yang dimaksud adalah manusia telah mampu untuk memenuhi ketiga unsur kebutuhan pokok dalam hidupnya tersebut.
Pagerwesi
Hari raya Pagerwesi adalah simbol
pemujaan kepada Tuhan dalam
manifestasi Siva Paramesti Guru adalah simbol penghayatan manusia terhadap sang pencipta. Kembali kepada hubungan
manusia kepada yang telah
menciptakannya yaitu Tuhan. Memenuhi semua kebutuhan pokok manusia dapat membantu menuntun manusia menuju kepada asalnya yang sejati yaitu sangkan paraning dumadi.
Wuku Landep
Tumpek landep upacara untuk perabotan dan senjata tajam dapat dihubungkan dengan prosesi upacara tersebut dia atas
karena bermakna untuk mencapai
kesempurnaan hidup, manusia
memerlukan keteguhan hati dan semangat untuk selalu mengasah diri. Landep berarti tajam. Ketajaman pikiran, perkataan dan perbuatan adalah senjata yang ampuh untuk mencapai tingkat derajat hidup yang lebih baik. Dengan kesejahteraan manusia mampu menciptakan kedamaian di dunia. Sehingga tidak ada lagi peperangan dan
kejahatan, sehingga memang benar
adanya bahwa tujuan Umat Hindu adalah moksarthan jagadhita ya ca iti Dharma.
III. SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Cerita Watugunung adalah sebuah
mitologi yang masih tetap dilestarikan sebagai sebuah kearifan local
masyarakat Bali. Dalam mitologi ini ternyata mengandung stilistika layaknya sebuah sastra lisan (satua), yang membuatnya agak berbeda
IDA BAGUS GEDE PARAMITA 76 adalah gaya penceritaan dalam cerita
Watugunung bisa ditemukan dalam berbagai versi tergantung dari si pencerita, dan ada ungkapan khas yang terdapat dalam cerita ini yakni semacam kutukan (pamastu). 2. Segala bentuk tradisi yang dijalankan
masyarakat jika tidak diketahui sumbernya dengan jelas akan dikaitkan dengan mitologi. Mitologi yang terdapat dalam cerita
Watugunung ini diketahui makna yang sebenarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, I Gusti Ngurah, dkk. (1988). Sastra Klasik dan Modern Cermin Masyarakat Sosial Bali. Jurusan Sastra Indonesia dan Sastra Daerah
Fakultas Sastra Universitas
Udayana.
Bagus, I Gusti Ngurah, dkk. (2002). “Kebudayaan Bali” dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Prof.
Dr. Koentjaraningrat. Jakarta:
Djambatan.
Couteau, J. (2016). Memaknai
Watugunung dan Oedipus Sang Raja sebagai Mitos tentang Waktu Yang Melampaui Waktu. Jurnal FIlsafat, 27-43.
Danandjaja, James. 1984. Folklor
Indonesia. Jakarta : PT Grafiti Pers. Damono, Sapardi Djoko. ((979). Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Febriadiana, N. M. (2018). Teks Satua Betara Watugunung Dalam Cerita Rakyat Daerah Bali:. Jurnal Humanis, 342-353.
Kaelan. 2002. Filsafat Bahasa Realitas
Bahasa, Logika Bahasa
Hermeneutika dan
Postmodernisme. Paradigma.
Yogyakarta
Mantra, I.B. 1996. Landasan Kebudayaan Bali. Yayasan Darma Sastra. Denpasar
Moleong, Lexi J. (1996). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Paramita, I. B. (2020). Kontemplasi: Komunikasi, Etika Dan
Pengetahuan Dalam Bahasa Bali. Communicare, 191-200.
Paramita, I. B. (2020). Pendidikan Etika Dan Gender Dalam Teks Satua I Tuung Kuning. Jurnal Inovasi Penelitian, 91-98.
Paramita, I. B. (2020). Women's Bali In Teks Satua I Tuung Kuning. Maha Widya Duta, 44-47. Paramita, I. B., & Arini, I. A. (2020).
Tradisi Mesatua Sebagai Media Komunikasi Penanaman Karakter Anak. Danapati: Jurnal Ilmu Komunikasi, 16-25.
Ratna, Nyoman Kutha.. (2008).
Postkolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. (2009). Stilistika Kajian Puitika Bahasa Sastra Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ratna, Nyoman Kutha. (2007). Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tarigan, Henry Guntur. (1993).
Pengajaran Sintaksis. Angkasa. Bandung.
Tim Penyusun Buku-Buku Agama Hindu.
IDA BAGUS GEDE PARAMITA 77 Pemerintah Provinsi Bali Kegiatan
Peningkatan Sarana Prasarana Kehidupan Beragama. Denpasar.