• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani,"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan

Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani, Sangsekerta, dan Latin. Dimana istilah kebijakan ini memiliki arti menangani masalah-masalah publik atau pemerintahan.7

Secara umum, saat ini kebijakan lebih dikenal sebagai keputusan yang dibuat oleh lembaga pemerintah, yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalah-permasalahan yang terjadi dimasyarakat dalam sebuah negara.

8

Dalam defenisi diatas dapat dilihat dengan jelas adalah bahwa pelaku yang melahirkan kebijakan adalah pemerintah. Dimana untuk melahirkan suatu kebijakan tidaklah dapat dilakukan hanya dalam waktu yang seketika. Namun untuk membuat suatu kebijakan dibutuhkan suatu proses yang sering disebut dengan proses pembuatan kebijakan. Proses pembuatan kebijakan itu sendiri memiliki makna sebagai serangkaian aktivitas intelektual yang divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu.

Adapun tahapan yang harus dilalui dalam proses pembuatan kebijakan adalah penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, serta evaluasi kebijakan.

7William Dunn, Pengantar Analisa Kebijakan Publik (Edisi II), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999. Hal. 51.

8William Dunn, Ibid, Hal. 132.

(2)

Gambar 2 : Proses Pembuatan Kebijakan

Sumber : Dikutip dari Buku William Dunn, Pengantar Analisa Kebijakan Publik (Edisi II), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999. Hal. 25.

Dalam proses melahirkan kebijakan yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalah yang dihadapi, tidak tertutup kemungkinan bahwa kebijakan yang akan dilahirkan nantinya akan dapat dipengaruhi oleh kepentingan pihak lain.

Penyusunan Agenda

Formulasi Kebijakan

Adopsi Kebijakan

Implementasi Kebijakan

Evaluasi Kebijakan

(3)

2.2. Teori Hegemoni

Hegemoni adalah sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral.

Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni merupakan sebuah proses penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai.

Istilah hegemoni berasal dari bahasa Yunani, yaitu hegeishtai. Istilah tersebut berarti yang berarti memimpin, kepemimpinan, atau kekuasaan yang melebihi kekuasaan yang lain. Konsep hegemoni menjadi ngetrend setelah digunakan sebagai penyebutan atas pemikiran Gramsci yang dipahami sebagai ide yang mendukung kekuasaan kelompok sosial tertentu.

Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai masyarakat dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka

(4)

yang ditentukan lewat birokrasi (masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa .

Dengan demikian mekanisme penguasaan masyarakat dominan dapat dijelaskan sebagai berikut: Kelas dominan melakukan penguasaan kepada kelas bawah menggunakan ideologi. Masyarakat kelas dominan merekayasa kesadaran masyarakat kelas bawah sehingga tanpa disadari, mereka rela dan mendukung kekuasaan kelas dominan.

Sebagai contoh dalam situasi kenegaraan, upaya kelas dominan (pemerintah) untuk merekayasa kesadaran kelas bawah (masyarakat) adalah dengan melibatkan para intelektual dalam birokrasi pemerintah serta intervensi melalui lembaga-lembaga pendidikan dan seni yaitu teori kritis dan teori tradisional.

. Pemikiran kritis merefleksikan masyarakat serta dirinya sendiri dalam dialektika struktur penindasan dan emansipasi. Pemikiran kritis merasa bahwa dirinya bertanggung-jawab atas keadaan sosial yang nyata. Sejarah itu merupakan sejarah penindasan, bahwa penindasan itu justru ditutupi sehingga realitas sekarang bagaikan objektifitas yang wajar. Teori kritis bertugas membuka selubung ideologis tersebut, membuka struktur penindasan, dan kemudian terciptanya terciptanya kebebasan.

Maka, teori kritis yang dimaksudkan Habermas merupakan teori praksis.

Ia juga meyakini pendekatan psikoanalisa Sigmund Freud, bahwa ingatan kembali terhadap sejarah penindasan akan mampu melepaskan kekuatan-kekuatan

(5)

emansipatoris. Melihat itu semua, maka sesungguhnya pendidikan sangatlah terpengaruh oleh faktor lingkungan. Lingkungan tersebut terdiri dari keadaan objektif yang menyangkut kondisi negara, masyarakat, model konsumsi, dan distribusi ekonomi politik

2.3. Teori Dahrendorf tentang Kekuasaan

Ralf Dahrendorf menggunakan teori perjuangan kelas Marxian untuk membangun teori kelas dan pertentangan kelas dalam masyarakat industri kontemporer. Baginya, kelas tidak berarti pemilikan sarana-sarana produksi (seperti yang dilakukan oleh Marx) tetapi lebih merupakan pemilikan kekuasaan, yang mencakup hak absah untuk menguasai orang lain. Perjuangan kelas dalam masyarakat modern, baik dalam perekonomian kapitalis maupun komunis, dalam pemerintahan bebas dan totaliter, berada di seputar pengendalian kekuasaan.

Menurut Dahrendorf hubungan-hubungan kekuasaan (authority) yang menyangkut atasan dengan bawahan menyediakan unsur-unsur bagi kelahiran kelas. Dahrendorf (1959: 173) mengakui terdapat perbedaan diantara mereka yang memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaan dalam tingkat dominasi kekuasaan itu dapat dan selalu sangat besar. Tetapi pada dasarnya tetap terdapat dua sistem kelas sosial( dalam perkumpulan khusus) yaitu, mereka yang berperan serta dalam struktur kekuasaan melalui penguasaan dan mereka yang tidak berpartisipasi melalui penundukan. Perjuangan kelas yang dibahas olehnya lebih berdasarkan kekuasaan daripada pemilikan sarana-sarana produksi.

(6)

Dahrendorf berpendapat bahwa di dalam setiap asosiasi yang ditandai oleh pertentangan terdapat ketegangan diantara mereka yang ikut dalam struktur kekuasaan dan yang tunduk pada struktur itu . Kepentingan yang dimaksudkan dia mungkin bersifat manifes (disadari) atau laten (kepentingan potensial), kepentingan laten adalah tingkah laku potensil yang telah ditentukan oleh seseorang karena dia menduduki peranan tertentu, tetapi masih belum disadari.

Menurut perumusannya pertentangan kelas harus dilihat sebagai “ kelompok- kelompok pertentangan yang berasal dari struktur kekuasaan asosiasi-asosiasi yang terkoordinir secara pasti”. Kelompok-kelompok itu ditetapkan sebagai kelompok kepentingan yang akan terlibat dalam pertentangan dan akan menimbulkan perubahan struktur sosial, pertentangan antara buruh dan manajemen yang merupakan permasalahan utama bagi Marx, misalnya, akan terlembaga lewat serikat-serikat buruh.

Dahrendorf berpendapat bahwa kekayaan, status ekonomi, dan status sosial walau bukan determinan kelas, ia mengatakan seperti berikut :” semakin rendah antara korelasi kedudukan kekuasaan dan aspek-aspek status sosial ekonomi lainnya semakin rendah intensitas pertentangan kelas dan sebaliknya.

Dahrendorf mempunyai gagasan bahwa berbagai posisi didalam masyarakat mempunyai kualitas otoritas (kekuasaan) yang berbeda. Hanya saja kekuatan otoritas itu tidak terletak didalam diri individu masyarakat melainkan dalam posisi. Ia tak hanya tertarik pada struktur posisi, tapi juga pada konflik antara berbagai struktur posisi itu: “ sumber struktur konflik harus dicari didalam

(7)

tatanan peranan sosial yang berpotensi untuk mendominasi atau ditundukkan”.

Otoritas secara tersirat menyatakan superordinasi dan subordinasi, mereka yang menduduki posisi otoritas diharapkan mengendalikan bawahan, artinya mereka berkuasa karena harapan dari orang yang berada disekitar mereka bukan karena ciri-ciri psikologis mereka sendiri.

Otoritas dalam setiap asosiasi bersifat asosiasi karena hanya ada dua kelompok konflik yang dapat terbentuk didalam setiap asosiasi, kelompok yang memegang posisi otoritas dan kelompok subordinat yang mempunyai kepentingan tertentu. Disini dihadapkan pada konsep teori konflik Dahrendorf yakni kepentingan, kelompok yang berada di atas dan yang berada dibawah didefinisikan berdasarkan kepentingan bersama.

2.4. Teori Alienasi Manusia

Di dalam agama manusia mengalami alienasi (keterasingan). Karl Mark tidak menolak kritik agama yang dilontarkan pendahulunya yaitu Feuerbach.

Namun, Karl Marx kini telah meninggalkan kritik agama dan menawarkan gagasan yang baru dalam kaitan keterasingan manusia dalam koridor masyarakat.

Karl Marx melihat bahwa manusia memang mengalami keterasingan yaitu dalam uang, pekerjaaan dan dari orang lain.

Uang adalah tanda keterasingan manusia. Seseorang bisa membeli segala barang dengan uang. Nilai yang terutama hanya nilai uang dan bukannya kekhususan barang yang telah dibeli tersebut. Barang tersebut lantas kehilangan

(8)

nilai hakekatnya dan digantikan dengan nilai uang. Barang-barang alam kehilangan nilainya dan dengannya telah terasing dari manusia. Manusia membeli segala sesuatu demi uang. Relasi dengan sesama manusia pun banyak diukur dengan nilai uang. Uang mengasingkan manusia yang satu dengan yang lainnya.

Manusia tidak lagi saling menghargai tetapi hanya saling mempergunakan. Hal demikian mengarahkan pada sikap egois, dimana orang lain dipandang sebagai saingan atau hanya sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan kita.

Manusia juga terasing di dalam pekerjaannya. Meski manusia merealisasikan dirinya dalam pekerjaan dan pekerjaan itu bisa menggembirakan dan membuatnya bangga karena manusia dengannya menemukan kepuasan atas hasilnya, tetapi pada kenyataanya pekerjaan buat manusia telah menjadi pekerjaan paksa. Manusia bekerja karena itu satu-satunya jalan untuk menjamin nafkah hidupnya.

Keterasingan manusia dalam pekerjaaan dapat dilihat pada keterasingan manusia akan produknya. Hasil kerja manusia yang seharusnya menjadi kebanggaannya tidak dimilikinya. Produk itu milik orang lain yaitu si pemilik pabrik. Baru saja manusia membuatnya, produknya itu dirampas dari miliknya dan bahkan si pemilik pabrik menjualnya.

Di samping itu, manusia juga terasing dari tindakan pekerjaannya itu sendiri. Manusia (si buruh) tidak mempunyai kesempatan untuk memilih pekerjaan yang akan mampu merealisasikan dirinya sendiri dalam pekerjaaan.

Kesempatan untuk itu tidak dimungkinkan karena ia hanya bisa bekerja dimana ada tempat kerja dan dia sendiri tidak menguasai tempat-tempat kerja. Tempat itu

(9)

dikuasai pemodal dan si buruh hanya menerima pekerjaan apa saja yang ditawarkan oleh pemodal itu. Dengan demikian pekerjaan kehilangan artinya.

Kekhususan masing-masing pekerjaan sudah kehilangan arti baginya. Ia hanya bekerja sebagai alat untuk mencapai tujuan lain yaitu memenuhi kebutuhan hidupnya.

Manusia yang menurut Karl Marx pada dasarnya bebas dan universal itu kini semakin terasing karena manusia terjebak dalam pekerjaan. Manusia bekerja seperti binatang yaitu demi satu tujuan supaya ia bisa hidup. Manusia melihat alam hanya dalam perspektif manfaatnya untuk mendapat uang. Dengan demikian, manusia tersebut mengasingkan hakekatnya yang bebas dan universal.

Pekerjaan yang menyebabkan keterasingan ini pada umumnya yaitu pekerjaan upahan. Pekerjaan upahan adalah pekerjaan yang dijalankan hanya demi upah saja.

Pekerjaan upahan telah mengasingkan manusia darí orang lain karena di dalam sistem yang demikian lantas muncul kelas-kelas yang saling berhadapan dan bertentangan dan lalu saling membenci satu dengan lainnya. Di samping itu, pekerjaan upahan mengasingkan buruh di antara mereka sendiri. Hal ini terjadi karena mereka harus bersaing berebut tempat kerja. Karena keterbatasan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan, sesama lantas menjadi saingan. Hal demikian menimbulkan jarak antar manusia dan dengannya manusia semakin terasing dari sesamanya.

(10)

2.5. Teori Human Investment

Masyarakat dunia saat ini sudah dihadapkan pada situasi yang menggelobal, globalisasi demikian istilah yang sering didengar. Sehingga setiap individu harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk menghadapi persaingan yang terjadi di tengah arus globalisasi ini.

Human Investment pada awalnya lahir karena adanya anggapan bahwa investasi sumber daya manusia (human capital investment) dapat menunjang pertumbuhan ekonomi (economic growth), yang sebenarnya telah mulai dipikirkan sejak jaman Adam Smith (1776), Heinrich Von Thunen (1875) dan para teoritisi klasik lainya sebelum abad ke 19 yang menekankan pentingnya investasi keterampilan manusia.

Human Investment sendiri memiliki defenisi tentang pandangannya yang mengemukakan suatu bentuk investasi dalam bentuk modal manusia. Artinya di sini ialah manusia dianggap sebagai modal investasi yang sangat menguntungkan.

Hal ini semakin didukung oleh perkembangan arus globalisasi yang semakin tidak dapat dibendung, yang memiliki konsekuensi terjadinya perubahan dalam segala tatanan kehidupan.

Semakin meningkatnya persaingan sumber daya manusia juga mau tidak mau harus dihadapi oleh semua individu yang ada di seluruh belahan dunia ini.

Setiap individu dituntut untuk meningkatkan kualitas yang ada di dalam dirinya.

Tentu saja peningkatan kualitas tersebut hanya akan terjadi melalui proses pendidikan.

(11)

Konsep pendidikan sebagai sebuah investasi (education as investement) saat ini telah berkembang secara pesat dan semakin diyakini oleh setiap negara bahwa pembangunan sektor pendidikan merupakan prasyarat kunci bagi pertumbuhan sektor-sektor pembangunan lainnya. Sektor pendidikan dengan manusia sebagai fokus intinya nantinya dipercaya akan dapat memberikan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, melalui peningkatan keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja. Penemuan dan cara pandang ini telah mendorong ketertarikan sejumlah ahli untuk meneliti mengenai nilai ekonomi dari pendidikan.

Di negara-negara maju, pendidikan selain sebagai aspek konsumtif juga diyakini sebagai investasi modal manusia (human capital investement) dan menjadi leading sector atau salah satu sektor utama. Oleh karena itu pendidikan di negara maju merupakan perhatian utama bagi pemerintahnya. seperti anggaran sektor pendidikan yang ada tidak kalah dengan sektor lainnya, sehingga keberhasilan investasi pendidikan berkorelasi dengan kemajuan pembangunan makronya.

Investasi pendidikan dianggap memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja.

Sebagai contoh di negara-negara sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi pendidikan relatif lebih tinggi dari

(12)

pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding 15 %. Sementara itu di negara- negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih rendah dibanding investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkan dengan kebutuhan sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan menyebabkan nilai balik terhadap pendidikan juga tinggi (Suryadi: 1999, 247). Tingkat pendidikan seseorang yang semakin tinggi juga dapat memberikan manfaat social yang semakin besar pula.

Referensi

Dokumen terkait

1) SK Menkes No. 262/Menkes/Per/VII/1979, tentang perhitungan kebutuhan tenaga berdasarkan perbandingan antara jumlah tempat tidur yang tersedia di kelas rumah sakit tertentu

Pada gambar tersebut kondisi pembu- atan pelet membran rapat LSCF ditunjukkan dengan angka xyz, di mana x menunjukkan tekanan yang diberikan saat mencetak membran, y adalah suhu

Tabel di atas menggambarkan eksposur maksimum atas risiko kredit bagi Bank Mandiri dan Anak Perusahaan pada tanggal 31 Desember 2012 dan 2011, tanpa memperhitungkan agunan

Sewa adalah pemanfaatan aset tetap oleh mitra dalam jangka waktu tertentu. dan menerima imbalan

Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara tingkat kemandirian keluarga dalam mengenal tanda dan bahaya kehamilan pada ibu hamil di

Hasil analisa iodine number menunjukkan bahwa metode gas-treatment horizontal lebih baik dibandingkan dengan metode gas-treatment vertical dan dengan dominan waktu aktivasi yang

Saran yang dapat disampaikan dalam skripsi ini adalah kepada tenaga kesehatan khususnya para dokter agar lebih berhati-hati dalam melakukan penanganan medis terhadap

Berdasarkan tabel 4.6 di atas tentang jawaban responden mengenai kinerja karyawan, maka diperoleh nilai mean sebesar 4,39 dan indikator yang memiliki nilai mean yang