• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPRESENTASI NILAI BUDAYA DALAM NOVEL LONTARA RINDU KARYA S. GEGGE MAPPANGEWA ( PENDEKATAN ANTROPOLOGI SASTRA )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REPRESENTASI NILAI BUDAYA DALAM NOVEL LONTARA RINDU KARYA S. GEGGE MAPPANGEWA ( PENDEKATAN ANTROPOLOGI SASTRA )"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

DiajukanuntukMemenuhi Salah SatuSyaratguna Memperoleh Gelar Sarjana PendidikanpadaJurusanBahasadanSastra Indonesia

FakultasKeguruandanIlmuPendidikan UniversitasMuhammadiyah Makassar

Oleh RAHMAWATI

105336970 12

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

(2)

vii

Ilmupengetahuanibaratcahayabagihatinurani kehidupanbagiruhdanbahanbakarbagitabiat Ilmupengetahuanmampumenembus yang samar

menemukansesuatu yang hilangdanmenyingkap yang tersembunyi

Menggapaiilmubagaikanmenghadapiperang Untukmemenangkannyakitatakperluomonganbesar

tapidenganperbuatankecil yang disertaido’a, keikhlasan, danusaha

Manusiadiciptakan di duniainitakada yang sama Namun, bagikudalamberusahajika orang lain bisasukses

(3)

viii

Hidupajariakuartikematian

Kebahagiaanajariakuartipenderitaan

Kegagalanajariakuuntuktidakputusasa

Sahabatajariakuuntukmenghargai orang apaadanya

dankeimananajariakuuntukbisabersyukurkepada-Nya

Ketikabersimbahpeluhtukwujudkanmimpiku

Menerawangsembahsujudkusebagaipanutanlangkahku

Kupersembahkankaryasederhanainisebagaibaktiku

kepadaAyahanda Mamma danIbundaBayang

yangtelahmelimpahkankasihsayangterbesarnya

(4)

ix

“LontaraRindu”karya S. GeggeMappangewa(PendekatanAntropologiSastra)”.

Skripsi.DibimbingolehMunirahdanAndiPaida.Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FakultasKeguruandanIlmuPendidikanUniversitasMuhammadiyah Makassar.

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan nilaibudayadalam Novel“

LontaraRindu” karya S. GeggeMappangewa, PendekatanAntropologiSastra.

Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka yang bersifat deskriptif kualitatif. Adapun yang menjadi data dalam penelitian ini adalah pernyataan yang berupa kalimat atau paragraf dan dialog yang menggambarkannilaibudayadalam

novel “LontaraRndu” karya S. GeggeMappangewa, yang diterbitkan oleh

Republikapada tahun 2012 cetakan pertama.

Hasil analisis data menunjukkan bahwa nilaibudaya yang ditemukan dalam novel “LontaraRindu” karya S. GeggeMappangewa,terdiri darienam jenis, yaitu :(1)Nilaikejujuran (alempureng); (2)Nilaikecendekiaan(amaccang); (3)Nilaikepatutan (asitinanjang); (4)Nilaiketeguhan (agettengeng);(5)Nilaiusaha (reso); (6) Nilaihargadiri, malu (siri).

Berdasarkan hasil penelitian inidisarankan

sebagaiberikut:(1)Bagimahasiswasastradapatmemahaminilai-nilaibudayadalam

novel LontaraRindu. Hal

inisangatbermanfaatdalamrangkamenambahpengetahuankhususnyatentangnilai-nilaibudayaBugis.:(2)Bagimasyarakat,

sebagaibahanmasukanuntukmelihatnilai-nilaibudaya yang

adadalamsuatudaerahkhususnyanilaibudayaBugis.(3)Bagipenelitiselanjutnyadapat menelitilebihlanjutdanmendalammengenainilaibudayakhususnyabudayaBugis.

(5)

x

Allah MahaPenyanyangdanPengasih, demikian kata

untukmewakiliatassegalakaruniadannikmat-Nya.Jiwainitakkanhentibertahmidatasanugerahpadadetikwaktu, denyutjantung,

geraklangkah, serta rasa danrasiopada-Mu, Sang

Khalik.Skripsiiniadalahsetitikdarisederetanberkah-Mu.

Setiap orang dalamberkaryaselalumencarikesempurnaan, tetapiterkadangkesempurnaanituterasajauhdarikehidupanseseorang.Kesempurnaan bagaikanfatamorgana yang semakindikejarsemakinmenghilangdaripandangan,

bagaipelangi yang terlihatindahdarikejahuan,

tetapimenghilangjikadidekati.Demikianjugatulisanini, kehendakhatiinginmencapaikesempurnaan, tetapikapasitaspenulisdalamketerbatasan.Segaladayadanupayatelahpenulisserahka nuntukmembuattulisaniniselesaidenganbaikdanbermamfaatdalamduniapendidikan, khususnyadalamruanglingkupFakultasKeguruandanIlmuPendidkan, UniversitasMuhammadiyah Makassar. Motivasidariberbagaipihaksangatmembantudalamperampungantulisanini.S egala rasa hormat, penulismengucapkanterimakasihkepadakedua orang tuasaya.MammadanBayang yang telahberjuang, berdoa, mengasuh, membesarkan, mendidik, danmembiayaipenulisdalam proses pencarianilmu. Demikain pula,

(6)

xi

danpembimbing II, yang telahmemberikanbimbingan, arahan, sertamotivasisejakawalpenyusunan proposal hinggaselesainyaskripsiini.

Tidaklupajugapenulismengucapkanterimakasihkepada; (1) Dr. H.Abd.Rahman Rahim, SE.,MM, selakuRektorUniversitasMuhammadiyah

Makassar, (2) Dr. H A. SukriSyamsuri, M.Hum,

selakuDekanFakultasKeguruandanIlmuPendidikan, UniversitasMuhammadiyah

Makassar, dan (3) Dr. Munirah,

M.PdselakuketuaJurusanPendidikanBahasadanSastra Indonesia sertaseluruhdosendanparastafpegawaidalamlingkunganFakultasKeguruandanIlmu pendidikan, UniversitasMuhammadiyah Makassar yang telahmembekalipenulisdenganserangkaiaanilmupengetahuan yang sangatbermanpaatbagipenulis.

Akhirnya, dengansegalakerendahanhati,

penulissenantiasamengharapkankritikandan saran dariberbagaipihak, selama saran dankritikantersebutsifatnyamembangunkarenapenulisyakinbahwasuatupersoalanti dakakanberartisamasekalitanpaadanyakritikan. Mudah-mudahandapatmemberimanfaatbagiparapembaca,

terutamabagidiripribadipenulis.Amin.

(7)

xii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PENGESAHAN... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING... iv SURAT PERNYATAAN... v SURAT PERJANJIAN ... vi MOTO ... vii ABSTRAK ... ix KATA PENGANTAR ... x DAFTAR ISI...xii BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang... 1 B. RumusanMasalah... 4 C. TujuanPenelitian ... 4 D. ManfaatPenelitian ... 4

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. KajianPustaka... 6

(8)

xiii

4. Novel ... 15

5. PendekatanAntropologi... 22

B. KerangkaPikir ... 23

BAB III METODE PENELITIAN A. DesainPenelitian... 26

B. DefinisiIstilah ... 26

C. Data dan Sumber Data ... 27

D. TeknikPengumpulan Data... 27

E. Teknik Analisis Data... 28

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HasilPenelitian ... 30

B. Pembahasan... 44

BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 47

B. Saran... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48 LAMPIRAN

(9)

1 A. Latar Belakang

Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Bahasa adalah bahan utama untuk mewujudkan ungkapan pribadi dalam suatu bentuk yang indah. Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun yang lalu. Kehadiran sastra di tengah peradaban manusia tidak dapat ditolak, bahkan kehadiran tersebut diterima sebagai salah satu realitas sosial budaya.

Kebudayaan merupakan hal yang dinamis, senantiasa berkembang atau berubah sesuai dengan kebutuhan zaman. Hubungan antara kebudayaan dan masyarakat sangat erat kaitannya. Masyarakat adalah tempat tumbuhnya budaya, sedangkan budaya itu sendiri sesuatu yang ada dalam masyarakat. Dengan kata lain, budaya ada karena ada masyarakat sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya.

Sastra memang tidak lahir dalam situasi kekosongan budaya, tetapi muncul pada masyarakat yang telah memiliki tradisi, adat istiadat, konvensi, keyakinan, pandangan hidup, cara hidup, cara berpikir, pandangan tentang estetika, dan lain-lain.

(10)

Kebudayaan khususnya budaya Bugis merupakan satu diantara unsur budaya yang sangat penting perannya dalam pelestarian dan pewarisan yang sebagian besar masih dipertahankan oleh masyarakat Bugis. Memang, nilai-nilai budaya dan pandangan hidup masyarakat .Bugis berasal dari masa lampau, namun demikian hal itu tidak mengurangi nilai dari warisan budaya tersebut, nilai-nilai budaya Bugis ini masih tetap digunakann sebagai pedoman dalam berperilaku dan bertindak masyarakat Bugis di masa kini.

Dalam kebudayaan terdapat pendekatan antropologi, menurut pandangan teori ini, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra. Antropologi sastra terdiri atas dua kata yaitu antropologi dan sastra. Menurut Ratna (2011: 6), antropologi sastra adalah analisis terhadap karya sastra yang di dalamnya terkandung unsur-unsur antropologi. Analisis antropologi sastra adalah usaha untuk mencoba memberikan identitas terhadap karya sastra dengan menganggapnya sebagai mengandung aspek tertentu yaitu hubungan ciri-ciri kebudayaan. Oleh karena disiplin antropologi sangat luas, maka kaitannya dengan sastra dibatasi pada unsur budaya yang ada dalam karya sastra. Hal ini sesuai dengan hakikat sastra itu sendiri yaitu sastra sebagai hasil aktivitas kultural.

Wacana budaya termasuk bagian dari lontara yang merupakan karya asli masyarakat Bugis. Bagi masyarakat Bugis, lontara dapat berfungsi sebagai; (1) lambang jati diri, (2) lambang kebanggaan, dan (3) sarana pendukung budaya daerah. Lontara dinyatakan sebagai lambang jati diri karena memuat berbagai

(11)

nilai budaya yang menjadi ciri khas masyarakat Bugis; Lontara dinyatakan sebagai lambang kebanggaan karena sikap yang mendorong sekelompok orang menjadikan Lontara sebagai lambang identitasnya, dan sekaligus dapat membedakannya dengan kelompok orang lain; dan Lontara dinyatakan sebagai sarana pendukung budaya daerah karena mengandung informasi kultural untuk membangun tatanan sosial dalam rangka memperkukuh budaya nasional. Karena, pentingnya fungsi yang diemban tersebut, Lontara tetap dipelihara dan dilestarikan oleh masyarakat Bugis. Secara sadar atau tidak, tampaknya perlakuan masyarakat Bugis terhadap Lontara, sejalan dengan amanat UUD 1945 pasal 32, yang menyatakan bahwa unsur budaya bangsa itu akan tetap dihormati dan dipelihara Negara.

Sebuah karya sastra khususnya novel yang memiliki bahasa yang indah, Setiap pemunculannya mencerminkan suatu keadaan masyarakat tertentu. Novel merupakan bagian dari karya fiksi yang memuat pengalaman manusia secara menyeluruh atau merupakan suatu terjemahan tentang perjalanan hidup yang bersentuhan dengan kehidupan manusia. Daya tarik cerita inilah yang pertama-tama akan memotivasi orang untuk membaca sebuah novel. Melalui sarana cerita, secara tidak langsung pembaca akan belajar, merasakan dan menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang secara sengaja ditawarkan pengarang. Hal itu disebabkan cerita novel tersebut akan mendorong pembaca untuk ikut merenungkan masalah hidup dan kehidupan.

(12)

Beberapa karya sastra yang bercirikan dalam antopologi sastra seperti; Sitti

Nurbaya yang menampilkan masalah pokok mengenai adat istiadat, terpaksa

kawin dalam kaitannya dengan adat minangkabau, Salah Asuhan mengenai kawin campuran antara bangsa Barat dengan pribumi, Layar Terkembang mengenai emansipasi perempuan, Bumi Manusia dalam kaitannya dengan residu kolonialisme, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang menceritakan tentang adat istiadat orang Minangkabau dalam pernikahan, Lontara Rindu mengenai perbedaan kepercayaan dan beberapa kepercayaan orang Bugis.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana representasi nilai budaya dalam novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian masalah di atas, adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan nilai budaya dalam novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa.

D. Manfaat penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoretis dan secara praktis.

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan informasi yang lebih rinci dan mendalam mengenai nilai budaya yang terdapat dalam novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa.

(13)

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat;

1. Bagi pembaca, memberi sumbangan pemikiran atau informasi mengenai nilai budaya yang terdapat dalam novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa;

2. Bagi pencinta sastra, sebagai bahan masukan dalam upaya pengkajian maupun kajian-kajian yang lainnya;

3. Bagi masyarakat umum, Sebagai bahan bacaan untuk mengetahui nilai budaya yang terdapat dalam novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa;

4. Bagi peneliti lain, sebagai bahan acuan untuk melakukan penelitian selanjutnya yang relevan dengan judul penelitian ini;

(14)

6 A. Kajian Pustaka

Kajian pustaka yang diuraikan dalam penelitian ini pada dasarnya dijadikan acuan untuk mendukung dan memperjelas penelitian ini. Sehubungan dengan masalah yang diteliti, kerangka teori yang dianggap relevan dengan penelitian ini diuraikan sebagai berikut.

1. Penelitian yang Relevan

Beberapa peneliti sebelumnya telah melakukan penelitian yang relevan dengan penelitian yang dilakukan penulis terhadap sebuah novel khususnya

representasi nilai budaya dalam novel “Lontara Rindu” Karya S. Gegge

Mappangewa. Beberapa penelitian sebelumnya yang menggunakan jenis penelitian deskriptif yang relevan dengan penelitian ini adalah Pendekatan

Sosiologi Sastra Representasi Nilai Budaya Jawa dalam Novel Canting Karya

Arswendo Atmowiloto oleh Reny Apriliyan (055114038) Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar 2009. Dalam penelitian ini Reny menyimpulkan bahwa dalam novel “canting” menujukkan bahwa nilai budaya Jawa tersebut terdiri atas hakikat hidup, karya dan etos kerja, hubungan dengan alam, hubungan dengan sesama, dan persepsi waktu. Nilai budaya yang berhubungan dengan hakikat hidup yaitu konsep dalam hakikat hidup orang Jawa yaitu mereka menerima nasib dengan pasrah, tetap tulus dan mengabdikan diri.

(15)

Adapun penelitian lain yang berhubungan dengan masalah nilai budaya antara lain yang dilakukan oleh Isma Ariyani (E31110264) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin 2014 yaitu Representasi Nilai Siri’ Pada

Sosok Zainuddin dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (Analisis Framing Novel) yang mengandung nilai budaya yang sangat kuat oleh karena itu

penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut. Cara pandang dan latar belakang sangat memengaruhi seseorang dalam menafsirkan realitas sosial berdasarkan konstruksinya masing-masing. Pada novel “Tenggelamnya Kapal

Van Der Wijck”, Hamka mengemas karakter Zainuddin sebagai sosok berdarah

Makassar-Minang berdasarkan cara pandangnya. Hamka yang notabene seorang ulama, banyak menghubungkan siri’ dengan agama islam. Sehingga penggambaran siri’ dalam novel tersebut tidak jauh dari unsur-unsur dakwah.

Adapun penelitian yang sama juga perna dilakukan oleh Fitrahayunitisna yang berjudul Representasi Nilai-nilai Budaya Jawa dalam Tokoh Novel “Biola Tak Berdawai” Karya Seno Gumira Ajidarma (Sebuah Kajian Sosiologi Sastra). Novel tersebut mengambarkan nilai-nilai budaya Jawa dalam kaitannya hubungan tokoh dengan sesamanya meliputi prinsip kerukunan, nilai hormat, tolong menolong dan etika pergaulan laki-laki dan perempuan.

2. Nilai

Nilai merupakan unsur yang penting dalam kehidupan manusia. Dalam hidupnya manusia tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai. Nilai adalah perasaan tentang apa yang diinginkan atau tidak diinginkan, tentang apa yang boleh

(16)

dikerjakan dan tidak boleh dikerjakan, tentang apa yang berharga dan yang tidak berharga (Aryandini, 2000: 19).

Bidang yang berhubungan dengan nilai adalah etika (nilai yang berkaitan tingkah laku manusia) dan estitika (nilai yang berkaitan dengan seni). Nilai dalam masyarakat tercakup pada adat kebiasaan dan tradsisi, yang secara tidak sadar diterima dan dilaksanakan oleh anggota masyarakat. Nilai budaya merupakan inti kebudayaan yang mempengaruhi dan menata elemen-elemen yang berada pada struktur permukaan kehidupan manusia yang meliputi prilaku sebagai kesatuan gejala baik berupa perilaku seni, perilaku ritual, perilaku ekonomi, perilaku politik, dan perilaku lain dalam kehidupan, dan benda-benda sebagai kesatuan material (Koentowidjoyo, 1987: 17).

3. Budaya

a. Pengertian Budaya

Istilah budaya berasal dari bahasa Inggris culture. Dari bahasa Belanda

cultuur, dan dari bahasa Latin colere yang artinya mengolah, mengerjakan,

menyuburkan dan mengembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari segi arti ini kebudayaan sebagai segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam (dalam Prasetya, 2004: 28).

Pengertian kebudayaan merupakan mekanisme kontrol bagi tingkah laku sosial anggota masyarakat pendukungnya, Geert (dalam Depdikbud, 1990: 25) . Lebih tegas lagi hal yang dikemukakan Spardley (dalam Wiranata, 2002: 94) bahwa kebudayaan ialah pengetahuan yang diperoleh dan digunakan oleh manusia menginterpretasikan pengalaman dan menggerakkan kegiatan sosial. Dalam

(17)

batasan itu kebudayaan boleh dikatakan sebagai pengetahuan manusia tentang etika dan aturan yang hanya mungkin diperoleh dalam kehidupan bermasyarakat.

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski (dalam Soekanto, 2006: 149-150) mengemukakan bahwa Cultural Determinism berarti segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Kemudian Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang

super-organic karena kebudayaan yang turun-temurun dari generasi ke generasi

tetap hidup terus. Selanjutnya seorang antropolog E.B. Tylor (dalam Soekanto, 2006: 150) memberikan definisi mengenai kebudayaan sebagai berikut (terjemahannya);

Kebudayaan adalah komples yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemapuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Dari beberapa definisi di atas kelihatan berbeda-beda, namun pada dasarnya mempunyai prinsip yang sama, yaitu sama-sama mengakui adanya ciptaan manusia. Maka, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa kebudayaan adalah hasil buah budi manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup.

Tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai cultural universals (dalam Koentjaraningrat, 2005: 80) yaitu; (1) sistem teknologi misalnya menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan; (2) sistem mata pencaharian dan sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem distribusi dan sebagainya); (3) sistem kemasyarakatan misalnya sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem

(18)

perkawinan; (4) bahasa sebagai media komunikasi baik lisan maupun tertulis; (5) kesenian mencakup seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya; (6) sistem pengetahuan dan; (7) religi atau sistem kepercayaan.

b. Jenis Budaya

Lingkungan masyarakat sangat erat dengan kaitannya oleh budaya, sehingga budaya pulalah yang melestarikan suatu masyarakat. Dalam budaya terdapat berbagai jenis budaya diantaranya yaitu:

1. Budaya Makassar

“Makassar” berasal dari kata mangkasarak yang terdiri dari 2 kata, yaitu “mang” dan “kasarak“. Mang di sini semacam sebuah kata tambahan yang memperjelas kata dasarnya, yaitu “kasarak,” di mana arti kasarak di sini adalah

terang, jelas, tegas atau nyata. Jadi, kata “Mangkasarak” mengandung arti

“memiliki sifat besar (mulia) dan berterus terang (jujur). Sebagai nama, orang yang memiliki sifat atau karakter “Mangkasarak”, berarti orang tersebut besar

(mulia), berterus terang (jujur). Makassar adalah kota yang indah, oleh karena itu, bahasa ini mempunyai abjadnya sendiri, yang disebut Lontara, namun sekarang banyak juga ditulis dengan menggunakan huruf Latin. Suku Makassar

menyebutnya “Mangkasara” berarti "mereka yang bersifat terbuka." Masyarakat

suku Makassar sebagian besar menganut agama Islam dan selain itu, masyarakat Makassar juga sejak dahulu mengenal adanya aturan tata hidup yang berkenaan dengan sistem pemerintahan, sistem kemasyarakatan dan sistem kepercayaan.

(19)

2. Budaya Bugis

Nilai budaya Bugis dapat dilihat dari dalam teks novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa. Nilai utama kebudayaan Bugis dalam novel

Lontara Rindu meliputi yaitu nilai kejujuran (alempureng), kecendekiaan

(amaccang), kepatutan (asitinanjang), keteguhan (agettengeng), usaha (reso), dan harga diri, malu (siri). Pemaparan tersebut dapat dilihat melalui kutipan-kutipan pada novel Lontara Rindu yang telah dianalisis menurut kriteria masing-masing

sesuai dengan permasalahannya” (Rahim, 2011: 107). Mengemukakan bahwa

membicarakan orientasi budaya orang Bugis dengan enam prinsip dasar antara lain:

1. Nilai Kejujuran (alempureng)

Kejujuran dianggap sangat penting dalam masyarakat Bugis. Kejujuran dalam bahasa Bugis adalah alempureng, yang berasal dari kata lempu”, yang bisa juga berarti ikhlas, benar, baik, atau adil. Dalam berbagai konteks, adakalanya kata ini berarti juga ikhlas, benar, baik, atau adil, sehingga kata-kata lawannya adalah curang, dusta, khianat, buruk, tipu, dan semacamnya.

Ada empat nilai utama kejujuran dalam masyarakat Bugis yaitu:

(a) memaafkan orang yang berbuat salah kepadanya; (b) dipercaya lalu tak curang, artinya disandari lalu tak berdusta; (c) tak menyerakahi yang bukan haknya; dan (d) tidak memandang kebaikan hanya untuk dirinya sendiri, baginya baru dinamakan kebaikan jika dinikmati bersama.

(20)

2. Nilai Kecendekiaan (amaccang)

Amaccang berasal dari kata acca, yang dalam percakapan sehari-hari

orang Bugis maknanya adalah pintar atau pandai. Amaccang selalu bermakna positif, sehingga menurut pendapat oleh (Rahim,2011:105), menerjemahkannya sebagai kecendekiaan. Cendekiawan mencintai perbuatan dan kata yang benar, waktu menghadapi kesulitan dia memikirkannya kembali, dan berhati-hati melaksanakan segala sesuatu. Cendekiawan juga berarti orang yang ikhlas, yang pikirannya selalu mencari-cari sampai dia menemukan pemecahan persoalan yang dihadapinya demikian juga perbuatan yang menjadi sumber bencana dan sumber kebajikan.

Cendekiawan adalah orang yang mencintai perbuatan dan kata yang benar, waktu menghadapi kesulitan dia memikirkannya kembali, dan berhati-hati melaksanakan segala sesuatu. Cendekiawan juga berarti orang yang berpikir seikhlas-ikhlasnya sampai dia menemukan kunci segala pemecahan persoalan dan perbuatan yang dapat menimbulkan keburukan dan kebaikan.

3. Nilai Kepatutan (asitinajang)

”Kepatutan, kepantasan, kelayakan”, yang dalam bahasa Bugis disebut asitinajang merupakan hal dianggap penting oleh orang Bugis. Asitinajang

berasal dari kata tinaja, yang berarti cocok, sesuai, pantas atau patut. Kepatutan ini diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan, dari hal – hal yang sangat besar, yang berkaitan dengan kekuasaan hingga ke hal-hal yang sangat kecil, yang sepintas lalu terlihat sepele, seperti misalnya memberikan sesuatu kepada orang lain. Jika orang merasa pantas menerimanya, dia akan sangat senang

(21)

menerimanya, tetapi jika dia merasa tak sepantasnya mendapatkan pemberian tersebut dia akan menolaknya.

Kepatutan berarti cocok, sesuai, pantas atau patut. Kepatutan ini diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan, dari hal-hal yang sangat besar, yang berkaitan dengan kekuasaan hingga ke hal-hal yang sangat kecil, yang sepintas lalu terlihat sepele, seperti misalnya memberikan sesuatu kepada orang lain. Jika orang merasa pantas menerimanya, dia akan sangat senang menerimanya, tetapi jika dia merasa tak sepantasnya mendapatkan pemberian tersebut dia akan menolaknya.

4. Nilai Keteguhan (agettengeng)

Dalam bahasa Bugis agettengeng yang berarti ”keteguhan” berasal dari kata getteng, selain berarti ”teguh”, kata inipun juga berarti ”tetap-asas atau setia

pada keyakinan, atau, kuat dan tangguh dalam pendirian, erat memegang wasiat” .

Sama halnya dengan nilai kejujuran, nilai kecendekiaan dan nilai kepatutan, nilai keteguhan ini terikat pada makna yang positif. Perwujudan nilai ini dalam

tindakan nyata berupa tindakan ”tak mengingkari janji; tak mengkhianati

kesepakatan; tak membatalkan keputusan; tak mengubah kesepakatan, dan jika berbicara dan berbuat, tak berhenti sebelum rampung”. Keteguhan berarti ”tetap asas atau setia pada keyakinan, atau kuat dan tangguh dalam pendirian, erat

(22)

5. Nilai Usaha (reso)

Nilai usaha ini didasari pada diri seseorang yang melakukan tindakan pada dirinya sendiri. Berusaha melakukan sesuatu dapat dirasakan langsung pada sebuah perbuatan atau tindakan. Dalam Lontara Rindu nilai usaha (reso) berupa kerja keras dan ketekunan yang di lakukan masyarakat Bugis, khususnya yang tergambar pada novel Lontara Rindu. Sifat dasar masarakat Bugis yang keras kepala membuat mereka semangat dan pantang menyerah dalam berusaha mereka melakukan semua itu dalam ketekunan, hanya dengan ketekunan dan kerja keras cita-cita dapat diwujudkan.

Peneliti menyimpulkan bahwa kutipan tersebut menggambarkan nilai utama budaya Bugis yaitu nilai usaha (reso). Kutipan ”dia berusaha melawan, dia berusaha bertahan terlebih dia berusaha tak sekedar bertahan tapi juga balik

menyerang dengan cara mencari jalan keluar,” merupakan ciri dari nilai

kebudayaan Bugis berupa nilai usaha (reso). 6. Nilai Malu/Harga Diri (siri’)

Nilai malu/harga diri (Siri’) adalah satu diantara nilai utama kebudayaan Bugis yang terdapat dalam novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa.

Siri dapat diartikan malu sebagai kata sifat atau keadaan, perasaan malu menyesali

diri, perasaan harga diri, noda atau aib, dan dengki. Siri disejajarkan kedudukannya dengan akal pikiran yang baik karena bukan timbul dari kemarahan, dengan peradilan yang bersih karena tidak dilakukan dengan sewenang-wenang, dengan perbuatan kebajikan yang tidak menjelekkan sesama

(23)

manusia secara tak patut. Sedangkan yang menutupi atau meniadakan malu (siri’) ialah keinginan yang berlebih-lebihan, didorong oleh kerakusan.

Peneliti menyimpulkan kutipan “aib” menggambarkan nilai utama budaya Bugis yang berupa nilai malu/harga diri (siri). Aib merupakan ciri dari nilai budaya Bugis berupa nilai malu/harga diri. Siri’ dapat diartikan malu sebagai kata sifat atau keadaan, perasaan malu dan menyesali diri, perasaan dan harga diri, perasaan malu karena ternoda atau aib, dan perasaan malu jika dengki.

Keenam unsur inilah yang akan menjadi fokus penelitian penulis untuk menggali nilai budaya dalam novel Lontara Rindu karya S.Gegge Mappangewa. 3. Novel

a. Pengertian Novel

Kata novel berasal dari bahasa Latin yaitu novellus yang diturunkan dari dari kata noveis yang berarti “baru”. Dikatakan baru karena novel dibandingkan dengan jenis karya sastra yang lain seperti puisi, drama, dan lain-lain. Robert Liddell (dalam Tarigan, 1985: 164) “novel Inggris yang pertama lahir adalah “Famela” pada tahun 1740. Sedangkan dalam The American College Dictionary (dalam Tarigan, 1985: 164):

“Novel adalah suatu cerita prosa yang diktif dalam panjang

tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata yang representatif dalam suatu alur atau suatu

keadaan yang agak kacau dan kusut”.

Sebutan novel dalam bahasa Inggris dan novella dalam bahasa Itali, bahasa jerman novelle. Secara harfiah novella berarti sebuah barang baru kecil dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa Abrams (dalam Nugriyantoro 1995: 9). Istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang

(24)

sama dengan istilah Indonesia novelet (Inggris: novelette) yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan tidak terlalu panjang namun juga tidak terlalu pendek.

Menurut Kosasih (2012:60), novel adalah karya imajinatif yang mengisahkan sisi utuh atas problematika kehidupan seseorang atau beberapa orang tokoh. Pada hakikatnya, novel merupakan cerita yang mengenai suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan seseorang, di dalamnya ditemukan pergolakan jiwa yang mengalihkan perubahan jalan nasib manusia. Jadi, dapat dinyatakan bahwa novel adalah konsentrasi kehidupan pada suatu saat yang menentukan jalan ke arah para pelakunya.

b. Unsur Novel

Karya sastra disusun oleh dua unsur yang menyusunnya. Dua unsur yang dimaksud ialah unsur intrinsik dan ekstrinsik.

1) Unsur Intrinsik

Unsur intrinsik ialah unsur yang menyusun sebuah karya sastra dari dalam yang mewujudkan struktur suatu karya sastra, seperti : penokohan, alur, latar, sudut pandang, gaya dan nada, tema. Unsur-unsur yang membangun sebuah novel yang disebutkan oleh Stanton (dalam Wiyatmi, 2006: 30) adalah sebagai berikut: a) Tokoh dan Penokohan

Pelaku yang ditemukan dalam sebuah cerita adalah pelaku yang imajinatif, pelaku yang ada dalam benak pengarang. Pelaku imajinatif itu tidak akan dijumpai pada alam nyata, sekalipun dicari pada seantero dunia. Raut muka, bentuk tubuh, sepak terjang dan karakter pelaku, dapat dikenal lewat

(25)

penggambaran, baik yang dilakukan oleh pengarang cerita, maupun pelaku. Penyitraan pelaku dengan karakter tertentu dikenal dengan istilah penokohan (Djunaedi, 1992: 82).

Seorang pengarang memiliki kebebasan menggambarkan dan menghadirkan tokoh yang bermacam-macam dalam cerita. pengarang dapat menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hidup dalam imajinasinya, menampilkan pelaku cerita yang saleh, mandiri, dan pekerja keras seperti dalam kehidupan nyata. Cara pengarang menggambarkan atau memunculkan tokohnya itu dapat berbagai macam. Menurut Aminuddin (2004: 80), dalam upaya memahami watak pelaku, pembaca dalam menelusurinya melalui:

1) Tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya;

2) Gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun cara berpakaian;

3) Menunjukkan bagaimana perilakunya;

4) Melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri; 5) Memahami bagaimana jalan pikirannya;

6) Melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya; 7) Melihat bagaimana tokoh lain berbincang dengannya;

8) Melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain memberikan reaksi terhadapnya; 9) Melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya.

(26)

b) Alur

Alur atau plot adalah rangkaian peristiwa yang disusun berdasarkan hubungan kausalitas. Hubungan unsur cerita yang satu dengan unsur cerita yang lain, selain bersifat logis juga mengandung hubungan kausalitas, yaitu bahwa peristiwa yang satu menjadi penyebab terjadinya peristiwa yang lain. Secara garis besar alur terbagi dalam tiga bagian, yaitu awal, tengah, dan akhir Sayuti (dalam Wiyatmi, 2006: 36). Bagian awal berisi eksposisi yang mengandung instabilitas yang ada konfliks. Bagian tengah mengandung klimaks yang merupakan puncak konflik. Bagian akhir mengandung penyelesaian atau pemecahan masalah.

c) Latar

Dalam karya sastra, latar dibedakan menjadi tiga macam, yaitu latar tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat berkaitan dengan ,asalah geografis. Latar waktu berkaitan dengan masalah waktu, hari, jam, maupun histories. Latar sosial berkaitan dengan kehidupan masyarakat Sayuti (dalam Wiyatmi, 2006: 40).

Latar (setting) adalah tempat atau waktu terjadinya cerita. Suatu cerita hakikatnya tidak lain ialah lukisan peristiwa atau kejadian yang menimpa atau dilakukan oleh satu atau beberapa orang tokoh pada suatu waktu di suatu tempat. d) Sudut Pandang

Kalau membaca sebuah cerita, tentu kita mengenali siapa sebenarnya yang dipilih pengarang untuk diceritakan. Inilah yang disebut sudut pandang atau point

(27)

Menurut Harry Shaw (dalam Nugriyantoro, 1995: 167), sudut pandang ada tiga macam, yaitu: a) pengarang terlibat (auther participant): pengarang ikut ambil bagian dalam cerita sebagai tokoh utama yang mengisahkan tentang dirinya. Dalam cerita ini pengarang menggunakan kata ganti orang pertama (aku atau saya). b) pengarang sebagai pengamat (auther observant): posisi pengarang sebagai pengamat yang mengisahkan pengamatannya sebagai tokoh samping. Pengarang berada di luar cerita, dan mengunakan kata ganti orang ketiga (ia atau dia) di dalam cerita. c) pengarang serba tahu (auther emniscient): pengarang berada diluar cerita (imepersonal), tetapi serba tahu tentang apa yang dirasa dan dipirkan oleh tokoh cerita. Dalam kisahan cerita, pengarang memakai nama-nama orang dan dia (orang ketiga).

e) Gaya Bahasa

Gaya bahasa merupakan cara pengungkapan yang khas bagi seorang pengarang. Gaya bahasa meliputi penggunaan diksi (pilihan kata), imaji (citraan), dan sintaksis (pilihan pola kalimat).

Sumardjo (1984: 62) mengemukakan bahwa gaya merupakan cara yang khas pengungkapan seseorang. Hal ini tercermin dalam cara pengarang menyusun dan memilih kata-kata, dalam memilih tema, dalam memandang tema atau meninjau persoalan, pendeknya gaya mencerminkan pribadi pengarangnya.

f) Tema

Tema sering disebut juga dasar cerita, yakni pokok permasalahan yang mendominasi suatu karya sastra. Tema pada dasarnya merupakan sejenis komentar terhadap subjek atau pokok masalah, baik secara eksplisit maupun

(28)

implisit. Tema memiliki fungsi untuk menyatukan unsur-unsur lainnya. Selain itu, tema juga berfungi untuk melayani visi atau responsi pengarang terhadap pengalaman dan hubungan totalnya dengan jagat raya (Sayuti, dalam Wiyatmi, 2006: 43). Tema adalah bentuk pembicaraan dalam sebuah cerita bukanlah sekadar berisi rentetan kejadian yang disusun dalam sebuah bagian, melainkan sususnan bagian yang harus mempunyai maksud tertentu (Sumardjo, 1984: 58).

Pengarang dalam mencipta sebuah cerita rekaan, biasanya tidak hanya sekadar ingin menyampaikan rentetan kejadian atau peristiwa dalam cerita begitu saja. Pencerita biasanya memiliki suatu konsep, ide, atau pemikiran yang mereka kemas dalam ceritanya. Cerita yang tergolong karya fiksi biasanya mengandung tema yang ingin disampaikan oleh pengarang atau pencerita kepada pembaca. Dalam pembahasan mengenai novel, Pradotokusumo (dalam Tang, 2005: 48) mengemukakan dua pengertian tema (Yunani: thema) dalam dua makna, yaitu

a) Tema adalah gagasan sentral atau gagasan yang dominan di dalam suatu karya sastra;

b) Pesan atau nilai moral yang terdapat secara implisit di dalam karya seni. Kedua batasan yang dikemukakan di atas, yang pertama tampaknya lebih mengacu pada batasan tema, sedangkan batasan yang kedua lebih sesuai dengan batasan amanat.

2) Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan cerita sebuah karya sastra. Sebagaimana halnya unsur intrinsik, unsur ekstrinsik juga terdiri dari sejumlah

(29)

unsur. Unsur-unsur yang dimaksud antara lain adalah latar belakang pengarang, aspek sosial budaya, ekonomi, dan politik. Aspek sosial budaya yang dimaksud adalah aspek yang menyangkut hubungan manusia dengan manusia, baik secara langsung maupun dalam bentuk kelembagaan (keluarga, masyarakat). Unsur ekstrinsik berikutnya adalah psikologi, baik yang berupa psikologi pengarang, psikologi pembaca, maupun penerapan prinsip psikologi dalam karya sastra (Nugriyantoro, 2007).

Penelitian ini lebih menfokuskan pada penelitian tentang nilai budaya. Sistem nilai budaya adalah tingkat tertinggi dan paling abstrak dari adat istiadat. Karena nilai budaya terdiri dari konsep-konsep mengenai segala sesuatu yang dinilai berharga dan penting oleh warga suatu masyarakat, sehingga dapat berfugsi sebagai suatu pedoman oerientasi pada kehidupan para warga masyarakat yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 2005:75).

Walaupun nilai-nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup warga suatu masyarakat, sebagai konsep sifatnya sangat umum, memiliki ruang lingkup yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun, justru karena itulah ia berada dalam daerah emosional dari alam jiwa seeorang. Nilai-nilai budaya yang menjadi dasar kajian dalam penelitian ini yaitu mencakup hakikat hidup, hakikat karya dan etos kerja, hakikat hubungan dengan alam, hakikat hubungan dengan sesama, dan persepsi waktu yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (dalam Prihatmi, 2003: 68).

(30)

4. Pendekatan Antropologi

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan antropologi sastra sebagai landasan teori dalam menganalisis novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa. Menurut pandangan teori ini, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra.

Antropologi sastra terdiri atas dua kata yaitu antropologi dan sastra. Menurut Ratna (2011: 6), antropologi sastra adalah analisis terhadap karya sastra yang di dalamnya terkandung unsur-unsur antropologi. Oleh karena disiplin antropologi sangat luas, maka kaitannya dengan sastra dibatasi pada unsur budaya yang ada dalam karya sastra. Hal ini sesuai dengan hakikat sastra itu sendiri yaitu sastra sebagai hasil aktivitas kultural. Pendapat lain dikemukakan oleh (Koentjaraningrat), antropologi sastra adalah analisi dan pemahaman terhadap karya sastra dalam kaitannya dengan kebudayaan.

Analisis antropologi sastra adalah usaha untuk mencoba memberikan identitas terhadap karya sastra dengan menganggapnya sebagai mengandung aspek tertentu yaitu hubungan ciri-ciri kebudayaannya.

Menurut Ratna (2011: 68) antropologi sastra berfungsi untuk:

1) Melengkapi analisis ekstrinsik di samping sosiologi sastra dan psikologi sastra.

2) Mengantisipasi dan mewadahi kecenderungan-kecenderungan baru hasil karya sastra yang di dalamnya banyak dikemukakan masalah-masalah kearifan local.

(31)

3) Diperlukan dalam kaitannya dengan keberadaan bangsa Indonesia, di dalamnya terkandung beraneka ragam adat kebiasaan seperti; mantra, pepatah, motto, pantun, yang sebagian besar juga dikemukakan secara estetis dalm bentuk sastra.

4) Wadah yang sangat tepat bagi tradisi dan sastra lisan yang selama ini menjadi wilayah perbatasan disiplin antropologi sastra.

5) Mengantisipasi kecenderungan kontemporer yaitu perkembangan multidisiplin baru.

B. Kerangka Pikir

Sesuai dengan penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya, berikut ini diuraikan hal-hal yang menjadi landasan pemikiran dalam penelitian ini.

Penelitian ini merupakan suatu pendekatan antropologi sastra yang bertujuan untuk mendeskripsikan representasi nilai budaya bugis yang terdapat dalam novel Lontara Rindu.

Karya sastra sebagai realitas imajiner pengarang dapat dibedakan atas puisi, prosa fiksi atau prosa naratif, dan drama. Prosa fiksi atau cerita rekaan ialah karya sastra dalam bentuk prosa yang berupa cerita hasil rekaan pengarang, yakni hasil olahan daya kreatif dan daya imanjinasi pengarang berdasarkan pandangan, tafsiran, dan penilaiannya tentang peristiwa-peristiwa yang hanya berlangsung imajinasinya (peristiwa yang tidak pernah terjadi). Prosa fiksi tersebut yaitu berupa novel Lontara Rindu yang menjadi bahan kajian dalam penelitian ini.

(32)

Dalam penelitian ini kajian difokuskan pada salah satu karya sastra berupa novel, khususnya novel yang berjudul Lontara Rindu karya S. Gegge

Mappangewa. Novel Lontara Rindu yang memuat nilai-nilai yang terdapat dalam

suatu masyarakat, salah satu aspek yang menjadi kajian dalam penelitan ini yaitu nilai budaya Bugis. Nilai Budaya masyarakat Bugis dalam novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa, akan dikaji dengan menggunakan pendekatan antropologii sastra. Pendekatan antropologi sastra yang dimaksud yaitu menurut Laurenson dan Swingewood yaitu penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan.

Dalam pendekatan ini membicarakan orientasi budaya orang bugis yang memiliki enam prinsip dasar yaitu : (1) Nilai Kejujuran (Alempureng), (2) Nilai Kecendekiaan (Amaccang), (3) Nilai Kepatutan (Asitinajang), (4) Nilai Keteguhan (Agettengeng), (5) Nilai Usaha (Reso) dan (6) Nilai Malu/Harga Diri (Siri). Bertujuan untuk menghasilkan nilai utama kebudayaan Bugis dan dapat memahami berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat Bugis karena tidak digunakannya nilai-nilai budaya tertentu sebagai pedoman untuk memahami, menjelaskan serta menyelesaikan persoalan-persoalan tertentu. (Rahim, 2011:105).

(33)

Adapun alur kerangka pikir penelitian ini, digambarkan pada skema kerangka pikir sebagai berikut.

pP

Bagan Kerangka Pikir Karya Sastra

Puisi ProsaProsa Drama

Prosa Fiksi

Novel Lontara Rindu

Nilai Budaya Bugis

Nilai Kejujuran (Alempureng) Nilai Kecendekiaan (Amaccang) Nilai Kepatutan (Asitinajang) Nilai Keteguhan (Agettengeng ) Nilai Usaha (Reso) Nilai Malu (Siri’) Analisis Temuan

(34)

26 A. Desain Penelitian

Pada penelitian ini peneliti menggunakan metode deskriptif. Hal ini dimaksudkan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan suatu cerita secara utuh dan apa adanya. Menurut Moleong (2013: 11) dalam metode deskriptif data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Metode ini digunakan untuk memberikan gambaran mengenai nilai budaya dalam novel

Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa. Bentuk penelitian yang akan

digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk kualitatif. Menurut Moleong (2013:6) penelitian kualitatif adalah penelitian untuk memahami fenomena yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.

B. Definisi Istilah

Representasi yaitu keadaan yang mewakili atau menggambarkan atau mendeskripsikan sesuatu.

Nilai budaya adalah inti kebudayaan dalam kehidupan manusia yang meliputi perilaku sebagai kesatuan gejala baik perilaku seni, ritual, ekonomi, politik dan perilaku lain dalam kehidupan.

(35)

Representasi nilai budaya dalam novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa adalah penggambaran nilai budaya Bugis yang terdapat dalam novel

Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa yang meliputi, nilai kejujuran

(alempureng), kecendekiaan (amaccang), kepatutan (asitinanjang), keteguhan (agettengeng), usaha (reso), dan malu/harga diri (siri), dengan mengunakan pendekatan antropologi sastra.

C. Data dan Sumber Data 1. Data

Data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keterangan atau bahan yang dijadikan dasar kajian dan analisis. Oleh karena itu, data dalam penelitian ini adalah kutipan berupa kalimat, paragraf, dan dialog yang menggambarkan nilai budaya dalam novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa.

2. Sumber Data

Sumber data penelitian ini adalah novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa, Harian Republika pada tahun 2012 di Jakarta ini merupakan novel

best seller peraih penghargaan terbaik pertama “Lomba Novel Republika 2011”.

Novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa ini terdiri dari 343 halaman. D. Teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan tujuan penelitian ini, data yang dikumpulkan adalah data dan informasi berupa nilai budaya yang terdapat pada Novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa. Oleh karena itu, dalam upaya menjaring semua data dan informasi yang dibutuhkan tersebut, digunakan beberapa teknik pengumpulan data sebagai berikut.

(36)

1. Teknik Baca

Teknik ini dilakukan dengan membaca berulang pada novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa yang direpresentasikan dengan nilai budaya Bugis. 2. Teknik Dokumentasi

Teknik ini digunakan untuk menjaring data tertulis yang terdapat dalam novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa. Data dianalisis dengan jalan memilih dan memilah-milah nilai budaya Bugis nilai kejujuran (alempureng), kecendekiaan (amaccang), kepatutan (asitinanjang), keteguhan (agettengeng), usaha (reso), dan malu/harga diri (siri). yang terdapat dalam novel tersebut.

3. Teknik Pencatatan

Hasil pembacaan yang menggambarkan nilai budaya Bugis (dalam bentuk kalimat atau paragraf) yang digunakan dalam novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa tersebut dicatat dalam kartu yang telah disiapkan.

E. Teknik Analisis Data

Data dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif-kualitatif dengan menggunakan pendekatan Antropologi Sastra. Analisis data yang digunakan mengikuti langkah-langkah seperti berikut:

1. Menganalisis dan menginterpretasi nilai utama budaya Bugis yang menggambarkan nilai kejujuran (alempureng) dalam novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa.

2. Menganalisis dan menginterpretasi nilai utama budaya Bugis yang menggambarkan nilai kecendekiaan (amaccang) dalam novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa.

(37)

3. Menganalisis dan menginterpretasi nilai utama budaya Bugis yang menggambarkan nilai kepatutan (asitinajang) dalam novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa.

4. Menganalisis dan menginterpretasi nilai utama budaya Bugis yang menggambarkan nilai keteguhan (agettengeng) dalam novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa.

5. Menganalisis dan menginterpretasi nilai utama budaya Bugis yang menggambarkan nilai usaha (reso) dalam novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa.

6. Menganalisis dan menginterpretasi nilai utama budaya Bugis yang menggambarkan nilai malu/harga diri (siri) dalam novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa.

7. Menyimpulkan hasil analisis sehingga diperoleh deskripsi tentang nilai budaya Bugis yang terdapat dalam novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa.

(38)

30 A. Hasil Penelitian

Sebuah budaya memberikan warna yang kuat terhadap suatu kebijakan, perilaku, dan dinamika komunitasnya. Dalam bekerja seseorang lazim mengadopsi nilai-nilai dari hidup kesehariannya. Nilai adalah suatu keyakinan kuat terhadap bentuk tingkah laku atau sikap tertentu yang disukai dan mudah diterima baik secara personal maupun sosial. Hakikat nilai budaya adalah perwujudan pergaulan sosial yang tanpa mementingkan diri sendiri karena kepentingan kolektif lebih penting dibandingkan dengan kepentingan pribadi. Nilai budaya dalam novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa tercermin dalam pemaparan tersebut.

Agar pembahasan ini sistematis dan konkret, hasil analisis data nilai budaya tersebut disajikan dalam enam nilai budaya yaitu ,nilai kejujuran (alempureng), kecendekiaan (amaccang), kepatutan (asitinanjang), keteguhan (agettengeng), usaha (reso), dan harga diri, malu (siri). Hasil analisis data mengenai nilai budaya tersebut dideskripsikan satu per satu untuk mengetahui nilai budaya dalam cerita yang disertai dengan kutipan dari teks novel sebagai bahan analisis.

(39)

1. Nilai Kejujuran (Alempureng)

Kejujuran dianggap sangat penting dalam masyarakat Bugis. Kejujuran dalam bahasa Bugis adalah alempureng, yang berasal dari kata lempu’; yang bisa juga berarti ikhlas, benar, baik, atau adil (Rahim, 2011: 107). Dalam berbagai konteks, adakalanya kata ini berarti juga ikhlas, benar, baik, atau adil, sehingga kata-kata lawannya adalah curang, dusta, khianat, buruk, tipu, dan semacamnya.

Ada empat nilai utama kejujuran dalam masyarakat Bugis yaitu: (a) memaafkan orang yang berbuat salah kepadanya; (b) dipercaya lalu tak curang, artinya disandari lalu tak berdusta; (c) tak menyerakahi yang bukan haknya; dan (d) tidak memandang kebaikan hanya untuk dirinya sendiri, baginya baru dinamakan kebaikan jika dinikmati bersama. Ada pula berbagai contoh yang

menunjukkan bahwa ”jujur” berarti: tidak mencuri, tidak melakukan sesuatu tanpa

izin dari yang berhak, tidak mengambil yang bukan haknya. Berdasarkan data yang ada, nilai utama budaya Bugis berupa nilai kejujuran (alempureng) yang terdapat dalam Novel Lontara Rindu adalah sebagai berikut:

(Data 51) “ Kebenaran ungkapan itu dia rasakan setelah Pak Amin, guru penjas yang pernah datang membawah rasa berduka saat dia tak masuk sekolah dengan alasan kakeknya meninggal, mendiamnya.”

Data tersebut, kini Vito mulai mengakui kebenaran uangkapan tersebut karena Vito merasa didiamin oleh Pak Amin pada setiap pembelajaran berlansung.

(Data 52) “Kamu memang keterlaluan, To! harusnya waktu kami kerumahmu dengan Pak Amin, kamu jujur saja. Bukan malah pura-pura terpukul dengan kematian kakek kamu.”

Data tersebut, Vito mengakui kesalahannya akhirnya dia memberanikan diri untuk meminta maaf kepada teman-temannya dan Pak Amin.

(40)

(Data 95). “Beberapa hari kemudian, datanglah menghadap seorang rakyat yang merasa telah mencuri kayu tetangga kebunnya untuk memperbaiki kaki salaga (alat pembajak sawah dari kayu yang berbentuk sisir raksasanya). Sang raja terperangah. Pemuda yang datang menghadap dan mengakui perbuatannya telah mencuri itu adalah putra tercinta Nenek Mallomo.”

Data tersebut “mengakui perbuatannya telah mencuri” menjelaskan bahwa anak

Nenek Mallomo mengakui perbuatannya yang telah mencuri kayu tetangga kebunnya untuk memperbaiki kaki salaga –nya (alat pembajak sawah dari kayu yang berbentuk sisir raksasa) yang patah. Pemuda itu telah melakukan sesuatu tanpa izin dari yang berhak dan mengambil yang bukan haknya. Hal tersebut

terlihat jelas pada kutipan kalimat yang ada di dalam novel yakni “Pemuda yang

datang menghadap dan mengakui perbuatannya telah mencuri itu adalah putra

tercinta Nenek Mallomo”.

(Data 97) “Sebentar duluh! sebelum Sarah dan Waddah pulang, sebelum kalian tidur nanti, termasuk yang laki-laki, kalian harus memikirkan apa yang telah kalian lakukan yang jauh dari sifat jujur. Bohong? atau mungkin mencuri? Jangan sampai satu diantara kalian yang menjadi penyebab kemarau ini lebih hebat dari kemarau yang melanda di masa hidup Nenek Mallomo, karena, kemarau yang sekarang bahkan telah membuat sungai-sungai kering.”

Data tersebut, meberikan nasehat atau pesan terhadap siswa-siswinya agar mereka berbuat kebaikan, berperilaku jujur serta tutur katanya yang di keluarkan terhadap sesama, karena jagan sampai kalian menjadi penyebab hal-hal yang dapat merusak orang lain.

(Data 105)“ Dia hanya ingin tahu, tentu saja dari jawaban terjujur, dimana ayhnya sekarang? itu saja sudah cukup kalau memang lebih dari itu terlalu melukakan untuk diceritakan!.

(41)

Data tersebut, bahwa Vito adalah anak yang sangat merindukan seorang ayah dan dia selalu bertanya kepada orang yang terdekatnya namun dia menginginkan jawaban yang jujur terhadap sosok ayah yang dirindukannya itu.

Peneliti menyimpulkan bahwa kutipan tersebut menggambarkan nilai utama budaya Bugis yang berupa nilai kejujuran (alempureng). Mengakui perbuatannya telah mencuri merupakan perbuatan yang jujur pemuda tersebut

lakukan yang menunjukkan bahwa ”jujur” berarti, tidak mencuri, tidak melakukan

sesuatu tanpa izin dari yang berhak, tidak mengambil yang bukan haknya. 2. Nilai Kecendekiaan (Amaccang)

Amaccang berasal dari kata acca, yang dalam percakapan sehari-hari

orang Bugis maknanya adalah pintar atau pandai.), amaccang selalu bermakna positif, sehingga Rahim menerjemahkannya sebagai kecendekiaan. Cendekiawan mencintai perbuatan dan kata yang benar, waktu menghadapi kesulitan dia memikirkannya kembali, dan berhati-hati melaksanakan segala sesuatu. Cendekiawan juga berarti orang yang ikhlas, yang pikirannya selalu mencari-cari sampai dia menemukan pemecahan persoalan yang dihadapinya demikian juga perbuatan yang menjadi sumber bencana dan sumber kebajikan.

Berdasarkan data yang ada, nilai utama budaya Bugis berupa nilai kecendekiaan (Amaccang) yang terdapat dalam Lontara Rindu adalah sebagai berikut.

( Data 14) “Bu Maulidah sebenarnya kagum dengan kepintaran Vito bercerita. Paling jago ngarang cerita. Selalu punya alasan yang membuat temannya terpesona sekaligus membuat Bu Maulidah memnyembunyikan senyum karena tak ingin dianggap luluh di depan Vito.”

(42)

Data tersebut, Vito merupan anak yang pintar dan banyak akal dan dia jago dalam mengarang cerita sehingga mudah menarik perhatian orang lain.

( Data 87) “ Dua bulan tinggal di kampung kita, sekalipun dia tak pernah ke masjid. Setinggi apapun sekolahnya, bagiku Aziz yang selalu azan di masjid, masih jauh lebih berpendidikan dari pada dia.

Data tersebut, Aziz hanyalah seorang yang tamatan SD tapi dia mempunyai keahlian azan dan dapat mengalahkan orang yang berpendidikan, dan itu membuktikan bahwa seseorang tidak bisa diremehkan.

(Data 93) “Nenek Mallomo itu adalah cendekiawan Muslim Bugis yang hingga kini belum tertandingi oleh cendekiawan mana pun.”

Data tersebut, menjelaskan Nenek Mallomo adalah cendekiawan Muslim Bugis yang hingga kini belum tertandingi oleh cendekiawan mana pun. Kedudukan Nenek Mallomo yang bernama asli La Pagala adalah sebagai penasihat kerajaan. Beliau memegang nilai yang disebut alempureng nennia deceng-kapang, yang berarti kejujuran dan baik sangka.Tokoh legendaris asal Kabupaten Sidenreng Rappang ini namanya diabadikan di rumah sakit umum milik pemerintah di kota kabupaten.

(Data 223) “Anugrah melihat kehebatan Vito saat itu. Setelah memetik buah kelapa, Vito turun dengan tangan kanan tetap memegang kelapa dan tangan kiri yang berpegang dibatang kelapa. Sangat lincah! Seolah seperti tokek yang telapak kaki dan tanganya terdapat guratan halus yang membuatnya bisa melengket di mana pun, termasuk dipohon kelapa yang menjulalang tinggi.

Data tersebut, Selain Vito pintar ngarang cerita bahkan dia juga mempunyai keahlian memetik kelapa, sehingga membuat temannya menjadi kaget melihat kehebatan yang ditunjjukkan oleh Vito.

(43)

Peneliti menyimpulkan bahwa kutipan tersebut menggambarkan nilai budaya Bugis yang berupa nilai kecendekiaan (Amaccang). Cendekiawan orang Bugis mengartikannya sebagai orang pandai atau pintar, juga bisa dikatakan sebagai orang yang intelektual, ahli pikir atau hikmah arif. Hal tersebut diperjelas oleh pendapat Rahim (2011: 128), cendekiawan adalah orang yang mencintai perbuatan dan kata yang benar, waktu menghadapi kesulitan dia memikirkannya kembali, dan berhati-hati melaksanakan segala sesuatu. Cendekiawan juga berarti orang yang berpikir seikhlas-ikhlasnya sampai dia menemukan kunci segala pemecahan persoalan dan perbuatan yang dapat menimbulkan keburukan dan kebaikan.

3. Nilai Kepatutan (Asitinajang)

”Kepatutan, kepantasan, kelayakan”, yang dalam bahasa Bugis disebut asitinajang merupakan hal dianggap penting oleh orang Bugis. Asitinajang

berasal dari kata tinaja, yang berarti cocok, sesuai, pantas atau patut. Kepatutan ini diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan, dari hal-hal yang sangat besar, yang berkaitan dengan kekuasaan hingga kehal-hal yang sangat kecil, yang sepintas lalu terlihat sepele, seperti misalnya memberikan sesuatu kepada orang lain. Jika orang merasa pantas menerimanya, dia akan sangat senang menerimanya, tetapi jika dia merasa tak sepantasnya mendapatkan pemberian tersebut dia akan menolaknya.

(44)

Berdasarkan data yang ada, nilai utama budaya Bugis berupa nilai kepatutan (asitinajang)) yang terdapat dalam Lontara Rindu adalah sebagai berikut.

(Data 95) “Nenek Mallomo sebagai hakim yang bijak dan adil kemudian menjatuhkan vonis mati kepada putra tercintanya” Apa itu terlalu berlebihan, pagala?

Puang saya menghukumnya bukan karena kayu yang dicurinya, tapi karena perbuatannya itu. Karenanya negeri ini telah dilandah kemarau berkepanjangan.Dia telah menyengsarakan rakyat.”

Data tersebut, Nenek Mallomo yang hanyalah manusia biasa namun sangat luar biasa dalam menegakkan keadilan, sehingga kehilangan putra tercintanya, demi menyelamatkan kampungnya yang dapat menyengsarakan rakyat atas perbuatan anaknnya, Nenek Mallomo berkata bahwa anaknya pantas mendapat hukuman karena telah mencuri milik orang lain.

(Data 132) “Mereka pantas mendapatkan gelar itu, karena selain mampu meracik aneka bahan untuk dijadikan sambal, Irfan dan Bimo ternyata juga punya tips agar rahasia agar sambel menggugah selera.”

(Data 134)“Dia berhak mendapatkan gelar profesor itu dari pak Amin yang memang penggemar sambal.Sejak sering mengajar siswanya mabit ( menginap) dan membuat acara makan-makan, para siswanya pun tahu, bahwa dia adalah penikmat sambal sejati. Akhirnya dia diberi gelar “sambaler” oleh para siswanya.

Data tersebut, kehebatan yang mereka miliki adalah mampu mencocokkan jenis sambal dengan jens makanan yang disantap. Dan masih banyak lagi sambal racikan Irfan dan Bimo. Siapapun yang menikmatinya akan mengaku jika buatan mereka benar-benar nikmat. Bahkan Pak Amin juga salah satu penggemar sambal yang dibuat oleh Bimo dan Irfan dan pak amin mengatakan mereka pantas mendapatkan gelar itu.

(45)

(Data 134)“Kedekatan Pak Amin dengan siswa-siswanya memang memberi suasana lain di kelas yang hanya sembilan orang itu. Tapi sedekat apa pun, kalau mereka melakukan pelanggaran, Pak Amin tak segan-segan menarik rambut pelipis. Bahkan, masih sering mengancam hukuman atletik pada siswanya. Prinsipnya, guru adalah sahabat, tapi tetap diposisikan sebagai guru”.

Data tersebut,“kalau mereka melakukan pelanggaran, Pak Amin tak segan-segan menarik rambut pelipis” menjelaskan kepatutan yang pak Amin lakukan kepada

para siswanya. Sedekat apa pun pak Amin dengan siswa-siswanya, kalau mereka melakukan pelanggaran pak Amin tetap memberikan hukuman yang sesuai dan pantas mereka terima karena telah melakukan pelanggaran. Kepatutan tersebut tetap pak Amin lakukan, prinsipnya guru adalah sahabat, tapi tetap diposisikan sebagai guru. Hal tersebut terlihat jelas pada kutipan kalimat yang ada di dalam

novel yakni “Kedekatan Pak Amin dengan siswa-siswanya memang memberi

suasana lain di kelas yang hanya sembilan orang itu. Tapi sedekat apa pun, kalau mereka melakukan pelanggaran, Pak Amin tak segan-segan menarik rambut pelipis. Bahkan, masih sering mengancam hukuman atletik pada siswanya.

Prinsipnya, guru adalah sahabat, tapi tetap diposisikan sebagai guru.”

Peneliti menyimpulkan bahwa kutipan tersebut menggambarkan nilai budaya Bugis yang berupa nilai kepatutan (asitinajang). Hal tersebut diperjelas oleh pendapat Rahim (2011: 129), kepatutan berarti cocok, sesuai, pantas atau patut. Kepatutan ini diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan, dari hal-hal yang sangat besar, yang berkaitan dengan kekuasaan hingga ke hal-hal yang sangat kecil, yang sepintas lalu terlihat sepele, seperti misalnya memberikan sesuatu kepada orang lain. Jika orang merasa pantas menerimanya, dia akan

(46)

sangat senang menerimanya, tetapi jika dia merasa tak sepantasnya mendapatkan pemberian tersebut dia akan menolaknya.

4. Nilai Keteguhan (Agettengeng)

Dalam bahasa Bugis agettengeng yang berarti ”keteguhan” berasal dari kata getteng, selain berarti ”teguh”, kata inipun juga berarti ”tetap-asas atau setia pada keyakinan, atau, kuat dan tangguh dalam pendirian, erat memegang

wasiat”.Sama halnya dengan nilai kejujuran, nilai kecendekiaan dan nilai

kepatutan, nilai keteguhan ini terikat pada makna yang positif. Perwujudan nilai ini dalam tindakan nyata berupa tindakan ”tak mengingkari janji; tak mengkhianati kesepakatan; tak membatalkan keputusan; tak mengubah

kesepakatan, dan jika berbicara dan berbuat, tak berhenti sebelum rampung”.

Berdasarkan data yang ada, nilai utama budaya Bugis berupa nilai keteguhan (agettengeng) yang terdapat dalam Lontara Rindu adalah sebagai berikut:

(Data 3) “Tak mau memeluk Islam seperti yang diminta Sultan Alauddin, I Pabbere' memilih meninggalkan Wajo untuk tetap menjalankan ajaran nenek moyangnya. Pabbere' yakin, Dewata SeuwaE (Sang Hyang Widi) yang bergelar PotatoE akan menolongnya”.

Data tersebut,“tak mau memeluk Islam menjalankan ajaran nenek moyangnya”

menjelaskan I Pabbere' yang tetap teguh dalam pendiriannya, dia tetap setiap pada keyakinannya dan tidak mau memeluk agama Islam seperti yang diminta Sultan Alauddin. I Pabbere' memilih meninggalkan Wajo untuk tetap menjalankan ajaran nenek moyangnya. Pabbere' yakin, Dewata SeuwaE (Sang Hyang Widi) yang bergelar PotatoE akan menolongnya.

(47)

(Data 117)“Mama Vito tetap keuhkeuh dengan prinsipnya.Baginya, semua orang yang telah berkeluarga akan menerima takdirnya sebagai janda atau pun duda kalau dia laki-laki. Hanya berapa persen saja suami istri yang meninggal bersamaan? Dan itulah yang tak akan menjanda atau menduda.

Data tersebut, Mama Vito tetap teguh dalam perinsipnya bahwa tidak ada orang yang bisa menolak takdir sebagai kembang janda.arang-orang yang berusaha menolak takdir adalah orang-orang yang musyrik.

(Data 185) “Dia tak akan mau meninggalkan Islam hanya karena cinta. Dari kecil ayahnya mendidiknya ke masjid.

Data tersebut, Bahkan, meskipun beberapa anggota keluargannya yang Muslim bisa ke pammasetau melepas nazar, tapi ayahnya dari kecil mendidiknya untuk tidak bergantung pada siapapun kecuali pada Allah. Dia bisa menghianati ayahnya dalam urusan cinta, tapi dalam urusan agama dia tak perlu berpikir dua kali untuk

mengatakan ‘ TIDAK’.

( Data 186 ) “ Saya akan masuk Islam. Itu hanya bisa saya lakukan dengan pergi dari rumah.”Luka dibalik dada Halimah sedikit berkurang meski masih tersisah nyeri. Luka itu berpindah ke hati Ilham yang baru saja berkeputusan untuk masuk Islam. Ayahnya, bahkan keluarga besarnya, semuanya adalah Tolatang. Bahkan kakeknya adalah seorang uwa ( Pemimpin Tolatang).

Data tersebut, ,“tak mau menjalankan ajarannya sebagai Tolatang Ilham yang tetap teguh dalam pendiriannya, dia tetap setiap pada keyakinannya dan tidak mau melukai perasaan Halimah akhirnya Ilham memutuskan untuk memeluk agama Islam. Namun kakek dan ayahnya tidak menyetujui keputusan yang diambil karena keluarnga besar Ilham adalah Tolatang maka dia harus silarian (kawin lari).

(48)

(Data 241) “Dari pada mati dirantau, Halimah memberanikan diri memilih jalan kematian yang kedua. Pulang Kepakka Salo. Kalaupun tak ada maaf dari ayahnya, dia rela mati ditangan ayahnya demi menebus kesalahannya, asalkan bayi di dalam perutnya selamat.”

Data tersebut, Halima adalah sosok wanita yang pemberani dan teguh bahkan tidak mau putus asa, ia berusaha untuk memperbaiki kesalahan apa yang sudah diperbuat bersama Ilham.Dia memberanikan diri untuk pulang Kepakka Salo untuk meminta maaf kepada ayahnya dan rela mati untuk menyelamatkan bayi yang di dalam perutnya.

Peneliti menyimpulkan bahwa kutipan tersebut menggambarkan nilai budaya Bugis yang berupa nilai keteguhan (agettengeng). I Pabbere' tetap teguh

pada pendiriannya, dia tetap setiap pada keyakinannya. Keteguhan berarti

”tetap-asas atau setia pada keyakinan, atau, kuat dan tangguh dalam pendirian, erat

memegang wasiat”. Sehingga hal ini membuktikan bahwa I Pabbere’ telah

melakukan nilai keteguhan karena dia tetap teguh pada pendiriannya tidak mau memeluk agama Islam, dan tetap setiap pada keyakinannya.

5. Nilai Usaha (Reso)

Nilai usaha ini didasari pada diri seseorang yang melakukan tindakan pada dirinya sendiri. Berusaha melakukan sesuatu dapat dirasakan langsung pada sebuah perbuatan atau tindakan. Dalam Lontara Rindu nilai usaha (reso) berupa kerja keras dan ketekunan yang di lakukan masyarakat Bugis, khususnya yang tergambar pada novel Lontara Rindu. Sifat dasar masarakat Bugis yang keras kepala membuat mereka semangat dan pantang menyerah dalam berusaha mereka melakukan semua itu dalam ketekunan, hanya dengan ketekunan dan kerja keras cita-cita dapat diwujudkan. Nilai usaha ini juga dapat kita temukan dalam novel

(49)

Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa. Berdasarkan data yang ada, nilai

utama budaya Bugis berupa nilai usaha (reso) yang terdapat dalam Lontara Rindu adalah sebagai berikut.

(Data 75)“Kini, dia berusaha melawan, tidak berlari ke pos ronda. Dia berusaha bertahan setiap rindu pada ayahnya datang menyerang. Terlebih, dia berusaha tak sekedar bertahan tapi juga balik menyerang dengan cara mencari jalan keluar, bagaimana dia bisa bertemu dengan ayahnya. Atau paling tidak, menemukan cerita ayahnya.”

Data tersebut ”dia berusaha melawan dia berusaha bertahan terlebih dia berusaha tak sekedar bertahan tapi juga balik menyerang dengan cara mencari jalan keluar”

menjelaskan adanya gejolak yang terjadi pada diri Vito untuk berusaha bukan sekedar diam menahan beban yang dirasakannya selama ini.

(Data 114) “Kakek ingin ceritakan tentang ayah padaku? sedikit saja!” pelas vito sambil berusaha mencari keberadaan mamanya. Dia takut kalimat itu terdengar oleh mamanya.

Sayang sekalih, kakeknya tak perlu berpikir untuk menjawab pertanyaan itu dengan gelengan.

Data tersebut, Vito berusaha mencari keberadaan mamanya jangan sampai cerita Vito dan kakeknya terdengar oleh mamanya. Namun harapan yang diinginkan oleh Vito kini terampas lagi .Kakeknya tak ingin menceritakan tentang keberadaan ayahnya.

(Data 116) “Sejak kepergian ayah Vito, lelaki itu seperti tak bisa apa-apa. Tapi, dia berusaha tegar di depan Vito. Meyakinkan pada Vito dan mamanya, bahwa hidup tetap harus bergulir karena matahari masih terbit di timur dan tenggelam di barat.

Data tersebut,Kakek Vito berusaha merasiakan tentang keberadaan ayahnya,dan dia mencoba tegar di depan Vito dan mamanya, karena luka yang ditinggalkan ayah Vito memang sangat memerihkan. Kepergiannya tak sendiri, tapi membawa

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengungkapkan struktur yang membangun novel Madame Kalinyamat Karya Zhaenal Fanani, (2) mengungkapkan nilai budaya yang terdapat dalam novel

Tujuan penelitian ini adalah mengungkapkan struktur yang membangun novel Madame Kalinyamat Karya Zhaenal Fanani, mengungkapkan nilai budaya yang terdapat dalam novel Madame

Nilai tersebut meliputi nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan yang terdiri dari nilai ketawakalan, ketakwaan, iman kepada takdir, bersyukur, dan keridaan, nilai

yang telah melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Nilai Moral dalam Novel Rindu Karya Tere Liye:

Data primernya berupa kutipan-kutipan (kata, frasa, dan kalimat) yang berkaitan dengan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam novel Kubah disesuaikan dalam

Latar sosial yang dominan pada novel ini adalah keharmonisan, kekayaan, kerukunan, (3) nilai moral yang terdapat dalam novel Rindu karya Tere Liye (a) kerendahan

Berdasarkan uraian diatas yang dikutip dari cerita kehidupan yang berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan terkhusus untuk nilai-nilai pendidikan Islam, dalam novel Kembara Rindu karya

Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa representasi budaya yang terdapat pada novel Siri’ karya Asmayani Kusrini berupa Siri’