• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

11 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Teori Negara Kesatuan

Negara Indonesia adalah “negara kepulauan (archipelago state) di Asia Tenggara yang memilki 17.508 pulau besar dan kecil serta memiliki jumlah penduduk sekitar 240 Juta jiwa.”15

Indonesia memiliki keragaman etnik dan budaya pada setiap daerahnya, sehingga masing-masing daerah memiliki karakteristik sendiri.

Negara Indonesia menganut sistem negara kesatuan yang mengandung pengertian bahwa pemerintah pusat menjalankan kedaulatan tertinggi negara. Agar tidak sewenang-wenang, aktivitas pemerintah diawasi dan dibatasi oleh undang-undang. Konsekuensi logis dari posisinya sebagai penyelenggara kedaulatan negara, maka unit-unit pemerintahan yang dibentuk dan berada dibawah pemerintah pusat harus tunduk kepada pemerintah pusat. “Tanpa disertai ketundukan dan kepatuhan secara organisasional berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, akan terjadi tumpang tindih dan tabrakan dalam pelaksanaan kewenangan

(prinsip unity of command).”16

Pola hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dipengaruhi oleh bentuk negara, yakni apakah negara itu berbentuk negara kesatuan, federal atau bentuk lainnya. Menurut Fred Isjwara, “negara kesatuan adalah bentuk kenegaraan yang paling kokoh, jika dibandingkan dengan federal atau konfederasi.”17

Kedaulatan pada negara kesatuan, baik kedaulatan ke dalam maupun kedaulatan keluar, sepenuhnya terletak pada pemerintah. Walaupun pemerintah mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah otonomi berdasarkan sistem desentralisasi, namun kekuasaan tertinggi tetap pada pemerintah pusat.

15

Redaktur Indonesia, Wikipedia.org. http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia, diakses Pada Tanggal 06 November 2015, Pukul 07:00 Wib.

16 Ni’Matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusa Media, Bandung, 2009, Hal 27.

(2)

commit to user

12 Jimly Assydiddiqie menegaskan “dalam negara kesatuan (unitary state) kekuasaan asli itu memang berada di pemerintah, bukan di daerah, yang diberikan ke daerah bukanlah kekuasaan (power) asli tanpa atribut tetapi kekuasaan yang sudah dilegalisasikan yang biasa disebut sebagai kewenangan

(authority).”18 Otonomi daerah diberikan oleh pemerintah (central

government), sedangkan daerah hanya menerima penyerahan dari pemerintah.

Negara kesatuan dapat dibedakan menjadi dua bentuk: 1. Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi.

2. Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi.19

Kesatuan bagian-bagian negara itu lazim disebut dengan daerah, sedangkan istilah ini merupakan istilah teknis bagi penyebutan suatu daerah teritorial yang berpemerintahan sendiri dalam kerangka negara kesatuan yang dimaksud. Istilah “daerah bermakna bagian atau unsur dari sutau lingkungan yang lebih besar sebagai suatu kesatuan.”20

C.F. Strong di dalam buku Anthon Raharusu menyebutkan bahwa “negara kesatuan adalah negara yang diorganisasikan dibawah suatu pemerintah pusat.”21

Selanjutnya Haqopian menyebutkan ada tiga bentuk negara dengan “klasifikasi confederation, federation dan unitary state.”22

Saat smua ahli berpendapat tentang negara kesatuan dari aspek desentralisasi Thorsten V. Kalijarvi berpendapat mengenai “negara kesatuan atau negara dengan sentralisasi kekuasaan ialah negara-negara dengan keseluruhan kekuasaannya dipusatkan satu atau beberapa organ pusat dengan pemerintahan bagian-bagian

18Jimly Assyiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press,

Jakarta, 2006, Hal 282. 19

Ni’Matul Huda, “Desentralisasi...,” loc. cit. 20 Ibid., Hal 3.

21 Anthon Raharusu, op. cit.,, Hal 28. 22 Ibid.

(3)

commit to user

13 egara itu.”23

Inti dari pendapat tersebut sesungguhnya adalah pemerintah pusat memiliki wakil-wakil administrasi di daerah.

Bentuk Negara Kesatuan

Gambar I,

(Pemerintah dan Pemerintahan)

Pemerintahan adalah lembaga atau badan-badan politik yang mempunyai fungsi melakukan upaya untuk mencapai tujuan negara, sedangkan pemerintahan adalah semua kegiatan lembaga atau badan publik dalam menjalankan fungsinya untuk mencapai tujuan negara. Pemerintah merupakan aspek statis, sedangkan pemerintahan adalah aspek dinamis. Negara kesatuan merupakan negara bersifat tunggal yang mana tidak tersusun dari beberapa negara, tidak ada negara dalam negara dan satu pemerintahan yaitu pemerintahan pusat.

B. Tinjauan Teori Desentralisasi

Terjadinya revolusi (paradigma) desentralisasi di Indonesia, dapat dikemukakan perbandingan tiga undang-undang yang terakhir yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Pilihan pada ketiga undang-undang tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa

23 Ibid., Hal 30. Pemerintah Pusat Pemerintahan Daerah Pemerintahan Daerah Pemerintahan Daerah

(4)

commit to user

14 paradigmanya masih dijalankan secara tumpang tindih dalam praktek pemerintahan di berbagai daerah.

Konstitusional Indonesia mempunyai landasan kuat untuk menerapkan desentralisasi asimetris, salah satu hal penting yang perlu dicatat ialah adanya ruang pengaturan desentralisasi asimetris ruang keistimewaan daerah tetap ada dan dijamin dalam konstitusi. Tuntutan adanya daerah istimewa selalu bermula dari tuntutan daerah, dalam hal ini pemerintah kurang memperhatikan amanat Undang-Undang Dasar 1945 sesudah amandemen, yang mana menurut Sadu Wasistiono, “pemerintah belum mempunyai grand design atau blue print

(cetak biru) yang jelas mengenai penerapan desentralisasi asimetris di

Indonesia.”24

Berdasarkan sejarahnya, “desentralisasi menurut kalangan pakar pada awalnya lebih dikenal sebagai teori pendistribusian kewenangan dan urusan pemerintahan dalam organisasi negara.”25

Kenyataan ini menunjukan bahwa prihal kewenangan adalah inti desentralisasi, sekaligus menjadi elemen yang menentukan konstruksi elemen-elemen lain dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah., “dalam pelaksanaan desentralisasi, masalah kewenangan selalu menjadi titik konflik antar daerah maupun daerah dengan pemerintah pusat.”26 Hal ini pun terjadi di Indonesia semenjak masa kemerdekaan sampai dengan saat ini.

Pada tataran konsep, desentralisasi adalah konsep yang kompleks, yang diakui Mark Turner sebagai salah satu konsep inti dalam ilmu sosial yang memiliki banyak makna sepanjang masa. Sedemikian beragamnya makna yang dibuat banyak pakar, Conyers menyarankan agar pemahaman atas desentralisasi selalu dikaitkan dengan konteks masalah yang sedang dibicarakan. Kompleksitas pemaknaan ini tak terlepas dari ragam disiplin

24 Sadu Wasistiono, Menuju Desentralisasi Berkeseimbangan, Jurnal Ilmu Politik AIPI

Nomor 21 tahun 2010 dengan tema Dasawarsa Kedua Otonomi Daerah : Evaluasi dan Prospek, Jakarta, 2010, Hal 1.

25

Oentarto Sindung Mawardi, dkk, Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan, Samitra Media Utama, Jakarta, 2004, Hal 1.

26 The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia,

(5)

commit to user

15 kajian, perspektif “ideologis”, skope pengertian dan sikap para ilmuwan sosial sendiri yang cenderung mempertahankan disiplin masing-masing.27 Robert Endi Jaweng yang menyatakan:

Hingga kini pemerintah belum memiliki desain kebijakan yang jelas guna menata dan mengelola keragaman lokalitas ke dalam kerangka desentralisasi asimetris serta pemerintah masih gagal dalam mengkapitalisasi penerapan desentralisasi asimetris ke dalam tujuan-tujuan strategis nasional maupun untuk kepentingan daerah bersangkutan.28

Studi tentang desentralisasi saat ini sedang memperoleh banyak peminat, termasuk di Indonesia. Status daerah keistimewaan diberikan kepada Yogyakarta karena latar belakang sejarahnya. Kesultanan Yogyakarta merupakan salah satu kerajaan pertama yang bergabung dengan NKRI. Keistimewaan DIY tidak hanya terbatas pada status kepala daerah melainkan juga kelembagaan, kebudayaan, pertanahan, tata ruang dan anggaran keistimewaan serta posisi keraton.

Seorang ilmuan dari Universitas of California, Barkeley, USA bernama Charles D. Tartlon pada tahun 1965 beliau merupakan ilmuan yang pertamakali memulai tentang desentralisasi asimetris. Tarlton membedakan desentralisasi asimetris dan desentralisasi simetris, “pembedaan utama dari kedua model tersebut terletak pada tingkat kesesuaian (confornity) dan keumuman (commonality) dalam hubungan suatu level pemerintahan (negara bagian/daerah) dengan sistem pemerintahan secara umum, pemerintah pusat maupun antar negara bagian/daerah.”29

Inti dari pendapat Tarlton adalah memberikan perbedaan pada desentralisasi simetris dan desentralisasi asimetris, yaitu pada tingkat kesesuaian dan keumuman dalam suatu negara dan pemerintahan. Dengan keragaman dan keunikan lokal inilah terdapat desentralisasi simetris dan

27 Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, Penerbit Kencana, Jakarta, 2010, Hal 138.

28

Robert Endi Jaweng, Kritik Terhadap Desentralisasi Asimetris di Indonesia, Jurnal Analisis CSIS (Centre For Strategic And International Studies), Vol. 40. Nomor 2 Tahun 2011, Jakarta, Hal 161.

(6)

commit to user

16 desentralisasi asimetris, pemerintah merespon asimetris ini melalui pembentukan sejumlah varian model asimetris berikut:

1. Varian Daerah Istimewa, sebagai bentuk pengakuan peran kesejarahan dan respon atas kekhasan sosio-kultural lokal seperti terlihat dalam status keistimewaan Yogyakarta;

2. Varian Otonomi Khusus (otsus), yang terutama ditujukan untuk merespon dinamika ketegangan relasi pusat-daerah sebagaimana yang terlihat pada otsus Aceh dan Papua;

3. Varian Daerak Khusus, yang ditujukan untuk membentuk suatu wilayah pelayanan yang ideal lewat pemberian kedudukan khusus suatu daerah, sehingga terjadi penyesuaian format administrasi dan pemberian pelayanan, sebagau mana yang terlihat pada kekhususan DKI Jakarta; dan

4. Variasi Kawasan-kawasan khusus, ditujukan untuk merespon kekhususan terkait perkembangan ekonomi dan posisi geo-strategis, sebagai mana terlihat dalam pembentukan ekonomi khusus, kawasan perbatasan dan seterusnya.30

Faktor sosiologis masyarakat Indonesia yang pluralis dan bersifat

fragmented bisa menjadi dasar untuk mengembangkan pemerintahan

kedepanya. Agus Pramusinto dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, mendefenisikan desentralisasi asimetris sebagai berikut:

1. Pertimbanngan politik;

2. Pertimbangan keberagaman antar daerah baik berbasis etnis, agama, maupun demografi; dan

3. Pertimbangan governanbility, yaikni menyangkut kemamampuan menjalani fungsi-fungsi daerah.31

Andy Ramses Marpaung menyebutkan dua dimensi isu dalam desentralisasi asimetris, yaitu:

1. Dimensi politik sebagai suatu strategi komprehensif guna menarik kembali daerah yang tergolong dalam kesatuan nasional; dan

2. Dimensi administrasi dimana pilihan desentralisasi asimetris lebih didorong kebutuhan untuk membentuk suatu wilayah pelayanan yang ideal dengan cara memberikan kedudukan yang istimewa dan pengaturan khusu.32

30 Ibid., Hal 34.

31 Falih Suaedi dan Bintoro Wardianto, Revitalisasi Administrasi Negara: Reformasi

Administrasi dan e-Governance, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, Hal 97.

32 Andy Ramses Marpaung dan La Bakry, Pemerintahan Daerah Di Indonesia,

(7)

commit to user

17 Menurut Cheema dan Rondinelli desentralisasi dapat dimaknai sebagai “transfer perencanaan, pengambilan keputusan, atau otoritas administrative dari pemerintah pusat kepada organisasinya di lapangan, unit-unit administrative lokal, organisasi semi otonom dan organisasi parastatal, pemerintahan lokal, atau organisasi nonpemerintah.”33

Utomo menuturkan “bahwa desentralisasi asimetris lebih banyak digunakan susunan negara kesatuan (unitary) dari pada negara federal, tiga jenis otonomi yang diberikan kepada daerah berupa limited autonomy, extended autonomy dan special

autonomy.”34

Permasalahan yang muncup pada “pemberian keistimewaan atau kekhu-susan oleh sebagian pengamat dianggap telah mendorong Negara Indonesia ke-arah bentuk negara yang berdimensi federal, status keistimewaan juga menimbulkan kecemburuan daerah lain yang tidak berstatus istimewa.”35 Menurut Iwan Satriawan dan Septi Nur Wijayanti “permasalahan akademiknya ialah harus ada pengakuan konseptual akademik bahwa bentuk negara kesatuan yang dianut oleh Negara Indonesia saat ini bukanlah bentuk negara kesatuan murni, melainkan negara kesatuan berdimensi federal atau semi federal unitary

systems.”36

Menurut Mas’ud Said, “fondasi dan nilai utama desentralisasi asimetris adalah demokrasi sekaligus memperkuat NKRI.”37 Desentralisasi asimetris

33

Cheema, G.S and Rondinelli. G.A, Decentralization and Development : Policy Implementation in Develoing Countries, Beverly Hills, Sage. 1983, Hal 5.

34 Purwo Santoso, dkk, Decentralized Governance : Sebagai Wujud Nyata dari Sistem

Kekuasaan, Kesejahteraan Dan Demokrasi, Laporan Penelitian, Jurusan Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Yogayakarta, 2011, Hal 31.

35 Iwan Satriawan dan Septi Nur Wijayanti, ”Keistimewaan/Kekhususan Daerah Dalam

Bingkai Negara Kesatuan”, Desain Hukum Newsletter Komisi Hukum Nasional , vol, 12, No. 10 Tahun 2012, Jakarta, Hal 20.

36

Ibid., Hal 21.

37 Mas’ud Said, Perlu Desentralisasi Asimetris, www.Profmmasudsaid.com.

http://www.profmmasudsaid.com/news-desentralisasi-asimetris.html di akses pada tanggal 06 November 2015.

(8)

commit to user

18 terhadap DIY dapat menjadi contoh bagi daerah lain yang memang memiliki kekhususan dan keistimewaan.

C. Tinjauan Teori Kebijakan Publik

Kebijakan Publik berasal dari bahasa aisng “Public Policy”. Kata policy ada yang menerjemahkan menjadi “kebijakan” dan ada juga yang menerjemahkan sebagai “kebijakasanaan”. Sedangkan ada beberapa ahli yang memberikan pengertian tentang kebijakan publik.

Carl Friedrich menyatakan bahwa:

Kebijaksanaan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubunganya dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.38

Faktor-faktor non yuridis dalam penerapan norma-norma dan kewenangan pemerintah, antara lain:

1. Asaa-asas yang hendak digunakan sebagai dasar suatu kebijakan; 2. Kelangkaan sarana-sarana pribadi, keuangan dan faktor pendukung; 3. Keterbatasan pengetahuan para aktor mengenai masyarakat;

4. Kekuasaan orang-orang lain dari siapa para aktor itu tergantung; dan 5. Aturan permainan demokrasi mengenai terwujudnya kebijakan.39 Pelaksanaan kebijakan merupakan penggunaan sarana-sarana yang dipilih untuk tujuan-tujuan yang dipilih dan pada urutan waktu yang telah ditentukan. Contoh nyata dari kebijakan publik, yaitu pengambilan kebijakan paket ekonomi oleh Pemerintah Pusat yang dilakukan saat ini.

Thomas R.Dye menjelaskan bahwa:

Kebijakan pemerintah atau public policy is whatever goverments choose to

do or not to do (pilihan tindakan apapun yang dilakukan ataupun tidak

ingin dilakukan oleh pemerintah). Terdapat tiga alasan mempelajari kebijakan pemerintah, yaitu:

1. Sudut alasan ilmiah (scientific reason), kebijakan pemerintahan dipelajari dengan maksud untuk memperoleh pengetahuan yang lebih

38 Solichi Abdul Wahap, Analisis Kebijaksanaan, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2008, Hal 2.

39 Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama,

(9)

commit to user

19 mendalam mengenai hakikat dan asal mula kebijakan pemerintahan, berikut proses-proses yang mengantarkan perkembangannya serta akibat-akibatnya pada masyarakat;

2. Sudut alasan professinal (professional reason), maka studi kebijakan pemerintahan dimaksudkan untuk menerapkan pengetahuan ilmiah di bidang kebijakan pemerintahan guna memecahkan masalah-masalah sosial sehari-hari. Sehubungan dengan ini, terkandung suatu pemikiran tentang faktor-faktor yang membentuk kebijakan pemerintahan, atau akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kebijakan tertentu, maka perlu dipertimbangkan bagaimana individu, kelompok atau pemerintah dapat bertindak guna mencapai tujuan mereka; dan

3. Sudut alasan politis (polotical reason), maka mempelajari kebijakan pemerintahan pada dasarnya dimaksudkan agar pemerintah dapat menempuh kebijakan yang tepat, guna mencapai tujuan yang tepat pula. Dengan kata lain, studi kebijakan pemerintahan dalam hal ini dimaksudkan untuk menyempurnakan kebijakan pemerintahan yang dibuat oleh pemerintah.40

Berdasarkan penjelasan diatas penulis menyimpulkan bahwa antara hukum dan politik mempunyai hubungan yang sangat erat, hal ini dapat kita kaitkan bahwa untuk menghasilkan prodak hukum yang baik harus melalui proses komunikasi antara stakeholder dan antar komponen masyarakat yang biasa dilakukan dilakukan dalam proses penyusunan kebijakan publik. Produk kebijakan publik itu terdiri dari dua komponen, yaitu good governance dan

reinventing government.

James A Enderson menyatakan bahwa kebijakan mengarah kepada kebijakan negara, yaitu “serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku guna memecahkan suatu permasalahan tertentu.”41

Harold D. Laswell memberikan arti “kebijakan sebagai suatu pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah.”42

Secara lebih rinci James E. Anderson memberikan pengertian

40 Ibid., Hal 131.

41

Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijakan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, Hal 14.

42 Joko Purnomo, Analisis Kebijakan: Dari Formulasi Ke Implementasi Kebijakan

(10)

commit to user

20 kebijakan pemerintah sebagai kebijakan yang oleh badan-badan penjabat-penjabat pemerintah yang memiliki empat implikasi sebagai berikut:

1. Kebijakan pemerintah selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan kebijakan yang berorientasi kepada tujuan;

2. Kebijakan itu berisi kebijakan-kebijakan tau pola-pola kebijakan pemerintah;

3. Kebijakan itu adalah merupakan apa yang benar-benar dilakukan pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang pemerintah bermaksud akan melakukan suatu atau menyatakan akan melakukan sesuatu; dan 4. Kebijakan pemerintah itu bisa bersifat positif dalam arti merupakan

bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalahan tertentu, atau bisa bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk melakukan sesuatu.43

Terdapat tiga tahapan dalam kebijakan publik, yaitu formulasi, implementasi dan evaluatif. Dalam hal formulasi “kebijakan publik dipandang sebagai tannggapan dari suatu sistem politik terhadap tuntutan-tuntutan yang timbul dari lingkungan yang merupakan kondisi atau keadaan yang berada di luar batas-batas sistem politik.”44 Kekuatan yang timbul dari dalam lingkungan dan mempengaruhi sistem politik “dianggap sebagai masukan-masukan bagi sistem politik sedangkan hasil-hasil yang dikeluarkan oleh sistem politik yang merupakan tangapan terhadap tuntutan-tuntutan tadi dipandang sebagai keluaran dari sistem politik.”45

Paul A. Sabatier dan Danial A. Mazmania menjelaskan makna implementasi itu dengan mengatakan bahwa:

Memahami dengan apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkanya pedoman-pedoman kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikanya mamupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.46

43 Ibid., Hal 11-12. 44

David Easton, A System Analysis Of Political Life, Wiley, New Tork, 1965, Hal 5.

45 Budi Winarno, Kebijakan Publik Teori dan Proses, Mendress, Yogyakarta, 2008, Hal

94-95.

(11)

commit to user

21 Melalui proses pembuatan kebijakan publik memberikan penjelasan bahwa melalui proses pembuatan keputusan, seharusnya komitmen-komitmen masyarakat dan kepatuhan terhadap kebijakan yang dibuat namun masih komitmen masyarakat acapkali masih kabur dan abstrak yang mana seharusnya menjadi tindakan nyata yang konkrit.

Evaluasi kebijakan merupakan langkah terakhir dari suatu proses kebijakan. Sebagai suatu aktifitas fungsional, suatu evalusi kebijaksanaan tidak hanya dilaksanakan dengan mengikuti aktifitas-aktifitas kebijakan sebelumnya, yaitu persetujuan dan pengesahan serta pelaksanaan kebijakan akan tetapi dilakukan pada seuruh aktivitas-aktivitas fungsional yang lain dalam proses kebijaksanaan.

D. Teori Bekerjanya Hukum

William J Chambliss dan Robert B Seidman, mengemukakan tentang teori bekerjanya hukum yang mana mereka mengemukakan bahwa “bekerjanya hukum dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh all other societal and

personal force (semua ketakutan dari individu masyarakat) yang melingkupi

seluruh proses.”47

Yang dimaksud adalah “tahapan formulasi, aplikasi dan eksekusi sangat dipengaruhi faktor diluar hukum, seperti faktor ekonomi, politik, budaya, pendidikan dan kepentingan, kekuasaan dan semua kekuatan dari individu dan masyarakat yang terdapat diluar proses.”48

Kesenjangan antara hukum dengan perilaku nyata dalam masyarakat menjadi pemandangan sehari-hari kita mengenal ungkapan yang mencoba menggambarkan kesenjangan tersebut, seperti “law in the book dan law in

action.”49 Gambaran tersebut adalah perwakilan dari kehidupan sehari-hari

47 Robert B Seidman and William Chambliss, Law, Order and Power, Adition Publishing

Company Weslye Reading Massachute, 1972 Hal 9-13. 48

Syahrul Machmud, penegakan Hukum Lingkungan , Graha Ilmu, Yogyakarta , 2012, Hal 164.

49 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum:Perkembangan Metode dan Masalah,

(12)

commit to user

22 dimana harapan dan tujuan banyak yang tidak sesuai didalam kehidupan masyarakat.

Bekerjanya hukum juga diartikan sebagai “kegiatan penegakan hukum. Penegak hukum pada hakekatnya merupakan suatu proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum menjadi nyata.”50 Bekerjanya hukum di dalam masyarakat melibatkan beberapa unsur atau aspek yang saling keterkaitan sebagai suatu sistem.

Hukum dalam suatu negara dengan kekuasaan yang dipusatkan tidak hanya merupakan suatu kumpulan peraturan-peraturan saja akan tetapi juga merupakan suatu proses dinamis yang melibatkan setiap aspek dari tindakan negara, oleh karena tindakan negara sampai batas tertentu akan meliput pembentukan norma, keputusan pengadilan, bahwa suatu norma telah dilanggar atau untuk menjatuhkan sanksi, proses dinamis inilah yang membentuk hukum. Sebuah penerapan dalam masyarakat pada sebuah peraturan hukum di dalam masyarakat biasanya mengalami sebuah kendala-kendala, salah satunya adalah keterbatasan dalam melakukan sebuah sosialisasi hukum. Menurut Ronny hanitiyo mengatakan bahwa “kesulitan lain dalam menerapkan sebuah hukum dimasyarakat adalah ruang lingkup yang sangat luas yang dicakup oleh ide-ide serta penentangan dari sebuah kepentingan-kepentingan yang sudah bertahan lama.”51

Penggunaan hukum sebagai instrument untuk melakukan social

engineering mensyaratkan agar policy maker mampu menjamin bahwa

peraturan yang diajukan dapat mewujudkan menjamin bahwa peraturan yang diajukan dapat mewujudkan kegiatan yang dikehendaki. Apabila harus dipahami adalah bagaimana sistem hukum itu mempengaruhi tingkah laku pemegang peran yaitu masalah pokok bagi social enginer maka penyelidikan

50 Emi Warasih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologi, Suryandaru Utama, Semarang,

2005, Hal 83. 51 Ibid., Hal 46.

(13)

commit to user

23 harus dilanjutkan dengan menyelidiki bukan hanya sistem mengenai peranan yang diharapkan tetapi peranan yang sebenarnya dilakukan.

E. Tinjauan Teori Efektifitas Hukum

Istilah efektifitas berasal dari kata efektif yang memiliki pengertian dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan

hasil yang sesungguhnya dicapai. Efektifitas berasal dari terjemahan “bahasa

Inggris, yaitu sffectiveness of the legal theory, bahasa Belanda disebut dengan

effectiviteit van de juridische theorie, bahasa Jermannya, yaitu wirksamkeit der rechtlichen theorie.”52

Hans Kelsen menyajikan defenisi tentang efektifitas hukum. Efektifitas hukum adalah “apakah orang-orang pada kenyataan berbuat menurut suatu cara untuk menghindasi sanksi yang diancam oleh norma hukum atau bukan dan apakah sanksi tersebut benar-benar dilaksanakan bila syaratnya terpenuhi atau tidak terpenuhi.”53

Anthony Allot mengemukakan tentang efektifitas hukum, yaitu:

Hukum akan menjadi efektif jika tujuan keberadaan dan penerapanya dapat mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan dapat menghilangkan kekacauan. Hukum yang efektif secara umum dapat membuat apa yang dirancang dapat diwujudkan. Jika suatu kegagalan, maka kemungkinan terjadinya pembentukan secara gampang jika terjadi keharusan untuk melaksanakan atau menerapkan hukum dalam suasana baru yang berbeda, hukum akan sanggup menyelesaikanya.54

52 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis

Dan Disertasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, Hal 301.

53Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Nusa Media, Bandung, 2006,

Hal 39.

(14)

commit to user

24 Teori efektifitas hukum adalah “teori yang mengkaji dan menganalisis tentang keberhasilan, kegagalan dan faktor-faktor yang mempengaruhi di dalam pelaksanaan dan penerapan hukum.”55

Ada tiga fokus kajian teori, yaitu: 1. Keberhasilan dalam pelaksanaan hukum;

2. Kegagalan di dalam pelaksanaanya; dan 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi.56

Pertama-tama yang yang harus dilakukan untuk mengetahui sejauh mana efektif nya hukum adalah dengan mengukur sejauh mana aturan hukum itu ditaati atau tidak ditaati. Menurut Soerjono Soekanto, “suatu sikap tindak atau perilaku pihak lain menuju pada tujuan yang dikehendaki, atau apabila pihak lain tersebut mematuhi hukum.”57

Soerjono Soekanto mengemukakan lima faktor yang harus diperhatikan dalam penegakan efektifitas hukum, yaitu:

1. Faktor hukum atau undang-undang; 2. Faktor penegak hukum;

3. Faktor sarana atau fasilitas; 4. Faktor masyarakat; dan 5. Faktor kebudayaan.58

Jika kita ingin mengkaji efektivitas perundang-undangan maka menurut Achmad Ali efektifitas perundang-undangan banyak tergantung dari beberapa faktor, antara lain:

1. Pengaturan tentang substansi (isi) perundang-undangan; 2. Cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut;

3. Institusi yang berkaitan dengan ruang lingkup perundang-undangan didalam masyarakat; dan

4. Bagaimana proses lahirnya suatu perundang-undangan, yang tidak boleh dilahirkan secara tergesa-gesa untuk kepentingan instan (sesaat).59

55Ibid., Hal 303.

56Ibid. 57

Soerjono Soekamto, Efektivikasi Hukum dan Peranan Sanksi, CV Remadja Karya, Jakarta, 1985, Hal 1.

58Salim HS dan Erlina Septiana Nurbaini, op. cit., Hal 307.

59Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(Judicialprudence) Termasuk Interprestasi Undang-Undang (Legisprudece), Prenada Media Grup, Jakarta, 2009, Hal 378.

(15)

commit to user

25 Faktor yang mempengaruhi adalah hal-hal yang ikut menyebabkan atau berpengaruh di dalam pelaksanaan dan penerapan hukum tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi dapat ditinjau dari;

1. Aspek keberhasilan; dan 2. Aspek kegagalan.60

Secara umum dapat disimpulkan bahwa faktor yang banyak mempe-ngaruhi efektifitas suatu perundang-undangan adalah profesional dan optimal dalam pelaksanaan peran, wewenang dan fungsi dari para penegak hukum, baik didalam menjalankan tugas yang dibebankan terhadap diri merekamaupun didalam menegakkan undang tersebut. Efektifitas perundang-undangan dapat ditinjau dari dua prespektif yaitu:

1. Perspektif organisatoris, yaitu yang memandang perundang-undang sebagai “institusi” yang ditinjau dari ciri-cirinya.

2. Prespektif individu atau ketaatan, yaitu yang lebih banyak berfokus pada segi individu atau pribadi, dimana pergaulan hidupnya diatur oleh peundang-undangan.61

Susanto memberikan definisi tentang efektivitas “merupakan daya pesan untuk mempengaruhi atau tingkat kemampuan pesan-pesan untuk mempengaruhi.”62 Pengertian sebagaimana dikemukakan oleh Susanto tersebut, bisa diartikan sebagai suatu pengukuran akan tercapainya tujuan yang telah direncanakan sebelumnya secara matang. Dalam penulisan tesis ini, penulis lebih menekankan pada efektifitas perundang-undangan ditinjau dari prespektif organisatoris dengan mengacu padateori hukum yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto.

60

Ibid., Hal 304. 61 Ibid., Hal 379.

62 Madhienyutnyut.blogspot.com/2012/02/pengertian-efektivitas-menurut-para.html

(16)

commit to user

26 F. Penelitian Yang Relevan

Penelitian yang dilakukan oleh penulis tentang Implementasi Desentralisasi Asimetris Di Daerah Istimewa Yogyakarta belum pernah dilaksanakan sebelumnya. Beberapa penelitian terdahulu yang mengkaji tentang Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai sudut pandang dan objek yang berbeda dalam membahas tentang Daerah Istimewa Yogyakarta, dari sekian banyak hasil penelitian baik berupa laporan penelitian dan tesis, peneliti hanya mengangkat beberapa yang dianggap memiliki substansi yang memiliki kemiripan dengan permasalahan yang dirumuskan peneliti, yakni sebagai berikut:

1 2 3 4

Nama Peneliti Tema

Penelitian

Rumusan Masalah Output Penelitian Tesis Yohanis Anton Raharusun Sekolah Pasca Sarjana UGM, 2008. Daerah Khusus Dalam Perspektif Negara Kesatuan Republik Indonesia (Telaah Yuridis Terhadap Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua).

1. Apa yang menjadi dasar pertimbangan pemerintah memberikan kebijakan khusus bagi Provinsi Papua melalui otonomi khusus? 2. Bagaimana hubungan antara otonomi khusus dengan konsep NKRI? Dasar pertimban-gan pemberian st-atus otonomi khu-sus bagi Provinsi Papua adalah Tap. MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004 dan Tap. MPR No.IV/MPR/2000 tentang Reko-mendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Serta Pasal 18B

(17)

commit to user 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 hasil aman-demen. Kemudi-an dalam negara kesatuan tanggu-ng jawab pelaksa-naan tugas-tugas. Pemerintahan pada dasarnya tetap berada di tangan pemerin-tah pusat. Tetapi dalam sistem pe-merintahan dalam negara kesatuan menganut asas desentrasilsasi maka ada tugas-tugas tertentu yang didelega-sikan kepada pe-merintah daerah dalam rangka otonomi daerah. Laporan Akhir Penelitian Pratikno dan kawan-kawan Jurusan Politik dan Desentralisasi Asimetris di Indonesia Praktek dan Proyeksi. 1. Bagaimanakah praktek penyeleng-garaan desentralis-asi desentralis-asimetris di Indonesia saat ini? 2. Adakah

Kesimpulan yang didapat ialah pra-ktek desentralisasi asimetris yang ter-jadi di Indonesia sebagai berikut:

(18)

commit to user

28 Pemerintahan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik UGM, 2010.

kemungkinan untuk menemukan praktek tersebut yang bisa menjadi dasar bagi perumusan kebijakan desentralisasi asimetris? 1. Pemerintahan Aceh merupakan kekhasan daerah karena faktor politik; 2. Provinsi Papua merupakan kekhasan daerah karena faktor politik; 3. Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan kekhasan daerah berbasi sosiobudaya (kultural). Penelitian Mahasiswa Nabiyla Risfa Izzati dan Maya

Satriani Ayuningtyas Fakultas Hukum UGM, 2013. Otonomi khusus dan desentralisasi asimetris dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 1. Apakah yang menjadi perbedaan mendasar antara otonomi khusus dengan desentralisasi asimetris? 2. Bagaimana desain desentralisasi asimetris dan otonomi khusus yang sesuai dengan

Kesimpulan dari pembahasan per-masalahan tersebut ialah desentralisasi asimetris adalah pemberlakuan ke-wenangan khusus pada wilayah-wilayah tertentu dalam suatu

Negara dan otono-mi khusus ialah

(19)

commit to user 29 kondisi Negara Kesatuan Republik Indonesia? perbedan kewena-ngan yang diberi-kan kepada bebe-rapa provinsi yang ada di Indonesia. Kemudian penga-turan otonomi kh-usus merupakan penerapan dari de-sain desentralisasi

asimetris di

Indonesia.

Kesimpulan dalam tesis dan penelitian di atas berbeda dengan tesis yang dikaji peneliti, yang menjadi objek penelitian tesis penulis adalah Implementasi Desentralisasi Asimetris Di Daerah Istimewa Yogyakarta, dari segi rumusan masalah, yaitu bagaimanakah implementasi desentralisasi asimetris di DIY?

apa sajakah kendala yang dihadapi pemerintah DIY dalam

mengimplementasikan desentralisasi asimetris? dan apa sajakah solusi yang telah dilakukan dalam mengimplementasi desentralisasi asimetris di DIY? Dari segi rumusan masalah yang berbeda inilah memiliki hasil yang berbeda pula dalam penelitian tesis yang penulis kaji, yang mana dalam penelitian ini penulis berpatokan pada Pasal 7 ayat (2) tentang urusan lima kewenangan DIY.

(20)

commit to user

30 G. Kerangka Berpikir

Keterangan:

Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat istimewa, yang diatur dengan undang-undang dan daerah ini diatur dengan undang-undang dalam hal ini DIY diatur dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang mana disebut juga dengan desentralisasi asimetris.

Politik hukum tentang desentralisasi asimetris yang digariskan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut mengisyaratkan, pengembangan desentralisasi asimetris yang menekankan kekhususan, keistimewaan, keberagaman daerah, serta kesatuan masyarakat-masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisional.

Kedua, pengembangan desentralisasi asimetris dimaksut untuk lebih lanjut

dengan undang-undang.

Selanjutnya dalam hal implementasi kebijakan publik, dalam hal ini ‘kebijakan publik terdiri dari dua kata yakni kebijakan dan publik, kata kebijakan merupakan terjemahan dari kata Inggris policy artinya politik, siasat dan kebijaksanaan.”63

Kebijakan publik dapat diartikan sebagai tindakan yang

63 Wojowasito, S, Kamus Umum Inggris- Indonesia, Cypress, Jakarta, 1975, Hal 60.

Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta

Implementasi Desentralisasi Asimetris Di Daerah Istimewa Yogyakarta

Kendala Implementasi Solusi Implemtasi Implementasi

(21)

commit to user

31 dilakukan oleh Pemerintah Daerah yang mempunyai dampak terhadap banyak orang.

Hukum tertulis sebagai hukum positif merupakan hukum yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. Sehubungan dengan hukum positif ini, dalam Pasal 7 ayat (2) Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, mengatur lima kewenangan keistimewaan yang dimiliki oleh DIY.

Keistimewaan DIY dapat memberikan sebuah pandangan dan kajian dalam penelitian ini mengenai implementasi desentralisasi asimetris di DIY, dalam penelitian ini penulis akan membahas mengenai implementasi, kendala dan solusi yang telah dilakukan pemerintah dalam mengimplementasi desentralisasi asimetris di DIY.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan Koefisien regresi variabel Disiplin Kerja benilai positif sebesar 0.974, artinya bahwa setiap penambahan 1 poin Disiplin Kerja

Dengan standar kualifikasi akademik dan standar kompetensi guru seperti tersebut di atas, kiranya pendidik akan dapat melaksanakan pembelajaran Pendidikan Agama Islam

[S9, KU1, KU2, PP4] Ketepatan menjelaskan makna/konsep negara hukum dan demokrasi serta konsep tentang peraturan perundang- undangan; sejarah perkembangan pemikiran dari seni

Untuk menekan populasi hama maka perlu dilakukan teknik pengendalian, yaitu dengan sistem pola tanam tumpangsari dan hama yang perlu diwaspadai kehadirannya

Adapun yang keluar sebagai pemenang adalah pasangan Kusdinar Untung Yuni Sukowati – Dedy Endriyatno (pasangan YUDY) yang diusung oleh Partai Gerindra dan PKS,

Berdasarkan hasil analisis terhadap berbagai data dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Penerapan pembelajaran matematika melalui model PBM dapat meningkatkan

Berikut adalah notasi yang digunakan dalam pembuatan model resiko alokasi kursi optimal untuk dua penerbangan paralel yang mempertimbangkan tipe perilaku penumpang

Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) merumuskan teknik penerjemahan yang diterapkan dalam menerjemahkan kata dan frasa yang terdapat dalam teks bernuansa keagamaan: