• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1.1. Latar Belakang

Minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia masih menjadi sumber energi andalan dan utama. Permintaan terhadap migas menjadi semakin tinggi untuk mengimbangi tingkat kompleksitas penggunaan teknologi praktis dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi ini selanjutnya menuntut peningkatan upaya produksi migas. Bea-indonesia.org (2011) mencatat bahwa jumlah produksi minyak bumi termasuk kondensat pada tahun 2010 mencapai 346,38 ribu barrel dengan produksi harian sebesar 944,9 ribu bph (barrel per hari). Jumlah tersebut mengalami penurunan sebesar 3.900 bph dibandingkan dengan produksi pada tahun 2009 yang mencapai sebesar 948,8 ribu bph. Kondisi yang berbeda ditunjukkan oleh produksi gas bumi pada tahun 2010, yang mencapai 9.336 MMSCFD (Million Metric Standard Cubic Feet per Day). Nilai ini mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahun 2009 yang hanya mencapai 8.302 MMSCFD.

Kenaikan produksi gas bumi disebabkan oleh mulai berproduksinya beberapa lapangan gas baru dan optimalisasi produk. Sedangkan pada kasus minyak bumi, justru menunjukkan terjadinya penurunan produksi yang disebabkan oleh mundurnya jadwal produksi beberapa KKKS (Kontrak Karya Kerja Sama), penurunan produksi alamiah, dan permasalahan teknis operasional. Permintaan migas yang semakin tinggi menyebabkan dibutuhkannya upaya ekstra dalam peningkatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Upaya pemenuhan kebutuhan migas dilakukan salah satunya melalui peningkatan aktivitas eksplorasi dan eksploitasi ladang migas potensial.

Berdasarkan data yang diperoleh dari bea-indonesia.org (2011) diketahui bahwa potensi sumber daya migas nasional saat ini masih cukup besar yang terakumulasi dalam 60 cekungan sedimen (basin) yang tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia. Dari 60 cekungan tersebut, hanya 38 cekungan yang sudah dieksplorasi, dan 15 cekungan diantaranya telah memproduksi hidrokarbon. Tiga cekungan yang telah memproduksi hidrokarbon tersebut berada di wilayah timur Indonesia, yaitu Basin Salawati dan Bintuni di Papua, dan Basin Bula di Maluku.

(2)

Kedua belas basin lainnya berlokasi di Indonesia bagian barat, salah satunya adalah Basin Jatibarang di Pantai Utara Jawa Barat. Delapan basin lainnya telah diketahui mengandung hidrokarbon, namun belum diproduksi. Dari data realisasi pemboran (Gambar 1), diketahui bahwa jumlah pemboran sumur eksplorasi maupun penemuan cadangan menunjukkan angka yang stabil, sedangkan jumlah pemboran sumur produksi cenderung mengalami peningkatan.

Gambar 1. Realisasi sumur eksplorasi dan produksi (Biro Riset LM FEUI, 2010). Data pada Gambar 1 menunjukkan keseriusan upaya pemerintah dan pelaku industri migas untuk meningkatkan produksi migas baik dari pemanfaatan sumur produksi maupun penemuan cadangan baru. Potensi ini secara langsung membuka peluang bagi kegiatan eksplorasi di Indonesia, terutama dari cekungan yang belum pernah dieksplorasi. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi kini telah dikembangkan di berbagai lokasi mulai dari darat (onshore), perairan dangkal (shallow water), perairan laut (offshore) sampai dengan laut dalam (deepwater). Masing-masing kategori kegiatan eksplorasi tersebut memiliki kendala dan resiko lingkungan yang berbeda. Menurunnya potensi migas di area daratan, menyebabkan kegiatan

eksplorasi semakin digiatkan ke arah pesisir sampai dengan laut dalam. Dari 22 cekungan yang belum pernah dieksplorasi tersebut sebagian besar terletak

(3)

Dalam pelaksanaannya, kegiatan migas di laut dihadapkan pada persoalan lingkungan yang cukup kompleks yang dapat mempengaruhi efisiensi kegiatan. Persoalan tersebut diantaranya adalah konflik ketika kegiatan berada di area perbatasan negara, konflik terkait dengan persoalan pencemaran perairan yang dapat berdampak pada kualitas dan kuantitas biota laut (baik yang ekonomis maupun yang dilindungi), dan konflik terkait dengan persoalan pemanfaatan area perairan yang juga dimanfaatkan oleh kegiatan lain, salah satunya adalah kegiatan penangkapan ikan. Di antara persoalan tersebut, konflik pemanfaatan sumber daya yang berbeda di kawasan yang sama dan pada saat yang bersamaan merupakan salah satu kendala utama yang dihadapi oleh kegiatan migas di laut. Kendala ini menjadi semakin kompleks, ketika komunitas yang dihadapi memiliki tingkat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kawasan perairan dan sumber daya laut. Hal ini menyebabkan kegiatan migas di laut, kerap menuai persepsi negatif yang berujung pada konflik pemanfaatan kawasan dan sumber daya alam. Kondisi ini terjadi di hampir setiap lapangan migas yang berada di laut yang juga merupakan area penangkapan ikan oleh nelayan lokal. Intensitas konflik di masing-masing area relatif berbeda, yang ditentukan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah faktor ekonomi. Faktor ekonomi yang meletakkan sektor perikanan tangkap sebagai sektor ekonomi utama menyebabkan tingginya tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya ikan dan kawasan. Kasus ini ditemukan di Pesisir Karawang, Jawa Barat.

Berdasarkan data pada studi sebelumnya dan hasil studi awal yang dilakukan pada Bulan Maret 2011, area pemasangan anjungan produksi migas di laut merupakan area penangkapan ikan oleh nelayan lokal. Dari hasil wawancara dengan nelayan, diperoleh informasi bahwa keberadaan anjungan produksi migas di laut memunculkan kekhawatiran nelayan terkait dengan penurunan produktivitas. Kekhawatiran tersebut didasari oleh asumsi-asumsi berikut ini:

1) Keberadaan anjungan produksi dengan desain konstruksi, dan limpahan limbah organik dapat menjadi area berlindung bagi ikan (FAD/fish aggregating device). Kondisi ini dipicu pula oleh efek pencahayaan pada malam hari yang juga dapat menjadi daya tarik bagi ikan.

(4)

2) Adanya pemberlakuan zona aman kegiatan migas pada radius 500 m di sekitar platform produksi migas di laut menyebabkan area anjungan produksi migas yang diduga menjadi tempat berkumpul ikan tidak dapat diakses oleh nelayan. Kondisi ini memunculkan persepsi bahwa keberadaan anjungan produksi migas di laut menyebabkan terjadinya penyempitan area penangkapan ikan, yang selanjutnya berdampak pada penurunan produktivitas nelayan.

Dari kondisi tersebut maka kegiatan migas yang berada di area fishing ground utama bagi nelayan lokal menyebabkan tingkat kepentingan terhadap kawasan semakin tinggi. Hal ini dapat memicu timbulnya konflik sosial terkait dengan pemanfaatan kawasan yang menjadi lokasi sumber daya alam (SDA) yang diekstrak. Selama ini konflik tersebut kerap diredam dengan pendekatan yang bersifat instan dan efektif untuk jangka pendek, namun menjadi inefisien untuk jangka panjang. Akumulasi pengelolaan kegiatan yang tidak tepat sangat berpotensi untuk menggeser tingkat intensitas konflik menuju status yang lebih kompleks dan berdampak pada inefisiensi kedua kegiatan, baik kegiatan migas maupun kegiatan penangkapan ikan.

Konflik yang terjadi umumnya bersifat satu arah, yaitu tuntutan terhadap tanggung jawab dan kompensasi yang seharusnya dibayarkan oleh pihak pelaksana kegiatan atas kerugian yang dialami oleh nelayan. Selama ini tututan yang disampaikan oleh nelayan pada umumnya berupa asumsi-asumsi yang dikembangkan oleh nelayan, dengan fakta dan data yang sulit diyakini oleh pihak pelaksana kegiatan migas di laut.

Asumsi-asumsi yang diutarakan oleh nelayan kerap terkendala oleh ketersediaan data yang menyebabkan pihak pelaksana migas menemui kesulitan ketika akan menentukan besaran kompensasi yang layak diberikan kepada nelayan. Keterbatasan data terkait dengan kerugian ekonomi yang diderita oleh nelayan, akhirnya memposisikan persoalan ini pada derajat kepentingan yang cukup rendah. Kondisi ini berujung pada ketidakpuasan nelayan atas upaya dan kompensasi yang diberikan oleh pihak pelaksana kegiatan migas di laut. Upaya pengelolaan lingkungan yang dilakukan oleh pihak pelaksana migas cenderung bersifat meredam konflik bukan menyelesaikan persoalan.

(5)

Hal ini menyebabkan kebijakan pengelolaan hanya bersifat sesaat dan menjadi tidak efektif ketika dihadapkan pada akumulasi kepentingan terhadap kawasan dan sumber daya alam.

Pada sisi lain, nelayan dihadapkan pada kondisi keterbatasan mata pencaharian alternatif yang dapat ditekuni untuk mencukupi kebutuhan ekonomi. Fakta ini memunculkan inisiatif nelayan untuk terus meningkatkan upaya penangkapan agar produktivitas tetap terjaga. Upaya penangkapan yang sedemikian rupa akhirnya memicu terjadinya kondisi over fishing di kawasan tersebut. Secara teori, kondisi over fishing akan berdampak pada tingginya persaingan antar nelayan yang melakukan penangkapan ikan di kawasan tersebut. Persaingan yang tinggi pada akhirnya akan menyebabkan penurunan produktivitas dan keuntungan ekonomi masing-masing nelayan. Secara perlahan, kondisi ini akan meningkatkan sensitivitas nelayan yang dapat memicu timbulnya konflik sosial. Konflik sosial di kawasan kegiatan migas akan dapat berpengaruh pada efektivitas dan keberhasilan kegiatan migas. Hal ini menyebabkan upaya pengelolaan kegiatan sangat diperlukan. Kebijakan yang bersifat win-win solution akan dapat disusun dan diimplementasikan, apabila pola interaksi dan eksternalitas masing-masing kegiatan dapat diketahui secara pasti.

Kondisi tersebut menyebabkan penelitian ini perlu dilakukan, untuk memperoleh gambaran tentang eksternalitas yang timbul akibat keberadaan kegiatan migas di laut terhadap perikanan tangkap. Estimasi dari eksternalitas tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan input dalam penyusunan alternatif strategi pengelolaan kegiatan yang tetap memperhatikan kebutuhan lingkungan di sekitarnya. Dengan diakomodirnya kepentingan kedua pihak, yaitu perikanan tangkap dan kegiatan migas, maka diharapkan alternatif strategi kebijakan yang diusulkan dapat menjadi solusi dari persoalan konflik pemanfaatan kawasan dan sumber daya alam untuk jangka waktu yang lebih panjang.

(6)

1.2. Rumusan Permasalahan

Adanya pemberlakuan zona aman kegiatan migas pada radius 500 meter di sekitar anjungan produksi migas di laut menimbulkan kekhawatiran nelayan terkait dengan penyempitan area penangkapan ikan yang dapat diakses oleh nelayan. Penyempitan area penangkapan ikan yang berbanding terbalik dengan perkembangan jumlah nelayan secara langsung akan memicu tingginya persaingan antar nelayan di area penangkapan ikan (fishing ground) utama. Persaingan yang semakin tinggi akan berdampak pada penurunan produktivitas per unit per trip. Pada sisi lain, keberadaan anjungan produksi migas di laut yang disertai zona aman (radius 500 meter) secara langsung akan melindungi sejumlah ikan dari upaya penangkapan yang dilakukan oleh nelayan. Hal ini akan membentuk area konservasi sementara bagi pertumbuhan sumberdaya ikan di Pesisir Karawang. Dengan demikian, terdapat 2 asumsi bentuk eksternalitas yang ditimbulkan, yaitu negatif dan positif. Namun bagaimana besaran dan pegaruh eksternalitas tersebut terhadap penentuan kebijakan yang dapat diimplementasikan agar kegiatan dapat berjalan tanpa mengabaikan manfaat kawasan sebagai area penangkapan ikan? Permasalahan ini dirumuskan sebagai berikut:

1.2.1. Bagaimana persepsi nelayan terhadap keberadaan kegiatan migas di laut? 1.2.2. Bagaimana bentuk eksternalitas yang ditimbulkan oleh keberadaan

kegiatan migas di laut terhadap perikanan tangkap?

1.2.3. Menyusun alternatif strategi pengelolaan kegiatan yang dapat mengakomodir kepentingan kegiatan penangkapan ikan di sekitarnya.

1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu:

1.3.1. Menganalisis persepsi nelayan terhadap keberadaan anjungan produksi migas di laut.

1.3.2. Menganalisis bentuk eksternalitas keberadaan anjungan produksi migas di laut terhadap kegiatan perikanan tangkap.

1.3.3. Menyusun alternatif (pilihan) strategi pengelolaan kegiatan dan lingkungan yang dapat diimplementasikan oleh pelaksana kegiatan industri migas di laut.

(7)

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu diperolehnya jawaban atas kekhawatiran nelayan terkait dengan bentuk eksternalitas yang timbul dari kegiatan migas di laut terhadap perikanan tangkap. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan dan arahan dalam penentuan kebijakan pengelolaan kegiatan yang dapat diimplementasikan oleh pelaksana kegiatan migas di laut.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Fokus kajian pada penelitian ini dikendalikan dengan penentuan ruang lingkup dan batasan penelitian. Penelitian ini dibatasi pada lingkup sosial dan ekonomi masyarakat nelayan terkait dengan kegiatan migas dan penangkapan ikan di sekitar anjungan produksi migas di laut. Batasan penelitian secara rinci disampaikan sebagai berikut:

a. Kegiatan migas dibatasi pada kegiatan migas di laut yaitu terkait dengan keberadaan anjungan produksi selama tahap operasi.

b. Kegiatan perikanan tangkap dibatasi pada kegiatan penangkapan ikan di laut yang dilakukan oleh nelayan lokal (Pesisir Karawang).

c. Pendugaan eksternalitas dibatasi pada komponen sosial dan ekonomi terkait dengan persepsi dan pendapatan nelayan serta produksi perikanan tangkap di Pesisir Karawang.

1.6. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dari penelitian ini yaitu:

a. Terdapat perubahan persepsi nelayan terhadap kegiatan migas di laut terkait dengan keberadaan anjungan produksi migas di area penangkapan ikan (fishing ground).

b. Terdapat eksternalitas negatif terhadap produktivitas nelayan dengan alat tangkap yang biasa dioperasikan di lokasi pemasangan anjungan produksi migas, yang disebabkan oleh pemberlakuan zona aman kegiatan migas.

c. Terdapat eksternalitas positif terhadap kondisi bioekonomi perikanan tangkap dari jenis alat tangkap yang biasa dioperasikan di lokasi pemasangan anjungan yang disebabkan oleh pemberlakuan zona aman kegiatan migas.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan laporan tahunan UNESCO Education For All Global Monitoring Report 2012 menunjukkan kualitas pendidikan Indonesia berada di peringkat 64 dari 120

Faktor-faktor yang dominan berpengaruh dalam sistem pengendalian pencemaran perairan pantai Kota Makassar ditentukan dengan metode prospektif.. Metode ini didasarkan pada

Terkait dengan Penelitian yang dibahas, peneliti memahami bahwasannya ada materi yang terkait dengan nilai agama, masyarakat, konflik, dan resolusi konflik dalam kasus

Maksud dan tujuan kegiatan ini adalah Terkoordinasikannya tentang lembaga, pengelolaan perbatasan dan sosek malindo. Output Kegiatan adalah Tersedianya laporan kegiatan

Terkait hal tersebut maka penelitian ini dimaksudkan untuk mengadopsi penelitian-penelitian terdahulu yang telah dilakukan di beberapa negara untuk dilakukan

Posisi pulau Mayau sangat strategis karena berada di tengah perairan yang menjadi daerah operasi penangkapan ikan layang (Decapterus spp.) dengan alat mini purse seine atau

(2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tingkat pencemaran lingkungan yang telah terjadi pada perairan Sungai Enim, sehingga dapat

Pemanfaatan ruang sebagai wilayah bagi kegiatan permukiman yang tidak sesuai dengan daya dukung yang dimiliki akan berdampak pada penurunan kualitas lingkungan