• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERAGAAN HASIL BEBERAPA JENIS VARIETAS JAGUNG HIBRIDA DAN TOLERANSINYA TERHADAP PENYAKIT BUSUK TONGKOL DI DATARAN TINGGI KABUPATEN SIMALUNGUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KERAGAAN HASIL BEBERAPA JENIS VARIETAS JAGUNG HIBRIDA DAN TOLERANSINYA TERHADAP PENYAKIT BUSUK TONGKOL DI DATARAN TINGGI KABUPATEN SIMALUNGUN"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

KERAGAAN HASIL BEBERAPA JENIS VARIETAS JAGUNG HIBRIDA

DAN TOLERANSINYA TERHADAP PENYAKIT BUSUK TONGKOL

DI DATARAN TINGGI KABUPATEN SIMALUNGUN

Warlinson Girsang1, Rosmadelina Purba2, Joner Purba2

1Staf Pengajar Kopertis Wil I Dpk USI 2Staf Pengajar Prodi Agroteknologi Faperta USI Pematangsiantar

Ringkasan

Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Purba (ketinggian tempat ± 1.400 meter diatas permukaan laut), berlangsung sejak bulan Agustus sampai Desember 2016. Tujuan penelitian ialah untuk mengetahui jenis varietas jagung hibrida yang mampu berproduksi secara optimal, serta toleran terhadap penyakit busuk tongkol pada curah hujan tinggi yang dikembangkan di daerah dataran tinggi. Bahan penelitian, terdiri dari : benih jagung varietas C3, C5, P4 dan Bisi 5. Pemupukan tanaman menggunakan pupuk Urea, SP36, dan KCl. Alat yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian antara lain: cangkul, garu,

gembor, babat, tugal, meteran, ember, label perlakukan, tali plastik, gunting, handsprayer, timbangan, cat, kalkulator dan alat alat tulis.

Pelaksanaan penelitian, menggunakan metoda rancangan lingkungan acak kelompok dalam bentuk percobaan lapangan. Percobaan menguji 4 (enam) jenis perlakukan varietas : kode V1 (varietas C5), kode V2 (varietas Bisi 5), kode V3 (varietas P4)

dan kode V4 (varietas C3 ). Metode analisis data untuk menarik kesimpulan adalah dengan menggunakan analisis sidik ragam.

Untuk mengetahui potensi hasil berbagai varietas yang diuji, dilakukan pengamatan terhadap komponen pertumbuhan dan beberapa komponen produksi, antara lain : (1). tinggi tanaman, (2). Jumlah tongkol per batang, (3). Panjang tongkol, (4) panjang penutup kelobot, (5). Jumlah baris per tongkol, (6) jumlah biji per baris, (7) jumlah biji per tongkol, (8) berat 1.000 biji, (9) produksi kering pipilan, dan (10) ketahanan varietas terhadap busuk tongkol.

Dari hasil penelitian dan analisis statistik terhadap data-data yang diperoleh, diketahui bahwa perbedaan varietas tidak mempengaruhi tinggi tanaman, panjang penutup kelobot, panjang tongkol, jumlah biji per baris, jumlah biji per tongkol dan intensitas kerusakan busuk tongkol. Tetapi perbedaan varietas yang diuji memperlihatkan pengaruh yang berbeda untuk menghasilkan jumlah tongkol per batang, jumlah baris per tongkol, bobot 1.000 butir biji dan produksi kering. Berdasarkan hasil penelitian disarankan kepada petani setempat agar menggunakan varietas C3 dan C5. Sebab disamping mampu menghasilkan produksi tinggi, juga toleran terhadap penyakit busuk tongkol.

(2)

Pendahuluan

Kebutuhan jagung beberapa tahun terakhir terus maningkat seiring pertambahan penduduk dan perkembangan industri. Di pihak lain, rata-rata produksi jagung nasional relatif masih rendah yaitu sekitar 2,5 ton per hektar dari potensi hasil sebesar 4,5 ton untuk varietas bersari bebas, dan 5 - 7,6 ton untuk jagung hibrida (Biro Pusat Statistik, 2003). Di Sumatera Utara misalnya, produksi jagung sampai tahun 2006 tercatat hanya 598.708 ton, sedangkan kebutuhan jagung untuk industri pakan ternak mencapai 750.000 ton (BPS Sumut, 2007).

Kebutuhan jagung di Indonesia saat ini cukup besar, yaitu lebih dari 10 juta ton pipilan kering per tahun (Suprapto, 2002). Adapun konsumsi jagung terbesar adalah untuk pangan dan industri pakan ternak. Campuran pakan ternak lebih kurang 51% terdiri dari tepung jagung. Selain bahan untuk pakan ternak, dewasa ini juga berkembang produk pangan dari jagung dalam bentuk tepung. Di kalangan masyarakat, produk tersebut banyak dijadikan bahan baku untuk pembuatan beragam produk pangan. Dengan gambaran potensi penggunaan jagung tersebut, membuka peluang bagi petani untuk menanam jagung atau meningkatkan produksi jagungnya. Potensi pasar jagung di Indonesia pun semakin terbuka luas setelah adanya larangan impor jagung dari beberapa negara, karena terindikasi membawa penyakit mulut dan kuku bagi ternak (Purwono dan Hartono, 2005). Oleh karena itu masih diperlukan upaya pengembangan jagung demi memenuhi kebutuhan permintaan yang cukup besar.

Masih rendahnya produksi jagung di Indonesia, antara lain disebabkan belum meluasnya penggunaan varietas unggul, minimnya permodalan petani, serta pemakaian pupuk dan cara bercocok tanam yang kurang memenuhi anjuran (Suprapto, 2002). Padahal pemakaian benih berkualitas unggul dapat memberikan hasil yang sangat baik. Faktor lingkungan juga mempengaruhi fungsi fisiologis dan morfologis tanaman. Respon tanaman sebagai akibat faktor lingkungan terlihat pada penampilan tanaman (performance). Tanggap tanaman

terhadap perbedaan lingkungan, dapat terlihat berupa perubahan morfologis ataupun proses fisiologis. Walaupun genotifnya sama, dalam lingkungan yang berbeda, penampilan tanaman akan berbeda pula (Hill dalam Hasan, 2002).

Produksi jagung per satuan luas selalu tergantung kepada varietas yang di tanam. Tiap-tiap varietas mempunyai potensi genetik yang berbeda-beda. Hal ini mengakibatkan setiap varietas berbeda sifat dalam pertumbuhannya maupun kemampuan menghasilkan produksi. Suatu varietas akan mampu menampilkan potensi genetiknya, apabila ditanam pada kondisi lingkungan yang sesuai.

Aspek teknologi budidaya tanaman jagung sangat menentukan produktivitas per satuan luas lahan. Salah satu penyebab rendahnya produksi ialah karena pemakaian benih varietas unggul belum merata. Serangan hama penyakit juga sangat mempengaruhi daya hasil yang diperoleh. Misalnya terjadinya pembusukan biji atau tongkol mengakibatkan penurunan produksi per satuan luas lahan. Cendawan Fusarium sp merupakan salah satu penyebab terjadinya pembusukan biji atau tongkol jagung yang mengakibatkan kerugian bagi petani (AAK, 1993).

Penyakit busuk tongkol pada tanaman jagung diduga disebabkan patogen cendawan

Fusarium sp. Dimana patogen ini umumnya

berkembang karena pengaruh kelembaban yang tinggi. Fakta di lapangan memperlihatkan, toleransi ketahanan jenis-jenis varietas jagung tidak sama terhadap serangan penyakit busuk tongkol. Pada kondisi tempat, musim, lingkungan dan perlakuan kultur teknis yang sama, ada jenis varietas yang relatif tahan, dan sebaliknya ada jenis varietas yang lebih peka.

Untuk mengetahui jenis varietas yang lebih toleran terhadap penyakit busuk tongkol seperti diuraikan di atas, dilakukan penelitian pengujian lapangan. Pengujian berbagai jenis varietas jagung hibrida, sekaligus untuk mengetahui keragaan produksi masing-masing varietas serta kepekaannya terhadap penyakit busuk tongkol di musim hujan.

(3)

Metode Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Purba Kabupaten Simalungun dengan ketinggian tempat 1.400 diatas permukaan laut, curah hujan rata-rata setiap tahunnya 1.747 mm, dengan suhu

maksimum 350 C dan minimum 200C. Tipe iklim

E2 dan jumlah hari hujan rata-rata 169 hari/tahun.

Pelaksanaan kegiatan penelitian dimulai pada bulan Agustus 2016 hingga selesai bulan Desember 2016.

Bahan-bahan yang dipergunakan dalam kegiatan penelitian antara lain : (a). benih jagung hibrida terdiri dari 4 (empat) yaitu varietas C3, P-4, C5, dan Bisi-5. (b). pupuk anorganik Urea 300 kg/ha, TSP 150 kg/ha, dan KCI 100 kg/ha. Selain bahan-bahan tersebut, juga digunakan insektisida Curater 3G (dosis 5 kg/ha) untuk mengendalikan hama, fungisida Ridomil 35 SD (dosis 2 kg/ha) untuk mengendalikan penyakit bulai, dan untuk mencegah penyakit hawar daun digunakan fungisida Tilt 250 EC (dosis 51/ha). Alat-alat yang dipakai dalam penelitian, antara lain : cangkul, tali, kayu penugal (pelubang),

handsprayer, label merk, meteran, alat tulis

menulis, plastik, counter, timbangan, water tester, ember, karung gonidan lain-lain.

Penelitian lapangan dilaksanakan

menggunakan metode rancangan acak kelompok (RAK) non faktorial. Faktor perlakuan yang diuji ialah membandingkan keragaan pertumbuhan dan produksi serta toleransi terhadap penyakit busuk tongkol 4 (empat) jenis varietas jagung (V) : varietas C5 (V1), Bisi (V2), P4 (V3), dan C3 (V4). Setiap perlakuan diulang tiga kali sehingga terdapat 12 petak perlakuan. Jarak tanam yang digunakan 75 cm x 25 cm, tiap petak terdapat 5 baris, dan setiap baris ada 10 tanaman.

Untuk mengetahui keragaan pertumbuhan dan produksi masing-masing varietas, dilakukan pengukuran terhadap beberapa parameter pertumbuhan dan parameter produksi, antara lain : Tinggi Tanaman, Jumlah Tongkol, Panjang Kelobot Penutup Tongkol, Panjang Tongkol Berisi Biji, Jumlah Baris per Tongkol, Jumlah Biji per Baris, Jumlah Biji per Tongkol, Bobot 1.000 Butir Biji, Produksi Biji Kering, dan Intensitas Penyakit Busuk Tongkol. Untuk mendapatkan data intensitas busuk tongkol, digunakan rumus matematis sebagai berikut : Ibt = (jtb / jtb + jts) x 100%, dimana Ibt = intensitas busuk tongkol, jtb = jumlah tongkol busuk dan jts = jumlah tongkol sehat. Kriteria intensitas kerusakan tongkol, selanjutnya diklasifikasikan sebagai berikut : ringan (0 – 10%), sedang (>10 – 25%), berat (>25 – 75%) dan puso (>75%).

Hasil dan Pembahasan

Tinggi Tanaman, Jumlah Tongkol per Tanaman, Panjang Kelobot Penutup Tongkol

dan Panjang Tongkol Berisi

Hasil analisis sidik ragam terhadap data pengamatan rata-rata tinggi tanaman, jumlah tongkol per panaman, panjang kelobot penutup tongkol dan panjang tongkol berisi, menunjukkan bahwa perbedaan jenis varietas yang diuji tidak menghasilkan tinggi tanaman, panjang tongkol berisi biji dan panjang kelobot yang berbeda nyata. Tetapi khusus jumlah tongkol yang dihasilkan didapatkan hasil yang berbeda nyata. Tabel 1 memperhatikan perbedaan rata-rata tinggi tanaman, jumlah tongkol per tanaman, panjang kelobot penutup tongkol dan panjang tongkol berisi pada masing-masing varietas yang diuji. Tabel 1

Tinggi Tanaman (cm), Jumlah Tongkol per Tanaman (buah), Panjang Kelobot Penutup Tongkol (cm) dan Panjang Tongkol Berisi (cm) masing-masing Varietas

Jenis Varietas Rata-rata tinggi Tanaman (mm) Rata-rata jumlah tongkol (buah) per tanaman Rata-rata panjang kelobot (cm) Rata-rata panjang tongkol berisi biji

(cm) C3 124,028 a 1,067 b 25,073 a 19,018 a C5 138,005 a 1,033 b 26,790 a 21,465 a Bisi 5 145,338 a 1,367 a 28,047 a 21,122 a P4 143,412 a 1,466 a 25,757 a 20,128 a 75

(4)

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada masing-masing kolom yang sama, menyatakan berbeda nyata pada taraf 0,5.

Dari tabel 1 diketahui bahwa tanaman tertinggi dihasilkan oleh varietas Bisi 5, diikuti oleh varietas P4, C5 dan terendah adalah varietas C3. Namun demikian, secara statistik tinggi tanaman ke-empat varietas tersebut tidak berbeda nyata. Bila dibandingkan tinggi tanaman hasil penelitian dengan tinggi tanaman pada deskripsi varietas, tinggi tanaman hasil penelitian didapati lebih rendah. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya faktor luar, yang mempengaruhi pertumbuhan baik itu iklim maupun topografi tempat.

Sitanggang, dkk (1978) menyatakan bahwa struktur dan tekstur, kelembaban, porositas, tersedianya unsur hara serta kegiatan jasad hidup mikroorganisme dalam lingkungan tanah dapat mempengaruhi pertumbuhan akar. Pertumbuhan akar yang semakin baik, akan meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman. Kondisi sebaliknya, menyebabkan pertumbuhan tinggi tanaman semakin menurun. Perbandingan tinggi tanaman data hasil pengujian dengan data deskripsi varietas dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2

Perbandingan Tinggi Tanaman (cm) Data Hasil Pengujian dengan Data Deskripsi Varietas

Jenis Varietas Rata-rata tinggi tanaman (Cm)

Hasil Pengamatan Deskripsi Varietas

C3 124,028 Agak Tinggi

C5 138,005 (180-200)

Bisi 5 145,338 191

P4 143,412 238

Dari tabel 1 diketahui juga bahwa jumlah tongkol tertinggi diperoleh pada varietas P4, diikuti oleh varietas C3 dan terendah adalah pada varietas C5 yang berbeda nyata dengan varietas P4 dan varietas Bisi 5. Jumlah tongkol yang dihasilkan masing-masing varietas lebih dominan dipengaruhi sifat induk yang diturunkan terhadap varietas yang dihasilkan. Hal ini dapat dilihat dari deskripsi varietas, dimana setiap varietas dihasilkan dari galur-galur murni unggul yang berbeda sehingga kemampuan tanaman dalam melakukan proses produksi dan merespon unsur hara yang tersedia sesuai sifat induk yang diturunkan. Oleh karena itu bila diperhatikan secara umum setiap varietas jagung hibrida berpotensi untuk menghasilkan 1 - 2 tongkol tiap tanaman. Tetapi kemampuan tanaman dalam merespon unsur hara dan beradaptasi dengan lingkungannya berbeda, maka tongkol kedua dari

tiap tanaman cenderung tidak produktif dan tidak masuk kategori hasil (Anonimus, 2000).

Panjang kelobot tidak berbeda nyata antar perlakuan varietas. Rata-rata panjang kelobot tertinggi terdapat pada varietas Bisi 5, diikuti oleh varietas C5, P4 dan C3. Penutupan tongkol setiap jenis varietas yang diuji cenderung hampir sama, dimana setiap kelobot menutupi seluruh bagian tongkol dengan baik. Pada deskripsi varietas, diungkapkan bahwa C5 dan P4 menutup tongkol dengan baik dan hal ini tidak menyimpang dari pengamatan pada penelitian. Namun untuk varietas C3 memperlihatkan ketidakonsitenan, dimana pada deskripsi diuraikan kelobotnya tidak semua menutup tongkol dengan baik sementara pada pengamatan di lapangan mampu menutup tongkol.

Hal ini kemungkinan berhubungan dengan daya adaptasi tanaman. Deskripsi varietas menyatakan C3 baik dikembangkan di dataran

(5)

rendah, sedangkan areal penelitian adalah di dataran tinggi. Perbedaan topografi menyebabkan iklim yang berbeda dan tanaman membutuhkan daya adaptasi dalam melakukan pertumbuhan dan produksi akibatnya pembentukan tongkol tidak optimal dari yang diharapkan sehingga kelobot mampu menutup tongkol dengan baik. Untuk varietas Bisi 5 keberadaan kelobot penutup tongkol tidak diuraikan pada deskripsi, sementara pada pengamatan penelitian kelobot mampu menutup tongkol dengan baik. Kelobot yang mampu menutupi seluruh bagian tongkol akan sangat membantu mencegah perkembangan penyakit busuk tongkol. Jika sebahagian ujung tongkol tidak ditutupi oleh klobot, maka jika hujan turun akan langsung membasahi bagian ujung tongkol yang tidak tertutup. Kondisi seperti itu akan memudahkan infeksi patogen cendawan penyebab busuk tongkol.

Panjang tongkol berisi biji tertinggi terdapat pada varietas C5, diikuti oleh varietas Bisi 5, P4 dan C3. namun demikian, rata-rata panjang tongkol berisi biji secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar varietas. Pada

deskripsi varietas, panjang tongkol tidak diuraikan. Yang ada adalah uraian pernyataan tongkol besar, silindris, dan panjang. Bila dilihat hasil pengamatan panjang tongkol, masih selaras dengan uraian deskripsi varietas.Yang mempengaruhi panjang tongkol setiap varietas lebih dominan dipengaruhi faktor genetis disusul faktor luar luar, diantaranya unsur hara makro dan mikro, serta ketersediaan air pada saat penyerbukan.

Jumlah Baris per Tongkol, Jumlah Biji per Baris, Jumlah Biji per Tongkol dan

Bobot 1.000 Butir Biji

Hasil analisis sidik ragam data jumlah baris per tongkol, jumlah biji per baris, jumlah biji per tongkol dan bobot 1.000 butir biji menujukkan bahwa perbedaan jenis varietas nyata mempengaruhi jumlah baris tiap tongkol dan bobot 1.000 butir biji. Sedangkan jumlah biji per baris dan jumlah biji per tongkol tanaman yang dihasilkan masing-masing varietas tidak berbeda nyata.

Tabel 3

Jumlah Baris per Tongkol, Jumlah Biji per Baris, Jumlah Biji per Tongkol dan Bobot 1.000 Butir Biji masing-masing Varietas

Jenis Varietas

Rata-rata Jumlah Baris per tongkol

Rata-rata Jumlah Biji per Baris

Rata-rata Jumlah Biji per Tongkol

Rata-rata bobot 1.000 butir biji C3 15,467 ab 32,867 a 508,00 a 318,000 ab C5 15,933 b 36,400 a 581,66 a 329,333 a Bisi 5 12,933 c 33,400 a 426,67 a 304,667 b P4 14,267 ab 35,333 a 505,33 a 271,333 c

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada masing-masing kolom yang sama, menyatakan berbeda nyata pada taraf 0,5.

Dari tabel 3 diketahui bahwa jumlah baris per tongkol tertinggi diperoleh varietas C5, diikuti dan tidak berbeda nyata dengan varietas C3, tetapi berbeda nyata dengan varietas P4 dan varietas Bisi 5 yang menghasilkan jumlah baris per tongkol yang terendah. Hasil pengamatan jumlah baris per tongkol bila dibandingkan dengan deskripsi varietas tampak perbedaan atau selisih angka yang akhirnya berdampak ke produksi. Untuk varietas C3 (15,467) dan P4 (14,267)

masih dapat mencapai kisaran data deskripsi. Sedangkan varietas C5 (15, 933) dan Bisi 5 (12,933) masih lebih rendah dari deskripsi.

Ketidakmampuan varietas ini mencapai angka kisaran data deskripsi diduga disebabkan

kekurangmampuan beradaptasi dengan

lingkungan tempat tumbuhnya. Sebab bila dilihat rekomendasi areal pengembangan, varietas C5 dan Bisi 5 cenderung bertumbuh lebih baik di dataran rendah dengan iklim tropis relatif lebih

(6)

panas. Sedangkan lokasi penelitian berada di daerah tinggi dengan iklim lembab, curah hujan tinggi dan temperatur lebih dingin. Sehingga tanaman masih membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan yang kurang sesuai. Ketidakmampuan tanaman beraptasi dengan cepat akan berdampak kepada kemampuan berproduksi, termasuk untuk menghasilkan jumlah biji per baris sehingga tidak mencapai kisaran produksi secara optimal.

Rata-rata jumlah biji per baris tertinggi diperoleh pada varietas C5, diikuti oleh varietas P4, Bisi 5 dan C3. Namun secara uji statistik, rata-rata jumlah biji per baris tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (non significant) antar perlakuan varietas. Pada deskripsi masing-masing varietas tidak diuraikan jumlah biji per baris sehingga tidak dapat dibandingkan dengan hasil penelitian. Jumlah biji per baris sangat berhubungan dengan panjang tongkol. Semakin panjang tongkol yang dihasilkan, maka jumlah biji per baris dalam satu baris juga semakin banyak. Jumlah biji yang semakin banyak secara linier akan mempengaruhi kemampuan varietas menghasilkan produksi biji (AAK, 1993).

Rata-rata jumlah biji per tongkol tertinggi diperoleh varietas C5, diikuti oleh varietas C3, P4 dan Bisi 5, jumlah biji per tongkol menunjukkan tidak berbeda nyata diantara masing-masing perlakuan varietas. Pembentukan biji adalah melalui proses pembuahan yang didahului peristiwa penyerbukan. Pembuahan dapat berlangsung apabila serbuk sari atau polen yang menempel pada stigma atau putik/rambut jagung berkembang dan menembus dinding tangkai putik/rambut, kemudian diteruskan melalui saluran tangkai putik hingga bertemu sel telur. Bila proses alami ini berjalan normal maka pembentukan biji akan berlangsung dengan baik. Jumlah biji yang melekat pada tongkol dipengaruhi proses pembuahan dan peristiwa penyerbukan tanaman. Pada deskripsi varietas

tidak diuraikan jumlah biji per tongkol, sehingga tidak dapat dibandingkan dengan hasil pengamatan penelitian ini.

Rata-rata bobot 1.000 biji (gr) tertinggi diperoleh varietas C5, diikuti dan tidak berbeda nyata dengan varietas C3, tetapi berbeda nyata dengan varietas Bisi 5 dan berbeda sangat nyata dengan varietas P4. Perkembangan biji dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis varietas tanaman, tersedianya kebutuhan makanan di dalam tanah dan faktor lingkungan seperti sinar matahari, air dan kelembaban udara (AAK, 1993). Bobot biji adalah manifestasi penimbunan karbohidrat oleh proses fotosintesis tanaman selama pertumbuhannya. Semakin baik penyerapan tanaman akan unsur hara, cahaya matahari dan air, maka proses fotosintesis tanaman akan berlangsung lebih baik. Sehingga hasil-hasil fotosintat dapat ditimbun lebih banyak dan secara tidak langsung mempengaruhi berat biji yang dihasilkan tanaman.

Bila dibandingkan data hasil pengamatan dengan deskripsi varietas, maka terlihat selisih angka, dimana bobot 1.000 butir biji pada varietas C3 (318,000 gram) dan C5 (329,333 gram) dan P4 (271,333 gram) mampu melampaui kisaran angka pada deskripsi. Ketidakmampuan varietas C5 dan C3 mencapai bobot optimal, kemungkinan disebabkan kurang respon terhadap pemupukan dan iklim yang tidak sesuai dengan daerah pengembangan (Anonimus, 2000).

Produksi Biji Kering dan Intensitas Kerusakan Penyakit Busuk Tongkol

Hasil analisis sidik ragam data produksi biji kering (ton/ha) pada kadar air 15% menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan varietas menghasilkan produksi biji kering yang berbeda nyata antar varietas yang diuji. Demikian juga intensitas kerusakan busuk tongkol, berbeda nyata akibat perbedaan jenis varietas seperti ditunjukkan pada tabel 4 berikut.

Tabel 4

Produksi Biji Kering (ton/ha) dan Intensitas Kerusakan Penyakit Busuk Tongkol (%) masing-masing Varietas

(7)

C3 6,495 ab 2,00 a

C5 6.721 a 0,17 a

Bisi 5 6,220 b 2,67 b

P4 5,538 c 1,01 a

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada masing-masing kolom yang sama, menyatakan berbeda nyata pada taraf 0,5%.

Dari tabel 4 terlihat bahwa produksi biji kering tertinggi dihasilkan oleh varietas C5, diikuti dan tidak berbeda nyata dengan varietas C3 dan Bisi 5, tetapi berbeda nyata dengan produksi varietas P4. Hasil pengamatan menunjukkan, tidak semua varietas yang diuji mampu mencapai angka kisaran produksi biji kering optimal sesuai deskripsi. Hanya jenis varietas C3 yang mampu mencapai angka kisaran optimal sesuai deskripsi. Varietas C3 mampu mencapai angka rata-rata kemampuan suatu varietas dalam berproduksi ditentukan beberapa faktor dari dalam (genetis) maupun faktor luar (pengaruh lingkungan).

AAK (1993), menyatakan bahwa produksi tanaman dapat didefiniskan kegiatan atau sistem budidaya tanaman yang melibatkan beberapa faktor produksi seperti tanah, iklim, varietas, kultur teknis, pengelolaan serta alat-alat agar diperoleh hasil maksimum. Melihat kenyataan di atas bahwa faktor iklim tidak dapat dimanipulasi, sehingga mengurangi kemampuan tanaman dalam mencapai hasil optimum.

Semua varietas yang diteliti terserang oleh penyakit busuk tongkol. Rata-rata intensitas kerusakan penyakit busuk tongkol tertinggi ditemukan pada varietas Bisi 5, diikuti oleh varietas C3, P4 dan dan terendah pada varietas C5. Intensitas kerusakan penyakit busuk tongkol untuk seluruh varietas dikategorikan sebagai intensitas serangan ringan (ntensitas serangan 0 – 10%). Untung (1993), menyatakan bahwa semua tanaman memiliki tingkat toleransi tertentu terhadap adanya kerusakan, baik oleh karena serangan hama penyakit ataupun penyebab lain. Serangan kategori sangat ringan dan ringan, tidak selamanya mendatangkan kerugian yang nyata. Hal ini berarti, bahwa walaupun ada tingkat kerusakan namun tidak mempengaruhi produksi tanaman.

Kesimpulan dan Saran Kesimpulan

Perbedaan jenis varietas yang diuji tidak menghasilkan perbedaan yang nyata terhadap tinggi tanaman, panjang kelobot penutup tongkol, panjang tongkol berisi, jumlah biji per baris, jumlah biji per tongkol dan intensitas kerusakan penyakit busuk tongkol. Tetapi perbedaan jenis varietas berpengaruh nyata terhadap jumlah tongkol per tanaman dan berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah baris per tongkol, bobot seribu butir biji dan produksi biji kering.

Jumlah baris per tongkol, bobot seribu butir biji, dan produksi biji kering tertinggi dihasilkan oleh varietas C5, sedangkan jumlah tongkol per tanaman tertinggi dihasilkan varietas P4.

Varietas yang toleran terhadap penyakit busuk tongkol adalah varietas C3 dan Bisi 5. Varietas C3 dengan intensitas kerusakan 2% masih mampu mencapai produksi rata-rata 6,495 ton/ha dan tidak berbeda nyata dengan produksi rata-rata tertinggi varietas C5 (6,721 ton/ha).

Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka disarankan kepada petani jagung di daerah setempat untuk menggunakan vareitas C3. Karena selain produksinya tinggi juga toleran terhadap penyakit busuk tongkol. Tetapi bila melihat aspek produksi, masih layak juga menggunakan varietas C5. Karena produksi varietas inipun tidak berbedanyata dengan varietas C3.

Disarankan melakasanakan penelitian sejenis pada lokasi, musim tanam dan jenis varietas jagung hibrida berbeda lainnya.

Daftar Pustaka

A. A. Gomez, K. A. Gomez, 1976. Statistical

Procedures for Agricultural, with Emphasis on Rice. Internasional Rice

Research Institute, Los Bano, Philiphines. AAK, 1993. Tehnik Bercocok Tanam Jagung.

Penerbit Kanisius Yogyakarta

(8)

Anonimus, 1983. Pedoman identifikasi Varietas

Padi, Palawija dan Hortikultura.

Direktorat Bina Produksi Tanaman Pangan. Anonimus, 1989. Pengendalian Penyakit Penting

pada Tanaman Padi dan Palawija dan Cara Pengendaliannya. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan.

Anonimus, 1989. Petunjuk Identifikasi Penyakit

Padi Palawija. Direktorat Perlindungan

Tanaman Pangan.

Anonimus, 1989. Pedoman Pengamatan dan

Pelaporan Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura. Direktorat Perlindungan

Tanaman Pangan.

Anonimus, 2000. Deskripsi Varietas (Padi,

Jagung, Kacang Tanah, Kacang Hijau) yang dapat disertifikasi. Balai Pengawasan

dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura IV, Sumatera Utara.

Kasumbogo Untung, 1993. Pengantar

Pengelolaan Hama Terpadu. Penerbit

Gajah Mada University Press.

Sitanggang, 1987. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian USU, Medan.

Sugeng, 1983. Bercocok Tanam Jagung. Penerbit PT. Gramedia Jakarta.

Sudarmo, S., 1998. Pengendalian Hama

Penyakit Tanaman Jagung. Penerbit

Gramedia Jakarta.

Suprapto, H.S., 1998. Bercocok Tanam Jagung. Penerbit PT. Swadaya Jakarta.

Way, Han. 1969. Defelotion Effect on Different

Corn. (Zea Mays .L.). Hybrid as influencee by planꁙ populaꁙion and sꁙage of Developmenꁙ.

Gambar

Tabel 1 memperhatikan perbedaan rata-rata tinggi tanaman,   jumlah   tongkol   per   tanaman,   panjang kelobot   penutup   tongkol   dan   panjang   tongkol berisi pada masing-masing varietas yang diuji.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pengamatan awal dan wawancara yang dilakukan pada guru PNS di SLB Negeri 1 Bantul yang menunjukkan adanya kinerja yang rendah seperti membolos/terlambat

Hasil pengolahan dan analisa data menunjukkan kendala yang dihadapi oleh para kepala sekolah pada SMA Negeri di Kota Banda Aceh dalam mengembangkan komptensi

0HVNLSXQ GHPLNLDQ SHUVXWUDDQ GL GDHUDK WHUVHEXW EHOXP MXJD SXOLK VHSHQXKQ\D ODQWDUDQ NDXP SHUHPSXDQ \DQJ GDKXOX EDQ\DN PHQJJHOXWL SHNHUMDDQ LQL VXGDK EDQ\DN \DQJ EHUDOLK SURIHVL

Semua program ini bertujuan untuk memberikan kesedaran kepada remaja agar tidak terjebak ke dalam masalah sosial (Utusan Malaysia, 26 Jun 1997).. Di samping itu juga

Melihat urgensi perlunya memahami konflik pada kawasan pertambangan yang menyangkut kepentingan berbagai aktor tersebut, maka dirumuskan permasalahan penelitian,

Nilai Output adalah nilai produksi yang dihasilkan dari proses kegiatan industri yang berupa barang yang dijual jasa industri, keuntungan jual beli, pertambahan stok

Sebaliknya, pihak Quraisy menolak untuk mengembalikan orang-orang Madinah yang kembali ke Mekah, (4) selama sepuluh tahun dilakukan genjatan senjata antara masyarakat Madinah

Ujrah (upah) adalah Imbalan atau balas jasa atas sesuatu yang telah diambil manfaatnya. Pembayaran upah merupakan suatu kewajiban yang harus diutamakan oleh orang