• Tidak ada hasil yang ditemukan

DUKUNGAN USAHA PERKEBUNAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN KELAPA SAWIT TERHADAP USAHA TERNAK SAPI POTONG DI KALIMANTAN SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DUKUNGAN USAHA PERKEBUNAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN KELAPA SAWIT TERHADAP USAHA TERNAK SAPI POTONG DI KALIMANTAN SELATAN"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

DUKUNGAN USAHA PERKEBUNAN DAN INDUSTRI

PENGOLAHAN KELAPA SAWIT TERHADAP USAHA

TERNAK SAPI POTONG DI KALIMANTAN SELATAN

AKHMAD HAMDAN1,IKA SUMANTRI2danENI SITI ROHAENI1

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan

Jl. Panglima Batur Barat No. 4 Banjarbaru, Kalimantan Selatan

2Fakultas Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru

Jl. Ahmad Yani, Banjarbaru, Kalimantan Selatan

ABSTRAK

Kelapa sawit dan sapi potong merupakan komoditas unggulan sektor perkebunan dan peternakan di Kalimantan Selatan. Luas perkebunan kelapa sawit dan populasi sapi potong sampai tahun 2004 masing-masing mencapai 160.753 ha dan 173.648 ekor. Program swasembada sapi potong perlu didukung oleh usaha penyediaan pakan yang bukan hanya terjamin kuantitas, kualitas dan kontinuitasnya tetapi juga ekonomis. Perkembangan agroindustri kelapa sawit di Kalimantan Selatan membuka peluang integrasi sapi potong dengan perkebunan kelapa sawit. Melalui sistem penggembalaan rotasi diperkirakan hijauan di areal perkebunan kelapa sawit Kalimantan Selatan dapat menampung hingga 107.000 ekor sapi potong. Selain itu limbah pabrik pengolahan kelapa sawit seperti tandan kosong (TKS), serat buah sawit (PPF), bungkil inti sawit (KPC) dan padatan limbah cair (solid) dapat dimanfaatkan sebagai pakan sumber serat, energi dan protein dalam konsentrat sapi potong. Estimasi produksi TKS, PPF dan KPC di Kalimantan Selatan berturut-turut 259.617, 146.740 dan 53.880 ton/tahun. Meskipun sangat besar, potensi agroindustri kelapa sawit tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal untuk pengembangan sapi potong. Untuk itu perlu adanya sosialisasi yang menyentuh sasaran lebih luas, pengembangan dan transfer teknologi pemanfaatan limbah perkebunan/industri kelapa sawit sebagai pakan, pembentukan sentra peternakan sapi potong di dekat perkebunan/industri kelapa sawit serta adanya keterbukaan pihak Perkebunan Besar Negara/Perkebunan Besar Swasta untuk pemanfaatan perkebunan dan limbah industri pengolahannya sebagai pakan ternak sapi oleh masyarakat.

Kata Kunci: Perkebunan, Industri Pengolahan, Kelapa Sawit, Sapi Potong, Kalimantan Selatan PENDAHULUAN

Kalimantan Selatan mempunyai luasan sekitar 3.737.743 ha dengan luas lahan kering 1.845.090 Ha, yang telah dimanfaatkan untuk lahan perkebunan sebesar 427.684 Ha atau sekitar 11,39% dari total luas Kalsel (Disbun Kalsel, 2005). Kelapa sawit dan sapi potong merupakan komoditas unggulan sektor perkebunan dan peternakan yang mendapatkan prioritas dalam pengembangannya di Provinsi Kalimantan Selatan.

Populasi sapi potong di Kalimantan Selatan pada tahun 2004 mencapai 173.648 ekor dengan tingkat pertumbuhan sebesar 4,31%. Kondisi peternakan sapi potong saat ini khususnya di Provinsi Kalimantan Selatan masih mengalami kekurangan pasokan sapi bakalan lokal karena pertambahan populasi (4,31%) tidak seimbang dengan kebutuhan yaitu 16,52%, sehingga masih perlu

mendatangkan sapi potong dari luar provinsi (DISNAK KALIMANTAN SELATAN, 2005).

Untuk mendukung tercapainya program swasembada sapi potong, perlu dilakukan upaya penyediaan pakan yang cukup, berkualitas dan ekonomis. Hal ini menjadi penting karena aspek kuantitas pada swasembada sapi potong perlu diimbangi dengan peningkatan kualitas hidup peternaknya. Upaya diversifikasi pakan sapi potong yang memenuhi syarat nutrisi dan ekonomis menjadi selaras dengan tersedianya sumber pakan murah dari perkebunan dan industri kelapa sawit.

Pada usaha perkebunan kelapa sawit dan pengolahannya terdapat limbah yang cukup besar dan dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Pemanfaatan hijauan pakan di areal tegakan kelapa sawit dapat dilakukan secara terencana. Pada perkebunan kelapa sawit juga tersedia limbah berupa batang dan pelepah sawit. Pada pabrik pengolahan kelapa sawit

(2)

terdapat limbah antara lain berupa tandan kosong, serat buah sawit, bungkil inti sawit dan lumpur (solid) sawit. Kurangnya informasi tentang potensi areal perkebunan, limbah padat dan limbah pengolahan kelapa sawit sebagai pakan ternak menyebabkan pemanfaatannya dinilai belum optimal, khususnya di Provinsi Kalimantan Selatan. Adanya upaya pemanfaatan areal dan limbah perkebunan serta limbah pengolahan kelapa sawit untuk pakan ternak diharapkan dapat memberikan nilai tambah bagi perusahaan, peternak di sekitar dan pemerintah daerah setempat.

Tujuan dari makalah ini adalah untuk melihat dukungan usaha perkebunan dan industri pengolahan kelapa sawit terhadap usaha ternak sapi potong di Provinsi Kalimantan Selatan.

PEMANFAATAN LAHAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

Pemanfaatan lahan perkebunan kelapa sawit untuk peternakan sapi potong sangat memungkinkan. Produksi hijauan dari gulma dan tanaman penutup di areal tegakan kelapa sawit umur 1-5 tahun diperkirakan dapat mencapai 15 ton/ha (PURBA dan GINTING, 1997). Pada umur lebih dari 6 tahun kerapatan tanaman meningkat yang menyebabkan berkurangnya produksi hijauan, sehingga pada tanaman menghasilkan (TM), sapi potong diarahkan untuk dapat memanfaatkan batang dan pelepah sawit sebagai pakan. Integrasi sapi potong di lahan perkebunan kelapa sawit akan memberikan beberapa keuntungan:

1. Mengurangi biaya pengendalian gulma yang biasa dilakukan secara kimiawi atau mekanis. Pengendalian gulma secara biologis dengan ternak merupakan contoh dari aplikasi konsep LEISA (Low External

Input Sustainable Agriculture).

2. Memaksimalkan keuntungan dari sumber daya lahan perkebunan. Pada lahan tanaman belum menghasilkan (TBM), integrasi sapi potong di areal tegakan dapat memberikan pemasukan bagi perusahaan/petani, meskipun hal ini memerlukan perhitungan dan kontrol yang baik.

Di Malaysia, integrasi sapi potong di lahan perkebunan kelapa sawit umumnya dilakukan

pada tanaman berumur lebih dari 5 tahun (AWALUDIN dan SHARIFFHUDDIN, 2003). Meskipun keuntungannya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan keuntungan dari produksi minyak sawit namun beberapa keuntungan sebagaimana disebutkan di atas mendorong meningkatnya kerjasama antara peternak dan perusahaan perkebunan kelapa sawit di Malaysia.

Beberapa model pemanfaatan tanaman penutup dan gulma di lahan perkebunan kelapa sawit untuk pemeliharaan ternak ruminansia sebenarnya telah cukup lama dikaji untuk dikembangkan di Indonesia. PURBA et al. (1995) melaporkan bahwa sistem pemeliharaan kambing dan domba secara konvensional (ekstensif) di lahan perkebunan kelapa sawit lebih memungkinkan untuk diterapkan dibandingkan sistem pemeliharaan semi intensif. Analisis eknonomi menunjukkan penggembalaan 10 ekor domba untuk usaha perbibitan di areal TBM cukup menguntungkan bagi petani kelapa sawit dengan nilai B/C yang dihasilkan sebesar 1,4 dan NPV yang positif (PURBA dan GINTING, 1997).

Melihat model yang telah berhasil dilakukan di Malaysia, maka dengan luas kebun kelapa sawit di Kalimantan Selatan yang mencapai 160.753 ha akan dapat diusahakan untuk penggembalaan secara rotasi sekitar 107.000 ekor sapi Bali perbibitan dan atau penggemukan. Potensi ini tentu saja masih dapat ditingkatkan jika dari lahan kelapa sawit dapat pula dimanfaatkan pelepah dan batangnya. Meskipun nilai nutrisinya lebih rendah dibandingkan dengan rumput, pelepah dan batang sawit dapat digunakan sebagai pakan substitusi ketika ketersediaan hijauan berkurang. PURBA et al. (1997) memperkirakan pelepah sawit dapat menggantikan hingga 83% rumput dalam ransum domba tanpa menurunkan bobot hidup. Untuk dapat meningkatkan pemanfaatan pelepah sawit sebagai pakan perlu pengembangan teknologi pakan, seperti aplikasi fermentasi menggunakan probiotik yang mengandung mikroorganisme lignoselulolitik untuk meningkatkan kecernaannya.

Meskipun memiliki potensi yang besar, pemanfaatan lahan kelapa sawit untuk pengembangan ternak potong belum dilakukan di Kalimantan Selatan. Berdasarkan

(3)

pengamatan yang dilakukan penulis, adanya penggembalaan ternak potong di lahan perkebunan kelapa sawit justru dilakukan secara tidak sengaja atau tidak terkelola dengan baik. Di daerah Kabupaten Tanah Bumbu sering ditemukan kelompok-kelompok kerbau liar yang digembalakan di areal perkebunan besar swasta. Di beberapa desa, petani kelapa sawit juga telah terbiasa menggembalakan sapinya di bawah tegakan TBM. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan perkebunan kelapa sawit untuk usaha peternakan sapi potong selain memenuhi aspek keberlanjutan yang ramah lingkungan dan secara ekonomi layak diusahakan juga secara sosial diterima masyarakat.

Untuk dapat diterapkan, sistem integrasi ternak di lahan perkebunan kelapa sawit juga harus diterima secara politis. Penulis bermaksud mempertanyakan apakah manajemen Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS) serta instansi terkait dapat membuat kesepahaman untuk pemanfaatan lahan perkebunan kelapa sawit untuk pengembangan sapi potong. Hal ini menjadi penting karena semestinya peruntukan dan pemanfaatan lahan tersebut memang telah direncanakan dari awal. Keresahan peternak sapi potong di sekitar areal bekas kebun tebu Pelaihari yang diubah menjadi kebun kelapa sawit misalnya menjadi contoh bahwa perlu adanya pertimbangan sosial terhadap pemanfaatan lahan perkebunan.

PEMANFAATAN LIMBAH PABRIK KELAPA SAWIT SEBAGAI PAKAN SAPI

POTONG

Beberapa limbah pabrik kelapa sawit memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai bahan pakan pada ransum sapi potong, yaitu tandan kosong sawit (TKS), serat buah sawit (palm press fibre/PPF) dan bungkil inti sawit (palm kernel cake/KPC). Limbah padat maupun limbah cair dari pengolahan kelapa sawit semestinya dapat dikelola dengan baik melalui upaya :

1. Pengurangan volume dan daya cemarnya 2. Daur ulang limbah pada proses yang sama 3. Penggunaan limbah pada proses yang

berbeda

4. Pengolahan limbah untuk dapat diambil komponen yang bermanfaat

Meskipun setiap pabrik kelapa sawit berupaya mengelola limbahnya melalui pendekatan tersebut di atas, kita dapat menemui bahwa tidak semua limbah tersebut dapat ditangani dengan baik. Salah satu penyebabnya adalah volume limbah pengolahan kelapa sawit yang sangat besar. Diperkirakan setiap TBS yang diolah menjadi CPO akan menghasilkan 23% TKS dan 13% PPF (ERNINGPRAJA dan DARNOKO, 2005). Jika dikonversikan dari data produksi CPO Kalsel tahun 2004 (DISBUN KALIMANTAN SELATAN, 2005) ke produksi tandan buah segar (TBS) maka estimasi produksi limbah padat kelapa sawit yang berpotensi sebagai bahan pakan ternak adalah: 259.617 ton TKS, 146.740 ton PPF dan 53.880 ton KPC. Selain ketiga limbah padat pabrik kelapa sawit tersebut, endapan padat dari limbah cair (solid) juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan sapi potong. Penambahan solid akan meningkatkan penggunaan KPC dan PPF antara 40-50% dari ransum sapi potong (TURNOUR, 1996).

Ketiga limbah padat pabrik kelapa sawit tersebut mengandung serat kasar dan fraksi dinding sel yang tinggi, sehingga lebih sesuai sebagai pakan ternak ruminansia, seperti sapi potong. Meskipun demikian penggunaannya dalam ransum juga terbatas didasarkan atas pertimbangan:

1. Kandungan serat kasar yang sangat tinggi, lebih dari 70%, pada TKS (ERWINSYAH et

al., 1997) dan PPF (HARTADI et al., 1980)

menyebabkan rendahnya nilai kecernaan dan konsumsi bahan kering pakan.

2. Kandungan minyak yang masih tinggi pada PPF dan KPC menyebabkan pemberian dalam ransum harus segar karena mudah tengik dan berjamur. Penggunaan bahan pakan tinggi kandungan lemak dibatasi pada ternak ruminansia, karena akan menekan perkembangan mikroorganisme pendegradasi serat dalam rumen (PALMQUIST et al., 1993; DOREAU dan CHILLIARD, 1996).

3. Meskipun sebagai bahan pakan ternak ruminansia kandungan serat kasar relatif rendah (19,7%) dan protein kasar cukup tinggi (15%), pemberian KPC dibatasi maksimal 20% dari ransum karena diduga

(4)

kandungan Cu yang tinggi pada KPC akan berakibat toksik bagi mikrobia rumen (PARAKKASI, 1999).

Berkembangnya industri pengolahan kelapa sawit di Kalimantan Selatan dari semula hanya memproduksi CPO saat ini telah terdapat beberapa pabrik yang juga mengolah palm

kernell oil (PKO) sehingga membuka peluang

tersedianya KPC untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Namun berdasarkan pengalaman penulis, ketersediaan KPC ini belum dapat dimanfaatkan oleh peternak sapi potong karena:

1. Tidak ada sentra pemeliharaan sapi potong di daerah sekitar pabrik. Daerah dengan budidaya sapi potong telah berkembang baik tidak memiliki informasi atau akses untuk memanfaatkannya.

2. Kontrak pembelian kemungkinan telah dilakukan dalam skala besar dengan perusahaan pakan di Pulau Jawa. Pembelian dalam skala kecil tidak dimungkinkan, sehingga menutup peluang pemanfaatannya oleh kelompok ternak atau peternak rakyat.

Secara keseluruhan, pemanfaatan limbah industri kelapa sawit sebagai pakan sapi potong belum dilakukan secara optimal. Potensi pakan yang sangat besar hampir tidak ada pemanfaatannya untuk pengembangan sapi potong di Kalimantan Selatan. Beberapa hal yang dirasa perlu dilakukan untuk dapat memanfaatkan potensi pakan tersebut secara optimal adalah:

1. Peningkatan kegiatan sosialisasi pemanfaatan limbah perkebunan dan industri kelapa sawit. Sosialisasi diharapkan dapat menyentuh sasaran yang lebih luas, adanya percontohan (demplot) serta tindak lanjut transfer keterampilan/teknologi.

2. Perlu dikembangkan sentra peternakan sapi potong di sekitar industri/perkebunan kelapa sawit untuk memanfaatkan peluang yang ada dari industri/perkebunan kelapa sawit.

3. Adanya keterbukaan dari pihak PBS dan PBN kelapa sawit untuk kemungkinan pemanfaatan limbah pengolahan kelapa sawit oleh masyarakat.

PENUTUP

Diperkirakan agroindustri kelapa sawit Indonesia akan terus berkembang dengan pesat, sehingga pada tahun 2010 mungkin menjadi negara penghasil CPO terbesar di dunia. Pengembangan perkebunan dan industri kelapa sawit Indonesia ke Kalimantan dan Papua semestinya membuka peluang yang semakin besar untuk pengembangan usaha sapi potong di Kalimantan Selatan. Sebagaimana di Malaysia, optimalisasi pemanfaatan lahan perkebunan dan limbah industri kelapa sawit untuk pengembangan sapi potong dapat dilakukan oleh kelompok masyarakat atau perusahaan peternakan. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan peternakan dan perkebunan perlu disusun acuan yang memungkinkan akses pemanfaatan lahan perkebunan dan limbah industri pengolahan kelapa sawit oleh masyarakat di Kalimantan Selatan.

DAFTAR PUSTAKA

AWALUDIN,R. dan SHARIFFUDDIN. 2003. Systematic beef cattle integration in oil palm plantation with emphasis on the utilization of undergrowth. Temu Aplikasi Paket Teknologi Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan.

DINAS PERKEBUNAN KALIMANTAN SELATAN. 2005. Statistik Perkebunan Kalimantan Selatan Tahun 2004. Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Selatan. Banjarbaru.

DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN. 2005. Laporan Tahunan 2004. Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan. Banjarbaru. DOREAU M. and Y.CHILLIARD. 1996. Digestion and

metabolism of dietary fat in farm animals. In: An International Conference on Fats in The Diet of Dairy Cows.

ERNINGPRAJA,L. dan DARNOKO. 2005. Pengelolaan Limbah Kelapa Sawit Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan. ERWINSYAH, K. PAIMIN dan P. GURITNO. 1997.

Pemanfaatan serat tandan kosong sawit untuk pot tanaman kelapa sawit pada pembibitan awal. J. Penelitian Kelapa Sawit 5(3): 179-189.

(5)

HARTADI, H., S. REKSOHADIPRODJO, S. LEBDOSOEKOJO,A.TILLMAN,L.C.KEARL dan L.E. HARRIS. 1980. Tabel-tabel dari Komposisi Bahan Makanan Ternak untuk Indonesia. International Feedstuffs Institute Utah and University of Gadjah Mada. Utah. PALMQUIST D.L, M.R. WEISBJERG and T.

HVELPLUND. 1993. Ruminal, intestinal and total digestibilities of nutrients in cows fed diets high in fat and undegradable protein. J. Dairy Sci. 76: 1353-1364.

PARAKKASI, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas Indonesia-Press.

PURBA, A. dan S.P. GINTING. 1997. Integrasi perkebunan kelapa sawit dengan ternak ruminansia. Warta PPKS 5(2): 55-60.

PURBA,A.,P.GIRSANG,Z.POELOENGAN dan A.U. LUBIS. 1995. Pemanfaatan lahan perkebunan kelapa sawit untuk ternak domba dan kambing. Warta PPKS 3(3): 101-111.

PURBA, A., S.P. GINTING, Z. POELOENGAN, K. SIMANIHURUK dan JUNJUNGAN. 1997. Nilai nutrisi dan manfaat pelepah sawit sebagai pakan domba. J. Penelitian Kelapa Sawit 5(3): 161-177.

TURNOUR,J. 1996. Petunjuk Teknis Penggemukan Sapi Australia. APFINDO-AMLC. Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa nilai siswa tidak mencapai kriteria ketuntasa minimal (KKM), namun setelah menggunakan Mobile Learning Media bermuatan ethnoscience menunjukkan bahwa

Uji minyak atsiri menunjukkan bahwa jumlah lesio yang terbentuk di permukaan daun pada perlakuan minyak serai wangi konsentrasi 1.2%, minyak cengkih konsentrasi 1.2%, Tween 80,

Madrasah diniyah yang selama ini menjadi lembaga formal pesantren sangat membantu dalam memberikan pemahaman keagamaan dan pembentukan ahklak yang karimah dengan kurikulum yang

Berdasarkan hasil analisis data, temuan dan pembahasan pada penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1) Kemampuan interkoneksi multiple

Suatu relasi rekursif dapat diaplikasikan dalam beberapa bentuk formula dikarena menggunakan tahapan-tahapan dalam menyelesaikannya. Tahapan yang dimaksud adalah dengan

Berdasarkan pada Tabel 2 dapat dilihat peningkatan penggunaan bahan bakar oleh BRT hingga tahun 2030. Peningkatan penggunaan bahan bakar BRT terjadi sampai tahun

amplikon fragmen DNA genom EBV dengan teknik PCR konvensional adalah konsentrasi DNA virus yang rendah pada sampel penelitian yang digunakan, karena konsentrasi

Strategi Perancangan Mutu Ripe Banana Chip (RBC) Berbasis Harapan Konsumen ; Diana Iftitah Susilowati ; 101710101075; 2015; 63 halaman; Jurusan Teknologi Hasil