• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN KEGIATAN FORUM NASIONAL V JARINGAN KEBIJAKAN KESEHATAN INDONESIA (JKKI) KELOMPOK KEBIJAKAN HIV/AIDS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN KEGIATAN FORUM NASIONAL V JARINGAN KEBIJAKAN KESEHATAN INDONESIA (JKKI) KELOMPOK KEBIJAKAN HIV/AIDS"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN KEGIATAN

FORUM NASIONAL V

JARINGAN KEBIJAKAN KESEHATAN INDONESIA (JKKI)

KELOMPOK KEBIJAKAN HIV/AIDS

(2)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i RINGKASAN ... 1 1. PENDAHULUAN ... 3 A. TUJUAN... 4 B. AGENDA KEGIATAN... 4

2. PEMAPARAN MATERI DAN DISKUSI ... 7

3. PELATIHAN PENULISAN POLICY BRIEF ... 18

4. PERTEMUAN INTERNAL PENELITI 8 UNIVERSITAS – PKMK FK UGM ... 18

5. BLENDED LEARNING BATCH II... 19

(3)

RINGKASAN

Kelompok kerja kebijakan HIV & AIDS pada acara Forum Nasional V Jaringan Kebijakan Kesehatan Nasional di Bandung mengangkat tema Mengintegrasikan Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam Sistem Kesehatan. Pokja kebijakan AIDS ini terbentuk untuk merespon kebijakan dan program penanggulangan HIV & AIDS yang telah atau sedang dilakukan, tantangannya dalam pengembangan dan implementasi kebijakan selama ini, dan kontribusi setiap lembaga baik nasional maupun internasional dalam penanganannya. Melalui pokja ini, berbagai isu hasil penelitian dari para peneliti universitas, aktifis AIDS, pemerintah, dan komunitas didiskusikan secara kritis terkait upaya pengintegrasian penanggulangan HIV dan AIDS dalam kerangka Sistem Kesehatan Indonesia. Pokja ini dihadiri sebanyak 62 orang dari berbagai latar belakang, termasuk dari masyarakat sipil (Contact Bandung, LSM Grapik, Cemara plus, PKBI, Srikandi Pasundan dan Masyarakat Indonesia Sehat). Pemangku kepentingan HIV dan AIDS lain yang terlibat adalah KPA Jakarta, Mitra Pembangunan Internasional (CHAI, Kinerja (USAID)) dan Akademisi dari Universitas Padjajaran, Universitas Gadjahmada, Atmajaya Jakarta dan UPI Bandung.

Sesi Pokja Kebijakan HIV & AIDS dalam Fornas V Bandung diawali dengan Launching Hasil Kajian Kebijakan HIV & AIDS oleh PKMK UGM. Isu-isu pokok yang muncul dalam diskusi, antara lain:

• Integrasi upaya penanggulangan HIV & AIDS ke dalam sistem kesehatan adalah jawaban sekaligus tantangan dalam momentum perubahan politik pemerintah baru Indonesia dan fokus perubahan prioritas pembangunan global pasca MDGs. Komitmen dari pemangku kepentingan dan strategi pembiayaan penanggulangan AIDS yang berkelanjutan merupakan persoalan kunci pengintegrasian kebijakan AIDS dalam sistem kesehatan.

• Kebijakan desentralisasi menjadi proses pengembangan kewenangan daerah dalam semangat subsidiaritas dalam penanggulangan AIDS di daerah. Penting adanya

(4)

lembaga yang terkait, sehingga dapat memutus rantai ketimpangan peran yang justru memicu terjadinya kelambatan respon dari para pemangku kepentingan.

• Pengembangan program daerah perlu akses data yang memadai yang sejauh ini justru program bersifat vertikal sebagai dampak dari dominiasi pusat baik dari segi program, pembiayaan, dan data. Kualitas program didaerah sangat ditentukan oleh ketersediaan data yang valid dan kontekstual.

• Semua anggota SKPD dan lembaga yang menjadi anggota KPA bertanggungjawab mengalokasikan dana untuk program penanggulangan AIDS yang dikoordinasikan oleh KPA. Dalam pelayanan kesehatan (service delivery), Dinkes dalam mengambil kepemimpinan termasuk dalam pengalokasian dana kepada anggota-anggota SKPD yang lain dan bertanggungjawab dalam penggunaan dana tersebut secara akuntabel dan transparan.

• Pada tingkat layanan, kebijakan komprehensif untuk mengurangi stigma dan diskriminasi dan mendorong partisipasi masyarakat menjadi penting sebagai pendukung untuk strategi layanan medis. Penguatan sistem komunitas, penguatan SDM layanan, dan jejaring penanggulangan AIDS menjadi signfikan untuk efektifas penanggulangan AIDS.

• Penanggulangan AIDS menjadi bagian tidak terpisahkan dari jaminan kesehatan nasional. Pembiayaan AIDS perlu masuk dalam skema JKN yang perlu terus dimonitor dan diadvokasi lebih lanjut untuk memastikan adanya implementasi cakupan layanan AIDS.

(5)

1. PENDAHULUAN

Forum Nasional V Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia tahun ini diselenggarakan di Bandung, dengan mengambil tema “Tantangan Kebijakan Kesehatan dalam Pemerataan Kesehatan di Era Sistem Jaminan Kesehatan Nasional dan Masih Tingginya Hambatan dalam Pencapaian MDG 4, 5 dan 6”. Forum ini merupakan momentum yang cukup strategis untuk berkontribusi dalam perbaikan kebijakan kesehatan ke depan. Dalam forum ini terdapat 6 kelompok kerja yang terlibat di dalamnya, yaitu Kelompok Kerja Kebijakan HIV dan AIDS, Kebijakan Pembiayaan, Kebijakan KIA, Kebijakan Gizi, Kebijakan Kesehatan Jiwa Masyarakat dan Kebijakan Pelayanan Kesehatan.

Tahun 2015 merupakan tahun yang sangat strategis bagi penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Pertama, tahun depan merupakan awal pemerintahan baru yang memiliki visi dan misi kesehatan yang berbeda dengan pemerintahan yang saat ini. Kedua, tahun ini juga merupakan awal dari pelaksanaan Rencana Strategi dan Aksi Nasional Penanggulangan AIDS 2014-2019. Ketiga, tahun 2015 merupakan tahun awal untuk pelaksanaan model pendanaan program penanggulangan AIDS yang baru. Adanya perubahan-perubahan ini menuntut kita untuk selalu memantau dan mengawal pelaksanaan program penanggulangan AIDS agar semakin mampu untuk merealisasikan tujuan dari penanggulangan AIDS itu sendiri yaitu menurunkan hingga meniadakan infeksi HIV baru; menurunkan hingga meniadakan kematian yang disebabkan oleh keadaan yang berkaitan dengan AIDS; meniadakan diskriminasi terhadap orang dengan HIV dan AIDS (ODHA); meningkatkan kualitas hidup ODHA; dan mengurangi dampak sosial ekonomi dari HIV dan AIDS pada individu, keluarga dan masyarakat (Permenkes No. 21 tahun 2013).

Salah satu agenda kebijakan strategis yang ingin dikembangkan dalam upaya penanggulangan AIDS ke depan seperti termuat dalam rancangan SRAN 2015-2019 adalah memperkuat integrasi upaya penanggulangan AIDS ini ke dalam sistem kesehatan. Munculnya agenda ini merupakan bentuk kesadaran akan kenyataan bahwa upaya yang selama ini dilakukan masih mencerminkan pendekatan vertikal dan sangat didominasi oleh

(6)

pusat baik pemerintah maupun mitra pembangunan internasional. Hal ini bisa terjadi karena sumber pembiayaan utama untuk penanggulangan AIDS masih sangat didominasi oleh pusat. Pendekatan yang selama ini dilakukan belum menunjukkan pelaksanaan sistem kesehatan yang terdesentralisasi. Peran daerah masih terbatas pada pelaksana program nasional pada satu sisi dan kebijakan daerah yang telah dibuat belum dilaksanakan secara konsisten pada sisi yang lain.

A. TUJUAN

Kelompok Kerja Kebijakan HIV dan AIDS pada Fornas V JKKI membuka diskusi paralel bagi para akademisi, pemerhati, pemangku kepentingan dan pegiat penanggulangan AIDS dengan tujuan:

1. Menyajikan hasil penelitian terkait dengan dengan upaya penanggulangan AIDS dan sistem kesehatan.

2. Membahas tentang strategi dan format integrasi upaya penanggulangan AIDS ke dalam sistem kesehatan untuk memperkuat pencapaian tujuan penanggulangan AIDS dan menjamin keberlangsungan upaya ini di masa depan.

3. Menyediakan rekomendasi kontekstual dan operasional bagi integrasi upaya penanggulangan AIDS ke dalam sistem kesehatan.

4. Memperkuat jaringan peneliti dan pengamat kebijakan HIV dan AIDS di Indonesia sebagai upaya untuk melakukan monitoring terhadap kinerja implementasi kebijakan AIDS di Indonesia

B. AGENDA KEGIATAN 24 September 2014

Sesi Paralel 1 : Launching Penelitian: Kajian Dokumen Kebijakan dan Program Penanggulangan AIDS dan Sistem Kesehatan di Indonesia

Pembicara: Suharni, MA Moderator: Iko Safika, Ph.D

(7)

1. Irawati Atmosukarto, MPP – Sekretariat KPAN 2. dr. Nadia Tarmizi, M.Epid - Kementerian Kesehatan 3. Prof. Irwanto – PPH Atma Jaya Jakarta

4. Dr. Irwan Julianto, MPH - Wartawan Senior Kesehatan

Sesi Paralel 2 : Pembiayaan Program HIV dan AIDS: Menuju Universal Access Layanan HIV dan AIDS

Moderator: Ignatius Praptoraharjo, Ph.D Pembicara:

1. dr. Nadia Tarmizi, M.Epid – Kementerian Kesehatan

Strategi Pembiayaan Penanggulangan AIDS untuk mencapai Universal Access

2. Edo Nasution - PKNI

Eksklusi Kelompok Populasi Kunci dalam Kepesertaan JKN

3. dr. Silwanus Sumule - Dinas Kesehatan Provinsi Papua

Strategi Penanggulangan AIDS dalam Konteks Otonomi Khusus di Provinsi Papua

4. Amila Megraini, SE, MBA – PPK UI

Struktur Pembiayaan Program Penanggulangan HIV dan AIDS: Analisis Nasional AIDS Spending 2014

5. Aang Sutrisno – Migunani

Politik Ekonomi Kebijakan Penanggulangan AIDS di Indonesia: Analisis Pemanfaatan Dana Bantuan Hibah untuk Penanggulangan AIDS di Indonesia. 25 September 2014

Sesi Paralel 3 : Strategi dan Aksi Nasional Penanggulangan AIDS 2015-2019

Pembicara: dr. Suriadi Gunawan, MPH – Sekretariat KPAN Moderator : Simplexius Asa, SH, MH

Pembahas:

1. Setia Perdana – GWL Ina 2. Aldo Napitu - OPSI

3. dr. Trijoko Yudopuspito, MSc.PH – Kemenkes 4. Hersumpana, MA – PKMK FK UGM

Sesi Paralel 4 : Tata Kelola Program Penanggulangan HIV dan AIDS

Moderator: Dr. dr. Windu Purnomo, MS Pembicara:

(8)

Anak Tiri Mengatur Anak Kandung: Hambatan KPA Prov Sulsel dalam Penanggulangan HIV dan AIDS

2. Simplexius Asa, SH, MH

Urgensi Sosialisasi dalam Pembentukan dan Penerapan Peraturan Daerah tentang HIV dan AIDS

3. Siradj Okta, SH, LLM

Forensik HIV: Prekondisi Kriminalisasi dalam Kebijakan AIDS Nasional

4. Esthi Susanti H, M.Si

Refleksi pengalaman implementasi dan advokasi kebijakan hiv-aids selama 22 tahun

5. Kurniawan Rachmadi, SKM, M.Si.

Efek Samping Kebijakan Penarikan Obat d4T di Indonesia

6. Adiatma Y.M Siregar

Biaya Perawatan HIV / AIDS di Indonesia Berdasarkan Saat Dimulainya Perawatan dan Tingkat Kesakitan

7. Ranu Sewdas

Keterlibatan Publik Dalam Penentuan Prioritas Untuk Pengendalian HIV & AIDS di Jawa Barat

Sesi Paralel 5 : Layanan Program Penanggulangan HIV dan AIDS

Moderator: Melkior Tappy, SKM, MPH Pembicara:

1. dr. Nyoman Sutarsa, MPH

Barriers to integrating HIV and AIDS Servicies into CHC in Bali Province

2. Anindita Gabriella, M.Psi

Layanan Kesehatan Jiwa dalam Penanggulangan HIV dan AIDS

3. Lita Sri Andayani, SKM M.Kes

Kajian Perlunya Peningkatan Peran Bidan KIA dalam upaya Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Janin

4. Dewi Rokhmah, SKM, M.Kes

Implikasi Mobilitas Penduduk dan Gaya Hidup Seksual terhadap Penularan HIV/AIDS di Kabupaten Jember

5. Sudirman Nasir, Ph.D

Peran Pendamping dalam Mengadvokasi Pengurangan Perlakuan Diskriminatif yang dialami ODHA dalam mengakses layanan HIV dan AIDS di Kota Makassar

6. Rozar Prawiranegara

(9)

2. PEMAPARAN MATERI DAN DISKUSI

Sesi Paralel 1: Hasil Kajian Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia yang

dilakukan oleh PKMK FK UGM 2014 merupakan upaya untuk memetakan upaya penanggulangan AIDS selama 25 tahun terakhir. Selain penelaahan dokumen sekunder, kajian ini juga dilengkapi dengan hasil dari kunjungan lapangan ke 5 provinsi, yakni Sumatera Utara, Jawa Timur, Bali, Makasar dan Papua. Hasil kajian ini menyoroti adanya kesenjangan yang besar antara banyaknya produk hukum dengan implementasinya di lapangan. Titik lemah dari implementasi kebijakan tersebut terletak pada penjabaran operasional di lapangan yang tidak diikuti dengan alokasi sumber daya baik dari tenaga yang kompeten, alokasi dana yang cukup dan pengembangan program di tingkat masyarakat basis. Satu kesimpulan lagi yang muncul dari kajian tersebut adalah kesenjangan terjadi sebagai akibat dari kontestasi antar lintas sektor maupun program. Dominasi pusat dengan pendekatan vertikal masih menjadi pola dalam interrelasi antar sektor maupun internal. Dengan demikian, belum terjadi integrasi secara struktural, masih adanya ego sektoral cenderung menjadi faktor penentu terjadinya fragmentasi dan tidak terintegrasinya kebijakan di semua tingkatan, nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu, lahirnya kebijakan banyak dipengaruhi oleh kepentingan politik ekonomi global terhadap Indonesia. Seperti misalnya pembentukan komisi HIV dan AIDS di Depkes karena pengaruh PBB dan WHO.

Epidemiologi HIV dan AIDS di Indonesia dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan infeksi baru. Data IBBS tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi di kalangan pria risti, ibu rumah tangga, kelompok LSL dan anak-anak remaja semakin meningkat dibandingkan dengan WPS dan penasun. Peningkatan prevalensi pada Ibu rumah tangga, kelompok LSL dan anak-anak remaja merupakan tantangan untuk pengembangan pengetahuan dan pendidikan masyarakat terkait AIDS serta pentingnya aspek pencegahan dan promosi kesehatan. Pada aspek intervensi, layanan masing-masing sektor cenderung bermain sendiri dengan intervensi yang berbeda-beda dan belum semua komponen sistem kesehatan dipenuhi. Monitoring implementasi penanggulangan AIDS cenderung bersifat parsial dan

(10)

dominan pada upaya treatment dan kurang pada pencegahan. Padahal seperti yang tertuang dalam SRAN 2010-2014, bahwa skema pembiayaan upaya penanggulangan HIV dan AIDS adalah promosi (50%), PDP (28%), mitigasi dampak (13%).

Catatan dari Kemenkes atas hasil kajian dokumen Kebijakan AIDS yang dipaparkan adalah perlunya elaborasi lebih lanjut mengenai kerangka berpikir integrasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS dalam sistem kesehatan. Bagaimana integrasi kebijakan AIDS dengan sistem kesehatan dan sistem-sistem yang lain; seperti sistem keamanan, sistem pendidikan dan seterusnya? Menurut Kemenkes, desentralisasi bukan merupakan suatu masalah, justru sebaliknya memberikan solusi pembagian kewenangan daerah seperti prinsip sudsidiaritas dan partisipasi masyarakat lebih luas dalam pengembangan sistem kesehatan masyarakat. Disampaikan juga bahwa kesimpulan dari kajian tersebut, masih bersifat deskriptif, sistem kesehatan belum terlalu terlihat, dengan demikian masih membutuhkan analisis mendalam. Terkait dengan bahasan sistem kesehatan, respon kesehatan terhadap HIV tidak independen, karena upaya penanggulangan AIDS berinteraksi dengan suprasistem lain. Keberadaan KPA sebagai lembaga tetap diperlukan karena adanya suprasistem yang

(11)

kesehatan nasional, misalnya sistem penganggaran dan seterusnya mereka juga berinteraksi dengan sistem kesehatan. Hal ini tentu saja penting juga untuk dicermati agar review yang dilakukan seimbang. Kajian masih terlalu fokus pada KPA, kementrian kesehatan dan dinas kesehatan kurang tereksplorasi.

Pembahas dari KPAN menyampaikan catatannya bahwa review ini belum berhasil menangkap perkembangan yang terjadi di lapangan dari kinerja KPA nasional, daerah, dinas dan LSM. Sebenarnya dalam periode 2011- 2013, perkembangan dan perbaikan sudah banyak terjadi. Dalam kajian juga belum terlalu tercermin mengenai aspek integrasi kebijakan AIDS dalam sistem kesehatan, masih sangat fokus pada kajian dokumen dan literatur yang sudah ada. Analisis mendalam belum terlalu kelihatan. Paparan banyak memberikan masukan ke KPA tetapi mengatasnamakan sistem kesehatan nasional, Kemkes, dan KPA Nasional.

Secara umum, hasil kajian kebijakan AIDS di Indonesia cukup baik dan perlu diberikan apresiasi, meski sebagian membutuhkan perbaikan. Prof. Irwanto dari PPH Atmajaya menegaskan bahwa adanya kesenjangan antara produk kebijakan dengan implementasinya karena tidak didukung dalam praktik oleh kecukupan kompetensi aparat, kesiapan mekanisme implementasi dan lingkungan yang mendukung. Permasalahan adanya kontestasi dan perbedaan pandangan lebih didasarkan pada alasan pragmatis, sehingga argumentasi yang didasarkan bukti-bukti data tidak menjadi dasar penjelasan yang tepat. Argumentasi yang berbasiskan moral politik maupun moral ekonomi menjadikan kebijakan AIDS tidak efektif.

Ketidaksinambungan sebuah kebijakan dengan apparatus, kapasitas SDM dan lembaga menjadikan penanggulangan AIDS berjalan lambat sebagai dampak dari argumentasi moral. Kemudian Advokasi cenderung fokus pada persoalan kesehatan sementara stigma dan diskriminasi tidak diadvokasi dengan baik. Dalam perspektif aparat masih kuat sekali budaya

keeping out people, jika memiliki pandangan yang berbeda. Akses pada sistem kesehatan

yang lebih luas masih tumpul karena kurangnya kerjasama dengan isu terkait, seperti kusta, disabilitas, dan gender.

(12)

Perspektif masyarakat tentang AIDS tidak bisa dilepaskan dari aspek sejarah seperti yang digarisbawahi oleh Dr. Irwan Julianto dari Kompas bahwa sejak awal dari sisi komunikasi memang ada persoalan dalam memandang HIV dan AIDS. Masyarakat mengalami kepanikan karena AIDS seperti yang terlihat dalam pandangan masyarakat yang muncul dalam pemberitaan media sejak diketemukan kasus AIDS pertama di Bali tahun 1987. Oleh karenanya, Harm reduction menjadi penting. Terkait kasus pekerja seks antara supply

demand dan demand reduction selalu dibenturkan dengan harm reduction. Akan tetapi

faktanya menunjukkan pemikiran untuk mengurangi supply tidak akan mengurangi permintaan. Ketiganya harus bersinergi. Persoalan moral masih mendominasi pandangan masyarakat sehingga kondisi ini membutuhkan edukasi yang serius agar pemahaman dan pengetahuan terkait HIV dan AIDs yang benar lebih dominan.

Sesi Paralel 2: Dalam sesi diskusi Kebijakan Pembiayaan Upaya penanggulangan HIV dan

AIDS menuju universal access, Kemenkes RI tetap memiliki optimisme mampu melakukan pencegahan dan pengurangan dampak epidemi HIV dan AIDS. Setelah 27 tahun upaya penanggulangan HIV dan AIDS, data menunjukkan prevalensi infeksi baru meningkat. Namun sebenarnya, perubahan-perubahan telah banyak dicapai dan secara arah strategi pembangunan kesehatan ke depan Kemenkes telah memasukkan HIV dan AIDS sebagai bagian dalam skema program di bawah Pengawasan dan Perlindungan Penyakit Menular. Secara konseptual untuk keberlanjutan penanggulanan HIV dan AIDS sudah dikembangkan LKB sebagai layanan komprehensif HIV dan IMS yang mendekatkan layanan preventif, dan CST hingga ke fasyankes primer. Data Kemenkes menunjukkan jumlah layanan CST meningkat pada tahun 2006 terdapat 75 rumah sakit, kemudian tahun 2013 meningkat menjadi 398 rumah sakit ditambah 15 Puskesmas. Faktor pembiayaan masih menjadi tantangan serius ke depan. Pembiayaan untuk sektor kesehatan secara umum masih kecil sekitar di bawah 2%. Meskipun demikian dapat dilihat bahwa komitmen pemerintah dari waktu ke waktu mengalami peningkatan yang dapat dilihat dari porsi pembiayaan untuk HIV dan AIDS yang sekarang mencapai sekitar 42 %. Untuk obat ARV dari program bahkan sudah ditanggung oleh APBN, mencapai 80 %. Di masa mendatang, harapan untuk program

(13)

penanggulangan HIV dan AIDS adalah integrasinya dalam sistem kesehatan. Tujuan dari integrasi ini adalah akan memberikan jaminan layanan kesehatan yang berkelanjutan.

Pembicara kedua dalam sesi ini menyampaikan bahwa isu pembiayaan menjadi permasalahan utama untuk dipikirkan bagaimana mencari solusinya setelah donor mengurangi bantuan. Data NASA menunjukkan bahwa selama ini memang sebagian besar pembiayaan untuk penanggulangan HIV dan AIDS berasal dari donor, secara keseluruhan mencapai 80%. Akan tetapi jika dipecah setiap item sebenarnya pemerintah Indonesia sudah memberikan alokasi yang semakin meningkat. Ke depan, Indonesia tidak bisa lagi menggantungkan diri pada donor, oleh karena adanya perubahan status Indonesia yang meningkat menjadi negara yang dikategorikan ke dalam lower middle income country. Hal ini secara otomatis berkonsekuensi pada pengurangan donor karena sudah dianggap sebagai negara dengan kemampuan finansial yang semakin baik. Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga Indonesia dalam porsi pembiayaan domestic, pembiayaan untuk program penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia masih terhitung rendah, mencapai sekitar 42% jika dibandingkan Philipina yang mencapai 52% dan Vietnam yang mencapai 17% dengan kategori yang sama.

Lain halnya dengan kebijakan pembiayaan di Papua dengan adanya OTSUS, anggaran untuk pembiayaan sektor kesehatan mencapai 15%. Alokasi ini cukup besar akan tetapi permasalahannya adalah pada keterbatasan sumber daya dalam implementasinya baik dari sisi sumber daya manusia maupun program. Strategi pembiayaan di Papua memang sangat ditunjang dengan keberadaan kebijakan OTSUS, disamping potensi penggalian pembiayaan dari sektor swasta yang belum banyak tergali.

Dari sisi penerima layanan, perwakilan kelompok kunci menyatakan bahwa masih adanya perlakukan yang kurang adil dalam mengakses layanan. Pecandu masih mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Salah satu contoh ketidakadilan ini adalah kelompok pecandu masih mendapatkan stigma sosial dan untuk pengobatannya tidak dapat masuk dalam skema pembiayaan JKN.

(14)

Sesi Paralel 3: Diskusi mengenai SRAN 2015 – 2019 secara subtansi tidak banyak perubahan

dari SRAN sebelumnya. KPAN menegaskan bahwa dari hasil midterm review di masa akhir SRAN 2010 – 2014 sesuai indikator kinerjanya disimpulkan bahwa sejauh ini program berhasil menahan laju epidemi HIV, dimana perkembangan jumlah infeksi baru telah melambat. Dengan latar belakang kajian tersebut berbagai pilihan strategi untuk penanggulangan HIV dan AIDS dipilih dan dielaborasi sebagai masukan dalam penyusunan draft SRAN 2015-2019. Draft SRAN 2015-2019 yang sedang dalam proses finalisasi tersebut diharapkan akan selesai akhir tahun ini dimana tantangan yang perlu dipertimbangkan ke depan meliputi komitmen pimpinan daerah, alokasi dana APBN dan APBD serta mobilisasi dana CSR, perluasan cakupan program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, keberlanjutan program dan pencegahan HIV di kalangan LSL dan LBT. Beberapa tanggapan yang muncul dari para pembahas dalam sesi ini, antara lain tentang pentingnya penekanan peran komunitas kelompok/populasi kunci dalam SRAN yang akan datang. Peran komunitas yang meliputi program outreach, monitoring program, dan kemampuan untuk advokasi. Penguatan sistem kesehatan (Health System Strengthening) melalui penguatan sistem komunitas serta penguatan sistem pendanaan lokal, perlu dipertimbangkan dalam draft SRAN tersebut. Harapannya strategi yang dipilih dalam SRAN 2015-2019 ini wajib menurunkan epidemic HIV, tidak sekedar mampu menahan laju epidemi HIV seperti pada periode SRAN sebelumnya.

(15)

Pembahas dari PKMK FK UGM menyatakan masalah integrasi merupakan masalah yang krusial dalam penyusunan SRAN ini. Bentuk-bentuk integrasi yang direkomendasikan dalam SRAN 2015-2019 antara lain meliputi integrasi program penanggulangan HIV dan AIDS dengan pembangunan kesehatan khususnya dilakukan dalam strategi nasional dan operasional, integrasi pembiayaan dalam skema pendanaan khusus atau terintegrasi dengan sektor lain di dalam anggaran pemerintah (APBD), integrasi layanan HIV ke dalam layanan kesehatan dasar dan rujukan, integrasi perlindungan sosial untuk ODHA dan populasi kunci terkait dengan HIV ke dalam sistem asuransi sosial, integrasi penyediaan obat dan perlengkapan diagnostik ke dalam sistem pengadaan logistik yang ada di setiap level pemerintahan dan integrasi sistem informasi HIV ke dalam sistem informasi kesehatan. Namun tetap disadari adanya berbagai tantangan dalam integrasi tersebut seperti fragmentasi kelembagaan, pendanaan yang bersifat project-oriented, tarik menarik kepentingan politik ekonomi dengan data epidemiologi HIV dan keterbatasan SDM. Tantangan ini tentunya juga harus dipertimbangkan dalam SRAN tersebut. Berbagai bentuk integrasi tersebut diharapkan bisa meningkatkan kinerja upaya penanggulangan HIV dan AIDS di masa mendatang terutama ketika pendanaan luar negeri semakin berkurang

Sesi Paralel 4: Sesi ini mengambil tema Tata Kelola Program Penanggulangan HIV dan AIDS,

dimana materi diskusi diawali dengan pemaparan 7 free abstract yang berasal dari para peneliti universitas dan peserta Blended Learning Tahap II. Hal yang menjadi sorotan dari beberapa materi pemaparan tersebut, ternyata sejauh ini tata kelola program penanggulangan HIV dan AIDS belum sepenuhnya menggunakan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Misalnya prinsip transparansi, kesetaraan dan pengawasan, efisiensi dan efektifitas serta penegakan hukum.

Hasil riset dari Simplexius (Universitas Nusa Cendana) menunjukkan lemahnya sosialisasi Perda HIV dan AIDS menjadi penyebab ketidakefektifan perda tersebut. Masyarakat seharusnya dilibatkan dalam sosialisasi sejak pra legislasi yaitu sejak suatu PERDA dirancang, sosialisasi legislasi atau pasca legislasi yaitu sosialisasi isi (content) dan struktur materi, serta sosialisasi continuum / regular, dimana sosialisasi secara kontinyu dan berlanjut sampai pada

(16)

efek culture of law yaitu menghasilkan perilaku baru yang membudaya sehingga menciptakan ketaatan yang sukarela dan kontiunum terhadap suatu perda.

Esthi Susanti, sebagai salah satu peserta Blended Learning dari Jawa Timur menegaskan bahwa program penanggulangan HIV dan AIDS pada populasi kunci lebih bersifat temporal/ proyek sehingga yang dicapai hanya perubahan pengetahuan tanpa mengejar perubahan perilaku. Akibatnya menciptakan suatu kondisi ketergantungan terhadap program atau menghasilkan efek sesaat. Oleh karena itu sosialisasi pencegahan HIV dan AIDS seharusnya dimulai pada usia dini atau sekolah dengan tujuan membentuk mental dan karakter serta perilaku aman untuk dapat melindungi diri dari HIV dan AIDS. Senada dengan yang dinyatakan dalam hasil riset Sewdas Ranu, dkk, yang menyatakan bahwa keterlibatan peran publik begitu penting dalam mendukung penanggulangan HIV dan AIDS. Selama ini publik kurang dilibatkan dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS khususnya dalam sistem perencanaan daerah, misalnya LSM, akademisi, konsultan dan organisasi profesional kurang dilibatkan dalam Musrenbang sehingga perencanaan kurang berbasis data dan fakta yang aktual.

Dari aspek efisiensi dan efektifitas, hasil riset yang dilakukan oleh Siregar Y.M. Adiatma menunjukkan bahwa perlu diperhatikan dalam penanggulangan HIV dan AIDS dengan memberikan sosialisasi yang kuat kepada ODHA dan penyelenggara penanggulangan HIV dan AIDS. Menurutnya sebelum pemberian ART, biaya pengobatan ODHA didominasi oleh biaya tes laboratorium (>65%), dan setelah inisiasi ART, oleh obat antiretroviral (≥60%). Biaya rata-rata per pasien menurun seiring dengan berjalannya perawatan. Tingkat CD4 yang lebih tinggi saat dimulainya perawatan diasosiasikan dengan biaya tes laboratorium dan perawatan infeksi oportunistik yang lebih rendah. Biaya transportasi mendominasi biaya pasien dalam mengakses layanan HIV (>40%). Hal ini berarti dengan mengkonsumsi ARV, seorang ODHA akan mampu menekan biaya infeksi oportunistik dan biaya pasien dalam mendapatkan layanan dan hanya mengeluarkan biaya transportasi. Untuk itu, akses terhadap ARV harus lebih dekat dengan masyarakat sehingga dapat menekan biaya transportasi.

(17)

Terkait dengan peran dan posisi KPAD, hasil riset dari Shanti R, dkk menyoroti posisi KPAD yang dianalogikan sebagai anak tiri. Walaupun yang menjadi ketua KPA provinsi adalah gubernur, namun KPA provinsi bukanlah bagian dari struktur organisasi pemerintah daerah. Seolah-olah sebagai anak tiri, KPA provinsi merasa sulit ketika harus mengkoordinir SKPD yang merupakan bagian dari organisasi pemerintah daerah yang dianalogikan sebagai anak kandung untuk penanggulangan AIDS di daerah. Penelitian ini menunjukkan bahwa posisi KPAD masih problematis dan penanggulangan AIDS di daerah masih sangat bergantung pada peran pimpinan tiap SKPD yang menjadi anggota KPA. Dengan demikian penguatan posisi KPA perlu dilakukan untuk lebih mendukung tata kelola penanggulangan AIDS yang efektif.

Hasil riset dari Okta Siradj menyoroti pelaksanaan prinsip tata kelola penanggulangan HIV dan AIDS tentang penegakan hukum. Secara global, eksistensi kriminalisasi penularan HIV diakui memberi disinsentif pada strategi penanggulangan AIDS. Faktanya, studi terhadap 18 Undang-undang dan 4 peraturan daerah menunjukkan adanya kriminalisasi terkait penularan HIV di Indonesia, disamping adanya pasal penganiayaan dalam kitab undang-undang hukum pidana yang representatif terhadap penularan HIV. Sebagai hukum positif, kriminalisasi memiliki keniscayaan konsekuensi pembuktian. Tanpa forensik HIV, pengadilan tidak dapat membuktikan bahwa penularan terjadi dari terdakwa kepada korban. Namun, forensik HIV seperti pemanfaatan phylogenetic analysis memerlukan standar yang ekstensif agar memiliki kualifikasi pembuktian di pengadilan. Pemangku kepentingan kebijakan AIDS nasional perlu mempertimbangkan inklusi forensik HIV dalam regulasi dan anggaran dalam mengantisipasi penerapan pasal pidana atas penularan HIV. Penguatan kelembagaan eksekutif di tingkat penyidikan maupun yudikatif di tingkat pengadilan terkait forensik HIV perlu dilakukan secara nasional. Lembaga yudikatif melalui hakim pidana dengan sistem pembuktian negatif perlu dikawal oleh masyarakat sipil. Pemantauan keberhasilan forensik HIV merupakan modal advokasi dekriminalisasi dalam kebijakan penanggulangan AIDS nasional.

Sesi Paralel 5: Beberapa isu yang muncul dalam sesi Layanan Upaya Penanggulangan HIV

(18)

daya ini banyak dihadapi oleh fasyankes di tingkat primer. Selain itu, problem mutasi nakes merupakan tantangan penting dalam rangka integrasi layanan HIV di puskesmas. Oleh karena itu, integrasi pada sisi birokrasi menjadi hal penting juga, Biro Kepegawaian Daerah perlu memahami tugas dan peran nakes dalam proses mutasi, selain itu semestinya semua nakes wajib hukumnya mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan menangani pasien HIV dan AIDS.

Persoalan sumber daya nakes di tingkat primer juga dialami oleh bidan. Hasil penelitian Lita Sri Andayani dari FKM USU Medan sejauh ini setiap program seperti PMTCT yang terbebani adalah tenaga kesehatan di lapangan dan kurang merangkul tenaga dokter ahli kebidanan. Permasalahan ini penting dalam upaya peningkatan kualitas layanan program penanggulangan HIV dan AIDS. Integrasi dan layanan berkelanjutan PMTCT pada bidan perlu dikerjasamakan lintas sektoral. Pelatihan materi PMTCT bagi bidan perlu memasukkan materi terkait dengan komunikasi interpersonal dan kemampuan konseling serta penyusunan PO.

(19)

perlunya mengembangkan advokasi yang lebih baik untuk meningkatkan keterpaduan antar program di layanan kesehatan primer. Komitmen politik yang jelas dan finansial untuk memudahkan upaya integrasi layanan program HIV dan AIDS di layanan primer. Hal ini tidak terlepas dari beban tanggung jawab nakes di layanan primer yang sering overlapping tetapi terbatas sumber dayanya.

Free paper selanjutnya mengangkat mengenai isu kesehatan jiwa. Isu kesehatan tidak dapat

dilepaskan dari aspek psikologis atau kesehatan jiwa. Layanan kesehatan jiwa perlu peningkatan sumber daya dan profesionalisme psikiater. Rasio tenaga psikiater di Indonesia masih sangat jauh dari pemenuhan kebutuhanya. Stigma terhadap orang dengan masalah kesehatan jiwa dan gangguan jiwa perlu dikurangi sama halnya dengan orang dengan HIV. Peran KPAD dalam mengadvokasi terkait perlakuan diskriminatif terhadap ODHA perlu ditingkatkan.

Pemaparan selanjutnya mengenai kasus pekerja migran yang prevalensinya mengalami peningkatan. Sebagai penderita ODHA dibutuhkan intervensi melalui program pemerintah lintas sektor dan bekerja sama dengan tokoh kunci di komunitas berisiko untuk melakukan

(20)

sosialisasi dan edukasi terkait HIV dan AIDS dan upaya pencegahannya mulai dari daerah asal, daerah transit dan daerah tujuan pekerja migran.

3. PELATIHAN PENULISAN POLICY BRIEF

Kegiatan ini merupakan bentuk tindak lanjut dari sesi panel Forum Nasional V Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia yang diselenggarakan pada 26 September 2014 di Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung. Pokja Kebijakan HIV dan AIDS berpartisipasi dalam kegiatan ini dengan mengirimkan perwakilan dari komunitas dan pegiat HIV dan AIDS di Bandung (LSM Kontak, Grapik, Komunitas Indonesia Sehat, PKBI, Komunitas Cemara, Srikandi Pasundan) sejumlah 13 orang. Dari Tim Kebijakan HIV dan AIDS PKMK FK UGM secara khusus telah menyiapkan 2 policy brief tentang peran perguruan tinggi dalam menerjemahkan hasil penelitian menjadi kebijakan publik dan peningkatan keterlibatan tokoh masyarakat dan tokoh agama dalam promosi kondom sebagai pencegahan HIV dan IMS dalam setiap hubungan seks berisiko. Kedua policy brief ini telah disebarluaskan kepada para peserta forum nasional yang hadir.

Dalam pelatihan penulisan policy brief ini, kemudian disepakati dari kelompok kerja HIV dan AIDS akan menuliskan 1 policy brief mengenai monitoring pelaksanaan JKN yang inklusif terhadap kelompok marginal dan terpinggirkan. Tema ini dipilih oleh karena dalam sesi panel besar dalam forum nasional ini, isu ini seringkali mengemuka dilontarkan oleh para peserta. Isu marginalitas kelompok ODHA dalam kepesertaan BPJS mengemuka dan dirasakan menjadi salah satu masalah strategis untuk diadvokasikan lebih lanjut agar tidak ada pengecualian dalam implementasi BPJS. Monitoring pelaksanaan JKN yang inklusif ini disepakati untuk dilakukan selama setahun sampai dengan pertemuan JKKI ke VI yang diselanggarakan di Padang pada tahun 2015.

4. PERTEMUAN INTERNAL PENELITI 8 UNIVERSITAS – PKMK FK UGM

(21)

mendiskusikan perkembangan analisis data dan penulisan laporan penelitian tahap pertama Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS Dalam Sistem Kesehatan Nasional. Selain itu, tim inti juga membagikan hasil konsultasi dengan Prof Richard Coker, Prof Wiku Adisasmito dan Consultative Group terkait dengan design penelitian kebijakan dan program HIV dan AIDS yang sedang dilakukan. Hal mendasar yang perlu menjadi perhatian bersama dari forum konsultatif tersebut adalah penyesuaian dalam kerangka konseptual penelitian. Pertemuan internal ini juga dihadiri oleh Bapak Steve Wignall dari CHAI di awal pertemuan dan Bapak Trijoko dari Kemenkes. Ada 3 agenda yang menjadi diskusi dalam pertemuan ini, yaitu :

 Sharing dari Tim Inti mengenai hasil konsultasi dengan Prof Richard Coker, Prof Wiku dan anggota Consultative Group.

 Sharing dari masing-masing tim peneliti universitas mengenai perkembangan analisis data dan penyusunan laporan penelitian tahap pertama, setelah dikirimkan panduannya.  Membuat kesepakatan Rencana Tindak Lanjut, termasuk timeline & re-commitment. Beberapa poin yang muncul ketika mendiskusikan mengenai perkembangan analisis data dan penulisan laporan adalah dari Provinsi Bali, merasakan bahwa hasil analisis datanya masih merupakan deskripsi saja, belum menjawab bagaimana interaksi dari masing-masing sub sistem. Pengalaman dari Provinsi Makasar, banyak pra kondisi yang mempengaruhinya tapi sifatnya masih sangat personalize bukan institutionalize.

Di akhir pertemuan, disepakati timeline atas aktifitas-aktifitas dalam penelitian tahap pertama. Penelitian tahap pertama ini disepakati akan diakhiri pada bulan Januari 2015 dengan selesainya laporan dari masing-masing universitas dan juga 1 laporan kompilasi.

5. BLENDED LEARNING BATCH II

Kelompok kerja Kebijakan AIDS PKMK FK UGM masih melanjutkan kegiatannya setelah usai mengikuti setting agenda dalam Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia,

(22)

berbagai kota di Indonesia. Peserta Blended learning ini diseleksi dari sekitar 50 peserta lebih yang berminat dengan mengirimkan lamaran dan paper. Peserta yang terseleksi kemudian mendapatkan kesempatan mengikuti Forum Nasional JKKI, baik melakukan presentasi oral maupun poster. Salah satu peserta blended learning dari Dinas Kesehatan Bima, NTB mendapatkan penghargaan dengan memenangkan sesi presentasi poster.

Kursus ini mengembangkan materi dasar mengenai Sistem Kesehatan, Perluasan Sistem Kesehatan, Penguatan Sistem Komunitas, Materi layanan Kesehatan, Kebijakan dan Jaringan, dan Ketrampilan mengembangkan analisis kebijakan dengan pengembangan ketrampilan melakukan advokasi dan penulisan Policy Brief. Kursus tatap muka akan dilanjutkan dengan metode pembelajaran jarak jauh selama 8 kali pertemuan. Pada saat melakukan pembelajaran jarak jauh, dapat melibatkan komunitas masing-masing peserta supaya lebih banyak orang yang dapat mengikuti sesi pembelajaran ini.

Di akhir masa kursus ini, peserta akan diberikan kesempatan untuk mengembangkan riset atau aksi penanggulangan HIV dan AIDS. Yang terbaik akan mendapatkan seed grant untuk mengembangkan risetnya dan menyampaikan hasilnya dalam forum Nasional JKKI

(23)

6. PENUTUP

Forum Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia ke V di Bandung merupakan momentum historis bagi pembangunan arah kesehatan Indonesia kedepan dengan perubahan paradigm arah pembangunan global dan pembangunan sistem kesehatan Indonesia ke depan pada pemerintahan yang baru. Indonesia dalam mencapai kriteria Goal 4,5 dan 6 dari MDGs mendapatkan raport merah. Kondisi ini merupakan tantangan serius bagi semua pihak dalam mengembangkan sistem kesehatan untuk mewujudkan kualitas dan derajat kesehatan masyarakat.

Salah satu tantangan ke depan dalam kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS adalah bagaimana mengintegrasikan layanan HIV dan AIDS dalam sistem kesehatan. Semua pihak memberikan penegasan perlunya mengembangkan sistem kesehatan yang mengutamakan pencegahan dan promosi kesehatan, yang diikuti aspek kuratif, rehabilitatif dan paliatif. Keterpaduan upaya penanggulangan HIV dan AIDS dalam sistem kesehatan merupakan jawaban terhadap tantangan dan permasalahan pengelolaan dan pembiayaan yang lebih terjamin dan berkelanjutan. Untuk mewujudkan keterpaduan ini, pemerintah miliki kewajiban dalam peningkatan anggaran kesehatan termasuk anggaran untuk penanggulangan AIDS dalam APBN dan APBD yang kemudian didistribusikan ke SKPD sesuai dengan Tupoksinya dalam penanggulangan AIDS.

Jaminan Kesehatan Nasional menjadi harapan bagi perwujudan integrasi pembiayaan AIDS untuk mendapatkan akses universal coverage. Oleh karenanya, Penanggulangan AIDS perlu mendapatkan jaminan pembiayaan yang fair mulai dari pencegahan, Perawatan, Dukungan dan Pengobatan, serta mitigasi dampak. Advokasi pengurangan diskriminasi pada komunitas terkait AIDS dan orang terlantar untuk dijamin oleh BPJS dan monitoring pelaksanaan komitmen dari pemerintah untuk jaminan kepada komunitas ini perlu diperkuatkan.

Referensi

Dokumen terkait

- Menimbang, bahwa selanjutnya dalam mempertimbangkan suatu perbuatan pidana, sebelum menjatuhkan pidana terhadap diri Para Terdakwa, maka dalam hukum pidana terdapat dua hal

Nilai kehidupan dalam seni merangkai Kembar Mayang ini ditampilkan sebagai media upacara tradisional yang berkaitan dengan daur kehidupan manusia, yang menggambarkan

Berdasarkan tingkat kepentingan suatu pengendalian terhadap Sistem Informasi Berbasis Komputer yang harus diupayakan oleh setiap perusahaan, maka penulis berminat untuk

Jenis tanaman berperawakan rendah di pekarangan Kecamatan Teluknaga, Citeureup dan Pacet ( K = konstansi keterdapatan ) No. Cabe besar Pandan wangi Belitung Panglai Opiopogon

Selain itu adanya kontaminasi total bakteri yang tinggi juga dapat disebabkan oleh penanganan yang kurang hegienis dimana kontaminasi berasal dari tangan pekerja, alat

AT Oceanic Offshore adalah perusahaan asing yang bergerak di bidang alat angkat, perusahaan asing ini di setiap proses produksinya dari awal proses sampai proses

Dari semua penyebutan binatang dalam al-Qur’an itu, ada beberapa pelajaran yang bisa diperoleh binatang diantaranya adalah banyak sekali penemuan- penemuan yang

DAVYSUKAMTA & PARTNERS Structural Engineers Secara struktur , gedung tinggi adalah suatu gedung dimana rancangannya ditentukan oleh stiffness. DAVYSUKAMTA &