II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Produksi
Dalam ekonomi mikro, produksi adalah konversi input menjadi output. Ini adalah proses ekonomi yang menggunakan sumber daya untuk menciptakan sebuah komoditas yang cocok untuk pertukaran. Beberapa ekonom mendefinisikan produksi secara luas sebagai semua kegiatan ekonomi lain selain konsumsi (Sukirno, 2011).
Produksi juga merupakan suatu kegiatan yang dikerjakan untuk menambah nilai guna suatu benda atau menciptakan benda baru sehingga lebih bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan manusia. Dengan demikian, tidak semua kegiatan/proses produksi adalah perubahan bentuk suatu barang.
Dalam proses produksi pertanian, seorang petani modern menggunakan faktor produksi (input) seperti tanah, bibit, pupuk, tenaga kerja, pestisida, curah hujan dan faktor eksternal lainnya. Input tersebut dipergunakan selama musim tanam, dan pada musim panen petani tersebut mengambil hasil (output) tanamnya. Petani selalu berusaha keras untuk melakukan produksi secara efisien atau dengan biaya yang paling rendah. Dengan demikian petani selalu berusaha untuk memproduksi tingkat output maksimum dengan menggunakan suatu dosis input tertentu, dan menghindarkan pemborosan sekecil mungkin, selanjutnya petani tersebut dianggap berusaha memaksimumkan laba ekonomis (Sukirno, 2011).
Konsep analisis produksi berfokus pada penggunaan masukan input yang efisien untuk menciptakan output, menyatakan bahwa produksi barang dan jasa dengan sasaran menetapkan cara yang optimal menggabungkan input untuk
meminimumkan biaya. Untuk menjelaskan konsep produksi, perlu dikaji lebih jauh tentang konsep hubungan antara input dan output yang disebut dengan fungsi produksi (production function) (Rismana, 2002).
Ahyari (2004) menyatakan produksi diartikan sebagai kegiatan yang dapat menimbulkan tambahan manfaat dan penciptaan faedah baru. Faedah atau manfaat tersebut dapat terdiri dari beberapa macam, misalnya faedah bentuk, faedah waktu, faedah tempat, serta kombinasi dari faedah-faedah tersebut di atas. Apabila terdapat suatu kegiatan yang dapat menimbulkan manfaat baru atau mengadakan penambahan dari manfaat yang sudah ada maka kegiatan tersebut disebut sebagai kegiatan produksi.
2.2. Faktor-faktor Produksi
Upaya meningkatkan produksi tidak akan menguntungkan bila penggunaan input produksi tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh dan modal yang dikeluarkan oleh petani. Petani yang rasional tidak hanya berorientasi pada produksi yang tinggi, akan tetapi lebih menitikberatkan pada semakin tingginya pendapatan atau keuntungan yang diperoleh. Nicholson (1991) menyatakan bahwa petani sebagai produsen yang rasional akan memaksimumkan keuntungan atau akan menjalankan usahatani secara efisien.
Keuntungan maksimum diperoleh apabila produksi per satuan luas pengusahaan dapat optimal, artinya mencapai produksi yang maksimal dengan menggunakan input produksi secara tepat dan berimbang. Oleh karena itu, pengaruh pemakaian input (faktor-faktor) produksi terhadap pendapatan petani
perlu diketahui sehingga petani dapat mengambil sikap untuk mengurangi atau menambah input produksi tersebut.
Input atau faktor-faktor produksi yang mempengaruhi produksi kakao Indonesia penting untuk diketahui. Hal ini bertujuan untuk penyusunan kebijakan strategi yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam meningkatkan produksi kakao.
Faktor-faktor produksi yang mempengaruhi produksi kakao antara lain : 1. Luas lahan/Areal Perkebunan
Dalam menanam kakao, sumber daya alam merupakan salah satu hal penting untuk diperhatikan karena kesalahan dalam memilih lahan dan lingkungan sekitarnya, akan membawa dampak yang sangat luas terhadap keberhasilan budi daya kakao. Ketepatan dalam memilih lahan berarti telah memetik 40% keberhasilan menanam kakao. Kesesuaian lahan merupakan ukuran kecocokan suatu lahan yang digunakan, termasuk untuk budidaya tanaman kakao.
Sebelum memulai penanaman, alangkah baiknya bila terlebih dahulu melakukan evaluasi terhadap lahan yang akan digunakan. Evaluasi ini bertujuan dengan bertambahnya luas lahan maka produksi makin tinggi. Pertambahan produksi merupakan modal dalam pembelian bibit yang bagus.
2. Pupuk
Pemupukan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari budidaya tanaman kakao. Akibat pemupukan yang tidak tepat, lahan-lahan kakao banyak yang mengalami kemunduran, terutama dalam hal kualitasnya.
Kemunduran kualitas lahan tersebut antara lain terjadi karena berkurangnya unsur hara di dalam tanah, kerusakan sifat-sifat fisik maupun biologis, serta semakin menipisnya ketebalan tanah (Rosmana, 2005).
Upaya untuk meningkatkan produktivitas kopi secara berkelanjutan adalah meningkatkan produksi dengan pemupukan disertai dengan memperbaiki kondisi lahan dengan pemberian pupuk organik. Penggunaan pupuk organik akan berdampak tidak hanya meningkatkan kadar hara tanah dan produktivitas tanaman kakao, juga dapat mengendalikan serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT).
Hasil-hasil penelitian maupun praktik di lapangan menunjukkan bahwa respon tanaman terhadap aplikasi pupuk umumnya cukup menggembirakan. Hal ini ditunjukkan melalui meningkatnya produksi serta mutu hasil produksi.
Meskipun tanaman membutuhkan asupan tambahan berupa pupuk buatan ataupun pupuk organik, pemberian pupuk tetap harus memperhatikan petunjuk dan dosis yang dianjurkan. Hal ini penting untuk mencegah tanaman kakao mengalami keracunan akibat kekurangan atau kelebihan dosis yang hanya akan mengganggu produktivitas tanaman kakao (Rosmana, 2005).
3. Tenaga Kerja
Petani kakao dalam mengelola kebunnya memerlukan tenaga kerja tambahan untuk membantu dalam mengelola kebunnya. Sebagian petani kakao masih kurang memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai untuk menerapkan cara-cara pengelolaan kebun kakao yang baik. Pengelolaan
kebun antara lain sanitasi kebun baik sanitasi dari gulma, daun dan buah yang busuk, pemupukan tanaman kakao, penyemprotan dan pemanenan. Dalam hal ini, petani harus bisa membagi hasil panen untuk biaya pupuk dan tenaga kerja yang digunakan sehingga tidak rugi.
Penerapan good agriculture practices (GAP) di tingkat petani masih sangat rendah. Pemberian pelatihan dan penyuluhan merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan kemampuan SDM untuk dapat meningkatkan produktivitas tanaman (Rismana, 2002).
Selain itu, petani juga memerlukan tenaga kerja tambahan untuk membantu mengelola perkebunan kakaonya. Tenaga kerja yang digunakan diusahakan juga yang sudah pernah mengikuti penyuluhan sehingga dapat menjadi SDM yang berkualitas dalam meningkatkan produksi kakao. Dalam hal ini, petani harus bisa membagi hasil panen untuk biaya pupuk dan tenaga kerja yang digunakan sehingga tidak rugi.
2.3. Fungsi Produksi Cobb Douglas
Kegiatan produksi dapat berlangsung jika tersedia faktor produksi. Faktor-faktor produksi dapat dibedakan kepada empat golongan yaitu tenaga kerja, tanah, modal dan keahlian. Faktor produksi terdiri atas alam (natural resources), tenaga kerja (labor), modal (capital) dan keahlian (skill) atau sumber daya pengusaha (enterpreneurship). Faktor produksi alam dan tenaga kerja disebut faktor produksi asli (utama), sedangkan modal dan tenaga kerja disebut faktor produksi turunan. Faktor produksi tanah, modal dan keahlian dianggap tetap jumlahnya, sedangkan faktor produksi tenaga kerja jumlahnya berubah-ubah (Sukirno, 2011).
Hubungan diantara faktor-faktor produksi dan tingkat produksi yang diciptakannya dinamakan fungsi produksi. Dengan demikian didalam menggambarkan hubungan antara faktor-faktor produksi yang digunakan dan tingkat produksi yang dicapai yang digambarkan adalah hubungan di antara jumlah tenaga kerja yang digunakan dan jumlah produksi yang dicapai. Fungsi produksi selalu dinyatakan dalam bentuk umum :
Q = f (K, L, R, T)
Dimana Q adalah output atau keluaran yang merupakan jumlah produksi yang dihasilkan oleh berbagai faktor produksi, K adalah jumlah stok modal, L adalah jumlah tenaga kerja, R adalah tanah (resources) dan T adalah tingkat teknologi yang digunakan (Sukirno, 2011).
Persamaan tersebut merupakan suatu pernyataan matematik yang pada dasarnya berarti bahwa tingkat produksi suatu barang tergantung kepada jumlah modal, jumlah tenaga kerja, jumlah resources dan tingkat teknologi yang digunakan. Jumlah produksi yang berbeda-beda dengan sendirinya akan memerlukan berbagai faktor produksi tersebut dalam jumlah yang berbeda-beda juga. Di samping itu, untuk satu tingkat produksi tertentu, dapat pula digunakan gabungan faktor produksi yang berbeda. Dengan membandingkan berbagai gabungan faktor produksi untuk menghasilkan sejumlah barang tertentu dapatlah ditentukan gabungan faktor produksi yang paling ekonomis untuk memproduksi sejumlah barang tersebut (Sukirno, 2011).
Fungsi produksi adalah hubungan fisik antara variabel yang dijelaskan (Y) dan variabel yang menjelaskan (X). Variabel yang dijelaskan biasanya berupa output dan variabel yang menjelaskan biasanya berupa input. Dalam pembahasan
teori ekonomi produksi, maka telaahan yang dianggap penting adalah telaahan fungsi produksi. Hal tersebut disebabkan karena beberapa hal, antara lain :
1. Dengan fungsi produksi, maka peneliti dapat mengetahui hubungan antara faktor produksi (input) dan produk (produk) secara langsung.
2. Dengan fungsi produksi, maka peneliti dapat mengetahui hubungan antara variabel yang dijelaskan (dependent variable) yaitu Y, dan variabel yang menjelaskan (independent variable) yaitu X, serta sekaligus mengetahui hubungan antara penjelas. Secara matematis, hubungan ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
Y = f (X1, X2, ...., Xi, ..., Xn).
Dengan fungsi tersebut diatas, maka hubungan Y dan X dapat diketahui. Salah satu jenis fungsi produksi yang telah dikenal adalah fungsi produksi eksponensial (Cobb Douglas). Fungsi produksi eksponensial ini dapat berbeda satu sama lain tergantung pada ciri data yang ada, tetapi secara umum fungsi produksi eksponensial ini dituliskan sebagai berikut :
Y = aXb (disebut fungsi Cobb Douglas)
Karena didalam fungsi produksi eksponensial ini ada bilangan berpangkat, maka penyelesaiannya diperlukan bantuan logaritma (Soekartawi, 1994).
Fungsi produksi Cobb Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel, dimana variabel yang satu disebut dengan variabel dependen (Y) dan variabel yang lain disebut dengan variabel independen (X). Penyelesaian hubungan antara Y dan X adalah biasanya dengan cara regresi dimana variasi dari Y akan dipengaruhi oleh variasi dari X. Dengan demikian, kaidah-kaidah pada garis regresi juga berlaku pada penyelesaian fungsi Cobb
Douglas. Secara matematik, fungsi Cobb Douglas dapat dituliskan seperti persamaan berikut ini :
Y = aX1b1X2b2 X3b3.eu dimana :
Y = variabel dependen (produksi)
X1 = variabel independen (luas lahan)
X2 = variabel independen (tenaga kerja)
X3 = variabel inependen (pupuk)
a = konstanta
b1, b2 dan b3 = parameter yang dicari
u = galat (disturbance term)
e = logaritma natural, e = 2,718
Logaritma dari persamaan diatas adalah : Log Y = log a + b1 log X1 + b2 log X2 + u
Persamaan hasil logaritma diatas dapat dengan mudah diselesaikan dengan cara regresi berganda. Pada persamaan tersebut terlihat bahwa nilai b1 dan b2 adalah tetap walaupun variabel yang terlibat telah dilogaritmakan. Hal ini dapat
dimengerti karena b1 dan b2 pada fungsi Cobb Douglas adalah sekaligus
menunjukkan elastisitas X terhadap Y.
Karena penyelesaian fungsi Cobb Douglas selalu dilogaritmakan dan diubah bentuk fungsinya menjadi fungsi linear, maka ada persyaratan yang harus dipenuhi sebelum menggunakan fungsi Cobb Douglas, antara lain :
1. Tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol, sebab logaritma dari nol adalah suatu bilangan yang besarnya tidak diketahui (infinite).
2. Dalam fungsi produksi perlu asumsi bahwa tidak ada perbedaan teknologi pada tiap pengamatan (non neutral difference in the respectives technologies). 3. Variabel input berada pada perfect competition.
4. Faktor-faktor lain yang tidak tercakup pada model seperti iklim sudah diperhitungkan dalam u.
2.4. Komoditas Kakao
Kakao (Theobroma cacao L.) berasal dari lembah-lembah sungai perairan di hulu Sungai Amazone. Wilayah ini merupakan pusat primer dari aneka ragam tanaman, suatu wilayah yang mempunyai banyak variasi dalam sifat-sifat morfologi maupun fisiologis. Populasi asli dari Theobroma cacao L. disebarluaskan dari bagian tengah Amazone sampai dengan Guiana ke arah barat dan utara sampai bagian selatan Meksiko (Wahyudi, dkk., 2009).
Tanaman kakao di Indonesia mulai dikenal pada tahun 1780 di Minahasa Sulawesi Utara yang dibawa masuk oleh orang Spanyol dan Meksiko, kemudian ditanam di Ambon pada tahun 1858. Kakao mulai ditanam di Pulau Jawa pada tahun 1920, kemudian tersebar ke seluruh perkebunan rakyat di Pulau Jawa (Wahyudi, dkk., 2009).
Perkebunan kakao di Indonesia dibagi menjadi dua kelompok yaitu perkebunan besar dan perkebunan rakyat. Pada perkebunan rakyat kakao ditanam dengan teknologi yang masih sederhana. Pengusahaan tanaman kakao pada perkebunan besar lebih banyak menggunakan input dan teknologi yang lebih maju. Pengembangan luas areal tanaman kakao di Indonesia menunjukkan peningkatan yang signifikan dengan berbagai upaya pemerintah untuk pengembangan perkebunan.
Tanaman kakao dapat tumbuh subur dan berbuah banyak di daerah yang memiliki ketinggian 1 sampai dengan 600 m dpl. Namun, kakao dapat juga tumbuh pada ketinggian 800 m dpl. Curah hujan yang baik untuk tanaman kakao berkisar antara 1600 sampai dengan 3000 mm/tahun atau dengan rata-rata curah hujan 1500 mm/tahun yang terbagi merata sepanjang tahun. Curah hujan yang
baik untuk tipe tanah berpasir curah hujan yang baik adalah 2000 mm/tahun. Suhu sehari-hari antara 24°-28°C dan kelembaban udaranya konstan dan tinggi sepanjang tahun yaitu 80 persen baik untuk tanaman kakao. Tanah yang baik untuk tanaman kakao adalah tanah yang memiliki tebal kurang lebih 90 cm, mengandung banyak humus, kadar hara tinggi dan pH tanah 6 sampai dengan 7,5 dan mengandung cukup udara dan air (Wahyudi, dkk., 2009).
Pemeliharaan tanaman kakao dapat dilakukan dengan cara penyulaman, pemangkasan, pemupukan dan pemberantasan hama dan penyakit. Penyulaman dilakukan sampai tanaman berumur sepuluh tahun, sebab umur bongkar tanaman kakao adalah 25 tahun. Dengan demikian sebelum tanaman tua dibongkar maka tanaman sisipan sudah mulai berproduksi. Pemupukan dilakukan secara umum yaitu sebagai sumber N dapat menggunakan pupuk urea atau ZA, sedangkan sebagai sumber P (phospor) dapat menggunakan pupuk TSP dan sebagai sumber K dapat menggunakan pupuk KCl. Pupuk yang digunakan dapat juga berupa pupuk organik yang berupa pupuk kandang, kompos atau pupuk hijau. Hama dan penyakit dapat menyebabkan penurunan kualitas serta kuantitas dari tanaman kakao yaitu penggerek buah kakao (PBK), Helopelthis penyakit busuk buah hitam dan kanker batang serta penyakit Vascular Streak Dieback (VSD) (Djafaruddin, 2000).
2.5. Perkembangan Produksi Kakao
Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang sangat penting peranannya dalam perkembangan perekonomian nasional. Peningkatan luas areal pertanaman kakao di Indonesia belum diikuti dengan peningkatan produktivitas
dan mutu yang tinggi, hal ini terbukti dari produksi rata–rata kakao nasional masih rendah yaitu 0,7 ton/ha/tahun (Reynaldi, 2010).
Indonesia merupakan salah satu negara pembudidaya tanaman kakao paling luas di dunia dan termasuk negara penghasil kakao terbesar ketiga setelah Ivory Coast dan Ghana, yakni dengan nilai produksi tahunannya mencapai 572 ribu ton. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perkebunan (2006), pada tahun 2003 luas areal penanaman kakao telah mencapai 917 ribu hektar dan tersebar di seluruh provinsi, kecuali DKI Jakarta (Wahyudi, dkk., 2009).
Usaha kakao di Indonesia lebih banyak dilakukan oleh perkebunan rakyat. Sekitar 965 ribu keluarga tani terlibat langsung dalam usaha tani kakao. Pada tahun 2005, tercatat seluas 887.735 ha (89,45%) perkebunan kakao Indonesia merupakan perkebunan rakyat. Sementara perkebunan besar swasta seluas 54.737 ha (5,51%) dan perkebunan besar negara hanya seluas 49.976 ha (5,04%). Oleh karena itu, kakao rakyat menyumbang sekitar 90% dari produksi nasional. Namun, dari perkebunan kakao yang ada di Indonesia, nilai produktivitas nasionalnya masih rendah, yaitu rata-rata 897 kg/ha/tahun, padahal potensi produktivitas tanamannya bisa mencapai lebih dari 2.000 kg/ha/tahun (Wahyudi, dkk., 2009).
Kakao merupakan komoditas ekspor yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan harga di pasar dunia. Menurut Reynaldi (2010), gejolak harga di pasar dunia akan berpengaruh pada penawaran dan permintaan di pasar dalam negeri dan ekspor, dan akan mempengaruhi perilaku petani dalam berusaha. Sementara itu, pada umumnya petani kakao menghadapi berbagai masalah antara lain, skala pemilikan lahan yang sempit, lokasi usaha tani yang terpencar dan
kurang didukung sarana/prasarana yang baik, serta modal, pengetahuan dan ketrampilan yang terbatas. Akibatnya, produktivitas kakao kurang optimal dan mutu produk di bawah baku mutu. Masalah yang tidak kalah pentingnya dan bahkan mungkin paling utama adalah adanya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) dan belum berkembangnya kelembagaan petani serta pola kemitraan.
Kakao Indonesia, khususnya yang dihasilkan oleh rakyat, di pasaran internasional masih dihargai paling rendah karena citranya yang kurang baik, yakni didominasi oleh biji-biji tanpa fermentasi, biji-biji dengan kadar kotoran tinggi, serta terkontaminasi serangga, jamur atau mikotoksin. Selain itu, cita rasanya pun lemah (Reynaldi, 2010).
Kapasitas produksi kakao di beberapa negara Asia Pasifik lain, seperti Papua New Guinea, Vietnam dan Filipina masih jauh di bawah Indonesia, baik dalam hal luas areal maupun total produksi. Oleh karena itu, bila dibandingkan dengan negara produsen kakao lainnya, Indonesia memiliki beberapa keunggulan dalam hal pengembangan kakao. Keunggulan tersebut antara lain : ketersediaan lahan yang masih cukup luas, biaya tenaga kerja relatif murah, potensi pasar domestik yang besar, dan sarana transportasi yang cukup baik.
2.6. Program Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
PHT secara konsep adalah suatu cara pendekatan atau cara berfikir tentang pengendalian hama dan penyakit tumbuhan yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan. Sasaran PHT adalah: 1) produktivitas pertanian yang
mantap dan tinggi, 2) penghasilan dan kesejahteraan petani meningkat, 3) populasi hama dan patogen tumbuhan dan kerusakan tanaman karena serangannya tetap berada pada aras yang secara ekonomis tidak merugikan, dan 4) pengurangan risiko pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida. Dalam PHT, penggunaan pestisida masih diperbolehkan, tetapi aplikasinya menjadi alternatif terakhir bila cara-cara pengendalian lainnya tidak mampu mengatasi peledakan hama atau penyakit. Pestisida yang dipilih pun harus yang efektif dan telah diizinkan.
Paradigma baru dalam PHT lebih menekankan aspek ekologi dimana proses pengendalian alami hama dan pengelolaan ekosistem lokal oleh petani menjadi dasar utama. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan PHT dapat meningkatkan produktivitas sekaligus kualitas produk disamping peningkatan kualitas lingkungan (Untung, 2002).
Melalui upaya perbaikan klon dan budidaya tanaman kakao (termasuk penerapan PHT) serta penanganan pasca panen yang baik, akan diperoleh produk kakao yanng bermutu. Untuk memperoleh kuantitas yang cukup memadai, dapat dicapai melalui pembentukan Kelompok/Gabungan Kelompok Tani. Dengan adanya kontinyuitas produk serta jaminan kualitas, maka dapat dibentuk kemitraan dengan pembeli (pabrik coklat) ataupun eksportir, sehingga petani kakao akan mendapatkan pendapatan yang lebih baik dari kenaikan produksi dan harga jual (Untung, 2002).
Kebijakan pemerintah Dinas Perkebunan Kabupaten Serdang Bedagai yang sudah pernah dilakukan untuk meningkatkan produksi kakao antara lain memberikan SL-PHT dan penyuluhan-penyuluhan lainnya. Dalam SL-PHT
diterapkan program PHT sehingga petani diharapkan bisa meningkatkan produksi kakaonya dan pendapatannya.
2.7. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang berhubungan dengan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kakao antara lain:
1. Tenriawaru (2003), dalam penelitiannya tentang pengaruh program pemerintah (Program Gerakan Peningkatan Produksi dan Ekspor) terhadap meningkatnya hasil produksi kakao pada beberapa daerah di Sulawesi Selatan. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa variabel luas lahan, pupuk urea, pupuk TSP, pestisida, populasi tanaman, tenaga kerja, dan umur kakao berpengaruh nyata terhadap terjadinya peningkatan produksi kakao dengan adanya program.
2. Tumanggor (2009), melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi produksi cokleat di Kabupaten Dairi. Hasil penelitian menunjukkan beberapa variabel bebas (luas lahan, waktu kerja, pupuk, pestisida dan umur tanaman) mampu menjelaskan variabel terikat (produksi) di Kabupaten Dairi. Secara parsial variabel luas lahan, variabel waktu, pupuk, pestisida dan umur tanaman berpengaruh positif dan signifikan terhadap produksi coklat di Kabupaten Dairi.
3. Situmorang (2006) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa adanya hubungan yang positif antara peningkatan luas lahan dan tenaga kerja terhadap produksi kemenyan di Humbang Hasundutan, kondisinya constant
4. Hendiarto (2007), melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keuntungan petani dengan menerapkan pengendalian hama terpadu (PHT) perkebunan kakao rakyat untuk meningkatkan pendapatannya. Hasil penelitian menunjukkan harga kakao di tingkat petani memberikan pengaruh nyata terhadap keuntungan petani. Penerapan teknologi PHT dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas kakao melalui perbaikan klon dan budidaya secara intensif serta perbaikan lingkungan (pengendalian hama). 5. Sahara, dkk (2009), melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat keuntungan usahatani kakao di Sulawesi Tenggara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi tingkat keuntungan usahatani kakao secara nyata adalah luas areal dan harga pupuk. Keuntungan maksimal akan diperoleh petani dengan memperluas areal pertanaman dan meningkatan penggunaan pupuk sampai batas rekomendasi dosis pemupukan. Di samping perluasan areal pertanaman, keuntungan masih dapat ditingkatkan dengan penambahan pupuk sesuai dengan acuan rekomendasi, artinya walaupun terdapat peningkatan biaya pupuk namun produksi yang dicapai akan optimal sehingga keuntungan akan meningkat.
Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu dapat disimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi tanaman kakao adalah luas lahan, pupuk, tenaga kerja, pestisida dan umur tanaman kakao. Di samping itu, program pemerintah berupa penyuluhan pengendalian hama terpadu (PHT) juga berpengaruh terhadap peningkatan produksi tanaman perkebunan seperti kakao.
Pupuk 2.8. Kerangka Pemikiran
Kakao merupakan komoditi perkebunan yang potensial dalam mengisi peluang pasar, baik pasar domestik maupun pasar internasional. Dengan melonjaknya harga komoditi pertanian yang berorientasi ekspor maka petani terdorong untuk meningkatkan produksi dengan tujuan mendapatkan pendapatan atau keuntungan yang lebih tinggi.
Untuk meningkatkan produksi, perlu ditingkatkan faktor-faktor yang dapat meningkatkan produksi. Faktor-faktor produksi tersebut diantaranya luas lahan, tenaga kerja dan pupuk. Dalam hal ini faktor-faktor tersebut akan lebih optimal hasilnya apabila dilakukan dengan menerapkan program pengendalian hama terpadu melalui SL-PHT. Program tersebut memberikan masukan tentang penggunaan faktor-faktor produksi secara efektif dan efisien. Dalam kerangka pemikiran akan dijelaskan bagaimana pengaruh faktor-faktor produksi seperti luas lahan, tenaga kerja dan pupuk terhadap produksi kakao (Gambar 1).
Faktor-faktor Produksi
Luas lahan Tenaga kerja
Produksi
Petani yang Menerapkan Petani yang Tidak Menerapkan
Program PHT Program PHT (non PHT)
Gambar 1. Alur Kerangka Berfikir Pengaruh Faktor-faktor Produksi terhadap Produksi Kakao dengan Penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
2.9. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan teori dan hasil penelitian empiris sebelumnya, maka hipotesis yang akan dirumuskan dalam penelitian ini adalah :
1. Tingkat produksi kakao petani yang menerapkan PHT lebih tinggi dibandingkan petani yang tidak menerapkan (non PHT).
2. Luas lahan, jumlah tenaga kerja, jumlah pupuk yang digunakan dengan menerapkan pengendalian hama terpadu (PHT) berpengaruh positif terhadap produksi kakao di Kabupaten Serdang Bedagai.