• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Individu menikah merupakan bagian dari sistem keluarga dimana perilaku mereka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Individu menikah merupakan bagian dari sistem keluarga dimana perilaku mereka"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Individu menikah merupakan bagian dari sistem keluarga dimana perilaku mereka dapat mempengaruhi anggota keluarga lainnya, sistem keluarga yang dimaksud adalah satu kesatuan ikatan hubungan yang dinyatakan secara biologis maupun ikatan komitmen yang menyiratkan kedudukan seseorang dalam hubungan tersebut (Becvar & Becvar, 1999). Keluarga adalah lembaga sosial dasar darimana semua lembaga sosialnya berkembang. Di masyarakat manapun di dunia, keluarga merupakan kebutuhan manusia yang universal dan menjadi pusat terpenting dari kegiatan dalam kehidupan individu (Sarwono & Meinam, 2009).

Pernikahan adalah salah satu lembaga yang penting dalam kehidupan sosial manusia, hubungan ini dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat dan berdampak langsung terhadap kesejahteraan masing-masing individu dan lingkungan sosialnya (Stutzer et al, 2005). Alasan yang mendominasi sebagai dasar individu melakukan pernikahan adalah cinta, harapan masa depan yang lebih cerah, keinginan memiliki umur yang panjang, bayangan akan kondisi keuangan yang baik, jaminan keamanan, kesehatan yang lebih baik dan seks (Waite & Gallagher, 2011).

Meskipun pernikahan diawali dengan niat dan tujuan yang mulia namun sayangnya perceraian terus terjadi didalam kehidupan pasangan menikah. Perceraian berawal dari adanya konflik yang tidak dapat diselesaikan diantara pasangan, konflik yang berkepanjangan akan mengarahkan kedua individu yang terikat komitmen pada keputusan untuk bercerai (Dagun, 2002). Konflik dalam perkawinan tidak dapat dihindari, namun yang terpenting

(2)

adalah kemampuan menempatkan konflik pada porsinya dan berusaha mencari jalan keluar terbaik dari konflik tersebut (Sadarjoen, 2005).

Beberapa ahli yang mencoba mencari penyebab timbul konflik yang menyebabkan runtuhnya ikatan pernikahan yang berdampak secara luas pada semua aspek kehidupan individu menikah yang berkonflik, sehingga diperoleh satu hasil yang dapat membantu pasangan menghindari perceraian dimasa depan. Dari sudut pandang biologis kekurangan zat

– zat kimia dalam otak dianggap dapat menjadi salah satu penyumbang munculnya banyak

konflik dalam diri individu yang berdampak pada hubungan dengan pasangan yang kemudian dapat mempengaruhi kestabilan hubungan itu sendiri (Fisher, Aaron, Mashek & Brown, 2002).

Ketika pria dan wanita memutuskan untuk menikah kedua insan ini dipenuhi oleh senyawa-senyawa yang hanya ada saat jatuh cinta dan diinisiasi dalam tubuh sehingga kedua insan merasakan segala sesuatu indah dan begitu menyenangkan (Fisher, 2001). Ketika seseorang jatuh cinta, bagian otak yang bernama Ventral Tegmental Area (VTA) dan Nucleus Caudatus menjadi lebih aktif karena memproduksi zat kimia otak bernama Dopamine, hormon yang sangat penting dalam hal cinta, disertai juga hormon Endorfin, Feromon, Oxytocin, Neuropinephrine yang membuat seseorang merasa bahagia, berbunga-bunga dan berseri-seri (Marrazitti & Canale, 2004).

Zat – zat kimia yang diproduksi di dalam otak dianggap bisa menjadi salah satu faktor pendukung dalam keharmonisan rumah tangga dan kebahagiaan hidup, ada satu zat kimia lainnya yaitu Phenilethylamine, senyawa ini membantu pasangan suami-istri untuk dapat mejalankan kehidupan rumah tangga dengan penuh perasaan optimis dan bahagia apapun masalah yang datang (Marrazitti & Canale, 2004; Liebowitz, 1983). Namun sayangnya setelah seseorang menikah senyawa ini hanya bertahan 4 tahun, dan setelah 4 tahun pernikahan senyawa ini akan habis dan tidak diproduksi lagi oleh tubuh (Sternberg & Weis,

(3)

2006; Fisher, 1992). Tidak hanya faktor biologis yang mempengaruhi seseorang dalam mempertahankan pernikahan, banyak faktor lainnya salah satunya adalah kemampuan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari (Gottman & Driver, 2004) dan penggunaan humor dalam kehidupan pernikahan sebagai penyeimbang emosi (Smith & Segal, 2016).

Jumlah perceraian di Indonesia sangat mengkhawatirkan dari tahun ke tahun, seperti dikutip dari laman online Republika, menulis bahwa data perceraian di Indonesia semakin mencemaskan dari waktu ke waktu, pada tahun 2011 secara keseluruhan di wilayah Indonesia terjadi peristiwa pernikahan sebanyak 2.319.821 sementara peristiwa perceraian sebanyak 158.119 peristiwa. Berikutnya pada 2012, peristiwa pernikahan yang terjadi sebanyak 2.291.265 peristiwa sementara yang bercerai berjumlah 372.577. Pada pendataan terakhir yakni 2013, jumlah peristiwa pernikahan menurun dari tahun lalu menjadi sebanyak 2.218.130 peristiwa. Namun tingkat perceraiannya meningkat menjadi 14,6 persen atau sebanyak 324.527 peristiwa, dan di tahun 2013 BKKBN menyatakan tingkat perceraian di seluruh wilayah Indonesia sudah menempati urutan tertinggi se Asia Pasifik (Sasongko, 2014).

Secara spesifik untuk wilayah Jakarta Barat kasus perceraian juga mengalami peningkatan berdasarkan catatan dari Pengadilan Agama Jakarta Barat pada tahun 2014 sebanyak 1723 perkara cerai diterima oleh pengadilan agama Jakarta Barat atau meningkat 222 perkara cerai dari tahun 2013 (Pa-JakBar, 2014). Kedua data diatas merupakan hasil pencatatan kasus perceraian dari Pengadilan Agama Islam dan belum termasuk kasus perceraian yang diputuskan oleh Kantor Catatan Sipil, yang terkait dengan agama yang dipeluk oleh pasangan menikah.

Jumlah kasus perceraian yang meningkat dari tahun ke tahun tentu bukanlah hal yang bisa dibanggakan karena perceraian tidak hanya berdampak pada pasangan tersebut namun

(4)

juga berdampak pada aggota keluarga lainnya (Becvar & Becvar, 1999). Hasil penelitian yang dilakukan oleh banyak pakar perkawinan menghasilkan data empirik yang membuktikan adanya hubungan yang erat antara hancurnya pernikahan dengan hancurnya sistem keluarga (Sadarjoen, 2005).

Perceraian merupakan hal yang tidak diinginkan oleh pasangan menikah, karena sesungguhnya terkadang perceraian bukanlah jalan keluar yang terbaik karena perceraian akan meningkatkan stress psikologis dan menurunkan kesejahteraan emosional seseorang dan perceraian tidak hanya berdampak pada kehidupan pasangan suami-istri saja namun berdampak luas pada semua aspek kehidupan individu tersebut (Dagun, 2002).

Melihat dampak perceraian secara luas dan meninjau dari jumlah perceraian yang terus meningkat didalam kehidupan masyarakat secara kolektif, sehingga masalah perceraian ini menjadi masalah sosial bagi masyarakat Indonesia, dimana menurut Soetomo (2008) masalah sosial ialah suatu kondisi yang tidak diingingkan terjadi oleh sebagai besar dari warga masyarakat.

Masalah sosial dapat disebabkan beberapa faktor, antara lain : faktor ekonomi, faktor biologis, faktor psikologis dan faktor budaya. Tidak hanya masalah materi atau keuangan, adapula kebutuhan sosial termasuk perasaan terkucil dalam kehidupan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat karena kurangnya pendidikan dan informasi merupakan masalah yang sering dihadapi individu menikah dalam kehidupan sehari-hari (Soekanto, 2006).

Kasus perceraian di masyarakat merupakan masalah sosial yang terjadi didalam keluarga sebagai lembaga sosial dasar yang berdampak pada kehidupan masyarakat secara luas. Yang dimaksud dengan masalah sosial dalam keluarga adalah masalah yang timbul dalam interaksi sosial dalam ruang lingkup keluarga (Soetomo, 2008). Adapun contoh-contoh masalah sosial dalam keluarga antara lain adalah :

(5)

1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga: KDRT adalah kekerasan yang dilakukan di dalam rumah tangga baik oleh suami maupun oleh istri. Menurut Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. 2. Lepas tangan terhadap kewajiban dalam keluarga: Semua anggota keluarga yang lepas

tangan dalam suatu kewajiban keluarga dapat menjadi suatu masalah dalam keluarga itu sendiri.

3. Perceraian: Perceraian adalah putusnya hubungan suami-istri dalam waktu sementara atau selamanya. Dan menurut hukum Islam perceraian adalah jatuhnya talak suami pada istri. Perceraian bisa terjadi karena berbagai sebab.

Masalah sosial dipengaruhi oleh budaya dimana sumber masalah itu berada, kehidupan perkotaan dan pedesaan tidak dapat disamakan mengenai permasalah sosial yang ada disana, jadi dapat dikatakan masalah sosial merupakan suatu respon bergantung kapan dan dimana masalah itu timbul sehingga berdampak terhadap kehidupan sosial seseorang dan lingkungan sosialnya (Loseke, 2010).

Masalah sosial tidak dapat dipecahkan hanya oleh individu melainkan melalui tindakan secara kolektif melalui rekayasa sosial seperti aksi sosial, kebijakan sosial atau perencanaan sosial, karena penyebab dan akibatnya bersifat multidimensional dan menyangkut banyak orang (Suharto, 2011).

Fromm (Soekanto, 2006) mengatakan bahwa jika suatu masyarakat ingin berfungsi secara efisien, maka anggotanya harus memiliki sifat yang membuat mereka ingin berbuat

(6)

sesuai dengan apa yang harus mereka lakukan sebagai anggota masyarakat. Mereka harus menghentikan kegiatan mereka secara obyektif dan sadar tanpa paksaan yang berarti.

Masalah sosial dapat dikendalikan dengan mensosialisasikannya kepada individu sebagai bagian dari anggota kelompok sosial, sehingga mereka mampu menjalankan peran sesuai dengan apa yang diharapkan. Pada umumnya orang cenderung mengulang sesuatu yang menyenangkan dan menghindari sesuatu yang tidak mengenakkan. Orang senantiasa menghindari masalah, karena masalah selalu tidak menyenangkan (Suharto, 2011).

Konflik yang muncul dalam pernikahan tidak akan menjadi masalah yang berkepanjangan jika salah satu dari pasangan atau bahkan keduanya memutuskan untuk mengalah (Sadarjoen, 2005). Seiring berjalannya waktu, dalam kehidupan pernikahan akan ada kemungkinan munculnya berbagai masalah yang dapat mempengaruhi keharmonisan rumah tangga, namun semuanya itu dapat diatasi jika masing-masing individu memiliki kemampuan memecahkan masalah yang baik dalam kehidupan pernikahan, kemampuan memecahan masalah sosial pada pasangan disertakan sebagai keterampilan yang dapat membantu pasangan untuk menghindari perceraian (Tallman & Hsiao, 2004).

Dalam menjaga kestabilan hubungan dalam pernikahan, individu menikah membutuhkan kemampuan memecahkan masalah sosial untuk membantu mengatasi berbagai perbedaan yang kelak berpotensi menjadi konflik (Murphy, 2015). Penelitian menunjukkan bahwa individu menikah yang mampu mempertahankan pernikahan dalam waktu yang lama memiliki stabilitas dalam kehidupan mereka, yang merupakan faktor penyumbang dalam memecahkan masalah (Duba, Hughey, & Burke, 2012).

Tidak hanya masalah pernikahan dan kehidupan berpasangan, individu menikah juga menghadapi tantangan dalam area sosial yang dapat menjadi penyebab munculnya konflik yang dan berpotensi terjadinya perceraian dikemudian hari (Murphy, 2015). Kemampuan

(7)

dalam memecahkan berbagai masalah diperlukan individu menikah untuk dapat menjalani kehidupan pernikahan yang bahagia dan sehat (Driver & Gottman, 2004).

Pemecahan masalah didefinisikan sebagai bagian dari proses perilaku kognitif yang terarah yang dilakukan oleh individu, pasangan ataupun grup dengan tujuan untuk mengidentifikasi atau menemukan solusi yang efektif untuk masalah spesifik yang biasa ditemui dalam kehidupan sehari-hari (Chang, D’Zurilla & Sanna, 2004; D’Zurilla & Goldfried, 1971). Proses perilaku kognitif ini membuat beberapa kemungkinan solusi yang cukup potensial dan efektif untuk masalah-masalah umum dan memilih solusi yang paling efektif dari sekian banyak alternatif yang ditemui (D’Zurilla & Olivares, 1995).

Secara khusus dalam menghadapi tekanan hidup sehari-hari kemampuan memecahkan masalah dapat menjadi sarana coping yang positif yang berguna untuk meningkatkan perspektif seseorang terhadap hidup dan meningkatkan sense of well-being pada individu menikah, selain itu ditemukan fakta bahwa kemampuan memecahkan masalah sosial memiliki peranan yang penting dalam kehidupan sehari-hari individu menikah dan dapat menurunkan kecemasan yang diakibatkan masalah sosial yang dihadapi baik secara individu

maupun berpasangan (Chang, D’Zurilla & Sanna, 2004)

Definisi ini menyiratkan bahwa pemecahan masalah sosial mengandung unsur kesadaran, rasional, berorientasi pada hasil dan merupakan aktifitas yang memiliki tujuan. Tergantung pada goal atau tujuan dari pemecahan masalah, proses ini bisa bertujuan untuk merubah situasi agar menjadi lebih baik, mengurangi tekanan emosional atau keduanya (Murphy, 2015).

Pemecahan masalah sosial (Social Problem Solving) yang digunakan dalam penelitian ini merupakan istilah pada proses pemecahan masalah yang mengacu secara spesifik pada

lingkungan kehidupan keseharian atau “dunia yang sebenarnya” (Chang, D’Zurilla & Sanna,

(8)

kemampuan memecahkan masalah. Hal ini digunakan didalam konteks bahwa peneliti tertarik dan hanya menyoroti fakta pada kemampuan memecahkan masalah tersebut yang ternyata mempengaruhi fungsi adaptif seseorang didalam kehidupan nyata di lingkungan

sosialnya (Chang, D’Zurilla & Sanna, 2004; D’Zurilla & Nezu, 1982).

Beberapa coping activities dapat mempengaruhi kemampuan memecahkan masalah

sosial (D’Zurilla & Olivares, 1995). Coping mengacu pada kegiatan kognitif dan perilaku

dimana seseorang berupaya untuk mengelola situasi stres tertentu, serta emosi yang mereka hasilkan. Mengingat ini definisi umum dari coping, pemecahan masalah adalah jelas merupakan proses coping , tetapi tidak semua proses coping adalah pemecahan masalah (problem solving) (D’Zurilla & Olivares, 1995; Lazarus & Folkman, 1984).

Dalam penelitian ini pemecahan masalah pada individu menikah dapat dijelaskan sebagai sebuah proses kognitif yang bertujuan untuk mengidentifikasi atau menemukan solusi dari sebuah konflik yang dapat diterima dan dapat menyenangkan semua pihak (Butzer & Kuiper, 2008). Untuk dapat menjalani kehidupan pernikahan yang baik dan menghindari perceraian dibutuhkan kemampuan memecahkan masalah pada setiap individu menikah (Murphy, 2015).

Berkaitan dengan pandangan ini, maka kemampuan memecahan masalah sosial dalam kaitannya pada individu menikah merupakan sebuah usaha dari pendekatan “win-win” untuk menyelesaikan sebuah konflik daripada perdebatan panjang jika menggunakan pendekatan “win-lose” (Bressler, Martin, & Balshine, 2006). Solusi merupakan sebuah situasi spesifik dari tanggapan (kognitif ataupun perilaku) yang diproduksi atau yang dihasilkan dari sebuah proses pemecahan masalah yang diaplikasikan kedalam situasi problematika yang spesifik (Huband et al., 2007).

Didalam proses pemecahan masalah sehari-hari dibutuhkan komunikasi yang baik dan dilakukan dengan cara-cara yang menyenangkan dari masing-masing individu yang terikat

(9)

komitmen sebagai pasangan untuk membahas perbedaan mereka dan mencapai kesepakatan pada isu-isu yang sulit agar dapat mempertahankan pernikahan dan menghindari perceraian (Driver & Gottman, 2004). Kemampuan komunikasi yang baik, hangat dan menyenangkan penuh dengan canda tawa merupakan salah satu cara memecahkan masalah dan menyelesaikan konflik pada individu menikah dalam tujuan mewujudkan pernikahan yang bahagia dan bertahan lama (Campbell & Moroz, 2014).

Masalah komunikasi dalam pernikahan adalah masalah khusus dalam kehidupan nyata sehari-hari, ketegangan dalam berkomunikasi ketika menghadapi suatu masalah menjadikan individu menikah mengalami kesulitan untuk keluar masalah tersebut (Lavner et al., 2014). Kemampuan menyampaikan dan menerima pendapat serta berdiskusi dibutuhkan oleh individu menikah, namun tentunya cara komunikasi haruslah nyaman dan santai karena dalam komunikasi pernikahan ada hubungan kelekatan yang mendalam antar individu (Chong, 2014).

Komunikasi dalam suasana yang menyenangkan dan adanya kepercayaan satu sama lain, serta hubungan yang saling menguntungkan akan memperbesar kesempatan individu menikah untuk keluar dari masalah dan memperkaya hubungan daripada hanya sekedar berdiam diri dan menerima segala sesuatu dengan dalih menghindari masalah (Tallman & Hsiao, 2004). Dalam kaitannya dengan individu menikah, humor dapat diikutsertakan dalam komunikasi yang bertujuan menetralkan konflik antara suami dan istri dan sekaligus menyembuhkan stress akibat konflik (Campbell & Moroz, 2014).

Humor merupakan salah satu jenis komunikasi verbal yang digunakan dalam model komunikasi Interpersonal (Martin, 2007). Humor merupakan salah satu cara coping dalam kehidupan sehari-hari dan humor dapat memperkaya hubungan (Martin, 2000). Rasa humor memegang peranan yang penting dalam konteks pemecahan masalah di kehidupan individu yang telah menikah (Bradbury & Lavner 2012). Dengan demikian, individu menikah yang

(10)

mampu menggunakan SOH (Sense Of Humor) dapat membantu mereka keluar dari situasi sulit dan memberi kemudahan dalam hubungan mereka satu sama lain serta mampu menjalin ikatan yang lebih kuat dalam hubungan pernikahan, ketimbang individu menikah yang tidak menggunakan rasa humor dalam proses pemecahan masalah mereka (Bressler et al., 2006)

Lebih lanjut, humor juga membuat individu menikah dapat saling berbagi (sharing) hal-hal yang sangat personal dalam diri mereka (McGee & Sevlin, 2008). Dalam hal ini tertawa menggambarkan reaksi emosional alamiah sesorang, perilaku tertawa yang bersifat alamiah adalah ekspresi jujur dari perasaan sebenarnya dalam diri seseorang (Reece, 2014). Humor memiliki kontribusi yang kuat bagi terciptanya pernikahan yang berbahagia, melalui humor individu menikah dapat saling terhubung dan memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas pernikahan (Nickolaisen, 2015)

Rasa humor didefinisikan sebagai apresiasi humor (Thorson & Powell, 1993) dimana rasa ini muncul sebagai sesuatu yang menyenangkan yang disukai oleh kebanyakan orang. Tornquist & Chiappe (2015) memiliki pandangan yang sama dengan McGee & Sevlin (2008) bahwa humor merupakan salah satu pengobatan yang efektif untuk gangguan kesehatan mental, rasa humor sangat membantu individu menikah dalam menyelesaikan konflik dan menghadapi situasi problematika yang cukup pelik. Oleh sebab itu rasa humor dapat menjadi aset positif yang penting yang harus dimiliki oleh individu menikah.

Rasa humor merupakan respon perilaku yang ampuh mempengaruhi cara seseorang melihat masalah dan memecahkan masalah (Bradbury & Lavner, 2012). Menggunakan rasa humor dalam hubungan dapat memperkaya interaksi yang positif dan dapat membangun komunikasi yang baik serta menguatkan ikatan individu dalam sebuah hubungan, dimana membangun sebuah ikatan dan keterikatan dalam hubungan dengan prespektif yang positif dan menyenangkan (Campbell & Moroz, 2014). Rasa humor memiliki fungsi yang sangat

(11)

bernilai dalam sebuah hubungan karena dapat mempengaruhi kemampuan memecahkan masalah (Murphy, 2015). Ketika rasa humor digunakan maka sebuah hubungan menjadi kuat, menyenangkan dan kualitas ikatan semakin kaya (Butzer & Kuiper, 2008).

Humor dalam pernikahan ternyata tidak hanya bermanfaat bagi individu dalam menjalankan pernikahan yang bahagia namun juga bermanfaat bagi kedua pasangan dalam menjalankan peran suami-istri (Winterheld et al., 2013). Meski terkesan tidak penting, humor merupakan sesuatu yang harus ada dalam kehidupan berumah tangga (Bressler et al., 2006). Dalam kehidupan kita membutuhkan humor untuk merilekskan otot-otot yang tegang, meningkatkan kesehatan dan menguatkan daya tahan tubuh (Dowling et al., 2003) serta mencairkan setiap suasana yang kaku dalam sebuah hubungan, termasuk didalamnya adalah hubungan pernikahan (C. Liang, 2014)

Rasa humor akan membantu seseorang menghadapi perubahan-perubahan dalam berbagai aspek kehidupan, dapat memberikan rasa tenang, memberikan keseimbangan dan membantu seseorang untuk lebih mudah beradaptasi dalam lingkungan tertentu (Tornquist & Chiappe, 2015). Dengan rasa humor seseorang dapat menghadapi berbagai situasi, bahkan situasi–situasi yang paling sulit sekalipun dan dapat keluar tanpa cedera atau menambah masalah (Reece, 2014). Dalam upaya itulah maka penelitian mengenai hubungan rasa humor dan kemampuan memecahkan masalah pada pasangan menikah di Jakarta Barat ini dilakukan.

1.2. Pembatasan dan Rumusan masalah 1.2.1. Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini terarah, terfokus dan tidak meluas, penulis membatasi penelitian pada hubungan rasa humor (sense of humor) dengan kemampuan memecahkan masalah sosial (social problem solving ability). Adapun untuk mengukur rasa humor dan kemampuan

(12)

telah diadaptas berdasarkan teori yang menjadi panduan penelitian ini yaitu teori sense of humor dari Thorson & Powell (1993), serta teori social problem solving ability dari

D’Zurilla, Nezu & Olivares (1995). Penelitian ini di fokuskan pada individu menikah dengan

usia pernikahan diatas 4 tahun yang berdomisili di Jakarta Barat.

1.2.2. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka masalah

penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : “Apakah terdapat Hubungan antara Rasa

Humor dengan Kemampuan Memecahkan Masalah Sosial Pada Individu Menikah ?”

1.3.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian kuantitatif ini adalah untuk mengetahui hubungan rasa humor terhadap kemampuan pemecahan masalah sosial pada individu yang telah menikah.

1.4. Manfaat Penelitian A. Bagi Peneliti

Melalui penelitian ini, ilmu yang selama ini sudah diperoleh peneliti selama masa studi dapat diaplikasinya secara nyata, selain tentunya melalui penelitian ini peneliti dapat meningkatkan pengetahuan dalam kajian ilmu psikologi terutama dalam bidang psikologi sosial.

B. Bagi Institusi

Melalui kajian dan penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memperkaya koleksi keilmuan Universitas Mercu Buana yang dapat digunakan sebagai refrensi bagi mahasiswa yang akan melakukan penelitian sejenis.

(13)

C. Bagi Masyarakat dan Pihak terkait

Diharapkan hasil penelitian ini memberi kontribusi dalam membuat kebijakan untuk menyelesaikan masalah sosial, terutama masalah sosial terkait individu menikah dan keluarga. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat membuka wawasan masyarakat mengenai hubungan rasa humor dengan kemampuan memecahkan masalah sosial.

Referensi

Dokumen terkait

Dari beberapa pengertian bimbingan dan konseling agama Islam di atas, maka dapat penulis tarik kesimpulan bahwa bimbingan dan konseling agama Islam itu adalah Pelayanan

Dalam hal ini digunakan rujukan dari penelitian yang dilakukan oleh Siti Sara (2013) meneliti tingkat kepuasan konsumen terhadap gerai kopi di Kota Medan dari hasil

Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan terdapat pengaruh nyata varietas tanaman yang diuji terhadap tinggi tanaman, namun tidak terdapat pengaruh nyata

Struktur pasar monopolistik terjadi manakala jumlah produsen atau penjual banyak dengan produk yang serupa/sejenis, namun di mana konsumen produk tersebut

20 Tahun 2001 Tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing yakni dalam rangka lebih mempercepat peningkatan dan perluasan kegiatan

mentaati Standar Etika Bank dan Standar Etika yang tercantum pada Pedoman Kerja. Secara umum, anggota Direksi telah menjalankan tugas dan tanggung jawabnya

Pada proses injeksi molding untuk pembuatan hendel terjadi beberapa kekurangan, pada proses pembuatannya diantaranya terjadinya banyak kerutan dan lipatan pada

Kedua, kebutuhan yang dipandang perlu dila- kukan sebagai solusi dari masalah-masalah di atas adalah sebagai berikut: (1) guru perlu memberi ke- sempatan siswa