• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III TINJAUAN TERHADAP LAHIRNYA CALON INDEPENDEN DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III TINJAUAN TERHADAP LAHIRNYA CALON INDEPENDEN DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

TINJAUAN TERHADAP LAHIRNYA CALON INDEPENDEN

DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH

Semasa orde baru hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD tidak seimbang. DPRD sangat kuat karena dapat mengusulkan pengangkatan kepada Presiden serta dapat memberhentikan kepala daerah. Pemilihan kepala daerah dulu dilaksanakan oleh DPRD yang dianggap sebagai representasi rakyat di daerah. DPRD dapat menunjuk kepala daerah yang dianggap layak dan mampu memimpin daerah. Pada dataran konsep prinsip perwakilan seperti ini sangat bagus dan efektif. Namun melihat kenyataan di Indonesia bahwa sebagian besar orang yang duduk dalam pemerintahan adalah orang yang cenderung menyalahgunakan jabatannya.

Seperti halnya dengan pengangkatan kepala daerah. Pada masa itu pemilihan kepala daerah oleh DPRD sarat dengan kepentingan. Bukan sebuah rahasia lagi Kepala daerah yang akan ditunjuk oleh DPRD harus melakukan apa yang “diinginkan” oleh anggota DPRD. Praktek seperti ini akan menimbulkan sebuah budaya korupsi yang melembaga. Pemilihan kepala daerah tidak didasarkan pada kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk memimpin daerah. Melainkan kemampuan untuk memberikan uang kepada anggota DPRD.

Sejalan dengan pengangkatan kepala daerah. DPRD saat itu dapat memberhentikan kepala daerah, melalui mekanisme laporan pertanggungjawaban secara berkala kepada DPRD. Jika DPRD menolak laporan pertanggungjawaban dari kepala daerah maka DPRD dapat memberhentikan kepala daerah tersebut.

(2)

Praktek seperti ini juga menimbulkan masalah yaitu praktek korupsi. Seringkali anggota DPRD meminta imbalan kepada kepala daerah agar laporan pertanggungjawaban yang diberikan tidak ditolak oleh anggota DPRD.

Seiring dengan semangat reformasi masyarakat menuntut diadakannya perubahan terhadap UUD 1945. Perubahan ke dua pada 18 Agustus 2000 dilakukan amandemen dengan merubah ketentuan mengenai pemerintahan daerah pada pasal 18. Amandemen ini merubah sistem pemerintahan daerah secara menyeluruh.

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) diatur dalam UU Pemda pada pasal 56. Sebelumnya Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Namun dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007, maka selain diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, calon kepala daerah dapat diajukan melalui jalur independen. Setidaknya ada beberapa faktor mendorong penyebab lahirnya ketentuan mengenai calon independen, yakni:

1. Ada keinginan dari masyarakat untuk memilih kepala daerah tanpa harus melalui partai politik.

Kemunculan partai politik dalam koridor teori partai politik tidak terlepas dari makin tingginya dinamika masyarakat yang membutuhkan fasilitas sistemik. Wujud dari upaya untuk memberikan fasilitas sistemik tersebut adalah tersedianya lembaga-lembaga sosial (social institution) yang dapat digunakan sebagai alat bagi masyarakat dalam interaksi sosialnya, dan salah satu dari berbagai pranata sosial yang ada itu salah satunya adalah partai politik. Sebab Indonesia sebagai

(3)

sebuah negara pada dasarnya dapat dianalogikan sebagai organisme hidup yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan.62

Partai politik (parpol) saat ini tidak mampu mengemban aspirasi masyarakat. Sering keinginan dan kehendak masyarakat justru berlawanan dengan apa yang dilakukan oleh parpol. Hal ini karena parpol tidak mampu menjalankan fungsi-fungsi yang dimilikinya sebagai partai politik. Idealnya parpol harus mampu menjalankan empat fungsi yang ada. Pertama, sebagai sarana pendidikan politik bagi masyarakat. Kedua, sebagai sarana komunikasi politik. Ketiga, sebagai sarana rekruitmen politik. Dan keempat, sebagai sarana peredam konflik.63

Daiam negara demokratis partai politik, menurut Miriam Budihardjo, sekurangnya menyelenggarakan empat fungsi politik, yaitu:64

a. Partai sebagai sarana komunikasi politik

Salah satu tugas dari partai politik adalah menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat, dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran dalam masyarakat berkurang. Dalam masyarakat modern yang begitu luas, pendapat dan aspirasi seseorang atau suatu kelompok akan hilang tak berbekas seperti suara padang pasir, apabila tidak ditampung dan digabung dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang senada. Proses ini dinamakan "penggabungan kepentingan"

62

Koiruddin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hal. 65-66.

63

www.google.com, Mengembalikan Fungsi Partai Politik. Diakses pada tanggal 16 Juni 2009.

64

www.google.com, Sejarah Partai Pemersatu Bangsa: Fungsi Dasar Partai Politik, diakses pada tanggal 16 Juni 2009.

(4)

(interest aggregation). Sesudah digabung, pendapat dan aspirasi ini diolah dan dirumuskan dalam bentuk yang teratur. Proses ini dinamakan "perumusan kepentingan" (interest articulation).65

Semua kegiatan tersebut dilakukan oleh partai. Partai politik selanjutnya merumuskannya sebagai usul kebijaksanaan. Usul kebijaksanaan ini dimasukkan dalam program partai untuk diperjuangkan atau disampaikan kepada pemerintah agar dijadikan kebijaksanaan umum (public policy). Dengan demikian tuntutan dan kepentingan masyarakat disampaikan kepada pemerintah melalui partai politik. Dilain pihak partai politik berfungsi juga untuk memperbincangkan dan menyebariuaskan rencana-rencana dan kebijkasanaan-kebijaksanaan pemerintah- Dengan demikian terjadi arus informasi serta dialog dan atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Dalam hal ini partai politik memainkan peranan sebagai penghubung antara yang memerintah dan yang diperintah, antara pemerintah dan warga masyarakat. Saat menjalankan fungsi ini partai politik sering disebut sebagaj broker (perantara) dalam suatu bursa ide-ide. Terkadang juga dikatakan bahwa partai politik bagi pemerintah bertindak sebagai alat pendengar, sedangkan bagi warga masyarakat sebagai pengeras suara.66

b. Partai sebagai saranasosialisasi politik

Partai politik juga berperan sebagai sarana sosialisasi politik (instrument of

political socialization). Didalam ilmu politik sosialisasi politik diartikan

sebagai proses melalui cara seseorang memperoleh sikap dan orientasi

65

Ibid.

66

(5)

terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat di mana ia berada. Biasanya proses sosialisasi berjalan secara berangsur-angsur dari masa kanak-kanak sampai dewasa. Di samping itu sosialisasi politik juga mencakup proses melalui mana masyarakat menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya.67 Dalam hubungan ini partai politik berfungsi sebagai salah satu sarana sosialisasi politik. Untuk itu usaha menguasai pemerintahan melalui kemenangan dalam pemilihan umum, partai harus memperoleh dukungan seluas mungkin. Dalam konteks tersebut partai berusaha menciptakan "image" bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum. Disamping menanamkan solidaritas dengan partai, maka partai politik juga mendidik anggota-anggotanya menjadi manusia yang sadar akan tanggung jawabnya sebagi warga negara dan menempatkan kepentingan sendiri di bawah kepentingan nasional. Proses sosialisasi politik diselenggarakan melalui ceramah-ceramah, kursus kader, kursus penataran dan sebagainya.68

c. Partai sebagai sarana rekruitmen politik

Partai politik juga berfungsi untuk mencari dan mangajak orang yang berbakat untuk turutaktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai (political recruitment). Dengan demikian partai ikut memperluas partisipasi poiitik. Caranya ialah melalui kontak pribadi, persuasi dan

lain-67

Ibid.

68

(6)

lain. Juga diusahakan untuk menarik golongan muda untuk dididik menjadi kader yang dimasa mendatang akan mengganti pimpinan lama.69

d. Partai politik sebagai sarana pengatur konflik

Dalam suasana demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat merupakan soal yang wajar. Jika sampai terjadi konflik, partai politik berusaha mengatasinya. Dalam praktek politik sering dilihat bahwa fungsi-fungsi tersebut di atas tidak dilaksanakan seperti yang diharapkan. Misalnya, informasi yang diberikan Justru menimbulkan kegelisahan dan perpecahan dalam masyarakat; yang dikejar bukan kepentingan nasional, akan tetapi kepentingan partai yang sempit dengan akibat pengkotakan politik; atau konflik tidak diselesaikan, akan tetapi malahan dipertajam.70 Selain teori tersebut di atas masih ada lagi peran atau fungsi partai politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai alat perjuangan rakyat partai politik juga mesti harus menjalankan fungsi sosial kontrol dalam rangka mengawasi kebijaksanaan jalannya pemerintahan negara. Memang tidak dinafikan partai politik lekat dengan kekuasaan. Sebagaimana terjadi di negara liberal, partai pemenang pemilihan umum acap tampil sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara. Meski demikian bahwa daya kritis mereka tetap dikedepankan dalam rangka mengawasi kebijaksanaan pemerintahan. Jadi, meskipun partai pemenang pemilihan umum memegang kendali kekuasaan, akan tetapi fungsi partai berupa sosial kontrol juga tetap berjalan. Partai politik juga sebagai wadah untuk

69

Ibid.

70

(7)

mencetak kader-kader bangsa, dimana nantinya mereka senantiasa siap sebagai pengganti atau penerus dalam memimpin sebuah perjalanan negeri. Dapat dimengerti bilamana perekrutan kader-kader pemimpin bangsa tidak hanya menjadi dominasi partai politik. Melalui jalur-jalur lain seperti dari dunia kampus, birokrasi, militer dan lain-lain akan menambah bobot dari kebhinekaan pengkaderan calon-calon pemimpin bangsa.71

Pencalonan kepala daerah dengan sistem satu pintu melalui partai politik menuai kritik dalam jumlah yang cukup massif. Aturan seperti itu, selain mempersempit ruang calon independen, juga akan mengekalkan penyelenggaraan

Dimasa Reformasi ini, dominasi Partai dihidupkan kembali sedemikian jauhnya, sehingga menjurus kepada kondisi monopolistik. Tapi perlu dicatat bahwa Partai dewasa ini tidak jelas betul hubungannya secara anatomis dengan Partai pendahulunya. Pasti ada sejumlah Partai yang punya sejarah panjang, akan tetapi bukan saja terkait secara parsial, malah lebih secara nuansa.

Karena itu, tidak mengherankan apabila peran Partai dewasa ini menjadi kehilangan jati diri dan arah perkembangannya, sehingga terjebak oleh kecenderungannya yang monopolistik. Motivas politisi Partai mendapatkan kekuasaan Negara, caranya mempertahankan serta kinerjanya memperlakukan kekuasaan yang dipunyai, secara keseluruhan menggambarkan watak monopolistik dimaksudkan, Analisis ideologi dan struktural serta behavior atas peran politisi dan partainya dalam era Reformasi ini, menjelaskan keseluruhan watak monopolistik tersebut.

71

(8)

pemerintahan daerah yang kotor. Berbagai kalangan berpendapat bahwa dengan hanya satu pintu parpol, maka jelas parpollah yang akan sangat menentukan siapa yang akan menjadi kepala daerah. Figur-figur non-partai politik kendati memiliki kapasitas memadai tak akan dapat ruang untuk masuk ke dalamnya. Kenyataan menunjukkan calon independen merupakan calon bagi mereka yang bukan simpatisan parpol dan mereka yang tidak sama ideologinya dengan parpol yang ada. Atas dasar itu, pencalonan kepala daerah harus dilakukan dengan sistem dua pintu, melalui pintu parpol dan pintu independen.72

Dalam hal ini, masyarakat akan melirik parpol yang mengusungnya. Bila seorang figur calon tersebut bukan berasal dari kader parpol yang mengusungnya, dirinya yakin akan berpeluang mendapat simpati dari warga. Paling tidak, masyarakat akan menilai bahwa parpol yang mengusungnya itu tidak haus kekuasaan. Kondisi tersebut, akan menambah credit point bagi calon kepala daerah tersebut. Peran parpol dalam proses pilkada, akan mempersempit tampilnya sosok independen yang berkualitas. Bila parpol tak berwenang mencalonkan kepala daerah, dirinya yakin orang berkualitas akan berpeluang memimpin daerahnya. Untuk itu, seharusnya mesin politik tidak mendominasi proses pilkada. Kebanyakan kader parpol yang menjadi kepala daerah terbawa hanyut dalam kebiasaan buruk di lingkungan birokrasi.73

Masih terbuka luasnya praktik politik uang dalam sistem politik pilkada yang diintrodusir oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ini terkait dengan ditempatkannya parpol sebagai satu-satunya pintu pencalonan. Dalam pola ini,

72

Ahmad Nadir, Op.Cit, hal. 86-87.

73

(9)

masyarakat dipaksa untuk memilih para calon kepala daerah yang diajukan parpol, meskipun para calon itu merupakan orang-orang yang memiliki track record kurang baik.

2. Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta

Pilkada DKI Jakarta merupakan salah satu faktor pendorong lahirnya calon indepeden. Pada Pilkada DKI Jakarta, muncul tuntutan agar calon independen diperbolehkan untuk mengikuti pilkada. Adapun alasan mengapa pilkada DKI Jakarta merupakan salah satu faktor pendorong lahirnya independen adalah sebagai berikut:74

Dinamika politik yang terus bergulir sejak tahun 2007 lalu akhirnya mengkerucut pada pencalonan Adang-Dani yang diusung oleh PKS dan Fauzi-Prijanto yang diusung oleh koalisi partai politik (diantaranya Partai Golkar, PDIP, dll).

Pada awalnya beberapa nama mencuat kepermukaan dalam momentum pemilihan kepala daerah DKI Jakarta (Gubernur/Wakil gubernur). Dapat disebut antara lain, Sarwono Kusuma Atmadja, Faisal Basri, Rano Karno, BibitWaluyo, Ade Supriatna, Nur Faizi, Syafrie Syamsudin, Slamet Kirbiantoro, Prijanto, Dani Anwar, Adang Darodjatun dan Fauzi Bowo.

75

Upaya mengusung calon independen semakin ramai diperdebatkan disaat proses pendaftaran calon telah dibuka. KPU DKI Jakarta dengan tegas

74

Gabarel Sinaga, Calon Independen dan Eksistensi Partai Politik, www.google.com. Diakses pada tanggal 08 Juni 2008.

75

(10)

menyatakan bahwa proses pencalonan hanya dapat mengacu pada UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan peraturan pemerintah No 6 tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dalam UU dan PP ini mensyaratkan bahwa pencalonan hanya dimungkinkan lewat partai politik atau gabungan partai politik.76

Dalam melihat peluang para calon diluar Adang-Dani dan Fauzi-Prijanto, dapat dilakukan dengan merujuk pada survey yang dilakukan Lembaga Survey Indonesia. Survey yang dilakukan Agustus 2006, dengan metode penarikan sample multistage random sampling, jumlah responden 200 yang diwawancarai secara tatap muka (kuisoner). Dukungan tertinggi diperoleh oleh Fauzi Bowo (24.5 %), menyusul kemudian Rano karno dan Agum Gumelar (18.5 %), Hidayat Nur Wahid (14.5 %). Yang menyatakan tidak tahu/rahasia/belum memutuskan (13 %), Bibit Waluyo (3.5 %), Sarwono Kusuma Atmaja (2.0 %), Faisal Basri dan Syafri Syamsudin masing-masing (1.5 %). Perolehan terendah pada angka (1.0 %) masing-masing oleh Rai Sita Supit dan Adang Darojatun. Ketika responden ditanyakan, apakah calon Gubernur pilihan Ibu/Bapak akan sama sampai pemilihan kepala daerah DKI Jakarta atau ada kemungkinan berubah. Responden menjawab dengan mengatakan sama (55.2 %), ada kemungkinan berubah (36.8) dan tidak tahu (8.0 %).

77

Survey LSI berikutnya (20 – 25 September 2006), dengan 300 responden. Dari daftar nama yang ditanyakan kepada responden, Rano Karno dan Agum

76

Ibid.

77

(11)

Gumelar merupakan tokoh yang sangat populer di DKI. Rano Karno 99 %, Agum 91 %, Hidayat Nur Wahid 77.9 %, Sarwono 69.9 %, Fauzi Bowo 66.4 %, Prabowo Subianto 65.7 % dan Faisal Basri 63.3 %. 78

Jika pemilihan langsung dilaksanakan hari ini (saat survey dilakukan), maka Agum Gumelar (24.9 %) memiliki peluang paling besar untuk terpilih menjadi Gubernur DKI, diikuti Rano Karno (19.4 %), Fauzi Bowo (15.2 %), Hidayat Nur Wahid (13.1 %), dan Sarwono Kusuma Atmaja (4.2 %), Faisal Basri (2.8 %) dan Adang Darijatun (2.1 %). Jika nama kandidat dikerucutkan menjadi hanya empat nama, perolehan suara sebagai berikut, Agum Gumelar (41.5 %), Fauzi Bowo (25.3 %), Sarwono Kusuma Atmadja (14.2 %), Adang Darodjatun (4.8 %) dengan tidak tahu/jawab (14.2 %).79

Pada survey November 2006 dengan 700 responden, perolehan suara Fauzi Bowo lebih tinggi (19.7 %). Sementara Agum Gumelar (18.5 %), Rano Karno (17.3 %), Hidayat Nur Wahid (12.1 %), Sarwono Kusuma Atmadja (5.5 %), Adang Darodjatun (3.7 %), Faisal Basri (2.4 %) dengan tidak tahu/rahasia/belum memutuskan (18.1 %). Jika nama dikerucutkan menjadi 2 nama yakni Agum dan Fauzi, perolehan suara tertinggi diperoleh oleh Fauzi Bowo (36.9 %), sementara Agum Gumelar (33.8 %) dengan tidak tahu/rahasia/belum memutuskan (29.3 %).80

Dari data-data survey tersebut, tampak masyarakat menginginkan adanya beberapa pasangan calon, yang tentunya keinginan masyarakat tersebut tidak

78 Ibid. 79 Ibid. 80 Ibid.

(12)

mampu ditampung oleh partai politik maupun gabungan partai politik yang ada, sehingga masyarakat menginginkan adanya jalur independen untuk dapat mengajukan calon yang mereka inginkan.81

3. Undang-undang Pemerintahan Aceh

Pilkada NAD diselenggarakan berdasarkan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (UU Otsus). UU Otsus ini disahkan pada 9 Agustus 2001, jauh lebih dulu daripada lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), yaitu pada 15 Oktober 2004, yang merupakan landasan hukum bagi penyelenggaraan pilkada langsung pada umumnya di wilayah Indonesia. Tak seperti pada peraturan perundangan lainnya yang harus mengacu pada peraturan yang lahir belakangan (lex posteriori derogat lex priori), pilkada di NAD harus mengacu pada UU Otsus dengan merujuk pada penyempurnaan yang diatur dalam UU Pemda (dalam konteks ini berlaku adagium hukum lex specialis derogat lex generalis).

Undang-undang Pemerintahan Aceh, yakni Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, di dalam pasal 67 ayat (1) huruf d memperbolehkan calon dalam pilkada Nangroe Aceh Darussalam.

Lalu Ranggalawe dalam pokok permohonannya menyebutkan bahwa: “Dengan munculnya calon di daerah Nanggroe Aceh Darussalam yang mendapat kemenangan mutlak sebagai Gubernur/Wakil Gubernur, telah membuktikan

81

(13)

bahwa rakyat sangat membutuhkan independensi dan mereka tidak percaya lagi pada partai politik yang mengusung calon karena terbukti parpol dalam pengusungan calon sangat syarat dengan transaksi politik yaitu dengan melakukan jual beli kendaraan politik (partai) bagi calon yang akan mengikuti suksesi pilkada. Dan ini sudah menjadi rahasia umum bagi rakyat Indonesia apabila calon yang diusung oleh partai politik yang menang, maka tugas pertama bagi penguasa bagaimana cara untuk mengembalikan modal yang sangat rentan dengan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme”.82

82

(14)

BAB IV

PELAKSANAAN CALON PERSEORANGAN (INDEPENDEN)

DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH

Pelaksanaan Calon Independen pada Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Deli Serdang

A. Gambaran Umum Kab. Deli Serdang83

Kabupaten Deli Serdang dikenal sebagai salah satu daerah dari 25 Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten yang memiliki keanekaragaman sumber daya alamnya yang besar sehingga merupakan daerah yang memiliki peluang investasi cukup menjanjikan. Dulu wilayah ini disebut Kabupaten Deli dan Serdang, dan pemerintahannya berpusat di Kota Medan. Memang dalam sejarahnya, sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, wilayah ini terdiri dari dua pemerintahan yang berbentuk kerajaan (kesultanan) yaitu Kesultanan Deli berpusat di Kota Medan, dan Kesultanan Serdang berpusat di Perbaungan.

Dulu daerah ini mengelilingi tiga “daerah kota madya” yaitu kota Medan yang menjadi ibukota Provinsi Sumatera Utara, kota Binjai dan kota Tebing Tinggi disamping berbatasan dengan beberapa Kabupaten yaitu Langkat, Karo, dan Simalungun, dengan total luas daerah 6.400 KM2 terdiri dari 33 Kecamatan dan 902 Kampung.

Daerah ini, sejak terbentuk sebagai kabupaten sampai dengan tahun tujuh puluhan mengalami beberapa kali perubahan luas wilayahnya, karena kota Medan,

83

(15)

Tebing Tinggi dan Binjai yang berada didaerah perbatasan pada beberapa waktu yang lalu meminta/mengadakan perluasan daerah, sehingga luasnya berkurang menjadi 4.397,94 KM2.

Diawal pemerintahannya Kota Medan menjadi pusat pemerintahannya, karena dalam sejarahnya sebagian besar wilayah kota Medan adalah “tanah Deli” yang merupakan daerah Kabupaten Deli Serdang. Sekitar tahun 1980-an, pemerintahan daerah ini pindah ke Lubuk Pakam, sebuah kota kecil yang terletak di pinggir jalan lintas Sumatera lebih kurang 30 kilometer dari Kota Medan yang telah ditetapkan menjadi ibukota Kabupaten Deli Serdang.

Tahun 2004 Kabupaten ini kembali mengalami perubahan baik secara Geografi maupun Administrasi Pemerintahan, setelah adanya pemekaran daerah dengan lahirnya Kabupaten baru Serdang Bedagai sesuai dengan U.U. No. 36 Tahun 2003, sehingga berbagai potensi daerah yang dimiliki ikut berpengaruh. Dengan terjadinya pemekaran daerah, maka Luas wilayahnya sekarang menjadi 2.497,72 KM2 terdiri dari 22 kecamatan dan 403 desa/kelurahan, yang terhampar mencapai 3.34 persen dari luas Sumatera Utara.

Kabupaten Deli Serdang dihuni penduduk yang terdiri dari berbagai suku bangsa seperti Melayu, Karo, Simalungun, Jawa, Batak, Minang, Cina, Aceh dan pemeluk berbagai agama seperti Islam, Kristen, Hindu dan Budha, dengan total jumlah penduduk berjumlah 1.686.366 jiwa dengan Laju Pertumbuhan Penduduknya (LPP) sebesar 2,74 persen dengan kepadatan rata-rata 616 jiwa perkilometer persegi.

(16)

Dalam gerak pembangunannya, motto Kabupaten Deli Serdang yang tercantum dalam Lambang Daerahnya adalah “Bhinneka Perkasa Jaya” yang memberi pengertian ; dengan masyarakatnya yang beraneka ragam suku, agama, ras dan golongan bersatu dalam kebhinnekaan secara kekeluargaan dan gotong royong membangun semangat kebersamaan, menggali dan mengembangkan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusianya sehingga menjadi kekuatan dan keperkasaan untuk mengantarkan masyarakat kepada kesejahteraan dan kejayaan sepanjang masa.

B. Penerapan calon independen pada Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Deli Serdang

Pada tanggal 27 Oktober 2008 yang lalu, Kabupaten Deliserdang termasuk dari 7 (tujuh) Kabupaten di jajaran pemerintahan Propinsi Sumatera Utara telah memilih pemimpin daerahnya untuk 5 (lima) tahun kedepan. Kabupaten Deliserdang untuk pertama kalinya memilih pemimpin daerahnya secara langsung oleh masyarakat Deliserdang. Karena itu dalam pilkada kali ini masyarakat Deliserdang ditantang untuk dapat memilih calon bupati yang sesuai dengan harapan dan cita-cita seluruh masyarakat Deliserdang.

Sejak tanggal 30 April 2008, KPU Kabupaten Deliserdang telah membuat dan menetapkan tahapan-tahapan pilkada Kabupaten Deliserdang. Rapat koordinasi antar instansi pemerintah dan lintas sektoral, sosialisasi tahapan pilkada dan penyusunan anggaran telah digelar demi terlaksananya pilkada Kabupaten Deliserdang secara aman dan tertib.

(17)

Untuk menjaga keamanan dan ketertiban pelaksanaan pilkada Kabupaten Deliserdang Deliserdang melibatkan 2/3 kekuatan personelnya untuk melakukan pengamanan seluruh tahapan pilkada yang digelar. Disamping itu Polres Deliserdang juga akan menambah perkuatan dari Kesatuan Brimob Polda Sumut Kompi Tanjung Morawa. Seluruh personel yang dilibatkan dalam seluruh tahapan pilkada adalah:

a. Polres Deliserdang sebanyak: 591 (lima ratus Sembilan puluh satu) Personel.

b. Kie II Brimob Tanjung Morawa: 135 (seratus tiga puluh lima) Personel. Dalam pilkada Kabupaten Deliserdang kali ini dapat dikatakan berbeda dengan pilkada kabupaten lainnya, selain diwarnai dengan munculnya beberapa pasangan calon dari independen, pilkada Deliserdang kali ini juga diikuti oleh 9 (sembilan) pasangan calon, 5 (lima) pasangan calon yang diusung oleh partai politik dan 4 (empat) pasangan calon perseorangan. Ini adalah pilkada yang paling banyak pasangan calonnya diantara pilkada lainnya di jajaran Propinsi Sumatera Utara. Pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati yang bersaing dalam pilkada Kabupaten Deliserdang adalah:84

a. Yang diusung oleh partai politik:

1. Pasangan H. WAGIRIN ARMAN / Hj. CHAIRIAH SUDJONO GIATMO (Golongan Karya)

84

(18)

2. Pasangan Drs. TENGKU AKHMAD THALA’A / SATRIA YUDHA WIBOWO, ST (PKS, PNI Marhaenisme, PKPB, PBSD, PPIB, PNBK, PSI dan PPDK)

3. Pasangan Drs. H. AMRI TAMBUNAN / ZAINNUDIN MARS (Partai Demokrat, PKB, PPDI, PKP, Partai Pelopor, PBB, Partai Merdeka, PPNU, PBR dan Partai Patriot Pancasila)

4. Pasangan RUBEN TARIGAN, SE / DEDI IRWANSYAH, SE (PDI Perjuangan)

5. Pasangan H. HASAIDDIN DAULAY / Drs. H. PUTRAMA ALKHAIRI (PPP dan PAN)

b. Dari Calon Perseorangan:

1. Pasangan H. SIHABUDIN, SE / Ir. SURIA DARMA GINTING, SP, MM

2. Pasangan SAIFUL ANWAR, S.Sos, MSP / SUGITO

3. Pasangan HM. SUPRIYANTO / DICKY ZULKARNAIN, SE

4. Pasangan Drs. RABU ALAM SYAHPUTRA / Ir. RAHMAT SETIA BUDI, MSc

Jumlah pemilih pemilih di Deli Serdang yang terdaftar sebagai pemilih pada pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah sebesar 1.180.431 pemilih, sebanyak 591.750 adalah pemilih perempuan sedang sisanya sekitar 588.681 orang laki-laki. Jumlah tersebut diperoleh berdasarkan rekapitulasi jumlah pemilih terdaftar Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008 yang dikeluarkan KPU setempat tanggal 23

(19)

September 2008 ditandatangani Ketua KPU Deli Serdang Drs M Yusri MSi. Dari 22 wilayah kecamatan se-Kabupaten Deli Serdang yang terdiri dari 394 desa dengan jumlah pemilih 1.180.431, telah ditetapkan sebanyak 2.611 Tempat Pemungutan Suara (TPS) termasuk rencana TPS khusus.85

Untuk Kecamatan Gunung Meriah yang terdiri dari 12 desa sebanyak 12 TPS dengan jumlah pemilih 1.874 orang. STM Hulu 20 desa (22 TPS) jumlah pemilih 7.480 orang. Sibolangit 30 desa (58 TPS) jumlah pemilih 14.675 orang. Kutalimbaru 14 desa, (79 TPS) jumlah pemilih 23.620. Pancur Batu 25 desa (124 TPS) jumlah pemilih 55.694 orang.86

Namorambe 36 desa (68 TPS) jumlah pemilih 21.371, Sibiru-Biru 17 desa (54 TPS) jumlah pemilih 21.855, STM Hilir 15 desa (70 TPS) jumlah pemilih 21.219. Bangun Purba 24 desa (43 TPS) jumlah pemilih 16.032. Galang 29 desa (93 TPS) jumlah pemilih 42.689. Tanjung Morawa 26 desa (287 TPS) jumlah pemilih 139.008. Patumbak 8 desa (100 TPS) jumlah pemilih 52.292. Deli Tua 6 desa (73 TPS) jumlah pemilih 37.223.87

Kecamatan Sunggal terdiri 17 desa dibagi dalam 359 TPS dengan jumlah pemilih 157.352. Hamparan Perak 20 desa (219 TPS) jumlah pemilih 96.229. Labuhan Deli 5 desa (91 TPS) jumlah pemilih 42.454. Kemudian Percut Sei Tuan dengan 20 desa (451 TPS) jumlah pemilih 238.553. Batang Kuis 11 desa (71 TPS) jumlah pemilih 37.282. Pantai Labu 19 desa (69 TPS) jumlah pemilih 27.870. Beringin 11 desa (71 TPS) jumlah pemilih 35.608. Lubuk Pakam 13 desa (134

85

Mandiri Online, Pemilih Pilkada Deli Serdang Lebih Banyak Perempuan, 7 Oktober 2008.

86

Ibid

87

(20)

TPS) jumlah pemilih 67.156 dan Kecamatan Pagar Marbau terdiri 16 desa (51 TPS) dengan jumlah pemilih 22.895.88

Pasal 59 ayat 2b point (4) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan bahwa: “Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen)”. Sebagai salah satu daerah yang jumlah penduduknya lebih dari 1.000.000, yakni dengan jumlah pendidik sebanyak 1.180.431 pemilih, maka untuk dapat lolos verifikasi sebagai calon independen atau calon perseorangan pada pilkada Deliserdang, setiap calon harus didukung oleh sekurang-kurangnya 3% dari 1.180.431 pemilih, yakni sebanyak 35.412 pemilih.89

Dari 504.818 suara sah pada Pilkada Deli Serdang, pasangan AZAN memperoleh 256.536 suara (51%) sedangkan posisi kedua ditempati pasangan Drs T. Akhmad Tala’a-Satrya Yudha Wibowo (PANTAS) dengan perolehan 86.895 suara (17%).

Dengan demikian jelas bahwa keempat calon yang berasal dari jalur independen dalam pilkada Deliserdang telah memperoleh dukungan sebagaimana yang telah disyaratkan oleh Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008.

90 88 Ibid 89 Ibid 90

(21)

Berdasarkan rekapitulasi KPU Deli Serdang, dari 546.431 surat suara yang masuk, sebanyak 504.818 surat suara dinyatakan sah. Sedangkan sisanya 41.613 surat suara tidak sah.91

Adapun hasil perhitungan akhir perolehan suara masing-masing pasangan Calon Bupati/Wakil Bupati Deli Serdang periode 2009/2014 berdasarkan nomor urut, pasangan No 1 H Sihabuddin, SE-Ir Suria Darma Ginting SP MM meraih 12.856 suara (3%), No 2 H Wagirin Arman-Hj Chairiah Sudjono Giatmo SE meraih 51.935 suara (10%), No 3 Saiful Anwar Ssos MSP-Sugito meraih 14.373 suara (3%), No 4 Drs T Achmad Talaa-Satrya Yudha Wibowo meraih 86.895 suara (17%).92

Pasangan No 5 Drs H Amri Tambunan–Zainuddin Mars Ssos meraih 256.536 suara (51%), No 6 Ruben Tarigan-Dedi Irwansyah SE meraih 42.687 suara (8%), No urut 7 Drs H Hasaidin Daulay-Drs H Putrama Alkhairi meraih 10.918 suara (2%), No 8 HM Suprianto-Dicky Zulkarnain SE meraih 13.545 suara (3%) dan No 9 Drs Rabu Alam Syahputra-Ir Rahmad Setia Budi MSc meraih 15.073 suara (3%).93

Rekapitulasi perhitungan suara selain dihadiri saksi dari pasangan calon, PPK juga dihadiri Sekdakab Deli Serdang Drs Azwar MSi, unsur Muspida Plus yang terdiri, Kapolres Deli Serdang AKB Mashudi SIK, Dandim diwakili Kapt Mudjiono, serta Elia Tarigan BA mewakili Ketua DPRD. Ketua KPU Deli Serdang M Yusri MSi didampingi Anggota Divisi Sosialisasi Ir

91 Ibid 92 Ibid 93 Ibid

(22)

Agusnedi mengatakan perhitungan rekapitulasi suara sudah berakhir dan 3 hari ke depan akan dilakukan penetapan hasil Pilkada. Usai perhitungan suara, seluruh saksi dimintakan untuk menandatangani berita acara penghitungan, namun hanya perwakilan 3 saksi yang membubuhkan tandatangannya.94

94

(23)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari pembahasan dalam tulisan ini, dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:

1. Pengaturan tentang pemilihan kepala daerah dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia sebelum reformasi diatur melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. Di dalam Undang-undang ini diatur bahwa Kepala Daerah dipilih oleh Pemerintah Pusat (dalam hal ini Presiden) setelah diajukan sedikitnya dua calon oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Setelah reformasi, melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, Kepala Daerah dipilih dengan sistem perwakilan (secara tidak langsung), yakni dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selanjutnya setelah berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum yang berlangsung dengan jujur, bebas, adil, dan rahasia, dan terakhir diatur dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 yang merupakan perubahan atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, yang di mengatur tentang calon independen dalam Pilkada.

(24)

2. Faktor-faktor penyebab lahirnya calon independen dalam pemilihan kepala daerah adalah: faktor keinginan masyarakat yang kecewa terhadap kinerja partai politik, faktor Pilkada DKI Jakarta yang menyuarakan diberlakukannya calon independen dan faktor Undang-undang tentang Pemerintahan Aceh yang di dalamnya memperbolehkan calon independen dalam Pilkada di Provinsi NAD.

3. Pelaksanaan calon perseorangan (independen) dalam Pemilihan Kepala Daerah di beberapa daerah telah terlaksana sesuai dengan apa yang digariskan oleh peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang calon independen. Kabupaten Deli Serdang salah satunya, telah melaksanakan pemilihan kepala daerah dengan mengikutsertakan empat calon kepala daerah dan wakil kepala daerah independen. Dengan demikian, adanya pengaturan tentang calon independen ini disambut baik oleh masyarakat dengan ikut sertanya calon independen dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Namun jika dirujuk pada hasil yang dicapai oleh calon independen, berbeda daerah satu dengan yang lainnya. Di Kabupaten Deli Serdang misalnya, calon independen tidak berhasil menjadi pemenang pada pilkada, yang menjadi pemenangnya merupakan calon yang diusulkan oleh partai politik. Berbeda dengan pilkada di Kabupaten Batubara, dimana calon independen berhasil memenangkan pilkada di Kabupaten Batubara

(25)

B. Saran

1. Sebaiknya pengaturan tentang pemilihan kepala daerah

2. Pemilihan gubernur oleh DPRD patut dipertimbangkan untuk menjadi pilihan dalam rangka menghemat proses demokrasi ke depan dengan pertimbangan bahwa posisi gubernur dalam kerangka implementasi konsep administrasi pemerintahan adalah kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah berupa kewenangan yang bersifat koordinatif antara daerah otonomi di tingkat kabupaten dan kota, serta kewenangan yang bersifat lintas kabupaten dan kota. Apalagi anggota-anggota DPRD itu seluruhnya terpilih melalui pemilu dari berbagai daerah yang ada di provinsi yang bersangkutan. Pemikiran ini tidak berarti mereduksi daerah provinsi sebagai suatu daerah otonomi, karena daerah provinsi juga tetap diberi kewenangan otonomi disamping kepanjangan tangan dari pemerintah pusat. Mekanisme pemilihan yang demikian dapat menghemat anggaran negara yang cukup besar dan masih berada dalam ruang lingkup dan koridor konstitusi serta masih sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. 3. Perlu ditata kembali mekanisme pemilihan umum secara keseluruhan

dengan melakukan konsolidasi dan pemisahan antara dua jenis pemilihan yaitu pemilihan pejabat di tingkat nasional dalam satu waktu secara bersamaan dan pemilihan bupati dan walikota serta DPRD (provinsi dan kabupaten/kota) secara bersamaan dalam waktu yang lain. Sehingga selama lima tahun hanya ada dua pemilihan yaitu pemilihan pejabat di tingkat pusat, yaitu DPR, DPD dan Presiden-Wakil Presiden, dan

(26)

pemilihan tingkat lokal yaitu pemilihan DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi serta pemilihan Bupati dan Walikota. Pemilu untuk memilih pejabat tingkat nasional dapat dikurangi hanya menjadi dua putaran saja, yaitu putaran pertama untuk pemilu legislatif yang dilangsungkan secara bersamaan dengan pemilihan presiden putaran pertama, sedangkan putaran kedua untuk memilih dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua jika dalam putaran pertama tidak ada pasangan yang mencapai mayoritas mutlak. Demikian juga Pilkada Bupati Walikota, untuk efisiensi harus dihindari adanya pilkada 2 putaran dengan mempergunakan mekanisme yang sama dengan Pilpres. Mekanisme inipun masih tetap dalam koridor demokrasi dan ketentuan konstitusi.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan data diatas dengan menggunakan perhitungan rumus N-Gain, dapat dilihat pada soal nomor 4 dengan indikator (Siswa dapat menyimpulkan isi bacaan teks) terlihat

Tabel 4.16 Tabel Probabilitas Transisi Status Mesin Bucket

Berikut adalah metode yang dapat meringankan gejala: tambahkan jus dari 1 jeruk lemon dengan secangkir air panas dengan madu dan minum sekaligus, lakukan setiap 2 jam sampai reda

56 Berdasarkan ciri-ciri distribusi Weibull yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya distribusi Weibull dicirikan dengan ketiga parameternya

Pejabat Pengadaan Barang / Jasa Bidang Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum dan ESDM Kabupaten

Specifically, research results indicate there are five antecedents of whistle- blowing intention among lower-level civil servants in Indonesia labelled: the attitude toward

[r]

Sehubungan dengan Proses Pengadaan Barang/ Jasa pada Dinas Pendidikan Aceh Tahun Anggaran 2013, maka dengan ini kami mengundang Saudara(i) direktur(is) dan didampingi staf teknis