• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR ISI. HALAMAN SAMPUL DEPAN... i. HALAMAN SAMPUL DALAM... ii. HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM... iii

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAFTAR ISI. HALAMAN SAMPUL DEPAN... i. HALAMAN SAMPUL DALAM... ii. HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM... iii"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

   

HALAMAN SAMPUL DEPAN ... i

HALAMAN SAMPUL DALAM ... ii

HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... v

HALAMAN PERSYARATAN KEASLIAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... xi

ABSTRAK ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 4

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 9

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 10

1.4 Orisinalitas Penelitian ... 10 1.5 Tujuan Penelitian ... 11 1.5.1 Tujuan Umum ... 11 1.5.2 Tujuan Khusus ... 12 1.6 Manfaat Penelitian ... 12 1.6.1 Manfaat Teoritis ... 12 1.6.2 Manfaat Praktis ... 13 1.7 Landasan Teoritis ... 13

(2)

1.8 Metode Penelitian ... 19

1.8.1 Jenis Penelitian ... 19

1.8.2 Jenis Pendekatan ... 20

1.8.3 Sumber Data ... 21

1.8.4 Teknik Pengumpulan Data ... 22

1.8.5 Teknis Analisis Bahan Hukum ... 23

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG INTERVENSI MILITER DALAM KONFLIK BERSENJATA DI YAMAN 2.1 Negara Yaman ... 24

2.1.1 Sejarah terbentuknya Negara Yaman ... 24

2.1.2 Latar Belakang Lahirnya Pemberontak Houthi ... 27

2.1.3 Penyebab Terjadinya Konflik Bersenjata Antara Pemerintah Yaman Dan Pemberontak Houthi ... 30

2.2 Intervensi ... 33

2.2.1 Pengertian Intervensi ... 33

2.2.2 Intervensi Kemanusiaan ... 39

2.2.3 Intervensi Militer ... 42

2.2.4 Sebab – Sebab Negara Melakukan Intervensi ... 47

2.3 Konflik Bersenjata ... 49

2.3.1 Pengertian Konflik Bersenjata ... 49

2.3.2 Jenis – Jenis Konflik Bersenjata ... 51

2.3.3 Pengaturan Konflik Bersenjata Dalam Konvensi Jenewa 1949 Dan Protokol Tambahan 1977 ... 54

(3)

BAB III LANDASAN HUKUM INTERVENSI MILITER KOALISI SAUDI ARABIA DALAM KONFLIK BERSENJATA DI YAMAN

3.1 United Nation Charter (Piagam PBB) ... 59 3.1.1 Pemberlakuan Pasal 51 Piagam PBB Dalam Intervensi Militer

Koalisi Saudi Arabia Dalam Konflik Bersenjata Di Yaman ... 60 3.1.2 Sistem Keamanan Kolektif Atas Otoritas Dewan Keamanan

Berdasarkan Bab VII Piagam PBB ... 66 3.2 The Charter Of The Arab League (Piagam Liga Arab) ... 72

3.2.1 Pengaturan Collective Self Defense Dalam Piagam Liga Arab ... 73 3.2.2 Kebijakan Pengambilan Keputusan Negara – Negara Liga Arab

Berdasarkan The Charter Of The Arab League (Piagam Liga Arab) ... 77 3.2 Pemberian Bantuan Militer Berdasarkan Perjanjian Pertahanan Bersama

dan Kerjasama Ekonomi Antara Negara – Negara Liga Arab (Treaty Of

Join Defense And Economic Coorperation Between The States Of Arab League) ... 80

3.2 Doktrin Responsibility To Protect ... 83

BAB IV BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA PENDUDUK SIPIL AKIBAT INTERVENSI MILITER KOALISI SAUDI ARABIA DI YAMAN

4.1 Ketentuan Tentang Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Konflik

(4)

4.1.1 Perlindungan Penduduk Sipil Berdasarkan Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 Dan Protokol Tambahan I Dan II Tahun 1977 ... 91 4.1.2 Perlindungan Penduduk Sipil Berdasarkan International

Covenant On Civil And Political Rights (ICCPR) ... 97

4.1.3 Prinsip Pembedaan (Distinction Principle) ... 102 4.2 Peran Perserikatan Bangsa – Bangsa Dalam Memberikan Perlindungan

Hukum Kepada Penduduk Sipil Yaman ... 107 4.2.1 Resolusi Perserikatan Bangsa – Bangsa Nomor 2216 Tahun 2015

Tentang Konflik Yaman ... 108 4.2.2 Penyaluran Bantuan Kemanusiaan Melalui Organisai– Organisasi

Internasional Perserikatan Bangsa - Bangsa ... 111 4.2 Perlindungan Yang Diberikan Oleh The International Committee Of

Red Cross ( ICRC) ... 116

4.2 Penegakan Hukum Melalui International Criminal Court (ICC) Terhadap Pelanggaran Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Konflik Bersenjata di Yaman ... 124 BAB X PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 136 5.2 Saran ... 137 DAFTAR PUSTAKA        

(5)

ABSTRAK

Konflik bersenjata yang berkepanjangan di Yaman antara pemberontak Houthi dengan Pemerintah, mencapai puncaknya ketika Houthi mengambil alih pemerintahan yang resmi dan menggulingkan Mansour Hadi dari tanjuk kepemimpinan sebagai presiden. Atas dasar keinginan untuk melindungi kedaulatan, keamanan serta keselamatan negaranya, Mansour Hadi meminta bantuan kepada PBB serta Liga Arab untuk membantu mengatasi pemberontak Houthi, yang kemudian di respon oleh negara – negara liga Arab, dengan melakukan intervensi militer yang dipimpin oleh Saudi Arabia dengan melakukan penyerangan udara ke basis pertahanan Houthi. Intervensi militer yang telah dilakukan selama hampir 2 tahun ini telah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa terbanyak dari penduduk sipil mencapai 10.000 tewas dan 40.000 luka – luka. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan mengenai landasan hukum atas intervensi militer koalisi Saudi Arabia tersebut beserta bentuk perlindungan hukum kepada penduduk sipil dalam konflik bersenjata di Yaman.

Penelitian ini disusun dengan metode penelitian hukum normatif. dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undang, yang dalam hal ini menganalisa instrument – instrument internasional yang relevan dan pendekatan kasus, dimana akan menelaah kasus – kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi. Jenis bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder dan testier.

Berdasarkan hasil penelitian skripsi ini, landasan hukum intervensi militer koalisi Saudi Arabia dalam konflik bersenjata di Yaman, didasarkan pada Pasal 51 Piagam PBB yang dibenarkan atas dasar self defense dan bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada penduduk sipil Yaman yaitu berupa instrument – instrument yuridis, bantuan kemanusiaan dan penegakan hukum melalui pengadilan pidana internasional. Walaupun penggunaan self defense di benarkan melalui Pasal 51 Piagam PBB, akan tetapi perlu adanya pembatasan dan penafsiran yang jelas dari para ahli hukum internasional tentang Pasal 51 Piagam PBB tentang definisi self defense. Dan untuk memberikan perlindungan dan keadilan bagi penduduk sipil dalam konflik bersenjata, mewajibkan adanya penengakan hukum berupa upaya paksa seperti sanksi – sanksi dan penuntutan internasional yang jelas, tegas dan transparan atas pelanggaran prinsip pembedaan (distinction principle) kepada para pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata,

Kata kunci : Intervensi militer, Konflik bersenjata, Pasal 51 Piagam PBB, self defence, prinsip pembedaan, perlindungan hukum, penduduk sipil yaman.

(6)

ABSTRAK

Prolonged armed conflict in Yemen between Houthi rebels and the Government reaches its peak when the Houthis took over the official government and overthrow Mansour Hadi from his position as president. On the basis of a desire to protect the sovereignty, security and safety of the country, Mansour Hadi asked for help from UN and Arab League to deal with the Houthi rebels, where later was responded by the member states of Arab League. A military intervention in the form of air strike was led by Saudi Arabia to the Houthi defense base. Military intervention which has been carried out for nearly two years has resulted in the collapse of the largest number of victims from the civilian population by 10,000 death toll and 40,000 wounded. This then raises the question of the legal basis on military intervention of Saudi Arabia coalition as well as the form of legal protection to the civilian population in the armed conflict in Yemen.

This thesis was conducted by the normative legal research method by using law and regulation approach. In this case, the researcher analyzed the relevant international instruments and case approach where the cases related to the issue at hand were examined. The type of legal material used was primary, secondary and testier.

Based on the results of thesis, the legal basis for military intervention of Saudi Arabia coalition in the armed conflict in Yemen, based on Article 51 of the UN Charter in which it is justified on the grounds of self defense and form of legal protection given to the civilian population of Yemen in the form of judicial instruments, humanitarian aid and law enforcement through the international criminal court. Although the use of self defense is justified by Article 51 of the UN Charter, but there needs to be a clear restriction and interpretation from the international jurist on the definition of self defense. And to provide protection and justice for the civilian population in armed conflicts, it requires a legal law enforcement in the form of Coercive acts such as a clear and transparent sanction and international prosecution for the breach of distinction principle to the parties involved in armed conflict,

Keywords: Military intervention, Armed conflict, Article 51 of the UN Charter, self-defense, distinction principle, legal protection, civilian population of Yemen.

   

(7)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Yaman merupakan salah satu negara di Timur Tengah yang terkena dampak dari adanya gerakan Revolusi Arab atau yang dikenal dengan sebutan

Arab Spring.1 Dimana gerakan Revolusi Arab ini dilakukan melalui aksi unjuk rasa rakyat secara besar–besaran dengan menentang pemerintahan yang terindikasi melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, kesenjangan sosial, pemilu yang tidak sehat serta krisis ekonomi yang melanda negara tersebut.2 Dampak yang timbul cukup signifikan dengan menggulingkan rezim penguasa dan melakukan perlawanan yang telah menelan banyak korban jiwa. Akan tetapi apabila melihat keadaan Yaman sebelum menjadi Republik Yaman, konflik di negara ini sudah sering terjadi, melihat sejarah dari pembentukan negara Yaman itu sendiri yang menggabungkan Yaman Selatan dan Yaman Utara pada tanggal 22 Mei 1990 serta memilih seorang presiden bernama Ali Abdullah Saleh sebagai presiden pertamanya.3

Sejak bergabungnya Yaman Utara dan Selatan, suhu perpolitikan di Yaman semakin meningkat. Sistem demokrasi menuntut adanya partai politik dan                                                                                                                

1 Liputan6.website, 2013, 5 Penguasa Yang Terguling Dalam Arab Spring,

available at URL: http://global.liputan6.com/read/634262/5-penguasa-yang-terguling-dalamarab-spring, diakses pada tanggal 15 Februari 2016.

2 Kompasiana website, 2013, Apa Itu Revolusi Arab, available at URL :

http://www.kompasiana.com/abufakhri/apa-itu-revolusi-arab_552ca7026ea834d5318b45d6, diakses pada tanggal 15 Februari 2016.

3 Viva.website, 2009, Penyatuan Yaman, Setelah 150 Tahun Terpisah, Yaman Utara dan

Yaman Selatan Bersatu, available at URL : http://dunia.news.viva.co.id/news/read/59799-penyatuan_yaman , diakses pada tanggal 15 Februari 2016.

(8)

parlemen. Saat itulah Ittihad Asy-Syabab menjelma menjadi partai politik dengan nama baru Partai Al-Haq (Hizbul Haq) sebagai penyambung aspirasi Syiah Zaidiyah di Republik Yaman. Dari partai itu juga muncul seorang kadernya yang bernama Husein bin Badruddin Al-Houthi, anak dari Badrudin Al-Houthi. Ia menjadi seorang politisi yang terkenal dan menjadi anggota parlemen (DPR) Yaman pada 1993-1997 dan 1997-2001.4 Husein Bin Badruddin Al-Hauthi mengundurkan diri dari ke partaian Al-Haq yang kemudian mendirikan gerakan Al-syabab Al-Mukmin (gerakan pemuda mukmin) tujuan dibentuknya gerakan pemuda ini untuk melawan kelompok beraliran Wahhabi di Sana’a, dan di dukung penuh oleh Presiden Ali Abdullah Saleh.

Pada tahun 2004, terjadilah demonstrasi besar-besaran. Orang-orang Houthi dipimpin oleh Husein Al-Houthi turun ke jalan menentang sikap pemerintah yang mendukung ekspansi Amerika ke Irak. Pemerintah Yaman merespon demonstrasi tersebut dengan sikap represif. Dalam demonstrasi tersebut orang-orang Houthi menyuarakan Mahdi di tengah-tengah mereka bahkan kenabian pun ada pada mereka. Sejak saat itulah pemerintah Yaman menanggapi gerakan Houthi dan Syiah secara serius. Penangkapan anggota Houthi dan penyitaan senjata-senjata mereka pun digelar besar-besaran. Tidak hanya itu, pemerintah menginstruksikan untuk membunuh Pemimpin Houthi, Husein Badruddin al-Houthi.5 Setelah pemimpin gerakan ini Husein Badruddin Al Houthi terbunuh, saudaranya yg bernama Abdul Malik Houthi menggantikan posisinya. Ia mempopulerkan nama                                                                                                                

4 Kisahmuslimah.website, 2016, Seperatis Houthi Dan Revolusi Syiah Di Yaman, available

at URL:https://kisahmuslim.com/4595-separatis-houthi-dan-revolusi-syiah-di-yaman.html, diakses tanggal 15 Februari 2016.

(9)

Al Houthi sebagai nama gerakannya dan mengalami kemajuan perjuangan yang signifikan,6 hal ini menyebabkan kekuatiran yang besar bagi pemerintahan Ali Abdullah Saleh. Menurut pemerintah gerakan Al- Houthi akan menimbulkan kendala besar terhadap berjalannya pemerintahan di Yaman. Oleh karena itu langkah pertama yang dilakukan pemerintah Ali Abdullah Saleh adalah mencap kelompok Syi’ah Al-Houthi sebagai kelompok pemberontak. Langkah pertama yang diambil pemerintah ini bertujuan untuk mendapatkan perhatian negara – negara lain untuk membantu pemerintah Yaman dalam upaya meredam aksi kelompok Al-Houthi.

Pertikaian antara kelompok Houthi dengan pemerintahan Abdullah Saleh terus bergejolak, dimana kelompok pemberontak Al–Houthi telah berhasil mengusai bangunan–bangunan milik pemerintah, serta melakukan pemblokiran terhadap jalan–jalan utama yang menghubungkan Yaman Utara dengan daerah– derah lainnya. Pada tanggal 19 Desember 2009 , perundingan gencatan senjata pun dilakukan antara pemerintah Yaman dengan pemberontak houthi yang dimediasi oleh delegasi Qatar di Doha. Akan tetapi perundingan damai ini tetap tidak membuahan hasil.

Pada tanggal 27 Januari 2011, gelombang protes mencapai Yaman. Warga menuntut turunnya Presiden Yaman saat itu, Ali Abdullah Saleh. Protes-protes yang terjadi menimbulkan banyak korban jiwa. Sampai Presiden Ali Abdullah Saleh mundur dari jabatan, korban jiwa dari warga sipil telah mencapai 2.000                                                                                                                

6 Muslimedianews.website, 2014, Sejarah Konflik Yaman, available at URL : http://

www.muslimedianews.com/2014/11/sejarah-konflik-yaman-hinggakonflik.Html#ixzz40mBBf0Oe diakses tanggal 15 Februari 2016.

(10)

orang lebih.7 24 Februari 2012, Presiden Ali Abdullah Saleh resmi mundur dari jabatan Presiden Yaman. Pihak oposisi kemudian menunjuk Wakil Presiden Abdul Rabbo Mansour Hadi untuk menggantikannya.

Pada bulan Januari 2015, krisis politik yang begitu kompleks dan panjang di Yaman meningkat menjadi konflik bersenjata besar–besaran,8 antara pasukan pemerintah dan pemberontak Houthi. Situasi di Yaman semakin memburuk setelah pemberotak Houthi telah mengambil alih sebagian besar wilayah–wilayah di Yaman, termasuk ibukota Yaman, Sana’a dan mengepung istana kepresidenan hingga membuat orang nomor satu di Yaman ini terpenjara di kediamannya. Atas situasi tersebut, Presiden Hadi mengumumkan pengunduran dirinya dan mengirimkan surat pengunduran dirinya kepada parlemen menyatakan bahwa ia tidak bisa melanjutkan kepemimpinannya setelah Houthi gagal untuk menghormati kesepakatan damai. Parlemen dikabarkan telah menolak untuk menerima pengunduran diri itu.9

Akan tetapi, secara mengejutkan Presiden Hadi berhasil lolos dan muncul di kota Aden, yang pernah menjadi ibu kota Yaman Selatan. Di kota itu presiden Hadi menjalankan kembali tugas kenegaraannya dan menyebut semua yang dilakukan milisi Houthi tidak sah. Seorang pembantu Mansour Hadi mengatakan sang presiden sudah mengirimkan surat kepada parlemen Yaman yang berisi                                                                                                                

7 Okezone.website, 2015, Kronologi Konflik Yaman Hingga Kini, available at URL :

http://news.okezone.com/read/2015/03/28/18/1125649/kronologi-konflik-yaman-hingga-kini, diakses tanggal 15 Februari 2016.

8 Crisisgroup.website, 2015, The Huthis From Saada To Sanaa, available at URL :  

http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/Middle%20East%20North%20Africa/Iran%20Gulf/Yem en/154-the-huthis-from-saada-to-sanaa.pdf diakses pada tanggal 15 Februari 2016.

9 Law5211.website, 2016, Yemen, available at URL : https://law5211.wordspress.com/tag/

(11)

pembatalan pengunduran dirinya, yang sebenarnya secara formal belum disetujui.10

Pada tanggal 25 Maret 2015, Presiden Hadi menulis surat dan meminta Dewan Keamanan PBB untuk menberikan ijin kepada negara–negara yang bersedia membantu Yaman untuk memberikan dukungan langsung bagi pemerintah Yaman yang sah dengan segala cara dan langkah-langkah untuk melindungi Yaman dari agresi militer Houthi, dan menteri luar negeri Yaman, Riad Yassin meminta bantuan militer dari negara-negara anggota Dewan Kerjasama Teluk Persia (gulf coorperation council) didasarkan pada doktrin pertahanan diri (self-defense) di bawah Pasal 51 dari piagam PBB.11 Adapun sebagian isi surat yang diajukan Presiden Hadi ke Dewan Keamanan PBB adalah sebagi berikut :

“...I urge you, in accordance with the right of self-defence set forth in Article 51 of the Charter of the United Nations, and with the Charter of the League of Arab States and the Treaty on Joint Defence, to provide immediate support in every form and take the necessary measures, including military intervention, to protect Yemen and its people from the ongoing Houthi aggression, repel the attack that isexpected at any moment on Aden and the other cities of the South, and help Yemen to confront Al-Qaida and Islamic State in Iraq and the Levant. ” 12

                                                                                                               

10 Kompas.website, 2015, Lolos Dari Tahanan Rumah Presiden Yaman Tarik Pengunduran

Diri, available at URL : http://internasional.kompas.com/read/2015/02/24/21105671/Lolos.dari. Tahanan.Rumah.Presiden.Yaman.Tarik.Pengunduran.Diri, diakses pada tanggal 15 Februari 2016.

11  Law5211.website, op.cit.  

12 Securitycouncilreport.website, 2015, Security Council Report, S/2015/217, available

at URL : http://www.securitycouncilreport.org/atf/cf/%7B65BFCF9B-6D27-4E9C-8CD3-CF6E4FF96FF9%7D/s_2015_217.pdf, diakses pada tanggal 15 Februari 2016.

(12)

Keesokan harinya, tanggal 26 Maret 2016, Sebanyak lima negara Teluk, yaitu Qatar, Kuwait, Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi, menyatakan memutuskan menjawab permintaan Hadi untuk melindungi Yaman dan rakyat negara itu dari agresi milisi Houthi. Dengan Arab Saudi sebagai pemimpin serangan dengan mengerahkan 150.000 personel infantri ke perbatasan. Tak hanya itu, raja Salman juga menerbangkan 100 jet tempur untuk melakukan serangkaian serangan udara ke kota Sanaa, lokasi utamanya yang dicurigai menjadi basis pertahanan Houthi dengan dalih merupakan upaya untuk membela dan mendukung pemerintah yang sah dari Yaman dan mencegah gerakan radikal Houthi mengambil alih negara itu.

Intervensi militer Saudi Arabia dan koalisinya yang terus memborbadir daerah Yaman, menuai pro dan kontra diberbagai kalangan, khususnya negara Iran yang menyatakan bahwa penyerangan yang dilakukan Saudi Arabia dan koalisinya telah melanggar hukum internasional, tapi dilain pihak bahwa apa yang dilakukan Saudi Arabia dan koalisinya secara sah dibenarkan dikarenakan atas permintaan resmi dari pemerintahan Yaman yang berdaulat, dengan dasar mengutip Pasal 51 United Nation Charter (Piagam PBB) yang menyebutkan, hak individu atau kolektif untuk membela diri terhadap serangan bersenjata sebagai pembenaran hukum.13

                                                                                                               

13 Pasal 51 Piagam PBB : “Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of

individual or collective self-defence if an armed attack occurs against a Member of the United Nations, until the Security Council has taken measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by Members in the exercise of this right of self-defence shall be immediately reported to the Security Council and shall not in any way affect the authority and responsibility of the Security Council under the present Charter to take at any time such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and security.”

(13)

Tindakan pemboman melalui udara yang dilakukan koalisi Saudi Arabia tidak serta merta telah melalui prosedur yang benar. Permasalahannya adalah bahwa koalisi yang dipimpin Saudi Arabia terbentuk tanpa otoritas Dewan Keamanan PBB dan tanpa memperhatikan mekanisme hukum. Walaupun penyerangan tersebut didasarkan adanya permintaan bantuan dari pemerintah Yaman, akan tetapi Pasal 51 piagam PBB membolehkan tiap negara melancarkan pembelaan diri bila terjadi serangan bersenjata sampai Dewan Keamanan PBB mengambil tindakan nyata guna memulihkan keamanan dan perdamaian. Jadi, tindakan self defense, bila dilakukan harus segera dilaporkan kepada Dewan Keamanan, setelah itu PBB akan mengkoordinasikan semua langkah– langkah untuk memulihkan keadaan tersebut.14 Sehingga intervensi militer yang dilakukan koalisi Saudi Arabia di Yaman , dianggap bertentangan dengan Piagam PBB Pasal 39, 41, 42 dan 51 yang mengharuskan adanya resolusi Dewan Keamanan PBB sebelum serangan ke Yaman dilakukan.

Intervensi itu sendiri jelas dilarang menurut hukum internasional. Dengan menerapkan prinsi non intervensi yang terdapat dalam piagam PBB Pasal 2 ayat 7 yang pada dasarnya melarang suatu negara untuk mencampuri urusan dalam negeri negara lain dalam bentuk apapun. Akan tetapi, terhadap kasus–kasus tertentu tindakan intervensi ini dilakukan bukan sebagai tindakan pembelaan diri semata, tetapi juga atas dasar adanya persetujuan dari pemerintah yang sah,15                                                                                                                                                                                                                                                                                                                

14Pustakahpikemlu website, 2011, interdiksi dan hak mempertahankan diri, availabel at

URL:

http://pustakahpi.kemlu.go.id/app/Volume%203,%20September-Desember%202011_29_41. diakses pada tanggal 15 Februari 2016.

15 J.G. Starke, 2010, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika,

(14)

seperti yang terjadi di Yaman. Alasan lain untuk melakukan suatu intervensi adalah dengan menerapkan prinsip intervensi kemanusiaan (humanitarian

intervension). Intervensi kemanusiaan selalu memiliki potensi menjadi alat

penguasa untuk campur tangan dalam urusan kaum yang lemah, dengan pertimbangan kemanusiaan sebagai tameng untuk membenarkan intervensi tersebut.16

Walaupun menuai pro dan kontra, akan tetapi koalisi Saudi Arabia tetap melakukan penyerangan melalui udara. Keikutsertaan negara Yaman sebagai anggota dalam Liga Arab, mengharuskan organisasi regional kawasan Timur Tengah ini, mengambil tindakan collective self defence sesuai yang tercantum dalam Piagam Liga Arab, sebagai hak yang diberikan kepada organisasi regional untuk mengambil tindakan termasuk didalamnya adalah dengan menggunakan kekuatan militer untuk menjaga keamanan dan perdamaian di wilayah regionalnya. Dengan dalil tersebutlah mereka membenarkan tindakan intervensi militer.

Sejak dilakukannya intervensi militer koalisi Saudi Arabia di Yaman, setidaknya menurut laporan PBB, hampir 6.000 orang telah tewas. Dari angka itu, hampir setengah darinya adalah warga sipil.17 PBB mengungkapkan kekhawatiran atas pelanggaran hukum humaniter internasional dan HAM di Yaman serta

                                                                                                               

16 Eve Massingham, 2009, Intervensi Militer Untuk Tujuan Kemanusiaan, International

Review of The Red Cross, volume 91 number 876, h.26.

17 Sindonews website, 2016, Parlemen Eropa Serukan Embargo Senjata Terhadap Saudi

Arabia, available at URL : http:// international. sindonews.com/ read/1088370/41/ parlemen-eropa-serukan-embargo-senjata-terhad ap-saudi-1456412132, diakses pada tanggal 16 Februari 2016.

(15)

menyinggung tentang hancurnya infrastruktur berbagai kota dan warisan bersejarah di negara Arab ini.

Saudi Arabia dan sebagian negara koalisinya, merupakan negara - negara yang tercatat telah meratifikasi Konvensi Den Haaq 1907, konvensi Jenewa 1949 serta Protokol tambahan I dan II 1977,18 sudah barang tentu memahami segala bentuk aturan dan mentaati perjanjian yang telah dibuat bersama beserta konsekuensi apabila terjadi pelanggaran yang dilakukan negara–negara tersebut. Landasan hukum yang jelas dan benar diperlukan untuk mengetahui apakah tindakan intervensi militer koalisi Saudi Arabia dibenarkan secara hukum internasional dan hukum humaniter internasional.

Apabila melihat data di atas, maka timbul suatu pertanyaan, apakah intervensi militer yang dilakukan Saudi Arabia serta koalisinya di Yaman telah memenuhi prosedur dan landasan hukum yang benar ? serta bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi penduduk sipil Yaman sejak koalisi Saudi Arabia terlibat dalam konflik bersenjata di Yaman ?.

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas, penulis tertarik

untuk mengangkat kasus tersebut dalam bentuk karya tulis yang berjudul “ TINJAUAN YURIDIS INTERVENSI MILITER KOALISI SAUDI

ARABIA DALAM KONFLIK BERSENJATA DI YAMAN ”

                                                                                                               

18 ICRC website, 2016, annual report map, available at URL :

https://www.icrc.org/por/assets/files/annual-report/current/icrc-annual-report-map-conven-a3.pdf, diakses pada tanggal 16 Februari 2016.

(16)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar belakang masalah tersebut diatas, maka penulis mengangkat 2 (dua) pokok masalah dalam pembahasan karya tulis ini, yaitu :

1. Apakah landasan hukum intervensi militer koalisi Saudi Arabia dalam konflik bersenjata di Yaman ?

2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi penduduk sipil atas intervensi militer koalisi Saudi Arabia dalam konflik bersenjata di Yaman ?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Dalam hal penulisan suatu karya ilmiah, diperlukan batasan–batasan yang tegas dan jelas pada pembahasan materi sehingga menghindari penyimpangan materi yang keluar dari pokok masalah yang disampaikan. Untuk itu, pembahasan dalam skripsi akan dibatasi ruang lingkupnya sebagai berikut :

1. Secara umum akan diuraikan sejarah Republik Yaman dan siapa sebenarnya suku Houthi serta penyebab terjadinya konflik bersenjata di Yaman serta mengidentifikasikan konflik bersenjata tersebut.

2. Akan dibahas mengenai ketentuan–ketentuan dalam hukum humaniter yang berhubungan dengan aksi intervensi militer koalisi Saudi Arabia beserta sumber hukum internasional berupa : perjanjian internasional, kebiasaan internasional, prinsip–prinsip hukum umum dan pendapat para ahli sarjana yang telah diakui.

(17)

3. Menguraikan mengenai ketentuan–ketentuan yang berhubungan dengan perlindungan penduduk sipil Yaman, akibat–akibat yang ditimbulkan, adanya dugaan pelanggaran kejahatan kemanusiaan dan tanggapan serta tindakan Perserikatan Bangsa Bangsa dalam melindungi penduduk sipil Yaman atas intervensi militer tersebut.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Guna menghindari plagiarisme, dengan ini penulis menyatakan bahwa usulan penelitian yang berjudul Tinjauan Yuridis Intervensi Militer Koalisi Saudi Arabia Dalam konflik Bersenjata di Yaman adalah sepenuhnya hasil karya dari pemikiran dan tulisan oleh penulis sendiri serta belum pernah dipublikasikan sebelumnya. Untuk bahan perbandingan dan referensi, Penulis menggunakan 2 (dua) skripsi, sebagai berikut :

No Judul Skripsi Penulis Rumusan Masalah

1 Tinjauan Hukum

Humaniter Mengenai Perlindungan Hak Asasi Manusia Bagi Personil Militer yang

Menjadi Tawanan

Perang

Ivan Donald

Girsang

1. Apa saja jenis–jenis Hak Asasi Manusia yang dimiliki oleh seorang personel militer yang menjadi tawanan perang ? 2. Bagaimana Perlindungan

Hak Asasi Manusia bagi personil militer yang menjadi tawanan perang dari segi hukum humaniter internasional ?

(18)

2 Resolusi Dewan Keamanan PBB Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Internasional Dalam Perspektif Hukum Internasional I Komang Oka Dananjaya

1. Bagaimana status hukum dari Resolusi DK PBB

dalam Hukum

Internasional ?

2. Bagaimana kekuatan mengikat secara hukum dari Resolusi DK PBB dalam menyelesaikan sengketa Internasional ?

1.5. Tujuan Penelitian

1.5.1 Tujuan umum

1. Melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggu, khususnya pada bidang penelitian yang dilakukan oleh Mahasiswa.

2. Untuk memenuhi dan melengkapi tugas sebagai persyaratan pokok bersifat akademis guna mencapai gelar Sarjana Hukum

3. Sebagai usaha melatih diri dalam menyatakan buah pikiran secara tertulis, sistematis, dan ilmiah.

4. Mengembangkan ilmu Pengetahuan hukum dan merealisasikannya dalam kehidupan masyarakat.

1.5.2 Tujuan khusus

1. Untuk menganalisis landasan hukum apa saja yang diberlakukan dalam intervensi militer koalisi Saudi Arabia dalam konflik bersenjata di Yaman.

(19)

2. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi penduduk sipil di Yaman atas intervensi militer tersebut.

1.6. Manfaat penelitian

1.6.1 Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang mendasar serta penelaahan secara mendalam apa yang sebenarnya menjadi penyebab dilakukannya intervensi militer koalisi Saudi Arabia dan legalitas intervensi militer tersebut apakah sudah sesuai dengan landasan hukum yang berlaku dalam hukum internasional, serta bentuk–bentuk perlindungan hukum yang diberikan terhadap penduduk sipil yang menjadi korban konflik bersenjata di Yaman.

1.6.2 Manfaat praktis

1. Bagi pihak–pihak yang peduli akan perkembangan hukum internasional, khususnya hukum humanitarian internasional, penulisan ini diharapkan dapat memberikan gambaran– gambaran secara yuridis apa yang sebenarnya sedang terjadi di negara Yaman.

2. Bagi institusi pendidikan, diharapkan dapat memberikan pengetahuan tambahan dan rujukan akademis bagi siapa saja yang ingin mengetahui batasan–batasan apa saja yang

(20)

diperbolehkan dan bilamana dapat melakukan intervensi milter ke suatu negara yang berdaulat.

3. Bagi penulis, manfaat praktis yang dapat diperoleh yaitu menambah pengetahuan, pemahaman, penerapan serta dapat menganalisis suatu permasalahan hukum yang sedang terjadi sehingga kedepannya penulis dapat dengan mudah melakukan penelitian dengan permasalahan yang berbeda.

1.7. Landasan teoritis

Landasan teori sangat penting dipergunakan dalam mendukung pembuatan suatu penelitian terutama penulisan skripsi, hal ini berguna sebagai landasan serta acuan penulis dalam memecahkan permasalahan melalui teori–teori hukum, asas– asas hukum, doktrin hukum dam ulasan pakar hukum berdasarkan pembidangan kekhususannya. Adapun teori yang dipakai adalah sebagai berikut :

a. Asas Pacta Sunt Servanda

Perjanjian Internasional mengikat negara–negara pihak pada perjanjian berdasarkan prinsip pacta sunt servanda, yaitu prinsip yang mewajibkan negara–negara untuk mentaati dan menghormati pelaksanaan perjanjian tersebut.19 Dalam Konvensi Wina 1969 tentang hukum perjanjian internasional, Pasal 26 menegaskan asas pacta sunt servanda, bahwa setiap perjanjian yang telah memiliki kekuatan mengikat terhadap

                                                                                                               

(21)

para pihak, maka para pihak yang bersangkutan harus menghormati perjanjian tersebut dengan penuh itikad baik.20

Sehingga penerapan asas pacta sunt servanda ini terkait dengan perjanjian–perjanjian internasional yang berhubungan langsung dalam pelaksanaannya dengan permasalahan yang terjadi di negara Yaman.

b. Prinsip Pembelaan Diri ( Self Defence )

Prinsip Pembelaan diri atau biasa disebut self defence merupakan istilah dalam hukum internasional yang berlaku sejak lama sebagai bagian dari kebiasaan internasional. Tindakan self defence dalam hukum kebiasaan internasional pertama kali terjadi pada tahun 1837, Saat itu terjadi penembakan di kapal milik warga Amerika Serikat Caroline oleh angkatan bersenjata Inggris yang kemudian membakar kapal tersebut, dan ditambatkan disisi sungai Niagara. Penembakan itu dilakukan karena kapal tersebut diduga memberikan bantuan kepada para pemberontak di Kanada.21

Penembak yang merupakan seorang warga negara Inggris bernama McLeod, dituduh melakukan pembunuhan dan perbuatan tidak sah dengan menembak kapal tersebut.22 Dalam komunikasi yang dijalin antara menteri luar negeri Amerika Serikat dengan pemerintah Inggris pada waktu itu,                                                                                                                

20 I Wayan Parthiana, 2002, Hukum Perjanjian Internasional Bagian 1, Mandar Maju,

Bandung, (selanjutnya disingkat I Wayan Parthiana I), h. 59.

21 Antony Clark Arend, 2003, International Law and The Preemptive Use of Military Force,

The Center for Strategic and International Studies and The Massachusetts Institute of Technology, The Washington Quartely, h.90

22 En.wikipedia website, 2016, Caroline Affair, available at URL : https://en.wikipedia.org/

(22)

berujung pada kesimpulan bahwa tindakan Inggris dikategorikan sebagai

the nescessity of self defence and preservation. Inggris mengklaim bahwa

tindakan mereka adalah sebuah tindakan self defense.23 Peristiwa Caroline kemudian secara tidak langsung membentuk prinsip-prinsip yang kini tertanam kuat sebagai landasan yang digunakan dalam beberapa kasus sengketa internasional dan kemudian menjadi hukum kebiasaan internasional dalam hal self defence.24

Praktik hukum kebiasaan internasional yang berkembang jauh sebelum diadopsinya Piagam PBB, prinsip self defence telah digunakan dalam beberapa kasus internasional. Seperti yang dikemukakan oleh Smitherman III, bahwa dalam hukum kebiasaan internasional tindakan self

defence adalah sah dilakukan sebuah negara sepanjang memenuhi unsur necessity, proportionality dan imminency.25 Meskipun sedikit berbeda tidak menekankan unsur imminency, Alina Kaczorowska mengemukakan adanya tiga syarat parameter sahnya penggunaan self defense dalam hukum kebiasaan internasional, yaitu : 26

a. an actual infringement or threat of infrigement of the rights of the defending state;

b. a failure or inability on the part of the other state to use its own legal powers to stop or prevent the infringement; and

c. acts of self defence strictly confined to the object of stopping or preventing the infringement and reasonably proportion – nate to what is required for achieving this object.

                                                                                                               

23 Antony Clark Arend, op.cit, h. 91.

24 Beni Candra Jaya, 2015, Tindakan Amerika Serikat Dalam Memerangi Terorisme di

Afganistan Dan Hubungannya Dengan Prinsip Non Intervensi, Perpustakaan Digital Universitas Lampung, h. 23.

25 Sefriani, 2011, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta, h. 137. 26 Ibid.

(23)

Self defence sebagai bentuk pengecualian terhadap prinsip larangan

penggunaan kekerasan dalam hubungan internasional, diatur dalam Pasal 51 Piagam PBB yang mengakui adanya inherent right yaitu hak yang melekat baik pada individu atau kolektif untuk melakukan self defense.27

Selain itu pasal ini memberikan aturan bahwa tidak ada satu pun ketentuan dalam piagam PBB yang boleh merugikan hak perseorangan atau bersama untuk membela diri apabila suatu serangan bersenjata terjadi terhadap satu anggota Perserikatan Bangsa Bangsa, sampai Dewan Keamanan mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk memelihara perdamaian serta keamanan internasional. Tindakan-tindakan yang diambil oleh anggota-anggota dalam melaksanakan hak membela diri ini harus segera dilaporkan kepada Dewan Keamanan dan dengan cara bagaimana pun tidak dapat mengurangi kekuasaan dan tanggung jawab Dewan Keamanan menurut piagam dalam mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk memelihara atau memulihkan perdamaian serta keamanan internasional.28 Meskipun prinsip pertahanan diri (self defence) berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB dapat dibenarkan akan tetapi prinsip ini tetap mempunyai batasan–batasan dan syarat–syarat tertentu yang telah

                                                                                                               

27  Jane Gilliland Dalton, 2005, The United States National Security Strategy: Yesterday,

Today, and Tomorrow, Naval justice School,US, h.71  

28 Piagam PBB pasal 51 : “Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of

individual or collective self-defence if an armed attack occurs against a Member of the United Nations, until the Security Council has taken measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by Members in the exercise of this right of self-defence shall be immediately reported to the Security Council and shall not in any way affect the authority and responsibility of the Security Council under the present Charter to take at any time such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and security.”

(24)

ditentukan dan harus dipenuhi sebelum dilaksanakannya sebuah intervensi militer.

Sehingga jika dikaitkan dengan intervensi milter koalisi Saudi Arabia di Yaman, prinsip self defence ini akan digunakan sebagai landasan hukum dan alasan pembenar dilakukan intervensi tersebut dengan batasan–batasan khusus yang telah ditentukan.

c. Prinsip Pembedaan (Distinction Principle)

Prinsip Pembedaan (distinction principle) adalah prinsip yang membedakan antara kombatan dan penduduk sipil dalam wilayah negara yang sedang berperang. Kombatan ialah penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan dan boleh dijadikan sasaran perang, sedangkan penduduk sipil ialah penduduk yang tidak ikut aktif dalam perang sehingga tidak boleh dijadikan sasaran perang.29 Tujuan dari prinsip pembedaan ini adalah untuk melindungi warga sipil.30

Adapun prinsip–prinsip pembedaan dijabarkan sebagai berikut : i. Pihak yang bersengketa, setiap saat harus membedakan anatar

kombatan dan penduduk sipil untuk melidungi objek–objek sipil. ii. Penduduk sipil, demikian pula penduduk sipil secara peorangan

tidak boleh dijadikan objek serangan.

iii. Dilarang melakukan tindakan kekerasan yang tujuannya untuk menyebarkan terror terhadap penduduk sipil.

                                                                                                               

29 Anis Widyawati, 2014, Hukum Pidana Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, h. 83.

30 Ambarwati, Denny Ramdhany, Rina Rusman, 2012, Hukum Humaniter Internasional

(25)

iv. Pihak yang bersengketa harus mengambil langkah pencegahan yang memungkinkan untuk meyelamatkan penduduk sipil atau setidaknya untuk menekan kerugian atau kerugian yang tidak disengaja sekecil mungkin.

v. Hanya angkatan bersenjata yang berhak menahan dan menyerang musuh.

vi. Objek–objek sipil yang harus dilindungi anatara lain tempat ibadah, rumah sakit, sekolah dan fasilitas–fasilitas publik.31

Merupakan hal yang sangat wajar apabila prinsip pembedaan yang digunakan oleh penulis dalam menganalisis intervensi militer Saudi Arabia dalam konflik bersenjata non internasional yang melibatkan pemberontak houthi dengan pemerintahan Yaman yang melibatkan Saudi Arabia dikarenakan adanya indikasi pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan Saudi Arabia dengan melakukan penyerangan yang mengakibatkan jatuhnya korban penduduk sipil dan mentargetkan fasilitas-fasilitas umum yang seharusnya dapat dihindari dengan melihat prinsip pembedaan ini.

d. Teori Kedaulatan Negara

Setiap negara merdeka memiliki kedaulatan untuk mengatur segala sesuatu yang ada maupun terjadi di wilayah atau teritorialnya.32 Menurut sejarah asal kata kedaulatan yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah “sovereignty” berasal dari kata Latin “superanus” berarti yang                                                                                                                

31  Anis Widyawati, op.cit, h. 83-84.   32  Sefriani, op.cit, h. 231-232.  

(26)

teratas. Negara dikatakan berdaulat atau sovereign karena kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki negara.33

Kedaulatan sebagai artibut negara pertama kali dikemukakan oleh Jean Bodin. Jean Bodin menyatakan bahwa kedaulatan merupakan ciri negara, yang membedakan negara dengan persekutuan–persekutuan lainnya,34 dan yang kemudian dikenal sebagai teori kedaulatan negara. Menurut Jean Bodin, istilah kedaulatan itu mengandung satu-satunya kekuasaan sebagai :35

1. Asli, artinya tidak diturunkan dari suatu kekuasaan lain.

2. Tertinggi, tidak ada kekuasaan lain yang lebih tinggi yang dapat membatasi kekuasaannya.

3. Bersifat abadi dan kekal

4. Tidak dapat dibagi-bagi karena hanya ada satu kekuasaan tertinggi saja.

5. Tidak dapat dipindahkan atau diserahkan kepada suatu badan lain.

Selain Jean Bodin, pelopor teori kedaulatan negara lainnya adalah John Austin. John Austin menyatakan bahwa yang berdaulat adalah

                                                                                                               

33 Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional Edisi

Kedua, Alumni, Bandung, h.16.

34 Hufron, Syofyan Hadi, 2006, Ilmu Negara Kontemporer , Telaah Teoritis Asal Mula,

Tujuan dan Fungsi Negara, Negara Hukum dan Negara Demokrasi, LaksBang Grafika dan Kantor Advokat Hufron & Rubaie, Yogyakarta & Surabaya, h. 96.

35 Teuku May Rudy, 1998, Administrasi dan Organisasi Internasional, Refika Aditama,

(27)

pembentuk hukum tertinggi (legibus solute/supreme legislator) dan hukum positif adalah hukum yang dibuat oleh orang yang berdaulat itu.36

Dalam perkembangannya kedaulatan negara ini menurut Mirza Satria Buana dibagi menjadi dua bagian yaitu kedaulatan negara berdasarkan jangkauan (scope) dan kedaulatan berdasarkan konsep wilayah (territorial) suatu negara.37 Kedaulatan negara berdasarkan jangkauan (scope) terdiri dari dua konsep, yaitu kedaulatan eksternal (independensi) dan kedaulatan internal (supremacy). Kedaulatan eksternal sering juga disebut dengan istilah independensi negara, yang dicirikan oleh adanya kedudukan yang sama (equal) bagi sebuah negara dalam interaksi internasional dengan negara-negara lainnya tanpa adanya halangan, rintangan dan tekanan dari pihak mana pun. Sedangkan kedaulatan internal adalah hak atau kewenangan eksklusif suatu negara untuk menentukan bentuk lembaga-lembaga negaranya, cara kerja lembaga-lembaga negara, hak untuk membuat undang-undang tanpa ada campur tangan atau intervensi negara lain, mendapatkan kepatuhan dari rakyatnya dan memiliki kewenangan untuk memutus persoalan yang timbul dalam yuridiksinya.38

Negara berdaulat memang berarti bahwa negara itu tidak mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi dari pada kekuasaannya sendiri. Walaupun demikian, kekuasaan tertinggi ini mempunyai

batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  batasan-  

36 Hufron, Syofyan Hadi, op.cit, h. 98.

37  M.Iwan Satriawan, Siti Khoiriah, 2016, Ilmu Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 57. 38 Ibid, h. 57-58.

(28)

batasan.39 Pengertian kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi mengadung dua pembatasan penting yaitu :40

1. kekuasaan itu terbatas pada wilayah negara yang memiliki kekuasaan itu dan;

2. kekuasaan itu berakhir di mana kekuasaan suatu negara lain mulai. Pengertian kedaulatan pada masa sekarang lebih sempit daya berlakunya apabila dibandingkan pengertian kedaulatan pada abad 18 dan 19.41 Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan negara-negara nasional yang tidak mengenal adanya pembatasan-pembatasan terhadap otonomi negara. Pada waktu sekarang dapat dikatakan hampir tidak terdapat lagi negara yang menolak pembatasan terhadap kebebasan negaranya demi kepentingan masyarakat internasional secara keseluruhan.42 Tunduknya suatu negara yang berdaulat atau tunduknya paham kedaulatan kepada kebutuhan pergaulan masyarakat internasional, merupakan syarat mutlak bagi terciptanya suatu masyarakat internasional yang teratur.

Penggunaan teori kedaulatan negara dalam penulisan skripsi ini sangat terkait dengan dilakukannya intervensi militer oleh koalisi Saudi Arabia yang merupakan suatu bentuk campur tangan atas kedaulatan negara Yaman. Sehingga teori ini digunakan untuk menganalisis mengenai tindakan intervensi militer tersebut, apakah dibenarkan dalam hubungan antar negara dan apakah terdapat batasan-batasan tertentu dalam                                                                                                                

39 Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, op.cit, h.17-18. 40 Ibid, h.18.

41 Ni’matul Huda, 2010, Ilmu Negara Cetakan Ke-2, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.184. 42 Ibid.

(29)

pelaksanaan intervensi militer koalisi Saudi Arabia di wilayah kedaulatan negara Yaman.

e. Teori Yurisdiksi

Yurisdiksi adalah kekuasaan atau kewenangan hukum negara terhadap orang, benda atau peristiwa (hukum).43 Malcolm N. Shaw mengemukakan bahwa :44

“Jurisdiction concerns the power of the state under international

law to regulate or otherwise impact upon people, property and circumstances and reflects the basic principle of state sovereignty, equality of states and non-interference in domestic affairs”.

Sedangkan Conway W. Henderson mengatakan bahwa “jurisdiction is a

domain for making and enforcing rules over places and activities of person”.45

Pada prinsipnya negara memiliki kekuasaan untuk mengatur hubungan hukum yang dilakukan oleh orang (warga negara atau warga negara asing) yang berada di wilayahnya. Negara pun memiliki wewenang yang sama untuk mengatur benda-benda atau peristiwa-peristiwa (hukum) yang terjadi di dalam wilayahnya.46 Pelaksanaan yurisdiksi oleh suatu negara terhadap harta, benda, orang, tindakan atau peristiwa yang terjadi di dalam wilayahnya jelas diakui oleh hukum internasional untuk semua

                                                                                                               

43 Huala Adolf, 2002, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional Edisi Revisi

Cet.Ketiga, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Huala Adolf I), h.183.

44  Malcom N. Shaw, 2003, International Law Sixth Edition, Cambridge University Press,

United Kingdom, h. 645.

45 Conway W.Henderson, Understanding International Law, John Wiley & Son Ltd, United

Kingdom, h.116.

(30)

negara anggota masyarakat internasional.47 Yurisdiksi merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, persamaan derajat negara dan prinsip tidak campur tangan suatu negara terhadap urusan domestik negara lain.48

Kata yurisdiksi (jurisdiction) berasal dari kata yurisdictio. Kata yurisdictio berasal dari dua kata yaitu yuris dan dictio. Yuris berarti kepunyaan hukum atau kepunyaan menurut hukum. Adapun dictio berarti ucapan, sabda atau sebutan. Dengan demikian dilihat dari asal katanya Nampak bahwa yurisdiksi berkaitan dengan masalah hukum atau kewenangan menurut hukum.49

Ada tiga macam yurisdiksi yang dimiliki oleh negara yang berdaulat menurut John O’Brien, yaitu :50

1. kewenangan negara untuk membuat ketentuan-ketentuan hukum terhadap orang, benda, peristiwa maupun perbuatan di wilayah teritorialnya (legislative jurisdiction or prescriptive jurisdisction); 2. kewenangan negara untuk memaksakan berlakunya

ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya (executive jurisdiction or

enforcement jurisdiction);

3. kewenangan pengadilan negara untuk mengadili dan memberikan putusan hukum (yudicial jurisdiction).

Yurisdiksi dapat digolongkan ke dalam prinsip-prinsip yurisdiksi sebagai berikut :51

                                                                                                               

47 J.G. Starke, op.cit, h. 270. 48  Huala Adolf, op.cit, h. 183.   49 Sefriani, op.cit, h. 232. 50Ibid, h. 233-234.

(31)

1. Prinsip Yurisdiksi Teritorial

Menurut prinsip ini setiap negara memiliki yuridiksi terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah teritorialnya.

2. Prinsip Teritorial Subjektif

Berdasarkan prinsip ini negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang melakukan kejahatan yang dimulai dari wilayahnya, tetapi diakhiri atau menimbulkan kerugian di negara lain.

3. Prinsip Teritorial Objektif

Berdasarkan prinsip ini suatu negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang melakukan kejahatan yang menimbulkan kerugian di wilayahnya meskipun perbuatan itu dimulai dari negara lain.

4. Prinsip Nasionalitas Aktif

Berdasarkan prinsip ini suatu negara memiliki yurisdiksi terhadap warganya yang melakukan kejahatan di luar negeri. 5. Prinsip Nasionalitas Pasif

Berdasarkan prinsip ini negara memiliki yurisdiksi terhadap warganya yang menjadi korban kejahatan yang dilakukan orang asing di luar negeri.

                                                                                                                                                                                                                                                                                                               

(32)

6. Prinsip Universal

Berdasarkan prinsip ini setiap negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku kejahatan internasional yang dilakukan di mana pun tanpa memerhatikan kebangsaan pelaku maupun korban.

7. Prinsip Perlindungan

Berdasarkan prinsip ini negara memiliki yurisdiksi terhadap orang asing yang melakukan kejahatan yang sangat serius mengancam kepentingan vital negara, keamanan, integritas dan kedaulatan serta kepentingan vital ekonomi negara.

Teori yurisdiksi ini sangat relevan di gunakan mengingat konflik bersenjata yang berkepanjangan di negara Yaman dengan sistem pemerintahan yang lumpuh serta adanya intervensi militer koalisi Saudi Arabia menjadikan suatu masalah bagi negara Yaman untuk melaksanakan kewenangan-kewenangan hukumnya terhadap pihak-pihak yang bertikai. Bentuk yurisdiksi lain yang diterkait dalam penulisan ini, yaitu prinsip universal. Prinsip universal digunakan terhadap permasalahan adanya indikasi kejahatan perang yang dilakukan baik oleh pihak koalisi Saudi Arabia maupun kelompok Houthi atas pelanggaran terhadap perlindungan penduduk sipil dalam konflik bersenjata di Yaman. Sehingga prinsip universal ini dipergunakan untuk kewenangan mengadili tindak kejahatan perang (merupakan salah satu dari kejahatan

(33)

internasional), kepada para pihak yang bertikai di Yaman apabila sudah terbukti secara benar dan jelas.

1.8. Metode Penelitian

Penelitian hukum adalah segala aktivitas seseorang untuk menjawab permasalahan hukum yang bersifat akademik dan praktisi, baik yang bersifat asas-asas hukum yang bersifat akademik dan praktisi, baik yang bersifat asas-asas–asas-asas hukum, norma–norma hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, maupun yang berkenaan dengan kenyataan hukum dalam masyarakat.52

Dalam pembahasan permasalahan terhadap materi penulisan ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut:

1.8.1 Jenis penelitian

Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang menarik asas hukum, sistematik hukum, melakukan sinkronisasi peraturan perundang–undangan, membandingkan sistem hukum yang berlaku, serta meneliti sejarah hukum.53 Sedangkan menurut Soejono Soekanto mengidentitikan penelitian hukum normatif tersebut sebagai penelitian hukum kepustakaan, yang mencakup penelitian terhadap asas– asas hukum, sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi, vertical dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum.54

                                                                                                               

52 Zainuddin Ali, 2013, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.19.

53 Sri Mamudji, 2005, Metode Penelitian Hukum, Badan Penerbit Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, Jakarta, h. 9.

54 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

(34)

Sehingga dalam menganalisis permasalahan dengan menggunakan penelitian hukum normatif, penulis meneliti asas–asas hukum internasional, prinsip–prinsip yang dianut dalam hukum humaniter serta peraturan–peraturan yang terkait serta latar belakang sejarah hukum terjadinya intervensi militer koalisi Saudi Arabia terhadap konflik senjata di Yaman.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Jenis Pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini adalah : 1. Pendekatan Perundang–undangan (the statute approach)

Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.55 Sehingga yang dilakukan penulis menggunakan pendekatan perundang–undangan ini ialah dengan melakukan perluasaan penafsiran terhadap instrumen-instrumen internasional dan relevansinya dengan kasus intervensi koalisi Saudi Arabia dan perlindungan hukum terhadap penduduk sipil akbat konflik bersenjata di Yaman, sehingga akan ditemukan solusi dari permasalahan yang akan dibahas.

2. pendekatan fakta (the fact approach)

                                                                                                               

(35)

Pendekatan fakta (the fact approach), yaitu pendekatan masalah yang didasarkan pada fakta-fakta yang terjadi di lapangan yang ada kaitannya dengan permasalahan yang akan dibahas.

1.8.3 Sumber Bahan Hukum

Oleh karena peneliian ini menggunakan penelitian hukum normatif, maka sumber bahan hukum yang dipergunakan adalah sebagai berikut :

1) Bahan hukum primer, bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat seperti: peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, traktat, dan perjanjian. Berdasarkan hal tersebut, dalam penulisan skripsi ini menggunakan bahan–bahan hukum primer sebagai berikut :

- Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa - Piagam Liga Arab

- Konvensi-konvensi Den Haag 1907

- Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Protokol Tambahan I dan Protokol Tambahan II Tahun 1977.

- Perjanjian Pertahanan Bersama dan Kerjasama Ekonomi antara Negara – Negara Liga Arab (Treaty of Joint Defense

and Economic Cooperation Between the States of the Arab League)

(36)

- Statuta Roma Tahun 1998

- International Covenant on Civil and Political Rights 1966 - Resolusi PBB Nomor 2216 Tahun 2015

2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang dapat berupa rancangan peraturan perundang–undangan, hasil penelitian, buku–buku teks, jurnal ilmiah, surat kabar, koran, pamflet , brosur, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat di media masa dan berita internet.56 Dalam hal pengumpulan bahan hukum sekunder, penulis mencari buku–buku , jurnal ilmiah internasional, website–website organisasi internasional, karya tulis hukum serta pendapat ahli–ahli hukum yang dimuat baik media cetak, elektronik dan internet sebagai sumber kepustakaan yang terkait dengan intervensi militer Saudi Arabia dan koalisinya terhadap konflik bersenjata non internasional di Yaman.

3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan mengenai bahan yang sifatnya melengkapi kedua bahan hukum di atas yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum.

                                                                                                               

(37)

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis yaitu dengan cara studi pustaka, mengumpulkan dan mencari bahan–bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang ada kaitannya dan berhubungan erat dengan data serta fakta–fakta hukum mengenai tindakan intervensi militer koalisi Saudi Arabia baik status hukum, kedududukan dan kekuatan yang mengikat terkait penyerangaan tersebut serta bentuk-bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada penduduk sipil Yaman akibat intervensi militer tersebut. Kemudian , setelah terkumpul semua data hal yang perlu dilakukan adalah mempelajari, menelusuri dokumen–dokumen yang berkaitan dengan rumusan masalah disertai dengan merumuskan intisari bahan–bahan hukum tersebut.

1.8.5 Teknis Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dalam skripsi ini, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier, dianalisis dengan menggunakan teknik deskriptif, evaluatif dan argumentatif. Teknik deskriptif dimaksudkan memaparkan apa adanya tentang suatu peristiwa hukum atau kondisi hukum. 57 Evaluatif dimaksudkan dengan melakukan evaluasi terhadap suatu kondisi hukum. Dan hasil evaluasi kemungkinan peneliti menyetujui salah satunya dan                                                                                                                

57 I Made Pasek Diantha, 2016, Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi

Teori Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat I Made Pasek Diantha I), h.152.

(38)

menolak yang lainnya; atau peneliti tidak setuju terhadap keduanya.58 Teknik argumentatif digunakan dengan memberikan alasan tersendiri terhadap kemungkinan berbeda dengan pandangan yang pro dan kontra atau kemungkinan sama dengan salah satu padangan dari dua pandangan yang pro-kontra tetapi alasan berbeda atau ada penambahan.59

   

                                                                                                               

58 Ibid, h. 153-154. 59 Ibid, h.156

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penulisan skripsi ini ditentukan mengenai materi yang akan dibahas. Hal ini bertujan untuk menghindari agar materi atau isi dari pembahasan tidak

Dosy Kindelia Kirani Produser Program Stand up comedy Mengatakan 31 : “ Ide kreatif itu adalah apa yang orang lain tidak fikirkan “out of the box” dan memikirkan apa yang

Dalam menghasilkan atau mewujudkan ragam hias sebagai pengorganisasian unsur-unsur visual dalam seni rupa berupa garis, bidang, warna, tekstur dan lain-lain itu akan memberi

Adapun hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah bentuk perlindungan hukum terhadap lessor dalam objek leasing apabila lessee wanprestasi adalah dilakukan

23 Roeslan Saleh, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana), Cet.. Indikatornya adalah perbuatan tersebut melawan hukum

Penentuan kualifikasi bahan baku yang digunakan dalam produksi sangat berpengaruh terhadap hasil produksi, adanya permasalahan yang muncul berkaitan dengan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keberhasilan dan kegagalan shooting dalam setiap jenis point tembakan dan daerah tembakan di setiap serangan yang dilakukan tim

2) Oleh karena nyata-nyata telah terbukti secara sah menurut hukum Termohon I, Termohon II dan Termohon III mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya