• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR ISI. HALAMAN SAMPUL DALAM... ii. HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM... iii. HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI...

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAFTAR ISI. HALAMAN SAMPUL DALAM... ii. HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM... iii. HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI..."

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

x DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DALAM ... ii

HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iv

HALAMAN KATA PENGANTAR ... v

HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... viii

HALAMAN DAFTAR ISI ... ix

ABSTRAK ... xii

ABSTRACT ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 9

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 10

1.4 Orisinalitas Penelitian ... 10 1.5 Tujuan Penelitian ... 12 1.5.1 Tujuan umum ... 12 1.5.2 Tujuan khusus ... 12 1.6 Manfaat Penelitian ... 12 1.6.1 Manfaat teoritis ... 13 1.6.2 Manfaat praktis... 13 1.7 Landasan Teoritis ... 13 1.8 Metode Penelitian... 22 1.8.1 Jenis penelitian ... 22

(2)

xi

1.8.2 Jenis pendekatan... 23

1.8.3 Sumber bahan hukum ... 24

1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum ... 25

1.8.5 Teknik analisis ... 26

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM, LEASING DAN WANPRESTASI 2.1 Perlindungan Hukum ... 27

2.1.1 Pengertian perlindungan hukum ... 27

2.1.2 Prinsip-prinsip perlindungan hukum ... 30

2.1.3 Bentuk-bentuk perlindungan hukum ... 31

2.2 Leasing ... 34

2.2.1 Sejarah, pengertian dan pengaturan leasing ... 34

2.2.2 Bentuk dan jenis-jenis leasing ... 45

2.2.3 Pihak-pihak dan hubungan hukum dalam leasing ... 50

2.2.4 Syarat dan mekanisme leasing ... 56

2.2.5 Perbedaan leasing dengan perjanjian lainnya ... 61

2.3 Wanprestasi ... 68

2.3.1 Pengertian wanprestasi ... 68

2.3.2 Bentuk wanprestasi ... 69

(3)

xii

BAB III HAK LESSOR DALAM OBJEK LEASING YANG DIGUNAKAN OLEH LESSEE APABILA LESSEE WANPRESTASI

3.1 Wanprestasi Dalam Leasing ... 71

3.2 Kedudukan Hukum Objek Leasing Yang Digunakan Oleh Lessee Apabila Lessee Wanprestasi ... 74

3.3 Jaminan Dalam Leasing Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Lessor Apabila Lessee Wanprestasi ... 78

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM AKIBAT WANPRESTASI OLEH LESSEE DALAM LEASING

4.1 Akibat Wanprestasi Oleh Lessee Dalam Leasing ... 85

4.2 Perlindungan Hukum Terhadap Kerugian Yang Dialami Lessor Akibat Wanprestasi Oleh Lessee ... 88

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 92

5.2 Saran ... 93

(4)

xiii ABSTRAK

Leasing merupakan suatu equipment funding, yaitu suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk peralatan atau barang modal pada perusahaan untuk digunakan dalam proses produksi. Lessor sebagai pemilik barang yang di-lease adalah pihak yang paling berkepentingan jika terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh pihak lessee, karena tidak selamanya pengambilan objek leasing dan pelaksanaan hak-haknya akibat wanprestasi oleh pihak lessee dapat dilaksanakan dengan lancar dan secara damai, selain itu lessor belum tentu dapat yakin bahwa objek leasing yang bersangkutan bebas dari berbagai ikatan. Sehingga, perlindungan hukum bagi lessor perlu mendapat perhatian lebih.

Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode penelitian hukum normatif, dengan bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, serta ditunjang dengan bahan hukum sekunder dan tersier terkait permasalahan yang di bahas dan di kumpulkan dengan studi kepustakaan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisis konsep hukum.

Adapun hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah bentuk perlindungan hukum terhadap lessor dalam objek leasing apabila lessee wanprestasi adalah dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu : perlindungan dilakukan melalui klausula-klausula yang terdapat dalam perjanjian leasing itu sendiri, melalui jaminan tertentu sebagai jaminan hukum bagi lessor untuk pelunasan hutangnya dan perlindungan yang diberikan kepada lessor melalui ketentuan-ketentuan umum mengenai hukum perikatan yang diatur dalam buku III KUH Perdata.

(5)

xiv ABSTRACT

Leasing is an equipment funding, which is a financing activity in the form of equipment or capital goods to the company for use in the production process. Lessor as the owner of the goods in leasing is the party most at risk in the event of default by the lessee, because confiscate the leasing object and implementation of their rights as a result of default by the lessee can rarely be implemented smoothly and peacefully, in addition, it is not certain whether the the leasing object free of any legal bond. So that legal protection for lessors should receive more attention.

The type of this research called normative legal research with the primary legal material such as statue, supported also by secondary legal material and tertiary legal materials by the library research all the related problem will be collected and to be discussed. The statue approached and the analitycal of conceptual approached must be approaches in this research.

The conclusion which might drawn of this research is a form of legal protection for the lessor in the object of the leasing in the event of default by the lessee are conducted in several stages, which is : protection can be done through clauses contained in leasing agreement itself, through certain guarantees as legal guarantees for the lessor to repayment debt and the protection provided to the lessor by the general provisions of the law of obligation set forth in book III of the Civil law.

(6)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perkembangan dalam suatu masyarakat dapat dilihat dari perkembangan lembaga yang ada pada masyarakat tersebut, baik di bidang ekonomi, sosial, budaya dan politik. Sejalan dengan semakin meningkatnya kegiatan Pembangunan Nasional, peran serta pihak swasta dalam pelaksanaan pembangunan harus semakin ditingkatkan pula. Keadaan tersebut baik langsung maupun tidak langsung akan menuntut lebih aktifnya kegiatan di bidang pembiayaan. Berbagai upaya dalam menghimpun dana masyarakat telah dilakukan melalui beberapa penetapan kebijaksanaan pemerintah. Pada hakikatnya perluasan usaha membutuhkan pembiayaan dana dan peralatan modal.1

Sewa guna usaha atau lebih dikenal dengan istilah leasing merupakan suatu bentuk usaha yang dapat dijadikan alternatif guna mengatasi hal tersebut. Kehadiran leasing bagi perusahaan mempunyai peranan penting dalam membantu para pengusaha khususnya di Indonesia, baik bagi usaha kecil, menengah ataupun usaha besar. Melalui kegiatan ini para pengusaha akan dengan cepat dapat mengatasi masalah pembiayaan untuk memperoleh alat-alat perlengkapan maupun barang-barang modal yang mereka perlukan. Leasing/

1Amin Widjaja Tunggal dan Arif Djohan Tunggal, 1994, Aspek Yuridis Dalam Leasing,

(7)

sewa guna usaha tidak memberikan persyaratan yang memberatkan dan dengan sistem pendanaannya yang fleksibel menyebabkan bisnis ini bisa berkembang dengan cepat di Indonesia.2

Istilah leasing sebenarnya berasal dari kata lease, yang berarti sewa menyewa. Leasing merupakan suatu bentuk derivatif dari sewa menyewa. Namun kemudian dalam dunia bisnis berkembang sewa menyewa dalam bentuk khusus yang disebut leasing itu atau kadang-kadang disebut lease saja.3

Leasing memiliki beberapa persyaratan dan kriteria tersendiri yang membedakannya dengan sewa-menyewa, dalam pengertian leasing mengandung ciri-ciri objeknya berupa barang modal, pembayarannya secara berkala dalam jangka waktu tertentu, adanya hak opsi serta perhitungan nilai sisa atas objeknya.

Secara umum leasing merupakan suatu equipment funding, yaitu suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk peralatan atau barang modal pada perusahaan untuk digunakan dalam proses produksi.

Beberapa definisi mengenai leasing, diantaranya :

Menurut Pasal 1 ayat (1) Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan No. 122, No. 32, No. 30 Tahun 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing, ditentukan bahwa yang dimaksud

2Sunaryo, 2013, Hukum Lembaga Pembiayaan, Edisi I, Cet. III, Sinar Grafika, Jakarta,

Hal. 46.

3Munir Fuady, 2002, Hukum Tentang Pembiayaan (Dalam Teori Dan Praktek), Cet. III,

(8)

dengan leasing adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan dalam jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih (opsi) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang modal yang bersangkutan, atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama.

Dalam Pasal 1 angka (9) Keppres No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan ditentukan, bahwa perusahaan sewa guna usaha (leasing company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal, baik secara finance lease maupun operating lease untuk digunakan oleh penyewa guna usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.4

Menurut Amin Widjaja Tunggal dan Arif Djohan dalam bukunya yang berjudul Aspek Yuridis Dalam Leasing, Leasing itu adalah :

“Pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal dengan pembayaran secara berkala oleh perusahaan yang menggunakan barang-barang modal tersebut, dan dapat membeli atau memperpanjang jangka waktu berdasarkan nilai sisa.”5

Menurut Ahmad Muliadi dalam bukunya yang berjudul Hukum Lembaga Pembiayaan, Leasing memiliki beberapa ciri-ciri umum diantaranya :

4Sunaryo, op.cit., Hal. 47.

(9)

1. Pihak-pihak dalam leasing terdiri dari: (a) lessor yang harus berbentuk perseroan atau koperasi dan telah memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan; (2) lessee; dan (3) supplier.

Penyewa Guna Usaha (Lessee) adalah perusahaan atau perorangan yang menggunakan barang modal dengan pembiayaan dari Perusahaan Pembiayaan (Lessor).6

2. Leasing adalah suatu cara pembiayaan yang dilakukan dalam bentuk

pengadaan barang modal bagi lessee, baik dengan maupun tanpa hak opsi untuk membeli barang tersebut.

3. Perjanjian leasing itu harus tertulis dengan tujuan pengawasan dan pembuktian, yang disertai dengan pembuatan dokumentasi yang diperlukan dalam leasing.7

4. Adanya hubungan antara jangka waktu lease dan masa kegunaan benda yang di-Lease-kan .

5. Hak milik benda yang di-lease-kan ada pada lessor . Hal ini menimbulkan dampak di bidang akuntansi dan di bidang hukum.

6. Objek leasing adalah benda-benda yang dipergunakan dalam suatu perusahaan.8

6Ahmad Muliadi, 2013, Hukum Lembaga Pembiayaan, Cet. I, Akademia Permata,

Jakarta, Hal. 17.

7Ibid, Hal. 18. 8Ibid, Hal. 19.

(10)

a. Objek leasing biasanya dibeli lessor atas permintaan lessee dari supplier menurut spesifikasi yang ditentukan lessee, barang langsung diserahkan kepada lesse oleh supplier, dan setelah lessor menerima pemberitahuan dari lesse bahwa ia telah menerima barang dengan baik, lessor akan membayar harga barang kepada supplier.

b. Objek leasing harus diperinci apa jenisnya, kuantitasnya, lokasinya, dan lain-lain, penting demi kepastian hukum semua pihak dalam perjanjian leasing.

Untuk lebih mengamankan kepentingan lessor atas objek-objek yang di-lease-kan, perlu dibuat daftar barang-barang yang telah menjadi objek perjanjian leasing.

7. Opsi bagi lessee untuk membeli objek leasing.

Setelah jangka waktu leasing berakhir dan memenuhi semua kewajibannya berdasarkan perjanjian leasing, maka lessee mempunyai hak opsi untuk membeli barang. Bila tidak menggunakan hak opsi untuk membeli atau memperpanjang leasing, maka lessee wajib mengembalikan barang atas biaya lesse kepada lessor, dalam keadaan baik dan tempat yang ditentukan lessor.9

8. Adanya jaminan kebendaan yang diberikan berupa benda yang di-lease-kan, dan eksekusi jika cicilan macet serta pengaturan tentang putusnya

(11)

perjanjian leasing.10

Leasing merupakan salah satu bentuk lembaga pembiayaan yang kegiatannya berupa penyediaan barang modal bagi lessee guna mengembangkan dan meningkatkan usahanya. Di Indonesia lembaga ini baru ada pada tahun 1974 dengan dikeluarkannya beberapa surat keputusan menteri yang mengatur tentang sewa guna usaha , yaitu :

a. Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan No. 122, No. 32, No. 30 Tahun 1974 tanggal 7 Februari 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing.

b. Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 649 Tahun 1974 tanggal 6 Mei 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing.

c. Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 650 Tahun 1974 tanggal 6 Mei Tahun 1974 tentang Penegasan Ketentuan Pajak Penjualan Dan Besarnya Bea Materai Terhadap Usaha Leasing.

Ketiga surat keputusan menteri tersebut merupakan titik awal sejarah perkembangan pengaturan leasing sebagai lembaga bisnis pembiayaan di Indonesia.11 MenurutMunir Fuady meskipun terdapat berbagai variasi dari para pihak yang terlibat dalam sistem pembiayaan berpolakan leasing, pada prinsipnya para pihak tersebut adalah :

10Ibid, Hal. 21.

(12)

(1) Lessor, yakni merupakan pihak yang memberikan pembiayaan dengan cara leasing kepada pihak yang membutuhkannya. Dalam hal ini lessor bisa merupakan perusahaan pembiayaan yang bersifat “multi finance,” tetapi dapat juga perusahaan yang khusus bergerak di bidang leasing.

(2) Lessee. Ini merupakan pihak yang memerlukan barang modal, barang modal mana dibiayai oleh lessor dan diperuntukkan kepada lessee.

(3) Supplier. Merupakan pihak yang menyediakan barang modal yang menjadi objek leasing, barang modal mana dibayar oleh lessor kepada supplier untuk kepentingan lessee. Dapat juga supplier ini merupakan penjual biasa. Namun tidak jarang juga terjadi jenis leasing yang tidak melibatkan supplier, melainkan hubungan bilateral antara pihak lessor dengan pihak

lessee. Misalnya dalam bentuk Sale and Lease Back..12

Dalam Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 1169/KMK01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna (Leasing) ditentukan dua jenis leasing, yaitu :

a. Finance lease (sewa guna usaha dengan hak opsi);

b. Operating lease (sewa guna usaha dengan tanpa hak opsi).

Yang diartikan dengan finance lease adalah kegiatan guna usaha, di mana penyewa guna usaha/lessee pada akhir masa kontrak mempunyai hak untuk membeli objek leasing berdasarkan nilai sisa yang disepakati bersama (Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 1251/KMK.013/1988 tentang

12Munir Fuady, 2014, Hukum Tentang Pembiayaan, Cet. V, PT Citra Aditya Bakti,

(13)

Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan). Ada 3 (tiga) unsur yang tercantum dalam definisi di atas, yaitu :

a. Adanya pihak lessor dan lessee; b. Adanya hak opsi;

c. Didasarkan atas nilai sisa (residu).

Hak opsi adalah hak yang diberikan kepada lessee untuk membeli objek

leasing pada akhir masa kontrak, yang didasarkan pada nilai residu.13

Dalam kontrak leasing bisa saja karena alasan-alasan tertentu, salah satu pihak memutuskan kontrak leasing yang bersangkutan. Alasan pemutusan kontrak adalah karena pihak lain telah melakukan wanprestasi terhadap satu atau lebih klausula dalam kontrak leasing.14

Yang dimaksud dengan wanprestasi adalah tidak dipenuhinya prestasi oleh salah satu pihak dalam suatu perjanjian baik sebagian maupun seluruhnya.15 Wanprestasi atau tidak dipenuhinya janji dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. Pihak yang tidak sengaja wanprestasi ini dapat terjadi karena memang tidak mampu untuk memenuhi prestasi tersebut atau juga karena terpaksa untuk tidak melakukan prestasi tersebut.16

13Salim, 2010, Perkembangaan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Cet. V, Sinar

Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Salim I), Hal. 143.

14Munir Fuady I, op.cit., Hal. 47.

15Sarwono, 2011, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, Edisi I, Cet. II, Sinar Grafika,

Jakarta, Hal. 304.

16Ahmadi Miru, 2008, Hukum Kontrak & Perancangan kontrak, Edisi I, Cet. II, PT

(14)

Dalam pelaksanaan perjanjian leasing, wanprestasi umumnya dilakukan oleh pihak lessee, baik itu yang bersifat sementara dalam arti menunggak dan kemudian membayar, dan juga yang bersifat tetap dalam arti persoalan itu terpaksa diselesaikan melalui proses hukum.17

Lessor sebagai pemilik barang yang di-lease adalah pihak yang paling berkepentingan jika terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh pihak lessee, karena tidak selamanya pengambilan objek leasing dan pelaksanaan hak-haknya akibat wanprestasi oleh pihak lessee dapat dilaksanakan dengan lancar dan secara damai, selain itu lessor belum tentu dapat yakin bahwa barang (objek leasing) yang bersangkutan bebas dari berbagai ikatan seperti liens (gadai),

charges (hak tanggungan), atau kepentingan-kepentingan lainnya.18

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka perlu untuk dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mengangkat judul “PERLINDUNGAN

HUKUM TERHADAP LESSOR DALAM OBJEK LEASING APABILA LESSEE WANPRESTASI”.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana hak lessor dalam objek leasing yang digunakan oleh lessee apabila lessee wanprestasi?

1.2.2 Bagaimana perlindungan hukum akibat wanprestasi oleh lessee dalam

leasing?

17Amin Widjaja Tunggal dan Arif Djohan Tunggal, op.cit., Hal. 46. 18Amin Widjaja Tunggal dan Arif Djohan Tunggal, op.cit., Hal. 26.

(15)

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Dalam penulisan karya ilmiah diperlukan batasan yang tegas untuk menghindari pembahasan yang tidak terarah dan pembahasan yang terlalu luas sehingga pokok bahasan yang diinginkan benar-benar terarah nantinya serta terdapat sinkronisasi antara pembahasan dengan permasalahan. Maka ruang lingkup masalah yang akan dikaji dalam karya tulis ilmiah ini adalah :

1.3.1 Mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hak lessor dalam objek leasing yang digunakan oleh lessee apabila lessee wanprestasi.

1.3.2 Mengenai hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan hukum akibat wanprestasi oleh lessee dalam leasing.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Untuk menunjukkan orisinalitas penelitian ini, penulis melakukan pemeriksaan perpustakaan. Dari hasil pemeriksaan tersebut dapat disampaikan bahwa ada penelitian terdahulu yang sejenis, namun dari segi substansi berbeda dengan penelitian ini.

Adapun penelitian yang sejenis dengan penelitian ini adalah sebagai berikut :

No. Skripsi Judul Rumusan Masalah

1 Arga Jongguran Tio Debora Sitinjak, 2015, Fakultas Hukum Kedudukan Objek Leasing Yang Digunakan Oleh 1. Bagaimanakah

kedudukan objek leasing apabila perusahaan sewa

(16)

Universitas Udayana, Bali. Lessee Apabila Lessor Dinyatakan Pailit Berdasarkan Undang Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

guna usaha (lessor) dinyatakan pailit? 2. Apakah akibat kepailitan perusahaan sewa guna usaha (lessor) terhadap objek leasing apabila perjanjian leasing belum berakhir?

2

Indah Dwi Astuti, 2010, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Perjanjian Pembiayaan Dalam Bentuk Leasing Dengan Jaminan Fidusia Dalam Perspektif Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan Pada PT. Astra Credit Companies Surakarta 1. Bagaimana pelaksanaan perjanjian leasing dengan jaminan fidusia pada PT. Astra Credit Companies Surakarta ditinjau dari Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan? 2. Apa sajakah hambatan-hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian leasing dengan jaminan fidusia pada PT. Astra Credit Companies

(17)

Surakarta serta bagaimana cara penyelesaiannya ?

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini tidak jauh dari pokok permasalahan yang dihadapi. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.5.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami bagaimana perlindungan hukum terhadap lessor dalam objek leasing apabila lessee wanprestasi. Disamping sebagai sumbangan pemikiran secara ilmiah tentang peranan dari bidang hukum khususnya hukum pembiayaan serta bertujuan memenuhi salah satu syarat mencapai gelar sarjana Strata 1 (S-1) dalam Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Udayana.

1.5.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui hak lessor dalam objek leasing yang digunakan oleh lessee apabila lessee wanprestasi.

2. Untuk mengetahui upaya perlindungan hukum akibat wanprestasi oleh lessee dalam leasing.

1.6 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat ke berbagai pihak. Baik manfaat yang bersifat teoritis maupun manfaat yang bersifat praktis.

(18)

1.6.1 Manfaat Teoritis

1. Sebagai sumbangan dalam rangka pengembangan disiplin ilmu hukum, khususnya disiplin ilmu hukum pembiayaan mengenai sewa guna usaha (leasing).

2. Diharapkan dapat memberikan ide-ide dasar dalam bentuk pemikiran baru terkait perlindungan hukum terhadap lessor dalam objek leasing apabila lessee wanprestasi.

3. Diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya.

1.6.2 Manfaat Praktis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan-masukan maupun dijadikan acuan bagi masyarakat luas, para pihak yang berkepentingan dalam kaitannya dengan penulisan atau dalam bidang ini.

2. Untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka penyelesaian permasalahan yang terjadi antara perusahaan sewa guna usaha (lessor) dengan debitornya (lessee) akibat wanprestasi oleh pihak lessee.

3. Untuk sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak yang berwenang dalam membuat peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum pembiayaan, khususnya sewa guna usaha (leasing).

1.7 Landasan Teoritis

(19)

sarkan Pancasila haruslah memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyaraktnya yang sesuai dengan Pancasila. Oleh karena itu perlindungan hukum berdasarkan Pancasila berarti pengakuan dan perlindungan hukum akan harkat dan martabat manusia atas dasar nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan serta keadilan sosial. Nilai-nilai tersebut melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wadah negara kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan dalam mencapai kesejahteraan bersama.

Perlindungan hukum di dalam negara yang berdasarkan Pancasila maka asas yang penting adalah asas kerukunan berdasarkan kekeluargaan.19 Asas kerukunan berdasarkan kekeluargaan menghendaki bahwa upaya-upaya penyelesaian masalah yang berkaitan dengan masyarakat sedapat mungkin ditangani oleh pihak-pihak yang bersengketa.

Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum

Prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia berlandaskan pada Pancasila sebagai dasar ideologi dan dasar falsafah Negara. Prinsip-prinsip yang mendasari perlindungan hukum bagi rakyat berdasarkan Pancasila adalah :20

1) Prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintahan yang bersumber pada konsep tentang pengakuan dan per-

19Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina

Ilmu, Surabaya, Hal. 84.

(20)

lindungan terhadap hak asasi manusia.

Pengakuan akan harkat dan martabat manusia pada dasarnya terkandung dalam nilai-nilai Pancasila yang telah disepakati sebagai dasar negara. Dengan kata lain, Pancasila merupakan sumber pengakuan akan harkat dan martabat manusia. Pengakuan akan harkat dan martabat manusia berarti mengakui kehendak manusia untuk hidup bersama yang bertujuan yang diarahkan pada usaha untuk mencapai kesejahteraan bersama.

2) Prinsip Negara Hukum

Prinsip kedua yang melandasai perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Pancasila sebagai dasar falsafah Negara serta adanya asas keserasian hubungan antara pemerintahan dan rakyat berdasarkan asas kerukunan tetap merupakan elemen pertama dan utama karena Pancasila, yang pada akhirnya mengarah pada usaha tercapainya keseraian dan keseimbangan dalam kehidupan.

Di dalam Buku III KUH Perdata dikenal lima asas penting, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda (asas kepastian hukum), asas iktikad baik, dan asas kepribadian.

1. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi:

(21)

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :

(1) Membuat atau tidak membuat perjanjian; (2) Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;

(3) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; (4) Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan. 2. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Yang menentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian, adalah adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.

3. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda adalah asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.

(22)

Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi:

“Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang.” 4. Asas Iktikad Baik (Goede Trouw)

Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.” Asas iktikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.

Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu iktikad baik nisbi dan mutlak.

5. Asas Kepribadian (Personalitas)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antar pihak yang membuatnya.” Ini berarti bahwa peijanjian yang dibuat oleh para pihak

(23)

hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun, ketentuan itu ada pengecualiannya, sebagaimana yang diintrodusir dalam Pasal 1317 KUH Perdata, yang berbunyi: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, dengan suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan pada Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya.21

Pasal 1320 KUHPerdata menentukan syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri; 2. Kecakapan untuk membuat perjanjian; 3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Untuk sahnya suatu perjanjian, harus dipenuhi keempat syarat tersebut. Jika salah satu syarat atau beberapa syarat bahkan semua syarat tidak dipenuhi, maka perjanjian itu tidak sah. Jadi, syarat sahnya perjanjian berlaku secara komulatif, dan bukan alternatif.22

21Salim I, op.cit., Hal. 9-13.

22I Ketut Artadi dan Rai Asmara Putra, 2014, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum

(24)

Kesepakatan sesungguhnya merupakan inti dari perjanjian. Tentang kesepakatan banyak dibahas secara teoritis oleh para sarjana, oleh karena kesepakatan merupakan saat lahirnya perjanjian, sehingga jawaban atas pertanyaan kapan kesepakatan itu terjadi merupakan hal yang sangat penting. Kapan kesepakatan itu terjadi sebagai saat lahirnya perjanjian, ada berbagai teori untuk itu, yaitu:

(1) teori kehendak, (2) teori pernyataan, (3) teori kepercayaan, (4) teori pengiriman, (5) teori penerimaan.

 Teori kehendak menekankan kepada apa yang sesungguhnya dikehendaki.

 Teori pernyataan menekankan kepada apa yang dinyatakan.

 Teori kepercayaan menekankan kepada apa yang wajar dipercaya.

 Teori pengiriman menekankan kepada jawaban atas penawaran pihak lain.

 Teori penerimaan menekankan kepada jawaban atas penerimaan pihak lain. Kesepakatan yang menimbulkan akibat hukum hanyalah kesepakatan yang tidak bercacat, atau tidak terjadi kecacatan dalam kesepakatan itu yang dikenal dengan tidak terdapat cacat kehendak.23

Menurut Pasal 1233 KUHPerdata: Perikatan lahir karena suatu perjanjian atau karena undang-undang.24

Dari kedua sumber ini, maka yang terpenting ialah perikatan yang bersumber dari perjanjian (hukum perjanjian) karena para pihak mempunyai

23Ibid, Hal. 53-54.

24Djaja S. Meliala, 2015, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum

(25)

kebebasan untuk mengadakan segala jenis perjanjian, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum.25

Menurut doktrin, seharusnya pengertian perjanjian dapat dirumuskan sebagai berikut: perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan hukum kekayaan.26

Perjanjian sewa guna usaha adalah perjanjian penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk dipergunakan

lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembiayaan secara berkala.27

Menurut Munir Fuady tidak ada keharusan untuk membuat kontrak leasing di depan notaris. dimana kontrak bawah tangan di antara lessee dengan lessor saja secara yuridis sudah cukup, dan mempunyai kekuatan hukum. Namun dalam praktek sering juga dibuat leasing dalam bentuk akta notaris. Di samping dalam bentuk akta notaris, dalam praktek diketemukan juga pembuatan kontrak leasing bawah tangan, tetapi dengan “dilegalisasi” oleh notaris, atau bahkan hanya “diregistrasi” saja oleh notaris. Kesemua model pembuatan kontrak leasing tersebut menurutnya sah-sah saja dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Hanya saja ada sedikit variasi terhadap akibat yuridis dari

25Ibid, Hal. 58. 26Ibid, Hal. 59.

27Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Edisi I, Cet. I, Penerbit

(26)

masing-masing model yang dipilih itu, mengikuti perbedaan masing-masing akta tersebut.28

Wanprestasi atau breach of contract merupakan salah satu sebab sehingga berjalannya kontrak menjadi terhenti.29 Dalam restatement of the law of contracts (Amerika Serikat) wanprestasi atau breach of contracts dibedakan menjadi dua macam, yaitu Total breachts yang artinya pelaksanaan kontrak tidak mungkin dilaksanakan, dan partial breachts yang artinya pelaksanaan perjanjian masih mungkin untuk dilaksanakan. Menurut Salim H.S dalam bukunya yang berjudul Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, seorang debitur baru dikalakan wanprestasi apabila ia telah diberikan somasi oleh kreditur atau juru sita. Somasi itu minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditur atau juru sita. Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditur berhak membawa persoalan itu ke pengadilan. Dan pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitur wanprestasi atau tidak.

Menurutnya terdapat empat akibat dari adanya wanprestasi, yaitu :

a. Perikatan tetap ada.

Kreditur masih dapat menuntut kepada debitur pelaksanaan prestasi, apabila ia terlambat memenuhi prestasi. Di samping itu, kreditur berhak menuntut ganti rugi akibat keterlambatan melaksanakan prestasinya. Hal ini

28Munir Fuady II, op.cit., Hal. 39. 29Munir Fuady II, op.cit., Hal. 45.

(27)

disebabkan kreditur akan mendapat keuntungan apabila debitur melaksanakan prestasi tepat pada waktunya.

b. Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata).

c. Beban risiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesengajaan atau kesalahan besar dari pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan memaksa.

d. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan Pasal 1266 KUH Perdata.30

1.8 Metode Penelitian

Dalam melakukan pembahasan suatu masalah diperlukan suatu metode penelitian yang digunakan baik untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten maupun untuk memperoleh bahan hukum. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

1.8.1 Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif. Penggunaan metode normatif ini karena penelitian ini menguraikan permasalahan-permasalahan yang ada, untuk selanjutnya

30Salim, 2010, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. VII, Sinar

(28)

dibahas dengan kajian berdasarkan terori-terori hukum kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek hukum.31 Penelitian hukum normatif yang hanya mengenal data sekunder saja, yang terdiri dari: bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, maka dalam mengolah dan menganalisis bahan hukum tersebut tidak bisa melepaskan diri dari berbagai penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum.32

1.8.2 Jenis Pendekatan

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya.33 Penelitian hukum normatif umumnya mengenal 7 (tujuh) jenis pendekatan yakni ; pendekatan kasus (case approach), pendekatan undang-undang (statue approach), pendekatan fakta (the fact approach), pendekatan analisis konsep hukum (analytical & conceptual approach), pendekatan frasa (words & phrase approach), pendekatan sejarah (historical approach), dan pendekatan perbandingan (comparative

approach).34

31Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, Edisi I, Cet. V, PT Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 13.

32Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Edisi I,

PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 163.

33Peter Mahmud Marzuki, 2016, Penelitian Hukum, Cet. XII, PT Kharisma Putra Utama,

Jakarta, (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki I) Hal. 133.

34Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum

(29)

Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).

1. Pendekatan perundang-undangan (statue approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.35

2. Pendekatan konseptual (conceptual approach) yaitu beranjak dari pandangan dan doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan dan doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan memikirkan ide-ide yang melahirkan pengertian, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang sedang di hadapi.

1.8.3 Sumber Bahan Hukum

Penelitian hukum berbeda dengan penelitian sosial. Untuk menyelesaikan isu mengenai masalah hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya, peneliti memerlukan sumber-sumber penelitian yang disebut bahan hukum, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas (autoritatif). Bahan hukum tersebut terdiri atas: (a)

35Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, (selanjutnya

(30)

peraturan perundang-undangan. (b) catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan (c) putusan hakim. 36

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, atau pendapat pakar hukum.37 Sebagai bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum.38

3. Bahan Hukum Tersier

Sumber bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya: kamus-kamus (hukum), ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya. Agar diperoleh informasi yang terbaru dan berkaitan erat dengan permasalahannnya, maka kepustakaan yang dicari dan dipilih harus relevan dan mutakhir.39

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

36H. Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Cet I, Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 47. 37Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, op.cit, Hal. 32.

38Peter Mahmud Marzuki, 2016, op.cit, Hal. 195.

39Bambang Sunggono, 2007, Metode Penelitian Hukum, Edisi I , PT Raja Grafindo

(31)

Begitu isu hukum ditetapkan, peneliti melakukan penelusuran untuk mencari bahan-bahan hukum yang relevan terhadap isu yang dihadapi. Apabila di dalam penelitian menyebutkan pendekatan perundang-undangan (statute approach), yang harus dilakukan adalah mencari peraturan perundang-undangan mengenai atau yang berkaitan dengan isu tersebut. 40 Dalam teknik pengumpulan bahan maka langkah pertama mengadakan studi kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan dan bahan hukum dengan menafsirkan dan mengkaji peraturan perundang-undangan.

1.8.5 Teknik Analisis

Bahan hukum yang telah dikumpulkan diolah dan dianalisa secara kualitatif yaitu dengan menghubungkan antara bahan hukum yang ada yang berkaitan dengan pembahasan dan selanjutnya disajikan secara deskriptif analisis yaitu suatu cara analisis data yang dilakukan dengan menyusun secara sistematis dan menyeluruh menyangkut fakta yang berhubungan dengan penelitian serta dianalisis secara cermat sehingga diperoleh hasil dari data tersebut kemudian didapatkan kesimpulan hasil penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan Pemerintah Daerah Kabupaten Gianyar dalam pengembangan Daya tarik wisata alam air terjun Tegenungan memperoleh kewenangan yang

Dalam penelitian ini adapun permasalahan yang akan diangkat adalah bagaimana pengaturan pidana dan pemidanaan terhadap anak sebagai kurir narkotika dalam hukum

Membahas mengenai bentuk-bentuk perlindungan hukum dari segi jaminan keselamatan kerja terhadap pekerja yang diberikan oleh The Saka’s Club Kabupaten Badung dalam

Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu mengenai bagaimana pengaturan mekanisme penebangan pohon perindang di kota denpasar yang dilakukan Pemerintah kota dan

Dalam penelitian ini mengkaji tentang kosongnya norma hukum yang ada, sehingga dapat dipakai acuan dalam penemuan hukum baru tentang tidak adanya aturan tentang

Wanprestasi ini tidaklah bisa dianggap selesai begitu saja dikarenakan sudah dibuatnya polis asuransi yang sudah disepakai oleh kedua belah pihak.Wanprestasi ini

Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat–sifat suatu individu, keadaan, gejala atau

Adapun hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah Upaya Lembaga Perkreditan Desa, Desa Pakraman Batur Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli dalam menjamin Simpanan