• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 PENGERTIAN BOILER

Boiler atau ketel uap adalah bejana tertutup pada ujung pangkalnya digunakan untuk memproduksi uap. Dalam perkembangan ketel uap dilengkapi dengan pipa air (water tube) dan pipa api (fire tube). Pada pipa api yang mengalir dalam pipa adalah gas hasil dari pembakaran yang membawa energi panas yang diteruskan ke air ketel melalui bidang pemanas (heating surface) sedangkan pipa air yang mengalir dalam pipa adalah fluida yang akan dipnaskan, energi panas ditransfer pada luar pipa.

Api/gas panas dari hasil pembakaran bahan bakar didalam ruang bakar atau furnance dipindahkan melalui suatu perantara logam untuk selanjutnya panas di pindahkan ke air dalam ketel secara konveksi sehingga air mudah menguap. Secara garis besar proses ketel uap adalah perpindahan panas dari pembakaran bahan bakar ke air sehingga air berubah menjadi uap karena naiknya suhu pada tekanan tertentu dalam bejana.

Pada PPSDM MIGAS Cepu, ketel uap/boiler di gunakan untuk memproduksi uap pada jumlah tertentu dengan tekanan dan temperature tertentu pula. Uap yang dihasilkan dari boiler pada kondisi uap kering yang dipergunakan sebagai:

1. Fluida Kerja

(2)

2. Pemanas

a. Memanaskan cairan yang mudah beku agar tetap cair sehingga mudah dipompa seperti minya jenis residu.

b. Memanaskan air umpan pada daerator agar terhindar dari gas-gas O2,CO2 yang menyebabkan korosi.

3. Media Bantu

Untuk membantu proses fraksinasi di kilang dan menurunkan titik didih fluida tertentu.

3.2 KLASIFIKASI BOILER

Boiler dapat diklarifikasikan dalam berbagai bentuk sebagai berikut :

3.2.1 Berdasarkan isi dari tube 1. Fire Tube Boiler

Gambar 3.1 Boiler Fire tube (Sumber: Rizal, 2015)

Fire Tube Boiler juga sering disebut Boiler Pipa Api. Fire Tube Boiler biasanya digunakan untuk kapasitas steam yang relatif kecil dengan tekanan rendah hingga sedang, itu dikarenakan sesuai dengan karakteristik dari Fire Tube Boiler itu sendiri,

(3)

yang dimana karakteristinya ialah menghasilkan kapasitas steam dan tekanan rendah. Fire Tube Boiler kompetitif untuk kecepatan steam sampai 12.000 kg/jam dengan tekanan sampai 18 kg/cm2. Fire Tube Boiler dalam operasinya menggunakan bahan bakar minyak bakar, gas atau bahan bakar padat. Sebagian besar Fire tube boiler dirakit oleh pabrik untuk semua bahan bakar. Cara kerja Fire Tube Boiler cukup mudah dipahami yaitu dikarenakan pada saat proses pengapian yang terjadi di dalam pipa, panas yang dihasilkan dari pengapian tersebut akan dihantarkan langsung kedalam boiler yang berisi air.

2. Water Tube Boiler

Gambar 3.2 Boiler Water Tube (Sumber: Lenntech, 2009)

Water tube boiler atau Boiler Pipa Air. Water tube boiler memiliki karakteristik yang hampir sama dengan Fire tube boiler, jika pada Fire tube boiler itu hanya mampu menyimpan tekanan steam rendah sedangkan pada Water tube boiler mampu menghasilkan kapasitas dan tekanan steam yang tinggi. Bukan hanya itu saja karakteristik dari Water tube boiler diantaranya kurang toleran terhadap kualitas air yang dihasilkan dari plant pengolahan air. Water tube boiler dirancang dengan kapasitas steam antara 4.500 – 12.000 kg/jam, dengan tekanan sangat tinggi.

Cara kerja water tube boiler, proses pengapian terjadi diluar pipa, kemudian panas yang dihasilkan memanaskan pipa yang berisi air dan sebelumnya air tersebut

(4)

dikondisikan terlebih dahulu melalui economizer, kemudian steam yang dihasilkan terlebih dahulu dikumpulkan di dalam sebuah steam-drum. Sampai tekanan dan temperatur sesuai, melalui tahap secondary superheater dan primary superheater baru steam dilepaskan ke pipa utama distribusi. Didalam pipa air, air yang mengalir harus dikondisikan terhadap mineral atau kandungan lainnya yang larut didalam air tesebut. Hal ini merupakan faktor utama yang harus diperhatikan terhadap tipe ini.

3.2.2 Berdasarkan jumlah tube

a. Ketel pipa tunggal (single tube boiler) b. Ketel pipa banyak (multi tube boiler)

Boiler wanson termasuk dalam multi tube karena memiliki banyak tube yang mencapai 128 tube.

3.2.3 Berdasarkan posisi sumbu shellnya a. Ketel sumbu tegak (vertical shell boiler)

b. Ketel sumbu horizontal (horizontal shell boiler) Boiler wanson termasuk dalam Boiler horizontal shell.

3.2.4 Berdasarkan posisi tekanan kerjanya

a. Ketel tekanan rendah : 8 sampai 20 atm b. Ketel tekanan sedang : 20 sampai 50 atm c. Ketel tekanan tinggi : 50 sampai 100 atm d. Ketel tekanan sangat tinggi : diatas 100 atm

Boiler wanson termasuk dalam Boiler ketel tekanan rendah yaitu 10 kg/cm2 = 9,67 atm

3.2.5 Berdasarkan sirkulasi air dan uap

a. Natural sirkulasi yaitu sirkulasi yang terjadi secara alami b. Force sirkulasi yaitu sirkulasi yang menggunakan alat bantu

(5)

Boiler wanson termasuk dalam natural sirkulasi karena sirkulasi air dan uap terjadi akibat perpindahan panas dari cairan dingin selama pemanasan.

3.2.6 Berdasarkan penggunaan a. Ketel diam

b. Ketel bergerak

Boiler wanson termasuk dalam boiler diam karena boiler ini tidak bergerak dari suatu tempat ke tempat lain melainkan dipasang pada posisi tetap.

3.2.7 Berdasarkan penggunaan bahan bakar a. Ketel bahan bakar fuel oil

b. Ketel bahan bakar gas c. Ketel bahan bakar listrik

Boiler wanson termasuk dalam bahan bakar jenis fuel oil berupa residu.

3.2.8 Berdasarkan kapasitas uap

a. Ketel kapasitas rendah :1 sampai 10 ton/jam b. Ketel kapasitas sedang :10 sampai 100 ton/jam c. Ketel kapasitas tinggi :100 sampai 500 ton/jam d. Ketel kapasitas sangat tinggi : diatas 500 ton/jam

Boiler wanson menghasilkan kapasitas uap rendah yaitu 5 ton/jam pada saat beroperasi dengan kapasitas maksimum 6,6 ton/jam.

3.3 TEGANGAN PADA PIPA

Tegangan pada pipa dikategorikan menjadi dua kategori dari tegangan. Pertama tegangan yang diakibatkan oleh tekanan baik dari dalam pipa maupun dari luar pipa. Kedua, tegangan yang datang dari gaya-gaya dan momen-momen yang bekerja pada sumbu x, y dan z yang diakibatkan oleh berat total, pemuaian panas, angin, gempa bumi dan yang lainnya.

(6)

Terminology tegangan dengan beban kadang sering di campur adukan, padahal keduanya memiliki makna yang berlainan. Mungkin karena sama sama hasil penerjemahan, jadi sering di campur. Yang namanya tegangan adalah definisi dari stress, sedangkan pengertian beban (gaya) itu diambil dari force atau load. Jadi beban adalah bagian dari tegangan, seperti kita tau kalau stress (tegangan ) adalah gaya (load) per satuan luas.

σ = F / A (3.1)

dimana:

σ = Tegangan (N/m2)

F = Gaya (N)

A = Luas Penampang (m2)

Elemen dari suatu dinding pipa dihubungkan dengan empat tegangan yang dapat dilihat pada Gambar 3.3

Gambar 3.3 Tegangan pada pipa

(Sumber: ITT Grinnell Industrial, 1981)

dimana:

SL = tegangan logitudinal (Longitudinal Stress)

SC = tegangan sirkumferensial (Circumferential Stress)

SR = tegangan radial ( Radial Stress)

(7)

Tabel 3.1 Perbandingan ASTM A106 dengan ASME SA 106

ASTM A106 ASTM A106 ASME SA 106 ASME SA 106 ASTM A53 API 5L-44

Gr. B Gr. C Gr. B Gr. C Gr. B B PSL1

MIN MAX MIN MAX MIN MAX MIN MAX MIN MAX MIN MAX

TENSILE 60000 70000 60000 70000 60000 60000 YIELD 35000 40000 35000 40000 35000 35000 ELOG (2"strip) 30% 30% 30% 30% 30% 30% Elongation formula e=625 000[1940] A0.2/U 0.9 e=625 000[1940] A0.2/U 0.9 e=625 000[1940] A0.2/U 0.9 e=625 000[1940] A0.2/U 0.9 e=625 000[1940] A0.2/U 0.9 e=625 000[1940] A0.2/U 0.9 ELOG.(50mm Round sample) 22% 20% 22% 20% Hardness (HRB) 241 241 241 241 241 (Sumber: Amerpipe, 2014)

Dalam menentukan perhitungan tegangan pada pipa sebelumnya kita harus mengetahui jenis dinding pipa apakah termasuk dinding tipis (thin wall) yakni jika ri/t ≥20, atau dinding tebal (thick wall) ri /t ≤20.

3.3.1 Tegangan Longitudinal (longitudinal stress)

Longituginal stress adalah tegangan yang mana arah tegangannya sejajar dengan sumbu pipa atau tegangan ke arah panjang pipa. Nilai pada tegangan ini negatif jika mengalami tekan dan positif jika mengalami tarik. Tegangan logituginal disebabkan gaya aksial, tekanan pipa & momen lentur.

Gambar 3.4 Tegangan longitudinal (Sumber: Staticequipmentengineer, 2014)

(8)

1. Gaya Aksial

Apabila sepasang gaya tekan aksial mendorong suatu batang, akibatnya batang ini cenderung untuk memperpendek atau menekan batang tersebut. Maka gaya tarik aksial tersebut menghasilkan tegangan tekan pada batang di suatu bidang yang terletak tegak lurus atau normal terhadap sumbunya.

Gambar 3.5 Gaya tarik aksial (Sumber : Diktat IPB, 2010)

Apabila sepasang gaya tarik aksial menarik suatu batang, dan akibatnya batang ini cenderung menjadi meregang atau bertambah panjang. Maka gaya tarik aksial tersebut menghasilkan tegangan tarik pada batang di suatu bidang yang terletak tegak lurus atau normal terhadap sumbunya.

Gambar 3.6 Gaya tekan aksial (Sumber : Diktat IPB, 2010)

Gaya yang diberikan baik berupa tekan atau tarik terhadap luas penampang pipa, dengan bentuk persamaan ditulis sebagai berikut :

(3.2)

(3.3)

dimana :

σLax = tegangan longitudinal akibat gaya axial (MPa)

Fax = gaya axial (N)

Am = luas penampang pipa (m2)

do = diameter luar pipa (m2)

(9)

2. Tekanan dalam pipa

Tekanan dalam ini dikarenakan fluida yang ada didalam pipa, fluida ini akan memberikan tekanan baik searah dengan panjang pipa dan kesegala arah permukaan pipa, dimisalkan seperti pada Gambar 3.7 & 3.8.

Gambar 3.7 Tekanan dalam pipa satu arah (Sumber : Repository USU, 2011)

Gambar 3.8 Tekanan dalam pipa segala arah (Sumber : Repository USU, 2011)

Untuk mengitung besar tekanan longitudinal akibat beban dalam pipa dapat menggunakan persamaan dibawah ini :

(3.4)

Dimana :

σLi = tegangan longitudinal akibat beban dalam (MPa) P tekanan internal MPa

do diameter luar pipa m

(10)

3. Tegangan Longitudinal akibat Momen Bending.

Gaya momen dibagi menjadi dua kategori yaitu momen bending dan momen torsi, pada tegangan longitudinal hanya momen bending yang terjadi. Momen bending menghasilkan distribusi tegangan yang linear dengan tegangan terbesar berada pada bagian terluar permukaan terjauh dari sumbu aksis bending. Gambar Tegangan longitudinal akibat momen bending dapat dilihat pada Gambar 3.9.

Gambar 3.9 Tegangan longitudinal akibat momen bending

(Sumber : Repository USU, 2011)

. (3.5)

(3.6)

dimana :

σLb = tegangan longitudinal akibat momen bending (MPa)

Mb = momen bending pada sebuah penampang pipa (Nm)

I = momen inersia dari penampang pipa (m4) do = diameter luar pipa (m)

di = diameter dalam pipa (m)

Tegangan ini disebut juga tegangan lendutan / lentur (bending stress). Tegangan ini paling besar jika c = ro yaitu:

. (3.7)

(3.8)

(11)

dimana :

σLb = tegangan longitudinal akibat momen lentur (MPa)

Mb = momen bending pada sebuah penampang pipa (Nm)

ro = jari-jari luar pipa (m)

I = momen inersia dari penampang pipa (m4) Z = modulus permukaan pipa (m3)

Dengan demikaan tegangan logituginal secara keseluruhan adalah jumlah dari gaya aksial + tekanan dalam pipa + momen bending pipa, sehingga dapat dituliskan seperti persamaan berikut ini.

(3.10)

dimana :

σL = tegangan longitudinal (MPa) Fa = gaya axial (N)

Am = luas penampang pipa (m2)

P = tekanan internal (MPa) t = ketebalan dinding pipa (m) Z = modulus permukaan pipa (m3)

Mb = momen bending pada sebuah penampang pipa (Nm)

3.3.2 Tegangan Radial (radial stress)

Tegangan radial adalah tegangan yang bekerja pada dalam arah radial pipa atau arah jari-jari pipa. Besar tegangan ini bervariasi dari permukaan dalam pipa ke permukaan luarnya dan dapat dinyatakan dengan persamaan tegangan tangensial. Dimana pada permukaan dalam pipa besarnya sama dengan tekanan dalam atau tekanan yang disebabkan oleh fluida yang ada dalam pipa dan permukaan luar pipa besarnya sama dengan tekanan atmosfer. Tegangan radial ini disebabkan oleh tekanan yang ditimbulkan oleh fluida. Gambar tegangan radial dapat dilihat pada Gambar 3.10

(12)

Gambar 3.10 Tegangan Radial (Sumber: Staticequipmentengineer, 2014)

Persamaan untuk tegangan radial pada superheater tube, yang memiliki thick wall cylinders;

1 (3.11)

dimana :

σR = tegangan radial (MPa) Pi = tekanan Internal (MPa)

ri = jari – jari dalam (m)

ro = jari - jari luar (m)

3.3.3 Tegangan Sirkumferensial (hoop stress)

Tegangan ini disebabkan oleh tekanan dalam pipa yang mana tekanan ini bersumber dari fluida dan nilainya selalu positif jika tegangan cenderung membela pipa menjadi dua. Tekanan dalam ini bekerja ke arah tangensial dan besarnya bervariasi terhadap tebal diding dari pipa, nilai tekanan yang diberikan kepada diding pipa atau nilai tekanan yang dialami diding pipa sama dengan tekanan yang diberikan oleh fluida.

(13)

Gambar 3.11 Tegangan Sirkumferensial (Sumber: Staticequipmentengineer, 2014)

Persamaan untuk tegangan sirkumferensial pada superheater tube, yang memiliki thick wall cylinders:

1 (3.12)

dimana :

σH = tegangan tangensial (MPa) Pi = tekanan Internal (MPa)

ri = jari – jari dalam (m)

ro = jari - jari luar (m)

3.3.4 Tegangan Von Mises

Struktur dirancang untuk mencegah kegagalan dimana ketidakmampuan sebuah komponen melakukan fungsinya dapat diistilahkan sebagai kegagalan. Kegagalan dapat terjadi bila material pertama-tama meluluh (yield). Oleh karena itu batas luluh banyak dipakai sebagai kriteria kegagalan. Kebanyakan teori dikembangkan dengan menghubungkan tegangan-tegangan utama pada sebuah titik pada bahan (σ1, σ2, σ3) terhadap kekuatan luluh bahan tersebut (σy). Tujuannya adalah untuk meramalkan kapan peluluhan pertama akan terjadi dibawah kondisi pembebanan yang tertentu. Teori kegagalan ini juga disebut teori geser (shear energy theory) dan teori von mises-Hencky.

(14)

Teori ini sedikit sulit pemakaiannya dari pada teori tegangan geser maksimum, dan teori ini adalah teori yang terbaik untuk dipakai pada bahan ulet. Seperti teori tegangan geser maksimum, teori ini dipakai hanya untuk menjelaskan permulaaan bahan mengalami luluh. Untuk tujuan analisis dan perencanaan, akan lebih mudah apabila kita menggunakan tegangan von-misses. Kriteria von mises menyatakan bahwa peluluhan pertama kali terjadi bila energy regangan maksimum terjadi pada sistem tegangan komplek sama dengan tegangan maksimal (kekuatan luluh σy). Hal ini dapat dinyatakan dalam persamaan ;

vm2 = (σ1 – σ2)2 + (σ2 – σ3)2 + (σ3 – σ1)2 (3.13) Dimana :

σvm = tegangan von mises (MPa)

σy = tegangan luluh (MPa)

σ1 = tegangan utama ke 1 (MPa) σ2 = tegangan utama ke 2 (MPa) σ3 = tegangan utama ke 3 (MPa)

Tegangan von mises harus lebih kecil dari tegangan luluh (σy). σvm < σy

Tabel 3.2 Allowable stresses in tension

Basic Allowable Stress S, ksi. At Metal Temperature oF

Material Spec.No Grade 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 1100 1200 1300 1400 1500

Carbon Steel A 106 B 20.0 20.0 20.0 20.0 18.9 17.3 16.5 10.8 6.5 2.5 1.0 C - 1/2 Mcl A 335 P1 18.3 18.3 17.5 16.9 16.3 15.7 15.1 13.5 12.7 4.0 2.4 1 1/4 - 1/2Mcl A 335 P11 20.0 18.7 18.0 17.5 17.2 16.7 15.6 15.0 12.8 6.3 2.8 1.2 18Cr-8Ni pipe A 312 TP304 20.0 20.0 20.0 18.7 17.5 16.4 16.0 15.2 14.6 13.8 9.7 6.0 3.7 2.3 1.4 16Cr-12Ni-2Mcl pipe A 312 TP316 20.0 20.0 20.0 19.3 17.9 17.0 16.3 15.9 15.5 15.3 12.4 7.4 4.1 2.3 1.3

(15)

3.4 DASAR PERHITUNGAN KETEBALAN PADA PIPA

Dalam pembangunan suatu plan yang menggunakan pipa, suatu perusahaan diharapkan mempunyai kemampuan desain plant tersebut. Engineer adalah orang pertama yang bertanggungjawab pada tugas desain ini. Dalam plant tersebut, engineer memulai dengan menentukan tebal minimum yang dibutuhkan. Setelah menemukan besar tebal minimum yang dibutuhkan, engineer mencari schedule dari besaran tersebut. Schedule yang ditentukan pastinya sedikit diatas angka besaran tebal minimum yang telah ditemukan. Hal ini dimaksudkan agar schedule yang ditentukan mampu menahan beban yang diderita terhadap fluida yang mengalir di dalam pipa.

Penentuan spesifikasi pipa dilakukan pada akhir tahap penentuan tebal minimum. Spesisikasi pipa adalah keterangann yang ada pada pipa mulai dari tebal minimum pipa, diameter pipa dan panjang pipa. Pada spesifikasi pipa terkandung mill certificate yang berisi mechanical properties dari pipa.

Pada tahap penentuan tebal minimum pipa, digunakan dua standar yang berbeda. Adapun persamaan rumus yang digunakan adalah sebagai berikut (Sam Kannapan, 1986).

(3.14)

(3.15)

dimana:

tm = tebal dinding minimal, (m)

t = tebal pressure design, (m) P = Internal pressure, (N/m2) DO = diameter luar pipa, (m)

S = tegangan izin pada temperatur desain (disebut hot stress), (N/m2)

A = Allowance (m), penambahan tebal untuk melengkapi pengurangan material dikarenakan penguliran, korosi, erosi; manufacturing tolerance (MT) juga diperhitungkan.

(16)

Y = koefisien yang diambil dari material properties dan temperatur desain. Untuk t<d/6, hasil dari Y tertera pada. Untuk temperatur dibawah 900ºF, diasumsikan 0,4.

Koefisien yang diambil dari material properties dan temperatur desain dapat diturunkan dengan persamaan:

(3.16)

dimana:

d = diameter dalam = DO – 2t

Tabel 3.3 Values of Y Coefficient to be used in Eq

Temperatur (oF)    Material  900 oF  and  below  950  1000  1050  1150  1150  and  above  Ferritic steels  0.4  0.5  0.7  0.7  0.7  0.7  Austenitic steel  0.4  0.4  0.4  0.4  0.5  0.7  Cast iron  0.4        Nonferrous metals  0.4        (Sumber: ANSI/ASME B31.3)

Untuk mencari faktor kualitas didapatkan dengan persamaan dibawah ini:

(3.17) dimana: Eq = faktor kualitas Ec = faktor pencetakan Ej = faktor sambungan Es = faktor struktur

Eq = faktor kualitas adalah produk dari faktor kualitas pencetakan Ec, faktor kualitas join Ej, dan faktor kualitas grade struktur Es ketika pengaplikasian. Hasil dari Ec pada rentangan 0,85 sampai 1,0 dan berdasar pada metode pengujian kualitas pencetakan (Tabel 3.4 Faktor Kualitas Cetak, Ec). hasil dari Ej mempunyai rentangan 0,6-1,0 (Tabel 3.5 Faktor kualitas sambungan, Ej) dan berdasar pada tipe weld joint. Hasil dari Es diasumsikan 0,92.

(17)

Tabel 3.4 Faktor Kualitas Cetak, Ec Type of Supplementary

Examination Ec

Surface examination (1) 0.85 Magnetic particle method (2) 0.85 Ultrasonic examination (3) 0.95

Type 1 & 2 0.90

Type 1 & 3 1.00

Type 2 & 3 1.00

(Sumber: ANSI/ASME B31.3)

Tabel 3.5 Faktor kualitas sambungan, Ej

TYPE OF JOINT  EXAMINATION  EJ 

FURNACE BUTT WELD  As required by specification  0.60  ELECTRIC RESISTANCE WELD  As required by specification  0.85  ELECTRIC FUSION WELD (SINGLE BUTT WELD)  As required by specification  0.80  ELECTRIC FUSION WELD (SINGLE BUTT WELD)  spot radiograph  0.90  ELECTRIC FUSION WELD (SINGLE BUTT WELD)  100% radiograph  1.00  ELECTRIC FUSION WELD (DOUBLE BUTT WELD)  As required by specification  0.85  ELECTRIC FUSION WELD (DOUBLE BUTT WELD)  spot radiograph  0.90  ELECTRIC FUSION WELD (DOUBLE BUTT WELD)  100% radiograph  1.00  BY ASTM A211 SPECIFICATION  As required by specification  0.75  DOUBLE SUBMERGED ARCWELDED PIPE (PER API  5L OR 5LX)  radiograph  0.95  (Sumber: ANSI/ASME B31.3)

Gambar

Gambar 3.1 Boiler Fire tube  (Sumber: Rizal, 2015)
Gambar 3.2 Boiler Water Tube  (Sumber: Lenntech, 2009)
Tabel 3.1 Perbandingan ASTM A106 dengan ASME SA 106
Gambar 3.5 Gaya tarik aksial  (Sumber : Diktat IPB, 2010)
+6

Referensi

Dokumen terkait

Dari uraian aspek-aspek peak performance diatas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa aspek yang dapat menjadikan atlet dapat mencapai peak performance ketika melakukan

2. Seorang mukmin boleh marah. tetapi lebih baik kalau dia memberikan maaf. Misalnya jika ia merasa terganggu oleh seseorang dalam batasan yang wajar, dengan

Dengan adanya Sistem Informasi Manajemen perpustakaan diharapkan dapat memberikan kemudahan pada Badan Perpustakaan Daerah Kota Kupang dalam mendata buku, membuat

Telaah yang telah dilakukan oleh dosen ahli dan guru biologi bertujuan untuk mengetahui kelayakan LKS secara teoretis berdasarkan aspek penyajian, aspek materi, aspek

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi profil objek wisata sungai hijau di Desa Salo Kecamatan Salo Kabupaten Kampar 3HQHOLWLDQ LQL EHUMXGXO ³ Dampak

Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister pada Program Studi Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis

 Meskipun jenis material clay nya berbeda, ternyata clay sangat mempengaruhi proses pemanasan dari material organik tersebut, dibanding material karbonat, sehingga hasil

Reviu Laporan Keuangan Pemerintah Daerah, dilakukan setiap tahun secara berkala yang tertuang dalam Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT) Inspektorat Kabupaten