BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Interjeksi bahasa Jawa sebagai kata yang mengungkapkan perasaan pembicara, sering ditemukan dalam tuturan lisan seseorang terutama yang beragam informal. Interjeksi bahasa Jawa digunakan untuk mengungakpakan ekspresi seseorang secara spontan. Dengan adanya interjeksi, tuturan seseorang akan lebih berekspresi sehingga lawan tutur akan mengetahui apa maksud tuturan tersebut. Interjeksi bahasa Jawa tidak termasuk kedalam konstruksi kelas kata lain, sehingga interjeksi dapat berdiri sendiri di luar kalimat atau tidak berada di dalam kalimat.
Interjeksi bahasa Jawa mempunyai beberapa macam bentuk satuan bahasa. Berdasarkan data yang telah ditemukan, bentuk satuan kebahasaan dalam interjeksi bahasa Jawa adalah interjeksi ditemukan berdasarkan jumlah morfem, interjeksi berdasarkan asal kata dan interjeksi berdasarkan makna. Interjeksi berdasarkan jumlah morfem, terdapat dua jenis bentuk yaitu monomorfemis dan polimorfemis. Interjeksi bahasa Jawa dalam bentuk monomorfemis ditemukan sejumlah 63, yaitu wah, weh/we, woh/wo, wuh/wu, wis, wus, hah/ha, heh/he, hih/hi, ho, huh/hu, hus, hem/hmm, ih, éh/é, e/em, oh/o, ah, lho, lha, yhe, nah, hyah, sst, dhuh, adhuh, wadhuh, woho, waha, ihir, uwe, heya, hayo, huwa/huwah, yah, alah, walah, welah/welha, halah, owalah, wealah, wuolah, ealah, hara, harataya, haratanaya, iyung, masa, sokur, edan, goblok, sontoloyo, mabok,
gombal, asem, bajingan, pekok, cilaka, masyaallah, Alhamdulillah, astaghfirullah, lhadalah, dan subhanallah. Sedangkan interjeksi dalam bentuk polimorfemis ditemukan dalam bentuk reduplikasi yaitu interjeksi mit-amit atau amit-amit. Berdasarkan data yang dikumpulkan, ditemukan juga interjeksi yang bentuknya seperti polimorfemis tetapi ternyata bukan polimorfemis yaitu gusti allah, adhuh biyung, laa ilahailallah, ealah dalah, ya dalah, ya elah, dan jos gandhos.
Di dalam interjeksi bahasa Jawa juga ditemukan interjeksi gabungan. Interjeksi gabungan merupakan gabungan antara interjeksi satu dengan interjeksi lain. Gabungan tersebut bisa perulangan dari interjeksi yang sama, bisa juga berupa gabungan interjeksi yang berbeda. Gabungan interjeksi tersebut biasanya digunakan secara berbarengan dalam percakapan sehari-hari, sehingga pengucapannyapun sering tidak bisa dilepaskan antar gabungan interjeksi tersebut. Gabungan interjeksi bahasa Jawa yang berupa pengulangan yaitu (1) weh, weh, weh, (2) wah, wah, wah, (3) heh, heh, heh, (4) sek, sek, sek, (5) hei, hei, hei, (6) é, é, é (7) adhuh, adhuh, adhuh, (8) wadhuh, wadhuh, wadhuh, (9) lho, lho, lho, (10) lha, lha, lha, (11) sst, sst, sst, dan (12) heya, heya, heya. Gabungan interjeksi bahasa Jawa yang berupa gabungan interjeksi yang berbeda yaitu alah mit-amit, halah amit-amit, alah gusti allah, dhuh yung-yung, dan yung alah.
Interjeksi bahasa Jawa berada pada persinggungan antara kelas kata dan maksud. Jadi interjeksi bahasa Jawa bisa merupakan kata asli dari interjeksi bisa juga berupa kelas kata lain. Interjeksi bahasa Jawa mempunyai kata asli interjeksi, yaitu kata yang benar-benar kata interjeksi bukan dari kelas kata lain atau serapan
bahasa lain. Yang termasuk ke dalam kata asli interjeksi adalah wah, weh/we, woh/wo, wuh/wu, wis, wus, hah/ha, heh/he, hih/hi, ho, huh/hu, hus, hem/hmm, ih, éh/é, e/em, oh/o, ah, lho, lha, yhe, nah, hyah, sst, dhuh, adhuh, wadhuh, woho, waha, ihir, uwe, heya, hayo, huwa/huwah, yah, alah, walah, welah/welha, halah, owalah, wealah, wuolah, ealah, hara, harataya, haratanaya, dan iyung. Interjeksi yang berasal dari kelas kata lain juga ditemukan yaitu dari kelas kata sifat atau adjektiva dan kata benda. Interjeksi yang berasal dari kelas kata sifat adalah bajingan, pekok, edan, goblok, sontoloyo, mabok, gombal, asem dan cilaka. Interjeksi yang berasal dari kata benda yaitu asu. Yang membedakan kata-kata tersebut yaitu termasuk adjektiva dan kata benda dengan yang termasuk interjeksi adalah adjektiva memiliki rujukan tertentu yang berupa keadaan dan kata benda memiliki rujukan tertentu berupa benda. Dengan kata lain, kata-kata itu melambangkan keadaan dan benda yang disebutkannya. Begitu juga interjeksi yang berasal dari makian, yang membedakan makian dengan interjeksi adalah apabila kata tersebut mencangkup arti leksikon maka tidak diaktegorikan interjeksi. Namun, jika eksplikasinya tidak mengaharuskan kata tidak bermakna leksikonnya, maka termasuk interjeksi. Selain itu, terdapat pula interjeksi yang berasal dari serapan bahasa lain, yaitu bahasa arab. Interjeksi tersebut ialah gusti allah, astaghfirullah, alhamdulillah, masyaallah, laa ilahaillallah dan subhanallah.
Interjeksi bahasa Jawa sebagian besar mempunyai makna gramatikal, akan tetapi ada beberapa interjeksi bahasa Jawa yang mempunyai makna leksikal. Berdasarkan makna leksikalnya, interjeksi dibedakan menjadi dua yaitu interjeksi
primer dan interjeksi sekunder. Interjeksi primer lebih cenderung kepada makna gramatikal, sedangkan interjeksi sekunder merupakan makna leksikal. Interjeksi sekunder adalah interjeksi yang mempunyai makne leksikal, yaitu interjeksi yang asal katanya mempunyai makna leksikal. Jadi dalam interjeksi yang digunakan bukan makna leksikal kata tersebut tapi makna yang didapat setelah memperhatikan konteks yang mengikuti. Interjeksi bahasa Jawa yang berbentuk primer adalah wah, weh/we, woh/wo, wuh/wu, wis, wus, hah/ha, heh/he, hih/hi, ho, huh/hu, hus, hem/hmm, ih, éh/é, e, oh/o, ah, lho, lha, yhe, nah, hyah, sst, dhuh, woho, waha, ihir, uwe, heya, hayo, huwa/huwah, yah, alah, walah, welah/welha, halah, owalah, wealah wuolah, ealah, hara, harata, haratanaya, iyung/yung. Sedangkan interjeksi sekunder dalam bahasa Jawa yaitu bajingan, pekok, edan, goblok, sontoloyo, mabok, gombal, asu, asem dan cilaka.
Dalam struktur kalimat tunggal, interjeksi tidak merupakan bagian yang integral seperti kategori lain. Dia dapat dipisahkan bahkan berkedudukan sederjat dengan kalimat, sehingga sederajat dengan klausa. Oleh karena itu, interjeksi bahasa Jawa dapat berdistribusi sebagai kalimat mandiri. Di samping dapat berdistribusi sebagai kalimat mandiri, interjeksi dapat berdistribusi pada posisi awal, tengah, atau akhir klausa. Tidak semua interjeksi bahasa Jawa bisa menempati semua distribusi bahasa, ada beberapa interjeksi yang hanya berdistribusi di tengah atau bahkan di belakang klausa saja. Akan tetapi semua interjeksi dapat berdistribusi sebagai kalimat mandiri dan pada awal klausa. Klausa yang mengikuti interjeksi bahasa Jawa tersebut juga mempengaruhi makna dari interjeksi. Distribusi interjeksi bahasa Jawa pada awal klausa dapat
ditemukan pada kalimat sederhana dan kalimat luas. Sedangkan distribusi pada tengah klausa hanya ditemukan setelah subjek saja. Kecenderungan interjeksi berdasarkan letaknya yaitu letak interjeksi bahasa Jawa yang paling sering ditemukan adalah interjeksi sebagai kalimat mandiri dan pada awal klausa. Hal tersebut dikarenakan semua data interjeksi bahasa Jawa dapat sebagai kalimat mandiri dan berdistribusi pada awal klausa. Kecenderungan interjeksi bahasa Jawa berdasarkan letaknya yang jarang ditemukan adalah yang berdistribusi pada tengah klausa.
Makna interjeksi bahasa Jawa dan fungsi bahasa yang ada dalam interjeksi bahasa tersebut adalah bagian yang penting dalam pengidentifikasian interjeksi bahasa Jawa. Fungsi bahasa interjeksi bahasa Jawa tidak bisa dipisahkan dengan makna dari interjeksi bahasa Jawa tersebut, karena makna dan fungsi saling berhubungan. Makna interjeksi bahasa Jawa diperoleh dengan menggunakan pendekatan sosio-komunikatif (pragmatik) yang digunakan oleh Goffman yaitu menggunakan asumsi lawan tutur melalui konteks yang ada dalam tuturan untuk memperoleh makna dalam interjeksi. Konteks sangat berpengaruh dalam pemaknaan sebuah interjeksi. Satu interjeksi dengan konteks berbeda maka maknanyapun akan berbeda. Berdasarkan data yang dikumpulkan, ditemukan makna interjeksi yaitu interjeksi interjeksi emotif yaitu yang dalam maknanya mengandung “saya merasakan sesuatu, interjeksi volitif yaitu interjeksi yang maknanya mengandung “saya menginginkan sesuatu”, dan interjeksi kognitif yaitu interjeksi yang dalam maknanya mengandung “saya berfikir sesuatu” atau “saya mengetahui sesuatu”.
Kelompok interjeksi emotif ini terbagi lagi menjadi 12 makna, yaitu interjeksi ekspresi kekaguman, interjeksi ekspresi rasa senang, interjeksi ekspresi kesakitan, interjeksi ekspresi ketakutan, interjeksi ekspresi kepanikan, interjeksi ekspresi kekesalan, interjeksi ekspresi kemarahan, interjeksi ekspresi jijik, interjeksi ekspresi kekecewaan, interjeksi ekspresi kebingungan, interjeksi ekspresi bersyukur, dan interjeksi ekspresi ketidaksukaan. Makna interjeksi bahasa Jawa juga dikelompokan dalam interjeksi volitif yang juga dibagi lagi menjadi 3 makna. Ketiga makna tersebut adalah interjeksi ekspresi meminta perhatian orang lain, interjeksi ekspresi bahwa hal tersebut benar (informasi), dan interjeksi ekspresi bahwa hal tersebut tidak benar (peringatan). Kelompok makna interjeksi kognitif, yang terbagi lagi menjadi interjeksi ekspresi kekagetan, interjeksi ekspresi keheranan, interjeksi ekspresi ketidaksetujuan, interjeksi ekspresi setuju, interjeksi ekspresi ketidakpercayaan, interjeksi ekspresi berfikir, interjeksi ekspresi teringat kembali, interjeksi ekspresi baru mengetahui sesuatu, interjeksi ekspresi mengolok-olok, interjeksi ekspresi menekankan kembali apa yang telah disebutkan sebelumnya, interjeksi ekspresi menandai maksud akan melanjutkan pembicaraan, interjeksi ekspresi mengetahui apa yang disebutkan sebelumnya benar, interjeksi ekspresi menakut-nakuti, interjeksi ekspresi penyangatan, interjeksi ekspresi menyumpahi, dan interjeksi ekspresi meniadakan apa yang telah disebutkan sebelumnya.
Fungsi interjeksi bahasa Jawa yaitu ditemukan yaitu emotif, konatif, referensial, dan fatis. Jadi, interjeksi bahasa Jawa merupakan hal yang penting yang juga menentukan lancarnya sebuah percakapan. Maksud si penutur dapat
diekspresikan melalui interjeksi, dan lawan tutur dapat mengerti maksud yang dituturkan.
5.2 Saran
Berdasarkan pada permasalahan yang dibahas oleh penulis yaitu mengenai interjeksi bahasa Jawa, peneliti hanya menganalisis interjeksi bahasa Jawa menggunakan pendekatan pragmatik. Jadi makna yang ditemukan hanya berdasarakan pada konteks yang mengikuti. Untuk penelitian selanjutnya terdapat pendekatan natural semantic metalanguage (NSM) yang juga bisa digunakan untuk meneliti interjeksi bahasa Jawa. Meskipun terdapat perbedaan antara pendekatan yang digunakan, makna yang diperoleh dari interjeksi bahasa Jawa tersebut tidak terlalu signifikan perbedaannya. Keterbatasan peneliti dalam penelitian ini adalah objek dalam penelitiannya. Peneliti hanya dapat meneliti satu objek bahasa, yaitu bahasa Jawa. Untuk penelitian interjeksi selanjutnya bisa menganalisis objek lain yaitu bahasa lain.