BAB II
KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
KAJIAN PUSTAKA
A. Resource-Based Theory
Resource-Based Theory (RBT) merupakan salah satu teori yang diterima
secara luas di bidang manajemen stratejik ((Newbert,2007). RBT pertama kali disampaikan oleh Wernerfelt (1984) dalam artikel pionernya berjudul “A
Resource-based view of the firm” yang menggabungkan ide ‘distinctive competencies’nya Selznick (1957) dan karya Penrose (1959) tentang ‘definition of the firm as a system of productive resources’ (Nothnangel,2008)
Edith Penrose adalah salah satu ahli pertama yang mengakui pentingnya sumber daya untuk daya saing perusahaan. Pada tahun 1959, dia menyatakan :
“A firm’s growth, both internally and then eksternally through merger, acquisition, and diversification, is due to manner in which its resource are employed, a firm consist of a collection of productive resources these resources may only contribute to a firm’s competitive position to the extent that they are exploited in such a manner that their potentially valuable services are made available to the firm.”
Resource-Based Theory menyatakan bahwa perusahaan memiliki sumber
daya yang dapat menjadikan perusahaan memiliki keunggulan bersaing dan mampu mengarahkan perusahaan untuk memiliki kinerja jangka panjang yang baik. Resource yang berharga dan langka dapat diarahkan untuk menciptakan keunggulan bersaing, sehingga resource yang dimiliki mampu bertahan lama dan
mudah ditiru, ditransfer, dan digantikan (Ulum,2015). Barney dan Arikan (2001) menyatakan bahwa ‘resource are the tangible and intangible assets firm use to
conceive of and implement their strategie.’.
Menurut Pulic dan Kolakovic (2003), setiap perusahaan memiliki
knowledge yang unik, keterampilan, nilai dan solusi intangible resources yang
dapat ditransformasikan menjadi nilai pasar. Pengelolaan sumber daya intangible dapat membantu perusahaan untuk mencapai keunggulan bersaing, meningkatkan produktivitas, dan nilai pasar. Wernerfelt (1984) di kutip dalam Widarjo (2011) menjelaskan bahwa menurut pandangan Resource-Based Theory perusahaan akan semakin unggul dalam persaingan usaha dan mendapatkan kinerja keuangan yang baik dengan cara memiliki, menguasai, dan memanfaatkan aset-aset strategis yang penting (aset berwujud dan tidak berwujud).
B. Signalling Theory
Signalling theory pada dasarnya concern dengan penurunan asimetri
informasi diantara dua pihak (Spence,2002). Teori pensinyalan berkaitan dengan bagaimana mengatasi masalah yang timbul dari asimetri informasi dalam setting
social. Hal ini menunjukkan bahwa asimetri informasi dapat dikurangi jika pihak
yang memiliki informasi dapat mengirim sinyal kepada pihak terkait. Sebuah sinyal dapat menjadi suatu tindakan yang dapat diamati, atau struktur yang diamati, yang digunakan untuk menunjukkan kharakteristik tersembunyi (kualitas) dari signaler tersebut. Pengiriman sinyal tersebut biasanya didasarkan pada asumsi bahwa itu harus menguntungkan bagi signaler (misalnya menunjukkan
kualitas yang lebih tinggi dari produk dibandingkan dengan pesaingnya) (An et al, 2011).
Signalling Theory menekankan kepada pentingnya informasi yang
dikeluarkan oleh perusahaan terhadap keputusan investasi pihak diluar perusahaan. Informasi merupakan unsur penting bagi investor dan pelaku bisnis karena informasi pada hakekatnya menyajikan keterangan, catatan, atau gambaran baik untuk keadaan masa lalu, saat ini, maupun keadaan masa yang akan datang bagi kelangsungan hidup suatu perusahaan dan bagaimana pasaran efeknya. Informasi yang lengkap, relevan, akurat, dan tepat waktu sangat diperlukan oleh investor di pasar modal sebagai alat analisis untuk mengambil keputusan investasi (Ulum,2015).
Pengungkapan sukarela informasi IC akan menjadi media yang sangat efektif bagi perusahaan untuk menyampaikan sinyal kualitas superior yang mereka miliki terkait kepeilikan IC yang signifikan untuk penciptaan kesejahteraan di masa yang akan datang (Guthrie dan Petty, 2000; Whiting dan Miller, 2008). Khususnya bagi mereka yang memiliki basis IC yang kuat, pengungkapan sukarela IC akan membedakan mereka dari perusahaan-perusahaan dengan kualitas yang lebih rendah. Seringkali diyakini bahwa pemberian sinyal tentang atribut IC, misalnya pengungkapan melalui laporan tahunan, akan menghasilkan beberapa keuntungan bagi perusahaan. (Vergauwen dan Alem,2005; Singh dan Van-der-Zahn,2008).
Teori sinyal menyatakan bahwa terdapat kandungan informasi pada pengungkapan suatu informasi yang dapat menjadi sinyal bagi investor dan pihak potensial lainnya dalam mengambil keputusan ekonomi. Suatu pengungkapan dikatakan mengandung informasi apabila dapat memicu reaksi pasar, yaitu dapat berupa perubahan harga saham atau abnormal return. Apabila pengungkapan tersebut memberikan dampak positif berupa kenaikan harga saham, maka pengungkapan tersebut merupakan sinyal positif. Namun, jika pengungkapan tersebut memberikan dampak negatif, maka pengungkapan tersebut merupakan sinyal negatif. Berdasarkan teori ini, maka suatu pengungkapan laporan tahunan perusahaan merupakan informasi yang penting dan dapat mempengaruhi investor dalam proses pengambilan keputusan (Octama, 2011)
C. Intellectual Capital
1. Definisi Intellectual Capital
Istilah dari modal intelektual pertama kali dipublikasikan oleh John Kenneth Galbraith pada tahun 1969 (Bontis, 1998). Galbraith berpandangan bahwa modal intelektual bukan sekedar aset tidak berwujud yang statis, melainkan suatu proses ideologis. Terdapat beragam definisi modal intelektual yang dinyatakan oleh berbagai penulis dalam berbagai literatur dan jurnal penelitian. Beberapa peniliti/penulis memberikan definisi dan pengertian yang beragam tentang IC. Brooking (1996) misalnya mendefinisikan IC sebagai berikut :
“IC is the term given to the combined intangible assets of market, Intellectual property, human-cenred and infrastructure- which enable the company to function”.
Roos et al. (1997) menyatakan bahwa :
“IC includes all the processes and the assets which are not normally shown on the balance-sheet and all the intangible assets (trademarks,patent, and brands) which modern accounting methods consider”,
Sedangkan Bontis (1998) mengakui bahwa :
“IC is elusive but once its discovered and exploited, it may provide an organisation with a new resource base from which to compete and win”.
The Society of Management Accountants of Canada (SMAC) mendefinisikan Intellectual Capital sebagai berikut “In Balance Sheet, intellectual assets are those knowledge-based items, which the company owns which prodused a future stream of benefits for the company (IFAC (1998) dalam Ardhan,dkk (2015).
Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD,1999)
yang menjelaskan IC sebagai nilai ekonomi dari dua katagori tak berwujud, yaitu
organizational (structural) capital dan human capital. Lebih tepatnya, organizational (structural) capital mengacu pada hal seperti system software,
jaringan distribusi, dan rantai pasokan. Human capital meliputi sumber daya manusia di dalam organisasi (yaitu sumber daya tenaga kerja/karyawan) dan sumber daya eksternal yang berkaitan dengan organisasi seperti konsumen dan
supplier.
IC umumnya diidentifikasikan sebagai perbedaan antara nilai pasar perusahaan (bisnis perusahaan) dan nilai aset perusahaan tersebut atau dari
nilai pasar dari bisnis kebanyakan dan secara khusus adalah bisnis yang berdasar pengetahuan telah menjadi lebih besar dari nilai yang dilaporkan dalam laporan keuangan berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh akuntan (Roslender dan Fincham, 2001).
Intellectual Capital mencakup semua pengetahuan karyawan, organisasi,
dan kemampuan mereka untuk menciptakan nilai tambah yang menyebabkan keunggulan kompetitif berkelanjutan. Intellectual Capital merupakan sumber daya yang dimiliki oleh suatu perusahaan yang nantinya akan memberikan keunggulan dimasa depan yang dilihat dari kinerja perusahaan tersebut (Yulistina, 2011).
Roos et al (1997) menyatakan bahwa IC meliputi seluruh proses dan aset yang tidak secara normal. Nampak di neraca dan semua intangible assets (trademarks, patent, dan brands) yang menjadi perhatian metode akuntansi modern. Sedangkan Bontis (1998) mengakui bahwa IC adalah clusive, namun ketika IC dapat ditemukan dan dieksploitasi, maka ia akan menjadi sumber daya baru bagi organisasi untuk memenangkan persaingan.
2. Elemen-elemen Intellectual capital
Salah satu definisi IC yang banyak digunakan adalah yang ditawarkan oleh
Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD,1999) yang
menjelaskan IC sebagai nilai ekonomi dari dua katagori tak berwujud, yaitu
organizational (structural) capital dan human capital. Lebih tepatnya, organizational (structural) capital mengacu pada hal seperti system software,
manusia di dalam organisasi (yaitu sumber daya tenaga kerja/karyawan) dan sumber daya eksternal yang berkaitan dengan organisasi seperti konsumen dan
supplier. Sering kali istilah IC diperlakukan sebagai sinonim dari intangible asset.
(Ulum,2009)
Sedangkan IFAC (1998) mengklasifikasikan IC dalam tiga kategori, yaitu : (1) Organizational Capital, (2) Relational Capital, dan (3) Human Capital. Bontis et al (2000) dikutip pada Ulum (2015) menyatakan secara umum, para peneliti mengidentifikasi tiga konstruk utama dari intellectual capital, yaitu :
Human Capital (HC), Stuctural Capital (SC), dan Customer Capital (CC). Selain
itu, banyak praktisi yang menyatakan bahwa intellectual capital terdiri dari tiga elemen utama (Stewart, 1998; Sveiby, 1997; Saint-Onge, 1996; ) dikutip dalam Tarigan (2011) yaitu :
a. Human Capital (modal manusia)
Human Capital merupakan lifeblood dalam intellectual capital. Disinilah
sumber innovation dan improvement, tetapi merupakan komponen yang sulit untuk diukur. Human capital juga merupakan tempat bersumbernya pengetahuan yang sangat berguna, keterampilan, dan kompetensi dalam suatu organisasi atau perusahaan. Human capital mencerminkan kemampuan kolektif perusahaan untuk menghasilkan solusi terbaik berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh orang-orang yang ada dalam perusahaan tersebut.
Menurut Bontis et al. (2000), secara sederhana human capital merepresentasikan individual knowledge stock suatu organisasi yang
dipresentasikan oleh karyawannya. Human capital merupakan kombinasi dari
genetic inheritance; education; experience; and attitude tentang kehidupan dan
bisnis. Human Capital didefinisikan sebagai kualifikasi, pengetahuan, dan keterampilan karyawan dalam memproduksi barang dan jasa serta kemampuan untuk dapat berhubungan dengan pelanggan. HC mempresentasikan modal pengetahuan individu organisasi yang dipresentasikan oleh karyawannya (Bontis, Keow, dan Richardson, 2000 dalam Ardhan (2015).
b. Structural Capital atau Organizational Capital (modal organisasi)
Menurut Bontis et al. (2000) menyatakan stuctural capital meliputi seluruh non-human strorehuses of knowledge dalam organisasi. Termasuk dalam hal ini adalah data base, organizational charts, process manuals, strategies,
routines, dan segala hal yang membuat nilai perusahaan lebih besar daripada nilai
materialnya.
Structural Capital meliputi seluruh pengetahuan selain pengetahuan yang
dimiliki sumber daya manusia dalam organisasi seperti sistem informasi, struktur organisasi, proses manual, strategi perusahaan, rutinitas kegiatan, dan segala hal yang membuat nilai perusahaan lebih besar dari nilai materialnya (Bontis, Keow, dan Richardson, 2000 dalam Ardhan dkk (2015).
c. Costumer Capital
Menurut Bontis et al (2000), Costumer Capital memiliki tema utama yaitu pengetahuan yang melekat dalam marketing channels dan customer relationship dimana suatu organisasi mengembangkannya melalui jalannya bisnis (Bontis et al, 2000). Elemen ini merupakan komponen modal intelektual yang memberikan nilai
secara nyata. Customer Capital merupakan hubungan yang harmonis/association
network yang dimiliki oleh perusahaan dengan para mitranya, baik yang berasal
dari para pemasok yang andal dan berkualitas, berasal dari pelanggan yang loyal dan merasa puas akan pelayanan perusahaan yang bersangkutan, berasal dari hubungan perusahaan dengan pemerintah maupun dengan masyarakat sekitar.
Customer Capital dapat muncul dari berbagai bagian diluar lingkungan
perusahaan yang dapat menambah nilai bagi perusahaan tersebut.
3. Pengukuran Intellectual Capital
Value Added Intellectual Coefficient (VAIC™)
Kunci untuk sukses adalah dalam penciptaan sebab dan akibat hubungan antara dua format penciptaan nilai (tangible dan intangible form). Harus dikatakan bahwa salah satu tantangan utama bagi manajemen adalah menciptakan kondisi yang akan membuka peluang generasi sukses nilai intangible (seperti :pengetahuan, layanan, pengalaman, keuntungan, kecepatan, kualitas, kesan) dan transformasinya kepada format tangible (seperti : pendapatan, laba, nilai tambah, pangsa pasar, nilai pasar)
Intellectual Capital merupakan salah satu aset tidak berwujud yang sangat
bernilai dan juga dibutuhkan oleh pihak eksternal salah satunya yaitu investor, namun pengakuan intellectual capital tidak terdapat dalam Laporan Keuangan. Untuk melakukan pengukuran terhadap intellectual capital bukanlah hal yang mudah. Terbatasnya ketentuan standar akuntansi tentang IC mendorong para ahli
untuk membuat model pengukuran dan pelaporan IC. Salah satu model pengukuran dampak dari pengelolaan IC yang sangat popular di berbagai negara adalah Value Added Intellectual Coefficient (VAICTM) yang dikembangkan oleh Pulic (1998). Asumsinya, jika perusahaan memiliki IC yang baik, dan dikelola dengan baik pula, maka tentu akan ada dampak yang ditimbulkannya. Dampak itulah yang kemudian diukur oleh Pulic dengan VAICTM, sehingga dengan demikian VAICTM lebih tepat disebut sebagai ukuran kinerja IC (Intellectual
Capital Performance / ICP) yang oleh Mavridis (2004), Kamath (2007) dan Ulum
(2009) disebut sebagai Bussines Performance Indicator (BPI) (Ulum,2015).
Pulic (1998) mengembangkan metode VAICTM yang digunakan untuk mengukur efisiensi nilai tambah terhadap intellectual capital perusahaan. Metode VAIC™, dikembangkan oleh Pulic (1998) dan didesain untuk menyajikan informasi tentang value creation efficiency dari aset berwujud (tangible asset) dan aset tidak berwujud (intangible assets) yang dimiliki perusahaan (Wijayanti, 2013).
Value Added Intellectual Coefficient ( VAICTM) merupakan salah satu pengukuran dengan metode tidak langsung untuk mengukur seberapa dan bagaimana efisiensi modal intelektual dan modal karyawan menciptakan nilai yang berdasarkan pada hubungan tiga komponen utama, yaitu capital employed,
human capital, dan structural capital. Keunggulan metode VAIC™ adalah data
yang dibutuhkan relatif mudah diperoleh dari berbagai sumber dan jenis perusahaan. Data yang dibutuhkan untuk menghitung berbagai rasio tersebut
adalah angka-angka keuangan yang standar yang umumnya tersedia dari laporan keuangan perusahaan. Alternatif pengukuran IC lainnya terbatas hanya menghasilkan indikator keuangan dan non-keuangan yang unik yang hanya untuk melengkapi profil suatu perusahaan secara individu. Indikator-indikator tersebut, khususnya indikator non-keuangan, tidak tersedia atau tidak tercatat oleh perusahaan yang lain (Tan et al., 2007).
Pulic (IBEC,2003) menyatakan bahwa dua sumber daya kunci yang menciptakan nilai tambah di dalam perusahaan adalah capital employed dan
intellectual capital. Intellectual capital terdiri dari human capital dan structural capital. Model VAIC™ ini dimulai dengan kemampuan perusahaan untuk
menciptakan value added (VA). Value added adalah indikator paling objektif untuk menilai keberhasilan bisnis dan menunjukkan kemampuan perusahaan dalam penciptaan nilai (value creation). VA dihitung sebagai selisih antara output dan input (Pulic, 1999). Output merepresentasikan revenue dan mencakup seluruh produk dan jasa yang dijual di pasar, sedangkan Input mencakup seluruh beban yang digunakan dalam memperoleh revenue. Hal yang terpenting dalam model ini adalah bahwa beban karyawan (labour expense) tidak termasuk dalam Input (Tan et al., 2007). Karena peran aktifnya dalam proses value creation, intellectual
potential (yang direpresentasikan dengan labour expense) tidak dihitung sebagai
biaya (cost) dan tidak masuk dalam komponen Input. Sebab, aspek kunci dalam model Pulic adalah memberlakukan tenaga kerja sebagai entitas penciptaan nilai
Secara ringkas, Value added (VA) dipengaruhi oleh efisiensi dari tiga jenis input yang dimiliki oleh perusahaan, antara lain : Human Capital (HC), Capital
Employed (CE), dan Structural Capital (SC) (Tan et al., 2007) dalam muna
1. Human Capital Efficiency (HCE)
Human Capital Efficiency (HCE) menunjukkan berapa banyak value added yang dihasilkan dengan dana yang dikeluarkan untuk tenaga kerja.
Hubungan antara VA dan HC mengindikasikan kemampuan dari HC untuk menciptakan nilai di dalam perusahaan. Konsisten dengan para penulis IC lainya, Pulic berargumen bahwa total salary dan wages cost adalah indikator human
capital perusahaan (Ulum,2015)
Semakin banyak value added dihasilkan dari setiap rupiah yang dikeluarkan oleh perusahaan menunjukkan bahwa perusahaan telah mengelola sumber daya manusia secara maksimal sehingga menghasilkan tenaga kerja berkualitas yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja keuangan perusahaan.
2. Structural Capital Efficiency (SCE)
Structural Capital Efficiency (SCE) menunjukkan kontribusi structural capital (SC) dalam penciptaan nilai. SCE mengukur jumlah SC yang dibutuhkan
untuk menghasilkan 1 rupiah dari VA dan merupakan indikasi bagaimana keberhasilan SC dalam penciptaan nilai. SC bukanlah ukuran yang independen sebagaimana HC dan SC dependen terhadap value creation (Pulic, 2000) Artinya, semakin besar kontribusi HC dalam value creation, maka akan semakin kecil kontribusi SC dalam hal tersebut.
3. Capital Employed Efficiency (CEE)
Capital Employed Efficiency (CEE) menggambarkan seberapa banyak value added yang dihasilkan dari modal fisik yang digunakan. Menurut Pulic
Employed)-nya jika 1 unit dari CE menghasilkan return lebih besar daripada
perusahaan lain. Kemampuan perusahaan dalam mengelola CE dengan baik merupakan bagian dari intellectual capital perusahaan tersebut.
D. Leverage (Debt) Ratio
Salah satu faktor penting dalam unsur pendanaan adalah hutang (leverage). Solvabilitas (leverage) digambarkan untuk melihat sejauh mana aset
perusahaan dibiayai oleh hutang dibandingkan dengan modal sendiri. Menurut Hery (2015:190) rasio solvabilitas atau rasio leverage merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur sejauh mana aset perusahaan dibiayai dengan utang. Dengan kata lain, rasio solvabilitas atau rasio leverage merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur seberapa besar beban utang yang harus ditanggung perusahaan dalam rangka pemenuhan aset. Dalam arti luas, rasio solvabilitas digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya, baik kewajiban jangka pendek maupun kewajiban jangka panjang.
Rasio solvabilitas atau leverage yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur sejauh mana aset perusahaan yang dibiayai oleh hutang. Seberapa besar utang yang ditanggung perusahaan dibandingkan dengan aktiva yang dimilikinya (Kasmir, 2010:112). Leverage menunjukkan proporsi atas pemakaian utang dalam membiayai investasinya (Safitri.dkk ,2015). Peneliti menggunakan Debt to Asset
Ratio (DAR) sebagai leverage, karena rasio ini mampu memberikan informasi
kepada para investor sebagai bahan pertimbangan sebelum melakukan investasi. Informasi mengenai adanya penggunaan utang oleh perusahaan dapat memberikan keuntungan bagi investor karena dengan adanya penggunaan
utang tersebut artinya perusahaan tersebut memiliki kondisi yang baik dalam memperoleh laba.
E. Return Saham
Return Ekspetasi merupakan return yang diharapkan akan diperoleh untuk
masa yang akan datang. Salah satu faktor yang membuat para investor menanamkan modalnya saat berinvestasi adalah return yang tinggi, dengan return yang tinggi maka investor berharap akan mendapatkan imbalan yang tinggi atas investasi yang dilakukan. Return yang diperoleh para investor tergantung oleh instrument yang digunakan (Eduardus, 2010). Menurut Jogiyanto (2014), return merupakan hasil yang diperoleh dari investasi. Return dapat berupa Return realisasian atau return yang telah terjadi dan return ekspestasian atau return yang belum terjadi tetapi yang diharapkan akan terjadi di masa mendatang.
F. Penelitian Terdahulu
Tan et al. (2007) melakukan pengujian terhadap pengaruh intellectual
capital terhadap financial return dalam 150 perusahaan yang terdaftar di
bursa efek Singapore dengan metode Partial Least Square (PLS). Tan et al. (2007) menggunakan return on equity (ROE), earning per share (EPS), dan
annual stock return (ASR) sebagai ukuran kinerja keuangan perusahaan.
Hasilnya konsisten dengan penelitian Chen et al (2005) bahwa intellectual capital berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan, baik masa kini maupun masa mendatang; rata-rata pertumbuhan Intellectual capital berhubungan positif dengan kinerja perusahaan di masa mendatang, dan kontribusi intellectual
Ulum (2008) melakukan penelitian terhadap 130 perusahaan perbankan di Indonesia dengan metode Partial Least Square (PLS). Sektor perbankan digunakan karena karyawannya dianggap lebih homogen dibandingkan sektor ekonomi lainnya (Kubo dan Saka dalam Ulum, 2008). Hasilnya menunjukkan bahwa intellectual capital berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan masa kini maupun kinerja keuangan perusahaan di masa datang, namun rata-rata 20 pertumbuhan intellectual capital tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan di masa datang.
Artinah dan Muslih (2011) meneliti komponen-komponen intellectual
capital yang dikaitkan dengan capital gain pada perusahaan perbankan yang
terdaftar di BEI. Hasil penelitian tersebut adalah HCE, SEE, SCE, dan VAICTM tidak berpengaruh terhadap capital gain.
Yudhanti dan Santi (2011) juga melakukan penelitian yang sejenis pada perusahaan jenis industri bank, asuransi dan jasa yang listing di BEI. Namun, dalam penelitian tersebut pengukuran intellectual capital tidak menggunakan model Pulic, melainkan menggunakan ukuran eksternal perusahaan yang proksikan dengan market to book value yang kemudian dihubungkan dengan kinerja keuangan perusahaan yang diproksikan dengan EBIT dan asset turnover. Penelitian tersebut juga menggunakan variabel kontrol yaitu ukuran perusahaan (size) yang diproksikan jumlah karyawan dan jenis industri dengan menggunakan
dummy variabel yang menyajikan tiga jenis industi dalam sektor jasa. Hasil
daripenelitian tersebut menunjukkan bahwa EBIT industri asuransi lebih besar dibandingkan dengan bank, dan EBIT industri jasa lebih rendah dibandingkan
dengan bank. Sedangkan untuk produktivitas asset menunjukkan bahwa ATO industri asuransi lebih besar dibandingkan dengan bank, dan ATO industri jasa lebih besar dibandingkan dengan bank.
Fidhayanti dan Dewi (2012) juga meneliti tentang return saham yang dikaitkan dengan nilai perusahaan, kinerja perusahaan dan kesempatan bertumbuh perusahaan pada perusahaan manufaktur yang listing di BEI. Dalam penelitian tersebut kinerja perusahaan diproksikan dengan ROE dan menghasilkan bahwa ROE berpengaruh terhadap return saham.
Sedangkan Fathi et al., (2013) dalam penelitiannya pada perusahaan Iran yang listing di Tehran Stock Exchange (TSE) menambahkan ROE dan growth
revenue sebagai proksi dari kinerja keuangan dan kemudian menghubungkannya
dengan intellectual capital dan komponennya. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa VAHU dan VACA tidak berpengaruh terhadap GR.
Ilham dkk (2013) meneliti perusahaan wholesale and retail yang terdaftar di BEI. Dalam penelitian tersebut Ilham dkk (2013) meneliti komponen-komponen VAICTM terhadap EPS yang menjadi proksi dari kinerja keuangan.
Hasil dari penelitian tersebut adalah komponen-komponen VAICTM berpengaruh terhadap EPS.
Wijayanti (2013) menghubungkan Value Added Intellectual Capital (VAIC™) dengan harga saham melalui kinerja keuangan pada perusahaan perbankan. Hasil dari penelitian tersebut adalah komponen-komponen Intellectual
perusahaan mengungkapkan intellectual capital (VAIC™) dalam laporan keuangannya akan menjadi sebuah nilai tambah bagi perusahaan yang nantinya juga akan tercermin dari tingginya harga saham perusahaan.
Sedangkan Penelitian terdahulu yang telah menemukan bukti bahwa terdapat hubungan antara kinerja perusahaan dan return saham, antara lain Adystya, dkk (2013), Fidhayatin dan Dewi (2012), Wajid Khan, et al. (2013)
Khan et al. (2013) meneliti return saham dan hasil dari penelitian tersebut adalah return on equity ratio, cash flow ratio, earning per share dan time interest
earned ratios berpengaruh positif terhadap return saham. Adystya dkk (2013)
yang melakukan penelitian serupa pada perusahaan Industri Automotive and Allied
Products Di Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan bahwa Price Earning Ratio (PER), Return On Equity (ROE), dan Earning Per Share (EPS) berpengaruh
secara signifikan terhadap return saham secara simultan. Sedangkan secara parsial, Retun On Equity (ROE) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
return saham, sedangkan variable lainya tidak berpengaruh signifikan terhadap return saham.
Ardhan, dkk (2015) melakukan penelitian Analisa Pengaruh Intellectual
Capital dan Inventory Turnover terhadap Profitabilitas Perusahaan. Hasil
pengujian atas hipotesis 1 menunjukkan bahwa secara parsial variabel value
added human capital secara signifikan mempengaruhi profitabilitas, tetapi nilai
negatif, variabel structural capital value added secara signifikan mempengaruhi profitabilitas, dan variabel value added capital employed secara signifikan mempengaruhi profitabilitas. Hasil pengujian atas hipotesis 2 menunjukkan
bahwa secara parsial variabel inventory turnover tidak berpengaruh secara signifikan terhadap profitabilitas. Hasil pengujian atas hipotesis 3 menunjukkan bahwa ada perbedaan antara perusahaan yang menggunakan cost leadership
strategy dengan perusahaan yang menggunakan differentiation strategy. Variabel value added human capital, structural capital value added, value added capital employed, dan inventory turnover secara bersama-sama berpengaruh secara
Tabel 2.1
Ringkasan Penelitian Terdahulu
Researcher Variabel Alat Analisis Hasil
Independen Dependen Lain
Tan et al. VAICTM ROE Partial IC berpengaruh
(2007) EPS Least positif terhadap
ASR Square kinerja perusahaan,
(PLS) baik masa kini
maupun masa Mendatang rata-rata pertumbuhan IC berhubungan positif dengan kinerja Perusahaan di masa mendatang kontribusi IC terhadap kinerja perusahaan berbeda berdasarkan jenis industrinya
Ulum VAICTM ROA Partial IC berpengaruh
Dkk ATO Least terhadap kinerja
(2008)
GR Square
keuangan perusahaan
(PLS) masa kini maupun
kinerja keuangan perusahaan di masa datang, namun RO GIG tidak berpengaruh Terhadap kinerja keuangan Perusahaan
Budi HCE, Capital Analisis HCE, SEE,
Artinah dan SEE, Gain
Regresi VAIC
TM
Muslih VAICTM
terhadap
(2011) gain
Ceicilia Market- EBIT Variabel Regresi Intellectual capital
Bintang to-book Dan kontrol: berganda pada perusahaan
Hari Value Asset Sizedan Linear jenis industri jasa
Yudhanti turno- Jenis menunjukkan ada
dan Josepha Ver Industry pengaruh dalam
C. Shanti kinerja keuangan
(2011) perusahaan.
Septy Market Return multiple Market book
Kurnia To Saham Linier value ratio, Return
Fidhayatin book value regression On Equity ratio,
dan Nurul ratio, capital expenditure
Hasanah Return to book value asset
Uswati On - Berpengaruh
Dewi Equity, terhadap return
(2012) Rasio saham secara
Capital Simultan
Expendit Secara parsial,
Ure Market to book
Book value ratio, Return
Value On Equity
Asset Berpengaruh
terhadap return
saham dan rasio
capital expenditure
to book value asset
tidak berpengaruh
terhadap return
Saham
Dr. Saeed HCE, ROA,
regression
- VAICTM dan SCE
Fathi, et al. SEE, ROE, Models berpengaruh positif
(2013) SCE, GR terhadap ROA,
VAICTM ROE, GR - HCE,CEE berpengaruh positif terhadap ROA, ROE
berpengaruh
terhadap GR
HCE, EPS Regresi HCE,SEE,SCE
Muhammad SCE, Linier berpengaruh positif
Ilham, dkk CEE -
berganda terhadap EPS
(2013)
Puput VAICTM Harga Variabel Regresi Intellectual capital
Wijayanti Saham inter- Linier (VAIC™) secara
(2013) vening: berganda tidak langsung
ROE, EPS Untuk Berpengaruh
variabel terhadap harga
inter- saham melalui
Vening kinerja keuangan
yaitu path (EPS)
analysis
Winda Price Return - Linier Price Earning
Adystya, Earning Saham Regresi Ratio (PER)
dkk (2013) Ratio Berganda Return On Equity
(PER), (ROE), dan
Return Earning Per Share
On (EPS) berpengaruh
Equity secara signifikan
(ROE), terhadap return
Dan saham secara
Earning simultan.
Per Return On Equity
Share (ROE) memiliki
(EPS) pengaruh yang
signifikan terhadap return saham, sedangkan variabel lainya tidak berpengaruh signifikan secara parsial.
Wajid Debt to Stock ordinary Debt to Equity
Khan, et al. equity, Return
- Least Return On Equity
Equity ratio,earning per
ratio, share and time
cash flow interest earned
ratio, ratios berpengaruh
Earning positif terhadap
per share return saham
and time Interest Earned Ratios Jendra Dasse Ardhan dan Saarce Elsye Hatane (2015) VAHU STVA VACA ITO RONOA Moderating variable : Differentiation Strategy, Cost Leadership Strategy. multiple linear -VAHU STVA VACA berpengaruh positif terhadap RONOA - ITO tidak berpengaruh terhadap RONOA - terdapat perbedaan antara perusahaan yang menggunakan cost leadership strategy dengan perusahaan yang menggunakan differentiation strategy
G. Rerangka Pemikiran
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, gambar berikut merupakan rerangka pemikiran penelitian ini. Rerangka pemikiran mengenai hubungan antara elemen-elemen Intellectual Capital (VAICTM ) yaitu Human Capital Efficiency, Stuctural
Capital Efficiency, dan Capital Employed Efficiency yang merupakan variabel
independen dan Rasio Leverage sebagai variabel kontrol dengan return saham sebagai variabel dependen
Gambar 2.1. Rerangka Pemikiran
HCE = Human Capital Efficiency CEE = Capital Employed Efficiency SCE = Structural Capital Efficiency DAR = Debt to Asset Ratio
DAR SCE
H. Hipotesis
Pengaruh Intellectual Capital terhadap Return Saham
Penilaian saham secara akurat dapat meminimalkan resiko sekaligus membantu investor mendapatkan keuntungan wajar, mengingat investasi saham di pasar modal merupakan jenis investasi yang beresiko tinggi namun menjanjikan keuntungan relatif besar. Namun para investor ini tidak menyadari akan adanya hal lain yang dapat menjadi pengaruh dari harga saham perusahaan, yaitu
intellectual capital dengan melihat bagian intellectual capital statement (ICS) dari
perusahaan.
Intellectual capital dibagi menjadi 3 bagian yaitu human capital, structure capital, dan customer capital. Ketiga bagian dari intellectual capital sangat
mempengaruhi kinerja keuangan dari perusahaan. Jika kinerja keuangan dari perusahaan baik maka akan ada dampak yang baik terhadap harga saham perusahaan. (Wijayanti,2013)
Berdasarkan Signaling theory, kandungan informasi pada pengungkapan suatu informasi dapat menjadi sinyal bagi investor dan pihak potensial lainnya dalam mengambil keputusan ekonomi. Dengan demikian, pengungkapan
intellectual capital bagi perusahaan mampu menjadi sinyal bagi investor ketika
ingin menanamkan modal dalam bentuk saham di perusahaan emiten. Hal tersebut disebabkan bahwa intellectual capital dapat mempengaruhi kinerja perusahaan yang akan berpengaruh terhadap perubahan harga saham dan return saham. Perubahan harga saham dan return saham merupakan sinyal bagi investor.
1. Pengaruh Human capital Efficiency (HCE) terhadap Return Saham Human capital merupakan salah satu komponen dari modal intelektual
yang berupa pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan seseorang yang dapat digunakan untuk menghasilkan layanan profesional. Human capital diukur dengan sebuah indikator yaitu Human capital Efficiency (HCE). HCE menunjukkan berapa banyak value added (VA) yang dapat dihasilkan oleh suatu perusahaan dengan dana yang dikeluarkan untuk tenaga kerja (Ulum,2008)
Human capital mencerminkan kemampuan kolektif perusahaan untuk
menghasilkan solusi terbaik berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh orang-orang yang ada dalam perusahaan tersebut. Dengan memiliki sumber daya yang berkualitas, perusahaan dapat mengeksploitasi secara maksimal kemampuan karyawannya dengan baik dan dapat menjadi value added bagi perusahaan untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Dengan meningkatnya kinerja perusahaan maka diharapkan mampu meningkatkan kepercayaan stakeholder terhadap going
concern perusahaan sehingga return saham turut meningkat.
Semakin tinggi HCE akan semakin tinggi pula return saham yang diperoleh investor. Oleh karena itu, Human Capital Efficiency (HCE) berpengaruh terhadap return saham. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan dengan hipotesis sebagai berikut:
H1 : Human Capital Efficiency (HCE) berpengaruh terhadap Return Saham
2. Pengaruh Structural Capital Efficiency (SCE) terhadap Return Saham
Hubungan ketiga adalah Structural Capital Efficiency (SCE) yang menunjukkan kontribusi structural capital (SC) dalam penciptaan nilai. SCE mengukur jumlah SC yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 rupiah dari VA dan merupakan indikasi bagaimana keberhasilan SC dalam penciptaan nilai. SC bukanlah ukuran yang independen sebagaimana SC. Sebagaimana HC, ia dependen terhadap value creation (Pulic,2000a). Artinya semakin besar kontribusi HC dalam value creation, maka akan semakin kecil kontibusi SC dalam hal tersebut.
Structural capital merupakan kemampuan organisasi atau perusahaan
dalam memenuhi proses rutinitas perusahaan dan strukturnya yang mendukung usaha karyawan untuk menghasilkan kinerja intelektual yang optimal serta kinerja bisnis secara keseluruhan. Structural Capital mencakup semua pengetahuan dalam perusahaan selain pengetahuan yang ada pada modal manusia, mencakup
database, bagan organisasi, proses manual, strategi, rutinitas dan sesuatu yang
nilainya lebih tinggi dibandingkan nilai materi (Bontis et al. 2000). Dengan demikian, stuktur perusahaan yang baik dan mendukung bagi perusahaan akan menjadi value added dan mampu meningkatkan kinerja perusahaan dan pada akhirnya akan meningkatkan return saham.
Semakin tinggi SCE akan semakin tinggi pula return saham yang diperoleh investor. Oleh karena itu, Structural Capital Efficiency (SCE)
berpengaruh positif terhadap return saham. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan dengan hipotesis sebagai berikut:
H2 : Structural Capital Efficiency (SCE) berpengaruh terhadap Return Saham
3. Pengaruh Capital Employed Efficiency (CEE) terhadap Return Saham
Hubungan lainnya dari VA adalah capital employed (CE), Capital
Employed Efficiency (CEE) adalah indikator dari VA yang diciptakan oleh physical capital. Pulic (1998) mengasumsikan bahwa jika 1 unit dari CE
menghasilkan return yang lebih besar dari perusahaan lain, maka berarti perusahaan tersebut lebih baik dalam memanfaatkan CE nya. Dengan demikian, pemanfaatan CE yang lebih baik merupakan dari IC perusahaan
Capital employed juga merupakan salah satu modal intelektual yang
nmenggambarkan berapa banyak value added perusahaan yang dihasilkan dari modal finansial dan modal fisik. Pengelolaan modal secara maksimal akan meningkatkan value added yang akan meningkatkan kinerja perusahaan pula. Peningkatan kinerja tersebut akan berdampak terhadap return saham yang akan diperoleh investor. Pulic (2004) berpendapat bahwa untuk memiliki gambaran yang luas tentang efisiensi seluruh sumber daya, penting untuk mengambil modal finansial dan modal fisik (capital employed) sebagai salah satu pertimbangan. (Ulum, 2015).
Semakin tinggi CEE akan semakin tinggi pula return saham yang diperoleh investor. Oleh karena itu, Capital Employed Efficiency (CEE)
berpengaruh terhadap return saham. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan dengan hipotesis sebagai berikut:
H3 : Capital Employed Efficiency (CEE) berpengaruh terhadap Return Saham