II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ternak Kelinci
Menurut sistem Binomial, bangsa kelinci diklasifikasikan sebagai berikut: Ordo : Lagomorpha
Famili : Leporidae Sub famili : Leporine
Genus : Lepus, Orictolagus
Spesies : Lepus spp., Orictolagus spp
Jenis yang umum diternakkan adalah American Chinchilla, Angora, Belgian, Californian, Dutch, English Spot, Flemish, Giant, Havana, Himalayan, New Zealand Red, White dan Black Rex Amerika. Kelinci lokal yang ada sebenarnya berasal dari Eropa yang telah bercampur dengan jenis lain hingga sulit dikenali lagi(Yunus, 2011).
Tujuan pemeliharaan kelinci di Indonesia cukup beragam, mulai dari sebagai kelinci hias, kelinci penghasil bulu, dan kelinci penghasil daging. Kelinci hias adalah jenis kelinci yang di pelihara sebagai hewan kesayangan (pet) yang didasarkan pada bentuk dan ukuran tubuh kecil, lucu serta berbulu indah, tebal, dan lembut. Bangsa kelinci hias antara lain Angora, Lops, Yersey Woolies, Lions, Fuzzy, dan Mini Rex. Tujuan pemeliharaan kelinci yang kedua adalah penghasil kulit dan bulu. Kriteria kelinci ini adalah memiliki kulit-bulu yang eksotis dan indah, menarik, serta bernilai tinggi sehingga potensial untuk diekspor dengan mutu fisik kulit tinggi. Kulit dan bulu ini pada umumnya dimanfaatkan sebagai bahan baku kerajinan, interior mobil, boneka, tas, dan jaket. Contoh kelinci
penghasil kulit bulu adalah Rex dan Satin. Sementara kelinci pedaging memiliki kriteria persentase karkas 50-60%, bobot badan harus mencapai 2 kg pada umur 8 minggu , dan memiliki laju pertumbuhan tinggi, sekitar 40gr/ekor/hari. Beberapa jenis kelinci pedaging antara lain, Flemish Giant, New Zealand White, Flameusreus, Satin, Rex, Rexsa, Hybrid Flemish dengan lokal dan Tan(Masanto dan Agus, 2010).
Seekor kelinci bisa menghasilkan daging 50-60% per kg berat badan. Jika dibandingkan dengan daging ayam, daging sapi, daging domba dan daging babi, daging kelinci mengandung lemak dan kolesterol jauh lebih rendah tapi proteinnya lebih tinggi. Kandungan lemak kelinci hanya sebesar 8% , sedangkan daging ayam 12%, daging sapi 24%, daging domba 14%, dan daging babi 21%. Kadar kolesterol daging kelinci sekitar 164 mg/100 gr, sedangkan daging ayam, daging sapi, domba dan babi berkisar 220-250 mg/100g daging. Kandungan protein daging kelinci mencapai 21% sementara ternak lain hanya 17-20%.
Berdasarkan kandungan protein, lemak, dan kolesterol, daging kelinci sangat baik untuk dikonsumsi sebagai daging yang sehat dan semakin luas diterima pasar. Selain diolah menjadi sate beberapa pengusaha membuat variasi produk berbahan dasar daging kelinci seperti abon, bakso, burger, dendeng, gulai, kornet, nugget, sate dan sosis. Tujuan dari diferensiasi produk tersebut agar dapat dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat. Harga produk olahan berbahan dasar kelinci memang lebih mahal dari pada produk lainnya (misalnya nugget ayam). Harga nugget kelinci bisa menembus angka Rp 60.000 per kg. Meskipun dibandrol lebih mahal, respon konsumen sejauh ini cukup lumayan (Masanto dan Agus, 2010).
Kelinci dapat melahirkan 4-10 kali setahun karena masa hamilnya relatif pendek, yakni 28-35 hari, rata-rata 31 hari. Sekali melahirkan jumlah anak mencapai 4-12 ekor, rata-rata 6-8 ekor. Umur kelinci juga cukup panjang. Induk betina mampu berproduksi sampai umur enam tahun dengan puncak produksi sekitar umur tiga tahun. Jika dikelola dengan baik sampai umur lima tahun kelinci bisa berproduksi cukup baik.
Untuk mempertahankan keturunan yang lebih baik dan mempertahankan sifat yang spesifik, perlu dilakukan pemuliaan pada kelinci. Program pemuliaan tersebut salah satunya bisa dilakukan dengan persilangan. Program persilangan yang dapat dilakukan ada tiga cara, yaitu cross breeding, in breeding, dan pure
line breeding.
Cross breeding merupakan sistem pembibitan dengan kawin silang atau crossing antara induk jantan dan induk betina yang tidak memiliki hubungan darah. Tujuan nya untuk mendapatkan keturunan lebih baik dan menambah sifat-sifat unggul dari kedua induknya. In breeding merupakan sistem pembibitan dengan mengawinkan induk jantan dan induk betina yang masih mempunyai hubungan darah dekat. Misalnya, mengawinkan ayah dengan anak, ibu dengan anak, saudara sekandung, dan kakek atau nenek dengan cucu. Meskipun menghasilkan keturunan yang lebih jelek dari bapak ibunya, tetapi kondisi satu atau dua anak-anaknya akan bagus, melebihi kedua tetuanya. Tujuannya adalah untuk mempertahankan dan menonjolkan sifat spesifik, misalnya kualitas bulu dan proporsi daging. Pure line breeding (silang antara bibit murni) merupakan modifikasi dari in breeding, tetapi kelinci yang dikawinkan diatur agar hubungan darahnya tidak terlalu dekat. Tujuannya untuk mendapatkan bangsa atau jenis
kelinci baru yang diharapkan memiliki penampilan bagus yang merupakan perpaduan keunggulan dari kedua tetuanya.
Kelinci merupakan ternak yang memiliki kemampuan biologis tinggi, selang beranak pendek mampu beranak banyak, serta dapat hidup dan berkembangbiak dari limbah pertanian dan hijauan. Hijauan dan limbah pertanian tertentu yang tersedia didaerah merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan kelinci(Masanto dan Agus, 2010).
Sastrodihardjo et al. (1992) mengatakan bahwa beberapa kendala pengembangan kelinci antara lain: 1) daging kelinci belum memasyarakat, 2) harga dagingnya belum terjangkau oleh daya beli masyarakat, 3) kurang gencarnya promosi tentang perlunya masyarakat mengkonsumsi daging kelinci. Kendala non teknis diduga lebih kuat pada pengembangan kelinci bagaimana diutarakan oleh Sartika et al. (1998) yang mengatakan ditinjau dari segi preferensi sebetulnya daging kelinci tidak mengalami kendala yang serius, namun kendala mengkonsumsi daging kelinci diduga dari segi psikologis yang mengungkapkan adanya rasa sayang, atau kasihan dalam pemotongannya maupun dalam hal memakannya.
Akan tetapi permasalahan harga jual yang tinggi dapat diatasi dengan melakukan diferensiasi produk seperti yang diungkapkan oleh Masanto dan Agus (2010) bahwa Selain diolah menjadi sate beberapa pengusaha membuat variasi produk berbahan dasar daging kelinci seperti abon, bakso, burger, dendeng, gulai, kornet, nugget, sate dan sosis. Tujuan dari diferensiasi produk tersebut agar dapat dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat.
Dwiyanto et al. (1985) mengatakan bahwa budidaya ternak yang dilakukan masyarakat masih perlu ditingkatkan melalui perbaikan tata laksana pemeliharaan. Oleh karena itu diperlukan langkah konkrit untuk memperkecil atau meniadakannya melalui penyuluhan budidaya dan pemahaman terhadap nilai kemanfaatan kelinci bagi kebutuhan gizi masyarakat. Perlu dipertimbangkan terhadap pengadaan tempat pemotongan yang dilokalisir sehingga perasaan kasihan bagi peternak dapat dihindari. Dilain pihak dengan adanya tempat pemotongan khusus ternak kelinci akan mempermudah pengumpulan kulit dan bulunya.
2.2 Landasan Teori
Sebuah usahatani adalah sebagian dari permukaan bumi dimana seorang petani, sebuah keluarga tani atau badan usaha lainnya bercocok tanam atau memelihara ternak. Usahatani pada dasarnya adalah sebidang tanah (Mosher, 1987).
Untuk menghasilkan produksi (output) diperlukan bantuan kerjasama beberapa faktor produksi sekaligus. Masalah ekonomi yang di hadapi adalah bagaimana petani dapat mengkombinasikan faktor-faktor produksi tersebut agar tercapai efisiensi yang setinggi-tingginya baik secara fisik maupun secara ekonomis (Mubyarto, 1994).
Hasil akhir dari suatu proses produksi adalah produk atau output. Produk atau produksi dalam bidang pertanian atau lainnya dapat bervariasi, antara lain karena disebabkan karena perbedaan kualitas. Hal ini dimengerti karena kualitas yang baik dihasilkan oleh proses produksi yang dilaksanakan dengan baik dan begitu juga sebaliknya kualitas produksi kurang baik bila usahatani tersebut dilaksanakan dengan kurang baik (Soekartawi, 1995).
Dalam ilmu ekonomi mikro dikenal dengan apa yang disebut fungsi produksi yaitu suatu fungsi yang menunjukkan hubungan antara hasil produksi fisik atau output dengan faktor produksi atau input. Dalam bentuk matematika sederhana, fungsi produksi dapat ditullis sebagai berikut:
Q = F (K, L, R, T) Dimana : Q = jumlah produksi K = modal L = tenaga kerja R = Sumberdaya Alam/tanah T= teknologi (Sukirno, 1994).
Fungsi produksi yang sering digunakan dalam penelitian empiris adalah fungsi produksi Cobb Douglass. Fungsi ini dinyatakan sebagai berikut:
Q = ALαKβ
Dimana:
Q adalah output (produksi), sedangkan L dan K masing-masing adalah tenaga kerja dan modal. α (alpha) dan β (betha) adalah parameter-parameter positif yang lainnya yang ditentukan oleh data. Semakin besar nilai α, barang teknologi semakin maju, parameter α mengukur persentase kenaikan Q akibat adanya kenaikan satu persen sementara K dipertahankan konstan (ceteris paribus). Demikian pula β mengukur persentase kenaikan Q akibat adanya kenaikan satu persen K sementara L dipertahankan konstan. Jadi α dan β masing-masing adalah elastisitas output daru L dan K (Salvatore, 1990).
Untuk melihat seberapa besar pengaruh faktor-faktor produksi terhadap produksi dalam fungsi Cobb Douglass yang telah diuraikan diatas dalam bentuk linier
ditransformasikan ke sistem bilangan logaritma, swering digunakan nilai koefisien regresi dalam persamaan fungsi produksi Cobb Douglass Y = f (Xi), yang mana secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:
Y = a + bi Xi,
Turunan pertama nilai (Y) terhadap nilai (X) adalah:
δY / δXi = bi ; diintegralkan menjadi, Y = ∫ bi δXi
Y = biXi + C ; dimana C = Konstanta (intercept)
Maka dari hasil perhitungan integral persamaan diatas, dapat dikatakan bahwa berapapun pertambahan nilai (X), akan dapat berpengaruh terhadap nilai Y, sebesar pertambahan persentase nilai (bi). Maka sesuai dengan pengertian nilai koefisien elastisitas yaitu mengukur persentase perubahan jumlah produksi persatuan Xi yang diakibatkan oleh persentase perubahan faktor produksi tertentu yang digunakan.
Usahatani dalam operasinya bertujuan untuk memperoleh pendapatan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan serta dana untuk kegiatan di luar usahatani. Untuk memperoleh tingkat pendapatan yang diinginkan maka petani seharusnya mempertimbangkan harga jual dari produksinya. Melakukan perhitungan terhadap semua unsur biaya dan selanjutnya menentukan harga pokok hasil usahataninya, keadaan ini tidak dapat dilakukan oleh petani, akibatnya efektivitas usahatani menjadi rendah. Volume produksi, produktivitas serta harga yang diharapkan jauh di luar harapan yang dikhayalkan (Fhadoli, 1991).
Biaya produksi adalah biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh faktor-faktor produksi yang akan digunakan untuk menghasilkan barang-barang produksi
yang dijual. Biaya produksi dapat dibagi menjadi dua, yaitu : biaya tetap (FC) dan biaya variabel (VC). Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya tidak tergantung dari banyak sedikitnya jumlah output, sedangkan biaya variabel adalah biaya yang besarnya berubah-ubah tergantung dari banyak sedikitnya output yang dihasilkan. Biaya tetap dan biaya variabel ini jika dijumlahkan hasilnya merupakan biaya total (TC) yang merupakan keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan produksi. Jadi, TC = TFC + TVC (Nuraini, 2001).
Biaya adalah semua pengeluaran yang dinyatakan dengan uang yang diperlukan untuk menghasilkan sesuatu produk dalam satu periode produksi. Nilai biaya dinyatakan dengan uang. Yang termasuk dalam biaya adalah: 1) Sarana produksi yang habis terpakai, seperti bibit, obat-obatan, pakan, bahan bakar. 2) Lahan seperti sewa lahan baik berupa uang, natura, pajak, iuran. 3) Biaya dari alat-alat produksi tahan lama, yaitu seperti bangunan, alat perkakas yang berupa penyusutan. 4) Tenaga kerja dari petani itu sendiri dan anggota keluarganya, tenaga kerja tetap atau tenaga bergaji tetap. 5) Biaya-biaya lain (Prawirokusuma, 1990).
Keuntungan adalah selisih antara total penerimaan (TR) dan total biaya (TC). Tujuan ini dapat diformulasikan sebagai berikut : π = pq – c (q). Keuntungan juga merupakan insentif bagi produsen untuk melakukan proses produksi. Keuntungan inilah yang mengarahkan produsen untuk mengalokasikan sumber daya ke proses produksi tertentu. Produsen bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan dengan kendala yang dihadapi (Sunaryo, 2001).
Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Pernyataan ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
TR1 = Y1 . Py1
Yaitu :
TR1 = Total Penerimaan
Y1 = Produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani
Py1 = Harga y.
Sedangkan pendapatan usahatani diperoleh dengan cara mengurangi keseluruhan penerimaan dan biaya.Rumus yang digunakan untuk mencari pendapatan usahatani, adalah : Pd = TR – TC Dimana : Pd = Pendapatan usahatani TR = Total Penerimaan TC = Total Biaya (Soekartawi, 2002).
Untuk dapat meningkatkan pendapatan sangat tergantung pada cepat tidaknya mengadopsi inovasi tergantung dari faktor ekstern dan faktor intern itu sendiri, yaitu faktor ekonomi dan sosial. Faktor ekonomi itu diantaranya jumlah tanggungan keluarga, luas lahan yang dimiliki dan ada tidaknya usahatani yang dimilikinya. Sedangkan faktor sosial diantaranya umur, tingkat pendidikan dan pengalaman bertani (Soekartawi, 1989).
Untuk mengetahui kelayakan usaha ternak kelinci ini dianalisis dengan metode analisis R/C, Analisis R/C ini membandingkan nilai penerimaan (Revenue) dengan total biaya, yaitu dengan kriteria, bila R/C > 1 , maka usahatani layak bila R/C = 1 maka usahatani berada pada titik impas dan bila nilai R/C < 1 maka usahatani tidak layak (Soekartawi, 1995).
Menurut Suratiyah (2006) Break Event Poin (BEP) adalah suatu kondisi yang menggambarkan bahwa hasil usaha yang diperoleh sama dengan modal yang dikeluarkan. Dalam kondisi ini, usaha yang dilakukan tidak menghasilkan keuntungan tetapi tidak mengalami kerugian.
a. BEP Volume Produksi menggambarkan produksi minimal yang harus dihasilkan agar usaha tidak mengalami kerugian
BEP = 𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻 𝑩𝑩𝑩𝑩𝑻𝑻𝑩𝑩𝑻𝑻 𝑷𝑷𝑷𝑷𝑻𝑻𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷𝑩𝑩 𝑯𝑯𝑻𝑻𝑷𝑷𝑯𝑯𝑻𝑻 𝑷𝑷𝑩𝑩 𝑻𝑻𝑩𝑩𝑻𝑻𝑯𝑯𝑷𝑷𝑻𝑻𝑻𝑻 𝑷𝑷𝑷𝑷𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑩𝑩
b. BEP harga produksi menggambarkan harga terendah dari produk yang dihasilkan. Apabila harga ditingkat petani lebih rendah dari harga BEP, maka usaha akan mengalami kerugian.
BEP =𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻 𝑩𝑩𝑩𝑩𝑻𝑻𝑩𝑩𝑻𝑻 𝑷𝑷𝑷𝑷𝑻𝑻𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷𝑩𝑩 𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻 𝑷𝑷𝑷𝑷𝑻𝑻𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷𝑩𝑩
Kriteria uji : titik impas yang melampaui apabila nilai masing-masing variabel lebih tinggi dari perhitungan BEP ( Break Even Point ).
ROI ( Return Of Investment ) adalah analisis untuk mengetahui keuntungan usaha, berkaitan dengan modal yang dikeluarkan. Besar kecilnya nilai ROI ditentukan oleh keuntungan yang dicapai dan perputaran modal. ROI (Return of Investment) digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi penggunaan modal yang diinvestasikan dalam usaha. Hasil ROI yang tinggi (>1) menunjukkan bahwa usahatani sangat efisien
ROI =Keuntungan x 100% Modal
( Cahyono, 2006).
Produktivitas tenaga kerja yaitu perbandingan antara penerimaan dengan total tenaga kerja yang dicurahkan per usahatani dengan satuan Rp/HKO.
Produktivitas tenaga kerja = Penerimaan
Total tenaga kerja yang dicurahkan
Dalam perhitungan curahan tenaga kerja maka digunakan standar perhitungan berdasarkan umur tenaga kerja dengan standar konversi sebagai berikut:
1. Tenaga anak-anak (1-14 tahun) : laki-laki = 0,5 HKP, wanita 0,4 HKP 2. Tenaga laki-laki dewasa ≥ 15 tahun = 1 HKP
3. Tenaga wanita dewasa ≥ 15 tahun = 0,8 HKP
Standar konversi tersebut berlaku dengan jumlah jam kerja yang sama dalam satu hari kerja yakni 7 jam efektif dengan rincian:
Jam 8.00 – 12.00 → kerja (4 jam)
Jam 12.00 – 14.00 → istirahat / makan siang (2 jam) Jam 14.00 – 17.00 → kerja (3 jam)
Untuk menghitung curahan tenaga kerja dari setiap individu/anggota keluarga yang bekerja pada usahatani dengan usia dan jenis kelamin tertentu harus melihat jumlah jam kerja dikalikan standar men equivalen (Me)/HKP (Hari Kerja setara Pria) seperti yang telah disebutkan diatas ( Butar-butar, 2010).
Pemasaran didefinisikan sebagai suatu rangkaian kegiatan atau jasa yang dilakukan untuk memindahkan suatu produk dari titik produsen ke titik konsumen. Pemasaran merupakan kegiatan produktif karena menciptakan kegunaan (utility) baik kegunaan bentuk, tempat maupun milik. Sistem pemasaran hasil pertanian adalah suatu kompleks sistem dalam berbagai subsistem yang berinteraksi satu sama lain dan dengan berbagai lingkungan pemasaran. Dengan demikian, lima subsistem yaitu sektor produksi , saluran pemasaran, sektor konsumsi, aliran (flow), dan fungsional berinteraksi satu sama lain dalam
Sistem pemasaran pertanian merupakan suatu kesatuan dari lembaga pemasaran. Tugasnya melakukan fungsi-fungsi pemasaran untuk memperlancar aliran produk pertanian dari produsen awal ke konsumen akhir. Begitu pula sebaliknya memperlancar aliran uang. Nilai produk yang tercipta oleh kegiatan produktif yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemasaran (Gembira dan Harizt, 2001). Saluran pemasaran / saluran distribusi terdiri dari seperangkat lembaga yang melakukan semua kegiatan dan fungsi yang digunakan untuk produksi dan status kepemilikannya dari produsen ke konsumen. Saluran pemasaran selalu terdiri dari produsen ke konsumen akhir, termasuk didalamnya para pialang yang terlibat dalam pemindahan produk ke konsumen. Para pialang dan agen juga merupakan bagian dari saluran distribusi meskipun mereka tidak memiliki hak atas barang. Hal ini biasanya terjadi karena memainkan peran yang aktif dalam pemindahan hak kepemilikan (Kotler, 1995).
Biaya tataniaga terbentuk sebagai konsekuensi logis dari pelaksanaan fungsi-fungsi tataniaga. Komponen biaya tataniaga terdiri dari semua jenis pengeluaran yang dikorbankan oleh setiap middleman / lembaga tataniaga atas jasa modal dan jasa tenaganya dalam menjalankan aktifitas pemasaran tersebut. Setelah dikelompokkan menurut harga beli dan harga jual, biaya-biaya pemasaran menurut fungsi tataniaga dan margin keuntungan dari tiap lembaga maka disebut juga price spread. Bila angka-angka price spread dipersenkan terhadap harga beli konsumen maka akan diperoleh share margin. Biaya tataniaga yang tinggi akan membuat sistem tataniaga kurang/tidak efisien (UII dan Kohl, 1980).
Dalam pemasaran komoditi pertanian seringkali dijumpai adanya rantai pemasaran yang panjang, sehingga banyak pelaku lembaga pemasaran yang
terlibat dalam rantai pemasaran tersebut. Akibatnya adalah terlalu besarnya keuntungan pemasaran (marketing margin) yang diambil oleh para pelaku pemasaran tersebut(Soekartawi, 1993).
Marketing margin adalah perbedaan harga yang diterima produsen dengan harga yang dibayar konsumen terakhir. Marketing margin terdiri dari berbagai macam ongkos dalam menyalurkan barang dari produsen ke konsumen. Jadi marketing margin itu terdiri dari berbagai margin seperti retail margin, yaitu selisih harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang dibayarkan si pengecer, profit
margin merupakan besarnya keuntungan / balas jasa yang diterima oleh setiap
middleman atau lembaga tataniga dan lain-lain. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa marketing margin sama dengan ongkos tataniaga (marketing
cost) dan sama artinya dengan “price spread”dan sama dengan marketing change
(Sihombing, 2010).
2.3 Kerangka Pemikiran
Peternak adalah orang yang menjalankan dan mengusahakan serta mengelola hewan ternak untuk mendapatkan manfaat dan hasil dari kegiatan usaha tersebut. Usaha ternak yang diusahakan didaerah penelitian dalam hal ini adalah usaha ternak kelinci.
Peternak dalam menjalankan usaha ternaknya selalu berusaha agar hasil produksi dari usaha ternaknya tinggi. Untuk mendapatkan produksi yang tinggi maka diperlukan fakor-faktor produksi yang dibutuhkan dalam usaha ternak kelinci. Faktor-faktor tersebut adalah bibit, tenaga kerja, obat-obatan, pakan serta alat-alat dan kandang selain modal dan lahan yang mana faktor-faktor inilah yang disebut sebagai komponen biaya dan biasanya masing-masing dipengaruhi oleh jumlah
input yang digunakan dan harga masing-masing input dan akhirnya mempengaruhi biaya produksi. Diantara faktor produksi tersebut perlu diketahui faktor manakah yang paling berpengaruh terhadap produktivitas ternak agar dikemudian hari peternak dapat meningkatkan efisiensi produksi sehingga keuntungan yang diperoleh menjadi optimal.
Pemasaran merupakan suatu rangkaian kegiatan atau jasa yang dilakukan untuk memindahkan suatu produk dari titik produsen ke titik konsumen, melalui beberapa macam jalur pemasaran. Dengan melihat jalur pemasaran dan profit
margin dari tiap middleman sampai pada konsumendalam suatu jalur pemasaran
sehingga dapat diketahui selisih harga yang diterima produsen dan konsumen serta besarnya ongkos tataniaga dalam jalur pemasaran ternak kelinci tersebut. Peternak akan memperoleh penerimaan dari hasil produksi usaha ternaknya. Penerimaan usaha ternak adalah perkalian antara produksi yang dihasilkan dengan harga produk yang dijual pada saat itu yang dinilai dengan rupiah. Sedangkan pendapatan usaha ternak diperoleh dengan cara mengurangi keseluruhan penerimaan dengan biaya.
Secara sistematis kerangka pemikiran dapat dilihat pada gambar berikut: KETERANGAN: = Menyatakan hubungan = Menyatakan pengaruh USAHA TERNAK PRODUKSI PENDAPATAN PENERIMAAN HARGA PETERNAK Komponen Biaya: - Kandang - Benih - Tenaga Kerja - Pakan - Obat-obatan Biaya Produksi
Layak Tidak Layak
Faktor-faktor produksi 1. Tenaga kerja 2. Input Produksi 3. Lahan Efisiensi Pemasaran PEMASARAN
2.4 Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis penelitian adalah:
1. a. Produktivitas ternak kelinci di daerah penelitian masih tergolong rendah. b. Jumlah indukan, konsumsi pakan, obat-obatan dan tenaga kerja
berpengaruh nyata terhadap jumlah produksi ternak kelinci di daerah penelitian.
2. Usaha ternak kelinci di daerah penelitian menguntungkan dan layak untuk diusahakan.