4.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Penentuan lokasi ditentukan secara sengaja (purposive), karena secara umum dari delapan (8) daerah kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara seluruhnya termasuk kriteria ’tahan pangan’ (Dinas Pertanian Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, 2007). Pada satu kabupaten yang tahan pangan, tidak berarti semua kecamatan dan desa dalam kabupaten tersebut tahan pangan (Badan Ketahanan Pangan, 2007). Demikian juga di Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), terdapat beberapa kecamatan dan desa yang rawan pangan. Sebagian besar rumahtangga di desa rawan pangan termasuk dalam kategori rawan pangan, namun terdapat juga beberapa rumahtangga yang tahan pangan. Demikian juga di kelurahan tahan pangan, sebagian besar rumahtangga termasuk kategori tahan pangan, namun terdapat juga beberapa rumahtangga rawan pangan.
Kabupaten Konsel merupakan daerah dengan kepadatan penduduk tertinggi di Sulawesi Tenggara, yaitu 230 jiwa per km2
4.2. Jenis dan Sumber Data
. Pengambilan data di lapangan dilaksanakan mulai bulan Februari - Maret Tahun 2009.
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer. Data primer bersumber dari hasil survei, melalui wawancara pada responden yang dipilih, yaitu suami dan isteri pada rumahtangga petani. Wawancara dilakukan dengan berpedoman pada daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah disiapkan. Daftar pertanyaan disusun sesuai dengan informasi atau variabel yang diperlukan.
Wawancara mendalam terhadap responden terpilih dilakukan oleh 9 (sembilan) orang enumerator secara serentak di semua desa yang menjadi lokasi penelitian pada minggu terakhir Bulan Februari 2009 sampai minggu pertama Bulan Maret 2009, agar data yang dikumpulkan berada pada rentang waktu yang relatif sama.
Data sekunder bersumber dari beberapa instansi terkait, yaitu BPS Pusat Jakarta, Dewan Ketahanan Pangan Nasional, Departemen Kesehatan RI, Dinas Pertanian Pemerintah Provinsi Sultra, Kantor BPS Provinsi Sultra, Kantor BPM Provinsi Sultra, Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe Selatan, Kantor BP3KP Kabupaten Konsel dan dari beberapa publikasi lainnya.
4.3. Metode Pengambilan Contoh
Sesuai dengan permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, maka responden yang diwawancarai adalah suami dan isteri dari rumahtangga petani. Umumnya petani di lokasi penelitian mengelola tanaman pangan, perkebunan dan perikanan (nelayan dan perikanan darat). Pada awalnya direncanakan akan dilakukan analisis secara terpisah berdasarkan jenis usahatani yang dikelola tersebut, karena diperkirakan akan ada perbedaan perilaku peran gender dalam usaha mencapai ketahanan pangan rumahtangga. Namun setelah pengambilan data di lapang, ternyata jarang sekali petani dan keluarganya yang mengelola satu jenis usahatani secara eksklusif. Dengan demikian, analisis tersebut tidak dilaksanakan karena nampaknya hasilnya akan bias.
Kabupaten Konawe Selatan merupakan kabupaten yang memiliki 22 kecamatan (BPS Sultra, 2007b). Penelitian ini dilaksanakan di tiga kecamatan di Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) Provinsi Sultra, yang dipilih secara sengaja.
Pemilihan kecamatan sampel berdasarkan kriteria bahwa daerah tersebut adalah kecamatan ‘rawan pangan’ dan ‘tahan pangan’.
Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian dan Ketahanan Pangan (BP3KP) Kabupaten Konsel (2008) menyebutkan bahwa Kecamatan Kolono dan Angata adalah dua kecamatan yang termasuk rawan pangan. Sedangkan Kecamatan Laeya yang merupakan daerah paling ‘tahan pangan’ diantara kecamatan yang ada di Konsel, dipilih secara sengaja sebagai pembanding untuk daerah rawan pangan. Terdapat tiga indikator yang digunakan dalam pengelompokkan ini, yaitu (1) prevalensi gizi kurang pada Balita, (2) persentase keluarga miskin, dan (3) rasio produksi pangan beras terhadap kebutuhan pangan penduduk.
Indikator ini hanya sebagian kecil dari ukuran yang digunakan secara nasional dan juga telah diadopsi oleh Dinas Pertanian Pemerintah Provinsi Sultra. Terdapat 12 indikator yang menggambarkan kinerja dari tiga sub-sistem ketahanan pangan, yang meliputi dimensi (1) ketersediaan pangan [indikatornya adalah rasio konsumsi per kapita normatif terhadap ketersediaan bersih komoditi padi (beras), jagung, umbi-umbian dan sagu], (2) akses terhadap pangan dan penghasilan [indikatornya ada empat : persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan (KK miskin), persentase KK yang bekerja < 15 jam/minggu, persentase KK yang tidak tamat sekolah dasar dan persentase KK yang tidak memiliki akses ke fasilitas listrik], dan (3) pemanfaatan dan penyerapan pangan [indikatornya ada tujuh, yaitu persentase wanita buta huruf, persentase rumahtangga yang tidak memiliki akses ke fasilitas kesehatan, persentase jumlah penduduk per dokter, persentase rumahtangga yang tidak memiliki akses ke air bersih, persentase Angka Harapan Hidup saat lahir, persentase anak Balita dengan
berat badan di bawah standar dan persentase Angka Kematian Bayi] (Dinas Pertanian Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, 2007). Indikator-indikator tersebut baru dapat diterapkan pada level propinsi, sedangkan di tingkat kabupaten belum dapat diterapkan akibat terbatasnya data (daftar urutan kerawanan pangan 100 kabupaten di Indonesia ditampilkan dalam Lampiran 6).
Pada saat ini, Kabupaten Konsel baru dalam tahap mengumpulkan berbagai data terkait untuk penyusunan Peta Kerawanan Pangan kabupaten indikatornya akan disesuaikan dengan acuan nasional seperti di atas. Informasi yang diberikan mengenai kecamatan dan desa-desa rawan pangan baru didasarkan pada 3 (tiga) indikator, yaitu (1) prevalensi gizi kurang pada Balita, (2) banyaknya keluarga miskin berdasarkan alasan ekonomi dan (3) rasio produksi pangan beras terhadap kebutuhan pangan penduduk (BP3KP Konsel, 2008). Dari data yang ada dan informasi dari BP3KP Kabupaten Konsel, yang termasuk kecamatan rawan pangan adalah Kecamatan Kolono, Angata dan Laonti. Dalam penelitian ini dipilih Kecamatan Kolono dan Angata, yang terletak di daratan Kendari. Pada saat penelitian sedang terjadi angin musim barat (ombak besar), sehingga sulit untuk mencapai Kecamatan Laonti yang dapat dicapai dengan naik kapal kayu.
Sebagian masyarakat di Kecamatan Kolono adalah nelayan atau petambak (karena separuh daerah ini berbatasan langsung dengan lautan), disamping sebagai petani tanaman pangan dan pekebun. Sedangkan masyarakat di Kecamatan Angata umumnya berusahatani di bidang tanaman pangan, perkebunan dan perikanan darat.
Disamping daerah-daerah rawan pangan, di Kabupaten Konawe Selatan terdapat beberapa kecamatan yang masuk kriteria tahan pangan, diantaranya
adalah Kecamatan Laeya, yang merupakan kecamatan paling tahan pangan. Pengambilan data di daerah tahan pangan dilakukan sebagai pembanding bagi kecamatan rawan pangan. Pada Kecamatan ini terdapat irigasi tehnis, yaitu Bendungan Laeya yang dibangun sejak Tahun 1970-an dan sekarang masih dapat dimanfaatkan sebagai sumber air untuk areal persawahan di daerah ini. Dengan demikian tidak mengherankan jika beberapa desa/kelurahan di kecamatan ini masuk kriteria tahan pangan. Sebagian besar petani di Kecamatan Lainea adalah petani padi sawah, sehingga tidak mengherankan jika daerah ini termasuk lumbung beras untuk Kabupaten Konsel. Disamping tanaman padi, petani juga mengusahakan berbagai tanaman pangan lainnya seperti jagung, ubi, pisang dan sayuran, serta tanaman perkebunan seperti kakao dan lada.
Untuk daerah rawan pangan dipilih 5 desa, yaitu tiga desa di Kecamatan Kolono (Desa Andinete, Matandahi dan Ngapawali), dan dua desa di Kecamatan Angata (Desa Sandarsi Jaya dan Lamooso). Untuk kecamatan tahan pangan, dipilih kelurahan Punggaluku dan Rambu-Rambu. Pada masing-masing desa/kelurahan yang dipilih tersebut, dilakukan pemilihan sampel dengan metode acak sederhana (simple random sampling), yaitu sebanyak 20 persen dari total populasi rumahtangga petani yang ada di masing-masing desa/kelurahan. Dengan demikian terdapat 75 rumahtangga contoh di Kecamatan Kolono, dengan perincian 20 rumahtangga di Desa Matandahi, 30 rumahtangga di Desa Andinete dan 25 rumahtangga di Desa Ngapawali. Untuk Kecamatan Angata, dipilih 71 rumahtangga contoh dengan perincian 42 rumahtangga di Desa Lamooso dan 29 rumahtangga di Desa Sandarsi Jaya. Dengan demikian, total rumahtangga contoh di desa-desa rawan pangan berjumlah 146. Kecamatan Laeya yang merupakan
daerah yang termasuk kategori tahan pangan di Kabupaten Konsel, dipilih sebanyak 54 rumahtangga contoh, yaitu 24 rumahtangga di Punggaluku dan 30 rumahtangga di Rambu-Rambu.
Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumahtangga petani (petani pangan, pekebun dan nelayan). Karena penelitian ini analisisnya dalam perspektif gender, maka rumahtangga sampel haruslah keluarga lengkap (ada suami dan isteri). Wawancara mendalam hanya dilakukan terhadap perempuan (isteri) dan laki-laki (suami), karena suami dan isteri merupakan pengambil keputusan utama dalam rumahtangga. Dengan demikian total responden yang diwawancarai berjumlah 400 orang dari 200 rumahtangga contoh (146 rumahtangga di daerah rawan pangan dan 54 rumahtangga di daerah tahan pangan)1
Kategori Desa/kelurahan
. Ringkasan mengenai jumlah rumahtangga contoh menurut desa rawan pangan dan tahan pangan disajikan dalam tabel berikut ini.
Tabel 1. JumlahRumahtangga Contoh Menurut Desa/Kelurahan Rawan
Pangan dan Tahan Pangan di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009 Nama Kecamatan Nama Desa/ Kelurahan Contoh Jumlah Rumahtangga Sampel2 Rawan Pangan Tahan Pangan Kolono Angata Laeya Matandahi Andinete Ngapawali Lamooso Sandarsi Jaya Punggaluku Rambu-Rambu 20 30 25 42 29 24 30 Jumlah 7 Desa/Kelurahan 200 1
Dalam pengolahan data, karena ketidaklengkapan beberapa kuesioner, maka sebanyak enam kuesioner datanya tidak dimasukkan dalam analisis (hanya 194 yang digunakan)
2
Yang menjadi responden adalah suami (laki-laki) dan isteri (perempuan) dalam setiap rumahtangga contoh
Tabel di atas juga menunjukkan bahwa sebagian besar rumahtangga contoh di desa rawan pangan merupakan rumahtangga tidak tahan pangan (79), namun jumlah rumahtangga yang tahan pangan juga cukup banyak (65). Di daerah tahan pangan, rumahtangga yang terpilih dalam penelitian ini hampir seluruhnya merupakan rumahtangga tahan pangan (47), hanya ada tiga (3) rumahtangga yang tidak tahan pangan. Untuk mengetahui distribusi rumahtangga contoh yang masuk kriteria ‘tidak tahan pangan’ dan ‘tahan pangan’ pada setiap kategori desa/kelurahan rawan pangan dan tahan pangan, datanya disajikan dalam tabel berikut .
Tabel 2. Distribusi Rumahtangga Contoh menurut Kriteria Tidak Tahan Pangan dan Tahan Pangan di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009
Kategori Desa/ Kelurahan
Jumlah Rumahtangga Tidak Tahan Pangan
Jumlah Rumahtangga Tahan Pangan Rawan Pangan 79 65 Tahan Pangan 3 47 Jumlah 82 112
Disamping data dari beberapa kuesioner yang tidak dimasukkan dalam analisis, beberapa variabel juga ada yang datanya tidak dimasukkan ke dalam analisis. Yang pertama adalah variabel konservatisme agama yang terdapat dalam model persamaan keputusan gender untuk bekerja atau tidak bekerja di luar usahatani. Variabel ini dihilangkan karena semua responden memberikan jawaban yang sama, sehingga tidak adanya variasi jawaban responden, yaitu bahwa agama apapun yang dianut (Islam, Kristen, Hindu) tak ada yang bersikap konservatif dalam hal boleh tidaknya perempuan dan atau laki-laki untuk bekerja atau
berusaha di luar rumah. Variabel lain yang dihilangkan adalah pengeluaran rumahtangga dalam model ketahanan pangan rumahtangga. Ini dilakukan karena banyaknya data pengeluaran rumahtangga responden yang tidak logis, atau tidak sebanding dengan penghasilan yang diperoleh rumahtangga.
Selain hal di atas, juga terdapat variabel yang mengalami perubahan, yaitu (1) upah yang seharusnya menggambarkan harga tenaga kerja di pasar, namun dalam penelitian ini variabel upah tidak sepenuhnya menggambarkan hal tersebut. Hal ini dilakukan karena hanya beberapa responden yang bekerja di luar usahatani keluarga yang menerima pembayaran dalam bentuk upah, baik tunai maupun natura. Umumnya responden bekerja mandiri di sektor jasa, seperti menjadi tukang ojek, penambang emas, dan menjual di pasar. Variabel upah tersebut akhirnya menggambarkan rata-rata upah dan pendapatan per hari dari pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan perempuan dan laki-laki di luar usahatani keluarga, dan (2) jumlah produksi usahatani diganti dengan variabel pendapatan usahatani. Hal ini dilakukan karena terdapat beberapa responden, terutama untuk petani pangan yang menghasilkan padi ladang, ubi, jagung dan sayuran yang dikonsumsi sendiri, tidak dapat memberikan data jumlah produksi secara fisik (satuan output) yang dihasilkan dari usahataninya, tetapi dapat memberikan kisaran nilai jualnya.
4.4. Metode Analisis
Model ekonometrika pada umumnya memiliki variabel dependen yang sifatnya kuantitatif, namun adakalanya variabel dependen tersebut bersifat kualitatif. Models of qualitative choice atau qualitative response (QR) models adalah model yang variabel dependennya melibatkan dua atau lebih pilihan kualitatif. Datakualitatif ini biasanya bersifat diskrit (discrete) atau jumlahnya
sedikit dan terbatas (limited). Data kualitatif dengan dua hasil (outcome/response) disebut binary atau dichotomous atau dummy variable. Jika tiga hasil disebut trichotomous variables dan selebihnya disebut polychotomous atau multinomial
variables model
Pada
(Anonim, 2009).
model yang variabel dependennya kuantitatif, tujuannya adalah untuk mengestimasi expected value atau mean value-nya dengan nilai regressor tertentu, sedangkan pada model yang variabel dependennya kualitatif, tujuannya adalah mengetahui probabilita dari suatu peristiwa akan terjadi, sehingga model QR sering juga disebut probability model (Gujarati, 2006). Jadi tujuan dari model ini adalah untuk menentukan probabilita seseorang dengan atribut/karakteristik tertentu akan membuat satu pilihan atas alternatif yang lain. Ada tiga pendekatan model probabilita untuk qualitative response yaitu: linear probability model, logit model, dan probit model
Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis deskriptif (penggambaran fenomena) dan analisis kuantitatif dengan menggunakan model ekonometrika. Untuk menganalisis faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi keputusan perempuan dan laki-laki untuk mencari nafkah di luar usahatani keluarga, serta faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga petani digunakan qualitative dependent variable (QDV). Pendekatan ini dipilih karena variabel dependen yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian ini adalah variabel dummy atau oleh Verbeek (2000) disebut sebagai ‘pilihan biner’ atau ‘dikotomi univariat’, dimana ada dua pilihan diskrit yang diberi nilai 1 dan 0. Gujarati (2006) disamping menyebutnya sebagai variabel boneka, dalam literatur lainnya variabel ini disebut sebagai variabel indikator, biner, kategori atau
variabel dikotomi. Kennedy (1998) menjelaskan bahwa bila dependen variabel dibuat dalam nilai 0-1 dan diregresikan terhadap variabel penjelasnya, maka diharapkan nilai prediksi dari dependen variabel akan bernilai antara 0 dan 1. Ini berarti bahwa nilai prediksi tersebut harus diinterpretasikan sebagai peluang (probability) dipilihnya keputusan gender untuk mencari nafkah di luar usahatani keluarga, pada kondisi variabel penjelas tertentu. Demikian juga untuk model ketahanan pangan rumahtangga, nilai dependen variabel tersebut diartikan sebagai peluang rumahtangga petani untuk mencapai ketahanan pangan dengan dipengaruhi oleh variabel penjelas.
Dalam penelitiannya yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam mengadopsi kapas transgenik di Provinsi Sulawesi Selatan, Siregar (2004) menggunakan tiga alternatif model QDV, yaitu model logit, probit dan tobit. Perbedaan ketiga model tersebut terletak pada perbedaan asumsi dalam sebaran peluang variabel dependennya, yang sebenarnya tidak teramati (unobservable).
Beberapa penelitian lain yang menggunakan model logit dalam analisis datanya adalah (1) Atmojo (1997) yang melakukan studi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi anak Balita di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, (2) Widarti (1998), dengan tujuan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi perempuan menikah dalam pasar kerja di Jakarta, (3) Rahmawati et al. (1999) yang penelitiannya bertujuan untuk menganalisis perubahan konsumsi pangan dan bukan pangan pada keluarga miskin di perdesaan dan perkotaan di masa krisis ekonomi, (4) Tanziha et al. (2005) yang menganalisis mengenai determinan kelaparan di Provinsi Jawa Barat,
(5) Krisnatuti et al. (2006), yang penelitiannya bertujuan melihat pengaruh adanya program JPS terhadap status gizi Baduta di beberapa kabupaten di Indonesia, serta (6) Alvarez and Miles (Undated), yang meneliti tentang efek gender atas alokasi waktu untuk pekerjaan rumahtangga pada pasangan suami-isteri pekerja di Spanyol.
Dalam penelitian ini digunakan model logit, suatu model yang digunakan untuk variabel dependen yang hanya memiliki 2 nilai (binary logit), bernilai peringkat atau skala (ordinal logit) maupun pengkategorian lebih dari dua nilai (multinomial logit). Regresi logit menggunakan asumsi hubungan antara variabel independen dan variabel dependen sebagai kurva S. Pada nilai variabel independen yang sangat rendah, variabel dependen mendekati nol, sedangkan pada variabel independen yang sangat tinggi, variabel dependen mendekati 1(asimtotik) [Wulung, 2007].
Menurut Kennedy (1998), model logit lebih umum digunakan oleh para peneliti, disamping mudah dalam estimasinya, juga kemungkinan alasan sejarah, yaitu biaya penghitungan yang murah (sebelum ditemukannya software modern).
Model logit dinyatakan berikut ini :
ln[p/(1-p)] = α + βX + e ...(2) dimana :
p = peluang terjadinya Y, p(Y=1) p/(1-p) = odds ratio
ln[p/(1-p)] = log odds ratio, atau disebut juga sebagai ‘logit’
Model logit memiliki distribusi kumulatif yang berdasarkan distribusi logistik yang bentuknya seperti huruf S (Cramer, 2003), seperti yang dilukiskan pada Gambar 11. Kurva sigmoid pada gambar tersebut menunjukkan titik-titik
(traced) fungsi logistik (logit). Sebagai akibat dari bentuk distribusi tersebut, maka nilai peluang gender untuk mengambil keputusan mencari nafkah di luar usahatani keluarga, serta peluang untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga, dapat ditentukan sebagai berikut :
ln[pi/(1-pi)] = α + βX + ei ...(3) dimana Pi ialah nilai variabel dependen yang nilainya berkisar dari 0 sampai dengan 1.
Sumber : Cramer, 2003
Gambar 11. Kurva Logistik P(Z)
Untuk mengestimasi koefisien model pada persamaan-persamaan ekonometrika yang distribusi kumulatifnya non linear, digunakan metode Maximum Likelihood Estimation (MLE). Fungsi likelihood (L) mengukur
kemungkinan nilai dari sekumpulan dependen variabel yang diobservasi (p1, p2, ..., pn) yang terjadi dalam sampel :
Nilai tertinggi dari L, merupakan peluang terbesar dari observasi p dalam sampel. MLE memerlukan koefisien (α, β) yang merupakan hasil estimasi, yang membuat log dari fungsi likelihood (LL < 0) sebesar mungkin, atau memperoleh koefisien yang membuat log dari fungsi likelihood (-2LL) sekecil mungkin.
Estimasi maximum likelihood diselesaikan dengan kondisi seperti berikut ini : {Y - p(Y=1)}Xi = 0, untuk semua observasi : i = 1,…, n.
Dari fungsi ln[p/(1-p)] = α + βX + e diperoleh nilai koefisien dari slope (β) yang diinterpretasikan sebagai laju dari perubahan ‘log odds’ akibat perubahan variabel-variabel X . Nilai ini tidak begitu berguna.
Dari fungsi p = 1/[1 + exp(-α - β X)], diperoleh Marginal Effect (ME) dari perubahan X atas peluang seperti berikut ini :
Μp/ΜX = f(β X) β ...(4) Interpretasi dari koefisien logit selalu disebut secara intuitif sebagai ‘odds ratio’, karena [p/(1-p)] = exp(α + βX), dimana exp(β) adalah efek dari variabel independen atas ‘odds ratio’.
4.4.1. Peran Gender, Kegiatan, dan Alokasi Waktu
Untuk menjawab tujuan pertama penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap jenis kegiatan dan alokasi waktu perempuan dan laki-laki dalam kegiatan produktif, reproduktif dan leisure, yang akan dianalisis secara deskriptif kualitatif berdasarkan konsep analisis gender dalam rumahtangga yang dikemukakan Ellis (1988). Dalam penelitian ini analisis dilakukan terhadap semua kegiatan yang di-lakukan perempuan dan laki-laki selama 24 jam, yang meliputi kegiatan (1) dalam usahatani keluarga, (2) pertanian di luar usahatani keluarga, (3) pekerjaan rumah-tangga, (4) leisure, dan (5) istirahat. Dengan analisis seperti ini akan diketahui
seluruh alokasi waktu oleh perempuan dan laki-laki serta untuk kegiatan apa saja. Dari hasil ini juga akan diketahui apakah terjadi ketimpangan gender atau tidak.
Studi tentang alokasi atau penggunaan waktu pada dasarnya memiliki satu fokus, yaitu mempelajari frekuensi dan durasi kegiatan manusia (Stinson, 1999). Terdapat banyak metode untuk menghitung alokasi waktu tersebut. Salah satunya adalah dengan mencatat semua aktivitas yang dilakukan contoh penelitian selama 24 jam dalam sehari semalam, mulai dari bangun pagi hari ini hingga bangun lagi esok harinya.
4.4.2. Analisis Keputusan Gender dalam Pasar Tenaga Kerja
Beberapa penelitian terkait partisipasi gender di pasar tenaga kerja telah dilakukan, antara lain analisis mengenai faktor-faktor penentu partisipasi perempuan menikah di pasar tenaga kerja di Jakarta yang telah dilakukan Widarti (1998). Sejalan dengan itu, Rachman et al. (1988) telah meneliti tentang faktor-faktor penentu curahan kerja ibu rumahtangga di perdesaan, sedangkan Koesoemowidjojo (2000) menganalisis faktor-faktor penentu alokasi waktu isteri di sektor publik. Beberapa studi di mancanegara, seperti Emran et al. yang fokus pada determinan ‘intangible’ dari kaitan antar generasi dalam partisipasi pada pekerjaan di luar usahatani. Paternostro dan Sahn (1999) melakukan studi untuk memahami fungsi pasar tenaga kerja di Rumania, dengan fokus untuk memahami penentu upah secara umum dan secara luas tentang diskriminasi upah berdasar gender. Newman dan Canagarajah (2000) meneliti pentingnya aktivitas di luar usahatani, karena dengan cepat dapat menurunkan tingkat kemiskinan di perdesaan Uganda dan Ghana, terutama bagi bagi kepala keluarga perempuan yang bekerja di luar usahatani (merupakan aktivitas sekunder).
Dengan melakukan modifikasi sesuai referensi yang telah dikaji, serta disesuaikan dengan tujuan penelitian ini, maka untuk menjawab tujuan kedua dalam penelitian ini, yaitu terkait faktor-faktor penentu keputusan gender untuk bekerja di luar usahatani keluarga, digunakan model persamaan berikut :
YP = f (DP, SDP, KRT, D1) ...
(5)
YL = f (DL, SDL, KRT, D2) ...
(6) dimana :
Yp = Keputusan perempuan untuk bekerja di luar usahatani
keluarga (ya=1, lainnya=0)
YL = Keputusan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani
keluarga (ya=1, lainnya=0)
SDP = Vektor variabel sosiodemografi perempuan
SDL = Vektor variabel sosiodemografi laki-laki
KRT = Vektor variabel karakteristik rumahtangga D1, D2 = Variabel dummy pembeda lokasi penelitian
Variabel-variabel sosiodemografi perempuan dan laki-laki meliputi usia saat penelitian, usia ketika menikah pertama, pendidikan, pendapatan masing-masing gender, pendapatan bersama gender, dummy ada tidaknya keterampilan yang dimiliki, dan dummy kesempatan kerja. Sedangkan variabel karakteristik rumahtangga meliputi pendapatan/kapita, jumlah anak berumur < 10 tahun, dan ukuran rumahtangga. Model ekonometrika persamaan keputusan perempuan dan laki-laki untuk bekerja (dan atau berusaha) di luar usahatani keluarga disajikan berikut ini :
(1) Model keputusan perempuan
a6 DAn + a7 D1n + u1...
(7)
Koefisien regresi yang diharapkan : a1, a2, a3, a4, a7 > 0; a5,a6 < 0
dimana :
KPn = Dummy keputusan perempuan untuk bekerja di luar usahatani
keluarga (ya=1, lainnya=0) PddPn = Pendidikan perempuan (tahun)
PddLn = Pendidikan laki-laki (tahun)
KETpn = Dummy memiliki keterampilan tertentu (ada=1; tidak ada=0)
Ymisn
bila ≤ Rp.182,000/bulan
= Dummy keluarga masuk garis kemiskinan atau tidak
(Bila pendapatan/kapita rumahtangga > Rp.182,000/bulan=1,
3
=0)
UMpn1n= Dummy umur saat menikah (UMpn1=1 bila menikah ketika usia
< 19 tahun dan Lainnya=0)
DAn = Jumlah anak berumur < 10 tahun di rumah (jiwa)
D1n = Dummy pembeda desa tahan pangan dan rawan pangan
(Desa tahan pangan=1, desa rawan pangan=0) ul = Error term
(2) Model keputusan laki-laki
KLn = b0 + b1 Ykapn + b2 Uln + b3 UMln+ b4 DKKln + b5 KETln +
b6 D2n + u2...
(8)
Koefisien regresi yang diharapkan : b1, b2, b3, b4, b5,b6 > 0
dimana :
KLn = Dummy keputusan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani
keluarga (ya=1, lainnya=0)
Ykapn = Pendapatan/kapita (Rp/orang/tahun)
Uln = Umur laki-laki saat penelitian (tahun)
UMLn = Umur saat menikah (tahun)
DKKLn = Dummy kesempatan kerja laki-laki (1 = ada; 0 = tidak
ada)
KETln = Dummy memiliki keterampilan tertentu (ada=1; tidak ada=0)
D2n = Dummy pembeda desa tahan pangan dan rawan pangan
(Desa tahan pangan=1, desa rawan pangan=0) u2
3
Garis kemiskinan versi BPS = Rp 182.000/bulan/orang
4.4.3. Pencapaian Ketahanan Pangan Rumahtangga dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya
Untuk mengukur pencapaian ketahanan pangan, berbagai indikator dapat digunakan. Menurut Hardinsyah (2007) ukurannya bisa kuantitatif maupun kualitatif. Ukuran kuantitatif yang meliputi (1) kecukupan energi rumahtangga, (2) tingkat kecukupan energi, (3) keanekaragaman makanan, dan (4) persen pengeluaran untuk pangan sangat kompleks dan tidak aplikatif bagi pemantauan situasi ketahanan (kerawananan) pangan di masyarakat.
Dalam hal ini, diperlukan ukuran kualitatif yang lebih sederhana, tetapi tetap bermakna memberikan gambaran sesungguhnya yang terjadi dalam masyarakat. Haddad et al. (1994) mengemukakan bahwa indikator ketahanan pangan dan gizi tradisional seperti kecukupan kalori dan antropometrik, sulit digunakan dan diinkorporasikan ke sistem monitoring dan evaluasi yang ada, Susanto (1987) juga menyebutkan bahwa tidak mudah memperoleh informasi tentang konsumsi pangan keluarga dan individu. Sanjur (1982) dalam Susanto (1987) menegaskan bahwa dari banyak cara untuk mengukur konsumsi pangan keluarga dan individu, tidak ada satu carapun yang bebas dari penyimpangan.
Selanjutnya Haddad et al. (1994) menegaskan bahwa penggunaan indikator ketahanan pangan yang lebih sederhana (simple) bisa mempunyai performansi yang bagus, hemat dalam biaya dan waktu, berpotensi lebih friendly, asal disesuaikan dengan keadaan lokasi penelitian dan ini perlu diujikan pada lokasi yang lebih luas. Adi et al. (1999) menyebutkan bahwa salah satu indikator ketahanan pangan kualitatif adalah frekuensi makan.
Dalam penelitian ini, indikator ketahanan pangan yang digunakan adalah frekuensi makan anggota keluarga dalam sehari, bila paling tidak dapat makan tiga kali sehari, maka rumahtangga tersebut termasuk tahan pangan. Sedangkan bila frekuensi makan dalam sehari hanya dua kali atau kurang, maka rumahtangga tersebut tidak tahan pangan.
Beberapa penelitian yang menggunakan frekuensi makan sebagai salah satu indikator ketahanan pangan dalam rumahtangga antara lain dilakukan oleh Madanijah et al. (2006), Sa’diyyah dan Briawan (1999), serta Tim Penelitian Ketahanan Pangan dan Kemiskinan dalam Konteks Demografi (Undated).
Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga adalah pendidikan laki-laki, pendidikan perempuan, ukuran rumahtangga, pendapatan laki-laki dari luar usahatani keluarga, pendapatan perempuan dari luar usahatani keluarga, pendapatan bersama perempuan dan laki-laki dari luar usahatani keluarga, pendapatan usahatani, dan dummy pembeda desa tahan pangan dan rawan pangan. Model ekonometrika persamaan ketahanan pangan rumahtangga petani dirumuskan berikut ini :
KPn = c0 + c1 PddLn + c2 PddPn + c3 URTn + c4 Elnutkeln + c5
Epnutkeln
+ c6 Eplnutkeln + c7YUTn + c8D3n + u3 ...
(9)
Koefisien regresi yang diharapkan : c1, c2, c4 , c5, c6, c7 , c8 > 0; c3, < 0
dimana :
KPn = Dummy ketahanan pangan rumahtangga petani (Tahan pangan=1,
lainnya=0)
PddLn = Pendidikan laki-laki (tahun)
PddPn = Pendidikan perempuan (tahun)
Elnutkeln = Pendapatan laki-laki dari luar usahatani keluarga (Rp/tahun)
Epnutkeln= Pendapatan perempuan dari luar usahatani keluarga
(Rp/tahun)
Eplnutkeln= Pendapatan bersama perempuan dan laki-laki dari luar
usahatani keluarga (Rp/tahun)
YUTn = Pendapatan usahatani keluarga (Rp/tahun)
D3n = Dummy pembeda desa tahan pangan dan rawan pangan
(Desa tahan pangan=1, desa rawan pangan=0) u3 = Error term
n = Responden (1, 2, ...n)
4.5. Konsep Operasional
Pengertian dari beberapa konsep yang digunakan, disajikan berikut ini : 1. Dalam penelitian ini kata ‘keluarga’ dan ‘rumahtangga’ dipertukarkan
penggunaannya. Keduanya menunjukkan suatu unit sosial terkecil dalam masyarakat yang anggotanya terikat oleh adanya suatu hubungan perkawinan, darah atau adopsi, maupun yang tidak ada hubungan seperti itu, tetapi tinggal serumah dan keperluan hidupnya menjadi tanggung jawab kepala keluarga tersebut.
2. Gender adalah pembedaaan perempuan dan laki-laki dilihat dari sifat, peran dan tanggung jawab yang sepantasnya dilakukan laki-laki maupun perempuan, yang ada dan berlaku dalam budaya masyarakat Kabupaten Konawe Selatan, bukan berdasarkan perbedaan biologis diantara keduanya. Dalam penelitian ini, analisis gender hanya dilakukan untuk suami dan isteri dalam setiap rumahtangga responden. Perempuan dan laki-laki lainnya dalam rumahtangga (anak dan anggota keluarga lainnya), tidak menjadi responden dalam penelitian ini.
3. Bentuk peran gender dalam penelitian ini adalah alokasi waktu dan sumbangan pendapatan suami dan isteri dari kegiatan produktif dan reproduktif.
4. Kesetaraan gender adalah kondisi kesetaraan dalam peran, fungsi dan tanggung jawab dalam rumahtangga oleh suami dan isteri di Kabupaten Konsel.
5. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia.
6. Daerah Rawan Pangan adalah suatu daerah atau wilayah yang secara terus menerus atau secara periodik diamati, ditemu-kenali mengalami masalah kerawanan pangan. Dalam penelitian ini, pembedaan kecamatan dan desa rawan pangan berdasarkan pada kriteria (1) prevalensi gizi kurang pada Balita, (2) persentase keluarga miskin, dan (3) rasio produksi pangan beras terhadap kebutuhan pangan penduduk. Dalam penelitian ini istilah daerah atau rumahtangga ‘rawan pangan’ disamakan artinya dengan istilah ‘tidak tahan pangan’, sehingga penggunaannya dipertukarkan.
7. Kerawanan pangan adalah kondisi masyarakat atau rumahtangga di suatu daerah/wilayah yang tingkat ketersediaan pangannya tidak cukup untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan sebagian besar masyarakat.
8. Umur perempuan (Up) dan laki-laki (Ul) adalah usia respoden perempuan dan laki-laki pada saat penelitian (tahun).
9. Umur saat menikah untuk perempuan (UMp) dan laki-laki (Uml) adalah usia responden perempuan dan laki-laki saat pertama kali menikah (tahun),
dibagi dalam dua kelompok umur yaitu bila menikah pada usia ≤ 19 tahun=1, lainnya=0; bila usia di atas 19 tahun=1, lainnya=0).
10. Pendidikan responden perempuan (PddP) dan laki-laki (PddL) adalah tingkat pendidikan formal tertinggi yang dicapai perempuan dan laki-laki (tahun). 11. Pendapatan/kapita (Ykap) adalah jumlah pendapatan/kapita yang diperoleh
anggota rumahtangga dalam setahun (Rp/kapita/tahun).
12. Dummy pendapatan pada garis kemiskinan (Ymis) adalah variabel yang me-nunjukkan apakah pendapatan rata-rata yang diperoleh rumahtangga berada pada garis kemiskinan atau tidak (bila ≤ Rp. 182 000=1, lainnya=0).
13. Adanya anak di rumah yang berusia < 10 tahun (DA) adalah jumlah anak dalam rumahtangga yang berumur di bawah 10 tahun (jiwa).
14. Dummy keterampilan (KET) menunjukkan ada-tidaknya keterampilan khusus yang dimiliki responden yang memudahkannya untuk mencari pekerjaan (ada=1, tidak ada=0).
15. Dummy ketahanan pangan rumahtangga (KP) diukur dari indikator konsumsi (dampak langsung) anggota rumahtangga, yaitu frekuensi makan anggota rumahtangga petani dalam sehari. Bila dapat makan paling tidak 3 kali dalam sehari=tahan pangan, bila kurang dari itu=tidak tahan pangan (tahan pangan=1, lainnya=0).
16. Dummy keputusan perempuan untuk bekerja di luar usahatani keluarga (KP) merupakan variabel yang menggambarkan apakah perempuan berpartisipasi pada kegiatan-kegiatan ekonomi di luar usahatani keluarga atau tidak (berpartisipasi=1, tidak berpartisipasi=0).
17. Dummy keputusan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga (KL) merupakan variabel yang menggambarkan apakah laki-laki berpartisipasi pada kegiatan-kegiatan ekonomi di luar usahatani keluarga atau tidak (berpartisipasi=1, tidak berpartisipasi=0).
18. Pendapatan usahatani (YUT) adalah jumlah pendapatan bersih yang diperoleh rumahtangga dari aktivitas usahatani keluarga (Rp/tahun).
19. Frekuensi makan adalah seberapa seringnya rumahtangga melakukan kegiatan konsumsi pangan secara lengkap (idealnya pada setiap saat makan tersebut tersedia pangan sumber karbohidrat, protein, lemak dan vitamin). Ukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah pada saat makan paling tidak terdapat sumber karbohidrat, protein dan lemak. Frekuensi makan normal di Konawe Selatan adalah tiga kali sehari, yaitu makan pagi, makan siang dan makan malam.
20. Pendapatan gender (gender income)4
4
Penggunaan istilah gender income antara lain dapat dibaca pada tulisan A. Svenning (2006), sedangkan istilah gender earning antara lain dapat dibaca pada tulisan Y. Chu Ng (2006), C. Weinberger and P. Kuhn (2006), dan P. Rice (1999).
atau penghasilan gender (gender earning) adalah pendapatan atau penghasilan yang diperoleh perempuan
atau laki-laki dari kegiatan produktif yang dilakukan.
21. Pendapatan perempuan dari luar usahatani keluarga (Epnutkel) adalah jumlah pendapatan perempuan yang diperoleh dari aktivitas ekonomi di luar usahatani keluarga (Rp/tahun).
22. Pendapatan laki-laki dari luar usahatani keluarga (Elnutkel) adalah jumlah pendapatan laki-laki yang diperoleh dari aktivitas ekonomi di luar usahatani keluarga (Rp/tahun).
23. Pendapatan bersama gender dari luar usahatani keluarga (Eplnutkel) adalah jumlah pendapatan perempuan dan laki-laki yang diperoleh dari aktivitas ekonomi yang dilakukan bersama di luar usahatani keluarga (Rp/tahun). 24. Ukuran rumahtangga (URT) adalah banyaknya anggota rumahtangga yang
tinggal bersama di bawah satu atap dan pemenuhan semua kebutuhannya menjadi tanggung jawab keluarga tersebut, termasuk kepala keluarga (jiwa). 25. Dummy desa (D) adalah variabel pembeda untuk desa tahan pangan dan desa
rawan pangan (desa tahan pangan=1, desa rawan pangan=0)
26. Dummy kesempatan kerja perempuan (DKKp) dan laki-laki (DKKl) merupakan pendapat subyektif perempuan dan laki-laki tentang ada tidaknya kesempatan kerja di daerahnya (ada=1; lainnya=0).
27. Reproduksi sosial adalah cara suatu masyarakat, baik dalam aspek sosial maupun ekonomi, untuk memperbaharui diri sepanjang waktu. Aktivitas reproduksi sosial dalam penelitian ini meliputi : (1) reproduksi biologis, yaitu aktivitas perawatan dan pemberian nutrisi awal pada anak (hamil dan menyusui), (2) reproduksi generasional, yaitu aktivitas seperti pemeliharaan anak, membesarkan, mensosialisasikan, serta mendidik anak, dan (3) repro-duksi harian, yaitu aktivitas perempuan dan laki-laki terkait dengan penyelenggaran kelangsungan rumahtangga, seperti memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah, menyiapkan makanan untuk ke sawah atau ke kebun, mencari air, dan mencari sayuran di kebun.
28. Aktivitas produksi dapat diklasifikasikan menjadi : (1) produksi langsung (produk akhir untuk konsums i keluarga), meliputi pengolahan makanan seperti menumbuk padi dan membuat pakaian, (2) aktivitas non-farm income
earning, yaitu produksi rumahtangga berupa kerajinan tangan atau
produk-produk lain beserta pemasarannya di luar aktivitas pertanian, menjual makanan yang dimasak sendiri. Dalam kelompok ini juga termasuk usaha mandiri yang dilakukan responden, seperti membuat atap, mendulang emas, berjualan sembako di rumah (kios) atau di pasar, menjual sayur di pasar, menjual asesoris di pasar, tukang ojek motor, menjual sayur keliling, dan membuat bata merah, (3) aktivitas usahatani keluarga (on-farm activities), antara lain menyiapkan lahan, menyemai, memupuk, memanen,
mencari ikan ke laut dan danau, dan (4) aktivitas off-farm wage labor, yaitu berburuh di usahatani milik tetangga, buruh nelayan, buruh panjat kelapa, guru sekolah, buruh bangunan, tukang pijit, menjaga kios, SATPAM dan guru mengaji.
29. Aktivitas dalam usahatani keluarga (on-farm activities) adalah pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan perempuan dan laki-laki di dalam usahatani keluarga (ladang, kebun, sawah, nelayan laut, nelayan air tawar), seperti menyiapkan lahan, menyemai, memupuk, memanen, menyiapkan alat pancing, mencari ikan ke laut dan danau.
30. Aktivitas pertanian di luar usahatani keluarga (off-farm avtivities) adalah aktivitas-aktivitas yang dilakukan perempuan dan laki-laki di luar usahatani keluarga, seperti menjadi buruh di sawah milik tetangga, buruh nelayan, dan buruh panjat kelapa.
31. Aktivitas ekonomi di luar pertanian (non-farm activities) adalah aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki di luar sektor pertanian, yang mendapatkan pendapatan berupa uang tunai, seperti
membuka kios, menjual makanan yang dimasak sendiri, membuat atap, mendulang emas, berjualan sembako di rumah (kios) atau di pasar, menjual sayur di pasar, menjual asesoris di pasar, tukang ojek motor, menjual sayur keliling, dan membuat bata merah.
32. Aktivitas dalam rumahtangga (housework, domestic activities) adalah keseluruhan aktivitas reproduksi sosial yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki di dalam rumahtangga, seperti perawatan dan pemberian nutrisi awal pada anak, pemeliharaan anak, membesarkan anak, memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah, menyiapkan makanan untuk ke sawah atau ke kebun, mencari air, dan mencari sayuran di kebun.
33. Aktivitas waktu luang (leisure) adalah aktivitas pribadi dan peranan sosial yang dilakukan perempuan dan laki-laki. Dalam penelitian ini, aktivitas waktu luang responden meliputi nonton TV, mandi, makan, sholat, berkunjung kerumah saudara, menjenguk saudara di rumah sakit, pergi ke hajatan, bercerita (ngobrol) dengan keluarga atau tetangga.
34. Istirahat merupakan aktivitas di luar kegiatan reproduksi dan produksi yang harus dilakukan responden. Dalam penelitian ini meliputi tidur dan sakit. 35. Kegiatan ekonomi adalah aktivitas yang dilakukan perempuan dan laki-laki yang menghasilkan pendapatan, baik tunai maupun natura.