• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSTELASI GOLKAR DAN ELIT DALAM POLITIK INDONESIA PASCA PEMERINTAHAN ORDE BARU GOLKAR AND ELITE CONSTELATION IN POST-NEW ORDER INDONESIAN POLITICS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSTELASI GOLKAR DAN ELIT DALAM POLITIK INDONESIA PASCA PEMERINTAHAN ORDE BARU GOLKAR AND ELITE CONSTELATION IN POST-NEW ORDER INDONESIAN POLITICS"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

KONSTELASI GOLKAR DAN ELIT DALAM POLITIK INDONESIA

PASCA PEMERINTAHAN ORDE BARU

GOLKAR AND ELITE CONSTELATION IN POST-NEW ORDER

INDONESIAN POLITICS

Sadariah Saragih1, Lelita Yunia2

1,2IISIP Jakarta, Jl. Raya Lenteng Agung 32, Jakarta Selatan, 12610, Indonesia Email: 1sadariahsrg@gmail.com, 2lelita.yunia@iisip.ac.id

Abstrak – Artikel ini melaporkan hasil penelitian tentang konstelasi Golkar dan elitenya pasca-pemeritahan Orde Baru jatuh. Landasan konseptual dan teoretis yang digunakan ialah tentang fungsi partai dan sirkulasi elite politik dengan metode penelitian kualitatif deskriptif berdasarkan data primer yang bersumber dari wawancara langsung dengan petinggi Golkar dan data sekunder dari berbagai dokumen dan publikasi hasil penelitian. Hasil penelitian menujukkan pada awal setelah berakhirnya pemerintahan Orde Baru elite politik Golkar mengembangan konstelasi elite yang mengubah dari praktik otoriter ke demokratis dan bottom-up serta kolegial. Namun demikian, menjelang dan setelah Pilpres 2009 dengan masuknya pebisnis dalam Golkar, elite politik Golkar melakukan praktik transaksional dalam membangun kekuasaan baik pada tataran partai maupun pemerintahan. Kondisi ini mengganggu berjalannya fungsi rekrutmen dan pengaderan anggota serta memosisikan Golkar yang sulit bisa bernafas bila berada di luar gelanggang kekuasaan.

Kata Kunci: Elite Politik; Golkar; Kekuasaan; Pemilihan Presiden; Transaksional

Abstract – This article discusses the constellation of Golkar and its elites after the fall of the New Order administration. The conceptual and theoretical framework used includes party functions and the circulation of political elites. This article uses descriptive qualitative research methods based on primary data sourced from direct interviews with Golkar officials and on secondary data from various documents and publications of research. The results of the study show that at the beginning after the end of the New Order administration, the political elites of Golkar developed a constellation of elites that adopted a democratic and bottom-up and collegial culture, leaving behind the authoritarian practices. However, before and after the 2009 presidential election, with the entry of several businessmen into Golkar, the Golkar political elites carried out transactional practices in building power bases both at the party and government levels. This condition interferes with the recruitment processes and puts Golkar in an awkward position when not in power.

Keywords: Golkar; Political Elite; Power, Presidential Election; Transactional PENDAHULUAN

Usai Pemilihan Presiden 2014 yang dimenangkan oleh Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan menempatkan Joko Widodo sebagai Presiden RI maka Golkar yang tergabung dalam koalisi Merah Putih (KMP) dalam konstelasi politik Indonesia akan berada pada wilayah oposisi. Pada awalnya Golkar masih setia kepada koalisinya berada di luar kekuasaan pemerintahan dan menjadi oposisi sebagaimana yang dicanangkan KMP.

Dengan dalih loyalitas pada kelompok KMP, Golkar bertahan beberapa tahun sebagai oposisi yang baru pertamakali dijalani Golkar. Sebagai satu satunya partai besar yang memilih oposisi,

tak dapat disangkal karakternya sebagai partai penguasa menimbulkan friksi di tubuh Golkar sendiri.

Perseteruan internal semakin sengit dengan mencuatnya konflik antarelite yang melibatkan Abu Rizal Bakri (ARB) sebagai Ketua Umum Golkar dan Agung Laksono sebagai wakil ketua Golkar. Kedua tokoh tersebut adalah sama-sama tokoh yang dibesarkan dalam asuhan Sekber Golkar zaman Suharto. Mereka paham betul bahwa partai Golkar sudah terlalu nyaman menjadi partai penguasa atau bagian dari partai penguasa dan tidak terbiasa menjadi oposan sehingga keduanya sama-sama ingin membawa Golkar menjadi partai penguasa namun dengan versi masing-masing.

(2)

ARB sejak awal menjelang pemilihan presiden (Pilpres) bersikukuh mencalonkan diri menjadi Calon Presiden (Capres) dari Golkar hingga akhirnya “turun harga” menjadi Calon Wakil Presiden (Cawapres). Namun tak kunjung ada partai lain yang mengajak berkoalisi hingga akhirnya pasrah menjadi pendukung Capres dari partai lain yaitu Gerindra yang mencalonkan Prabowo Subianto. ARB juga menentang bila ada elite lain di tubuh Golkar yang hendak mencalonkan diri menjadi Presiden selain dirinya, hal tersebut sedikit banyak mendorong Jusuf Kalla ‘meninggalkan” sejenak Golkar hingga kemudian PDIP dan Capres Jokowi memilih Jusuf Kalla sebagai Cawapres.

Dengan dipilihnya elite Golkar Jusuf Kalla sebagai Cawapres tentu saja mengejutkan banyak pihak karena Jusuf Kalla sebagai Capres tidak membawa “gerbong” Golkar sebagai kendaraan politik, bahkan ARB menyatakan Golkar menjadi pendukung KMP. Kondisi yang lebih mengejutkan adalah ketika Jokowi dan Jusuf Kalla memenangkan Pilpres. Fakta politik tersebut seperti hendak mengatakan bahwa tanpa kendaraan politik, Jusuf Kalla dapat memenangkan suara rakyat.

Konflik seputar munas Golkar mulai dari dua versi munas yaitu Munas Bali yang dilakukan oleh Golkar versi Abu Rizal Bakri dan Munas Jakarta yang diprakarsai Agung Laksono sebagai wakil ketua, semakin menjelaskan posisi Golkar dalam politik Indonesia yaitu Golkar menuju jurang kehancuran. Isu rekayasa SK pengesahan Golkar versi Munas Jakarta terus bergulir. Hingga akhirnya konflik diredakan dengan Keputusan MA bahwa kepengurusan yang sah adalah kembali pada hasil Munas Riau 2010 yang menempatkan ARB sebagai Ketum hingga dilaksanakan Munas berikutnya, yaitu Musyawarah Luar Biasa (Munaslub) pertengahan 2016.

Dengan dilaksanakannya Munaslub 2016 di Bali dan terpilihnya Setya Novanto sebagai ketua umum Golkar periode 2016 maka perseturuan antara dua kubu dalam tubuh Golkar dianggap usai. ARB kemudian menjadi ketua Dewan Penasehat Golkar.

Dari fenomena tersebut terlihat posisi Golkar sebagai partai politik dalam arena kekuasaan di Indonesia berkaitan erat dengan karakter elite politik yang menguasainya. Relasi yang terjadi antarelite politik dan karakteristiknya memberikan warna pada performa Golkar sebagai partai politik, setelah Jatuhnya Pemeritahan Suharto. Permasalahnya, ialah bagaimana

konstelasi Golkar dengan elitnya pada politik di Indonsia setelah Pemerintah Orde Baru berakhir

Penelitian-penelitian terdahulu mengenai partai politik pada abad ini menurut tinjauan Reiter (2006) lebih banyak menfokuskan pada upaya memahami bagaimana fungsi partai dalam negara, yaitu bagaimana pengakuan partai pada negara. Fokus lain ialah berkaitan segitiga permasalahan yaitu partai dalam pemilihan, partai dan pemerintahan, dan partai sebagai organisasi. Penelitian lain terkait Partai sebagai organisasi. Ignazi (2014), mengiterpretasi kelesuan partai dalam demokrasi, yang menunjukkan tidak efesien dan tidak bermoral bahkan dicap sebagai tidak sah. Alasannya karena partai semakin jauh dari masyarakat dan melakukan praktik korupsi yang menjarah keuangan negara.

Studi yang akan dilakukan konteksnya berkaitan dengan partai sebagai organisasi berbasis fenomena perilaku elite partai politik dan performa partai dalam arena kekuasaan yang berkembang di Indonesia. Permasalahan yang diteliti ialah bagaimana kontelasi Gokar dan elitenya pasca jatuhnya pemeritahan orde baru, presiden Suharto.

Landasan teoritik yang digunakan untuk menjawab masalah tersebut ialah tentang partai politik dan fungsinya serta konsep elite politik dan sirkulasinya dalam praktik kekuasaan.

Partai Politik dan fungsinya

Secara konseptual partai politik diartikan sebagai sekelompok orang yang memiliki orientasi yang sama, cita-cita yang sama dan tujuan yang sama yaitu mencari kekuasaan politik secara konstitusional (Budiarjo, 2008). Definisi partai politik juga diajukan oleh Paige Johnson adalah kelompok-politik politik yang ikut serta dalam pemilu dan mampu menempatkan orang-orangnya dalam jabatan-jabatan publik. Tujuan didirikannya partai politik untuk meraih jabatan politik, mendapatkan kekuasaan politik, dan mengontrol proses perumusan kebijakan (Roode, 1993)

Menurut MacAndrew & Masoed (2018) ada empat fungsi partai politik yaitu sebagai sarana komunkasi politik, sosialisasi politik, rekruitmen politik dan pengatur politik. Keempat fungsi tersebut esensinya sebagai berikut.

Sarana Komunikasi Politik

Partai politik idealnya jembatan penghubung bagi aspirasi rakyat agar sampai kepada Pemerintah. Lewat para anggota partai politik yang duduk di

(3)

parlemen karena dipilih oleh rakyat seharusnya memang tuntutan mau-pun kepentingan rakyat dapat sampai kepada Pemerintah karena UU dibuat oleh DPR bersama rakyat.

Dalam konsep negara demokrasi dikenal istilah interest agregation atau penggabungan kepentingan di mana aspirasi rakyat baik berupa tuntutan maupun dukungan yang disampaikan rakyat ditampung dan digabungkan. Tuntutan tersebut dapat berupa penyampaian langsung oleh seseorang atau sekelompok orang dengan menemui anggota partai yang berada di parlemen atau di luar parlemen, atau dapat juga menyampaikan lewat tulisan di media massa, atau bahkan lewat aksi-aksi demonstrasi.

Setelah aspirasi ditampung dan digabungkan, maka berlanjut dengan proses interest articulation atau artikulasi kepentingan, dimana aspirasi dirumuskan dalam bentuk yang lebih teratur dan disampaikan oleh partai politik menjadi usulan kebijakan dan dibicarakan bersama Pemerintah sebagai Rancangan Undang-Undang ataupun Rancangan Perubahan Undang-undang bila aspirasi yang masuk berupa ketidakpuasan terhadap undang-undang yang sudah ada.

Selain menampung aspirasi, partai politik juga berfungsi menyampaikan atau menyebarluaskan rencana-rencana dan kebijakan pemerintah yang harus diketahui oleh rakyat. Dengan demikian fungsi komunikasi politik yang tercipta adalah komunikasi dua arah yang memang menjadi ciri dari komunikasi politik pada negara-negara demokrasi.

Sebagai Sarana Sosialisasi Politik

Sosialisasi Politik merupakan proses penyebaran nilai-nilai politik yang dianut oleh Pemerintah kepada rakyat, orang tua kepada anak atau satu generasi ke generasi berikutnya. Pada masyarakat tertentu sosialisasi nilai-nilai politik sudah dimulai sejak anak-anak masih begitu belia.

Partai politik adalah salah satu agen sosialisasi politik, partai politik selain harus mensosialisasikan pandangan atau nilai-nilai politik yang dianutnya partai juga berperan menyosialisasikan nilai-nilai politik yang dianut oleh negara ataupun pemerintah. Pelaksanaan peran tersebut semakin jelas terlihat ketika kekuasaan didominasi oleh satu partai yang terus menerus menjadi menguasai pemerintahan, sebagaimana pada negara-negara totaliter di mana nilai-nilai politik pemerintah sangat kuat ditekankan kepada rakyat.

Bila partai politik tersebut menjadi partai

pemerintah atau telah memenangkan pemilu presiden maka fungsi sosialisasi politik akan lebih menekankan pada pandangan dan nilai-nilai politik yang dianut negara. Menjadi kewajiban semua partai politik untuk menyebarluaskan nilai-nilai yang dianut negara namun partai yang telah menjadi partai pemerintah harus lebih mengutamakan penyebarluasan nilai-nilai politik yang dianut negara.

Sebagai Sarana Rekrutmen Politik

Keberadaan partai politik dalam sebuah sistem politik jelas sebagai salah satu sarana yang dapat dimanfaatkan rakyat untuk terlibat dalam kegiatan politik, baik sebagai pendukung atau bahkan yang mencari kekuasaan dan posisi dalam suprastruktur. Partai politik melalui pemilu akan menempatkan orang-orangnya di kursi legislatif, eksekutif, bahkan mungkin yudikatif. Dalam pemilu legislatif calon harus menyiapkan banyak nama untuk dijadikan calon legislatif (Caleg) di masing-masing daerah pemilihan.

Hal ini tentu membuat partai politik harus memiliki calon-calon yang dinilai dapat dipercaya oleh rakyat untuk dipilih dan dijadikan wakil mereka di parlemen. Dengan demikian partai harus benar-benar mencari orang-orang yang dinilai berbakat dan mampu menarik minat rakyat untuk memilihnya. Tidak jarang partai politik merekrut kalangan selebritis yang telah dikenal luas oleh pemilih untuk menjadi calegnya demi meraup suara pemilih.

Biasanya partai-partai politik melakukan rekrutmen di kalangan usia muda dengan memberikan kesempatan pada generasi muda untuk menjadi anggota partai dan terlibat aktif di dalamnya. Partai akan mengader anggotanya dengan cara mereka masing-masing hingga kemudian akan menghasilkan aktivis-aktivis partai yang akan menunjukkan kemampuannya masing-masing dalam berpolitik bahkan membawa kejayaan pada partai.

Sebagai Sarana Pengatur Konflik

Sejatinya setiap partai politik harus mampu menjadi jembatan bagi rakyat kepada pemerintah, termasuk bila ada konflik vertikal yang melibatkan rakyat dengan pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dalam hal ini para elite partai yang sebenarnya juga elite politik harus dapat mengambil peran dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di masyarakat termasuk konflik horizontal.

(4)

kepentingan kelompok elite tertentu. Masyarakat itu sendiri terdiri dari dua kelas, yaitu lapisan atas yang dikategorikan sebagai masyarakat elite dan lapisan rendah sebagai non elite. Masyarakat lapisan atas terdiri dari dua kategori berdasarkan lokusnya yaitu: (a) elite yang memerintah dan (b) elite yang tidak memerintah. Sedangkan lapisan rendah yang menjadi elite dan berkuasa berdasarkan kemampuannya menggabungkan kekuasaan dan kelicikan

Elite juga diartikan sebagai orang-orang yang mampu dan berhasil menduduki jabatan tinggi dalam masyarakat biasanya mereka adalah orang-orang yang berasal dari kelas yang sama yaitu pandai dan kaya. Selain hal tersebut di atas Pareto (dalam Varma, 2003) menjelaskan adanya gejala penggunaan kekerasan oleh elite untuk menjaga kekuasaan baik yang ada dalam mayarakat maupun dalam organisasi.

Perebutan kekuasaan selalu terjadi baik secara transparan maupun secara diam-diam, baik diantara para elite itu sendiri atau antara elite dengan kelompok non elite. Pareto (dalam Varma, 2003) dalam uraiannya tentang teori sirkulasi elite menjelaskan beberapa faktor yang dapat membuat elite jatuh dan digantikan oleh kelompok lainnya yaitu: (1) Mulai naiknya strata bawah seiring dengan meningkatnya kualitas dan atau kemampuan menggunakan kekerasan oleh kalangan bawah. (2) Merosotnya ‘residu’ elite atau elite tak lagi memiliki kualitas-kualitas (yang selama ini digunakan untuk menjaga kualitas mereka)

Jadi dapat dikatakan elite dapat berganti bila kualitasnya menurun dan ada kelompok lain yang memiliki unsur atau kualitas superior. Atau ada kelas di bawahnya yang menunjukkan keunggulan yang lebih. Lebih lanjut Pareto (dalam Varma, 2003) menguraikan “residu” adalah kualitas-kualitas yang dapat meningkatkan taraf hidup seseorang. Ada dua jenis “residu” yaitu “residu kombinasi” yang diartikan sebagai kelicikan dan “residu keuletan bersama” yang diartikan sebagai kekerasan. Kedua jenis elite yang mengandalkan kualitasnya pada kelicikan dan kekerasan disebut sebagai para spekulator dan para rentenir. Hal ini sebagaimana juga yang dikatakan Machiaveli tentang dua tipe elite yaitu elite yang memerintah dengan kelicikan dan yang memerintah dengan cara paksa.

Selanjutnya Pareto (dalam Varma, 2003) juga menguraikan tentang jenis-jenis pergantian elite, bahwa pergantian itu bisa terjadi: (1) Di antara Elite Partai Politik

Dalam sistem Politik Modern saat ini partai politik menjadi satu-satunya alat yang sah dan konstitusional bagi elite untuk duduk di parlemen, baik dewan rakyat di tingkat pusat maupun daerah. Demikian juga untuk menduduki jabatan publik seperti kepala daerah bahkan kepala negara.

Meski calon independen dimungkinkan bagi siapa saja untuk ikut dalam pencalonan kepala negara maupun kepala daerah namun tetap saja dukungan partai menjadi suatu keniscayaan bagi para Cagub maupun Capres. Hal ini disebabkan tidak mudahnya menjadi calon independen dalam mengikuti pemilu, selain harus mendapatkan dukungan berupa sejumlah besar tanda tangan rakyat pendukung yang harus dilampiri KTP, calon independen juga harus menghadapi partai di dewan rakyat apabila calon tersebut bisa menang dan menjadi kepala daerah ataupun kepala negara. Oleh karena itu peran partai menjadi begitu penting dalam sistem politik modern, tidak hanya sebagai sarana untuk rakyat banyak berpartisipasi dalam politik namun lebih sebagai sarana atau kendaraan politik bagi elite untuk mencapai kekuasaan yang lebih tinggi dan lebih banyak.

Dengan menggunakan partai politik para elite akan mengerahkan segala kemampuannya untuk mendapatkan sebanyak mungkin pendukung dan terutama mendapatkan pemilih pada saat pemilu. Pengelolaan partai politik terutama dalam menjalankan fungsi-fungsi partai sebagai mesin politik akan berorientasi pada kepentingan partai tersebut. Meski secara ideal partai memiliki fungsi-fungsi yang sifatnya umum dan ditujukan untuk kepentingan bersama atau kepentingan bangsa namun tidak dapat disangkal bila bergeraknya mesin politik partai selalu cenderung kepada kepentingan partai dalam mendapatkan simpati dan dukungan rakyat banyak sebagai pemilih dalam pemilu.

Pareto (dalam Varma, 2003) mengatakan elite dan massa adalah bagian dari sistem. Percaya bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas-kualitas yang diperlukan. Elite adalah mereka yang bisa menjangkau pusat kekuasaan dan dalam masyarakat pluralis perseteruan selalu terjadi dalam memperebutkan posisi elite.

Menurut Pareto dan Mosca (dalam Varma, 2003) dalam masyarakat pluralis selalu ada pengelompokan dalam kelas penguasa, terutama dalam masyarakat demokrasi. Seringkali regulasi yang dibuat disesuaikan dengan

(5)

kepentingan-kelompok elite yang memerintah itu sendiri. (2) Di antara elite dengan penduduk lainnya. Pergantian posisi elite kemungkinan terjadi pada : (a) Individu-individu dari lapisan yang berbeda ke dalam kelompok yang sudah ada. (b) Individu-individu dari lapisan bawah yang membentuk kelompok elite baru dan masuk dalam kancah perebutan kekuasaan dengan elite yang sudah ada. METODE

Studi tentang partai Golkar ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan tujuan mendeskripsikan bagaimana kontelasi Golkar dan elitenya pasca jatuhnya pemeritahan Orde Baru, peresiden Suharto. Secara spesifik akan digali data tentang perilaku para elite partai Golkar menggunakan Golkar sebagai kendaraan politiknya dalam meraup dukungan rakyat guna mendapatkan kekuasaan politik.

Sukmadinata (2006) menjelaskan bahwa model penelitian yang bersifat deskriptif merupakan suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang bersifat ilmiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena yang dimaksud dapat berupa bentuk, aktivitas, karateristik, perubahan, hubungan, kesamaan dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya. Dalam konteks penelitian ini yang akan diteliti ialah fenomena perilaku elite dalam praktik membangun kekuasaan dalam partai dan pemerintahan.

Sumber data dalam penelitian ini adalah: (1) Data sekunder, yaitu informasi-informasi tertulis baik berupa dokumen laporan-laporan kegiatan partai, pidato dan pernyataan-pernyataan, analisis-analisis pakar, serta informasi dari media massa yang dapat dipercaya. (2) Data primer diperoleh dengan memanfaatkan Informan dan Key Informan yang akan memberi informasi. Informasi diperoleh melalui wawancara dengan elit partai Golkar baik yang berada dalam struktur kekuasaan negara maupun tidak, serta pengamat politik

Key Informan dan Informan yang

diwawan-carai adalah para elite partai Golkar yaitu : (1) Akbar Tanjung, saat ini menjabat sebagai wakil ketua dewan kehormatan Golkar, mantan ketua umum Golkar periode 1999-2004 dan 2004 – 2009. (2) Muflihin, mantan Wakil Sekretaris Jendral Partai Golkar. (3) Mahadi Sinambela, mantan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar. (4) Kepala Humas Sekretariat Golkar Gedung Sekretariat DPP Golkar

Data yang telah diperoleh baik data sekunder

maupun primer dikaji dengan teori dan konsep-konsep yang digunakan sehingga diperoleh deskripsi yang jelas tentang eksistensi Golkar saat ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada pemilu 2014 Golkar memperoleh posisi kedua dalam perolehan suara setelah

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Partai Golongan Karya (Golkar) memperoleh 18.432.312 suara atau 14,75 %, PDIP 23.681.471 suara atau 18,95 %. Posisi ketiga ditempati oleh Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dengan perolehan 14.760.371 suara atau 11,81 % (Surat keputusan KPU No 411/KPTS/KPU/2014 tentang Penetapan Anggota DPR, DPD dan DPRD).

Posisi yang diperoleh Golkar sebagai partai yang telah mendominasi selama 6 kali Pemilu pada masa pemerintahan presiden Soeharto, yang kemudian jatuh pada tahun 1998, merupakan posisi yang baik dibanding partai lain. Walau jatuh,

tampaknya jaringan Golkar dalam masyarakat tetap terpelihara. Hal itu karena berkaitan dengan latar belakang berdirinya Golkar.

Golkar pada awal berdirinya memang merupakan kumpulan dari organisasi-organisasi kemasyarakatan Semula anggotanya berjumlah 61 organisasi yang kemudian berkembang hingga mencapai 291 organisasi (Reeve, 2013). Seiring dengan perjuangannya melawan komunisme golkar berhasil memenangkan pemilu dari periode ke periode. Bahkan di tengah kejatuhannya karena reformasi 1998, Golkar berhasil menjadi pemenang kedua pada pemilu 1999 bahkan menjadi pemenang pertama pada pemilu legislatif 2004.

Namun perolehan suara Golkar dari pemilu ke pemilu pasca kepemimpinan Akbar Tanjung yang justru mengalami penurunan. Penurunan yang sangat signifikan terjadi ketika dimulainya kepemimpinan Saudagar (Akbar, 2008) atau kepemimpinan Jusuf Kalla (JK). Perolehan kursi di DPR merosot tajam bila pada kepemimpinan Akbar Tanjung meraih 23 % kursi parlemen masa pada masa JK, Golkar hanya mampu mendapat 14 % kursi.

Perolehan tersebut kembali mengalami penurunan pada masa kepemimpinan Abu Rizal Bakri (dengan julukan yang sama yaitu kepemimpinan saudagar). Akbar pun menyatakan keprihatinannya dengan kondisi demikian dan meminta Setya Novanto selaku Ketua Umum Golkar saat itu untuk berupaya meningkatkan perolehan suara Golkar di pemilu 2019. Setidaknya menyamai

(6)

Golkar tidak lagi dapat dipimpin dengan cara-cara lama yang otoritarian karena situasi politik memang telah berubah.

Sejatinya Akbar Tanjung dengan sungguh-sungguh mendesain ulang partai Golkar menjadi partai yang demokratis. Partai Golkar tidak lagi dipimpin dengan cara otoriter dan sepihak. Akbar melakukan konsolidasi dengan semua elite untuk merumuskan kembali partai Golkar sebagai penyambung aspirasi rakyat. Akbar Tanjung dengan konsep Paradigma Baru partai Golkar menerapkan demokrasi dengan cara melakukan konsolidasi dengan semua elite partai Golkar di tingkat nasional dan elite-elite lokal dalam kepengurusan DPP maupun DPD 1 dan DPD II partai Golkar seluruh Indonesia.

Dengan paradigma baru tersebut, Akbar dan para pengurus pusat mendatangi DPD di berbagai daerah guna menampung aspirasi daerah dan para pendukungnya. Tentu saja perubahan paradigma ini baru terasa bila ditelaah ke dalam tubuh Golkar itu sendiri.

Namun tidak demikian halnya dengan masyarakat luar yang menilai. Sebagaimana yang dikatakan Arbi Sanit di atas, Golkar tetap Golkar dan mereka hanya menipu rakyat dengan mengatakan Golkar telah berubah karena pada dasarnya orang-orang dalam tubuh Golkar adalah juga orang-orang orde baru yang memang telah berada di Golkar sejak zaman Suharto.

Jadi dapat dikatakan Konsep Paradigma Baru Golkar yang dicanangkan oleh Akbar Tanjung adalah model pengelolaan atau manajemen Golkar dengan cara baru, yang berbeda dengan manajemen Golkar Orde Baru. Perbedaan inti terletak pada pola kepemimpinan Akbar Tanjung yang menerapkan kepemimpinan yang demokratis. Hal ini jelas berbeda dengan pola kepemimpinan pada Golkar terdahulu.

Akbar juga melakukan konsolidasi dengan berusaha merangkul semua elite Golkar baik lokal maupun nasional dalam kepengurusan Golkar baik di daerah maupun di pusat. Akbar melibatkan semua unsur dan mengajak mereka berdiskusi dalam merumuskan kembali Golkar sebagai partai politik.

Selain itu Akbar juga menggelontorkan konsep konvensi sebagai model rekrutmen politik di tubuh Golkar dalam penentuan calon presiden dan wakil presiden. Hal tersebut benar-benar hal baru yang perolehan suara pada awal kepemimpinan Akbar

Tanjung di mana Golkar menjadi pemenang kedua setelah PDIP, bahkan kalau bisa Golkar menjadi pemenang pertama sebagaimana pada pemilu 2004. Posisi kepemimpinan Golkar dan perolehan suara Golkar dari masa ke masa dapat dilihat dari tabel 1. Paradigma Baru Golkar: Partai Yang Tak Dipercaya

Pada masa kepemimpinan Akbar Tanjung partai Golkar masih mendapat tempat di hati pemilih sebagaimana diungkap oleh Indo Barometer (viva. co.id, 2016). Bila dilihat tabel 1 dapat dikatakan partai Golkar masih menunjukkan ketangguhan di tengah badai politik pasca reformasi. Di bawah kepemimpinan Akbar Tanjung, partai Golkar diserang dari segala penjuru. Tuntutan pembubaran partai Golkar tidak hanya datang dari masyarakat ibukota namun juga dari kota-kota lainnya. Namun Akbar ternyata mampu membawa partai Golkar menjadi pemenang kedua dalam pemilu yang dipercepat 1999 bahkan dalam pemilu berikutnya partai Golkar memproklamirkan diri menjadi pemenang pertama dalam pemilu legislatif 2004. Apa yang telah dihadapi Akbar Tanjung dan apa yang dilakukan Akbar dalam badai politik tersebut bukan hal yang mudah. Seorang politisi sejati kiranya dapat disematkan kepada Akbar Tanjung.

Tekanan politik terhadap partai Golkar yang harus dihadapi Akbar Tanjung, semakin memanas dalam masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid yang memenangkan pemilu bersama Megawati sebagai wakil presiden. Para pendukung presiden Abdurahman Wahid di berbagai daerah melancarkan penolakan terhadap partai Golkar (Marham, 2016). Pembakaran gedung DPD partai Golkar Jawa Timur menjadi bukti kebencian terhadap Golkar. Demikian juga di Jakarta tuntutan pembubaran partai Golkar oleh kalangan intelektual terus berlanjut. Arbi Sanit1 bahkan menyatakan partai Golkar termasuk

pendosa ketiga Orde Baru setelah Suharto dan militer. Partai Golkar juga dikatakan sebagai penipu rakyat dengan dalih visi baru namun tidak pernah berubah.

Pernyataan Arbi Sanit berawal dari slogan baru partai Golkar yang mencoba meyakinkan rakyat bahwa partai Golkar saat itu berbeda dengan partai Golkar masa orde baru. Akbar Tanjung mencetuskan ide “Paradigma Baru Golkar”, partai

1 Arbi Sanit saat itu adalah seorang dosen Ilmu Politik UI, pengamat politik dan aktifis reformasi yang turut

(7)

tetapi juga memberikan ekpresi baru dalam arena partai. Dalam konteks krisis Partai Golkar, munculnya partai baru seharusnya bisa mendorong Golkar untuk lebih segar dan maju. Akbar Tanjung mengungkapkan politik transaksional yang dimulai ketika dia mencanangkan model konvensi2 dalam

menetapkan calon Presiden dan Wakil Presiden dari partai Golkar menjelang Pemilu tahun 2004.

Terdapat beberapa nama yang mengikuti konvensi dan mengajukan diri menjadi Capres, termasuk Akbar Tanjung.

Namun dengan dipraktekkannnya politik transaksional oleh calon tertentu, calon lainnya menyatakan mundur karena tidak kuat bertarung. Akbar mengaku tidak mampu menyaingi hingga akhirnya dia tidak terpilih dan kemudian JK terpilih sebagai pemenang konvensi. Melalui negosiasi politik dengan partai-partai lainnya JK kemudian menjadi Cawapres mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Capres dari partai Demokrat.

Politik transaksional semakin membudaya ketika musyawarah nasional 2009 untuk memilih ketua Umum Golkar. Pada saat itu JK turut mencalonkan diri. Akbar Tanjung, Sinambela maupun Muslihin berpendapat sama bahwa politik trasnsaksional ikut berperan. JK menggunakan kekuatan uang untuk kemenangan dirinya menjadi ketua umum. Hal ini membuat calon lainnya tidak pernah dilakukan partai Golkar bahkan juga belum

pernah dilakukan oleh partai politik lainnnya pada saat itu.

Namun apa boleh buat hal tersebut sepertinya tidak memberi pengaruh apapun terhadap opini masyarakat perkotaan terntang Golkar yang tetap dipandang sinis terutama oleh Arbi Sanit dan mungkin juga oleh kelompok intelektual lainnya.

Tabel 2, menggambarkan perbandingan antara paradigma lama dan paradigm baru partai Golkar. Membudayanya Politik Transakional

Faktor ketidakpercayaan pemilih terhadap Golkar menjadi salah satu faktor kegagalan Golkar memenangkan suara mayoritas. Faktor lainnya ialah faktor internal dalam tubuh Golkar.

Sebagaimana yang diungkapkan Akbar Tanjung, partai-partai baru yang ada sekarang sesungguhnya adalah berasal dari tubuh Golkar, antara lain partai Nasdem partai Hanura, dan PKPI. Tokoh-tokohnya adalah orang-orang yang berkiprah dan turut membesarkan Golkar namun tidak ingin bertahan karena merasa tidak cocok dengan semangat yang ditawarkan oleh pemimpinnya dan suasana di dalamnya dianggap terlalu sarat dengan politik transaksional

Menurut Ignazi (1966) krisis partai memunculkan partai baru yang tidak saja menjadi suntikan darah segar terhadap partai yang ada

Tabel 1. Kepemimpinan dan Perolehan Suara Golkar Pemilu Kepemimpinan Perolehehan

Kursi DPR Prosentasi Ranking Posisi di Pemerintahan

1971 Ali Murtopo 236 / 360 62.80% 1 Pengendali

1977 Ali Murtopo 232 / 360 62.11% 1 Pengendali

1982 Ali Murtopo 242 / 360 64.34% 1 Pengendali

1987 Sudarmono 299 / 400 73.11% 1 Pengendali

1992 Wahono 282 / 400 68.10% 1 Pengendali

1997 Harmoko 325 / 400 74.51% 1 Pengendali

1999 Akbar Tanjung 120 / 500 22.46% 2 Koalisi

2004 Akbar Tanjung 129 / 550 21.58% 1 Koalisi

2009 Jusuf Kala 106 / 560 14.45% 2 Koalisi

2014 Aburizal Bakri 91 / 560 14.75% 2 Koalisi

2019 Setya Novanto 85/575 14,78% 2 Koalisi

Diolah peneliti dari berbagai sumber

2Konvensi yang diselenggaakan merupakan insiatif Akbar Tanjung meniru konvensi di Amerika Serikat yang

dilakukan oleh kedua partai untuk menetapkan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dari partai mereka masing-masing yaitu dari Partai Demokrat dan Partai Republik. Konvensi terakhir Partai Demokrat menghasilkan Hillary Clinton sebagai Capres, dan Donald Trump sebagai Capres dari Partai Republik dalam pemilu 2016.

(8)

mampu menyaingi JK dengan kekuatan uangnya yang telah menyebar ke pengurus-pengurus cabang (DPC) partai Golkar diungkapkan di berbagai wilayah. Beberapa sindiran bahwa kini zamannya pengusaha dan bukan zaman politisi lagi. Jusuf Kalla adalah pengusaha dan bukan seorang politisi sebelum masuk partai Golkar.

Dapat dikatakan Akbar dan nara sumber lainnya ingin mengungkapkan bahwa politik transaksional telah merusak partai Golkar. Ini dibuktikan dengan perolehan suara partai Golkar secara nasional yang terus menurun dari pemilu ke pemilu. Sedangkan di daerah suara Golkar diperoleh dari upaya merangkul klan-klan elite tradisional seperti yang terjadi di Banten. Contoh paling mutakhir keterlibatan partai Golkar dalam pembentukan politik klan, yang mengarah pada politik dinasti. Partai Golkar dijadikan sebagai alat bagi keluarga H. Chasan, untuk mendapatkan kekuasaan di Provinsi Banten melalui Gubernurnya yakni Ratu Atut Chosiyah. Belum lagi di daerah-daerah tingkat kabupaten/kota yang juga dikuasai oleh keluarga dan kerabat dekat dari sang Gubernur, banyak

didukung oleh Partai Golkar sebagai pengusung (Ridha, 2016).

Bisnis Para Elite sebagai Penggerus Suara Fungsi-fungsi partai politik memegang peranan penting bagi berlangsungnya eksistensi partai politik dalam peta politik suatu negara. Fungsi-fungsi partai yang berjalan dengan baik tidak saja memberi kontribusi positif bagi citra partai tersebut di mata publik namun juga memberi manfaat bagi masyarakat luas. Karena di dalam fungsi-fungsi tersebut terdapat nilai-nilai pendidikan, demokrasi, moral, bahkan dengan mana rakyat akan tergantung kesejahteraannya. Fungsi-fungsi partai politik sebagaimana diulas di atas meliputi fungsi komunikasi politik, rekrutmen, sosialisasi politik, dan pengatur konflik

Dalam kaitannya dengan penelitian ini maka fungsi-fungsi partai politik tersebut menjadi bagian penting dalam menggali informasi tentang bagaimana fungsi-fungsi partai golkar berjalan. Tema tentang fungsi-fungsi tersebut menjadi pembicaaan penting dalam wawancara dengan nara sumber, seperti tentang fungsi rekrutmen,

Tabel 2 : Paradigma Lama dan Paradigma Baru Partai Golkar.

Sumber : diolah dari beberapa sumber (Tanjung, 2008)

Paradigma Lama Paradigma Baru Keterangan

Dewan Pembina memiliki

kewenangan mutlak Institusi dewan Pembina dihapuskan Dewan Pembina melalui Munaslub Golkar 1998 diganti menjadi Dewan Penasehat yang hanya memberikan saran-saran

Pengambilan keputusan bersifat up-down dengan melibatkan tiga jalur ABRI, Birokrasi, dan Golkar.

Pengambilan keputusan secara demokratis dan bersifat bottom up, Tiga jalur A-B-G dihapuskan karena menghalangi mekanisme

pengambilan keputusan demokratis.

DPD I dan DPD II diberi hak penuh dalam pengambilan ke-putusan pada Munas dan kebijakan strategis lain.

Pola rekrutmen kepengurusan dipengaruhi oleh kedekatan politik dan nepotisme.

Standarisasi yang lebih jelas dalam rekrutmen kepengurusan Golkar dengan mengedepankan merit sistem (dedikasi, prestasi, loyalitas, dan kecakapan)

Sejak munaslub pemilihan pimpinan berdasarkan suara dari DPD-DPD

Golkar tidak otonom, terutama

dari militer dan birokrasi Golkar bersifat independen dan mandiri. Otonomi diwujudkan dengan penghapusan tiga jalur ABG

Golkar di era reformasi menempat-kan dukungan rakyat sebagai sumber kekuatan rakyat sebagai sumber utama kekuatan.

Pola kepemimpinan bersifat sentralistik. Posisi ketua umum lebih sebagai pelaksana dari putusan ketua Dewan Pembina.

Kepemimpinan Golkar bersifat

kolegial. Ketua umum memiliki posisi yang menentukan namun tetap berdasarkan mekanisme pengambilan keputusan yang bersifat demokratis kolegial.

(9)

sosialisasi dan lainnya.

Sebagaimana yang diungkapkan narasumber melalui wawancara bahwa hal terberat yang dialami Golkar adalah runtuhnya kepercayaan publik pasca reformasi. Bahkan masyarakat luas di perkotaan menuntut pembubaran partai Golkar. Namun Golkar di bawah kepengurusan Akbar Tanjung tetap berupaya menjalin komunikasi politik yang baik dengan rakyat. Semboyan-semboyan Golkar baru tetap dikumandangkan meski mendapat pandangan sinis terutama dari kalangan intelektual.

Fungsi komunikasi politik yang dijalankan Golkar semakin melemah usai kepemimpinan Akbar. Orientasi bisnis dalam menggerakkan mesin partai membuat para pengurus daerah dan pusat lebih berkutat pada upaya-upaya meraih sebanyak mungkin pencapaian tujuan-tujuan kelompok bisnis yang terdapat dalam tubuh Golkar.

Dengan orientasi bisnis para elite Golkar yang semakin menguat maka upaya menampung aspirasi masyarakat pun semakin berkurang. Elite Golkar lebih disibukkan dengan kepentingan bisnis dari pada menyambung komunikasi dengan pemilihnya dan rakyat pada umumnya.

Fungsi kedua dari partai adalah fungsi rekrutmen politik. Partai politik menjadi organisasi satu-satunya yang dapat mempersiapkan calon-calon wakil rakyat dan pejabat publik melalui perekrutan dan pengaderan yang dilakukannya. Akbar menilai Golkar memiliki begitu banyak elite politik baik elite nasional maupun lokal. Namun seiring dengan bergulirnya reformasi dan demokrasi, kepengurusan benar-benar dipilih secara demokrasi maka siapapun bisa mencalonkan diri dan terpilih sebagai ketua dan pengurus.

Akbar sekali lagi menegaskan bahwa politik transaksional yang dimulai dan membudaya di tubuh Golkar telah merusak sistem termasuk sistem pengaderan dan rekrutmen. Dengan terpilihnya seorang ketua umum lewat politik transaksional maka otomatis kepengurusan pun akan diiisi oleh orang-orang yang diyakini dapat mengamankan kepentingan-kepentingan ketua umum dan elite yang mendukungnya. Penempatan seseorang pada suatu jabatan tidak lagi sepenuhnya karena kompetensi yang dibutuhkan secara profesional namun demi menjaga kepentingan sang ketua.

Khususnya tentang fungsi rekrutmen Akbar Tanjung dan nara sumber lainnya memiliki pendapat yang sama tentang kondisi elite dan rekrutmen elite di tubuh partai Golkar. Akbar sebagai senior

yang turut mendirikan dan membesarkan Golkar dengan tegas mengatakan bahwa setelah masa kepemimpinannya rekrutmen di kalangan elite lebih bertumpu kepada pengusaha-pengusaha, sehingga dapat dikatakan Golkar kini dikendalikan oleh elite yang juga merupakan orang-orang yang punya kepentingan bisnis dan menjadikan Golkar sebagai alat mencapai tujuan.

Akbar dalam bukunya “The Golkar Way” menyebut Golkar setelah masa kepeminpinannya, yaitu kepemimpinan JK dan ARB sebagai “Kepemimpinan Saudagar”. Orientasi dari kepemimpinan saudagar lebih bersifat jangka pendek dan mengedepankan spekulasi bisnis, serta cenderung tidak menghargai proses melainkan hasil akhir. Corak kepemimpinan demikian cenderung mengabaikan pembangunan dan penguatan kelembagaan politik. Dalam kepemimpinan politik

mind set (pola pikir) saudagar tidak cocok dan tidak

relevan dengan upaya penguatan kelembagaan partai politik. Partai politik bukanlah perusahaan yang dapat dijalankan dengan pendekatan bisnis untung rugi ala saudagar. Partai politik adalah suatu lembaga politik yang harus dikelola dengan

mind set kepemimpinan politik yang memiliki

idealisme, visi, menghargai proses, change and

continuity dan orientasi jangka panjang (Tanjung,

2008).

Kepemimpinan saudagar juga diidentikkan dengan politik saudagar. Hal ini dapat dikatakan tujuan utama mereka bukanlah kepentingan rakyat namun kepentingan mereka sebagai saudagar atau pengusaha. Pencapaian tujuan mereka tentu saja kekuasaan politik guna mempengaruhi atau membuat keputusan atau kebijakan politik sebagaimana tujuan partai politik. Namun kepentingan sebagai saudagar mewarnai setiap langkah dan kebijakan mereka sebagai elite dengan membawa nama partai sesuai dengan kepentingan mereka. Dengan menggunakan partai mereka berusaha untuk tetap eksis sebagai pengusaha atau saudagar bahkan semakin melebarkan jaringan bisnisnya.

Selain kepentingan bisnis mereka dapat terjaga, baik dengan pengaturan UU di tubuh legislatif atau eksekutif, para saudagar yang berkiprah di tubuh partai Golkar juga mendapatkan proyek baik untuk diri sendiri ataupun kelompoknya melalui jabatan mereka. Lebih jauh lagi nara sumber mengatakan bahwa banyak pengusaha yang tambah kaya setelah menjadi elite di partai Golkar.

Pareto (dalam Varma, 2003) dalam kajiannya tentang ancaman terhadap turunnya elite

(10)

mengatakan bahwa berkurangnya kualitas elite akan mengakibatkan turunnya elite tersebut. Menurunnya perolehan suara Golkar yang berdampak pada berkurangnya kursi Golkar di parlemen disinyalir oleh sebagai dampak dari menurunnya kualitas para elite di tubuh Golkar. Sebagai wakil rakyat atau bahkan pemimpin rakyat, tokoh-tokoh Golkar yang duduk di eksekutif maupun legislatif lebih berorientasi kepada bisnis mereka daripada mengemban tugas negara.

Kepentingan bisnis jelas berdampak pada kinerja mereka yang duduk sebagai wakil rakyat maupun kepala daerah. Kinerja yang buruk dari para wakil rakyat fraksi Golkar ataupun elite politik dan Pemerintahan (Jawapos (a), 2016) yang berasal dari Golkar dikhawatirkan berdampak pada citra Golkar di mata publik sehingga perolehan suara semakin turun dari pemilu ke pemilu.

Saat ini partai politik cenderung dianggap merugikan rakyat kecil sebagai mana yang diungkapkan Ahmad Danial dalam tulisannya tentang partai politik. Ia mengungkapkan bahwa partai/politik malah memberikan kemudaratan yang luar biasa, karena bukannya menjadi

public educator malah menjadi debtcollector,

bahkan mereka dianggap sebagai pengisap darah rakyat kecil seperti saat masa kerajaan Islam pada fase kemunduran, kiri-kanan nyolong uang rakyat, kesana-kemari ngambil uang negara dan memasukkan ke kantong pribadi sedang sisanya dimasukkan di kas partai. Memang sangat miris, tapi itulah kenyataan pahit yang mau tidak mau harus diterima rakyat (Danial, 2018).

Terkait dengan pandangan masyarakat tentang partai politik, Golkar pun tak terlepas dari tudingan tersebut. Golkar memang merupakan partai yang berisi para pebisnis dengan kepentingan bisnis yang luar biasa. Akbar juga menyatakan dengan tegas bahwa hingga kini pamor Golkar tak kunjung naik bahkan mungkin berada di titik yang mengkhawatirkan. Dengan terpilihnya ketua baru dan terbentuknya kepengurusan baru yang dapat dikatakan adalah orang-orang yang sibuk dengan bisnis mereka dan menjadikan Golkar sebagai kuda tunggangan untuk memperlancar bisnis mereka. Kasus “papa minta saham’ (meski pada awal Desember kasus tersebut dinyatakan telah selesai dan Novanto dinyatakan tidak terlibat hingga dikembalikan menjadi ketua DPR, namun hal itu disinyalir hanya demi kepentingan politik) dengan jelas menyeret nama Setya Novanto sebagai ketua umum Golkar. Demikian juga cacat hukum lainnya yang menyangkut nama nama para

pengurus baru Golkar.

Elite dan kader yang baik sesungguhnya banyak terdapat dalam tubuh partai Golkar terutama pada era kepemimpinan Akbar Tanjung, namun seiring dengan merebaknya budaya politik transaksional dan sistem kepartaian yang baru mendorong elite-elite partai Golkar yang merasa tidak lagi dapat seiring sejalan dengan ketua umum memilih keluar dan mendirikan partai politik baru sebagaimana diungkapkan di atas.

Tidak berjalannya fungsi rekrutmen yang baik juga ditampilkan tak lama setelah dilantiknya kepengurusan baru Golkar di pertengahan 2016. Pernyataan dukungan Golkar terhadap pemerintahan saat itu dan dukungan kepada Jokowi untuk pemilu mendatang, merupakan sikap terburu-buru. Menurut Akbar hal tersebut justru menunjukkan bahwa rekrutmen dan kaderisasi tidak berjalan di Golkar.

Golkar Kembali Menjadi Bagian dari Penguasa. Berkembangnya konflik kepemimpinan di tubuh Golkar antarkubu ARB dan kubu Agung yang sama-sama menyatakan diri sebagai kepengurusan yang sah menunjukkan bahwa unsur personal atau ketokohan masih ingin dipertahankan oleh tokoh tokoh lama. Konflik yang berlarut tersebut juga lebih banyak disebabkan kepentingan masing masing elite sebagaimana yang terungkap dalam tulisan Jamaludin Ghafur dan al Arif (2017). Ia menyatakan bahwa faktor utama konflik partai Golkar adalah perbedaan pandangan para elite partai tentang pelaksanaan Munas. Sementara itu penyelesaian konflik melalui mekanisme Mahkamah Partai, tidak menyelesaikan konflik sehingga berlanjut ke Pengadilan.

Selayaknya di masa keterbukaan politik saat ini hal tersebut sudah harus ditinggalkan sebagaimana diungkap dalam tulisan Nurjaman (2018), sebenarnya Partai Golkar menjadi salah satu partai yang mampu membebaskan diri dari ketergantungan pada seseorang sosok atau pemimpin. Seperti sering dikatakan banyak pengamat tak ada pemegang saham mayoritas dalam Partai Golkar. Inilah kekuatan sekaligus kelemahan Partai Golkar seperti sudah terbukti. Partai ini menjadi solid saat menghadapi gempuran hebat di awal reformasi. Oleh karena itu, partai Golkar tidak akan kehilangan stok pemimpin yang siap menggantikan dari satu generasi ke generasi berikutnya

Konflik kepemimpinan di tubuh Golkar yang cukup berlarut pada gilirannya mencapai sebuah

(11)

kesepakatan atau konsensus setelah pemerintah turut campur tangan guna menyelesaikan konflik tersebut. Konsensus partai Golkar terjadi pada tiga jalur, pertama melalui jalur organisasi yaitu Mahkamah partai Golkar, kedua melalui jalur hukum, ketiga melalui jalur politik, seperti ditunjukkan pada Silaturahmi Nasional (Silatnas), Rapimnas, dan terakhir Munaslub Partai Golkar bulan Mei 2016. Munaslub menyepakati berbagai hal di antaranya, keputusan untuk menetapkan Setya Novanto sebagai Ketua Umum partai Golkar, dibentuknya Dewan Pembina partai Golkar, dan perubahan posisi partai Golkar menjadi partai pendukung pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Hafid, 2016)

Dengan dilaksanakannya Munaslub 2016 di Bali dan terpilihnya Setya Novanto sebagai ketua umum Golkar periode 2016 maka perseturuan antara dua kubu dalam tubuh Golkar dianggap usai. ARB kini menjadi ketua Dewan Penasehat Golkar.

Hasil munaslub inilah yang membuat Golkar keluar secara resmi dari KMP dan mendukung Pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla sebagaimana keputusan Munaslub Golkar 2016 yang dimuat dalam Jawapos (b) (2016), antara lain menyatakan dukungan terhadap Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semangat Golkar dengan paradigma baru khususnya pada poin standarisasi yang lebih jelas dalam rekrutmen kepengurusan partai Golkar dengan mengedepankan merit system (dedikasi, prestasi, loyalitas, dan kecakapan) hanya terjadi pada kepemimpinan Akbar Tanjung namun tidak pada kepemimpinan berikutnya.

SIMPULAN

Partai Golkar pada era orde baru merupakan partai yang memegang kendali pemerintahan. Selama Pemilu Orde Baru dengan pendekatan otoriter, Golkar selalu memenangkan Pemilihan Umum. Pasca kejatuhan pemerintahan Orde baru, di bawah kepemimpinan Akbar Tajung, mengubah konstelasi sebagai partai yang otoriter ke demokratis. Hasilnya menunjukkan keberhasilan, Golkar dalam arena kekuasaan tidak jatuh dan tenggelam, tapi masih dapat nenunjukan kekuatannya sebagai pemenang ke dua setelah PDIP, dan Golkar masih berada di lingkaran kekuasaan, sebagai anggota koalisi yang mendukung pemerintahan. Bahkan pada Pemilu tahun 2004 memperoleh kursi di Parlemen pada

urutan pertama, walaupun tidak berhasil menjadi pengendali di Pemerintahan.

Pada Pemilu 2009 sampai dewasa ini konstelasi elite dan Golkar berubah, para elit tidak lagi fokus pada organisasi atas dasar idealisme sebagai partai, tetapi mengedepankan konstelasi transaksional, ketika para elite pengusaha berusaha memperoleh kedudukan di partai Golkar, dengan kepentingan bisnisnya.

Pada saat yang sama elite-elite lainnya terutama dari kalangan perwira militer meninggalkan Golkar dan mendirikan partai baru. Beberapa elite ialah Prabowo memilih keluar dan mendirikan Partai Gerindra, mantan jendral lainnya mendirikan partai Hanura, dan lain sebagainya.

Meski saat ini lebih menonjol elite dari kalangan sipil, seperti Abu Rizal Bakri, Jussuf Kalla, dan kini Setya Novanto yang semuanya pengusaha. Di kalangan pengusaha ini konstelasi elite dan Golkar menyuburkan pola transaksional tidak saja di pusat tetapi juga di daerah, yang merusak pola-pola rekrutmen dan pengaderan pimpinan dan anggota partai. Dalam konstelasi demikian, Golkar masih tetap ada pada menjadi wakil pemenang Pemilu (runner-up) setiap Pemilu sejak jatuhnya Orde Baru dan selalu menjadi bagian dari lingkaran kekusaan di Pemerintahan. Artinya dari pemilu ke pemilu seusai reformasi partai Golkar tetap menunjukkan ketangguhannya sebagai partai yang kuat.

Kepada para peneliti lain, disarankan untuk menggali lebih jauh, mengapa Golkar tetap kuat, walaupun mempunyai stigma yang sulit dihapus sebagai warisan partai Orde Baru, dengan terdapat berbagai permasahan konflik elite dan terdapat kasus kasus periku elite yang terlibat korupsi. DAFTAR PUSTAKA

Budiarjo, Miriam. (2008). Dasar-dasar Ilmu

Politik, Gramedia, Jakarta

Danial, Ahmad.(2018). Wajah Buram Partai Politik. Jurnal (buletin) Hukum dan Keadilan UIN Syarif Hidayatullah.Volume 2 nomor 7d Tahun 2018

Reeve, David. (2013). Golkar Sejarah yang

Hilang. Akar Pemikiran dan Dinamika.

Depok: Komunitas Bambu

Ghafur, Jamaludin dan al Arif. (2017). Suksesi Pimpinan dalam Partai Politik: Studi atas Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum No. 4 Vol. 24 Oktober 2017

(12)

Dalam Penyelesaian Konflik Partai Golkar Tahun 2014-2016. Jurnal Penelitian POLITIK, vol 15 no. 1 (2018)

Nurjaman, Asep.(2018). Masa Depan Faksionalisme Politik Golkar Pasca Orde Baru, Jurnal Sospol, Vol 4 No 2 Juli – Desember 2018

Marham, Idrus. (2016). Magnet Politik Partai

Golkar. Bekasi : Penjuru Ilmu Sejatii

Ridha T.R,Muhammad. (2016). Dilema Pelembagaan Partai Golongan Karya (Golkar) Di Tingkat Lokal: Fenomena Politik Klan , Jurnal Ilmu Pemerintahan CosmoGov, Vol. 2 No. 1, April 2016

Rodee, dkk. 1993. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Rajawali

MacAndrews, Colin dan Mas’oed, Mohtar. (2018).

Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta:

Gajah Mada University Press

Sukmadinata.(2006). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosdakarya

Varma, SP. (2003). Teori Politik Modern. Jakarta: PT Raja Grafindo

Tanjung, Akbar. (2008). The Golkar Way (Survival

Partai Golkar Di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi). Jakarta: Gramedia.

Jawapos (b). (2016). Golkar Blunder di Langkah Pertama” selasa 31 Mei 2016

Jawapos (a). (2016 ).Partai Golkar Resmi Keluar dari KMP, Selasa 17 Mei 2016

Viva.co.id. (2016). Perolehan Suara Partai Golkar di Tiga Pemilu, http://politik.news. viva.co.id/news/read/496072-perolehan-suara-partai-golkar-di-tiga-pemilu

Reiter, Howard L.(2006). The Study of Political Parties, 1906–2005: The View from the Journals, American Political Science Review, Vol. 100, No. 4 November 2006,

Ignazi, Piero.(1996). The crisis of parties and the rise of new political parties, Party Politics vol 2. No.4 pp.549-566

Ignazi, Piero, (2014). Power and the (il)legitimacy of political parties: An unavoidable paradox of contemporary democracy. Party Politics , Vol. 20(2) 160–169 ª The Author(s) 2014 Reprints and Sagepub.co.uk/journalsPermissions. nav DOI: 10.1177/1354068813519970 ppq. sagepub.com

Gambar

Tabel  2,  menggambarkan  perbandingan antara  paradigma lama dan paradigm baru partai Golkar.

Referensi

Dokumen terkait

Pada bab empat akan diberikan analisis terhadap hasil penelitian dan pembahasan tentang kasus pembatalan perkawinan satu nasab, yang terdiri dari : 1) Hukum menikah

4.1 Peserta dan pihak yang terkait dengan pengadaan ini berkewajiban untuk mematuhi etika pengadaan dengan tidak melakukan tindakan sebagai berikut : 4.1.a Cukup Jelas.. 4.1.b

[r]

Table 4.11 Distribution of Total Right Answer in Items of Distinguishing between the General Idea (or main point) and Topic Sentence Table 4.12 Distribution of Total Right

kriteria ruang lingkup dan tingkat kompetensi yang sesuai dengan kompetensi lulusan yang dirumuskan pada Standar Kompetensi Lulusan, yakni sikap,.. pengetahuan,

[r]

[r]

Skin and soft tissue, musculoskeletal, respiratory tract infection, bacteremia, infective endocarditis, TSS, SSSS, device-related infection3. Streptococcal