19
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Provinsi Bali didirikan pada tanggal 14 Agustus 1958 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 84 Tahun 1958. Provinsi ini terletak pada 70 - 80 Lintang Selatan, dan 1140 - 1150 Bujur Timur, memiliki luas wilayah 5.636,66 km2 dengan Ibukota Denpasar. Berdasarkan Survai Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2004, jumlah penduduk Provinsi Bali adalah 3.385.750 jiwa dengan kepadatan penduduk mencapai 601 jiwa/km2. Laju pertumbuhan penduduk selama tahun 2000 hingga 2004 sebesar 1,89 persen per tahun (SETDA Provinsi Bali, 2005). Buleleng terletak di Bagian Utara Pulau Bali, merupakan Kabupaten terluas dengan luas wilayah 1.366 km2, dan menjadi Ibukota Provinsi pada tahun 1960-an. Kabupaten ini memiliki luas laut lebih kurang 3.196,8 km dengan panjang pantai 144 km, dan potensi 12.523 ton ikan per tahun. Potensi dan pemanfaatan sumber daya perikanan Kabupaten Buleleng pada tahun 2003 secara lebih lengkap disajikan pada Tabel 8. Tampak dari data tersebut masih terbuka peluang untuk memanfaatkan potensi yang dimiliki. Khusus untuk kegiatan penangkapan ikan di laut potensi yang tersisa hanya 12,75 persen, karena yang 20 persen lagi adalah untuk stock.
Tabel 8. Potensi dan Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Kabupaten Buleleng Tahun 2003
No Kegiatan Potensi Persentase
Pemanfaatan (%) Produksi (ton)
I. Perikanan laut
1 Pena ngkapan (ton) 12.523,00 67,25 8.432,00
2 Budidaya kerapu dan bandeng (ha) 500,00 5,20 28,20 3 Budidaya rumput laut (ha) 250,00 22,52 421,20
4 Budidaya mutiara (ha) 250,00 19,12 0,01
II. Perikanan darat
1 Penangkapan di perairan umum (ha) 481,30 3,32 127,48
2 Budidaya tambak (ha) 500,00 3,60 291,50
3 Budidaya kolam (ha) 27,32 18,08 23,40
4 Budidaya mina padi (ha) 3.354,60 0,68 8,40
5 Pembenihan bandeng dan kerapu (bak) 6.000 75,00 2,4 x 109* 6 Pembenihan udang windu (unit) 5 10,00 2,01 x 107* 7 Pembenihan udang galah (unit) 10 10,00 belum ada data
8 Pembenihan ikan hias (ha) 27,32 3,66 5 x 104* 9 B B I – ikan karper (ekor) 1.200.000 40,25 4,83 x 105*
Keterangan: * dalam ekor
Terdapat delapan jenis alat tangkap ikan yang digunakan nelayan di Kabupaten Buleleng yaitu pukat pantai, pukat cincin, jaring insang hanyut, seser, pancing ulur, pancing tonda, bubu, dan bagan. Terjadi penurunan penggunaan alat tangkap seser pada semua kecamatan, pada tahun 2001 terdapat 657 unit seser, tahun 2002 ada 79 unit, dan tahun 2003 menjadi 15 unit atau turun sebesar 2,28 persen dari tahun 2001. Alat tangkap bubu, jaring insang hanyut, pancing ulur, dan pancing tonda mengalami peningkatan di semua kecamatan. Di Kecamatan Gerokgak dan Buleleng, pancing ulur paling banyak digunakan. Di Kecamatan Tejakula, jaring insang hanyut paling banyak digunakan.
Tabel 9. Perkembangan Penggunaan Alat Tangkap Ikan di Lokasi Studi pada Tahun 2001 - 2003
Kecamatan, tahun, dan jumlah alat penangkapan (unit)
Gerokgak Buleleng Tejakula
No Jenis alat tangkap
2001 2002 2003 2001 2002 2003 2001 2002 2003
1 Pukat pantai 48 34 80 28 11 11 6 3 5
2 Pukat cincin 0 0 0 8 2 8 0 0 371
3 Jaring insang hanyut 273 282 206 13 41 41 1634 1158 1792
4 Seser 445 0 0 23 0 0 189 79 15
5 Pancing ulur 505 413 511 214 363 363 594 599 1381
6 Pancing tonda 38 61 67 143 273 273 513 524 814
7 Bubu 32 9 33 0 45 45 23 20 25
8 Bagan 14 12 23 0 0 0 0 0 0
Sumber: Diolah dari Data Dinas Kelautan dan Perikanan Buleleng, 2002 s.d 2004
Produktivitas perikanan tangkap tertinggi di Kecamatan Tejakula, disusul oleh Kecamatan Buleleng, dan Gerokgak (Tabel 10). Budi daya laut hingga tahun 2003 hanya dilakukan di Kecamatan Gerokgak, sedangkan di Kecamatan Buleleng baru dimulai tahun 2004, sehingga saat penelitian ini dilakukan belum memperlihatkan hasil. Pemanfaatan perairan umum seperti sungai, baru dapat dilakukan di Kecamatan Buleleng mengingat di dua kecamatan lainnya kondisi sungai sudah dangkal, dan kondisi air yang tidak stabil. Perbandingan produksi perikanan antara tahun 2000 dengan 2003, memperlihatkan bahwa di Kecamatan Gerokgak terjadi peningkatan produksi perikanan, terutama perikanan tangkap. Kondisi sebaliknya terjadi di Kecamatan Buleleng dan Tejakula yang mengalami penurunan hasil penangkapan ikan. Hal ini berkaitan dengan semakin intensifnya penangkapan ikan di Kecamatan Gerokgak dibandingkan dengan di Kecamatan Buleleng dan Tejakula. Nelayan di Kecamatan Buleleng memiliki kegiatan sampingan yakni berdagang, dan di Kecamatan Tejakula kegiatan sampingan nelayan adalah berkebun.
Pada tingkat Kabupaten, terjadi peningkatan produksi perikanan sebesar 1,2 persen meskipun terjadi penurunan produksi.
Tabel 10. Produksi Beberapa Usaha Perikanan di Tiga Lokasi Penelitian pada Tahun 2000 dan 2003
Produksi usaha perikanan dalam ton pada tahun 2002 dan 2003
Gerokgak Buleleng Tejakula
No Tahun
Jenis usaha 2002 2003 2002 2003 2002 2003
A Perikanan laut
1 Penangkapan 478,4 1.194,4 1.308,5 673,0 1.839,6 1.665,9
2 Budi daya laut 1,0 386,9 0 0 0 0
B Perikanan darat 1 Sungai 0 0 15,52 1,3 0 0 2 Tambak 259,8 165,5 0 0 0 0 Jumlah 739,2 1.746,7 1.324,0 674,3 1.839,6 1.665,9 Persentase perubahan produksi tahun 2000-2003 (%)
Naik 136,3 Turun 49,1 Turun 9,4
Keterangan: Produksi tersebut diperoleh dari usaha perikanan yang dilakukan di wilayah pantai (daerah pasang surut)
Sumber: Diolah dari data Dinas Kelautan dan Perikanan, 2004
Selain melakukan usaha penangkapan ikan dan budidaya perairan, masyarakat pesisir melakukan usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan. Pengolahan ikan seluruhnya dilakukan oleh wanita nelayan, dan 50 persen pengolah memasarkan langsung produknya. Pada tahun 2004, dari 8.432,0 ton ikan yang diproduksi, 79,4 persen dijual dalam bentuk segar, sedangkan 20,6 persen diolah dengan cara diasin, dipindang, dan diasap. Ikan yang diasin adalah 236,6 ton teri dan 53,6 ton cumi. Ikan yang dipindang adalah 366,2 ton lemuru, 296,6 ton tongkol, 172,6 ton layang, 314,6 ton cakalang, dan 56,2 ton kembung. Ikan terbang diolah dengan cara diasap yaitu sebanyak 221,2 ton.
Masing- masing kawasan pesisir mempunyai kelompok nelayan sebagai wadah kegiatan masyarakat pesisir. Terdapat empat kriteria kelas kelompok yang ditetapkan berdasarkan penilaian kinerja kelompok oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (Tabel 11). Kriteria tersebut adalah pemula, lanjut, madya, dan utama. Semakin maju dan berkembang kelompok, maka kelas kelompok akan makin meningkat peringkatnya. Penilaian kinerja kelompok nelayan diukur berdasarkan keaktifan anggota dan pengurus kelompok dalam berbagai kegiatan, intensitas pertemuan, perkembangan inovasi dan teknologi yang digunakan, produktivitas, dan prestasi yang pernah dicapai. Kecamatan Gerokgak
memiliki kelompok nelayan terbanyak, disusul Kecamatan Tejakula, dan Kecamatan Buleleng. Dilihat dari kriteria kelompok, kelompok pemula merupakan kelompok yang paling banyak di Kabupaten Buleleng (44,6 persen). Di sisi lain, hanya Kecamatan Buleleng yang telah memiliki kelompok kelas utama (18,2 persen). Di Kecamatan Gerokgak dan Tejakula kelas kelompok tertinggi dicapai pada kriteria madya dengan persentase berturut-turut adalah 15,4 dan 15,8 persen.
Di Kabupaten Buleleng pada tahun 2000 terdapat 11 kelompok wanita nelayan dan pengolah, pada tahun 2003 jumlah kelompok berkembang menjadi 26 kelompok. Perkembangan kelompok pengolah masih jauh tertinggal dibandingkan dengan kelompok nelayan. Hal ini tidak terlepas dari keterbatasan sarana dan prasarana pendukung, keterampilan, keterbatasan dalam mengakses sumber daya perikanan, permodalan, informasi, dan pemasaran. Pembudidaya laut hingga tahun 2004 belum membentuk kelompok secara resmi. Komoditas yang dibudidayakan pada tahun 2003 meliputi rumput laut, bandeng, kerapu, sedangkan mutiara masih dalam taraf uji coba oleh perusahaan. Enam puluh persen atau setara dengan 73 Rumah Tangga Perikanan (RTP) pembudidaya laut melakukan usaha di Kecamatan Gerokgak dengan produktivitas masing- masing 7,2 ton rumput laut/ha per tahun, 77,6 ton bandeng/ha per tahun,18,7 ton kerapu/ha per tahun, dan 0,002 ton mutiara/ha per tahun.
Tabel 11. Sebaran Kelompok Nelayan Berdasarkan Kelasnya di Lokasi Penelitian Tahun 2003
Kelas Kelompok
Pemula Lanjut Madya Utama
Kecamatan
Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Total per Kecamatan Gerokgak 13 50,0 9 34,6 4 15,4 0 0 26 Buleleng 4 36,4 4 36,4 1 9,1 2 18,2 11 Tejakula 8 42,1 8 42,1 3 15,8 0 0 19 Total Kelompok 25 44,6 21 37,5 8 14,3 2 3,6 56
Sumber: Diolah dari data Perikanan Kabupaten Buleleng Tahun 2004
Gambaran Umum Responden
Responden nelayan penangkap ikan konsumsi dan pengolah-pemasar terdapat di seluruh kecamatan memiliki ciri-ciri seperti disajikan dalam Tabel 12. Di tiga lokasi, usia
nelayan pada interval32 hingga 42 tahun memiliki persentase tertinggi, yaitu 43,8 persen di Kecamatan Gerokgak dan Buleleng, dan 50 persen di Kecamatan Tejakula. Sebanyak 14,5 persen responden di Kecamatan Gerokgak dan 13,4 persen responden di Kecamatan Buleleng tidak menyelesaikan SD (tahun tempuh pendidikan formal kurang dari empat tahun). Pendidikan responden umumnya SD dan SMP tidak tamat. Responden yang telah menyelesaikan pendidikan menengah atas adalah di Kecamatan Buleleng yaitu sebanyak 37 persen, disusul Kecamatan Gerokgak sebanyak 13,6 persen, dan di Kecamatan Tejakula sebanyak 10 persen. Terdapat 5 persem responden yang tidak dapat membaca dan menulis.
Tabel 12. Ciri-ciri Responden di Tiga Kecamatan
Gerokgak Buleleng Tejakula
Perihal
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
1. Jenis kelamin (jiwa):
Laki-laki 43 78,2 48 65,8 15 37,5 Perempuan 12 21,8 25 34,2 25 62,5 Total 55 100,0 73 100,0 40 100,0 2. Usia (tahun): a. Kurang dari 32 6 10,9 8 11,0 1 2,5 b. 32 – < 42 23 43,8 32 43,8 20 50,0 c. 42 – <52 18 31,5 23 31,5 14 35,0 d. > 52 8 13,7 10 13,7 5 12,5 Total 55 100,0 73 100,0 40 100,0
3. Pendidikan formal (tahun)
a. < 4 8 14,5 1 13,4 0 0
b. 4 - < 6 10 18,2 15 20,5 4 10,0
c. 6 - < 8 24 43,6 30 41,1 32 80,0
g. > 8 13 23,6 27 37,0 4 10,0
Total 55 100,0 73 100,0 40 100,0
4. Jumlah tanggungan (jiwa)
a. 1 3 5,4 2 2,7 1 2,5
b. 1 - < 3 31 5,3 32 43,8 23 57,5
c. 3 - < 5 17 31,0 31 42,5 14 35,0
d. > 5 4 7,3 8 11,0 2 5,0
Total 55 100,.0 73 100,0 40 100,0
5. Pengalaman berusaha (tahun)
a. < 12 6 10,9 11 15,1 2 5,0 b. 12 – < 20 24 43,6 33 45,2 16 40,0 c. 20 – < 28 14 25,5 21 28,8 19 47,5 d. > 28 11 20,0 8 10,9 3 7,5 Total 55 100,0 73 100,0 40 100,0 6. Pendapatan (x Rp 1000/bulan) a. < 420 (sangat rendah) 5 9,1 2 2,7 2 5,0 b. 420 - <750 (rendah) 29 52,7 29 32,7 25 62,5 c. 750 - <1.080 (tinggi) 15 27,3 20 27,4 12 30,0 d. > 1.080 (sangat tinggi) 6 10,9 22 30,1 1 2,5 Total 55 100,0 73 100,0 40 100,0
Berdasarkan pendapatan per bulan, masyarakat di Kecamatan Buleleng memiliki pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan dua kecamatan lainnya. Hal ini berkaitan dengan diversifikasi usaha yang lebih banyak dilakukan oleh nelayan di Kecamatan Buleleng, dan lokasi yang berada di sekitar pusat kota memudahkan nelayan mengakses informasi dari berbagai lembaga baik pemerintah maupun swasta.
Perilaku Masyarakat Pesisir Mengelola SDP
Mengacu pada kajian empirik penelitian ini, masyarakat pesisir di Kabupaten Buleleng mengelola SDP secara tradisional. Hal ini tergambar pada penggunaan alat tangkap dan armada yang sederhana, dengan daerah tangkapan ikan (fishing ground) terbatas, diterapkannya peraturan lokal secara konsisten, ikatan antar anggota masyarakat yang cenderung guyub (gemeinschaft), dan lingkup usaha di bidang perikanan belum berorientasi pasar. Di Kabupaten Buleleng terdapat 30,6 persen nelayan tanpa armada, nelayan jukung sebanyak 28,5 persen, nelayan menggunakan armada motor tempel sebanyak 39,6 persen, dan nelayan dengan menggunakan mesin 5 PK sebanyak 1,3 persen. Dalam kondisi demikian, nelayan di wilayah penelitian umumnya melakukan aktivitas penangkapan ikan sehari pergi pulang (one day fishing) karena daya jelajah yang terbatas. Hal ini berdampak pada besar kecilnya penghasilan. Nelayan di beberapa daerah yang armadanya lebih besar dan kuat yang dicirikan dengan armada lebih dari 30 GT dengan alat tangkap canggih yang memiliki kemampuan untuk melakukan penangkapan ikan hingga ke wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Nilai-nilai sosial budaya masyarakat Bali sangat kuat, dan mengutamakan keseimbangan. Pada masyarakat Hindu Bali, dikenal tri hita karana atau tiga sumber kebahagiaan, bahwa kebahagiaan material dan spiritual bergantung pada keharmonisan yang tercipta antara Sang Hyang Widhi Wasa, manusia, dan lingkungan (Whitten dkk, 1999). Dalam akar kepercayaan Hindu, manusia merupakan dunia kecil, yang berkaitan dengan alam yang lebih besar dan saling berinteraksi satu sama lain. Alam perlu dihormati dan dijaga keseimbangannya, perilaku merusak alam berarti mengkhianati interaksi manusia dengan alam. Interaksi manusia dengan alam, termasuk dalam mengelola SDP didasarkan pada peraturan tertulis lokal (awig-awig). Awig-awig tersebut menyangkut Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Kelompok Nelayan yang menerangkan berbagai aspek dalam pengelolaan SDP termasuk jumlah hari penangkapan, pemantauan
penangkapan oleh nelayan, dan upaya rehabilitasi SDP seperti transplantasi karang yang di Desa Les, Kecamatan Tejakula difasilitasi oleh Yayasan Bahtera Nusantara.
Awig-awig yang berkaitan dengan SDP di lokasi penelitian sebagaimana ditampilkan pada Tabel 13 dapat dibandingkan berdasarkan tiga hal utama yaitu mekanisme (1) penyusunan awig, (2) SDP yang diatur pemanfaatannya melalui awig-awig SDP, (3) pengontrolan penerapan awig-awig-awig-awig seperti jenis dan besarnya sanksi.
Tabel 13. Perbandingan Awig-awig di Tiga Lokasi Penelitian
Kecamatan Uraian
Gerokgak Buleleng Tejakula
1. Mekanisme penyusunan - Kesepakatan anggota kelompok nelayan, didukung kepala desa - Kesepakatan anggota kelompok nelayan, didukung kepala desa
- Kesepakatan anggota kelompok dan
diketahui kepala desa adat dan dinas 2. Tujuan awal
disusunnya awig-awig
- Mengurangi pengeboman ikan dan karang oleh sebagian nelayan
- Menjamin ketertiban waktu menangkap ikan, keamanan rumpon, dan jasa penyewaan perahu
- Untuk rehabilitasi karang (konservasi) dan ekonomi (bisnis ikan hias air laut) oleh nelayan 3. SDP yang diatur dalam awig-awig - Terumbu karang - Areal laut - Ikan - Areal laut - Terumbu karang - Ikan 4. Kontrol pelaksanaan awig-awig
- Sanksi berupa uang dengan jumlah bervariasi
- Sanksi berupa uang - Sanksi berupa uang dengan jumlah bervariasi
Sumber: Hasil analisis data primer
Perilaku Masyarakat Pesisir di Kecamatan Gerokgak
Pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman responden di Kecamatan Gerokgak tentang SDP 90 persen masuk dalam kriteria tinggi. Sepuluh persen responden belum menyadari peluang mengelola SDP untuk berbagai kegiatan produktif. Kegiatan masyarakat pesisir di Kecamatan Gerokgak paling bervariasi dibandingkan dengan di Kecamatan Buleleng, dan Tejakula. Hal ini didukung oleh kondisi geografis, yaitu adanya Teluk Pemuteran dengan keanekaragaman hayati tinggi, sehingga memungkinkan masyarakat setempat berbagai usaha.
Sikap mental masyarakat terhadap SDP di Kecamatan Gerokgak tampak pada ketangguhan memanfaatkan sumber daya tersebut. Nelayan yang berasal dari Pulau Jawa,
Madura, dan Sulawesi (Suku Bugis dan Makassar), dan bermukim secara turun temurun di Kecamatan Gerokgak memiliki daya tahan yang relatif lebih lama untuk menangkap ikan di laut dibandingkan dengan nelayan yang berasal dari desa setempat. Salah satu faktor pendorong untuk melaut lebih lama adalah nelayan dari luar Bali menggantungkan hidup sepenuhnya dari hasil laut, sedangkan nelayan yang berasal dari Pulau Bali pada umumnya masih memiliki lahan atau menggarap kebun atau sawah meskipun dalam luasan yang relatif terbatas. Nelayan Madura, Bugis, dan Makassar yang telah bermukim sejak berpuluh tahun di Kecamatan Gerokgak memiliki kemampuan menjelajah laut lebih jauh sesuai dengan budaya maritim yang melekat pada ketiga uku tersebut.
Keberadaan berbagai suku di Kecamatan Gerokgak dan di beberapa wilayah pesisir di Kabupaten Buleleng berkaitan dengan sejarah masa lalu, yakni karena perdagangan antar pulau untuk memenuhi kebutuhan penduduk dan adanya Kerajaan Buleleng yang memerlukan bantuan bala tentara dari negeri lain ketika berperang dengan kerajaan lain di Bali. Kerajaan Buleleng memberikan hadiah berupa tanah di wilayah dataran tinggi di sekitar Kecamatan Sukasada. Kehidupan beberapa suku yang terbiasa melaut, mendorong sebagian komunitas untuk bermukim di wilayah pesisir, terutama suku Bugis dan Madura. Tidak me ngherankan, jika pada beberapa wilayah pesisir Kabupaten Buleleng, ditemui perkampungan nelayan dari kedua suku itu.
Nelayan di Kecamatan Gerokgak memiliki kegiatan paling beragam yang diperlihatkan oleh berkembangnya usaha berbasis SDP yaitu perikanan tangkap, budidaya laut dan tambak, pengolahan, dan pemasaran ikan hasil tangkapan, serta wisata bahari. Hal ini berkaitan dengan berbagai faktor. Pertama, interaksi sosial antara masyarakat asli dengan pendatang cukup tinggi sehingga memungkinkan terjadinya proses penyebaran inovasi yang lebih mudah antara masyarakat pendatang dengan yang bermukim di lokasi tersebut. Kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat sangat beragam dan bervariasi, hal ini tampak pada variasi pendapatan nelayan di Kecamatan Gerokgak yang berkisar antara Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) hingga Rp1.450.000,00 (satu juta empat ratus lima puluh ribu) per bulan pada tahun 2004. Nelayan melakukan kegiatan usaha tambahan untuk meningkatkan penghasilan yaitu memandu wisatawan melakukan snorkeling dan diving, menikmati Teluk Pemuteran, atau menyeberangkan wisatawan ke Pulau Menjangan, membuka warung kelontong (berdagang), dan buruh tani.
Wanita nelayan di Kecamatan Gerokgak melakukan pengolahan ikan hasil tangkapan serta pemasarannya. Intensitas pengolahan ikan meningkat pada saat hasil tangkapan ikan berlimpah, sebaliknya pada saat hasil tangkapan ikan rendah, ikan laut
segar langsung dijual. Pengolahan ikan di Kecamatan Gerokgak terbatas pada pemindangan, belum ada pengolahan yang lebih variatif seperti pembuatan fillet ikan, abon ikan, maupun terasi. Keterbatasan modal, motivasi, keterampilan, serta keterjaminan pasar merupakan faktor penghalang bagi wanita nelayan untuk melakukan diversifikasi bentuk olahan yang bernilai ekonomi tinggi.
Pada tahun 2003, di Kecamatan Gerokgak terdapat tujuh rumah tangga pembudidaya tambak dengan luasan usaha antara 2.5 hingga 10 hektar. Pembudidaya tersebut merupakan mitra perusahaan perikanan. Pengusaha menyediakan modal, sarana dan prasarana usaha, sedangkan pembudidaya menawarkan jasa pemeliharaan. Pembudidaya memperoleh imbalan sesuai dengan hasil panen yang didapat dengan sistem pembagian usaha yang disepakati.
Perilaku Masyarakat Pesisir di Kecamatan Buleleng
Ditinjau dari aspek kognitif, maka nelayan di Kecamatan Buleleng memahami potensi SDP, namun pengelolaan SDP terbatas pada kegiatan perikanan tangkap, wisata bahari, dan pengolahan ikan dalam skala rumah tangga. Aktivitas penangkapan ikan dilakukan oleh nelayan dengan armada motor tempel dengan beragam alat tangkap, sedangkan pengolahan ikan dilakukan oleh wanita nelayan namun bergantung pada musim. Kegiatan pemasaran hasil perikanan tangkap oleh wanita nelayan. Dalam mengelola wisata bahari, nelayan bekerjasama dengan hotel di kawasan wisata Pantai Lovina. Kegiatan wisata bahari tersebut terkelola dalam bentuk pengamatan perilaku lumba- lumba, diving, dan snorkeling. Nelayan secara berkelompok mengatur sistem antrian dan pemanduan wisatawan. Biaya sewa perahu untuk mengamati lumba- lumba pada tahun 2003-2004 adalah Rp30.000,00 hingga Rp40.000,00 per orang dengan waktu pengamatan selama dua jam mulai pukul 06.00 – 08.00 WITA.
Komunitas nelayan di Kecamatan Buleleng relatif mudah menerima ide baru, sebagai gambaran nelayan di Kecamatan Buleleng ini telah dapat memodifikasi berbagai alat tangkap yang disesuaikan dengan kondisi SDP, seperti bentuk bagan yang mampu menahan arus air laut. Tingkat kemajuan kelompok nelayan di Kecamatan Buleleng paling tinggi diantara kecamatan lainnya, bahkan beberapa ketua kelompok nelayan merupakan penyuluh sawadaya dan dapat menjadi mitra penyuluh. Nelayan di Kecamatan Buleleng relatif mampu mengelola kegiatan secara mandiri, dan memiliki pengetahuan yang cukup luas tentang SDP dan manfaatnya bagi kehidupan. Hal ini terlihat dari keterampilam
nelayan dalam memandu wisatawan dalam bahasa Inggris dalam bentuk percakapan sederhana sebagai modal utama dalam industri wisata. Di sisi lain, sikap mental dalam mengelola kawasan permukiman di pesisir, dan keterampilan dalam menangani hasil tangkapan masih memerlukan perhatian terutama dalam menjaga lingkungan pantai agar tetap bersih, hijau, dan asri. Khusus penanganan dan pengolahan hasil tangkapan, diperlukan dukungan fasilitas pendingin yang memadai untuk menyimpan mencegah kerusakan hasil tangkapan. Wanita pengolah memerlukan penyuluhan tentang pengolahan hasil tangkapan menjadi berbagai produk disertai dukungan pemasaran. Kegiatan penyuluhan di lokasi penelitian 80 persen melalui demonstrasi cara, sedangkan upaya mengembangkan jaringan pemasaran masih belum maksimal.
Secara afektif, nelayan di Kecamatan Buleleng memiliki respon positif terhadap pelestarian terumbu karang, pemeliharaan mangrove, dan penanganan kawasan pesisir. Sejauh ini, konservasi SDP terutama terumbu karang telah disebarluaskan oleh Dinas Pariwisata, Dinas Kelautan dan Perikanan, dan LSM setempat. Kegiatan tersebut perlu ditindaklanjuti dengan kegiatan penyuluhan yang langsung mengarah pada aksi nyata masyarakat dalam rehabilitasi karang. Penyuluhan penting dilakukan secara tepat, yakni bukan hanya sebatas penerangan, namun mampu memfasilitasi perubahan di masyarakat hingga terjadinya perubahan yang lebih baik terutama pada sikap mental individu, kelompok dan masyarakat tentang arti penting pengelolaan SDP. Rehabilitasi karang memerlukan dana yang cukup besar dan kemampuan masyarakat dalam menangani persoalan ini secara swadaya masih rendah. Untuk itu sebenarnya kegiatan transplantasi karang perlu disponsori oleh berbagai lembaga baik pemerintah maupun swasta, terutama yang memiliki kaitan langsung dengan SDP.
Perilaku Masyarakat Pesisir di Kecamatan Tejakula
Masyarakat pesisir di Kecamatan Tejakula memiliki tiga kegiatan utama yaitu penangkapan ikan hias, penangkapan ikan konsumsi, dan pemindangan. Nelayan ikan hias khususnya di Desa Les Kecamatan Tejakula merupakan nelayan yang terkemuka dalam transplantasi karang dan penangkapan ikan dengan teknik yang ramah lingkungan, bebas dari penggunaan sianida. Kemauan dan kemampuan nelayan dalam menangkap ikan dengan teknik yang tidak merusak lingkungan tersebut tidak terlepas dari peran fasilitator yakni LSM Yayasan Bahtera Nusantara dan Telapak Indonesia. Selama 15 tahun setelah dilakukan kegiatan transplantasi karang, nelayan di Desa Les dapat memperoleh ikan hias
beragam jenis secara rutin, dan mampu memberikan nilai tambah bagi kehidupan nelayan setempat. Jenis ikan hias di Desa Les lebih dari 400 jenis dan yang paling banyak diperoleh adalah balistodes conspicillum (triger kembang), dascyllus trimaculutus (dakocan hitam), paravanthurus hepatus (letter six), pamacanthus xanthometapon (angle napoleon), dan pomacanthus imperator (angle batman). Penyebarluasan teknik penangkapan ikan hias bebas sianida dilakukan melalui media cetak maupun audio-visual, pelatihan pada nelayan daerah lain tentang transplantasi karang dsb.
Selain kegiatan penangkapan ikan hias ramah lingkungan, di desa-desa di Kecamatan Tejakula terdapat pula kegiatan penangkapan ikan konsumsi dan pemindangan ikan secara tradisional. Masalah yang dihadapi nelayan di Kecamatan Tejakula antara lain adalah keterisoliran yang berdampak pada kesulitan mengakses layanan telekomunikasi dan konsultasi, kekeringan (masalah iklim), dan keterbatasan modal. Dibandingkan dengan nelayan di Kabupaten Buleleng Bagian Barat, nelayan di Bagian Timur Kabupaten Buleleng terhambat dalam melakukan konsultasi dengan lembaga yang menangani masalah perikanan. Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) sekarang menjadi Unit Pelaksana Teknis Fungsional (UPTF), yang bergerak di bidang perikanan sangat terbatas bahkan hampir tidak ada di Kabupaten Buleleng Bagian Timur.
Wanita nelayan di Kecamatan Tejakula merupakan pelaku utama usaha pemindangan ikan hingga pemasarannya. Pengolahan ikan dilakukan secara tradisional, dan masih belum memenuhi persyaratan hieginitas, dan perlu dikemas agar lebih menarik. Daya saing produk pengolahan dapat ditingkatkan melalui penyadaran, kemauan, dan kemampuan wanita nelayan dalam menangani (handling) produk mulai dari bahan mentah hingga menjadi produk jadi atau siap dikonsumsi, terutama aspek kebersihan.
Sebaran perilaku responden dalam mengelola SDP di tiga kecamatan ditampilkan pada Tabel 14. Dapat dijelaskan dari informasi pada Tabel 13 bahwa masyarakat pesisir di Kecamatan Gerokgak dan Tejakula, meskipun pengetahuan tentang SDP relatif lebih rendah daripada masyarakat pesisir di Kecamatan Buleleng namun memiliki sikap mental yang sangat baik terhadap SDP. Hal ini berkaitan dengan pengetahuan tentang SDP yang secara turun temurun diwariskan oleh generasi terdahulu. Artinya, sikap mental masyarakat pesisir di dua kecamatan tersebut terbentuk oleh akumulasi pengalaman masa lalu orang tua yang telah terinternalisasi dengan baik. Di sisi lain, pada masyarakat pesisir di Kecamatan Buleleng, memiliki pengetahuan tentang SDP tinggi, namun sikap mental terhadap SDP tidak setinggi seperti di Kecamatan Gerokgak. Di Kecamatan ini, nelayan dan masyarakat pesisir umumnya mampu mengakses informasi dari berbagai sumber
diantaranya karena kemudahan mengakses jaringan telekomunikasi, dan kemudahan melakukan konsultasi dengan penyuluh. Di sisi lain, sikap mental dan keterampilan masyarakat pesisir di Kecamatan Buleleng memperlihatkan ciri masyarakat pesisir yang cenderung eksploitatif namun belum sepenuhnya melakukan upaya rehabilitasi SDP. Hal ini dipicu oleh semakin meningkatnya tekanan akan pemanfaatan SDP seiring kebutuhan hidup yang meningkat. Meski demikian, secara umum perilaku masyarakat pesisir di tiga kecamatan mengarah terhadap perilaku yang mendukung pengelolaan SDP secara berkelanjutan.
Tabel 14. Sebaran Responden menurut Perilaku dalam Mengelola SDP
Kecamatan
Gerokgak Buleleng Tejakula
Kabupaten Aspek
Perilaku (selang skor)
Kriteria
Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Rendah 24 43,6 20 45,0 18 45,0 62 36,9 Tinggi 31 56,4 53 55,0 22 55,0 106 63,1 Kognitif (4-16); median 12 Jumlah 55 100,0 73 100,0 40 100,0 168 100,0 Rendah 4 7,3 32 43,8 3 20,0 39 23,2 Tinggi 51 92,7 41 56,2 37 80,0 129 76,8 Sikap mental (4-16); median 14 Jumlah 55 100,0 73 100,0 40 100,0 168 100,0 Rendah 12 21,8 32 43,8 8 20,0 52 31,0 Tinggi 43 78,2 41 56,2 32 80,0 116 69,0 Keterampilan (5-20); median 13 Jumlah 55 100,0 73 100,0 40 100,0 168 100,0 Rendah 21 38,2 36 49,3 16 40,0 73 43,5 Tinggi 34 61,8 37 50,7 24 60,0 95 56,5 Perilaku (13-52); median 38 Jumlah 55 100,0 73 100,0 40 100,0 168 100,0
Perilaku nelayan di seluruh kecamatan sebagaimana disajikan pada Tabel 15 berkorelasi positif dan nyata dengan dinamika sosial budaya masyarakat, kualitas kepemimpinan, keragaan responden, kualitas program intervensi, kompetensi fasilitator, dan kualitas pendukung kegiatan perikanan. Dengan demikian jika peubah-peubah bebas berada dalam kondisi yang meningkat, maka akan semakin baik pula perilaku nelayan dalam mengelola SDP.
Tabel 15. Hubungan antara Perilaku Masyarakat Pesisir dengan Berbagai Peubah Bebas
Peubah/ indikator Dinamika sosial budaya Kualitas kepemimpinan Keragaan responden Kualitas
program Kompetensi Fasilitator
Kualitas pendukung kegiatan Perilaku Perilaku 0,247** 0,271** 0,211** 0,816** 0,174* 0,250** 1 Aspek kognitif 0,249** 0,198* 0,206** 0,828** 0,181* 0,232** 0,812** Aspek sikap mental 0,071 0,194* 0,141 0,568** 0,035 0,144 0,657** Aspek keterampilan 0,233** 0,197* 0,133 0,431** 0,171* 0,195* 0,734**
Keterangan: ** nyata pada α = 0,01 * nyata pada α = 0,05
Pertumbuhan penduduk yang semakin pesat dan Indonesia pada tahun 2005 ini memiliki populasi lebih kurang 215 juta jiwa membutuhkan pemenuhan berbagai kebutuhan baik fisik dan non fisik. Kegiatan usaha produktif di pesisir dan laut merupakan salah satu alternatif yang dapat dikembangkan guna memenuhi kebutuhan hidup tersebut. Orientasi pengambil keputusan (policy maker) yang kurang memerhatikan SDP tampak pada masih terbatasnya program pembangunan yang diarahkan pada pengembangan wilayah dan komunitas pesisir. Lebih jauh, penekanan pada penerapan peraturan (law enforcement) tentang pengelolaan SDP sangat terbatas. Sebagai akibatnya, perilaku nelayan dan pemanfaat SDP sulit dikontrol. Dari segi teknis, pengawasan terhadap pelaku pelanggaran relatif lemah karena keterbatasan armada patroli dan aparat keamanan laut.
Dalam ilmu penyuluhan, perilaku manusia disebutkan dapat dikembangkan dan diarahkan untuk menjadi lebih baik me lalui pendekatan pendidikan dan komunikasi. Pendidikan (education) yang asal katanya dari Bahasa Latin yaitu educare, berarti mengeluarkan potensi. Dengan pendekatan pendidikan, maka komunitas pesisir diupayakan dapat mengembangkan potensi yang dimiliki untuk mampu menyelesaikan masalah guna meningkatkan kualitas hidup. Penyuluhan sebagai sistem pendidikan non formal, apabila diterapkan secara tepat dapat mengembangkan perilaku yang lebih baik terhadap SDP. Penyuluhan secara benar akan menerapkan prinsip-prinsip dihargainya entitas individu peserta penyuluhan secara utuh, egaliter, berkelanjutan, memberdayakan bukan memperdayakan, tidak sekedar penerangan atau propaganda, dan menerapkan prinsip membantu orang lain agar orang tersebut dapat menolong diri sendiri, keluarga,
dan masyarakat (help people to help themselves). Prinsip memberdayakan ini sejalan dengan falsafah penyuluhan sebagaimana dikemukakan oleh Asngari (2001) adalah (i) falsafah pentingnya individu; (ii) falsafah membantu diri sendiri; (iii) falsafah mendidik; (iv) falsafah demokrasi; (v) falsafah bekerja sama; dan (vi) falsafah kontinyuitas. Pengelolaan SDP yang memenuhi kriteria sosial, ekonomi, dan lingkungan akan mencapai tujuan jika disertai penerapan falsafah di atas.
Belajar merupakan usaha sadar dari seseorang untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning) sebagaimana dikemukakan Kolb (1984) merupakan siklus belajar yang terdiri atas empat proses yaitu pengalaman nyata (concrete experience), menyusun konsep abstrak (abstract conceptualization), penerapan aktif (active experimentation), dan mengamati sekaligus merefleksikan hasil pengamatan (reflective observation). Hasil perhitungan korelasi Rank-Spearman memperlihatkan terdapat korelasi positif yang nyata antara pengalaman berusaha dengan perilaku nelayan (rs=0,236). Dengan demikian, proses belajar mengajar berbasis pengalaman tentang perilaku dalam mengelola SDP dan dampaknya dapat disinergiskan dalam pelaksanaan penyuluhan di pesisir. Dalam penyuluhan berbasis peserta belajar (learner-centered approaches), pengalaman diasimilasikan menjadi bekal untuk solusi masalah, mengerucutkan rencana tindakan, dan pengambilan keputusan atas situasi yang dihadapi dengan mengakomodasikan kepentingan berbagai pihak (Siti Amanah, 1995). Implikasi penerapan prinsip pembelajaran berbasis pengalaman dalam kegiatan penyuluhan adalah bahwa setiap individu, kelompok maupun komunitas akan melalui daur belajar, dan dalam menghadapi situasi kompleks, individu dapat dibantu dalam mengambil keputusan saat menghadapi persoalan.
Pengembangan Masyarakat Pesisir dalam Mengelola SDP
Nilai koefisien lintas langsung yang ditampilkan pada Tabel 16 bermakna bahwa pengembangan masyarakat pesisir dipengaruhi secara langsung dan nyata oleh kedinamisan sosial budaya dan kualitas program pemberdayaan dengan koefisien lintas langsung berturut-turut sebesar 0,117 dan 0,718. Dengan demikian, perilaku masyarakat pesisir dalam mengelola SDP secara optimal dapat dikembangkan melalui penanaman nilai- nilai sosial budaya tentang konservasi, pemanfaatan SDP secara efisien, efektifitas peran lembaga adat berkaitan dengan perilaku masyarakat pesisir, menjamin kondisi sosial
yang harmonis, dan penerapan kearifan lokal secara konsisten. Selain peubah dinamika sosial budaya masyarakat dan kualitas program pemberdayaan, peubah bebas lainnya yaitu kepemimpinan informal, keragaan individu, kompetensi fasilitator, serta sarana dan prasarana pendukung kegiatan berpengaruh positif terhadap perilaku masyarakat pesisir.
Beberapa peubah bebas menunjukkan pengaruh tidak langsung yang lebih baik daripada pengaruh langsungnya terhadap perilaku nelayan. Sebagai gambaran, kompetensi fasilitator akan berpengaruh makin tinggi terhadap perilaku nelayan dibandingkan pengaruhnya secara langsung, bila didukung oleh program pemberdayaan yang berkualitas. Begitu pula dengan kepemimpinan informal, kearagaan nelayan, dan kualitas pendukung usaha, nilai pengaruh tidak langsungnya terhadap perilaku nelayan lebih tinggi daripada pengaruh langsung jika dipadukan dengan program pemberdayaan yang bermutu.
Tabel 16. Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung berbagai Peubah Bebas terhadap Perilaku Nelayan
Pengaruh tidak langsung melalui Peubah Pengaruh
langsung Dinamika sosial budaya (X1) Kualitas kepemim-pinan in- formal (X2) Keragaan nelayan (X3) Kualitas program (X4) Kompetensi fasilitator program (X5) Kualitas pendukung kegiatan (X6) Pengaruh total Dinamika sosial budaya (X1) 0.117* 0 0.014 0.010 0.017 -0.007 0.005 0.156 Kualitas kepemimpinan informal (X2) 0.047 0.037 0 0.009 0.064 -0.001 0.013 0.169 Keragaan nelayan (X3) 0.035 0.031 0.010 0 0.086 0.004 -0.006 0.161 Kualitas Program (X4) 0.718** 0.002 0.003 0.004 0 0.014 0.006 0.747 Kompetensi Fasilitator (X5) 0.079 -0.007 0.000 0.001 0.123 0 0.000 0.196 Kualitas pendukung kegiatan (X6) 0.045 0.010 0.011 -0.004 0.103 0.000 0 0.165
Keterangan: * nyata pada α =0,05 ** nyata pada α = 0,01
Berdasarkan Gambar 3 tampak bahwa ada terdapat lima jalur hubungan antar peubah yang signifikan terhadap perilaku nelayan. Jalur tersebut adalah (1) jalur hubungan langsung antar peubah ke peubah perilaku nelayan dengan nilai korelasi antar peubah (selanjutnya disingkat dengan R) sebesar 0,793 dan nilai R2 sebesar 0,628; (2)
jalur hubungan tidak langsung melalui peubah kualitas kepemimpinan informal dengan nilai R sebesar 0,782 dan nilai R2 sebesar 0,611; (3) jalur hubungan tidak langsung melalui peubah kompetensi fasilitator dengan nilai R sebesar 0,783 dan nilai R2 sebesar 0,613; dan (4) jalur hubungan tidak langsung melalui kualitas pendukung kegiatan dengan nilai R sebesar 0,777 dan nilai R2 sebesar 0,604. Guna mengetahui validitas model analisis jalur secara keseluruhan di atas maka digunakan cara perhitungan koefisien determinasi total. Melalui perhitungan, diperoleh koefisien determinasi total dari model di atas adalah sebesar 0,98. Artinya, keragaman data yang dapat dijelaskan oleh model perilaku di atas adalah sebesar 98 persen, sedangkan sebesar 2 persen dijelaskan oleh peubah lain seperti perilaku pihak selain nelayan dalam memanfaatkan SDP dan pengembangan kelembagaan penyuluhan dalam pengeloaan SDP.
Berdasarkan analisis jalur tersebut, dapat dijelaskan bahwa pengembangan masyarakat pesisir dapat dilaksanakan dengan memperhatikan peubah-peubah berikut sosial budaya yang dinamis dan program pemberdayaan yang bermutu, maka sangat penting untuk melibatkan peran pemimpin informal, memperhatikan kondisi spesifik nelayan, dan penyuluh atau fasilitator yang kompeten. Masyarakat pesisir di lokasi penelitian memiliki kebergantungan terhadap program pemberdayaan dan kepatuhan yang tinggi terhadap nilai- nilai sosial budaya. Implikasi hal ini, program pemberdayaan dirancang ke arah kemandirian masyarakat baik secara sosial maupun ekonomi.
Aspek sosial budaya menjadi penting mengingat keunikan nilai- nilai yang dianut sistem klien. Pada masyarakat pesisir di Bali, ciri khasnya adalah adanya penerapan desa dinas dan desa adat yang saling mendukung. Sistem desa dinas mengatur mekanisme administrasi pemerintahan, sedangkan desa adat terkait dengan pelaksanaan upacara adat dan keagamaan. Dalam pengelolaan SDP, setiap komunitas pesisir memiliki tata aturan (awig-awig) yang spesifik. Kondisi sosial budaya yang dinamis dapat dikembangkan melalui efektifitas peran kelembagaan lokal baik dalam bentuk pranata maupun pengembangan organisasi kemasyarakatan. Kearifan lokal berupa awig-awig dalam pengelolaan SDP dan penerapan prinsip tri hita karana kehidupan sehari- hari mendukung terwujudnya tatanan kehidupan yang harmonis. Hal ini dikarenakan berkembangnya mekanisme pengawasan dari dan oleh masyarakat dan adanya struktur tugas yang jelas antara berbagai komponen dalam penerapan awig-awig.
Keterangan: R1 2
= koefisien determinasi hubungan langsung seluruh peubah bebas terhadap perilaku; dan Cs1= pengaruh peubah asing pada lintasan satu atau √(1- R1
2
)
Gambar 3. Hubungan antar Peubah yang Berkaitan dengan Perilaku Nelayan Mengelola SDP
Perilaku manusia di darat pada akhirnya berdampak pada kondisi SDP. Penggunaan zat- zat kimia seperti pestisida, obat-obatan, dalam kegiatan pertanian dan budidaya perairan, penebangan liar, pembuangan limbah industri secara bebas, dan limbah domestik berpengaruh buruk terhadap ekosistem pesisir seperti terumbu karang, padang lamun, dan pantai. Kondisi terumbu karang yang memburuk menurunkan produksi tangkapan nelayan karena karang yang merupakan rumah bagi ikan dan biota laut lain untuk berkembang biak menjadi rusak. Hasil penangkapan ikan yang semakin menurun berakibat pada penurunan pendapatan usaha nelayan. Keterpurukan pada gilirannya berdampak pada semakin menurunnya kualitas kehidupan nelayan dan anggota keluarganya. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari rendahnya kemampuan rumah tangga nelayan kecil untuk mengakses layanan pendidikan, kesehatan, dan peluang pengembangan ekonomi. Dinamika sosial budaya (X1) Kualitas program (X4) Keragaan nelayan (X3) Perilaku masyarakat pesisir dalam mengelola SDP(Y1) Kualitas pendukung kegiatan (X6) Kompetensi fasilitator program (X5) Kualitas kepemimpinan informal (X2) 0,251* 0,316** 0,117* 0,216** 0,144* 0,171* 0,718** 0,086 0,079 0,047 0,045 0,293** 0,035 Cs1= 0,609 R12=0,628
Hubungan antara Perilaku Nelayan dengan Kualitas SDP
Uji kontingensi antara perilaku nelayan dengan kualitas SDP dengan data terpilah menurut lokasi pesisir menjelaskan hal- hal khusus berikut (1) Terdapat hubungan nyata antara perilaku nelayan dengan kualitas terumbu karang dan kerapatan vegetasi di pesisir; (2) Aspek kognitif dengan pemanfaatan lahan lahan, dengan kualitas terumbu karang, dan dengan vegetasi di pesisir berhubungan nyata; dan (3) Keterampilan berhubungan secara nyata dengan kondisi SDP, dan dengan vegetasi di pesisir. Melalui analisis jalur yang ditampilkan pada Tabel 17 dan Gambar 4 menunjukkan bahwa indikator untuk melihat kualitas SDP berpengaruh positif yang nyata terhadap kualitas SDP.
Tabel 17. Hasil Analisis Jalur antar Indikator Indikator Kualitas SDP terhadap Kondisi SDP
Pengaruh tidak langsung melalui
Peubah Pengaruh langsung Pemanfaatan lahan (Y2..1) Fluktuasi hasil tangkapan (Y2.2) Kualitas terumbu karang (Y2..3) Vegetasi di pesisir (Y2.4) Pengaruh Total Pemanfaatan lahan (Y2..1) 0.297** 0 -0.035 0.113 -0.006 0.369
Fluktuasi hasil tangkapan ( Y2.2) 0.420** -0.02 0 -0.009 0.052 0.443
Kualitas terumbu karang (Y2..3) 0.375** 0.141 0.019 0 0.264 0.799
Vegetasi di pesisir (Y2.4) 0.409** 0.264 0.091 0.213 0 0,977
Kualitas SDP sangat peka terhadap berbagai aktivitas manusia. Intensitas penambangan karang yang berlebihan, penggunaan zat-zat kimia dalam budidaya perikanan, pembuangan sampah di pesisir, limbah industri dalam bentuk bahan kimia berbahaya yang dibuang langsung ke sungai lalu mengalir ke laut sangat merusak ekosistem.
Keterkaitan antara Perilaku, Kualitas SDP, dan Kesejahteraan R umah Tangga
Guna mengetahui pengaruh langsung, tidak langsung, dan pengaruh total peubah yang berpengaruh terhadap kesejahteraan, dapat dilihat hasil analisis jalur pada Tabel 18 dan Gambar 5. Tampak bahwa peubah pemanfaatan lahan memiliki pengaruh tertinggi secara nyata terhadap kesejahteraan, sedangkan fluktuasi hasil tangkapan berpengaruh negatif terhadap kesejahteraan. Beberapa peubah memiliki pengaruh tidak langsung yang
lebih besar terhadap kesejahteraan daripada pengaruh langsung. Misalnya, sikap mental nelayan yang didukung oleh keterampilan berusaha akan memiliki pengaruh positif secara tidak langsung terhadap kesejahteraan.
Dalam pengelolaan SDP secara optimal, maka pemanfaatan lahan untuk usaha produktif perlu diikuti dengan dikikisnya sikap mental yang dapat merusak SDP termasuk dicegahnya kerusakan terumbu karang. Selain keterampilan dan fluktuasi hasil tangkapan, semua indikator berpengaruh positif terhadap kesejahteraan nelayan. Keterampilan menangkap ikan berpengaruh negatif meski pengaruhnya tidak signifikan terhadap kesejahteraan, hal ini berkaitan dengan peningkatan kemampuan masyarakat pesisir memodifikasi alat tangkap ikan dan melakukan budi daya ikan namun ada yang berdampak negatif bagi SDP. Untuk mengantisipasi hal ini, penyuluhan tentang perbaikan kondisi lingkungan di pesisir dan laut melalui pemanfaatan sumber daya alam secara ramah lingkungan, diversifikasi usaha, perguliran modal melalui lembaga keuangan non formal dan keterjaminan pemasaran perlu dilakukan secara kontinyu.
Pemanfaatan lahan (Y2.1) 0,297** Fluktuasi hasil tangkapan (Y2.2) Kualitas terumbu karang (Y2.3) Vegetasi di pesisir (Y2.4) Kualitas Pengelolaan SDP (Y2) 0,420** 0,375** 0,127** 0,645** 0,300** 0,567** Cs 0
Gambar 4. Hubungan antar Indikator Peubah SDP dengan Kualitas Pengelola an SDP
Tabel 18. Hasil Analisis Jalur Berbagai Indikator Perilaku dan K ualitas SDP terhadap Kesejahteraan
Pengaruh tidak langsung melalui Indikator Koefisien. Lintas Aspek
kognitif ( y 1.1) Sikap mental (y 1.. 2) Keteram-pilan (y 13) Pemanfaatan lahan ( y 2.1) Variasi hasil tangkapan (y 2.2) Kualitas terumbu karang (y 2.3) Vegetasi (y 2.4) Pengaruh total Aspek kognitif ( y 1.1) 0.078 0 -0.004 0.026 -0.011 -0.011 0.008 -0.004 0.082 Sikap mental (y 1.2) -0.010 -0.003 0 0.018 -0.002 -0.012 -0.005 0.003 -0.012 Keterampilan (y 1.3) 0.106 0.015 -0.002 0 0.034 -0.002 0.009 -0.013 0.147 Pemanfaatan lahan ( y 2.1) 0.425** 0.004 0 0.009 0 0.013 0.018 -0.001 0.468 Fluktuasi hasil tangkapan (y 2.2) -0.158** -0.002 -0.001 0.001 -0.029 0 -0.002 0.017 -0.174 Kualitas terumbu karang (y 2.3) 0.069 0.018 -0.001 0.024 0.193 0.011 0 0.088 0.401 Vegetasi (y 2.4) 0.131 0.028 0.001 -0.015 -0.004 -0.035 0.038 0 0.144
Hubungan antar peubah yang digunakan sebagai jalur untuk melihat pengaruh kualitas SDP terhadap kesejahteraan adalah (1) jalur langsung hubungan faktor determinan yaitu aspek kognitif, sikap mental, keterampilan, pemanfaatan lahan, fluktuasi hasil tangkapan, kualitas terumbu karang, dan vegetasi di pesisir dengan nilai R2 sebesar 0,343; (2) jalur tidak langsung melalui keterampilan nelayan dengan nilai R2 sebesar 0,196; (3) jalur tidak langsung melalui pemanfaatan lahan dengan nilai R2 sebesar 0,218; (4) jalur tidak langsung melalui kualitas terumbu karang dengan nilai R2 sebesar 0,535; dan (5) jalur tidak langsung melalui vegetasi di pesisir dengan nilai R2 sebesar 0,443. Dari perhitungan koefisien determinan total didapat nilai R2 sebesar 0, 940, artinya keragaman data yang dapat dijelaskan model tersebut adalah 94 persen, dan hanya enam persen dijelaskan oleh peubah lain yang tidak tercakup di dalam model dan error.
Analisis jalur tentang hubungan antara indikator perilaku nelayan, kualitas SDP, dan kesejahteraan memperlihatkan bahwa masalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental untuk menjaga SDP seperti terumbu karang, mangrove, lahan di pesisir sangat penting. Pengenalan tentang potensi dan pemanfaatan SDP sejak dini dapat dikenalkan pada masyarakat luas khususnya yang terlibat langsung di kawasan pesisir seperti keluarga nelayan termasuk generasi muda nelayan, pembudidaya di laut, pembudidaya di air payau,, dan pengolah hasil perikanan tangkap. Metode pembelajaran yang kreatif,
menarik, dan persuasif dapat menggugah kesadaran individu dan kelompok masyarakat untuk bertindak lebih baik terhadap lingkungan.
Hasil analisis jalur pada Tabel 19 yang pesisir dapat dilakukan melalui transformasi perilaku nelayan untuk mengelola SDP secara optimal. Diperlukan peningkatan kualitas SDP melalui peran aktif individu nelayan, kelompok, dan komunitas yang lebih luas.
Tabel 19. Hasil Analisis Jalur Hubungan antara Perilaku dengan Kualitas SDP dan Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan
Pengaruh tidak langsung melalui
Peubah Koefisien
Lintas Perilaku (Y1) Kondisi SDP (Y2)
Pengaruh total
Perilaku (Y1) 0,132 0 0,061 0.193
Kualitas SDP (Y2) 0,327** 0,061 0 0.388
Keterangan: ** nyata pada α 0.01
Kualitas SDP yang terjamin memberikan pengaruh positif terhadap kesejahteraan. Pengaruh tidak langsung peubah juga bernilai positif. Ini berarti, perilaku nelayan
Kesejahteraan rumah tangga (Y3) Fluktuasi hasil tangkapan (Y2.2) Vegetasi di pesisir (Y2.4) Pemanfaatan Lahan (Y2..1) Kualitas terumbu karang (Y2..3) Aspek kognitif (Y1.1) Sikap mental (Y1..2) Keterampilan (Y1.3) 0,384** 0.249* 0,170* 0,453** 0,223* 0,559** 0,123* 0,130 0,269** 0,425** -0,158 0,131 0,069 0,106 R12=0, 343
Gambar 5. Hubungan antara Peubah Perilaku Nelayan, Kualitas SDP, dan Kesejahteraan Rumah Tangga
terhadap SDP diarahkan pada keseimbangan antara aspek pemanfaatan dan konservasi. Menurut teori pembelajaran sosial, manusia belajar dari interaksinya dengan manusia lain mengakumulasi menjadi pengalaman belajar, dan melakukan proses imitasi. Dalam pengelolaan SDP, terjadi interaksi antar pemanfaat SDP, interaksi antara pemanfaat SDP dengan lingkungan, dan dengan lembaga pemberdayaan dan penyusun kebijakan tentang SDP, dan pola interaksi tersebut dapat dilukiskan sebagai tiga lingkaran yang saling berhubungan (Gambar 6).
.
Manusia merupakan sentral dari berbagai aktivitas di kawasan pesisir dan laut. Penurunan kualitas hidup manusia berakar pada perilaku manusia sendiri dalam berhubungan dengan alam. Langkah awal adalah mengupayakan agar dimiliki kemauan untuk berubah. Hal ini sejalan dengan yang disebutkan Royce (1996), bahwa nelayan maupun pembudidaya baru mau me ngubah cara bertindak manakala diyakini bahwa ada manfaat atas perubahan cara bertindak tersebut, ada pengurangan beban kerja, dan resiko rendah. Guna mencegah perilaku menyimpang dalam pengelolaan SDP, kesiapan komunitas, dan pengembangan komunitas dalam pengambilan keputusan sangat penting. Proses aksi sosial dan proses pengambilan keputusan dalam inovasi dari model adopsi inovasi Ro gers (1994) dapat dimodifikasi. Proses aksi sosial meliputi lima tahap: (1) stimulasi minat (stimulation of interest); (2) inisiasi (initiation); (3) legitimitasi (legitimation); (4) keputusan bertindak; dan (5) aksi (Donnermeyer dkk., 1996). Model pengambilan keputusan Rogers tentang adopsi inovasi meliputi lima tahap: (1) pengetahuan (knowledge); (2) persuasi (persuasion); (3) keputusan (decision); (4)
Keterangan: R1
2
= koefisien determinasi hubungan langsung seluruh peubah bebas terhadap peubah kesejahteraan; dan Cs= pengaruh peubah asing pada model lintasan atau √(1- R1
2
)
Gambar 6. Pengaruh Peubah Perilaku dan Kondis i SDP terhadap Kesejahteraan Rumah Tangga Pesisir
Perilaku nelayan dalam mengelola SDP (Y1) Kualitas pengelolaan SDP (Y 2) Kesejahteraan rumah tangga (Y3) 0,132 0,327** Cs =0,920 R12=0,140 0,061
implementasi (implementation); dan (5) konfirmasi (confirmation). Kedua langkah di atas memerlukan adaptasi sebelum diterapkan pada komunitas tertentu.
Hasil analisis jalur keseluruhan peubah terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir memperlihatkan bahwa beberapa peubah menunjukkan nilai pengaruh tidak langsung yang lebih besar daripada pengaruh langsungnya (Tabel 20). Peubah kepemimpinan informal memiliki pengaruh tidak langsung terhadap kesejahteraan melalui dinamika sosial budaya yang jauh lebih tinggi daripada pengaruh langsungnya. Pengaruh langsung kepemimpinan informal hanya 19 persen terhadap kesejahteraan, sedangkan pengaruh tidak langsungnya sebesar 62 persen. Begitu pula dengan peubah keragaan responden, didukung oleh dinamika sosial budaya yang tinggi peubah tersebut memiliki pengaruh tidak langsung terhadap kesejahteraan yang tinggi yaitu sebesar 61 persen, sedangkan pengaruh langsungnya sebesar 35 persen. Program pemberdayaan memiliki nilai koefisien lintas tidak langsung terhadap kesejahteraan yang positif bila didukung oleh keragaan nelayan yang berkualitas, dukungan kepemimpinan informal, fasilitator yang kompeten, dan perilaku masyarakat yang optimal dalam mengelola SDP. Dari hasil analisis jalur tersebut dapat dijelaskan bahwa pemimpin informal lebih mampu mengarahkan perilaku masyarakat ketika kondisi SDP terjaga. Kompetensi fasilitator memiliki pengaruh tidak langsung yang relatif tinggi terhadap kesejahteraan jika didukung oleh kondisi sosial budaya yang dinamis. K ualitas SDP berpengaruh positif terhadap kesejahteraan jika didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana penunjang usaha yang mencukupi.
Kondisi Nelayan Peran Pemerintah, Swasta, dan LSM Kondisi SDP
- Pengembangan perilaku positif pada lingkup mikro, meso, dan makro - Pendekatan penyuluhan secara tepat
dan benar.
- Hukum, peraturan perundangan, kebijakan tentang pengeloaan SDP
Ekosistem:
- Terumbu karang: ikan, plankton, dan biota laut lain - Padang lamun: vegetasi dan
fauna
- Pantai: lahan berpasir, vegetasi, dan fauna.
Gambar 7. Keterkaitan antara Manusia, SDP, dan Perilaku Masyarakat Mengelola SDP - Kondisi sosial, ekonomi, dan budaya, - Kebutuhan dan harapan, - Dinamika sosial budaya dan kepemimpinan
4
3
Tabel 20. Analisis Jalur Hubungan antar Peubah dan Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan Masyarakat Pesisir
Pengaruh tidak langsung melalui Peubah Koefisien lintas langsung Dinamika sosial budaya (X1.) Kepemimpinan informal (X.2) Keragaan responden (X.3) Program pemberdayaan (X4) Kompetensi fasilitator (X5) Dukungan sarana & prasarana (X.6) Perilaku masyarakat pesisir (Y1) Kualitas SDP (Y2) Pengaruh total Dinamika sosial budaya (X1.) 0.438 0 0.011 0.017 0.016 -0.010 0.005 0.015 0.002 0.494 Kepemimpinan informal (X.2) 0.040 0.130 0 0.014 0.000 -0.015 0.015 0.006 0.020 0.210 Keragaan responden (X.3)) 0.062 0.108 0.008 0 -0.005 -0.005 -0.006 0.005 0.012 0.178 Program pemberdayaan (X4) -0.200 -0.063 0.000 0.003 0 0.001 0.003 0.093 0.003 -0.159 Kompetensi fasilitator (X5) 0.173 -0.040 -0.005 -0.003 -0.001 0 -0.001 0.012 0.145 0.279 Dukungan sarana & prasarana (X.6) 0.051 0.034 0.009 -0.007 -0.006 -0.002 0 0.006 0.002 0.086 Perilaku masyarakat pesisir (Y1) 0.129 0.099 0.004 0.005 -0.155 0.018 0.005 0 -0.004 0.102 Kualitas SDP (Y2) 0.197 0.008 0.006 0.007 -0.003 0.127 0.001 -0.002 0 0.342
Sistem Pengembangan Masyarakat Pesisir Mengelola SDP bagi Kesejahteraan
Sistem memiliki serangkaian ide yang dapat digunakan untuk memahami kompleksitas, dan memiliki hubungan antar komponen sebagai satu kesatuan (Checkland, 1981). Masukan sistem ada ya ng berasal dari luar dan dalam sistem. Identifikasi peubah input dan output dalam sistem pengembangan masyarakat pesisir ditampilkan pada Gambar 8.
Antara input dan output terdapat hubungan, dan terkadang tidak dapat sepenuhnya diketahui cara kerja sistem, dalam hal ini menurut Haslett (2000) para analis sistem dihadapkan pada sebuah sistem kotak hitam (black box system). Penelaahan lebih lanjut dapat mengungkap komponen kerja sistem dengan aliran yang jelas setiap energi dan unsur dalam sistem, dan kondisi ini dikenal sebagai sistem kotak putih (white box system).
Masukan Terkontrol - Penyuluhan dalam kerangka negara kepulauan (SDP) - Program penyuluhan/ pemberdayaan - Saran dan prasarana
usaha perikanan & kelautan
- Kualitas fasilitator - Kerjasama antar lembaga
Pengendalian dan Pengawasan Kebijakan, Program, dan Kegiatan - Perencanaan dan monitoring - Revisi perencanaan
- Evaluasi dan tindak lanjut - Pemantauan dan evaluasi
Pengembangan Masyarakat Pesisir berdasarkan Kearifan Lokal
- Sistem penyuluhan yang mantap sesuai kondisi biofisik, sosial, dan ekonomi
masyarakat pesisir - Fokus pada kebutuhan
masyarakat dan potensi SDP
Masukan dari Luar Sistem
- Kebijakan pembangunan
- Nilai-nilai budaya lokal - Struktur sosial
Luaran yang Diinginkan - Perilaku masyarakat pesisir
mengelola SDP secara optimal - Kondisi SDP yang lestari - Pengelolaan SDP terpadu - Kondisi rumah tangga dan
komunitas pesisir masyarakat ke arah yang lebih berkualitas dan bermartabat
Luaran yang Tidak Diinginkan - Kebergantungan pada orang
luar
- Kontrol SDP yang terlalu besar pada masyarakat
- Penyalahgunaan peran fasilitator
Masukan Tidak Terkontrol - Kondisi sosial ekonomi
nelayan - Kelembagaan lokal masyarakat pesisir - Kondisi SDP - Intervensi dari LSM/sponsor pada masyarakat pesis ir - Ketersediaan faktor
produksi dan pemasaran hasil
Gambar 8. Analisis Sistem Pengembangan Masyarakat Pesisir Mengelola SDP secara Berkelanjutan
Pengembangan masyarakat pesisir sebagai implementasi penyuluhan pembangunan merupakan kegiatan pendidikan. Penyuluhan dapat dilihat sebagai suatu penyediaan jasa yakni proses belajar–mengajar (proses pembelajaran) seperti dikemukakan pula oleh Tampubolon (1996). Agar perilaku pengelola SDP senantiasa dapat diarahkan untuk menjaga kondisi SDP secara berkelanjutan, perlu (1) dirumuskan visi, misi, dan tujuan pengembangan masyarakat pesisir yang jelas, dan (2) meningkatkan kualitas program pemberdayaan termasuk peningkatan kompetensi penyuluh/fasilitator. Konsep-konsep manajemen partisipatif dan Total Quality Management (TQM) diperlukan guna mencapai standar mutu pelayanan jasa penyuluhan yang diharapkan pelanggan. Rencana strategis untuk mutu berguna sebagai landasan gerak menuju sistem pengembangan masyarakat Mempertimbangkan kualitas SDP dan sumber daya manusia (SDM) di Kabupaten Buleleng, maka rumusan visi, misi, tujuan, dan strategi penyuluhan atau pengembangan masyarakat pesisir adalah sebagai berikut:
Visi:
Menjadikan masyarakat pesisir di Kabupaten Buleleng yang sejahtera dan mandiri melalui pengelolaan sumber daya pesisir dan laut secara lestari.
Misi:
Guna menjadikan SDP Kabupaten Buleleng yang lestari dan bermanfaat bagi kehidupan masa kini dan masa depan, maka penyuluhan sebagai bentuk pengembangan masyarakat pesisir diarahkan mampu mewujudkan masyarakat pesisir yang mampu berperilaku efektif dan efisien dalam memanfaatkan SDP. Guna mewujudkan visi di atas, maka dijalankan misi berikut:
- Mengembangkan peran dinamika sosial budaya masyarakat untuk penanaman nilai-nilai kelestarian lingkungan,
- Mengembangkan kapasitas masyarakat pesisir melalui pembelajaran berbasis pengetahuan dan pengalaman tentang pemanfaatan SDP untuk peningkatan kesejahteraan, keterjaminan sosial, dan keseimbangan lingkungan,
- Meningkatkan peran pemimpin informal, pemerintah, dan swasta dalam pemberdayaan masyarakat pesisir guna mengembangkan usaha alternatif bagi peningkatan kualitas rumah tangga, dan
Tujuan:
(a) Tujuan konservasi. Perilaku pengelola SDP guna menjamin pelestarian SDP melalui konservasi, rehabilitasi ekosistem terumbu karang, dan pesisir.
(b) Tujuan ekonomi. Perilaku masyarakat pesisir diharapkan dapat memberikan efek positif bagi kualitas hidup masyarakat setempat, dan sumbangannya bagi perekonomian lokal, regional, dan nasional.
(c) Tujuan sosial budaya. Dipelihara dan dikembangkannya budaya lokal seperti adat istiadat, norma, nilai- nilai lokal termasuk awig-awig, dan pandangan hidup yang mendukung upaya pelestarian SDP.
(d) Tujuan kelembagaan. Penyuluhan dapat menguatkan interaksi antar lembaga dan antar sektor terkait dalam pelestarian sumber daya pesisir. Diterapkannya hukum dan peraturan secara tegas.
Pada kasus di Kabupaten Buleleng, keempat tujuan tersebut diupayakan dapat dicapai dengan prioritas pertama yakni tujuan ekologi, ekonomi, sosial budaya, dan tujuan kelembagaan. Tujuan ekonomi hendaknya tidak mengalahkan tujuan lainnya.
Target
Sejalan dengan visi, misi, dan tujuan penyuluhan dalam pengelolaan SDP yang berbasis kearifan lokal, maka target penyuluhan disusun dengan memadukan kepentingan ekologi, ekonomi, dan sosial. Target tersebut adalah (1) dikuranginya laju kerusakan terumbu karang, (2) ditingkatkannya vegetasi dan luas areal padang lamun, (3) dikelolanya budidaya laut yang ramah lingkungan (4) diversifikasi usaha untuk mengurangi perilaku menyimpang dalam mengelola SDP sekaligus meningkatkan penghasilan nelayan; (5) meningkatnya kesadaran masyarakat dan pemanfaat SDP untuk kelestarian sumber daya alam tersebut; (6) eliminasi perilaku negatif seperti pengeboman karang, penggunaan potassium cyanide, dan kompresor; (7) koordinasi antar pengguna SDP, dan (8) ditegakkannya hukum dan peraturan pendaya gunaan SDP yang adil dan bertanggung jawab.
Berdasarkan kekhususan persoalan pada masing- masing kecamatan, maka target tersebut dapat dipilah sebaga i berikut:
(1) Di Kecamatan Gerokgak, target perubahan perilaku dalam mengelola SDP diprioritaskan pada peningkatan kesadaran masyarakat untuk mengelola SDP secara lestari, pengelolaan budidaya laut yang ramah llingkungan, diversifikasi usaha, koordinasi antar pengguna SDP, dan penegakkan hukum dan peraturan
pemanfaatan SDP secara adil dan bertanggung jawab, mengingat perairan laut di kecamatan ini berbatasan dengan perairan Provinsi Jawa Timur.
(2) Di Kecamatan Buleleng, target perubahan perilaku dalam mengelola SDP diprioritaskan pada upaya eliminasi perilaku negatif dalam penangkapan, dan koordinasi antar pemanfaat SDP.
(3) Di Kecamatan Tejakula, target perubahan perilaku dalam mengelola SDP diprioritaskan pada diversifikasi usaha, koordinasi antar pengguna SDP, dan penyebarluasan pemahaman dan keterampilan transplantasi karang pada nelayan yang belum menerapkan teknologi tersebut.
Untuk menyusun rencana pengelolaan diperlukan kelengkapan data baik primer maupun sekunder yang berhubungan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan setempat. Berbagai metode untuk memperoleh data dapat digunakan seperti survai, observasi berpartisipasi, maupun diskusi kelompok terfokus, bergantung pada sumber daya manusia, waktu, dan biaya yang tersedia.
Kekuatan, Kelemaha n, Peluang dan Ancaman (KEKEPAN)
Guna mengetahui kekuatan pendorong dan penghambat kelembagaan penyuluhan perikanan dalam konteks pengelolaan SDP sekaligus untuk memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan, maka dilakukan analisis KEKEPAN (kekuatan, kelemaha n, peluang, dan ancaman) atau biasa dikenal dengan SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, dan threats). Analisis KEKEPAN model pengembangan masyarakat pesisir melalui evaluasi faktor internal dan eksternal menghasilkan hal berikut. Faktor Penentu Keberhasilan (FPK) Model Pengembangan Masyarakat Pesisir terdiri atas kekuatan terbesar adalah dinamika sosial budaya masyarakat yang tinggi dengan total nilai bobot (TNB) sebesar 0,49; kelemahan yang paling menonjol adalah pendekatan penyuluhan belum berorientasi pada kebutuhan masyarakat dengan TNB sebesar 0.24; peluang yang terbuka paling besar adalah kesempatan melakukan diversifikasi usaha di pesisir dengan TNB sebesar 0,52; dan tantangan terbesar adalah tuntutan untuk menerapkan usaha yang ramah lingkungan yang merupakan isu global dengan TNB sebesar 0,31. TNB Kekuatan 2.82; Kelemahan 1.21; Peluang 2.36; Tantangan 1.60, maka kekuatan dari model pengembangan masyarakat pesisir tersebut berada pada kuadran I (Area SO).
Strategi
Analisis KEKEPAN model pengembangan masyarakat pesisir menghasilkan empat alternatif strategi yang dapat dikombinasikan antara satu dengan yang lain dalam bentuk program terpadu. Keempat alternatif strategi itu adalah
(1) Pengembangan masyarakat pesisir dengan memadukan kekuatan dan peluang yakni memaksimumkan kekuatan dan peluang atau dikenal dengan sebutan maksi- maksi, diarahkan pada pengembangan dinamika sosial budaya masyarakat pesisir mendukung pemanfaatan SDP melalui diversifikasi usaha.
(2) Pengembangan masyarakat pesisir dengan meminimalisasi kelemahan dan memaksimumkan peluang dapat dilakukan melalui peningkatan layanan penyuluhan yang bermutu.
(3) Pengembangan masyarakat pesisir melalui upaya meningkatkan kekuatan dan menangatasi tantangan yaitu dengan jalan mengendalikan pemanfaatan SDP secara benar melalui pendekatan sosio-budaya, pengelolaan usaha ramah lingkungan (syarat eco-labelling), agar produk yang dihasilkan mampu menembus pasar internasional. (4) Pengembangan masyarakat pesisir melalui penanggulangan tantangan dan mengurangi
kelemahan ditempuh melalui pengembangan koordinasi dalam mengelola SDP dengan lembaga terkait, penegakkan hulum (law enforcement) pemanfaatan SDP, dan menjamin keberlangsungan penyuluhan di pesisir.
Kebijakan dan Rencana Mutu Kebijakan Mutu
Berdasarkan visi, misi, tujuan, dan strategi yang telah dikemukakan, maka kebijakan mutu dalam implementasi model pengembangan masyarakat meliputi:
(1) Menyediakan mutu layanan jasa penyuluhan/pengembangan masyarakat yang profesional agar mampu memenuhi kebutuhan pela nggan yang semakin beragam. (2) Menyediakan jasa konsultasi dan pemberdayaan masyarakat atau klien, untuk
peningkatan kinerja nelayan/masyarakat pesisir sebagai pihak pengguna.
(3) Mengembangkan sumber daya manusia meliputi pengembangan kapasitas pelanggan internal primer guna memperbaiki kinerja secara terus menerus.
(4) Meningkatkan dukungan kelembagaan, pendanaan, dan kapasitas penyuluh. (5) Mengembangkan jaringan kerjasama dengan berbagai pihak.
Perencanaan mutu pada hakekatnya dilakukan untuk menerjemahkan kebutuhan pelanggan menjadi rancangan mutu. Hasil identifikasi kebutuhan pelanggan (pada Lampiran) dalam sistem pengembangan masyarakat diterjemahkan sebagai berikut:
(a) Rancangan proses belajar mengajar dalam pengembangan masyarakat dan fasilitas penunjang pembelajaran dirancang sedemikian rupa dan ditingkatkan mutunya agar dapat membantu masyarakat pesisir menyelesaikan masalah yang dihadapi;
(b) Tenaga penyuluh memiliki kemampuan yang tinggi dalam menyediakan layanan yang prima, dalam memandu, mendampingi, melatih, dan memberdayakan masyarakat; (c) Masyarakat pesisir yang memiliki kehidupan berkualitas ditunjukkan oleh perilaku
yang terkontrol dalam memanfaatkan SDP secara ekonomi, sosial, dan ekologis. Menjalin dan mengembangkan kerjasama antar lembaga dan lintas sektor dalam implementasi kegiatan pengembangan masyarakat
Pengaturan Bagian-Bagian
Pengkoordinasian antar bagian dalam model pengembangan masyarakat dimaksudkan untuk menyusun rancangan mutu menjadi sistem. Rancangan mutu pengembangan masyarakat pesisir itu dibagi menjadi empat bagian atau sub sistem yaitu (i) Sub sistem penelitian dan pemberdayaan, (ii) Sub sistem pendidikan dan latihan, (iii) Sub sistem kelembagaan, dan (iv) Sub sistem pengembangan dan kerjasama. Melalui empat subsistem tersebut, pelanggan lembaga pengembangan masyarakat baik internal maupun eksternal, diharapkan dapat terpenuhi kebutuhan dan harapannya.
Biaya Mutu
Biaya mutu dalam penyelenggaraan model pengembangan masyarakat pesisir luaran penelitian ini meliputi biaya proses penyelenggaraan model pengembangan, biaya-biaya yang terkait dengan kegiatan penunjang, dan biaya-biaya-biaya-biaya tersembunyi. Sebagai suatu bentuk layanan pendidikan non formal, maka pada implementasi model pengembangan masyarakat terdapat pula biaya pencegahan (prevention cost), dan biaya kegagalan (failure cost). Biaya pencegahan adalah pengeluaran yang diperlukan untuk mencegah terjadinya kegagalan atau kesalahan dalam proses produksi barang atau jasa dan dalam pelayanannya. Biaya kegagalan adalah pengeluaran yang muncul akibat terjadinya kesalahan dalam sistem penyelenggaran pengembangan masyarakat, kekeliruan dalam pemilihan pendekatan dan metode, kesalahan lain yang bertolak belakang dengan tipologi, dan kebutuhan pelanggan.
Untuk menghindari munculnya berbagai biaya tersebut dapat dilakukan dengan (1) Kepemimpinan yang bermutu; (2) Petugas penyuluh atau fasilitator yang bermutu dan tenaga penunjang yang cekatan dan professional; (3) Manajemen penyelenggaraan pengembangan masyarakat yang mendukung peningkatan mutu layanan penyuluhan; (4) Sistem informasi yang baik dan prosedur pelaksanaan pengembangan masyarakat yang sederhana dan jelas; (5) Tersedianya sarana, prasarana yang mencukupi dan terpelihara; (6) Senantiasa bekerja dengan hati- hati dan mencegah kesalaha n sekecil apapun; dan (7) Lingkungan kerja yang nyaman dan kondusif.
Rencana Kerja
Rencana kerja dipilah menjadi jangka pendek, menenga, dan panjang sebagai berikut:
Rencana Jangka Pendek
(1) Menyusun perencanaan secara partisipatori tentang pengelolaan SDP terpadu melibatkan berbagai pihak.
(2) Rencana yang telah tersusun didokumentasikan secara tertulis untuk memudahkan dalam melaksanakan diseminasi, implementasi program, dan tindak lanjut.
(3) Diseminasi hasil perencanaan partisipatori pada seluruh komunitas pesisir dan lembaga terkait untuk meningkatkan rasa memiliki dan menggugah semangat untuk berpartisipasi aktif dalam program pengelolaan SDP secara terpadu.
(4) Penyiapan implementasi rencana tentang pengelolaan SDP terpadu meliputi upaya diversifikasi usaha untuk mengantisipasi resiko dan ketidakpastian.
(5) Eksekusi rencana melalui pendekatan sosial budaya dibantu oleh pemuka adat, ketua kelompok nelayan, dan penyuluh setempat.
(6) Pemantauan kegiatan, dan membekali komunitas nelayan agar dapat menindak lanjuti penyelenggaraan kegiatan secara swakarsa dan swadaya.
Rencana Jangka Menengah
Dalam jangka menengah, upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat pesisir dapat dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya lokal. Komunitas nelayan masih memerlukan dukungan fasilitasi dari luar sistem sosial masyarakat. Menyikapi hal ini maka stimulasi dari pemerintah dan swasta sebagai promotor pengembangan usaha dari komunitas pesisir sangat diperlukan.
Rencana Jangka Panjang
Dalam jangka panjang, kerjasama pemerintah bersama pihak terkait dengan SDP perlu dikembangkan terus untuk mewujudkan visi, melaksanakan misi, mengembangkan strategi yang dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir secara keseluruhan.
Model Pengembangan Perilaku Masyarakat Pesisir dalam Mengelola SDP
Model pengembangan perilaku masyarakat pesisir mengelola SDP sebagaimana ditampilkan pada Gambar 9 memperlihatkan bahwa 70 persen dari indikator variabel yang digunakan memiliki korelasi positif yang nyata dengan perilaku. Perilaku ne layan mengelola SDP secara optimal memiliki hubungan yang sangat nyata dengan seluruh variabel bebas. Mencermati model perilaku masyarakat pesisir tersebut, maka menjadi masukan bagi pihak yang berhadapan langsung dengan komunitas pesisir terutama Dinas Kelautan dan Perikanan di tataran Kabupaten beserta jajarannya serta Dinas terkait lainnya, Departemen Kelautan dan Perikanan terutama Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia di Departemen tersebut, LSM, Lembaga Penelitian, Perguruan Tinggi, dan pihak swasta untuk berkoordinasi mengkondisikan agar aspek-aspek yang berkorelasi secara nyata di atas dapat dikembangkan ke arah positif melalui pendekatan yang relevan. Model pemberdayaan ini adalah mengutamakan kebutuhan masyarakat lokal, penerapan pendekatan partisipatori, dan didasarkan pada dinamika sosial budaya masyarakat setempat. Luaran penelitian ini memperlihatkan bahwa perilaku masyarakat pesisir mengelola SDP di Kabupaten Buleleng berkorelasi positif yang nyata dengan seluruh variabel penelitian baik internal maupun eksternal nelayan.
Transformasi kehidupan masyarakat pesisir dapat dilihat dari perubahan positif yang terjadi dalam lima hal berikut yaitu (1) meningkatnya kualitas kehidupan nelayan dan keluarganya (better living); (2) pola hubungan antar masyarakat yang semakin mantap (better community) yang idealnya merupakan tatanan kehidupan masyarakat madani (civil society), (3) digunakannya teknologi (penangkapan, budidaya laut/tambak, pengolahan) yang ramah lingkungan (better farming), (4) meningkatnya kemauan, kemampuan, dan kesempatan dalam mengelola akuabisnis, dan kegiatan produktif lainnya (better business), dan (5) meningkatnya kondisi lingkungan fisik terutama ekosistem pesisir yang semakin terpelihara untuk mendukung kehidupan manusia di masa sekarang dan yang akan datang (better environment).