• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Papua seperti seekor burung raksasa, Kabupaten Teluk Wondama ini terletak di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Papua seperti seekor burung raksasa, Kabupaten Teluk Wondama ini terletak di"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1 Latar Belakang

Kabupaten Teluk Wondama merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Papua Barat, yang baru berdiri pada 12 April 2003. Jika dilihat di peta pulau Papua seperti seekor burung raksasa, Kabupaten Teluk Wondama ini terletak di leher kepala burung itu, Kabupaten ini menjorok membentuk sebuah teluk. Kabupaten yang beribu kota di Rasei ini memiliki luas wilayah 4.996 km² dan jumlah penduduk 19.500 jiwa pada saat itu. Warga Kabupaten Teluk Wondama tersebar sedikitnya di 76 kampung yang berada di wilayah administrasi yang meliputi 13 distrik. Kabupaten Teluk Wondama merupakan daerah yang indah dan kaya akan potensi alam. Kabupaten Teluk Wondama tidak hanya kaya akan kekayaan alam. Selain dijuluki sebagai Gerbang Peradaban Papua, Teluk Wondama juga dikatakan sebagai Teluk mukjizat Tuhan. Hal tersebut dibuktikan dengan peninggalan sejarah zaman Belanda, yaitu bangunan tua tempat pendidikan formal pertama didirikan oleh Pdt. I.S. Kejne di Distrik Wasior dan tugu makam penginjil serta lukisan yang juga terdapat di Distrik Wasior (Torey, 2011: 124).

Teluk Wondama, dahulu dikenal sebagai tempat pertama kali orang mengenal pendidikan di Papua (Torey, 2011:199). Ada ungkapan mengenai Teluk ini, yaitu ” Teluk Wondama, hilang dalam sejarah, abadi dalam kenangan”. Ini adalah suatu ungkapan yang didasarkan pada realistas sejarah dan juga dilihat

(2)

pada realitas saat ini. Bahwa Teluk Wondama, dahulu dikenal sebagai tempat pertama kali orang mengenal pendidikan di tanah Papua, tetapi sekarang semua mungkin telah melupakannya. Suatu ungkapan yang begitu memprihatinkan bahwa tidak ada lagi yang mengingat di mana sejarah peradaban Papua ini dimulai. Hal yang lebih memprihatinkan lagi kalau “anak teluk/anak asli” sendiri melupakan budaya dan warisan sejarah budaya yang dimilikinya. Menurut Torey (2011: 177) dalam bukunya Strategi Membangun Tanah Papua indikator yang paling mudah melihat kualitas sumber daya manusia suatu daerah di antaranya adalah tingkat pendidikan masyarakatnya dan Teluk Wondama merupakan salah satu daerah yang memiliki tingkat pendidikan yang masih rendah. Mengatasi masalah tersebut maka pendidikan berbasis budaya lokal di daerah ini mulai dikembangkan. Hal tersebut diharapkan agar generasi penerus di Teluk Wondama tidak melupakan adat istiadat dan budayanya, terutama etnik Wamesa.

Etnik Wamesa adalah merupakan nama etnik asli dan etnik terbesar yang mendiami daerah Kabupaten Teluk Wondama. Selain etnik Wamesa ada juga satu etnik asli lainnya, yaitu etnik Sough. Etnik Sough lebih banyak terdapat di daerah pegunungan Teluk Wondama dan di daerah pesisir sepanjang teluk ini yang didiami oleh sebagian besar etnik Wamesa. Taraf kehidupan etnik ini masih sangat rendah atau bisa dikatakan sederhana, berkebun menokok sagu (mengambil sari sagu) dan mencari ikan di laut merupakan aktivitas sehari-hari sebagian besar dari mereka. Kehidupan yang sederhana tersebut membuat mereka tak lepas dari tradisi dan adat istiadat yang ada turun-temurun, baik tradisi dalam pergaulan

(3)

maupun acara-acara adat. Salah satu tradisi yang masih bertahan, yaitu tradisi lisan.

Setara dengan yang disebutkan Danandjaja (2008; cf. Alan Dundes, 1965: 2) kata folklor adalah pengindonesiaan kata Inggris folklore. Kata ini adalah kata majemuk yang berasal dari dua kata folk dan lore. folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal itu, antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian yang sama, bahasa yang sama, taraf pendidikan yang sama, dan agama yang sama. Namun, yang penting lagi adalah bahwa mereka telah memiliki satu tradisi, yakni kebudayaan, yang telah diwarisi turun-temurun. Di samping itu, yang paling penting adalah bahwa mereka sadar akan identitas kelompok mereka sendiri. Kemudian yang dimaksudkan dengan lore adalah tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaannya, yang diwariskan turun-temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pengingat (mnemonic device). Dengan demikian, definisi folklor secara keseluruhan adalah: “sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device)” (Danandjaja, 2008; cf. Danandjaja, 1994:2). Istilah tradisi lisan (oral tradition) adalah sinonim dari folklor lisan.

(4)

Salah satu jenis tradisi lisan yang berkembang di daerah Teluk Wondama adalah sastra lisan. Sastra lisan tersebut, baik berupa nyanyian, mitos rakyat, maupun mitos-mitos lainnya. Sastra lisan tersebut secara turun-temurun diwariskan dari generasi ke generasi. Menurut Tuloli (1991:1) sastra lisan juga merupakan salah satu aspek kebudayaan yang terdapat pada masyarakat tradisional dan modern. Ragamnya sangat banyak dan tiap-tiap ragam memiliki ciri yang banyak pula, isinya mengenai berbagai peristiwa yang terjadi atau kebudayaan masyarakat pemiliknya. Setara dengan Danandjaja tentang folklor, Endraswara (2008:151) menyatakan bahwa “sastra lisan adalah karya yang penyebarannya disampaikan dari mulut ke mulut turun-temurun. Kemudian Hutomo (1991:1) mengatakan bahwa sastra lisan sebenarnya adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan (dari mulut ke mulut). Di samping itu, Hutomo (1991:3) mengatakan perlu diketahui bahwa sastra lisan dalam masyarakat tradisional itu bersifat komunal, artinya milik bersama (rakyat), maka sastra itu juga disebut orang sebagai folk literature atau sastra rakyat. Dapat dikatakan bahwa hasil sastra lisan dapat berupa puisi, prosa dan lainnya. Salah satu hasil sastra lisan yang menjadi pokok pembicaraan ini adalah mitos yang berupa prosa.

Kebenaran mitos sering kali sulit diterima dan dipahami masyarakat karena kisah di dalamnya tidak masuk akal dan tidak sesuai dengan kehidupan sehari-hari. Namun, mitos juga sering kali dipegang sebagai sumber kebenaran, pegangan masyarakat karena nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya

(5)

dianggap sakral. Menurut Barthes (2004:151) mitos adalah tipe wicara, mitos tidak ditentukan oleh objek pesannya, tetapi oleh cara mitos mengutarakan pesan itu sendiri. Mitos memiliki batas-batas formal, tetapi tidak begitu substansial. Segala objek di dunia ini dapat lolos dari suatu eksistensi yang diam atau tertutup menjadi eksistensi oral, yang terbuka untuk ditafsirkan oleh masyarakat. Hal itu terjadi sebab tidak ada hukum, baik alamiah maupun tidak, yang melarang orang berbicara tentang berbagai hal (Barthes 2004:152).

Seperti juga dalam Barthes (2010:171), mitos adalah sesuatu yang dideterminasi oleh wacana sosial, ia merupakan ‘refleksi’, tetapi refleksi ini terjadi secara terbalik (meminjam gambaran pesohor yang dipakai oleh Marx): mitos terjadi ketika kultur dijungkir balik menjadi yang natural, atau ketika kualitas sosial, kultural, ideologis, dan historis terbalik menjadi hal yang natural. Dalam hal ini mitos dibuat sehingga dapat diterima di masyarakat. Makna mitos bisa jadi berbeda dengan makna asal. Meskipun demikian kandungan mitologis tidak bisa dinilai sebagai sesuatu kesalahan. Mitos yang ada dalam teks membantu pembaca untuk menggambarkan situasi sosial budaya, bahkan juga politik yang ada di dalam komunitas pemilik mitos tersebut. Mitos juga mempunyai dimensi tambahan yang disebut naturalisasi. Melaluinya sistem makna menjadi masuk akal dan diterima apa adanya pada suatu masa dan mungkin tidak untuk masa yang lain.

Kembali berpijak pada awal paragraf tentang Kabupaten Teluk Wondama, pada kesempatan ini salah satu mitos yang cukup dikenal di Papua yang berasal dari Etnik Wamesa di daerah Teluk Wondama ini dibahas, yaitu mitos Kuri dan

(6)

dan Pasai. Jika dilihat dari judul mitos ini, Kuri dan Pasai tidak hanya masuk ke dalam mitos lama tetapi sebagai wacana mitos Kuri dan Pasai ini juga dapat dikatakan mitos kontemporer bersifat diskontinu (Barthes, 2010:171). Namun, dalam kesempatan ini, mitos Kuri dan Pasai dibahas, baik dalam bentuk narasi-narasi panjang maupun wacana. Dari segi narasi-narasi ditelaah satuan-satuan naratif yang membentuk mitos tersebut dan wacana dilakukan untuk ide/gagasan pokok yang terkandung dalam mitos Kuri dan Pasai ini.

Sebelum pembicaraan lebih lanjut mengenai kajian dalam penelitian ini, di sini dijelaskan alasan mengapa penelitian terhadap mitos Kuri dan Pasai perlu dilakukan. Mitos Kuri dan Pasai memang bukan merupakan satu-satunya mitos ataupun sastra lisan dari daerah Teluk Wondama. Selain Kuri dan Pasai, masih ada beberapa sastra lisan di Kabupaten Teluk Wondama antara lain, Miyowor, Kiwas, etnik Maniwak, dan Asal Mula Telaga Werabur. Menurut kepercayaan leluhur etnik Wamesa bahwa cerita mitos Kuri dan Pasai ini bukan hanya tokoh fiktif, tetapi tokoh yang benar-benar ada dan hidup pada masa lalu. Mitos Kuri dan Pasai ini juga memiliki daya tarik tersendiri karena hanya bisa diceritakan secara khusus kepada orang yang merupakan garis keturunan tertentu. Biasanya di dalam satu garis keturunan tersebut hanya terdapat satu orang sebagai pewaris atau pemegang amanat mitos tersebut dalam satu keluarga. Jadi, inti mitos ini atau asal usul mitos ini atau nenek moyang Kuri dan Pasai tidak boleh diungkapkan secara terbuka atau menyebar luas kepada masyarakat. Ada bagian mitos yang boleh diceritakan kepada masyarakat umum. Bagian mitos inilah yang akan dikaji dalam penelitian ini. Misteri di balik mitos ini merupakan rahasia yang tak

(7)

terungkapkan, kepercayaan bahwa akan terjadi malapetaka bila ada yang berani menceritakan sudah sangat menyatu dengan masyarakat setempat. Hal tersebut menyebabkan penelitian tentang mitos ini agak sulit dilakukan. Etnik Wamesa kurang begitu terbuka, baik tentang adat maupun tradisi mereka, terutama tentang sastra lisan di daerah ini.

Selanjutnya, penulisan tentang mitos Kuri dan Pasai ini belum ditemukan karena belum adanya keberanian untuk menuliskan mitos ini. Seperti telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya, hal tersebut disebabkan karena kepercayaan etnik Wamesa bahwa mitos ini merupakan mitos yang dikeramatkan dan tidak boleh sembarang diceritakan. Oleh karena itu, Mitos Kuri dan Pasai ini yang juga merupakan salah satu karya sastra terancam punah sehingga pemeliharaan terhadap sastra lisan ini sangat penting. Suatu hal yang menarik juga adalah ada apa di balik mitos Kuri dan Pasai ini sehingga msyarakat begitu tertutup dalam pengungkapannya. Apa yang terkandung di dalam mitos ini dan mengapa hal tersebut bisa terjadi dan banyak pertanyaan ditemukan ketika mendengar tentang mitos ini. Satu simpulan yang dapat diambil dan diperhatikan sehingga penelitian ini dilakukan adalah bahwa masyarakat etnik Wamesa harus mengetahui dengan baik bagaimana dan apa isi kandungan mitos ini sebenarnya. Disamping itu, etnik Wamesa harus menyadari bahwa mitos ini bukan sekadar mitos. Akan tetapi mitos yang memiliki nilai sastra yang tinggi. Hal lain yang perlu diketahui adalah wacana apa yang tersirat dan tersurat di sana dan bagaimana nilai satuan naratif di dalamnya. Selain itu, mereka harus mengerti fungsi dan makna apa yang tersimpan di dalam mitos ini sehingga para pemilik mitos ini mengerti dan terbuka

(8)

membagikan mitos yang hampir punah ini. Satu hal yang sederhana tidak pahamnya masyarakat tentang pentingnya menjaga dan memelihara kekayaan budaya menyebabkan masyarakat takut mengungkapkan budaya mereka sendiri, dalam hal ini sastra lisan mitos Kuri dan Pasai. Mitos Kuri dan Pasai juga merupakan objek penelitian yang sangat menarik untuk dibedah dalam ranah wacana sastra sekalipun untuk mengungkap secara tuntas mitos tersebut masih memerlukan interpretasi dan daya jelajah yang cukup tinggi.

Jangkauan pengaruh mitos Kuri dan Pasai ini cukup terkenal di Papua. Mitos ini juga telah dibuat ke dalam bentuk syair-syair lagu yang cukup terkenal di tanah Papua. Dalam lirik-lirik lagu tersebut tercermin pemaknaan singkat tentang hidup dan kehidupan kedua sang tokoh tersebut. Fungsi mitos Kuri dan Pasai sebagai tokoh yang dipercaya benar-benar ada dan masih mempengaruhi sebagian besar pendukung mitos ini. Mitos Kuri dan Pasai juga merupakan salah satu bagian dari genre sastra lisan yang cukup dikenal di beberapa daerah pesisir di Papua mulai dari Papua bagian timur, yaitu Mamberamo, Waropen, Nabire, Teluk Wondama sendiri lalu kemudian Sorong. Dalam kesempatan ini mitos Kuri dan Pasai ini dibahas dari daerah asal mitos ini berkembang, yaitu Kabupaten Teluk Wondama. Namun, karena banyak daerah yang merasa memiliki mitos ini, mitos ini terdiri atas berbagai versi, Teluk Wondama sendiri juga memiliki beberapa versi, tetapi inti isi mitosnya adalah sama. Pada kesemparan ini mitos yang diambil dan dikaji ada terdapat pada lampiran akhir.

Berdasarkan beberapa hal di atas, dicoba keluar dari apa yang menjadi masalah pokok, yaitu mengapa mitos ini begitu disakralkan. Di samping itu,

(9)

mencoba masuk dan mendalami inti mitos ini lewat ranah sastra, yaitu kajian satuan naratif, wacana dan kajian semiotik yang di dalamnya terkandung fungsi dan makna. Kajian wacana bertujuan untuk melihat ide/gagasan utama dalam penyampaian mitos ini dan satuan naratif yang terangkai hingga membentuk suatu kesatuan utuh. Kajian semiotik bertujuan untuk melihat fungsi dan makna tanda-tanda yang terdapat di dalam mitos ini bagi etnik Wamesa. Semiotik merupakan salah satu cabang penelitian sastra yang mengungkap sistem tanda (Endraswara; 2008:64). Semiotik Barthes yang merngungkap tentang ini, sebagai payung dan untuk mengkaji fungsi dan makna digunakan teori fungsi dan teori makna tersendiri. Dalam Hoed (2011:3) dinyatakan bahwa semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan dapat dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus diberi makna. Sistem-sistem tanda tersebut yang terkandung di dalam karya sastra kemudian diberikan makna yang pastinya terkait dengan sistem yang ada di dalam masyarakat pemilik karya sastra tersebut. Karya sastra yang murni lahir dari masyarakat akan lebih banyak menyimpan sejuta tanda yang mengandung makna yang dalam bagi masyarakat pemiliknya.

Pokok-pokok pembahasan tersebut dibahas di dalam penelitian ini. Di samping yang menjadi perhatian utama juga dibahas bagaimana satuan naratif di dalam mitos ini terbentuk dan tokoh-tokoh dalam mitos ini yang biasanya memunculkan simbol-simbol yang memiliki fungsi dan makna tersendiri bagi etnik pendukungnya dalam hal ini apa fungsi dan makna mitos ini bagi etnik Wamesa. Pemunculan mitos ini sebagai fungsi dan makna yang terkandung di

(10)

dalamnya mitos ini merupakan hal yang menarik untuk dikaji dalam khazanah wacana sastra. Masih banyak sastra lisan di Papua khususnya daerah Teluk Wondama yang diabaikan, dibiarkan, bahkan nyaris punah bergulir dengan berjalannya waktu. Penelitian ini diharapkan dapat menarik minat peneliti lain untuk menggali lebih banyak lagi sastra lisan di daerah Teluk Wondama.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan spesifikasi tujuan kajian penulisan ini, maka disimpulkan dan dirumuskan tiga masalah yang dapat dilihat dari mitos tersebut, yaitu sebagai berikut.

1. Bagaimanakah bentuk satuan naratif dan wacana-wacana apa yang terkandung dalam mitos Kuri dan Pasai?

2. Apakah fungsi mitos Kuri dan Pasai bagi etnik Wamesa? 3. Apakah makna mitos Kuri dan Pasai bagi etnik Wamesa?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum, penelitian ini diharapkan memberikan inspirasi dan mengungkapkan serta mengembangkan salah satu aspek kebudayaan Indonesia. Melalui penelitian ini diharapkan para pembaca dapat mengenal dan memahami serta mendapat sumbangan tentang kekayaan karya di Indonesia, dalam hal ini daerah Kabupaten Teluk Wondama. Penelitian ini juga sekaligus mendukung eksistensi kebudayaan nasional.

(11)

Hasil kajian ini juga dapat dianggap sebagai pendokumentasian karya sastra Teluk Wondama. Diharapkan pendokumentasian ini juga dapat mendukung kelangsungan karya sastra lisan kabupaten Teluk Wondama yang nyaris hilang. Selain itu, tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan mengkaji mitos Kuri dan Pasai dan menemukan fungsi serta makna yang terkandung di dalamnya.

1.3.2 Tujuan Khusus

Sesuai dengan permasalahan di atas maka tujuan khusus penelitian ini adalah untuk menjawab rumusan masalah tersebut, yaitu sebagai berikut.

1) Menemukan bentuk satuan naratif dan wacana-wacana yang terkandung dalam mitos Kuri dan Pasai.

2) Menemukan fungsi mitos Kuri dan Pasai bagi etnik Wamesa. 3) Menemukan makna yang terkandung dalam mitos Kuri dan Pasai

bagi etnik Wamesa.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis, hasil penelitian diharapkan agar bermanfaat bagi upaya pengembangan studi ilmu sastra terhadap kebudayaan sastra lama, khususnya memperkaya sastra lisan dalam pandangan masyarakat terhadap nilai-nilai kebudayaan setempat. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat

(12)

dijadikan bahan ajar materi sastra Indonesia dan secara khusus sastra daerah Papua.

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat penelitian ini secara praktis, yaitu konsep, gagasan atau nilai budaya yang terungkap melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mampu memaknai kehidupan dalam masyarakat Papua dan kebudayaan nusantara pada umumnya. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi media informasi dan refleksi kehidupan masyarakat dan etnik asli Kabupaten Teluk Wondama.

Referensi

Dokumen terkait

Pelajaran ekonomi yang dipelajari di sekolah merupakan ilmu yang erat kaitannya dengan kehidupan manusia di dunia ini, berbagai masalah sosial dan masalah yang berkaitan

Demikianlah maka terdapat satu masalah darinya yang sangat mendasar; apabila manusia hendak mengkaji suatu ilmu dalam perspektif Islam, maka harus dikembalikan

Guru PAI adalah seorang figur yang mulia dan dimuliakan banyak orang.Kehadiran guru PAI di tengah-tengah kehidupan manusia khususnya di SDN 2 Temurejo sangat penting,

Dengan demikian dari pengertian- pengertian di atas dapat dinyatakan bahwa fenomena adalah suatu peristiwa tidak lazim yang terjadi di masyarakat yang dapat dilihat, dapat

Oleh karena itu, perilaku seksual yang hadir di tengah kehidupan napi demikian merupakan realitas sosial yang menarik untuk dilihat, karena, pertama, pada

Seberapa jauh pentingnya komunikasi dalam kehidupan manusia, dapat dilihat dari hasil penelitian yang menyatakan bahwa persentase waktu yang digunakan dalam

1. Pengantar memahami psikologi pendidikan.. Perbedaan Individu dan Aplikasinya dalam pendidikan 3. Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelaJani tingkah laku manusia,

Peristiwa yang menjadi obyek kajian ilmu sejarah hanya peristiwa yang menyangkut kehidupan manusia secara langsung, dan memiliki signifikansi (arti/makna penting) serta