BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang dan Masalah
1. 1. 1 Latar Belakang
Karya sastra adalah artefak atau benda mati yang baru mempunyai makna
dan menjadi objek estetik bila diberi arti oleh manusia pembaca, sebagaimana
artefak peninggalan manusia purba mempunyai arti bila diberi makna oleh
arkeolog. Istilah pemberian makna ini disebut naturalisasi, yakni usaha untuk
mengembalikan yang menyimpang kepada yang jelas, yang terang, yang dapat
dipahami (Teeuw, 1988).
Teeuw (1988) juga menyatakan bahwa ilmu sastra menunjukkan
keistimewaan, barangkali juga keanehan yang mungkin tidak dapat dilihat pada
banyak cabang ilmu pengetahuan lain, yaitu bahwa objek utama penelitiannya tidak
tentu malahan tidak keruan.
Sastra yang dihasilkan oleh seseorang atau sekelompok orang disebut karya
sastra. Secara umum, karya sastra terbagi tiga, yakni puisi, prosa, dan drama.
Semua karya sastra bersifat konotatif karena banyak menggunakan makna kias dan
makna lambang. Dibandingkan dengan bentuk karya sastra lain, puisi lebih bersifat
konotatif karena bahasanya lebih memiliki banyak kemungkinan makna (Waluyo,
Definisi puisi menurut para ahli berbeda-beda. Setelah
membanding-bandingkan batasan para ahli tersebut, Waluyo (1991) dalam bukunya yang
berjudul Teori dan Apresiasi Puisi mencoba memberikan definisi puisi sebagai
bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara
imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan
pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya.
Dalam sejarahnya, puisi-puisi Indonesia dikategorikan dalam beberapa
periode sastra Indonesia. Sutardji termasuk pada Angkatan ’70 walaupun
sebenarnya dia sudah mulai menulis pada dekade ’60-an.
Pembaca karya sastra dapat dikategorikan sesuai dengan motivasi dan
tingkat keseriusan membacanya. Berdasarkan hal tersebut, pembaca karya sastra
dibagi dua, yaitu pembaca biasa dan pembaca aktif. Dikatakan pembaca biasa
apabila kepuasan pembaca tersebut terbatas sampai akhir cerita tanpa mengkaji
lebih jauh apa maksud tersurat maupun tersirat dalam karya tersebut. Berbeda
dengan pembaca aktif. Pembaca aktif awalnya membaca karya sastra itu sebagai
hiburan, tetapi setelah dipahaminya lebih jauh makna tersurat maupun tersiratnya,
ternyata karya sastra itu dapat juga dijadikan sebagai pendidikan maupun pedoman
bagi hidupnya.
Menurut Panuti Sudjiman ( 1988 : 12 ) motivasi membaca karya sastra ada
tiga, yakni sebagai pengisi waktu, sebagai hiburan, dan untuk mencari pengalaman
baru. Orang yang membaca karya sastra sebagai pengisi waktu tidak
waktu luang. Orang yang membaca karya sastra sebagai hiburan tentu saja akan
memilih cerita yang pemaparan atau jalan ceritanya cukup menarik. Sedangkan
yang terakhir, lebih serius, yaitu menginginkan pengalaman baru dalam batinnya.
Pembaca serius berusaha untuk lebih memahami apa yang disampaikan
pengarang melalui karyanya. Berbagai pendekatan akan dipakai untuk memahami
makna yang ada pada karya tersebut. Dengan membaca karya sastra, pembaca
tersebut juga dapat melaksanakan kegiatan membaca bahasa yakni kegiatan
pembaca yang bertujuan memperkaya kosa kata, mengembangkan kemampuan
menyusun kalimat, dan memahami gaya bahasa yang keseluruhannya dapat
dimanfaatkan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa bagi si pembaca. Jika
dibandingkan dengan pembaca lainnya, pembaca inilah yang jumlahnya paling
sedikit di kalangan masyarakat. Namun, pembaca yang seperti inilah yang membuat
karya sastra itu menjadi bermakna dan tidak hanya sebatas benda mati seperti yang
dikatakan Teeuw.
Teeuw (dalam Pradopo, 2007 : 106) mengatakan, “Karya sastra adalah
artefak, adalah benda mati, baru mempunyai makna dan menjadi objek estetik bila
diberi arti oleh manusia pembaca sebagaimana artefak peninggalan manusia purba
mempunyai arti bila diberi makna oleh arkeolog.” Jika sebuah karya sastra tidak
diberi makna oleh masyarakat pembacanya, karya itu akan mati atau tidak berarti
apa-apa. Oleh karena itu, setiap karya sastra harus dimaknai.
Masalah yang sering timbul dalam memaknai sebuah karya sastra adalah
untuk dipahami maksud dan maknanya. Karya yang seperti ini akan ditinggalkan
oleh masyarakat pembaca, hanya dapat dinikmati oleh kalangan tertentu saja.
Masyarakat pembaca yang meninggalkan karya sastra seperti ini adalah masyarakat
pembaca yang membaca karya sastra sebagai hiburan dan pengisi waktu luang.
Hanya pembaca aktif, serius, atau pembaca yang mencari pengalaman barulah yang
membaca karya sastra seperti ini.
Jika hanya kalangan tertentu saja yang dapat memahami sebuah karya
sastra, karya tersebut sudah menyimpang dari makna esensinya, tidak universal
lagi. Agar tidak menjadi demikian, harus dilakukan naturalisasi, yaitu usaha untuk
mengembalikan yang menyimpang kepada yang jelas, yang terang, yang dapat
dipahami ataupun juga istilah rekuperasi atau perebutan makna (Teeuw, 1983).
Dengan begitu, puisi menjadi dapat dipahami oleh masyarakat pembaca.
Agar dapat memahami makna karya sastra, pastilah diperlukan cara-cara
yang sesuai dengan sifat hakiki karya sastra. Diperlukan analisis secara mendalam
untuk dapat memaknai karya sasstra tersebut. Salah satu penyair yang karyanya
(puisi) perlu dianalisis karena maknanya yang tidak mudah untuk dipahami adalah
Sutardji Calzoum Bachri yang selanjutnya akan disebut SCB.
SCB merupakan seorang penyair Indonesia yang terkemuka. Ia juga dikenal
sebagai cerpenis, eseis, dan budayawan. Lahir di Rengat, Riau, 24 Juni 1941. Ia
terkenal sejak awal 1970-an ketika mengumumkan Kredo Puisinya (1973), “Kata
harus dibebaskan dari beban pengertian.” Itulah yang menjadi dasar bagi sebagian
menimbulkan kontroversi dalam kesusastraan Indonesia. Kumpulan puisi SCB di
antaranya “O” (1973), “Amuk” (1979), dan “O Amuk Kapak” (1981).
Karya-karya SCB membawa pembacanya kepada pengalaman baru yang
cukup membingungkan. Pembaca akan menemukan berbagai bentuk diksi yang tak
lazim, tipografi yang unik, dan gaya mantra yang begitu kental. Oleh karena itulah,
ia disebut-sebut sebagai “sang Pembaharu Puisi Modern Indonesia”. Ia
menghadirkan berbagai makna tersurat dan “memaksa” pembaca mencari
maknanya. Benarlah bahwa bahasa puisi berbeda dengan bahasa sehari-hari.
Bedanya adalah pesan dalam bahasa percakapan sehari umumnya disampaikan
secara langsung, sedangkan pesan dalam puisi justru menunda atau tersirat.
Penundaan itulah yang mengundang kenikmatan bagi pembaca.
Dalam KBBI (2007:864), “Perspektif adalah cara melukiskan suatu benda
pada permukaan yang mendatar sebagaimana yang terlihat oleh mata dengan tiga
dimensi (panjang, lebar, dan tingginya); sudut pandang; pandangan.” Jika dikaitkan
dalam konteks penelitian ini, perspektif itu berarti sudut pandang seseorang dalam
mendeskripsikan sesuatu melalui kata-kata yang merupakan hasil dari
pengamatannya selama ini, baik secara fisik maupun nonfisik.
Tuhan adalah sesuatu yang tidak berwujud tapi ada dan dibicarakan di
mana-mana. Bahkan tidak sedikit orang yang merasa paling tahu akan sesuatu yang
berada di luar jangkauan pengetahuan manusia itu” (Audifax, 2007:6). Banyak
yang mencoba menggambarkan-Nya dan banyak pula yang mempertanyakan
Pertanyaan yang sering muncul ketika mempertanyakan tentang Tuhan
adalah, “Di manakah letak surga itu?” Konon, surga ada di atas sana sehingga sering
dijumpai dalam film-film ketika roh manusia meninggalkan jasadnya akan terbang
menuju ke atas. Selain itu, orang yang berdoa, memohon, dan meminta kepada
Tuhan akan menengadahkan kepalanya. Namun, tidak semua seperti itu. Ada yang
mengatakan surga itu di telapak kaki ibu, di hati orang yang percaya kepada-Nya,
bahkan ada pula yang mengatakan Tuhan itu ada di mana-mana. Berarti, surga pun
ada di mana-mana karena esensinya surga itu adalah tempat tinggal Tuhan. Lantas,
mengapa dikatakan surga ada di atas langit, di telapak kaki ibu, atau di hati orang
yang percaya kepada-Nya?
Manusia harus berbakti kepada Tuhan. Namun, bakti itu bukanlah untuk
membela kepentingan-Nya. Jadi, manusia tidak perlu berusaha untuk
mengangkat-Nya supaya mulia karena Dia sudah bersifat Mulia, bahkan Yang Mahamulia.
Tuhan itu tidak mempunyai kepentingan pribadi, justru Dia Pemelihara,
Pengasih, dan Penyayang. Namun, manusia tidak boleh menyembah kepada yang
lain. Demi keselamatannya, manusia harus beribadah hanya kepada Tuhan, karena
Dia Esa. Penyembahan kepada yang lain akan mendatangkan pertentangan dan
kegoncangan, sementara manusia menginginkan keselamatan (Abdoerraoef, 1962).
Nietzche (dalam Audifax, 2007) menyatakan bahwa manusia terjebak
dalam nihilisme, kosong, dan tidak bermakna. Pada titik ini, “tuhan” itu sudah mati
karena sejatinya manusia sudah hidup tanpa Tuhan. Tidak ada Tuhan ketika
atau tanpa tuhan, manusia tetap berada dalam ketidakmampuannya untuk hidup.
Bukan tuhan yang menjadi kunci hidup, melainkan keputusan manusialah yang
menjadi kuncinya. Maka, jelaslah tidak benar jika orang mengatakan, “Manusia
yang berencana, tetapi Tuhan yang menentukan.” Jika sudah ditentukan, untuk apa
berusaha? Ungkapan itu menjadi alasan manusia untuk lari dari tanggung jawab
atas semua yang dilakukannya. Kegagalan justru dilemparkan kepada Tuhan.
Sekarang, ungkapan yang benar adalah “Manusia yang menentukan, tuhan yang
mengusahakan”.
Dari pernyataan Nietzhe tersebut, ada dua pemahaman tentang Tuhan:
1. Tuhan Yang Hakiki
Tuhan Yang Hakiki dituliskan dengan /T/ huruf kapital, yaitu “Tuhan”.
Tuhan dengan penulisan seperti ini adalah Tuhan disembah dalam hubungan
spiritual sehari-hari. Tuhan yang sering disebut sebagai Tuhan Yang Maha
Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun, dan lain-lain.
2. Tuhan yang tidak hakiki
Tuhan yang tidak hakiki dituliskan dengan /t/ huruf kecil, yaitu “tuhan”.
Tuhan dengan penulisan seperti ini adalah tuhan yang tercipta atas
kepentingan-kepentingan manusia. Tuhan yang sering diseret-seret dalam berbagai peristiwa
nirhumanitas (Audifax, 2007). Dijadikan alasan untuk pengeboman, peperangan
antarbangsa, perang agama, bahkan perang saudara. Tuhan yang demikian juga
dijadikan sebagai alat untuk membenarkan kebencian, peperangan, perpecahan,
pembunuhan, penghujatan, pemfitnahan, dan dosa-dosa lainnya yang sudah jelas
Hal ini terjadi karena sifat manusia yang pragmatis dan cenderung ingin
selalu berada di dalam “pembenaran”. Akhirnya, pembicaraan tentang Tuhan
terlepas dari ke-Mahaan-Nya, yaitu Mahakuasa, Maha Mengetahui, dan Maha
dalam segala hal. Sementara itu, manusia yang terbatas ingin mendefinisikan Tuhan
yang tidak terdefinisi dan tidak terukur tersebut. Tuhan tidak logis, sementara
manusia berpikir logis. Oleh karena itu, manusia tidak akan mendapat jawaban yang
memuaskan tentang Tuhan. Karena dalam ke-Tuhanan, dasarnya adalah iman,
yakni dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu
yang kita lihat (Ibrani 11:1). Tuhan tidak dapat dibuktikan secara ilmiah sehingga
banyak yang meragukan keberadaan-Nya. Padahal, justru di situlah iman itu
bekerja. Karena jika segala sesuatu itu sudah jelas, pasti, atau dapat dibuktikan
secara ilmiah, manusia tidak akan berpengharapan dan iman itu menjadi mati.
Semiotik secara harfiah adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
sistem tanda dan lambang di kehidupan manusia. Tokoh penting dalam semiotika
sebagai ilmu tentang tanda adalah Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders
Pierce. Tokoh tersebut meletakkan dasar pemikiran yang menjadi landasan
pengembangan semiotika.
Audifax (2007 : 18) menjelaskan pengaruh Saussure dan Pierce dalam
perkembangan semiotika sebagai berikut:
adalah suatu cabang dari filsafat. Dalam perkembangan selanjutnya, semiotika dipengaruhi oleh pemikiran strukturalisme dan poststrukturalisme melalui tokoh-tokoh seperti Claude Levi-Strauss, Louis Althusser, Jacques Lacan, Michel Foucault, Jacques Derrida, Julia Kristeva, Gilles Deleuze, Felix Guattari, Umberto Eco hingga Zlavoj Zizek.
Semiotika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan
konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam
kaitannya dengan pemaknaan, pembacalah yang seharusnya bertugas memberi
makna karya sastra. Khusus pemaknaan terhadap puisi, proses pemaknaan itu
dimulai dengan pembacaan heuristik, yaitu menemukan meaning unsur-unsurnya
menurut kemampuan bahasa yang berdasarkan fungsi bahasa sebagai alat
komunikasi tentang dunia luar (mimetic function). Akan tetapi, pembaca kemudian
harus meningkatkannya ke tataran pembacaan hermeneutik yang di dalamnya kode
karya sastra tersebut dibongkar (decoding) atas dasar significance-nya. Untuk itu,
tanda-tanda dalam sebuah puisi memiliki makna setelah dilakukan pembacaan dan
pemaknaan terhadapnya (Riffaterre, 1978).
Riffaterre (1978) lebih jauh menjelaskan bahwa untuk melakukan
pemaknaan secara utuh terhadap sebuah puisi, pembaca harus bisa menentukan
matriks dan model yang terdapat dalam karya itu. Riffaterre juga mengungkapkan
metode pemaknaan puisi secara semiotika dengan tuntas. Contoh pemaknaan puisi
secara semiotika Riffaterre adalah karya Edy A. Effendy yang ditulis oleh
Muhammad Al-Hafizh (2009) dalam jurnalnya yang berjudul “Sajadah Terakhir
Sutardji dikenal sebagai penyair yang emosional. Hal tersebut dapat dilihat
dari puisinya yang berjudul “Amuk”. “Amuk” merupakan sebuah puisi dalam
kumpulan puisinya yang berjudul Amuk. Puisi “Amuk” terdiri dari 24 halaman.
Puisi ini begitu panjang karena di dalamnya terdapat puisi “Kucing” dan penggalan
“Pot” serta “Batu”. Puisi ini layak dijadikan bahan penelitian karena Sutardji
bercerita banyak hal di dalamnya, terlebih tentang Tuhan. Manusia adalah pencari
Tuhan. Dalam puisi tersebut Sutardji berani menyampaikan pikirannya dalam
konteks manusia sebagai pencari Tuhan. Selain itu, “Amuk” dengan semiotika
ekspresinya, merupakan suatu ungkapan kemarahan. Ironisnya adalah ketika
sebuah cerita tentang pencarian Tuhan diberi judul “Amuk”. Muncul sebuah
pandangan, apakah Tuhan itu dicari dengan ekspresi amuk?
“Ngiau!” merupakan tiruan bunyi kucing yang merupakan ekspresi dari
kemarahan. Berbeda dengan “meong”. “Meong” merupakan tiruan bunyi kucing
ketika menginginkan sesuatu. Dalam bunyi tersebut, kucing mengekspresikan
kemanjaan atau merupakan salah satu usaha untuk membuat orang menjadi iba
sehingga dia akan mendapatkan makanan atau setidaknya sedikit elusan. Dalam
konteks kajian ini, “ngiau” dimaknai sebagai ekspresi kemarahan kucing. Sama
halnya seperti anjing yang menggonggong. Selain suara, ada bentuk tanda bahasa
yang menguatkan hal tersebut. Penguatan hal ekspresi kemarahan tersebut
dilambangkan dengan tanda seru (!). Tanda seru mengartikan penegasan. Bila
secara nada, tanda seru mengalami peninggian. Contohnya, manusia marah
cenderung mengekspresikan dengan nada-nada tinggi yang dilambangkan dengan
kata-kata seru. Misalnya, “wau!” yang menegaskan keterkejutan seperti yang
ditemukan dalam puisinya yang berjudul “Tapi”, “Tik”, “Mesin Kawin”, dan lain
-lain.
“Ngiau!” banyak ditemukan dalam puisi-puisi Sutardji. Kata tersebut juga
dapat ditemukam pada awal puisinya yang berjudul “Kucing”, bahkan ada juga
yang menjadi judul puisinya. Unsur-unsur kemarahan lainnya juga masih banyak
ditemukan pada puisi-puisinya, misalnya “ludahlah!” pada puisi yang berjudul
“Sudah Waktu”, “tempeleng!” pada puisi yang berjudul “Pil” dan “Tak”, bahkan
kata-kata yang tak lazim, seperti “babi!” pada puisi yang berjudul “Sajak Babi III”,
dan lain-lain.
Selanjutnya, Sutardji kerap menggunakan kata Tuhan atau tuhan sehingga
menimbulkan kesan bahwa dia adalah hamba Tuhan. Konsepsi kata tuhan yang
dimaksud oleh Sutardji dibedakan secara bentuk penanda. Kata “Tuhan”
(menggunakan huruf kapital pada awal kata) dan “tuhan” (menggunakan huruf
kecil pada awal kata). Tuhan yang dikonsepsikan pada suatu kepercayaan,
menggunakan kata ‘Tuhan’, sedangkan kata ‘tuhan’ digunakan pada konsepsi
penciptaan yang dilakukan untuk sesuatu yang bukan Tuhan. Hal lain yang
menguatkan pernyataan tersebut adalah klitik yang sering dituliskan dengan huruf
kapital, misalnya “pura-Mu” pada puisi yang berjudul “Ah”, “menjangkau-Mu”,
“jejak-Nya”, “pada-Mu”, “memanggil-Mu” yang terdapat pada puisi “Amuk”, dan
Penulis merasa tertarik untuk menganalisis puisi-puisi Sutardji karena di
satu sisi Sutardji dikenal sebagai seorang penyair yang emosional, sedangkan di sisi
lain beliau terkesan hamba Tuhan atau dekat dengan Tuhan. Penulis ingin
menganalisis bagaimana pemahaman Sutardji tentang Tuhan melalui karyanya.
Namun, penulis ingin menganalisisisnya hanya dari sebuah puisinya, yakni
“Amuk”. Oleh karena itulah, penulis memilih Perspektif Sutardji tentang Tuhan
dalam “Amuk”:Analisis Semiotika sebagai judul tulisan ini.
Penulis berharap tulisan ini dapat membantu masyarakat dalam menemukan
makna puisi “Amuk” karya Sutardji. Dengan demikian, puisi tersebut dapat
menjadi cermin bagi masyarakat. Jika sudah menjadi cermin, berarti masyarakat
pun bisa mengambil makna dan pelajaran dari puisi tersebut. Semoga ada
manfaatnya dan membawa perubahan ke arah yang lebih baik kepada masyarakat.
1. 1. 2 Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, masalah yang akan dibahas pada
penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah perspektif Sutardji tentang Tuhan melalui puisi “Amuk”
ditinjau dari semiotika?
Agar sebuah penelitian terarah dan tidak terlalu luas, dibutuhkan
pembatasan masalah. Dengan pembatasan masalah, tujuan penelitian pun akan
tercapai. Karena keterbatasan kemampuan dan waktu, penelitian ini hanya akan
membahas satu puisi Sutardji, yakni yang berjudul “Amuk” dari tiga kumpulan
sajaknya yang berjudul “O Amuk Kapak”.
1. 3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. 3. 1 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:
1. Merumuskan perspektif Sutardji tentang Tuhan melalui puisi “Amuk”
ditinjau dari semiotika.
1. 3. 2 Manfaat Penelitian
1. 3. 2. 1 Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis penelitian ini adalah:
1. Menjadi sumber masukan bagi peneliti lain yang ingin membicarakan
puisi-puisi Sutardji, khususnya “Amuk” dari tinjauan semiotika.
2. Menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat mengenai puisi Sutardji
1. 3. 2. 2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai sumbangan pemikiran
kepada masyarakat pembaca sastra dalam memaknai karya sastra, khususnya puisi
Sutardji yang berjudul “Amuk” dan agar pesan yang ingin disampaikan Sutardji