• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESKRIPSI KARAKTERISTIK ANAK BERKEBUTUHAN.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DESKRIPSI KARAKTERISTIK ANAK BERKEBUTUHAN.pdf"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

SKRI PSI

Diajukan Kepada Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi dan I lmu Sosial Budaya Universitas I slam I ndonesia Untuk Memenuhi Sebagian Dari

Syarat-Syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 Psikologi

Oleh:

Rr. RAHAJENG BERLI ANI NGTYAS BETHAYANA 03320054

PROGRAM STUDI PSI KOLOGI

FAKULTAS PSI KOLOGI DAN I LMU SOSI AL BUDAYA

UNI VERSI TAS I SLAM I NDONESI A

(2)

DESKRI PSI KARAKTERI STI K ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS ( ABK) DI SEKOLAH I NKLUSI

Rr. Rahajeng Berlianingtyas Bethayana Rr. I ndahria Sulistyorini

I NTI SARI

Penelitian ini bertujuan untuk menggali karakteristik anak berkebutuhan khusus (ABK) di sekolah inklusi. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah siswa aktif sekolah inklusi, berusia antara enam hingga 12 tahun, dan mengalami gangguan perilaku yang mengacu pada keterangan dari guru dan orang tua siswa. Metode yang digunakan dalam pengambilan data berupa wawancara semi terstruktur dan observasi, dengan metode pencatatan data berupa critical insident records dan checklist. Responden wawancara berjumlah sepuluh orang, yang terdiri dari tiga orang subjek, orang tua subjek, guru khusus, dan teman subjek. Observasi terhadap subjek dilakukan di sekolah selama sepuluh (10) hari, meliputi semua kegiatan subjek di sekolah. Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap subjek, orang tua dan guru khusus, dan observasi langsung di sekolah ditemukan data yang berkaitan dengan karakteristik anak berkebutuhan khusus, seperti Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), Oppositional Defiant Disorder

(ODD), Conduct Disorder (CD), dan gangguan emosi, berikut upaya kerja sama antara sekolah dengan orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Rincian mengenai hasil penelitian dideskripsikan dalam laporan penelitian ini.

(3)

Pengantar

Latar Belakang Masalah

Dunia perkembangan anak merupakan dunia yang menarik untuk diteliti. Bahasan perkembangan anak diminati hampir oleh banyak kalangan, baik dari kalangan disiplin ilmu psikologi, pendidikan, kedokteran, ataupun sosial. Masalah perkembangan anak diminati oleh banyak kalangan karena dari waktu ke waktu, karena akan selalu ada bahasan yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Banyak tokoh psikologi lahir dari penelitiannya yang menyoroti dunia perkembangan anak. Bahasan mengenai perkembangan anak kini semakin erat dengan masalah pendidikan. Pendidikan adalah hal terpenting dalam sejarah kehidupan seseorang karena dengan pendidikan, seseorang menjadi tahu apa yang sebelumnya tidak diketahui, serta mengerti mana yang baik dan yang buruk.

(4)

jenis primary school yang lebih variatif dan modern, diantaranya berdasarkan konsep full day-school, sekolah I slam terpadu, bahkan integrated school.

Bahasan mengenai integrated school sebenarnya bukanlah hal baru. Diawali dengan munculnya data mengenai jumlah penyandang autis di I ndonesia oleh biro sensus Amerika dinyatakan telah mencapai 475.000 orang (Kompas, 2005). Suyanto (2005) dalam buku Dasar-dasar Pendidikan Anak Usia Dini menyatakan bahwa di I ndonesia memang tidak dihadapkan pada kondisi yang sangat ekstrem seperti di Amerika, dimana undang-undang pendidikan menyatakan bahwa semua warga negara AS berhak atas pelayanan pendidikan yang sama. Maka pada akhirnya sekolah di Amerika harus menerima anak berkebutuhan khusus (ABK), baik fisik maupun mental untuk dapat sekolah sama seperti anak pada umumnya. Fasilitas yang disediakan, baik sarana, prasarana, termasuk tenaga pengajar juga harus dapat memenuhi kebutuhan anak didik, baik yang berkebutuhan khusus maupun anak pada umumnya. Program pendidikan ini kemudian disebut mainstreaming atau lebih dikenal sebagai sekolah inklusi. Jumlah sekolah inklusi di I ndonesia memang belum terlalu banyak. Khusus di Jogjakarta, keberadaan sekolah inklusi ini juga masih sangat terbatas. Perlu dipahami, keberadaan sekolah inklusi ini tidak hanya dikhususkan kepada anak autis. Lebih daripada itu, tujuan dari sekolah inklusi ini juga untuk memfasilitasi anak dengan berbagai macam gangguan, baik itu menyangkut gangguan fisik, sosial, kesulitan belajar, anak berbakat, termasuk bentuk gangguan perkembangan lain yang diasosiasikan dengan autis seperti Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), Attention Deficit Disorder (ADD), Pervasive

(5)

secara kolektif sebagai spektrum autisme (Autism Spectrum Disorder/ ASD), juga dapat memperoleh fasilitas yang sama seperti anak pada umumnya di sekolah formal (Kompas, 2005).

Salah satu sekolah inklusi di Jogja yang baru berdiri pada tahun 2005, menyatakan bahwa sejak awal berdiri sekolah ini memang berkonsep atas adanya perbedaan pada diri setiap anak. Sekolah ini meyakini bahwa setiap anak adalah unik, masing-masing memiliki kebutuhan, minat, tahap perkembangan, dan gaya belajar yang berbeda. Pada dasarnya, sekolah dengan konsep ini akan menerima anak-anak dengan kemampuan yang berbeda, baik anak pada umumnya maupun anak dengan kebutuhan khusus. Salah satu pengajar anak berkebutuhan khusus (ABK) mengatakan, pada umumnya anak yang memiliki kebutuhan khusus ini terpaksa dikeluarkan dari sekolah awalnya, dan kemudian orang tuanya memilihkan jenis sekolah inklusi ini sebagai solusinya. Konsep sekolah seperti ini akan dapat memberi manfaat kepada setiap anak yang bersekolah di dalamnya.

Bukan tidak mungkin sebuah program belajar diciptakan kecuali untuk masa depan pendidikan generasi muda yang lebih baik. Dengan jenis pendidikan inklusi ini, diharapkan banyak kalangan dapat memperoleh manfaatnya. Bagi

(6)

asesmen awal sekolah dapat melakukan langkah screening yang tepat agar dapat memberikan hasil pemeriksaan yang sesuai dengan kondisi anak berkebutuhan khusus, sehingga mampu meminimalisir kesalahan judgement. Pada beberapa kasus, kekurang tepatan dalam pemberian judgement ini dapat terjadi, terkait dengan adanya tumpang tindih dugaan, karena antara satu gangguan dengan gangguan yang lain memiliki kemiripan satu dengan yang lain. Oleh karena itu, dengan penelitian ini akan mengungkap bagaimana karakteristik anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi?

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)

Pada awalnya, yakni pada masa Renaissance, anak yang tergolong “cacat” dianggap sebagai orang yang kemasukan roh-roh jahat (setan), dan bahkan diperlakukan dengan sangat buruk. Disia-siakan, dihina, dan diperlakukan secara tidak manusiawi. Banyak diantara mereka yang kemudian dikurung, diikat, bahkan juga dipasung. Kemudian pada abad ke-16, terjadi perubahan sikap yang lebih positif terhadap anak-anak yang dianggap “cacat” tersebut. Beberapa rumah sakit di Paris mulai memberikan treatmen khusus pada penderita gangguan emosional, setelah itu muncullah nama John Locke yang dikenal sebagai orang pertama yang membedakan penderita keterbelakangan mental dengan gangguan emosional. Hingga pada akhirnya, pada abad ke-18, seorang ahli berkebangsaan Perancis yakni Jean Marc I tard, yang mulai meneliti metode pendidikan bagi anak luar biasa (Mangunsong, 1998).

(7)

yang pada akhirnya juga dikenal sebagai anak berkebutuhan khusus, jenis-jenis, dan juga karakteristik dari beberapa jenis tersebut.

Dalam buku Psikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa, terdapat beberapa definisi mengenai anak luar biasa atau yang kemudian dikenal sebagai anak berkebutuhan khusus (ABK). Suran dan Rizzo (1979) mengartikan anak berkebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan berbeda dalam beberapa dimensi yang penting dari fungsi kemanusiaannya. Mereka secara fisik, psikologis, kognitif, atau sosial terhambat dalam mencapai tujuan-tujuan (kebutuhan) dan potensinya secara maksimal. Meliputi mereka yang tuli, buta, mempunyai gangguan bicara, cacat tubuh, retardasi mental, dan juga gangguan emosional. Juga anak-anak yang berbakat dengan inteligensi yang tinggi, dapat dikategorikan sebagai anak khusus karena memerlukan penanganan yang terlatih dari tenaga profesional (Mangunsong, 1998).

(8)

Sehingga secara ringkas, anak luar biasa (ABK) dapat diartikan sebagai anak yang memiliki ciri yang berbeda dari anak-anak kebanyakan, baik dari segi ciri-ciri mental, kemampuan fisik, perilaku sosial dan emosional, kemampuan berkomunikasi maupun kombinasi dua atau lebih dari hal-hal diatas.

Sekolah I nklusi

Mainstreaming bisa diartikan sebagai persamaan oleh sebagian orang, juga dianggap memiliki perhatian utama pada keberadaan fisik anak yang memiliki hambatan di kelas-kelas reguler. Sedangkan inklusi dapat diartikan bahwa tujuan pendidikan bagi siswa yang memiliki hambatan adalah keterlibatan yang sebenarnya dari tiap anak dalam kehidupan sekolah yang menyeluruh. I nklusi juga dapat berarti penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, interaksi sosial dan konsep diri, yang meliputi visi dan misi sekolah (Smith, 2006).

(9)

Deskripsi Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Sekolah I nklusi

(10)

diatur, banyak tuntutan, dan pada akhirnya justru banyak menyakiti perasaan orang tuanya. Dengan kata lain, pada diri anak yang lahir dengan normal sekalipun terkadang juga tidak tumbuh menjadi pribadi yang baik, kuat, ataupun matang baik secara fisik, kognitif, spiritual, maupun secara sosial.

Sebaliknya, pada anak yang terkadang lahir dengan berbagai kekurangan, baik kekurangan pada tingkat rendah, sedang, maupun tinggi, dalam perkembangannya akan mengalami berbagai perubahan yang berarah baik. Banyak diantara anak-anak yang secara halus dapat dikatakan “lahir dengan kurang keberuntungan” tersebut justru berkembang menjadi pribadi yang baik, kuat dan mantap dalam berbagai segi kehidupan. Beberapa diantaranya justru dapat berubah menjadi sosok yang patut dibanggakan, menjadi teladan bagi masyarakat, dan tak jarang mampu menghasilkan berbagai macam ilmu yang berguna bagi sesamanya. Adanya perubahan ini-pun tak lepas dari keyakinan diri pada anak berkebutuhan khusus tersebut untuk mau belajar dan memperbaiki diri. Selain itu motivasi dan semangat yang tertanam pada diri ABK tersebut juga sangat mempengaruhi kemampuan anak untuk mau belajar sehingga dalam kehidupan selanjutnya akan mampu bersaing dengan orang-orang yang dikatakan “normal” oleh masyarakat sekitarnya.

(11)
(12)

Ada banyak jalan untuk mengembangkan kemampuan sosial pada anak berkebutuhan khusus, salah satunya adalah dengan pemilihan jenis pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak. Beberapa jenis pendidikan yang dapat dijadikan pilihan antara lain sekolah luar biasa atau sekolah inklusi. Kedua jenis pendidikan diatas memang dirasa tepat diberikan pada anak yang memiliki kekhususan tertentu. Efek yang muncul dengan memilihkan kedua jenis sekolah tersebut pada anak yang memiliki kebutuhan tertentu, pastinya juga akan berbeda satu dengan yang lain. Orang tua anak berkebutuhan khusus memilihkan sekolah luar biasa (SLB) tentu memiliki tujuan khusus, yaitu membuat anak mengerti bahwa kekhususan yang dimilikinya ternyata juga terdapat pada diri orang lain, sehingga efek positif yang muncul adalah anak mampu mengembangkan rasa percaya diri karena di dunia ini dia bukanlah satu-satunya yang memiliki kekhususan tersebut.

(13)

lebih belajar bersosialisasi dengan teman-teman di sekolah baik yang juga berkebutuhan khusus maupun teman-teman yang normal. Selain itu, keluarga dekat dan masyarakat di lingkungan rumah anak berkebutuhan khusus ini juga dapat ikut membantu pembelajaran anak dengan memberi dukungan, membantu saat belajar, maupun mengingatkan untuk melakukan hal-hal yang dapat mengembangkan kemampuan sosialnya.

Metode Penelitian

Fokus Penelitian

Bagaimanakah karakteristik anak berkebutuhan khusus (ABK) di sekolah inklusi?

Subjek Penelitian

Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah siswa aktif sekolah inklusi, berusia antara enam hingga 12 tahun, dan mengalami gangguan perilaku yang mengacu pada keterangan dari guru dan orang tua siswa. Keterangan dari guru dan orang tua berasal dari pengamatan terhadap anak yang terlihat memiliki perbedaan dengan anak-anak normal lainnya.

Metode Pengumpulan Data

(14)

Peneliti menggunakan wawancara pembicaraan informal, dimana hubungan pewawancara dengan yang diwawancarai ada didalam suasana biasa dan wajar, agar dapat lebih mengungkap keterangan dari anak berkebutuhan khusus. Pertanyaan dan jawaban berjalan layaknya pembicaraan biasa dalam kehidupan sehari-hari (Moleong, 2000).

Stainback menyatakan bahwa dengan wawancara peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, dimana hal tersebut tidak dapat ditemukan melalui observasi (Sugiyono, 2005). Wawancara yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur. Jenis wawancara ini sudah termasuk dalam kategori in-depth interview, dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas bila dibandingkan dengan wawancara terstruktur (Sugiyono, 2005). Peneliti tetap menggunakan interview guide dalam pelaksanaan wawancara, namun bersifat umum dan terbuka kemungkinan untuk perkembangan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan selama wawancara berlangsung.

(15)

dilakukan setiap hari selama kurang lebih dua minggu (12 hari sekolah), meliputi seluruh kegiatan sekolah (belajar, kegiatan tambahan, dan istirahat).

Metode Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis kualitatif dengan menggunakan model langkah analisis dari Miles dan Huberman, Poerwandari (2001) serta Sugiyono (2005). Sugiyono (2005) menyatakan bahwa analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Menurut model dari Miles dan Huberman (Sugiyono, 2005), analisis data selama di lapangan dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), serta verifikasi (conclusion drawing). Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, mencari tema dan pola. Penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, dan sejenisnya.

Poerwandari (2001) memberikan tahapan-tahapan dalam menganalisis data kualitatif sebagai berikut, yaitu: data yang ada dicari kata kuncinya, kemudian dibuat tema, kemudian dipisahkan menurut kategori, dan akhirnya dicari hubungan antar kategori-kategori (pola). Hal yang harus dilakukan menurut Poerwandari (2001) adalah mengorganisasikan data, membuat koding dan analisis, kemudian menguji dugaan.

(16)

membuat koding (mencari kata kunci, tema, kategori serta pola), penyajian data, penarikan kesimpulan.

Hasil Penelitian

Deskripsi hasil penelitian terlebih dahulu akan menjelaskan hasil temuan observasi di lapangan. Melalui teknik pencatatan data bentuk critical insident records, peneliti kemudian mengkategorikan temuan tersebut ke dalam bentuk

checklist, guna memudahkan peneliti untuk mengenal karakter masing-masing subjek. Checklist yang digunakan ada beberapa macam, yaitu checklist yang berisi karakter Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), checklist karakter Oppositional-Defiant Disorder (ODD), checklist karakter Conduct Disorder (CD),

serta checklist karakter gangguan emosi. Setelah dilakukan penilaian terhadap subjek, maka bentuk checklist yang menggambarkan karakter-karakter diatas ditunjukkan sebagai berikut ini :

Tabel 2

Checklist karakter Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) secara khusus

No. Karakter Subjek

I natensi

1. Sering gagal dalam memberikan perhatian penuh atau membuat kesalahan dalam tugas-tugas sekolah, pekerjaan, dan juga aktifitas yang lainnya

Ab

2. Mengalami kesulitan dalam mempertahankan perhatian terhadap tugas atau kegiatan bermain

F 3. Tidak memperhatikan ketika orang lain berbicara I , Ab 4. Sering tidak dapat mengikuti perintah dan gagal dalam

menyelesaikan tugas-tugas sekolah

-

5. Memiliki kesulitan dalam mengatur tugas dan aktifitas Ab 6. Tidak menyukai, menghindari, bahkan terkadang

menolak untuk mengerjakan tugas di sekolah dan juga tugas di rumah

-

7. Sering kehilangan perlengkapan untuk belajar dan juga bermain

(17)

8. Mudah terusik oleh stimulus yang ada di sekelilingnya F, I , Ab 9. Sering terlupa dalam mengerjakan aktifitas harian Ab Hiperaktif

1. Menunjukkan kegelisahan dengan mengerakkan tangan dan kaki saat duduk

I , Ab

2. Sering meninggalkan kursi di kelas atau di segala situasi yang membutuhkan waktu duduk yang lama

F, I , Ab

3. Sering berlari bahkan memanjat pada situasi yang tidak tepat

F, I , Ab 4. Memiliki kesulitan bermain di aktifitas bermain yang

membutuhkan ketenangan

-

5. Sering bertindak spontan atau terlihat bergerak tanpa kendali

F, Ab 6. Sering berbicara yang tidak terkendali F I mpulsif

7. Sering menjawab langsung suatu pertanyaan sebelum pertanyaan tersebut selesai diungkapkan secara keseluruhan

F, I

8. Mengalami kesulitan pada saat menunggu giliran F, I , Ab 9. Sering menginterupsi saat mengikuti percakapan F

Berdasarkan Perilaku Sosial 6. Mampu melakukan percakapan efektif F, I

7. Mampu menunjukkan afeksi F

8. Mampu tersenyum dan tertawa F, I

Negatif/ Non- Agresif

9. Melanggar aturan Ab

10. Tidak mengikuti perintah Ab

11. Tidak mampu menyelesaikan tugas -

12. Mengganggu teman Ab

Agresif

13. Suka memerintah F

14. Suka mengejek teman/ menggoda Ab

15. Suka mengancam -

16. Suka menolak Ab

17. Suka menghina Ab

18. Suka berteriak/ memekik/ bersorak I

19. Mengganggu teman secara fisik Ab

(18)

21. Suka mencuri barang teman - Non- I nteraksi

22. Suka menyendiri I

Cara membaca checklist diatas, yaitu :

a) Subjek dapat dikategorikan sebagai ADHD dengan tipe kombinasi, apabila memenuhi sedikitnya enam kategori dari sembilan kategori ADHD-inatensi dan sedikitnya empat dari enam kategori ADHD tipe hiperaktif-impulsif. b) Subjek dapat dikategorikan sebagai ADHD dengan tipe inatensi, apabila

memenuhi sedikitnya enam kategori dari sembilan kategori ADHD-inatensi, dan tidak lebih dari tiga kategori dari ADHD tipe hiperaktif-impulsif (DSM-I V APA, 1991).

c) Bagian perilaku sosial memberi gambaran terhadap perilaku subjek dalam keseharian.

Asesmen dengan alat ukur checklist seperti yang tersebut diatas menunjukkan bahwa ketiga orang subjek kemungkinan besar tidak dapat dinyatakan sebagai anak dengan gejala Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), namun tetap ada kemungkinan bahwa ketiga anak didiagnosa menderita ADHD dengan tipe hiperaktif-impulsif. Berdasarkan pada bagian perilaku sosial menunjukkan bahwa ketiga orang subjek masih dapat menunjukkan perilaku sosial yang positif. Hal ini berarti kemungkinan subjek memiliki gangguan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) juga masih merupakan kemungkinan kecil.

Bentuk checklist lain yang menggambarkan karakter Oppositional-Defiant Disorder (ODD) ditunjukkan sebagai berikut ini :

Tabel 3

(19)

No. Karakter Subjek 1. Sering kehilangan kendali temperamen -

2. Sering memberi alasan terhadap orang yang lebih dewasa

F, I

3. Sering menantang dan menjengkelkan masyarakat - 4. Sering menyalahkan orang lain atas kesalahan yang

diperbuatnya

-

5. Sering mudah tersinggung atau mudah menjengkelkan orang lain

-

6. Sering marah dan menunjukkan kekesalan Ab 7. Sering berlaku dengki atau menunjukkan dendam -

Bentuk checklist lain yang menggambarkan karakter Conduct Disorder (CD) ditunjukkan sebagai berikut ini :

Tabel 4

Checklist karakter Conduct Disorder (CD)

No. Karakter Subjek

1. Suka mengancam orang lain -

2. Suka memulai perkelahian Ab

3. Suka menggunakan senjata -

4. Suka mengganggu orang lain dan hewan secara fisik -

5. Suka mencuri dan berbohong -

6. Suka melakukan penyerangan secara seksual -

7. Suka merusak barang -

8. Keluar rumah pada saat malam hari -

9. Meninggalkan rumah tanpa izin -

10. Menolak hadir di sekolah -

(20)

Tabel 5

4. Sering terlibat perkelahian F, I , Ab

5. Sering melakukan perusakan -

6. Sering mengucapkan kata-kata kotor dan tidak senonoh -

7. Sering memerintah -

8. Cenderung berlaku sekehendaknya -

Gangguan Kepribadian

9. Merasa rendah diri -

10. Pemalu Ab

11. Depresi -

12. Kesedihan yang mendalam -

13. Menarik diri dari pergaulan -

I mmat ure

14. Pasif dalam bergaul -

15. Kaku dalam bergaul -

16. Cepat terlihat bingung -

17. Perhatian terbatas F, I , Ab

18. Senang melamun -

19. Senang berkhayal -

20. Senang bergaul dengan yang lebih muda - Pelanggaran Sosial

21. Terlibat dalam aktivitas geng -

22. Pernah terbukti melakukan pencurian -

23. Suka membolos -

24. Sering begadang -

(21)

emosi. Maka dalam hal ini peneliti lebih mengacu pada karakteristik Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) sebagai parameter utama.

Pembahasan

Pembahasan dalam penelitian ini akan mengemukakan hasil temuan di

lapangan yang datanya sudah dianalisa. Penelitian ini membahas karakteristik anak berkebutuhan khusus (ABK) di sekolah inklusi, serta kaitan interaksi anak berkebutuhan khusus (ABK) dengan lingkungannya. Peneliti akan membahas hasil temuan lapangan berdasarkan keterangan yang diperoleh dari guru khusus dan orang tua anak berkebutuhan khusus, ditambah dengan informasi yang berasal dari teman subjek.

Tahap awal peneliti melakukan observasi dengan teknik penulisan data berupa critical insident records. Melalui data-data yang ada, peneliti kemudian melakukan kroscek dengan tabel karakteristik utama Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), Oppositional-Defiant Disorder (ODD), Conduct

Disorder (CD), dan gangguan emosi. Karakteristik anak berkebutuhan khusus

yang muncul, ternyata lebih mengarah pada ciri-ciri Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), sehingga peneliti kemudian menggunakan alat

(22)

penderita Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) dalam taraf ringan. Untuk lebih memastikan subjek menderita gangguan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) ini, perlu dilakukan pemeriksaan yang lebih

mendalam. Ada beberapa langkah untuk melakukan pemeriksaan pada subjek yang diprediksi memiliki kecenderungan sebagai penderita gangguan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), antara lain dengan melihat pada riwayat

hidup subjek yang mencakup faktor genetis dan neurologis (Wenar dan Kerig, 2000).

Melalui wawancara informal dengan orang tua subjek, peneliti menemukan bahwa ketiga subjek tidak memiliki riwayat genetis yang mengalami gangguan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Hal ini tentu saja menunjukkan

bahwa kecil kemungkinan subjek mengalami gangguan ADHD. Orangtua subjek merasa subjek memiliki kecenderungan hiperaktif berdasar pada perilaku yang nampak di keseharian, yang mereka perhatikan sejak subjek masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Pengetahuan yang terbatas ini kemudian lebih meyakinkan orangtua subjek hingga memilihkan sekolah inklusi untuk anak yang mereka anggap hiperaktif, tanpa sebelumnya melakukan asesmen khusus secara profesional. Disinilah letak kelemahan sekolah inklusi dalam menerima anak berkebutuhan khusus yang tidak disertai hasil asesmen khusus dari profesional. Akan menjadi kekhawatiran tersendiri pada proses selanjutnya karena memungkinkan berdampak negatif pada kepribadian subjek yang disebabkan oleh judgement yang kurang sesuai.

(23)

gangguan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) secara tepat. Disebutkan bahwa ada lima tahapan asesmen yang berdasarkan model pendidikan membuat keputusan oleh Salvia dan Ysseidyke (1991 dalam DuPaul dan Stoner, 1991). Kelima tahap tersebut antara lain :

1. Tahap penyaringan

2. Tahap pemberian berbagai macam metode asesmen ADHD 3. Tahap menginterpretasi hasil

4. Tahap perancangan dalam perawatan dan pengembangan 5. Tahap asesmen dalam rancangan pemberian perawatan.

(24)

diperkuat Smith (2006), yang menyatakan kekuatan sosial dan interpersonal penyebab berkembangnya interaksi sosial anak meliputi : suasana lingkungan keluarga, interaksi dengan guru dan teman-teman di sekolah.

Peneliti menemukan hal positif dari wawancara dengan orang tua subjek, yang secara jujur menyatakan tidak malu dengan kekhususan yang dimiliki anak. Pernyataan tersebut berbeda dengan hasil penelitian Harborne dkk (2004) yang justru menyatakan adanya perasaan-perasaan negatif pada orang tua yang memiliki anak dengan gejala Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Kearney (2003) dalam penelitiannya menyatakan bahwa orang tua yang memberikan struktur pengasuhan, umpan balik, konsisten dan menepati kedisiplinan dalam menghadapi perilaku-perilaku yang buruk dari anak, akan mampu mencapai bentuk kontrol yang baik terhadap segala perilaku anak. Hal ini terbukti dari pernyataan seluruh orang tua subjek, yang mengakui bahwa subjek tidak dapat diberi perlakuan keras. Bahkan Harborne dkk (2004) dalam penelitiannya menyatakan bahwa salah satu penyebab anak memiliki kecenderungan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) berasal dari kepengasuhan yang buruk.

(25)

keluarga yang berbeda adalah disebabkan oleh variasi-variasi struktur keluarga, seperti tidak adanya ayah dalam suatu keluarga (Santrock, 2002). Struktur keluarga seperti ini hanyalah satu dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan dan penyesuaian anak-anak dalam keluarga dengan orang tua tunggal. Menjadi anak yatim tidaklah mudah, namun ada beberapa faktor yang mempengaruhi anak-anak menikmati kehidupan hanya dengan satu orang tua, antara lain : semakin banyak meluangkan waktu dengan anak, mempunyai kesempatan bermain dengan anak, lebih memperhatikan anak, dan juga menjadi lebih disiplin (Hurlock, 1978).

Berbeda dengan subjek sebelumnya, salah satu subjek memiliki latar belakang sebagai anak tunggal, dengan komposisi orang tua yang masih lengkap. Kedua orang tua subjek menganggap subjek sebagai anak yang manja, dan sebenarnya pemalu. Santrock (2002) dalam bukunya menjelaskan, konsepsi yang populer pada anak tunggal merupakan “anak nakal yang manja” dengan karakteristik yang tidak diinginkan seperti sangat tergantung, kurang kendali diri dan memiliki perilaku yang mementingkan diri sendiri. Oleh karena itu orang tua subjek menyatakan hal inilah yang membuat anak mereka memiliki gejala Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Terkait dengan pengasuhan di

rumah, subjek ini juga mengalami pengasuhan yang kurang tepat. Hal itu diakui oleh orang tua subjek yang dalam kesehariannya terkadang masih menerapkan pola asuh yang sedikit keras terhadap anak.

(26)

meliputi menolong, berbagi, mengajarkan, bermain, serta berkelahi. Dibalik itu Shaffer (1994) menyatakan ada beberapa aspek positif dari interaksi dengan saudara kandung, yaitu : saudara kandung sebagai objek kelekatan, saudara kandung sebagai model sosial, saudara kandung sebagai guru, dan saudara kandung memberi dampak positif dalam kompetensi sosial. Perlu juga diperhatikan bahwa potensi terjadinya konflik dalam keluarga yang memiliki anak dengan gejala Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) tidak hanya terbatas pada hubungan orang tua dan anak (Barkley, 1998), namun juga dengan saudara kandung.

Terkait dengan interaksi anak berkebutuhan khusus (ABK) di sekolah, guru memiliki peran penting dalam pengasuhan di lingkungan sekolah. Sebuah penelitian bahkan menyatakan bahwa guru adalah model terpenting untuk menumbuhkan perilaku empati (Liff, 2003). Hal senada juga disampaikan oleh Kearney (2003), yang menyatakan kewajiban bagi guru untuk memberikan perhatian lebih terhadap anak dengan gejala Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Besarnya peran guru terhadap perilaku anak, sesuai dengan

hasil wawancara dan observasi di sekolah, yang telah mensosialisasikan secara luas terhadap seluruh guru, untuk memberikan perilaku yang sama kepada semua anak, baik yang normal maupun dengan kebutuhan khusus. Smith (2006) dalam bukunya menyebutkan ada beberapa cara manajemen diri (Self-Management Skill) yang dapat diberikan kepada siswa-siswa di kelas inklusi,

antara lain :

(27)

3. Pengarahan diri (Self-I nstruction)

Pengalaman pendidikan di kelas inklusi dapat menjadi suatu cara terbaik untuk hidup mandiri (Smith, 2006), dan hal ini juga telah diakui oleh salah satu orang tua siswa yang menyatakan bahwa anaknya telah mampu hidup mandiri.

Terkait dengan lingkungan sekolah, hal lain yang juga ikut berperan dalam proses interaksi pada anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah teman sebaya (peer groups). Santrock (2002) mendefinisikan teman sebaya ialah anak-anak yang tingkat usia dan kematangannya kurang lebih sama. Salah satu fungsi kelompok teman sebaya yang paling penting adalah menyediakan suatu sumber informasi dan perbandingan tentang dunia diluar keluarga, walaupun Wenar dan Kerig (2000) justru mengungkapkan bahwa status anak dengan gejala Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) di antara teman sebaya tak lepas dari

(28)

penghubung antara orang tua dan guru setiap satu minggu sekali. Adanya buku penghubung ini sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Brown (2005), yang menyebutnya sebagai kartu laporan harian yang sangat membantu. Bentuk kerjasama antara guru dan orang tua anak berkebutuhan khusus (ABK) yang lain dapat dilakukan dengan pelatihan kepengasuhan. Pelatihan ini bertujuan untuk mengubah pola pengasuhan yang sesuai dengan karakteristik anak berkebutuhan khusus (ABK), sehingga orang tua akan mendapatkan strategi dalam menghadapi anak yang berfokus pada perilaku bermasalah yang spesifik.

Kesimpulan

Sekolah inklusi merupakan sekolah yang mampu menerima keadaan siswa, baik dalam keadaan normal maupun dengan kebutuhan khusus. Melihat pada fungsinya, sekolah inklusi akan memiliki berbagai macam karakteristik siswa, termasuk berbagai macam karakteristik anak berkebutuhan khusus. Dalam proses pendidikan selanjutnya, sekolah juga perlu mengenal secara mendalam karakter anak berkebutuhan khusus, untuk meminimalisasi kesalahan judgement dalam menentukan kekhususan yang dimiliki siswa. Hal ini dilakukan karena anak akan mengalami proses interaksi dalam waktu lama di sekolah, bahkan secara umum, seorang anak juga akan mengalami proses sosialisasi dengan lingkungan sepanjang kehidupannya.

Saran

1. Saran untuk guru dan sekolah inklusi

(29)

khusus yang dikeluarkan secara profesional oleh seorang ahli, terutama pada anak yang memiliki kebutuhan khusus. Selain itu, hendaknya sekolah memiliki konselor/ terapis tetap yang khusus mengamati perilaku anak. Peran konselor/ terapis sangat penting karena dapat memantau setiap perubahan perilaku anak, terutama yang terkait dengan masalah psikologis anak. Konselor atau terapis yang bergabung hendaknya juga dapat menerima konsultasi khusus dengan orang tua murid agar kelak setiap perkembangan anak mampu teramati, baik dari pihak keluarga maupun pihak sekolah. Akan lebih baik jika sekolah memiliki guru khusus dan shadow teacher yang menangani anak berkebutuhan khusus (ABK), dengan latar belakang psikologi atau pendidikan luar biasa, atau paling tidak telah melaksanakan pendidikan infomal terkait dengan penanganan anak-anak berkebutuhan khusus.

2. Saran untuk orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK)

Saran untuk orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK) hendaknya tidak berkecil hati menerima keadaan anak. Berdasarkan pengalaman responden, akan lebih baik jika orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK) mampu menerima keadaan anak secara terbuka, merespon anak dengan positif, tidak memperlakukan anak dengan cara keras, dan tetap memberikan pengasuhan yang tidak membatasi ruang gerak anak namun juga tidak memberi keleluasaan yang berlebihan.

(30)

3. Saran untuk penelitian selanjutnya

(31)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, M. Dr. 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta : PT. Rineka Cipta

Barkley, Russel A. 1998. Attention Deficit Hyperactivity Disorder : a Handbook for Diagnosis and Treatment. New York : The Guilford Press

Berns, R. M. 2003. Child-Family-School-Community. Socialization and Support. 6 Edition. California : Thomson Wadsworth

Brown, Thomas E. 2005. Attention Deficit Disorder. USA : Yale University Press

Cunningham, C. E., Boyle, M. H. 2002. Preschoolers at Risk for Attention Deficit Hyperactivity Disorder and Oppositional Defiant Disorder : Family, Parenting, and Behavioral Correlates. Journal of Abnormal Child Psychology, Vol. 30 (6) : 555-568

DuPaul, G., Stoner, G. 1994. ADHD I n The Schools. New York : The Guilford Press

Dupriez, V., Dumay, X. 2006. I nequalities in School Systems : Effect of School Structure or of Society Structure? Routledge. Vol. 42 (2) : 243-260

Edwards, C. Drew. 2006. Ketika Anak Sulit Diatur : Panduan Bagi Para Orang Tua untuk Mengubah Masalah Perilaku Anak. Bandung : Kaifa

Elliot, Kratochwill, Littlefield Cook, Travers. 2000. Education Psychology. USA : McGraw-Hill Companies

Harborne, Alexandra, Wolpert, Miranda dan Clare, Linda. 2004. Making Sense of ADHD : a Battle for Understanding? Parent’s Views of their Children Being Diagnosed with ADHD. Sage Publication, Vol. 9 (3) : 327-339

Hurlock, Elizabeth B. 1978. Child Development. Singapore : McGraw-Hill I nternational Editions

(32)

Liff, Suzanne B. 2003. Social and Emotional I ntelligence : Applications for Developmental Education. Journal of Developmental Education. EBSCO Publishing

Meyer, R., G. 2003. Case Studies in Abnormal Behavior. USA : Allyn and Bacon

Miller-Johnson, S., Coie, J., Maumary-Gremaud, A., Bierman, K., & The Conduct Problems Prevention Research Group. 2002. Peer Rejection and Aggression and Early Starter Models of Conduct Disorder. Journal of Abnormal Child Psychology, Vol. 3 (3) : 217-230

Moleong, L. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Cetakan 17. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Poerwandari. 2001. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas I ndonesia

Santrock, John W. 2002. Life-Span Development : Perkembangan Masa Hidup Jilid 1. Jakarta : Penerbit Erlangga

Shaffer, David R. 1994. Social and Personality Development. California : Brooks/ Cole Publishing Company

Smith, J. D. 2006. I nklusi : Sekolah Ramah Untuk Semua. Bandung : Penerbit Nuansa

Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Penerbit CV. Alfabeta

Suyanto. 2005. Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta : Hikayat Publishing

Waschbusch, D., Pelham Jr. W., Jennings, R., Greiner, A., Tarter, R., Moss, H. 2002. Reactive Aggression in Boys with Disruptive Behavior Disorder : Behavior, Physiology, & Affect. Journal of Abnormal Child Psychology, Vol. 30 (6) : 641-656

(33)

Sumber dari internet :

2001. I ntegration Of Children With Pervasive Developmental Disorder I nto The Preschool Classroom. http:/ / www.jaynagirl.cwd-cragin.com, 17/ 09/ 06

Roswita, Yang. 2006. Kembangkan Kepiawaian Anak Bersosialisasi. http:/ /www.cbn.net.id. 17/ 09/ 06

Sumber dari koran :

2004. “Penanganan Autis Harus Lintas Disiplin” dalam Kedaulatan Rakyat, 12 Desember 2004

Gambar

Tabel 4
Tabel 5 Checklist karakter Gangguan Emosi

Referensi

Dokumen terkait

Anak dengan kesulitan belajar adalah individu yang memiliki gangguan pada. satu atau lebih kemampuan dasar psikologis yang mencakup

"Anak yang menyimpang dari rata-rata anak normal dalam hal; ciri-ciri mental, kemampuan-kemampuan sensorik, fisik dan neuromaskular, perilaku sosial dan emosional,

pendidikan inklusi, memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan

pendidikan inklusi, memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan

khusus dengan anak-anak normal pada umumnya untuk belajar. Oleh sebab itu inti dari pendidikan inklusi adalah hak azasi manusia atas pendidikan. Suatu konsekuensi logis dari

Perkembangan interaksi sosial anak mulai terlihat secara signifikan pada saat anak bersekolah di sekolah inklusi dan belajar bersama dengan anak-anak lain yang tidak

Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami keterbatasan atau hambatan, baik fisik, mental-intelektual, sosial, maupun emosional, seperti : anakautis, tunarungu,

Anak-anak dengan gangguan penglihatan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas- tugas visual, tetapi mereka dapat belajar melalui indra visual dengan menggunakan berbagai teknologi