• Tidak ada hasil yang ditemukan

80519875 Dinamika Politik Islam Di Indon

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "80519875 Dinamika Politik Islam Di Indon"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

D INA M IKA PO LITIK ISLA M

D I IND O NESIA

Dari Masa Ode Baru Sampai Masa Reformasi

Dr. Sukamto

EN LI GH T EN M EN T

(2)

ENLIGHTENMENT

Merupakan sebuah kelompok belajar komunitas muda Kristen yang bersifat independen. ENLIGHTENMENT diharapkan dapat menjadi sebuah lembaga pengkajian teologi kontekstual untuk memfasilitasi orang-orang percaya dalam mengekspresikan nilai dan imannya di tengah-tengah berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat; sekaligus berfungsi sebagai wadah untuk pengembangan daya nalar dan wawasan para calon pemimpin Kristen.

Dr. Sukamto dosen Dinamika Politik Islam di Indonesia dan Sejarah Perjumpaan Islam Kristen pada Institut Teologi Indonesia (INTI) Bandung. Alamat kontak: trahutama@yahoo.com atau

(3)

D INA M IKA PO LITIK ISLA M

D I IND O NESIA :

Dari Masa Ode Baru Sampai Masa Reformasi

Dr. Sukamto

EN LI GH T EN M EN T

(4)

DINAMIKA POLITIK ISLAM DI INDONESIA DARI

MASA ORDE BARU SAMPAI

REFORMASI

1. Pendahuluan

Ulama besar K. H. Abdul Wahab Chasbullah mengatakan bahwa: “If someone is able to separate sugar from its sweetness, he will

be able to separate Islamic religion from politics” (Samson

1978:213). Dalam teologi Islam agama dan politik tidak dapat dipisahkan, karena menurut pemahaman Islam, Kitab Suci al-Qur’an memperlakukan kehidupan manusia sebagai suatu keseluruhan yang organik. Artinya, semua bidang kehidupan manusia harus dibimbing oleh petunjuk-petunjuk yang bersumber dari al-Qur’an (Ma’arif 1985:11), termasuk di dalamnya adalah kehidupan politik. Karena itu kiranya tidak dibesar-besarkan untuk mengatakan bahwa perkembangan politik di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perjuangan politik Islam di Indonesia. Membahas dinamika politik di Indonesia hampir sama artinya membahas dinamika politik Islam di Indonesia.

(5)

berjudul “Faith as the Outsider: Islam in Indonesian Politics”1 hal yang sama diungkapkan oleh Wertheim bahwa kaum Muslim di Indonesia sebagai kaum “majority with a minority mentality”.2 Namun, berkat perjuangan yang tidak pernah mengenal lelah label yang diberikan Samson dan Wertheim tersebut sejak awal tahun 1990-an perlahan-lahan gugur dengan sendirinya. Politik Islam di Indonesia hampir mendekati ke arah cita-cita yang diharapkan, cita-cita yang diimpikan. Hampir setiap sudut panggung kekuasaan politik di Indonesia sudah ada di dalam genggamannya. Tentu penulis sebagai seorang non-Muslim sangat memberikan apresiasi atas keberhasilan yang dicapai oleh teman-teman dari Muslim. Tulisan ini merupakan wujud apresiasi penulis terhadap keberhasilan tersebut, sekaligus sebagai ungkapan rasa kagum atas perjuangan, pergumulan yang dilakukan tanpa mengenal lelah.

Mengingat begitu luasnya topik yang berkaitan dengan politik Islam di Indonesia maka tulisan ini hanya membahas perkembangan secara singkat politik Islam di Indonesia dari masa Orde Baru sampai masa Post Suharto. Perkembangan politik Islam masa pra-kemerdekaan sampai Orde Lama akan dibahas secara singkat sebagai latar belakang untuk memahami perkembangan politik Islam pada masa Orde Baru sampai masa Post Suharto. Uraian tulisan ini dibagi ke dalam lima bagian. Bagian pertama, membahas dinamika politik Islam pada masa pra-kemerdekaan, kedua dinamika politik Islam pada masa kemerdekaan sampai Orde Lama, ketiga dinamika politik Islam masa awal Orde Baru sampai akhir tahun 1980-an, keempat

1

Artikel ini diterbitkan dalam sebuah buku yang diedit oleh James P. Piscatori (ed.), Islam in the Political Process, (New York: Cambridge University Press, 1983).

2

Lihat W. F. Wertheim, “Indonesian Moslems under Sukarno and Suharto: Majority with Minority Mentality”, dalam B.B. Hering (ed.),

Studies on Indonesia Islam, ed. B.B. Hering, (Townsville: Occasional

(6)

dinamika politik Islam masa akhir 1980-an sampai tahun 1998, dan kelima dinamika politik Islam pada masa post Suharto.

2. Masa Pra-Kemerdekaan

Banyak teori yang diajukan berkaitan dengan waktu datangnya Islam ke nusantara. Seminar sejarah masuknya Islam ke Indonesia yang diadakan di Medan pada tahun 1963 menyimpulkan bahwa Islam pertama kali masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah (abad ke 7/8 M) (Sjamsudduha 1987:22). Namun rumusan ini masih merupakan hipotesa sejarah belaka, karena tidak ada bukti kuat yang mendukungnya.3

Terlepas dari perdebatan tentang awal mula Islam masuk ke Indonesia, Islamisasi di nusantara sudah mulai terjadi sejak abad ke 13. Penyebaran Islam di nusantara menurut Ricklefs berlangsung dalam dua proses:

Pertama, penduduk pribumi berhubungan dengan agama Islam dan kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing Asia (Arab, India, Cina, dll.) yang telah memeluk agama Islam bertempat tinggal secara permanen di suatu wilayah Indonesia,

3

Mengenai karangan-karangan yang membahas teori-teori tentang kedatangan Islam di Indonesia lihat G. W. J. Drewes, “New Light on the Coming of Islam to Indonesia?” BKI 124 (1968):433-459; Ibrahim Buchari, Sejarah Masuknya Islam dan Proses Islamisasi di

Indonesia, (Jakarta: Publicita, 1971); Risalah Seminar Masuknya Islam ke Indonesia, (Medan: Panitia Seminar, 1963). Mengenai kedatangan

Islam di Jawa lihat M. C. Ricklefs, “Six Centuries of Islamization in Java,” dalam Conversion to Islam, Nehemia Levtzion, ed., (New York: Holmes & Meier Publishers, inc, 1979):100-128; Azyumardi Azra,

Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia, (Jakarta: Kencana,

(7)

melakukan perkawinan campuran, dan mengikuti gaya hidup lokal sampai sedemikian rupa, sehingga sebenarnya mereka itu sudah menjadi orang Jawa atau Melayu atau anggota suku lainnya (1994:3).

Dengan penguasaan cabang-cabang perdagangan India dan Cina, Islam terus menyebar melalui pos-pos perdagangan di nusantara dari abad ke-13 sampai abad ke-17. Perkembangan Islam di Jawa juga dipengaruhi oleh perubahan situasi di pesisir utara Jawa pada abad ke 14. Perkembangan pelabuhan dagang di pesisir Jawa menyebabkan masyarakat pesisir lebih banyak berhubungan dengan saudagar-saudagar Islam dari Melayu, Arab, Gujarat dan Persia. Mereka (orang-orang Arab, India, Cina) mulai menetap di kota-kota dekat pelabuhan di Jawa. Melalui hubungan dagang, orang Jawa pesisir lebih banyak mempunyai akses terhadap pengetahuan Islam, sehingga tidak mengherankan kalau masyarakat Jawa pesisir sudah menjadi Islam sekurang-kurangnya pada akhir abad ke-15. Pendapat ini cukup berasalan karena selama pertengahan pertama abad ke-16 banyak para adipati di pesisir utara Jawa –Banten, Cirebon, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Surabaya- memeluk Islam dan melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit (Jay 1971:145; Geertz 1982:33). Sehingga Geertz menggambarkan kerajaan Majapahit pada masa itu sebagai berikut: “. . . pada akhirnya (Majapahit) hanya merupakan sebuah keraton tanpa daerah, sebuah rumah upacara keagamaan yang kosong yang tidak lama kemudian ambruk sama sekali” (1982:33).

(8)

Melalui kekuasaan Demak inilah Islam berkembang baik ke wilayah Barat maupun ke wilayah Timur. Pada masa kekuasaan Demak terbentuk pola hubungan antara institusi agama dengan negara seperti yang pernah terjadi hubungan kekristenan dengan negara di Eropa. Misalnya, Ambrosius berkeyakinan bahwa kaisar dan pemerintah adalah prajurit Allah, pemerintah harus mendukung gereja (End 1988:84).4 Di sisi lain sesudah kekaisaran Romawi runtuh maka raja-raja baru (Jerman, Perancis, Inggris) merasa berkuasa atas gereja dan merekalah yang mengangkat para uskup-uskup (End 1988:125).

Meskipun tidak sama persis, pola hubungan agama dan negara seperti tersebut di atas juga bisa ditemui di Kerajaan Islam Demak. Imam Masjid Demak yang pertama Pangeran Bonang diangkat oleh Pangeran Ratu di Demak (Graaf dan Pigeaud 2003:54), demikian juga berlaku bagi imam-imam berikutnya (Makdum Sampang, Kiai Pambayun, Pengulu Rahmatullah) sampai imam yang keempat yaitu Sunan Kudus. Artinya kedudukan para imam-imam pada waktu itu amat tergantung pada raja-raja Demak, sebagai pelindung mereka (Graaf dan Pigeaud 2003:57). Di sisi lain untuk mengukuhkan kehormatan sekaligus kekuasaan maka pemimpin agama juga menganugerahkan gelar bagi raja dengan nama Sultan Ahmad Abdu’l-Arifin, sebuah pengungkapan betapa tinggi nilainya gelar Islam tersebut (Graaf dan Pigeaud 2003:57). Dalam tradisi politik Islam, raja (penguasa) merupakan seorang “defender of faith” (Jay 1971:146).

Setelah kematian Sultan Trenggono terjadi permusuhan di antara keluarga Istana yaitu antara Arya Penangsang dan Adiwijaya (Jaka Tingkir). Arya Penangsang berasal dari Jipang (terletak di pertemuan antara Demak dengan Pati) dan Adiwijaya berasal dari Pajang (terletak di Sukoharjo) (Marijan 1998). Permusuhan

4

(9)

ini akhirnya dimenangkan oleh Pajang. Adiwijaya kemudian memindahkan ibukota kerajaan dari Demak ke wilayah pedalaman Jawa. Kerajaan Pajang ini menjadi akar dari kerajaan “Islam” Mataram.

Pada waktu bangsa kolonial —pembawa Agama Katolik dan Kristen— masuk ke nusantara, Islam sudah menyebar di beberapa wilayah di Indonesia. Kehadiran bangsa kolonial menjadikan Islam menjadi lebih penting dalam arti politik dari pada dalam arti religius yaitu menjadi titik pusat identitas untuk melawan penguasa Kristen dan asing (Benda 1980:30). Kontak antara orang Islam Indonesia dengan Timur Tengah pada akhir abad ke-19 juga telah mendorong timbulnya organisasi di kalangan Islam baik yang bersifat keagamaan (Muhammadiyah, Persatuan Islam) maupun yang bersifat ekonomi dan politik (Syari’at Islam) pada aras urban.

Pada akhir penjajahan Jepang tahun 1945 Jawa sudah menjadi Islam yang semakin dekat dengan cita-cita peradaban santri. Hal ini disebabkan oleh kebijakan-kebijakan Jepang terhadap Islam yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan kemajuan Islam terutama menjelang kemerdekaan Indonesia. Kebijakan-kebijakan tersebut adalah: pembentukan Kantor Urusan Agama (Shumubu); Madjlis Sjuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan dibentuknya Hizbullah (Tentara Allah atau Golongan Allah). Artinya menjelang kemerdekaan Indonesia kekuatan Politik Islam sudah cukup menguat. Hal ini tampak pada cita-cita para tokoh Islam untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara yang diperjuangkan pada perumusan dasar negara Indonesia sebelum dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

3. Masa Kemerdekaan Sampai Orde Lama

(10)

kelompok Islam, Islam netral5 sering disebut dengan kelompok nasionalis, komunis, dan Kristen. Masing-masing kelompok ini mengusung ideologinya sendiri-sendiri. Namun dalam perjuangan ideologi negara, faksi-faksi ini bisa disederhanakan menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang menginginkan Indonesia berdasarkan agama yaitu Islam dan kelompok yang menginginkan Indonesia berdasarkan ideologi non-agama yaitu kelompok nasionalis.

Perbedaan dua kelompok tentang dasar negara tampak ketika bunyi sila pertama dari Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” dipersoalkan oleh kelompok Islam. Menurut kelompok Islam pencantuman sila pertama tidaklah jelas, maka perlu ditambah dengan kata-kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tentu tambahan tujuh kata ini kemudian menimbulkan perdebatan yang alot antara kelompok nasionalis dengan kelompok Islam. Untuk memecahkan ketegangan tersebut maka dibentuk panitia 96 (Maarif 1985:107; Boland 1985:27; Anshari 1997:28). Melalui pergumulan yang sulit pada tanggal 22 Juni 1945 dicapai satu modus vivendi dengan merumuskan suatu gentle agreement tentang Pembukaan Undang-undang Dasar yang oleh Yamin dokumen ini dinamakan Piagam Jakarta – The Jakarta Charter (Maarif 1985:107; Boland 1985:27; Anshari 1997:27-43). Ini berarti cita-cita kelompok Islam sampai pada detik ini terakomodasi dan bisa dianggap sebagai kemenangan kelompok Islam.

5

Kelompok Islam yang tidak memperjuangkan Islam sebagai dasar negara.

6

(11)

Kemenangan kelompok Islam ini berubah ketika pada tanggal 18 Agustus 1945 tepat sehari setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan-nya atas keberatan dari kelompok nasionalis dan orang Kristen dari Indonesia bagian Timur tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut dihapus dari naskah pembukaan UUD 1945.7

Tentu dengan terjadinya peristiwa tersebut menjadikan sejumlah kelompok Islam merasa dikhianati. Sebagaimana diungkapkan oleh Anshari:

Segera setelah para nasionalis yang Islami mengetahui bahwa, Indonesia merdeka, yang turut mereka perjuangkan, bahkan berdasarkan Piagam Jakarta pun tidak, maka “the majority of

the muslim population felt disappointed”

(1997:57).

Kekalahan ini oleh generasi Islam berikutnya dipandang sebagai kekalahan dan kelemahan politik wakil-wakil umat Islam (Maarif 1985:109; Latif 2005:342-345). Natsir melihat keberatan orang Kristen dari Indonesia Timur tersebut disebut sebagai ultimatum. Menurut Natsir peristiwa itu tidak boleh dilupakan (Husaini 2002:59). Bentuk kekecewaan umat Islam pada keputusan tersebut muncul ke permukaan dalam bentuk pemberontakan di beberapa daerah dengan tujuan mendirikan negara Islam. Misalnya, di Jawa Barat Kartosuwirjo pada tanggal 7 Agustus 1949 memproklamasikan Negara Islam Indonesia. Kahar Muzakar mengadakan pemberontakan di Sulawesi Selatan pada tahun 1952 dan Daud Beure’eh memproklamasikan Negara Islam di Aceh sebagai bagaian dari Negara Islam Indonesia yang diproklamasikan oleh Kartosuwirjo. Namun pemberontakan-pemberontakan ini justru melemahkan perjuangan politik Islam

7

Uraian lengkap peristiwa yang membahas peristiwa ini bisa dibaca dalam Mohammad Hatta, Memoir, (Jakarta: Tintamas, 1978):454-457 dan Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni

(12)

pada masa Orde Baru. Karena berbagai pemberontakan tersebut menjadikan Orde Baru selalu curiga terhadap Islam politik.

Pada masa Pemilu 1955 jika dilihat dari perjuangan dasar negara maka dari semua partai yang mengikuti Pemilu bisa dibagi dalam tiga kubu yaitu: kubu Islam, Nasionalis, dan Sosial-ekonomi. Pada masa ini lagi-lagi sebagian kubu Islam yang menginginkan Indonesia berdasarkan Syariat Islam mengalami kekecewaan. Hal ini disebabkan dalam Pemilu 1955 tidak ada satupun di antara aliran-aliran pokok dalam masyarakat Indonesia yang tampil sebagai pemenang. Sehingga dalam konstituante tidak ada mayoritas tunggal.

Partai-partai Islam atau blok Islam yang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara yaitu Masjumi, NU, PSII, Perti, AKUI, PPTI, Gerakan Pilihan Sunda, L.M.Idrus Effendi meraih 230 kursi. Mereka harus berhadapan dengan Blok nasionalis yang memperjuangkan Pancasila sebagai dasar negara yaitu PNI, PKI, Parkindo, Partai Katolik, PSI, IPKI, PRN, dll., meraih 274 kursi, dan blok sosial-ekonomi memperoleh kursi 10.8 Dengan perolehan kursi sebanyak 230 maka harapan blok Islam untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara menjadi semakin tidak realis. Hal ini terbukti ketika Konstituante yang sudah terbentuk memulai sidangnya pada tanggal 10 November 1956 di Bandung tidak bisa mencapai kata sepakat tentang masalah rumusan dasar negara yaitu, Negara Pancasila atau Negara Islam (Maarif 1984:75; Boland 1985:85; Anshari 1997:65-107). Melihat kebuntuan ini, melalui dekrit tanggal 5 Juli 1959 Presiden Sukarno menyatakan kembali ke UUD 1945 dan setelah ini Indonesia memasuki masa pemerintahan Demokrasi Terpimpin (Maarif 1984:75; Anshari 1997:109-115). Meskipun begitu perjuangan menjadikan Islam sebagai dasar negara RI tidak

8

Pembagian blok berdasarkan pembagian yang dibuat oleh Adnan Buyung Nasution dalam The Aspiration for Constitutional

(13)

berarti sudah berakhir. Karena dalam setiap tahapan sejarah RI selalu ada kelompok Islam yang berjuang untuk cita-cita tersebut.

4. Masa Awal Orde Baru sampai Akhir 1980-an

Harapan umat Islam untuk bisa ambil banyak bagian dalam politik di Indonesia setelah ikut membantu menumpas pengikut PKI pada awal pemerintahan Orde Baru tidak terwujud. Menurut Facry Ali, hal ini disebabkan oleh warisan kesalahpamahan dari pemerintah kolonial yang menganggap Islam sebagai sumber pemberontakan dan munculnya berbagai pemberontakan kelompok Islam seperti DI/TII (Nasution, Mindayun, Gesuri 1990:37), pemerintah Orde Baru cenderung fobi terhadap gerakan politik umat Islam. Hubungan Islam dengan negara pada masa ini (1967-1982) oleh Bakir disebut dengan periode antagonistik. Pada masa ini negara diselimuti mitos pembangkangan umat Islam dan Islam sendiri masih kental dengan corak politik ideologisnya (1996:108).

Islamic fobia dikalangan pemerintah baru ini diduga oleh

beberapa tokoh Islam juga disebabkan oleh kuatnya pengaruh CSIS bagi kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap Islam. Sebagaimana disinyalir oleh beberapa tokoh Islam, menguatnya militansi politik Islam pasca G-30-S PKI 1965 telah mampu menyatukan gerakan politik Ali Moertopo dengan elit Katolik-Cina seperti Harry Tjan Silalahi; Sofyan Wanandi dan Jusuf Wanandi.9 Pada tahun 1971 mereka mendirikan sebuah lembaga think-thank yang diberi nama CSIS (Center for Strategic and International Studies) (Anderson 2000:250). CSIS menurut tokoh Islam mempunyai pengaruh besar terhadap pemerintahan Suharto lebih dari 15 tahun, dan mampu menciptakan atmosphere bahwa musuh besar pemerintah adalah Islam

9

(14)

(Suhadi 2002). Sehingga Effendy berpendapat bahwa, “Faktor Kristen dalam politik Indonesia muncul secara agak mencolok pada dua puluh tahun pertama kekuasaan Orde Baru” (1999:138-139).

Fusi partai-partai Islam ke dalam PPP pada tahun 1973 juga dianggap sebagai penciutan kekuatan Islam dalam bidang politik.10 Bisa dikatakan bahwa pada awal kekuasaan Suharto yang mendapat posisi penting adalah orang-orang Islam dari kubu sekuler dan kalangan Kristen. Sebagaimana politik Belanda yang lebih memberi kesempatan kepada aristokrat Jawa untuk menduduki posisi-posisi penting di birokrasi, pemerintah Orde Baru juga melakukan hal yang sama. Sehingga pada awal Orde Baru Kebatinan justru memperoleh kemajuan dengan kepemimpinan militer yang berlatar Jawa abangan. Seperti yang dinyatakan oleh Indonesianis Wertheim bahwa:

After General Suharto seized power, it became increasingly clear that he wanted to keep the stricker Muslims in check. Within the Army leadership, the Javanese abangan element is strongly predominant, even so more so than in the Sukarno period (1974:93).

Umat Islam yang sudah terpinggirkan dalam panggung politik ini menjadi semakin kecewa ketika MPR yang terbentuk dari hasil Pemilu 1971 pada tahun 1973 berdasarkan GBHN Tap. MPR RI No IV/MPR/1973/22 Maret, menetapkan kebatinan mendapat pengesahan secara hukum dan disejajarkan dengan

10

(15)

agama lainnya (Subagya 1989:124), sehingga Hefner melihat hal ini sebagai perlawanan MPR terhadap Islam terorganisir (2001:150). Sampai tahun 1973 proses abangisasi pada birokrasi kekuasaan baik pada sipil maupun militer boleh dikatakan cukup berhasil. Salah satu tujuan abangisasi ini adalah untuk mengimbangi kekuatan politik Islam. Kekuatan politik Islam oleh ORBA dipandang sebagai ancaman kedua yang patut diperhitungkan setelah Partai Komunis Indonesia (PKI).

Perubahan posisi Politik Islam di Indonesia mulai terjadi pada akhir tahun 1970-an. Hal ini disebabkan oleh kebangkitan secara menyeluruh (holistic revival) yang terjadi di kalangan Islam pada akhir 1970-an. Seperti bagian-bagian dunia Islam lainnya, Indonesia mengalami kebangkitan Islam pada akhir tahun 1970-an. Kebangkitan ini bukan hanya terjadi ditingkat urban tetapi juga di daerah-daerah yang dulunya merupakan kantong kejawen.11 Hefner menyatakan:

. . . para antropolog dan wartawan melaporkan bahwa Islam normatif membuat kemajuan besar di daerah-daerah yang pernah menjadi basis nasionalisme sekuler, sementara kejawen mengalami penurunan (2001:156 bnd. Kim 1998, Pranowo 1993).

11

(16)

Daerah-daerah yang dulunya mengalami konversi ke Hindu dan Kristen pada masa 1990-an mulai banyak yang kembali ke Islam.12

Di tingkat kelas menengah Islam juga berkembang sangat signifikan. Pada tahun-tahun 1950-an dan awal 1960-an universitas-universitas negeri di Indonesia menjadi benteng kelompok nasionalisme sekuler, sedangkan komunitas santri adalah faksi yang lemah di organisasi-organisasi mahasiswa (Hefner 2001:218). Bahkan Nurcholish Madjid mengatakan bahwa “Pada tahun 1950-an kalau ada mahasiswa sholat ia diejek teman-temannya . . . (Nasution, dkk., 1990:35). Akan tetapi, hal ini menjadi berbeda ketika pada akhir tahun 1970-an berkembang dengan cepat sebuah gerakan ibadah kampus yang diberi nama Gerakan Salman (Hefner 2001:218). Gerakan ini mulanya dikembangkan di Masjid Salman Institut Teknologi Bandung (ITB). Kemudian pada awal tahun 1980-an gerakan ini telah menjadi ciri kehidupan kampus hampir di setiap universitas di Indonesia (Hefner 2001:219) misalnya: Institute Pertanian Bogor (IPB) dengan Al-Ghifari; Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan Shalahuddin-nya (Marijan 1998). Gerakan ini membangkitkan kesadaran Islam di tengah-tengah lingkungan anak-anak muda khususnya mahasiswa dan di lingkungan menengah kota (Howell 2001:710).

Di sisi lain menurut Nurcholish Madjid sejak awal 1980-an telah terjadi ledakan intelektual Islam yang disebabkan sejak tahun 1950 yaitu sejak dimasukkan kurikulum agama dalam sekolah umum banyak kalangan santri yang memasukkan sekolah anak-anaknya ke sekolah umum, sehingga pada tahun 1962 atau 1963 banyak terjadi lonjakan jumlah santri yang masuk universitas. Maka setelah enam atau tujuh tahun kemudian, mereka menjadi boom sarjana Islam yang pertama (Nasution, dkk., 1990:35). Demikian juga Dawam Rahardjo mengatakan bahwa pada tahun 1980-an bermunculan penyandang Ph.D., seperti Amien Rais,

12

(17)

Kuntowijoyo, Yahya Muhaimin, dimana komitmen mereka terhadap Islam sangat kuat (Nasution, dkk., 1990:35). Berkat pendidikan modern yang mereka peroleh, mereka mampu mengembangkan kecakapan baik intelektual maupun profesional mereka. Hal ini melahirkan suatu proses yang disebut

embourgeisement atau priyayisasi kaum santri (Anwar 1994:33).

Pada tahun 1980-an para lulusan ini menduduki jabatan menengah di birokrasi, mereka melakukan perubahan dari dalam, sehingga mendorong terjadinya Islamisasi di kalangan para birokrat (Anwar 1994:33). Gelombang umat Islam yang belajar keluar negeri menurut Marwah Daud Ibrahim telah mengubah image Islam. Islam itu universal, sangat terbuka, kosmopolit bukan image seperti Islam itu sarungan, Islam itu fanatik (Nasution, dkk., 1990:31). Seperti yang dikatakan oleh Anwar:

Bertahap namun pasti, predikat atau olok-olok yang ditujukan kepada kalangan santri sebagai “kaum sarungan”, atau tesis Wertheim yang pernah mengemukakan bahwa kaum muslimin Indonesia tidak lebih dari majority with a

minority complex gugur dengan sendirinya

(1994:33).

Demikian juga hasil observasi Schwarz menyatakan bahwa “No

longer is Islam seen as the opiate of the unducated and economically deprived” (1994:74).13

Kebangkitan Islam pada bagian akhir tahun 70-an dan 80-an tersebut berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah14 yang cenderung mengakomodasi aspirasi umat Islam. Hal yang

13

Lihat Howard M. Federspiel, “Muslim Intellectuals and Indonesia’s National Development,” Asian Survey XXXI:3 (March 1991):232-246; R. Murray Thomas, “The Islamic Revival and Indonesian Education,” Asian Survey XXVIII:9 (September 1988):897-914.

14

(18)

sebelumnya sangat jarang terjadi. Ini merupakan sebuah tanda bahwa kekuatan politik Islam sudah mulai tampak dalam birokrasi pemerintahan sejak tahun 1980-an.

5. Akhir 1980-an sampai 1998

Jika pada tahun 1970-an Suharto sangat berhati-hati terhadap Islam, namun pada akhir 1980-an Suharto dengan para pembantunya mulai merangkul kalangan Muslim dan meninggalkan mereka yang non-Muslim dan abangan. Hal ini disebabkan dukungan dari pihak militer untuk mengokohkan kekuasaannya sudah mulai melemah (ICG 2001:12; Ramage 2002:139). Seperti yang diamati oleh Bruinessen bahwa sejak 1987 Soeharto terlibat konflik terbuka dengan sang Jenderal Beny Moerdani seorang tokoh militer Katolik yang sangat berpengaruh (1999:311). Pada awal tahun 1980-an pengaruh dan peranan politik CSIS juga mulai merosot. Hal ini tampak pada Munas III Golkar tahun 1983, kelompok Tanah Abang hanya mendapat dua kursi, sedangkan Sudarmono atas rekomendasi Suharto terpilih sebagai ketua Golkar periode 1983-1988 (Suhadi 2002; Bruinessen 2002). Di bawah kepemimpinan Sudharmono, Golkar secara intensif melakukan pendekatan dengan Ormas-ormas Islam. Tahun-tahun setelah ini merupakan tahun-tahun rujuknya pemerintah dengan kelompok Islam, yang ditandai dengan semakin akomodatif-nya pemerintah terhadap kepentingan Islam. Sikap akomodatif pemerintah ini ditunjukkan dengan diberlakukannya dua Undang-undang pada tahun 1989 yaitu Undang-undang Peradilan Agama dan Sistem Pendidikan Nasional. Kasus Monitor juga merupakan pertanda baik hubungan Islam dengan pemerintah.

(19)

mempunyai dampak besar terhadap wacana politis maupun ideologis pada tahun 1990-an (Ramage 2002:134).15

Bulan madu Islam dengan pemerintah ini menghantarkan beberapa kebijakan pemerintah yang mengadopsi aspirasi umat Islam. Misalnya, sejak dikeluarkan SK Dirjend Dikdasmen 052/C/Kep/D/1982 siswi Muslimah dilarang memakai seragam sekolah dengan menggunakan Jilbab, namun pada tahun 1990 banyak protes dilakukan atas kebijakan tersebut, maka pada tahun 1991 jilbab diijinkan. Dalam kabinet pemerintahan yang baru, yang dibentuk setelah pemilu 1992, menteri-menteri Kristen yang sudah lama mengendalikan departemen-departemen keuangan diganti dengan menteri-menteri Muslim yang punya hubungan dengan ICMI. Pada tahun 1993 SDSB ditutup atas desakan dari Umat Islam. Demikian juga Suharto untuk meyakinkan komitmennya terhadap Islam maka pada tahun 1991 dengan keluarganya naik haji ke Mekkah.

Pada waktu krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997, akhirnya Suharto tidak bisa mempertahankan sebagai orang nomor satu di Republik Indonesia sehingga pada tanggal 21 Mei 1998 dia menyerahkan kekuasaanya pada Habibie.

6. Post Suharto

Setelah mengalami pembungkaman selama bertahun-tahun di bawah kekuasaan Suharto, politik Islam berkembang dengan begitu pesatnya pada masa post Suharto. Pada masa ini politik Islam boleh dikatakan telah mencapai titik pijak yang sangat kuat di Indonesia. Politik Islam bangkit, kebangkitan tersebut ditandai

15

Lihat pembahasan secara mendetail tentang sejarah berdirinya ICMI pada Tempo 8 Desember 1990; Robert W. Hefner, “Islam, State, and Civil Society: ICMI and The Strggle for the Indonesian Middle Class,” Indonesia 56 (October 1993):1-35. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul ICMI dan Perjuangan menuju Kelas

Menengah Indonesia, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995); Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, (Yogyakarta: ISAI,

(20)

oleh beberapa fenomena yang hampir tidak muncul ke permukaan pada masa Orde Baru yaitu:

(21)

Berdasarkan grafik di atas pada masa pasca Suharto partai Islam mendapat suara yang cukup signifikan pada pemilu 1999 memperoleh 35,5% dari total suara yang masuk dan pada pemilu 2004 memperoleh 38,35% dari total suara yang masuk. Lonjakan perolehan suara pada pemilu 2004 didapat Partai Keadilan Sejahtera, pada pemilu 1999 Partai Keadilan hanya memperoleh 1,36% suara sedangkan pada pemilu 2004

melonjak menjadi 7,34%.

Persentasi Perolehan Suara Partai Politik Islam Dari Tahun 1955-2004

43.72%

27.12%29.29%27.78%25.97%

17.01% 22.43%

35.50%38.35%

0.00% 10.00% 20.00% 30.00% 40.00% 50.00%

1955 1971 1977 1982 1987 1992 1997 1999 2004

Kedua, maraknya gerakan Islam garis keras. Masa paska runtuhnya pemerintahan Suharto mulai muncul berbagai organisasi Islam radikal. Para pemimpin Islam radikal yang sempat mengungsi ke luar negeri pada zaman Suharto, pada masa runtuhnya rezim Suharto mulai berdatangan kembali ke Indonesia. Ciri khas dari gerakan Islam radikal adalah sifat intoleransi dalam melihat the others. Kelompok ini sangat eksklusif baik dalam pergaulan sosial mereka sehari-hari maupun dalam teologi mereka. Sebagaimana diungkapkan oleh Mochtar Buchori (1986) bahwa:

(22)

fundamentaalistik-intoleran, ekstrim-intoleran, maupun militan-intoleran (dikutip oleh Fananie, Sabardila, dan Purnanto 2002:13).

Bahkan menurut Khaled Abou El Fadl seorang Profesor Hukum Islam di Fakultas Hukum UCLA, Amerika Serikat bahwa kelompok puritan ini biasanya tidak hanya puas menjalani hidup menurut tuntutan doktrin keagamaan yang mereka yakini, tetapi secara aktif juga tidak puas dengan semua alternatif jalan hidup yang lain (2003:21). Lebih lanjut El Fadl mengatakan bahwa: ”mereka tidak sekedar berupaya memberdayakan diri, tetapi juga secara agresif berusaha melemahkan, mendominasi, atau menghancurkan orang lain” (2003:21).

Kelompok Muslim radikal yang dibentuk sekitar kejatuhan Suharto misalnya Front Komunikasi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (FKASWJ) yang dikenal dengan Laskar Jihad-nya; Front Pembela Islam (FPI); Majelis Mujahidin Indonsia (MMI), Jamaah al-Ikhwan al-Muslimin Indonesia (JAMI) dan Jamaah Islamiyah (JI).16

Meskipun wilayah dan cara kerjanya berbeda namun organisasi Islam radikal mempunyai tujuan, goal yang sama yaitu mendirikan Daulah Islamiyah dan penegakkan syari’ah Islam di Indonesia khususnya dan Asia pada umumnya.

16

Fenomena gerakan Islam radikal paska runtuhnya Suharto tidak akan dibahas secara detail. Banyak buku dan artikel yang telah membahas gerakan ini. Untuk tingkat internasional misalnya: Oliver Roy, Geneaologi Islam Radikal, (Yogyakarta: Genta Press, 2005), untuk Indonesia baca Endang Turmudi, Riza Sihbudi, eds., Islam dan

Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press, 2005), Martin van

Bruinessen, ”Genealogies of Islamic Radicalism in Post-Suharto

Indonesia” dalam http://www.let.uu.nl/~martin.vanbruinessen/personal/publications/geneal

ogies_islamic_radicalism.htm, untuk tingkat lokal baca Zainuddin Fananie, Atiqa Sabardila, dan Dwi Purnanto, Radikalisme Keagamaan

& Perubahan Sosial, (Surakarta: Muhammadiyah University Press,

(23)

Ketiga, menguatnya kembali perjuangan untuk menegakkan syariat Islam di Indonesia. Pasa masa Suharto isu tentang Piagam Jakarta tabu untuk dibicarakan, namun kini perjuangan penegakkan syariat Islam mulai marak kembali. Perjuangan ini terutama dilakukan oleh kelompok Islam radikal dan cita-cita ini menjadi ciri khas perjuangan Politik Islam Post Suharto. Gerakan Islam yang memperjuangkan syariat Islam di Indonesia bertindak dalam dua pola: (1) pola kekuasaan politik yaitu dengan cara melakukan lobi-lobi kekuasaan (DPR, MPR, dan partai politik) dan (2) pola kultural menuju kekuasaan yaitu dengan cara dakwah di masyarakat dengan strategi menguasai masyarakat terlebih dahulu kemudian mengislamkan kekuasaan (Zada 2002:32).

Pada tahun 1999 dikeluarkan UU No. 44 tentang penyelenggaraan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai awal pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, kemudian disusul tuntutan penegakan syariat Islam di beberapa daerah di Indonesia misalnya Sulawesi Selatan, Riau, Banten, Cianjur, Tasikmalaya, Kebumen, Indramayu, Pamekasan, dan lain-lain.17

7. Kesimpulan

Kiprah politik Islam di panggung kekuasaan Indonesia banyak mengalami pasang surut. Masa awal Orde Baru sampai akhir tahun 1980-an bisa dikatakan bahwa politik Islam di Indonesia banyak berada di luar arena kekuasaan. Keadaan seperti Situasi ini mulai mengalami perubahan pada akhir tahun 1970-an, hal ini disebabkan oleh kebangkitan secara menyeluruh (holistic revival) yang terjadi di kalangan Islam pada akhir 1970-an. Kebangkitan Islam pada bagian akhir tahun 70-an dan 80-an tersebut berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang cenderung mengakomodasi aspirasi umat Islam.

17

Lihat Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik

(24)

Pada akhir 1980-an Suharto dengan para pembantunya mulai merangkul kalangan Muslim, puncak bulan madu antara pemerintah dengan Islam terjadi pada tahun 1990 yaitu ketika Presiden Suharto pada tanggal 6 Desember 1990 memukul bedug sebagai tanda secara resmi dibukanya Kongres Nasional I ICMI di Malang Jawa Timur. Pendirian ICMI ini mempunyai dampak besar terhadap wacana politis maupun ideologis pada tahun 1990-an. Namun bulan madu tersebut tidak berlangsung lama karena kemudian Suharto turun dari kekuasaannya.

(25)

Daftar Pustaka:

Anderson, Benedict R. O’G

2000 Kuasa-Kata: Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia. Revianto Budi Santoso, trans. Yogyakarta: Mata Bangsa. (Asli: Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia, Ithaca, New York, 1990).

Anshari, Endang Saifuddin

1997 Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949). Jakarta: Gema Insani Pers.

Benda, J.

1980 Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang. Jakarta: Pustaka Jaya. (Asli The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam Under the Japanese Occupation 1942-1945. Den Haag: van Hoeve, 1958).

Boland, B. J.

1985 Pergumulan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Grafiti Pers.

Bruinessen, Martin van

1999 Rakyat Kecil, Islam dan Politik (Bab 7: Negara Islam atau Islam Negeri? Lima Puluh Tahun Hubungan Islam-Negara di Indonesia. Yogyakarta: Bentang.

End, Van Den

1988 Harta Dalam Bejana: Sejarah Gereja Ringkas. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Fadl, Khaled Abou El

(26)

Arasy.

Fananie, Zainuddin, Atiqa Sabardila, dan Dwi Purnanto 2002 Radikalisme Keagamaan & Perubahan Sosial.

Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Feillard, Andrée

1999 NU vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna. Yoyakarta: LKiS.

Geertz, Clifford

1982 Islam yang Saya Amati: Perkembangan di Maroko dan Indonesia. Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial.

Graaf, H.J. De & Th. Pigeaud

2003 Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI. Jakarta: Grafiti dan KITLV.

Hefner, Robert W.

2001 Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia. Jakarta: ISAI.

Jay, Robert R.

1971 “History and Personal Experience Religious and Political Conflict in Java.” Dalam Religion and Change in Contemporary Asia. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Latif, Yudi

2005 Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20. Bandung: Mizan, 2005.

Maarif, Ahmad Syafii

1985 Studi tentang Percaturan dalam Konstituante: Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES.

(27)

1983 “Faith as the Outsider: Islam in Indonesia Politics.” Dalam Islam in the Political Process. J.P. Piscatori, ed. Hal. 199-225.

Pranowo, M. Bambang

1993 “Partai Politik dan Islamisasi di Pedesaan Jawa.” Dalam Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Saiful Muzani, ed. Hal. 178-195. Jakarta: LP3ES.

Ramage, Douglas E.

2002 Percaturan Politik di Indonesia: Demokrasi, Islam, dan Ideologi Toleransi. Terj. Hartono Hadikusumo. Yogyakarta: Mata Bangsa. (Asli Politics in

Indonesia: Democracy, Islam and The Ideology of Tolerance. London: Routledge, 1995).

Ricklefs, M.C.

1994 Sejarah Indonesia Modern. Terj. Dharmono

Hardjowidjono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. (Asli: 1981.)

Samson, Allan

1978 “Conception of Politics, Power, and Ideology in Contemporary Indonesian Islam.” Dalam Political Power and Communication in Indonesia. Diedit oleh Karl Jackson and Lucian Pye. Berkeley: University of California Press.

Schwarz, Adam

1994 A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990’s. Australia: Allen & Unwin.

Sjamsudduha

1987 Penyebaran dan Perkembangan Islam, Katolik, Protestan di Indonesia. Surabaya: Usaha Nasional.

(28)

1974 “Islam Before and After the Elections.” Dalam Indonesia after the 971 Ellections. Oey Hang Lee, ed. Hal. 88-96. Kuala Lumpur: Oxford University Press.

Wertheim, W. F.

1989 “Indonesian Moslems under Sukarno and Suharto: Majority with Minority Mentality.” Dalam Studies on Indonesia Islam. Diedit oleh B.B. Hering. Townsville: Occasional Paper No. 19, Center for Southeast Asian Studies, James Cook University.

Jurnal

Anwar. M. Syafi’I

1994 “Membaca Dialektika Politik Akomodasi Islam dan Negara dalam Orde Baru.” Bina Darma 12:46 (September):25-38.

Effendy, Bahtiar

1999 “Pandangan Keagamaan dan Politik Islam Terhadap Keterkaitan Antara Kolonialisme dan Kristenisasi.” Unisia 40:XXVI:IV.

Howell, Julia Day

2001 “Sufism and the Indonesian Islamic Revival.” The Journal of Asian Studies 60:3 (August):701-729.

Husaini, Adian

2002 “Syariat Islam di Indonesia: Problem Masyarakat Muslim Kontemporerl.” Tashwirul Akar 12:57-73.

Kim, Hyung Jun.

1998 “Unto You Your Religion and Unto Me My Religion: Muslim-Christian Relations in a Javanese Village's.” Sojourn 13 (1):62-85.

Internatioanal Crisis Group

(29)

Indonesia Briefing (10 October):1-18. Zada, Khamami

2002 “Wacana Syariat Islam: Menangkap Potret Gerakan Islam di Indonesia.” Tashwirul Afkar (12):27-38.

Website

Marijan, Kacung

1998 “Islamization of Java: From Hindu-Buddhist Kingdoms to New Order Indonesia.” Jurnal Studi Indonesia 8, no. 2 (Agustus). Online. Internet. (http://psi.ut.ac.id). Akses 8 Mei 2002.

Suhadi

2002 “Kontestasi Islam-Kristen Paska Institusionalisasi Agama-agama di Indonesia.” LKiS Online Edisi II. Online. Internet

http://news.lkis.org/arsip2/gagas.php. Acessed 4/29/02.

Majalah

Nasution, Amran, dkk.

(30)

Sukamto dilahirkan pada tanggal 16 Juli

1968 di sebuah desa terpencil bernama Trisobo, wilayah Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Menempuh pendidikan dasarnya di SDN Trisobo. Pendidikan menengah pertama ditempuh di SMPN Kebun Merbuh, Kendal; Kemudian melanjutkan di SMEA YPPM Boja, Kendal. Pendidikan Teologi ditempuh di STT PESAT, Salatiga (1987-1991) meraih Diploma 3 Misiologi; Institut Theologia Solo (INTHEOS) (1991-1992) meraih gelar Sarjana Theologia (S.Th.); Asian Center for Theological Studies and Mission (ACTS), Seoul Korea (1994-1996) dengan gelar Master of Divinity (M.Div.). Meraih gelar Doctor of Theology (Th.D) in Mission pada Konsorsium Program Pascasarjana Kristen (KPPK) bekerja sama dengan Fuller Theological Seminary, School of Intercultural Studies (SIS), dengan menulis disertasi

Ketegangan Yang Tiada Pernah Berakhir: Pola Hubungan yang

Mengubah dan Berubah Antara Islam dengan Kristen di Indonesia Dari Tahun 1966 sampai Tahun 2005. Menikah dengan Rinna Handajani

pada tanggal 25 Agustus 1996 dikaruniai dua orang putri bernama Adilla Charisma Sukamtoputri dan Florencia Nuhoni Trah Utami.

Mengajar di beberapa Sekolah Tinggi Teologi di Jawa Tengah (STT PESAT Salatiga; STT INTHEOS Solo; STT NUSANTARA Salatiga; STT EFATA Salatiga) dari tahun 1996-1999. Tahun 2000 hijrah ke Bandung bekerja bagi Institute for Community and Development Studies (ICDS). Tahun 2004 menjadi pengajar purna waktu di Institut Teologi Indonesia (INTI) Bandung. Sejak tahun 2006 menjabat Pembantu Rektor II.

Menulis beberapa artikel populer yang dimuat di Majalah Bahana, misalnya: Sekuler Humanisme; Pendidikan dan Kaum Miskin; Gereja

Korea Mundur di Tengah-tengah Kesuksesan; dan Ibadah dan Keadilan. Karya ilmiah diterbitkan oleh Jurnal Pelita Zaman, Jurnal

Studi Pembangunan dan Kemasyarakatan, dan Jurnal Transformasi. Menjadi co-editor dan penulis buku Misi Holistis, penulis buku

Referensi

Dokumen terkait

Supervisi klinis di SD Islam Baburrohmah dilaksanakan dengan empat tahapan, yaitu (1) tahap pertemuan awal (pre-converence) , pada pertemuan ini kepala sekolah memanfaatkan

Tabel 1. Hasil Penelitian Tes Bahasa.. Jurnal Edukasi Gemilang, Volume 3 No. Hal ini terlihat ada beberapa siswa yang berani mengemukakan pendapat. Ini merupakan kemajuan

Analisis Ija>rah dan Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 2 Tahun 2012 Terhadap Pemilik Kartu Parkir Berlangganan Yang Masih Ditarik Biaya di Gateway Waru Sidoarjo

Untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan visualisasi (visual thinking) , guru harus terlebih dahulu memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan siswa

Kami sebagai warga negara Indonesia merasa bahwa Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1985 bertentangan dengan hak konstitusional yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara

Jika ya maka lakukan enkripsi pesan dengan kunci dimana proses enkripsi ini telah dijelaskan pada sub 3.2 kemudian hasil enkripsi tersebut disembunyikan atau disisipkan ke

Proses perhitungan studi sensitivitas parameter yang dilakukan dengan program bantu menghasilkan bahwa parameter yang paling berpengaruh adalah sudut geser tanah (φ)

Penilaian walkability index berdasarkan invetarisasi fasilitas pejalan kaki maupun berdasarkan persepsi pedestrian menunjukkan bahwa belum tersedianya infrastruktur