Teori Film dan Tirani Metode Ontologis
Mohamad Ariansah
ale_ansyah@yahoo.com
Abstrak
Fondasi ontologis yang kokoh tidak akan mematikan vitalitas dari teori film
menghadapi realita kebudayaan kontemporer, namun hal itu berperan
untuk menjadi stimulus dan kesinambungan dari setiap premis dalam
sebuah teori. Sehingga konsep dasar tersebut merupakan modal yang
sangat berharga menuju berbagai tawaran perspektif baru tentang film di
masa depan.
Kata Kunci: Pertanyaan Ontologis, Teori Film, Definisi Film
Pendahuluan
Teori film adalah sebuah wilayah konsentrasi dalam disiplin kajian sinema yang berusaha memahami film, selain pendekatan sejarah dan sosiologi film. Para teoritisi yang tertarik mendapatkan pemahaman atas film lalu berpikir, serta membuat tulisan mengenai film atau teori film. Teori‐teori yang dihasilkan umumnya menjawab pertanyaan dengan menawarkan sebuah konsep esensi dari film. Meski dalam hal ini teori film terkesan memberikan penekanan berlebihan terhadap persoalan ontologis, namun perkembangan sejarah memperlihatkan pula ketertarikan atas aspek‐aspek lain seperti; epistemologi, etika, estetika, psikologi dan sosiologi dari film. Di mana teori‐teori utama yang lahir dalam sejarah teori film memperlihatkan dengan jelas hal tersebut.
epistemologis dari teori film. Berikutnya merupakan perkembangan terkini dari teori film pasca‐1968 atau teori film kontemporer, yang berfokus pada masalah‐masalah kontekstual terkait hubungan film dengan etika, psikologi dan sosiologi.
Walaupun terdapat berbagai macam pendekatan yang berbeda terhadap film, tetapi dapat dipastikan bahwa pada umumnya selalu ditemui kecenderungan untuk melakukan klaim ontologis dalam setiap konstruksi teori film. Para teoritisi formalis mulai dari Hugo Munsterberg, Rudolp Arnheim, Bela Balazs, Vsevold Pudovkin sampai Sergei Eisenstein merumuskan bahwa film adalah seni dan harus berbeda dengan realitas. Pada sisi lainnya terdapat para pemikir realis seperti Bazin dan Siegfried Kracauer yang memandang bahwa film merupakan representasi realitas. Sementara, Christian Metz melihat film sebagai sistem tanda. Sedangkan perkembangan teori film kontemporer menawarkan beberapa varian tentang film sebagai ideologi, mimpi dan cermin. Keseluruhan model teori film tersebut pada prinsipnya memiliki agenda bersama baik secara eksplisit maupun implisit, untuk membangun sebuah definisi film. Yang biasanya diformulasikan dengan sebuah pertanyaan dasar ontologis mengenai apakah film itu sebenarnya?
Sejarah memperlihatkan bahwa pertanyaan dasar tersebut selalu menghantui setiap tahapan dalam evolusi teori film, sejak awal perkembangan sinema tahun 1895 sampai saat ini. Ketika sebuah teori film baru ditawarkan, maka model konstruksinya selalu berada dalam dilema untuk mengafirmasi atau menegasikan pertanyaan ontologis itu. Sebab bagaimana mungkin memberikan sebuah definisi tentang film, tanpa sedikitpun menghiraukan mediumnya. Masalahnya adalah perlukah menentukan sikap terkait dilema ini, atau haruskah menempuh alternatif di luar pertanyaan dasar ontologis tersebut dalam teori film?
Teori Film Klasik dan Problem Ontologis Film
Dudley Andrew merupakan seorang teoritisi film yang memberi label teori film klasik, atas refleksi teoritis terhadap film sekitar tahun 1916 sampai 1958. Dalam bukunya yang berjudul The Major Film Theories, Andrew membatasi era munculnya teori film klasik mulai dari publikasi karya Hugo Munsterberg tentang studi psikologis terhadap film tahun 1916. Serta berakhir pada wafatnya Andre Bazin sekitar akhir tahun 1958.
Pada periode 1910‐an atau masa awal perkembangan teori film klasik, para teoritisi film telah memulai usaha keras untuk memperjuangkan otonomi dari sinema di antara bidang‐bidang kesenian lainnya. Sebelum para pemikir mahzab formalis mendominasi zaman keemasan pertama teori film, beberapa tokoh sudah bermunculan dengan orang‐ orang seperti Jean Epstein di Perancis dan Hans Richter di Jerman yang terinspirasi oleh musik, seni lukis, puisi, teater dan tari untuk menggali potensi dari medium baru bernama film.
Sehingga saat teori film masih berusia sangat muda, pendefinisian film menjadi tergantung serta tidak bisa melepaskan diri sepenuhnya atas keberadaan seni‐seni lain tersebut. Akibatnya lahir konsep atau definisi klasik tentang film sebagai lukisan dengan gerak, musik dalam gerak, serta melukis gerak dengan cahaya. Yang mengukuhkan sinergi antara kekhasan medium film dan potensi utama seni‐seni lainnya. Muara hal ini semua adalah ide tentang seni ke‐7 yang menggabungkan unsur spasial dari seni rupa, teater dan arsitektur serta unsur temporal dari musik, tari dan puisi (sastra) menjadi semakin menguatkan posisi film sebagai seni paling komplit di antara semua cabang seni yang ada.
Namun tidak cukup sampai di situ, para teoritisi film formalis kemudian secara perlahan berangsur meninggalkan model pemikiran orang‐orang seperti Jean Epstein dan Hans Richter yang bersandar pada seni lain untuk mendefinisikan film. Sambil berusaha terus untuk mewujudkan otonomi film sebagai medium agar menjadi semakin lebih mapan melalui perjuangan tidak kenal lelah sejak 1916. Di mana rintisan baru tentang definisi film yang lahir karena karakteristik mediumnya sendiri tanpa intervensi seni lain diawali oleh Hugo Munsterberg.
Meski masih bisa ditemukan jejak seni‐seni lain dalam pemikiran orang‐orang seperti Hugo Munsterberg dan Bela Balazs, akan tetapi persoalan mendasar serta kebaruan medium audio‐visual menjadi pertimbangan atas konstruksi teori mereka untuk memahami film. Bagi keduanya maupun teoritisi formalis lain, usaha memahami film harus berakar pada permasalahan film itu sendiri.
Sebab dengan lensa kamera sebagai ekspansi lebih jauh dari fotografi, terdapat perbedaan mendasar yang hanya dimiliki dan menjadi karakteristik khas dari film. Melalui lensa, film mampu melakukan reproduksi imaji atas realita yang direkam oleh kamera. Penggunaan kata reproduksi dalam film lebih disebabkan karena kemiripan luar biasa antara imaji yang dihasilkan dengan objeknya yang direkam. Jadi seorang pembuat film tidak terlibat sepenuhnya dalam menentukan hasil akhir dari imaji fotografik yang dihasilkan, sebab proses tersebut melibatkan lensa dan hukum‐hukum fisika optik yang mempengaruhinya seperti prinsip merambatnya cahaya. Sementara dalam bidang‐bidang seni lain kreasi seniman berlangsung lebih total dan personal.
Berdasarkan itulah, lantas film sering dilihat sebagai sebuah bentuk seni modern dan ia berbeda dengan seni‐seni tradisional lainnya. Di sini terdapat sebuah distingsi tajam yang membuatnya harus dirayakan dan dipandang sebagai esensi dari film itu sendiri, terkait dengan keberadaan lensa.
Bagi para teoritisi formalis dan realis sebagai paradigma utama lain dari teori film klasik, hal ini menegaskan sebuah konsep ontologis bahwa film adalah seni. Namun film merupakan seni yang berbeda. Di mana fakta ini membuat para formalis memandang film harus berbeda dengan realita. Sementara kaum realis menilai sebaliknya, karena sifat reproduksi tersebut membuat film harus berusaha menjadi representasi realita dan membedakannya secara tajam dengan seni‐seni tradisional lainnya.
Semiologi dan Problem Ontologis Film
Semiologi film dari Christian Metz pada awalnya bertolak dari sebuah persoalan epistemologis yang ingin mengkritisi kadar ilmiah teori film klasik. Sehingga bila dibandingkan usaha untuk menawarkan sebuah konsep tentang definisi film, Metz malah lebih tertarik dalam membangun metode analisis film yang objektif.
Truffaut, Jacques Rivette, Eric Rohmer, Claude Chabrol dan ratusan sutradara muda lain yang melahirkan film pertamanya di akhir periode 1950‐an. Sementara dalam diskursus teori film, Perancis merupakan sebuah negara tersubur yang menghasilkan pemikiran‐pemikiran terpenting sejak tahun 1945. Mulai dari semakin mekarnya budaya cinephille atau para pencinta film pasca‐perang dunia II, kelahiran jurnal‐jurnal film kunci seperti Cahiers du Cinema dan Positif, serta sumbangan para teoritisi film mulai dari Andre Bazin, Gilbert Cohen Seat, Jean Louis Comolli sampai Gilles Deleuze.
Selain semua hal itu, posisi Perancis menjadi semakin penting dalam perkembangan sejarah teori film di dunia karena dimulainya rintisan Institute de Filmologie pada periode 1950‐an. Yang menjadi salah satu perintis dalam membuka ruang baru, di mana film telah diterima di universitas sebagai sebuah bidang studi ilmiah. Serta melahirkan dialog antara film dengan filsafat Fenomenologi, psikologi persepsi, estetika dan sosiologi. Salah seorang doktor pertama filmologi atau kajian film di dunia yang dihasilkan oleh institusi ini adalah Jean Mitry. Di mana ia menjadi salah satu tokoh penting dalam sejarah teori film, karena usahanya mendamaikan polemik antara teori film formalis dan realis.
Seperti halnya Mitry, Christian Metz adalah seorang teoritisi yang merupakan produk dari fenomena film sebagai bidang kajian di universitas pada awal periode 1960‐an. Ia adalah ilmuwan yang terlatih dalam studi linguistik serta ilmu‐ilmu sosial. Jadi bukanlah sesuatu yang aneh jika Metz tertarik pada persoalan metodologi dalam teori film yang muncul sebelumnya. Sementara itu ia memandang tradisi teori film klasik menghasilkan pemikiran‐pemikiran bersifat impresionistik dan ekspresionistik atau terlalu tergantung pada kesan semata, tanpa didukung oleh fondasi ilmiah yang kuat serta objektif. Jadi meski Metz tertarik mempelajari film, ia melihat teori film yang ada masih belum cukup memenuhi kriteria sebagai metode ilmiah. Karena untuk menjadi disiplin ilmu yang mapan film harus memiliki teori. Sementara untuk menjadi ilmiah harus ada metode objektif yang tidak tergoyahkan dalam menganalisis film sebagai sebuah objek studi.
resepsi penonton. Namun semiologi lebih tertarik untuk menganalisis konsep film dibandingkan dengan sinema sebagai objek kajian.
Walau hanya berusaha fokus pada analisis film, Metz segera menemui kesulitan untuk mewujudkan agendanya jika tidak mengambil keputusan terlebih dahulu untuk menuntaskan operasi dari metode analisis semiologi filmnya. Karena langkah‐langkah dan model analisisnya yang harus dapat diulangi terus‐menerus oleh siapa pun sebagai sebuah tuntutan terhadap keobjektivitasannya. Sehingga konsekuensi logisnya adalah kembali melakukan klaim secara ontologis terkait esensi film sebagai tanda atau sistem tanda.
Dari pengandaian ontologis yang menjadi langkah awal konstruksi definisi film, Metz mulai mencari fondasi metode untuk menganalisis film sebagai sistem tanda. Pada akhirnya, ia memutuskan studi atas tanda linguistik dari Ferdinand de Saussure menjadi model untuk membangun teori semiologi film. Sebab linguistik dari Saussure adalah model sangat komplit dan menaruh minat yang besar atas studi tanda dalam bahasa dan kebudayaan secara umum berdasarkan penilaian Metz.
Sehingga aplikasi dari studi linguistik Saussure tersebut atas film, membuat Metz memutuskan bahwa film terdiri dari penanda dan petanda seperti bahasa. Serta semiologi film terkonsentrasi pada analisis penanda sinematik yang spesifik dan tersalurkan pada unsur‐unsur, seperti; imaji (meliputi semua kemungkinan elemen visual yang terlihat dan properti khas dari bahasa sinematografi), teks tertulis, suara‐suara efek, suara pembicaraan manusia dan musik yang terdengar di dalam film.
Teori Film Kontemporer & Problem Ontologis Film
Perkembangan teori film pasca‐1968 atau teori film kontemporer memperlihatkan lebih jauh kemungkinan yang telah dirintis oleh semiologi film. Meski mengkritik pendekatan semiologi yang menaruh perhatian berlebihan pada teks dan tidak terlalu menggali kemungkinan film sebagai konteks, namun perhatian pada penanda sinematik tetap bertahan walau semakin diradikalkan.
menghasilkan perubahan paradigma tentang semua hal terkait institusi sosial maupun nilai‐ nilai kehidupan yang diyakini sebelumnya. Akibatnya perhatian pada persoalan film semata dipandang tidak lagi relevan dan kontekstual. Karena seperti halnya produk kebudayaan lain pasca‐1968, baik film atau teori film selalu dipertanyakan kontribusinya dalam perubahan sosial.
Beberapa paradigma utama dalam teori film kontemporer, seperti; teori film marxis, psikoanalisis dan feminis tetap menghasilkan refleksi‐refleksi teoritis terkait penanda atau bahasa filmis yang dilihat secara berbeda dari sudut pandang ideologi, hasrat dan perbedaan seksual. Agenda utama tetap melanjutkan teori film semiologi, akan tetapi dengan aksentuasi yang berbeda. Di mana terjadi pergeseran dari teks dalam semiologi film, kepada penonton dalam memahami teks pada teori film kontemporer.
Di sini pencangkokan teori‐teori di luar film berlangsung secara masif, sehingga teori film terkesan menjadi alternatif lain dari teori sosial. Bahkan tidak jarang diskursus film menjadi bergeser ke arah budaya, hingga dalam konteks paling ekstrim tidak lagi terlihat pembicaraan tentang film. Tetapi meski godaan besar muncul untuk membawa teori film menjadi teori budaya dan sosial, pengandaian tentang konsep dasar dari film tetap dapat tertangkap dengan jelas secara eksplisit.
Kendati dalam kasus jurnal Cahiers du Cinema setelah peristiwa Mei 1968 yang mengubah afiliasi politik para teoritisi film di dalamnya menjadi Maoisme militan, namun dengan kesadaraan penuh definisi film menjadi tetap relevan untuk menjawab persoalan kekinian. Sebab meski mengkritik dan terus‐menerus kembali mempertanyakan ulang posisi film dalam kebudayaan secara luas, muncul kebutuhan yang semakin besar terhadap adaptasi film berdasarkan situasi dan kondisi terkini. Sehingga wajar definisi film dalam konteks seekstrim apapun tetap terlihat sebagai sebuah afirmasi ideologis. Akibatnya esensi film dan pertanyaan ontologis terkait medium audio‐visual akan kembali muncul meski direvitalisasi setiap saat dari perspektif yang berbeda.
Penutup
maka persoalannya tidak terletak pada keharusan mendeskripsikan premis utama definisi film sebelum menjelaskan konsep‐konsep turunan lain darinya.
Jadi selalu terdapat kemungkinan untuk tidak menjawab pertanyaan dasar ontologis tentang esistensi dari film. Bahkan memasuki pintu gerbang pemahaman atas film yang berbeda melalui pertanyaan epistemologis, etis dan sosiologis. Hanya meski mengacuhkan sama sekali konstruksi metafisik dari film dalam diskursus teori film, pengandaian ontologis menentukan secara langsung dan tidak langsung premis‐premis turunan lain dan kontinuitasnya dalam sebuah konstruksi teori.
Daftar Pustaka
Andrew, Dudley. 1976. The Major Film Theories. London: Oxford University Press.
Stam, Robert. 2000. Film Theory: An Introduction. New York: Wiley‐Blackwell.
Stam, Robert & et al. 1992. New Vocabularies in Film Semiotics. New York: Routledge.