• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEZAAN PERJALANAN TRANSAKSI DALAM TAW

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERBEZAAN PERJALANAN TRANSAKSI DALAM TAW"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEZAAN PERJALANAN TRANSAKSI DALAM TAWARRUQ

(TAWARRUQ HAQIQI, TAWARRUQ MUNADZOM DAN BAI’ AL INAH)

1. PENDAHULUAN

Seiring berkembangnya perbankan syariah, mau tidak mau produk-produk perbankan syariah pun harus dikembangkan. Pengelolaan Keuangan dan perbankan pada prinsipnya untuk memenuhi keinginan 3 (tiga) pihak, yaitu pemegang saham,investor dan pendukung Usaha (pengurus perusahaan) . Sistem keuangan dan perbankan Islam harus mencakup sleuruh bidang keuangan dan perbankan modern.

Dalam makalah ini, pemakalah akan mengupas tentang Bi’ Al-Inah, Bai’ Tawarruq dan Bai’ Al-Dayn. Dimana ketiga pembahasan ini merupakan salah satu aplikasi dalam bentuk produk di dalam Perbankan yang berbasisi syariah.untuk lebih jelasnya akan dibahas dalam isi makalah ini.

2. Pengertian Bai’ Tawarruq

Tawarruq adalah bentuk akad jual beli yang melibatkan tiga pihak, ketika pemilik barang menjual barangnya kepada pembeli pertama dengan harga dan pembayaran tunda, dan kemudian pembeli pertama menjual kembali barang tersebut kepada pembeli akhir dengan harga dan pembayaran tunai. Harga tunda lebih tinggi dari harga tunai, sehingg apembeli pertama seperti mendapatkan pinjaman uang dengan pembayaran tunda.[5]

(2)

Dalam Hukum Islam, tawarruq arti nya adalah struktur yang dapat di lakukan oleh seorang mustawriq/mutawarriq yatiu seorang yang membutuh kan likuditas. Transaksi tawarruq adalah ketika seseorang membeli sebuah produk dengan cara kredit (pembayaran dengan cicilan) dan menjual nya kembali kepada orang ke tiga yang bukan pemilik pertama produk tersebut dengan cara tunai, dengan harga yang lebih murah. Ada 3 formasi dari tawarruq:

a. Seseorang yang membutuhkan likuditas (uang tunai) membeli produk/barang/komoditi dengan cara kredit dan menjual nya kepada pihak lain dengan cara tunai, tanpa di ketahui oleh pihak pihak lain akan niat nya tersebut di atas.

b. Seseorang (mutawarriq)yang membutuh kan uang tunai, memohon untuk di berikan pinjaman uang, dari penjual, yang menolak untuk meminjamkan uang nya, tapi penjual tersebut berkeinginan untuk menjual barang nya dengan cara kredit dengan harga tunai, lalu mutawarriq tersebut dapat menjual kembali barang tersebut kepada orang lain dengan harga yang lebih rendah atau lebih tinggi. Kedua formasi transaksi tawarruq ini dapat di terima dan di Izin kan oleh para Ulama tanpa ada nya perdebatan.

c. Hampir sama dengan formasi no. 2, kecuali si penjual, menjual barang nya dengan harga yang lebih mahal dari harga pasar kepada Mutawarriq, sebagai akibat dari pembayaran yang tertunda/dengan cicilan. Formasi ini masih di perdebat kan oleh para pakar Hukum ekonomi syariah.

3. Karakteristik Tawarruq

Tawarruq sendiri terbagi menjadi 2 tipe, yaitu : 3.1. Tawarruq Hakiki / Real Tawarruq

(3)

3.2. Tawarruq Munadzzam / Organized Tawarruq

Tawarruq dimana pihak ketiganya telah ditunjuk terlebih dahulu atau diskenariokan yang biasanya dilakukan oleh pihak perbankan. Contohnya adalah ketika nasabah (pihak A) membeli sebuah komoditas kepada pihak bank (Pihak B), biasanya kendaraan bermotor, besi, barang elektronik, dll, lalu pihak bank memerintahkan seorang agen untuk menjualkan barang tersebut yang kemudian uangnya diserahkan pada pihak A tadi.

Perbedaan mendasar dari Organized Tawarruq ini adalah pihak A (nasabah) tidak menerima barang tersebut secara langsung, akan tetapi hanya dengan berdasarkan sebuah surat kesepakatan yang kemudian pihak B akan langsung memerintahkan pihak C untuk menjualkannya, sedangkan dalam Real Tawarruq pihak nasabah (pihak A) akan menerima barang tersebut secara langsung dan memiliki opsi untuk memilikinya dan membawanya untuk diri sendiri ataukah akan dijual ke pihak yang lain.

Akan tetapi, dalam perbankan pihak bank tetap akan memberikan opsi untuk memiliki atau menjual barang pada si nasabah tadi , walaupun hal ini juga terlihat sebagai forrmalitas saja. Hal ini dikarenakan memang pihak nasabah tadi membutuhkan uang tunai bukanlah komoditas tersebut sehingga mau tidak mau ia akan lebih memilih untuk bank agar menjualkannya melalui agennya.

(4)

Melalui skema diatas bahwasanya metawarriq membeli barang daripada penjual secara kredit, kemudian mutawarriq menjual kembali barang tersebut kepada pihak ketiga secara tunai.

3.4. Skema Bay’ Tawarruq Munazzam

Dealer

Bank Islam

Penampung

(5)

Melalui skema diatas bahwasanya :

a).Bank membeli barang daripada Dealer secara tunai.

b).Bank menjual barang kepada Mutawarriq secara murabahah dengan bayaran bertangguh.

c).Mutawarriq memohon pihak Bank sebagai wakil untuk menjual semula barang kepada Penampung yang telah dipilih oleh pihak Bank secara tunai.

d).Bank sebagai wakil pemohon menjual semula barang kepada penampung secara tunai. e).Modal dari hasil penjualan tersebut diberikan oleh Bank kepada Mutawarriq secara tunai. f).Mutawarriq menjelaskan pembayaran kepada Bank secara angsuran.

4. Hukum Tawarruq

Ada dua pendapat dikalangan para ulama tentang hukum At-Tawarruq ini :

(6)

Bainal Bai’i war Riba fii Asy-Syari’atul Islamiyah dan dalam Al-Muntaqo dan keputusan Majlis Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy sebagaimana dalam Taudhihul Ahkam (4/399-400).

Syarat diperbolehkannya Tawarruq adalah sebagai berikut :

 Sebelum dijual ke nasabah, barang tersebut sudah benar-benar dimiliki oleh pihak bank.

 Sebelum nasabah menjualnya kembali, ia harus sudah menerima barang tersebut secara legal.

 Tidak boleh untuk menjualnya kembali kepada pihak bank, ataupun pihak lain yang masih bagian dari pihak bank karena akan menjadi ba’I inah.

 Tidak dilarang, apabila bank sebagai agen untuk menjualkan barang tersebut, akan tetapi yang dilarang ialah ketika pihak yang akan membeli (pihak ketiga) sudah memiliki kesepakatan terlebih dahulu baik dengan pihak nasabah ataupun bank, dan pembuatan kontrak agensi untuk menjualkan ini harus berbeda atau dilakukan setelah kontrak jual beli pertama antara bank dan nasabah telah terjadi.

b. Hukumnya adalah haram. Ini adalah riwayat kedua dari Imam Ahmad dan pendapat ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz serta dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim dan fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah Saudi Arabia yang disebutkan dalam kitab 99 tanya-jawab dalam jual beli dan bentuk-bentuknya.

Alasan dilarangnya adalah sebagai berikut :

(7)

 Tawarruq adalah bagian dari Riba, sebagaimana dikatakan Umar bin Abdul Aziz : “Tawarruq adalah bagian dari Riba “.

Argumentasi dari para ulama yang kontra pada tawarruq Munazam yaitu : Jika si penjual, menjual barangnya dengan harga yang lebih mahal dari harga pasar kepada mutawarriq, sebagai akibat dari pembayaran yang tertunda/dengan cicilan. Dengan begitu artinya tawarruqmunazam adalah indikasi dari kerjasama antara Bank dan nasabahnya yang bertujuan untuk menyediakan dana segar terhadap kewajiban kredit nasbahahnya atau banknya. Sehingga prinsip objektifitas dari niat -tentang niat telah dijelaskan pada pembahasan motif- dalam konteks ini sangatlah relevan. Kedua masalah hilah yang dipakai menurut ulama yang kontra melihat adanya persamaan hilah atau rekayasa untuk melakukan hal hal yang di larang, yang indikasi ke arah untuk mendapatkan riba yang permanent sifatnya. Melalui beberapa proses, Bank Syariah hanya berperan sebagai perantara yang tidak sungguh sungguh tertarik dengan jual beli komoditi atau memasuki pasar komoditi international. Begitu juga nasabahnya, tidak berniat untuk memiliki komoditi tersebut atau pada kasus kasus tertentu tidak tahu menahu tentang adanya proses jual beli komoditi. Karena tujuan utamanya hanyalah untuk mendapatkan uang tunai segera dari bank (nasabah jika berbentuk deposito-pen), dengan berhutang yang akan di bayar dengan cicilan. Oleh karena itu, sebagian dari Ulama mengangap transaksi ini adalah transaksi Ribawi

5. Pendapat Para Ulama Mengenai Tawarruq

(8)

Salah satu Hadist yang tercatat oleh al-Bukhari dan Muslim terbukti telah mendukung transaksi ini. Ketika salah satu petani kurma dari Khaybardatang dan membawa kan Kualitas Kurma yang tebaik kepada Nabi Muhammad SAW , Nabi bertanya kepada petani tersebut apakah semua buah kurma dari Khaybar sangat baik mutu nya. Petani ini menjawab tidak, saya menukar dua ukuran (kg) kualitas kurma yang rendah untuk satu ukuran (kg)yang bagus, terkadang saya harus menukar 3 ukuran(kg) yang kulitas rendah untuk satu ukuran (kg) yang kualitas nya bagus. Lalu Nabi Muhammad melarang petani itu untuk melakukan transaksi itu dan malah menyarankan untuk menjual semua kualitas rendah nya agar mendapat kan uang tunai (berupa koin perak pada jaman itu) dan lalu menggunakan uang tersebut untuk membeli Kurma dengan kualitas yang bagus. Hadist ini mengindikasikan di perkenankan nya suatu metode untuk meng hindari Riba. Semua media jual beli dan syarat syarat serta kondisi dari transaksi jual beli sudah terpenuhi, bebas dari faktor faktor yang di larang. Niat untuk mendapat kan kualitas Kurma yang lebih bagus tidak membatal kan struktur nya. Dengan demikian, hal ini menunjukan legalitas dari transaksi jual beli dimana maksud dan niat yang berlainan menggunakan suatu media dapat di terima dan dilakukan dan bebas dari riba secara explicit dan implicit. Jadi untuk mendapat kan likuiditas dengan media ini (tawarruq) sudah seharus nya di perkenan kan apabila memang di perlukan.

(9)

sementara melarang kerusakan yang lebih kecil, yaitu riba. Beliau mengutip statement yang di berikan oleh Umar ibn Abdul Aziz : tawarruq adalah saudara nya riba

6. Pengertian Bai’ Inah

Perkataan al-Bay secara literalnya bermaksud pertukaran sesuatu barangan dengan sesuatu barangan yang lain. Ia merupakan perkataan yang berlawanan dengan perkataan al-Syira atau pembelian. Walau bagaimanapun perkataan al-Bay turut digunakan untuk membawa maksud al-Syira. Al-Bay dari segi syara dihuraikan sebagai pertukaran harta dengan harta yang lain melalui prosedur tertentu atau proses pertukaran sesuatu barangan yang disukai dengan sesuatu yang setimpal

dengan cara tertentu yang sempurna.

Bai al-Inah adalah akad jual beli ketika penjual menjual asetnya kepada pembeli dengan janji untuk dibeli kembali (sale and buy back) dengan pihak yang sama. Bai al-Inah adalah penjualan tunai (cash sale) dilanjutkan dengan pembelian kembali dengan tangguh (deferred payment sale / BBA).[1]

Bai’ al-inah secara umum dapat digambarkan sebagai berikut : seorang pedagang menjual barang dagangannya dengan diangsur sampai batas waktu yang telah disepakati. Setelah itu, ia membelinya kembali pada majlis yang sama secara kontan dengan harga yang lebih rendah dari harga jual pertama. Bai ‘Inah secara konsepnya berarti menjual barang dan kemudian membeli kembali barang tersebut pada harga yang berbeda, dengan harga tertangguh yang lebih tinggi dari harga tunai.

Definisi bai` inah menurut para ulama adalah seperti berikut:

(10)

ke pihak ketiga baik dengan harga tunai yang lebih rendah atau lebih tinggi, atau secara hutang atau dengan penukaran barang. "

2. Al-Haskafi: "Menjual sesuatu secara ditangguhkan untuk mendapat keuntungan. Pihak yang berhutang akan menjualnya kembali pada harga yang lebih rendah untuk menjelaskan utangnya."

3. Al-Zaila `i:" Menjual barang secara ditangguhkan, dan membelinya kembali dengan harga yang lebih rendah secara tunai. "

4. Al-Dardir: "Penjualan yang dilakukan oleh seseorang yang diminta darinya sesuatu yang tidak dalam pemilikannya."

5. Al-Rafi `i:" Menjual sesuatu kepada orang lain dengan harga tangguh. Barang tersebut diserahkan kepada pembeli, dan sebelum menerima pembayaran penjualan (pertama), dia membelinya kembali secara tunai dengan harga yang lebih rendah. "

6. Ibnu Qudamah: "Menjual sesuatu kepada orang lain dengan harga tangguh, dan membelinya kembali dengan harga yang lebih rendah." [2]

7. Landasan Hukum

Dari Ibnu Umar ra, bahwa Nabi saw bersabda, “Apabila kamu berjualbeli secara ‘inah dan 'memegangi ekor-ekor sapi' [kinayah/kiasan sibuk dengan urusan peternakan/keduniaan] dan puas dengan pertanian serta meninggalkan jihad, maka Allah akan menguasakan atas kamu kehinaan, dia tidak akan mencabut hingga kamu kembali kepada agamamu.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:423 dan “Aunul Ma’bud IX:335 no:3445).

a).Pihak A membeli Barang kepada Bank dengan pembayaran tangguh.

b).Pihak A menjual kembali Barang tersebut kepada Bank secara tunai dengan harga lebih murah.

(11)

8. Perbedaan Pendapat diantara Para Ulama

Mayoritas ulama menyatakan bahwa bai’ al-inah dilarang sebab ia mengandung suatu cara (zari’ah) untuk melegitimasi riba. Hanafi berpendapat bahwa bai’ al-inah diperbolehkan hanya jika melibatkan pihak ketiga.

Diriwayatkan dari Anas bahwa ia pernah ditanya perihal bai’ al-inah maka jawabnya, “Sesungguhnya Allah tidak pernah menipu (hamba_nya), (bai’ al-inah) termasuk hal-hal yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya.

Ibnu Abbas pernah berkata, “Waspadalah kalian terhadap bai’ al-inah ini. Janganlah menukar dirham dengan dirham yang lain yang diantara keduanya ada sutra.” Maliki dan Hambali secara tegas menolak ba’ al-inah karena ia adalah suatu cara untuk memanipulasi riba.

Sedangkan ulama yang membolehkan bai’ al-inah diantaranya adalah Syafi’i dan Zahiri. Imam Syafi’i menurut satu riwayat membolehkan bai’ al-inah berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id dan Abu Hurairah, “Tukarkanlah kurma yang jelek dengan uang dirham, kemudian dengan uang dirham itu hendaklah engkau membeli kurma yang bagus.”

Dalam mencermati masalah bai’ al-inah ini, menarik untuk dicermati adalah

(12)

melarangnya. Ketiga, seseorang membeli barang bukan untuk tujuan seperti kelompok pertama dan kedua, namun untuk mendapatkan uang. Karena meminjam uang sangat sulit, ia harus membeli barang dengan harga yang lebih tinggi dan segera setelah itu dijual kembali kepada pihak yang sama untuk mendapatkan uang kas.[3]

9. Syarat-syarat Bai’ Inah

1. Pembiayaan bay‘ al-‘inah perlu mempunyai dua kontrak yang jelas yaitu kontrak penjualan harta oleh penjual/pemilik kepada pembeli dan dan penjualan semula harta tersebut kepada pemilik asal.

2. Pembayaran harga dalam salah satu urusniaga atau kontrak harus dilakukan secara tunai untuk mengelakkan penjualan/pembelian hutang dengan hutang.

3. Barang yang digunakan dalam urusniaga jual dan beli kembali bukan barangan ribawi.

4. Kedua-dua urusniaga ini harus melibatkan penyerahan hakmilik yang sah dari sudut syarak dan diterima pakai berdasarkan adat perniagaan semasa (‘uruf tijari).

5. Pembiayaan bay‘ al-‘inah yang dijalankan ini harus memenuhi syarat-syarat bay‘ al-‘inah yang diterima oleh Mazhab Syafie.

6. Penentuan harga dan harta yang terlibat dalam kontrak juga harus dengan sebenar dan berdasarkan harga yang munasabah atau berdasarkan pasaran.

7. Kontrak pertama harus diselesaikan terlebih dahulu (ditandatangani oleh kedua-dua belah pihak) sebelum memasuki kontrak yang kedua.Ini bertujuan mengelakkan isu penjualan harta yang belum dimiliki dalam kontrak kedua.[4]

10.Perbedaan Tawarruq dengan Inah

(13)

pakar Hukum Islam, Barang yang di gunakan adalah sebuah alat untuk melakukan hilah, yaitu rekayasa untuk menghindar dari hal hal yang di larang, seperti riba.

Tawarruq adalah ketika seseorang yang membutuh kan dana segar/uang tunai membeli barang dengan cara kredit lalu menjual nya kepada pihak ke 3 dengan cara tunai dengan harga yang lebih rendah, struktur transaksi nya tidak meng indikasi kan hilah (melegal kan cara untuk mendapat kan riba), karena barang tersebut tidak kembali pada pemilik asal nya. Dengan demikian para pakar Hukum Islam, berpendapat bahwa Tawarruq adalah tersaksi yang sah dan dapat di terima.

11. Efek Negatif dari Akad Tawarruq

Menurut M. Nejatullah Sidqi bahwa konsep tawarruq ini lebih besar mafasdahnya daripada maslahahanya jika dilhat dari segi kepentingan umum. Dibawah ini adalah mafsadah yang telah dirangkum oleh Sidqi:

1) Tawarruq menyebabkan pembentukan utang yang mana volumenya cenderung mengalami peningkatan.

2) Hasil pertukaran (exchange) uang sekarang dengan uang dikemudian hari adalah tidak fairdari segi sudut pandang resiko dan termasuk ketidakpastian.

3) Hal ini menyebabkan perkembangbiakan utang secara terus menerus, menuju arah perjudian seperti transaksi spekulasi

4) Hal ini menyebabkan keuangan berdasarkan utang (debt finance) yang terus menerus, meningkatkan ketidak stabilan dalam ekonomy. Dalam debt-based economy, suplay uang dihubungkan kepada utang yang mana tendency kedepannya adalah peningkatan (expantion) lonjakan inflasi.

5) Ini menghasilkan ketidakadilan dalam distribusi pendapatan dan kesejahteraan. Dan menghasilkan keuangan berdasarkan utang yang terus menerus, dalam ketidakefesienan alokasi sumber daya.

(14)

 Akad Tawarruq ialah jika seseorang membeli barang dari seorang penjual dengan harga kredit lalu ia menjual barang tersebut secara kontan kepada pihak ketiga selain dari penjual

 Perbedaan mendasar Akad tawarruq dengan Bai’ al-inah adalah tawarruq tidak menjual kembali ke pemilik asalnya.

 Akad Tawarruq motif utamanya adalah karena kebutuhan akan likuiditas pada saat tersebut , dan komoditas yang digunakan biasanya merupakan komoditas local ( seperti beras , besi , kendaraan bermotor , peralatan elektronik , dll ) dan diperbankan produk yang menggunakan akad tawarruq ini adalah commodity murabaha.

 Terdapat ikhtilaf hingga saat ini diantara para ulama mengenai hokum dari Tawarruq ini dan masing-masing memiliki landasan dan syarat tersendiri.

 Untuk implementasi akad Tawarruq ini masih dilarang di Negara Indonesia , namun sudah diperbolehkan di Negara Malaysia dan Negara-negara timur tengah.

(15)

D. TAWARRUG 1. Pengertian Tawarrug

Transaksi tawarrug dimulai jika seseorang membeli suatu barang atau komoditas dari penjual (pertama) berdasarkan pembayaran tangguh atau tidak tunai, dengan pengertian bahwa pembeli tersebut akan membayar harga yang telah disepakati secara angsuran, atau dibayar secara penuh sekaligus di masa depan. Tawarrug terjadi, ketika barang itu telah dibeli, dan pembeli itu langsung menjualnya kembali ke pihak ketiga tetapi bukan penjual pertama dengan harga tunai, yang lebih rendah dari harga beli semula [71].Tawarrug turun dari kata warig, yang berarti perak; sesorang membeli barang dengan tujuan mendapatkan uang tunai dari penjualan tersebut kepada pihak lain [72].Tawarrugmirip dengan bai al inah, tetapi berbeda. Pada bai inah, penjualannya kembali dilakukan kepada penjual yang sama, sedangkan pada tawarrug kepada pihak ketiga.

Terdapat dua macam tawarrug: Pertama, organized tawarrug atau tawarrug munazzam, dengan menunjuk pihak ketiga sebagai agen; pembeli tidak menerima barang dagangannya dan tidak terkait dengan kegiatan penjualannya kembali, karena dilakukan oleh seorang agen dan pembayaran diberikan kepada pembeli awal. Umar Azka merinci karakteristik dari tawarrug ini: dilakukan oleh 4 pihak, ada perjanjian di muka untuk membeli suatu komoditi, tidak ada perjanjian untuk membeli dari nasabah (mutawarriq), melibatkan perjanjian bersama atu MoU yang harus sesuai prosedur, adanya penunjukkan bank sebagai wakil dari nasabah untuk menjual komoditi kepada pihak lainnya, dan tidak terjadi pemindahan fisik dari komoditi yang diperdagangkan dan hanya sebatas penandatanganan akad jual beli [73].

(16)

syariah, yaitu: (a). bank membeli komoditi dari pasar komoditi dan secara konstruktif memiliki komoditi tersebut, melalui beberapa klausul dalam dokumen transaksi atas dasar janji untuk membeli dari nasabah, (b). bank menjual komoditi itu dengan prinsipmurabaha dan hak kepemilikan pindah kepada nasabah, (c). nasabah menunjuk bank sebagai wakil untuk menjual kembali komoditi tersebut, (4). Bank kemudian menjual kembali komoditi tersebut kepada pihak ketiga, (d). Bank memberikan dana hasil penjualan kepada nasabah [74].

Kedua, dalam real tawarrug, yaitu tapa pengaturan terlebih dahulu, dan pembeli memiliki dua opsi, yaitu menyimpan barang yang telah dibeli, atau menjualnya kembali, dan karena barang iru sudah berada di tangannya, maka dia dapat melakukan apa saja terhadap barangnya itu[75]. Menurut Umar Azka, karakteristik dari real tawarrug adalah: dilakukan oleh 3 pihak, tidak ada perjanjian untuk membeli, hanya ada 2 dasar jual beli, tidak ada MoU, nasabah menjual sendiri komoditinya, dan adanya pemindahan komoditi secara phisik setiap kali terjadinya akad jual beli [76].

Tawarrug pada dasarnya menyangkut dua akad. Akad pertama adalah akad untuk pembelian dengan pembayaran secara tunda. Akad kedua merupakan penjualan kepada pihak lain dengan pembayaran tunai tetapi dengan harga lebih rendah[77]. Transaksitawarrug itu memberi peluang atau berimplikasi terhadap kesempatan untuk meminjam uang dengan menggunakan akad syariah yang diijinkan. Menurut Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, dalam konteks keuangan, mekanisme yang terjadi dapat diartikan sebagai pemberian pinjaman dengan zero coupon, dan tingkat bunga pinjaman disamakan dengan tingkat bunga seperti yang ditentukan oleh penjual awal untuk pembayaran tangguh [78].

(17)

lanjut, hukum syara tidak mengijinkan kerugian yang kecil, ketika pada saat yang sama menginjinkan kerugian yang lebih besar [80].

2. Pandangan Klasik Terhadap Tawarrug.

Menurut Adiwarman Karim, hampir semua kitab fiqih mengijinkan transaksitawarrug, dan yang melarangnya hanya Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim dari mazhab Hanbali [81]. Ulama yang mengijinkan dan pihak yang menolak transaki tawarrug ini, yaitu[82]:

a. Kebanyakan ulama mengijinkan [83] dan di antaranya adalah Muhammad bin Utsmain dari Hanbali tetapi dengan syarat tertentu [84], dan Iyas bin Mu’awiyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, diperkuat oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy dan Syaik Abdul Aziz bin Baz dalam Taudhihul Ahkam, dan seterusnya. Pendapat ini berdasarkan kaidah umum bahwa jual beli adalah halal yang bersandar pada Surat Al Baqarah (QS, 2 : 275), dan didukung dengan surat Al Maidah (QS, 5 : 1), Al Baqarah (QS, 2 : 280). Hadist Nabi Saw yang membolehkannya adalah seperti yang diriwayatkan oleh al Bukhari dan Muslim. Intinya adalah bahwa Nabi Saw melarang seorang petani untuk menukar kurma yang baik dari Khaybar sebanyak satu kilo dengan kualitas yang lebih rendah sebanyak 3 kilo. Sebaliknya, Nabi Saw menyarankan untuk menjual kurma kualitas rendah terlebih dahulu untuk mendapatkan uang tunai, dan menggunakan uang tersebut untuk membeli kurma yang berkualitas lebih bagus. Berdasarkan hadis ini, para ulama tersebut berpendapat bahwa media tawarrug dapat digunakan untuk memperoleh likuiditas yang diperlukan [85]. Syaikh Ibnu Utsaimin menambahkan syarat, yaitu: bahwa orang yang melakukan transaksi itu memiliki kebutuhan yang jelas, dia tidak dapat memperoleh kebutuhannya melalui Al Qard, as Salam atau lainnya, dan barang yang terkait telah dipegang dan dikuasai oleh penjual. Sebelum barang itu dijual kembali, ia sudah menerima barang itu secara legal [86].

(18)

kredit, kemudian menjualnya tujuh puluh secara tunai. An Nasafi dalam Thalabah Ath Thalabah menyatakan bahwa tawarrugtermasuk kategori bai al inah, karena mengalihkan praktik utang ke penjualan barang. Ibnu Hajar Al Haitami dalam Tuffatul Muhtaj dari Asy Syafi’i mengatakan bahwa kadang-kadang praktik jual beli bersifat makruh, yaitu seperti pada bai ’al inah, dan semua bentuk jual beli dengan kehalalan yang masih diperselisihkan karena sama seperti untuk menghindari praktik riba [89]. Ulama Maliki melarangnya, dengan alasan bahwa tawarrug dapat dipersamakan dengan bai al inah, karena perbedaannya hanya pada keadaan barang yang kembali pada bai al inah, dan tidak kembali pada tawarrug [90]. Ibn Qoyim, murid dari Ibn Taymiyya, mengatakan bahwa gurunya tidak pernah mengijinkan tawarrug, karena substansi ekonomis yang pasti berupa riba dikandung oleh akad tersebut, dan biaya transaksi bertambah ketika dibeli dan dijual dengan kerugian; syariah tidak melarang kerugian kecil dan mengijinkan kerugian besar [91].

(19)

REFERENSI

[1] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 189.

[2] http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg00988.html

[3] http://ekisopini.blogspot.com/2009/11/malaysia-dan-bai-al-inah.html [4] http://muhammadghazi.wordpress.com/2008/09/06/baiah-al-inah/ [5] Ascarya, Ibid., hlm. 143.

[6] Nibrahosen.multyply.com/journal/item/22/oktober/2012 [7] Ascarya, Ibid., hlm. 191.

[8] http://dausalhuriyah.blogspot.com/2008/12/bai-al-dayn.html,22/oktober/2012 [9] http://mahir-al-hujjah.blogspot.com/2009/12/kedudukan-mazhab-syafie-dalam-produk.html

(20)

Abu Muawiah. “Masalah At -Tawarrug”. [http://al-atsariyyah-com/masalah-at-tawarrug-html] <15>.

Adiwarman Karim. 2004. Bank Islam, Analisis Fikih dan Keuangan. Edisi Kedua. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Affandi, Nik Mohamed bin Nik Yusoff. 2002. Islam & Business. Selangor, Malaysia: Pelanduk Publication (M) Sdn Bhd.

Ahmad Munir Suratman, 2002. Filsafat Hukum Islam Al Ghazali. Jakarta: Pustaka Firdaus. Akmad Munif Suratmaputra. 2013. Filsafat Hukum Islam, Al Ghazali, Jakarta: Pustaka Firdaus. Amir Syarifuddin. 2010. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Angie Cyntia. ”Konsep Tawarrug”.

[http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/konsep-tawarrug.html] <10>.

Bello, Petrus C.K.L. 2012. Hukum & Moralitas, Tinjauan Filsafat Hukum. Jakarta: Erlangga. Cholis Nafis, M. 2011. Teori Hukum Ekonomi Islam.Jakarta: UI Press.

Cox, Stella. 2007. “The Role of Capital Markets in Ensuring Islamic Financial Liquidity”. Dalam Simon Archer dan Rifaat Ahmed Abdel Karim (Eds). Islamic Finance, The Regulatory Challenge. Singapore : John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd.

Dedi Ismatullah. 2011. Sejarah Sosial Hukum Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Duscik Ceolah. “Hukum Tawarrug Berdasarkan Kajian Fiqih Terpadu”. [http://duscikceolah.wordpress.com/2009/08/03/hukum.tawarruq-berdasarkan-kajian-fiqih-terpadu/] <03>.

Eko Suprayitno. 2005. Ekonomi Islam, Pendekatan Ekonomi Makro Islam danKonvensional, Hak Cipta @ 2005 pada Penulis, Cetakan Pertama, Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu. Fathurrahman Djamil. 1997. Filsafat Hukum Islam.. Ciputat: Logos Wacana Ilmu

Gunawan Setiarja, A. 1990. Dialektika Hukum dan Moral, Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia. . Yogyakarta: Kanisius.

(21)

Hamka.1983. Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panji Mas.

Hendy Herijanto.2013. “Perdagangan (Jual Beli) Vs Riba: Implikasinya TerhadapPerekonomian dan Kemaslahatan Masyarakat”. Quality, Jurnal Manjemen dan Akutansi untuk Meningkatkan Kualitas SDM, Vol.II No. 11, Juli 2013.

Hendy Herijanto. 2013.”Prinsip dan Unsur-Unsur Pokok Ekonomi Islam”. Quality, Jurnal Manjemen dan Akutansi untuk Meningkatkan Kualitas SDM, Vol. II No. 11, Juli 2013.

Ibnu Khaldun. 2001. Mukadimah. Beirut: Dar-Al Kitab Al’Arabi.

Iqbal, Zamir, dan Abbas Mirakhor. 2007. An Introduction to Islamic Finance, Theory and Practice. Singapore : John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd.

Karim Adiwarman. “Raja Henry VIII dan Tawarrug”.

Moghul, Umar F. 2013. “Stepping Forward, Backward, or Just Standing Still? A Case Study in Shifting Islamic Financial Structures Offshore”. Dalam Kren Hunt-Ahmed (Ed), Contemporary Islamic Finance, Innovations, Applications, and Best Practices. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Muhammad Abduh Tuasikal. “Menjual Barang yang Masih Utangan”. [http://pengusahamuslim.com/menjual-barang-yang masih-utangan] < 26/12/2010>.

Muhammad Al Amine, Muhammad Al Bashir. 2013. “Risk and Derivatives in Islamic Finance”. Dalam Kren Hunt-Ahmed (Ed), Contemporary Islamic Finance, Innovations, Applications, and Best Practices. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Muhammad Faiz Almath. 1991. 1100 Hadits Terpilih, Sinar Ajaran Muhammad. Jakarta: Gema Insani.

(22)

Muhammad Khalid Masud. 2005.Shatibi’s Philoshophy of Islamic Law. Kuala Lumpur: Islamic Research Institute.

Muhammad Shalah Muhammad Ash Shawi. 2008. Problematika Investasi Pada Bank Islam, Solusi Ekonomi Islam. Jakarta: Migunani.

Musa Asy’arie. 2002. Filsafat Islam, Sunnah Nabi dalam Berpikir. Yogyakarta: LESFI. Quraish Shihab. 2013. Secercah Cahaya Al Qur’an. Bandung: Mizan Pustaka.

Salam Izhar. “Tawarrug in Islamic Banking System”

[http:salamizhar.blogspot.com/2011/01/tawarrug-in-islamic-banking-system;html] <12 . 01="">

Satria Effendi, dan M. Zein. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media Grup.

Sofyan S. Harahap. 2004. Akuntansi Islam. Cetakan Keempat. Jakarta: Bumi Aksara.

Suwailem, Sami Alo, dan M.Kabir Hassan. 2011. “An Islamic Perspective of Financial Engineering”. Dalam M. Kabir Hassan dan Michael Mahlknecht (Eds), Islamic Capital Markets, Products and Strategies. Chichester, West Sussex : John Wiley & Sons Ltd. Suyanto, M. 2008. Muhammad Business Strategy and Ethics. Yogyakarta: Andi.

Toutounchian, Iraj. 2009. Islamic Money & Banking, Integrating Money in Capital Theory. Singapore: John Wiley & Sons (Asia) Pte.Ltd.

Umar Azka. “Apa Itu Akad Tawarrug”. [http://umarazka.blogspot.com/2012/apa-itu-akad-tawarrug.html] <14>.

Ustadz Rich, dan Laode. 2011. Rasulullah Business School. Jakarta: Ihwah.

Wahbah Al-Zuhaili. “Tawarrug, Its Essence and Its Types: Mainstream Tawarrug and Organized Tawarrug”. [www.kantakji.com/fiqh/Files/Markets/a(65).pdf] .

Widiyastini. 2008. Filsafat Islam. Yogyakarta: Kepel Press.

Yan Orgianus. 2012. Moralitas Islam Dalam Ekonomi dan Bisnis.Bandung: Marja.

Yusuf Al Qaradhawi. 2005.Halal dan Haram dalam Islam. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana. Yusuf Al Subaily. “Fiqh Perbankan Syariah: Pengantar Fiqh Muamalat dan Aplikasinya Dalam

Perekonomian Modern”. [istyn.staff.uns.ac.id/files/2012/09/copy-of-fqh-muamalah-kontemporer] <09>.

(23)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian, perlindungan hukum serta pembatasan bagi tenaga kerja asing pada PT Lingua Munda sesuai dengan pasal 42 sampai 49 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003

Permasalahan yang dihadapi wanita single parent pada perceraian akan mengurangi kebahagiaan karena adanya gangguan orang tua dengan anak, tekanan sosial adanya

Dari hasil di atas dapat disimpulkan bahwa jumlah mayoritas dosen sangat puas terhadap gaji yang diberikan oleh Universitas Pendidikan Muhammadiyah Sorong.. Presntasi

atomnya

Langkah-langkah yang dilakukan sama seperti yang dilakukan pada kelas uji coba yaitu Pemberian pre-test kepada siswa dan Pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe

Hal ini dapat menyebabkan rasa sakit pada waktu kencing dan keluarnya cairan dari vagina, walaupun kebanyakan wanita (cukup banyak pria) tidak memperlihatkan gejala

Secara simultan promosi online dan lokasi berpengaruh signifikan terhadap volume penjualan, kedua faktor ini merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan minat