• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PRIVATIS. pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PRIVATIS. pdf"

Copied!
196
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN PRIVATISASI AIR DKI JAKARTA SEBAGAI

BENTUK PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana

PRASHASTI WILUJENG PUTRI

1006693243

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI KRIMINOLOGI

(2)

ii Universitas Indonesia Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Prashasti Wilujeng Putri

NPM : 1006693243

Tanda Tangan :

(3)

Saya yang bertandatangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa skripsi ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia.

Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada saya.

Depok, 7 Mei 2014

(4)

iv Universitas Indonesia

Skripsi yang diajukan oleh

nama : Prashasti Wilujeng Putri NPM : 1006693243

program studi : Kriminologi

judul : Kebijakan Privatisasi Air DKI Jakarta sebagai Bentuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia

ini telah berhasil dipertahankan di depan hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Program Studi Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Ferdinand T. Andi Lolo, S.H., L.L.M., Ph.D

Penguji Ahli : Prof. Dr. Muhammad Mustofa

Ketua Sidang : Dra. Mamik Sri Supatmi, M. Si.

Sekretaris Sidang : Dr. Iqrak Sulhin, M. Si.

(5)

Dengan segala keterbatasan peneliti, peneliti sadar bahwa tidak mungkin naskah skripsi ini dibuat apabila peneliti tidak mendapat bantuan dari siapapun. Untuk itu, peneliti ingin mengucapkan terima kasih untuk segala pihak yang membantu pembuatan naskah skripsi ini.

 Segala puji, hormat, juga syukur dipanjatkan bagi Sang Pencipta semesta. Hanya dengan berkat dan pengampunan-Nya, peneliti dapat menyusun naskah skripsi ini dari awal hingga akhirnya.

 Terima kasih kepada Yohanes Haryono, Soeastuti Poerwanti, Prabham Wulung Pratipodyo, Prathiwi Widyatmi Putri, Susi Lusiani, Galuh Dahayu Waranggani Pratipodyo, dan Bhre Reksa Bhagawanta Pratipodyo untuk cinta kasih yang tak terhingga.

 Ferdinand T. Andi Lolo, S.H., L.L.M., Ph.D. selaku dosen pembimbing peneliti yang telah memberikan bimbingan, bantuan, kritik, dan berbagai ilmu sehingga peneliti dapat mengerjakan skripsi ini dengan baik.

 Prof. Dr. Muhammad Mustofa selaku penguji ahli. Terima kasih atas semua masukan akan konsep, teori, dan metode selama saya mengerjakan skripsi ini.  Dr. Iqrak Sulhin, M. Si. selaku sekretaris sidang dan yang telah banyak menemani saya berdiskusi dan mencerahkan pikiran saya yang kadang menemui jalan buntu.

 Dra. Mamik Sri Supatmi, M. Si. selaku ketua sidang dan ketua program studi reguler.

 Para dosen dari Departemen Kriminologi FISIP UI yang kerap membantu saya selama studi strata satu saya. Semoga semakin berkembang.

 Arief Effendy beserta staff Departemen Kriminologi FISIP UI yang lain, yang sangat membantu saya selama masa perkuliahan dalam bidang administrasi. Ntah apa jadinya kalau mas Arief dan rekan-rekan tidak ada.  Para narasumber yang memberikan saya banyak data, masukan, dan sudut

(6)

vi Universitas Indonesia

Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air; Arif Maulana dan Zae dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta; Royke dari PAM Jaya; Nurhidayah dari Solidaritas Perempuan; Marsha, Mimi, dan Palgunadi dari Badan Regulator Pelayanan Air Minum Jakarta; Andreas Harsono.

 Teman-teman dari Departemen Kriminologi yang memberi warna-warni dalam kehidupan peneliti selama empat tahun ini, terutama Agustin, Agalliso, Akbar Acil, Alala, Alwin, Anggi, Anin, Annisa Nichi, Annisa Ica, Anugrah, Ardi Putra, Argina, Arief Ucup, Arief Padang, Arsendi, Ayu, Azhara, Azizul, Fahmi, Firyan, Gerald, Gome, Hardiat Dani, Harris, Hawlah, Ical, Irfan Lele, Juliana, Meutia Udung, Mulki, Nadia, Nisa, Kasa, Kenn, Kunto, Marcha, Rahmadiani, Razhes, Remon, Ridho, Rini, Sekar, Suci, Syahrizal, Taufan, Tubagus, Teddy, Tyas Puspo, Vanny, Wahid, Wara, Yudith, Yunia, Oshin, Bob, Rima, Techa, Swaswa, Sherlyna, Bagas, Manshur Zikri, Ovan, Affin, Endah, Vivi, Maria, Pangesti, Tua, Rasyel, Ace, Shaila, Zainal, Naya, Cika, Tiani, Agung, Arma, Dila.

 Acista Nitbani, Aditya Hizkia, Alanda Arifin, Albino Panjaitan, Ananda Putri Permatasari, Andreas Wahyu Apridiyanto, Berto Tukan, Carl Jaya, Christ Billy Ariyanto, Christin Stefphanie, Febrina Manalu, Grace Manalu, Jefri Tien Yun, Joseph Rustandi Harahap, Kara Toruan, Pascalia Bertie, Pingkan Polla, Tanius Sebastian, Thalita Adwinda, Theresa Panjaitan, Thomas Galih Satria, Whisnu Yonar yang membantu saya dalam memberi saran, pemikiran, teknik pengambilan data, operasional penelitian, dan penghiburan, serta semangat.

Semoga semua pihak yang telah membantu bisa mendapat karma baik dari hal yang telah dilakukan. Semoga naskah skripsi ini bisa membawa kebaikan dan manfaat bagi dunia akademis dan praktis.

Depok, 2014

(7)

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Prashasti Wilujeng Putri

NPM : 1006693243

Program studi : Kriminologi Departemen : Kriminologi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jenis Karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non-ekslusif (Non-exclusive Royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Kebijakan Privatisasi Air DKI Jakarta sebagai Bentuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmediakan atau memformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di: Depok

Pada tanggal: 2014 Yang menyatakan,

(8)

viii Universitas Indonesia

Nama : Prashasti Wilujeng Putri Program Studi : Kriminologi

Judul : Kebijakan Privatisasi Air DKI Jakarta sebagai Bentuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Skripsi ini membahas tentang bagaimana pemerintah Indonesia melakukan kejahatan dalam melakukan kebijakan privatisasi air bagi warga DKI Jakarta. Teori yang dipakai dalam skripsi ini adalah kejahatan negara yang dilakukan karena melakukan pelanggaran HAM oleh Julia dan Herman Scwendinger, teori Strukturasi oleh Giddens, dan crimes of domination oleh Quinney. Skripsi ini melihat bagaimana praktik-praktik yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia tidak terlepas dari dan mendukung adanya struktur yang lebih besar dalam globalisasi. Indonesia dihegemoni oleh Bank Dunia dalam rangka globalisasi yang kemudian diberi reaksi oleh Indonesia sebagai bentuk adaptasi struktural sehingga pemerintah Indonesia melakukan crimes of domination. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia melakukan kejahatan dengan adanya pelanggaran hak asasi manusia atas air bersih terhadap warga DKI Jakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan kriminologi kritis untuk mengkaji masalah kebijakan privatisasi air bersih ini. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan studi dokumen, wawancara, FGD, dan penelusuran data sekunder sebagai teknik mengumpulkan data.

Kata Kunci:

Privatisasi Air, Hak Asasi Manusia, Strukturasi, Crimes of Domination,

(9)

Name : Prashasti Wilujeng Putri Course : Criminology

Title : Water Privatization Policy in DKI Jakarta as a Form of Human Rights Violation

This thesis discusses about how the Indonesian government commit a crime in doing water privatization policy for the Jakarta citizens. The theory and concept used in this thesis are a state crime for committing human rights violations by Julia and Herman Schwendinger, Structuration theory by Giddens, and crimes of domination by Quinney. This thesis sees how the practices done by the government of Indonesia cannot be separated from and promote the bigger structure in the globalization. World Bank performs hegemony in the context of globalization to Indonesia whose the reaction, as a form of structural adaptation, is committing crimes of domination. In this case, the Indonesian government commit a crime in the presence of human right to water violation to the people in Jakarta. This study uses critical criminology approach to study the problem of clean water privatization policy. The method used is a qualitative method with the documents study, interviews, focus group discussions, and secondary data retrieval as data gathering technique.

Keywords:

(10)

x Universitas Indonesia

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Masalah Penelitian ... 8

1.3. Pertanyaan Penelitian ... 9

1.4. Tujuan Penelitian ... 9

1.5. Signifikansi Penelitian ... 9

1.5.1. Signifikansi Akademis ... 9

1.5.2. Signifikansi Praktis ... 10

1.6. Sistematika Penulisan ... 10

2. KAJIAN PUSTAKA ... 12

2.1 Kerangka Konsep ... 12

2.1.1. Hak Asasi Manusia ... 12

2.1.2. Globalisasi... 14

2.1.3. Neoliberalisme ... 16

2.1.4. Strukturasi ... 17

2.1.5. Hegemoni ... 18

2.1.6. Kebijakan Publik ... 20

2.1.7. Privatisasi Air... 21

2.1.8. Barang Publik dan Barang Ekonomi ... 23

2.1.9. Viktimisasi Struktural ... 25

2.1.10. Welfare Justice ... 26

2.1.11. Crime of Domination sebagai Kejahatan Negara ... 27

2.2. Landasan Teori Pendekatan Kriminologi Kritis oleh Julia dan Herman Schwendinger 29 2.3. Kajian Kepustakaan dengan Isu Sebidang ... 31

(11)

3.3. Teknik Pengumpulan Data ... 40

3.3.1. Studi Dokumen ... 40

3.3.2. Wawancara Mendalam ... 41

3.3.3. Focus Group Discussion ... 43

3.3.4. Penelusuran Data Sekunder ... 44

3.4. Waktu Penelitian ... 44

3.5. Hambatan Penelitian ... 45

4. TEMUAN DATA ... 46

4.1. Awal Perjalanan Privatisasi Air DKI Jakarta ... 46

4.2. Keterlibatan Badan-Badan Internasional ... 54

4.3. Regulasi ... 56

4.4. Pelayanan Air Bersih terhadap Warga ... 60

4.5. Kerugian yang Dialami oleh Warga Akibat Privatisasi Air ... 63

5. ANALISIS ... 67

5.1. Air sebagai Hak Asasi Manusia ... 67

5.2. Dominasi Bank Dunia akan Nilai Neoliberalisme terhadap Indonesia Dalam Jubah Globalisasi... 69

5.3. Reaksi Pemerintah Indonesia atas Hergemoni Bank Dunia ... 74

5.4. Implementasi Kebijakan Privatisasi Air ... 78

5.5. Viktimisasi Struktural ... 81

6. PENUTUP ... 86

6.1. Kesimpulan ... 86

6.2. Saran ... 90

DAFTAR PUSTAKA ... 92

(12)

xii Universitas Indonesia

Tabel 4.1. Tabel Perubahan Perjanjian Kerjasama Sebelum dan Sesudah

Diperbaiki dan Diberlakukan Kembali tanggal 22 Oktober 2001 ... 50

Tabel 4.2. Tabel Upaya Penurunan Kehilangan Air yang Dicantumkan pada

Lampiran Perjanjian Kerjasama ... 60

Tabel 4.3. Tabel Pembagian Tarif Air PAM ... 61

(13)

Gambar 4.1. Gambar Pembagian Wilayah Produksi dan Distribusi Air ... 52 Gambar 4.2. Bagan Mekanisme Kenaikan Water Tariff ... 57 Gambar 4.3. Grafik Ilustrasi Grafik Water Charge dan Water Tariff yang

Terjadi Sebenarnya ... 58 Gambar 4.4 Grafik Ilustrasi Grafik Water Charge dan Water Tariff yang Ideal

Menurut Perjanjian Kerjasama Gambar ... 58 Gambar 4.5. Penjual Air di Muara Baru ... 65

(14)

1 Universitas Indonesia 1.1. Latar Belakang Masalah

Pada UUD 1945 pasal 33 ayat 3 dikatakan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”. Secara eksplisit dinyatakan bahwa air merupakan suatu hal yang digunakan untuk kemakmuran rakyat. Leonardo da Vinci mengatakan, bahwa air adalah poros penggerak kehidupan (Biswas & Tortajada, 2005). Air bersih merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia.Selain untuk diminum, air bersih digunakan untuk mencuci, mandi, memasak, industri, rekreasi, dan pertanian.Ada istilah yang tersebar, bahwa di mana ada air, di situ lah ada kehidupan.Air merupakan sumber kehidupan yang bermanfaat untuk lingkungan hidup manusia dan vital bagikesehatan umat manusia. Kebutuhan manusia akan air merupakan hal yang tidak terelakkan. Produktivitas manusia untuk mengaktualisasi diri sangat bergantung pada air karena air merupakan hal yang sangat fundamental bagi keberlangsungan siklus kehidupan alam semesta ini. Semakin manusia bertumbuh, semakin manusia membutuhkan air. Untuk itu, air merupakan hal yang harus dikuasai oleh negara untuk kemudian digunakan untuk rakyat.

Dalam buku Water Wars: Privatization, Pollution, and Profit, Vandana Shiva (2002) menulis,

Water has traditionally been treated as a natural righta right arising out of human nature, historic conditions, basic needs, or notions of justice. Water rights as a natural rights do not originate with the state; they evolve out of a given ecological context of human existence. As natural rights, water rights are usufructuary rights, water can be used but not owned. People have a right to life and the resources that sustain it, such as water.(Shiva, 2002; 20-21)

(15)

kelalaian. Hak atas air pun merupakan usufructuary rights. Usufructuary rights

adalah hak untuk menggunakan dan menikmati keuntungan dari sesuatu hal yang dimiliki pihak lain selama hal tersebut tidak rusak atau diubah dengan cara apapun. Tidak terkecuali, setiap orang membutuhkan air untuk hidup dan setiap orang berhak memperoleh air. Hak atas air merupakan hak asasi manusia. Di Indonesia, hak asasi manusia telah dijamin dalam UUD 1945 Amandemen Keempat pada Bab XA Pasal 28 sampai 28 J.

Namun, terdapat fakta bahwa World Health Organization (WHO) mengestimasi bahwa satu miliar orang di dunia tidak mendapatkan akses terhadap air minum yang bersih. Oleh karena itu, terdapat masalah kesehatan yang menimpa orang-orang yang tidak mendapatkan akses air bersih tersebut (Hale, 2007).Dengan gambaran kecil ini, kita bisa melihat bahwa air bersih merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia.

Kelangkaan air semacam itu telah terjadi di Indonesia, misalnya di Jawa. Jawa yang mempunyai penduduk banyak dan padat tentunya mempunyai kebutuhan akan air bersih yang sangat tinggi. Warga Jakarta merasakan adanya krisis air saat musim kemarau. Dengan semakin banyaknya orang yang datang ke pulau Jawa, khususnya Jakarta, krisis air bersih akan meningkat. Belum lagi masalah industrialisasi dengan banyaknya pabrik dan teknologinya.Polusi membuat air bersih semakin terbatas.

Setiap orang membutuhkan paling sedikit dua belas liter air bersih untuk dikonsumsi per hari (Overman, 1976).Warga Jakarta, yang pada November 2011 berjumlah 10.287.595 jiwa (Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, 2011), tentu saja membutuhkan air sebagai salah satu penunjang hidup.Apablila setiap orang membutuhkan paling sedikit dua belas liter air per hari, warga Jakarta tentu membutuhkan paling sedikit 123.451.140 liter setiap harinya.Sebenarnya manusia bisa menggunakan air yang tersedia di sungai, namun, karena berbagai limbah domestik dan limbah industri berat di Jakarta, warga Jakarta tidak bisa mengkonsumsi air di sungai.Air sungai menjadi coklat, bahkan hitam pekat, dan mengeluarkan bau.

(16)

Universitas Indonesia

mempunyai kekuasaan politik dan ekonomi merasa berhak untuk menampung dan mengolah air bersih tersebut, kemudian menjualnya. Air menjadi barang mahal bagi manusia, apalagi bagi kaum miskin yang tidak diperhatikan oleh penguasa.Air bersih hanya bisa diakses oleh warga yang kelas ekonominya menengah ke atas.

Dari data penelitian Walhi, 65 persen penduduk Indonesia tinggal di pulau Jawa yang kapasitas kandungan airnya hanya 4,5 persen saja. Data lain dari Kompas, 85 persen sumur di Jakarta tercemar bakteri e-coli. Hal itu dapat menimbulkan adanya penyakit menular antarwarga.Komplikasi lainnya adalah penyakit tersebut dapat mewabah dan lebih menyebabkan kerugian yang lebih besar lagi. Selain itu, hanya 40 persen warga perkotaan dan 30 persen warga pedesaan yang tersambung jaringan PAM. Dengan kata lain, masih banyak warga yang tidak mendapatkan akses air bersih untuk kehidupannya.Bila merujuk lagi pada tahun 1991, dikatakan bahwa populasi penduduk Jakarta nyaris mencapai angka tujuh juta, namun hanya 45 persen masyarakat Jakarta yang dapat menikmati air keran yang bersih dan berkualitas (Sopian dkk, 2006).

Selain itu, di daerah Jakarta Utara, sejumlah pengusaha pencucian sepeda motor dan mobil menyedot air tanah karena pasokan PAM tidak lancer. Salah satu karyawannya mengungkapkan bahwa distribusi air dari PAM kadang terhenti tanpa pemberitahuan. Usaha pencucian sepeda motor ini dapat terhambat apabila tidak ada air. Dengan begitu, akan banyak pekerja di pencucian sepeda motor ini yang tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, mereka harus menyedot air tanah agar tetap bisa melakukan usaha. Namun, para pihak pengelola usaha pencucian motor dan mobil tersebut tidak mempunyai surat izin pengambilan air tanah. Rupanya para pelaku usaha pencucian motor dan mobil tersebut mengambil air tanah secara diam-diam karena tarif pengambilan air tanah dilipatgandakan oleh pemerintah daerah setempat pada 2009 untuk menghambat defisit air tanah yang kian parah (KRuHA, 2012). Hal ini dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

(17)

segala ketidakpastian hidup, seperti pekerjaan dan makanan sehari-hari, air merupakan salah satunya. Endang (41) mengungkapkan kepada KruHA bahwa air bersih susah sekali didapat. Tempat itu berdekatan dengan laut sehingga air laut masuk ke sumur dan akhirnya air sumur pun tidak bisa diminum. Juga, untuk mencuci, air terlalu keruh. Untuk mendapatkan air bersih, penduduk membeli air per gerobak setiap hari.Selain itu, ada juga warga yang berlangganan air perpipaan dari perusahaan swasta PAM Lyonnaise Jaya (PALYJA), dan ada juga yang terpaksa menggunakan air sumur.Air hanya mengalir antara pukul dua hingga tiga dini hari dengan aliran sangat kecil.Dalam satu malam, air bersih yang didapat hanyalah sebanyak dua ember.

Dinyatakan di dalam Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, bahwa air bersih merupakan hak setiap warga negara.Kovenan tersebut telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui UU No. 11 tahun 2005.Dalam kovenan tersebut dinyatakan bahwa negara harus mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak, termasuk pangan, sandang, dan papan, dan atas perbaikan kondisi yang terus-menerus. Negara juga harus meningkatkan cara produksi, konservasi, dan distribusi pangan dengan ilmu pengetahuan melalui penyebarluasan pengetahuan kepada seluruh masyarakat. Setiap warga negara harus menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental.Negara harus sangat mengupayakan perwujudan hak ini sepenuhnya dengan membuat ketentuan-ketentuan, perbaikan, pencegahan, pengobatan, dan pengendalian segala penyakit, perkembangan kehidupan, dan kesehatan lingkungan.

Komentar Umum Nomor 15 Tahun 2002 dari Komite Hak Ekonomi Sosial dan Budaya PBB tentang Hak atas Air adalah hak atas air merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari hak-hak asasi manusia lainnya.

“Water is a limited natural resource and a public good fundamental for life and

health. The human right to water is indispensable for leading a life in human

dignity. It is a prerequisite for the realization of other human rights.” (Committee on Economic, Social, and Cultural Rights, 2002, Art. I.1.)

“The human right to water entitles everyone to sufficient, safe, acceptable,

physically accessible and affordable water for personal and domestic

(18)

Universitas Indonesia

Kemudian, terdapat Sidang Umum PBB pada tahun 2010 yang menyepakati bahwa air minum yang bersih dan sanitasi yang baik merupakan hak asasi manusia yang sangat penting untuk kehidupan dan keseluruhan hak asasi manusia. Sidang Umum PBB tersebut juga meminta negara-negara dan organisasi-organisasi internasional untuk menyediakan keuangan, sumber daya, peningkatan kapasitas, dan transfer teknologi melalui bantuan dan kerjasama internasional dalam rangka meningkatkan upaya pemberian air minum yang bersih, aman, mudah diakses, dan dapat dijangkau oleh semua orang. (United Nations, 2010)

Sidang Umum PBB pada Juli 2010 telah menetapkan air sebagai Hak Asasi Manusia. Untuk itu, terdapat standar air bersih yang harus dipenuhi (United Nations, 2014), yaitu

1. Mencukupi: pasokan air untuk setiap orang harus cukup dan berkesinambungan untuk keperluan pribadi dan rumah tangga. Menurut WHO, antara 50 dan 100 liter air per orang per hari yang diperlukan untuk memastikan bahwa sebagian besar kebutuhan dasar terpenuhi.

2. Aman: Air harus bebas dari mikroorganisme, zat kimia, dan bahaya radiologis yang merupakan ancaman bagi kesehatan seseorang.

3. Layak: Air harus dalam keadaan warna, bau, dan rasa yang dapat diterima (acceptable) untuk setiap penggunaan pribadi atau rumah tangga. Semua fasilitas dan layanan air harus sensitif dengan budaya, gender, siklus hidup, dan kebutuhan privasi.

4. Mudah diakses: setiap orang berhak atas layanan air dan sanitasi yang dapat diakses secara fisik di dalam atau di sekitar rumah tangga, lembaga pendidikan, tempat kerja, atau lembaga kesehatan. Menurut WHO, sumber air harus dalam 1.000 meter dari rumah dan waktu mengambilnya tidak boleh lebih dari 30 menit.

(19)

Sangat disayangkan, bahwa yang membuat air bersih menjadi sulit dijangkau adalah kebijakan pemerintah sendiri yang memasukkan swasta dalam sektor penyediaan air bersih. Awal masuknya pihak swasta dalam sektor penyediaan air ini adalah pada tahun 1980-an dan 1990-an. Bank Dunia dan lembaga-lembaga donor mengeluarkan strategi privatisasi untuk pengembangan sistem air bersih di negara-negara berkembang(Hall & Lobina, 2008). Hal tersebut didasari pada adanya pandangan bahwa pemerintah negara berkembang tidak dapat memberikan pelayanan air bersih kepada warga negaranya. Kemudian, privatisasi ini muncul sebagai solusi akan hal itu. Harapan dari privatisasi ini adalah untuk dapat menjaring dana untuk investasi, perbaikan efisiensi, dan pengelolaan yang lebih baik. Tergiurnya pebisnis-pebisnis dunia akan bisnis air bersih ini membuat kebijakan privatisasi air ini berlanjut.

Pelanggengan atas masuknya swasta dalam sektor penyediaan air bersih ini dilakukan pemerintah dengan adanya UU Nomor 7 tahun 2004 mengenai Sumberdaya Air. Dalam undang-undang tersebut, terdapat tiga macam hak guna air:

“(1) Hak guna air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) berupa hak guna pakai ai dan hak guna usaha air. (2) Hak guna air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat disewakan atau dipindahtangankan, sebagian atau seluruhnya.” (UU Nomor 7 tahun 2004 Pasal 7)

“Hak guna pakai air adalah hak untuk mengalirkan air dari atau ke tanahnya melaluia tanah orang lain yang berbatasan dengannya. Hak guna pakai air diperoleh tanpa izin untuk kebutuhan sehari-hari.” (UU Nomor 7 tahun 2004 Pasal 8)

(20)

Universitas Indonesia

Ada dua bentuk privatisasi.Yang pertama bersifat pengalihan sebagian ke pihak swasta.Yang kedua bersifat pengalihan keseluruhan aspek, seperti peran, tanggung jawab, dan kepemilikan dari pemerintah ke pihak swasta(Tim KRuHA, 2005).Bagaimana pun bentuknya, apabila peran dan tanggung jawab sudah sebagian dialihkan adalah privatisasi.Namun, Bank Dunia lebih memilih istilah lain, seperti Private Sector Participation (PSP) atau Public Private Partnership

(PPP).

Sepertinya, kebijakan privatisasi air di DKI Jakarta ini tidaklah menghasilkan buah yang baik dan bermanfaat untuk masyarakat banyak. Dari hasil diskusi kampung yang dilakukan oleh KRuHA dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) pada 23 Agustus 2013 di Pesisir Marunda Kepu, Cilincing Jakarta Utara, banyak masyarakat miskin yang tidak mendapat pelayanan air yang baik secara kualitas maupun kuantitas. Mereka menyatakan, bahwa sejak diberlakukannya privatisasi air pada 1997, yaitu pada saat perjanjian kerjasama pengelolaan air antara pemerintah Indonesia dengan dua swasta asing, air menjadi semakin sulit didapat karena layanan air semakin memburuk, seperti air mengalir hanya sedikit dan air menjadi kuning dan berbau. Padahal sebelum adanya privatisasi, air mengalir lancar, tidak mengeluarkan bau, dan tidak berwarna. (KIARA dan KRuHA, 2013)

(21)

Dalam kasus privatisasi air ini, pemerintah melanggengkan privatisasi air tersebut dan membuat adanya diskriminasi yang muncul dari adanya rakyat miskin yang tidak mempunyai akses terhadap distribusi air bersih. Situasi ini dijelaskan dengan faktor-faktor, termasuk ketidakmampuan mereka untuk membayar, dan investasi infrastruktur yang bias antara pemerintah daerah dengan korporasi.

1.2. Masalah Penelitian

Sebagaimana yang telah disinggung di bagian Latar Belakang Masalah, air merupakan hak asasi manusia setiap warga negara. Hal itu telah diakui oleh pemerintah Indonesia dengan meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dalam UU No. 11 tahun 2005. Namun, pemerintah membuat undang-undang dan kebijakan lain. Terdapat UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang dalam pasal 9 dikatakan bahwa hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin dari pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.

Masalah kebijakan privatisasi air ini adalah masalah Kriminologi, karena kebijakan ini membuat banyak warga DKI Jakarta yang tidak mempunyai cukup uang untuk membeli jasa pelayanan air menjadi tidak bisa menikmati air bersih yang sebenarnya adalah hak hidup yang sangat penting.

Masyarakat DKI Jakarta menjadi korban dari kebijakan akan air bersih ini. Namun, ironisnya masih banyak warga Jakarta dan para akademisi yang tidak sadar bahwa privatisasi air ini merupakan suatu masalah yang apabila dibiarkan akan bisa membuat kerugian lebih banyak terhadap warga Jakarta. Dalam kajian kriminologis pun, masalah privatisasi air ini jarang dibahas, padahal jelas HAM ini adalah hal serius bagi kriminologi.

(22)

Universitas Indonesia

atau dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Melihat fenomena tersebut, permasalahan yang akan peneliti coba angkat adalah bahwa ada masalah dalam kebijakan privatisasi air ini yang berdampak pada ketiadaan akses masyarakat DKI Jakarta atas pemenuhan kebutuhan pokok, dalam hal ini adalah air bersih. Peneliti ingin mencoba menjawab pertanyaan bahwa seberapa jauh kebijakan privatisasi air di DKI Jakarta dikategorikan sebagai kejahatan.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah dan masalah penelitian yang telah peneliti jelaskan sebelumnya, peneliti merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

Seberapa jauh kebijakan privatisasi air di DKI Jakarta dapat dikategorikan sebagai kejahatan?

1.4. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah diidentifikasi oleh peneliti, tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk melakukan analisis kritis secara akademis tentang kejahatan apa yang ada pada kebijakan privatisasi air di DKI Jakarta. Selain itu, peneliti ingin memberi saran terkait dengan masalah privatisasi air ini kepada para penegak hukum dan lembaga-lembaga yang peduli dan menaruh fokus kepada masalah privatisasi air ini.

1.5. Signifikansi Penelitian

1.5.1. Signifikansi akademis

(23)

di DKI Jakarta dengan menggunakan pendekatan kriminologi kritis. Hal ini disebabkan oleh karena belum pernah ada yang mengkaji masalah kebijakan privatisasi air di DKI Jakarta ini dalam pendekatan kriminologi kritis. Untuk itu, peneliti ingin mengkaji lebih dalam tentang kejahatan yang terdapat dalam kebijakan privatisasi air di DKI Jakarta ini.

1.5.2. Signifikansi praktis

Penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam ranah praktis untuk memberikan suatu bentuk penyadaran untuk masyarakat, terutama mahasiswa sebagai kaum intelektual bahwa kebijakan privatisasi air di DKI Jakarta ini merupakan masalah yang terdapat di dalam kehidupan kita. Peneliti berharap bahwa dengan sadarnya masyarakat akan masalah ini, masyarakat akan bisa beraksi untuk menolak privatisasi air dan mengembalikannya ke ruang publik.

1.6. Sistematika Penulisan

Bab 1 Pendahuluan

Bab ini berisi latar belakang permasalahan dan masalah penelitian yang menjadi dasar dan acuan peneliti dalam melakukan penelitian tentang analisa kebijakan privatisasi air Jakarta dalam kajian kriminologis. Bab ini juga berisi pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, dan signifikansi penelitian.

Bab 2 Kajian Pustaka

Bab ini berisi konsep-konsep yang peneliti gunakan dalam rangka menganalisa masalah penelitian. Selain konsep, bab ini juga berisi teori dan kajian penelitian yang terdahulu yang digunakan oleh peneliti sebagai dasar untuk membuat kerangka pemikiran.

Bab 3 Metode Penelitian

(24)

Universitas Indonesia Bab 4 Temuan Data

Bab ini berisi pemaparan data berupa hasil studi dokumen, penelusuran data literatur, dan beberapa dokumentasi foto yang berhubungan dengan topik penelitian.

Bab 5 Analisis

Bab ini berisi tentang analisa dari paparan data yang telah peneliti paparkan pada Bab 4. Analisis yang dilakukan oleh peneliti mengacu pada kerangka pikir yang telah peneliti buat di Bab 2.

Bab 6 Penutup

(25)

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Kerangka Konsep

2.1.1. Hak Asasi Manusia dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang melekat pada manusia, apapun kebangsaannya, tempat tinggalnya, jenis kelamin, suku bangsa, warna kulit, agama, bahasa yang ia pakai, ataupun status-status lain yang melekat pada diri manusia. Kita semua sebagai manusia berhak akan pemenuhan hak asasi. Hak-hak ini semua saling terkait, saling tergantung, dan tak terpisahkan. Prinsip-prinsip HAM adalah universal, saling tergantung dan tak terpisahkan, setara dan tidak bersifat diskriminatif, dan memerlukan kedua hal: hak dan kewajiban. Universal maksudnya adalah semua orang di seluruh dunia terikat pada HAM.Universalitas ini maksudnya adalah semua masyarakat di dunia terikat pada nilai moral dan etika bersama yang dimiliki seluruh wilayah di dunia. Saling tergantung dan tak terpisahkan maksudnya adalah pemenuhan satu hak tergantung pada pemenuhan hak yang lain. Misalnya, hak atas pendidikan bergantung pada pemenuhan hak akan fasilitas, akses, dan informasi. Setara dan tanpa diskriminatif maksudnya adalah setiap orang tidak diperlakukan secara berbeda berdasarkan suatu status yang melekat pada dirinya, seperti warna kulit, gender, orientasi seksual, usia, ras, asal-usul sosial, dan lainnya. Selain itu, HAM memerlukan pemenuhan kedua hal ini: hak dan kewajiban. Pemenuhan hak menuntut adanya kewajiban yang harus dilakukan, seperti menghormati dan mengaplikasikan HAM dalam kehidupan (United Nations Human Rights, 2013). HAM dalam pemenuhannya tidak bersifat paralel antara hak dan kewajiban, HAM bukanlah sesuatu yang akan seseorang dapatkan setelah ia menunaikan kewajiban. Suatu kewajiban bagi negara untuk melindungi dan mewujudkan hak asasi manusia. Hak asasi manusia merupakan properti yang hanya akan terwujud apabila orang lain memberikan suatu hak asasi manusia itu. Hak dan kewajiban dalam HAM ini merupakan sesuatu yang saling terkait antarmanusia.

(26)

Universitas Indonesia

hak-hak asasi manusia ini. HAM tidak diberikan oleh otoritas manusia atau pemerintah, namun berasal dari martabat dan kemanusiaan itu sendiri. Dalam HAM, tidak terdapat hierarki sehingga semua hak harus dianggap sebagai prioritas yang setara.

Hak Asasi Manusia menjadi sebuah cita-cita yang dapat direalisasikan dengan politik budaya. Politik budaya di sini maksudnya adalah kurang lebih adalah sebuah simbol yang membingkai isu, kejadian, atau proses aktor-aktor sosial yang secara emosional dan intelektual berinvestasi dalam membagikan pengertian kepada dunia. Namun, politik budaya ini tidak hanya semata-mata sebuah simbol, namun fokus pada bagaimana masyarakat itu dibayangkan, bagaimana kehidupan hubungan sosial, dan bagaimana masyarakat diatur. Hal itu membuat konsep HAM tidak hanya menjadi sebuah hal yang abstrak dan kemudian HAM dapat dihormati secara penuh. (Nash, 2009)

Hak atas air bersih merupakan HAM. Hal ini berkaitan dengan hak hidup dan atas kehidupan yang layak untuk manusia. Air bersih merupakan hal yang sangat penting dan vital bagi kehidupan manusia.Tanpa air bersih, manusia tidak dapat menjaga kesehatannya dan berproduksi. Di dalam masyarakat tradisional, hak kolektif akan air dan manajemen air merupakan kunci dari konservasi dan pemanenan. Dengan membuat peraturan dan batas akan penggunaan air, manajemen air kolektif memastikan keberlanjutan akan hak akan air tersebut dan kesetaraan (Shiva, 2002). Dalam buku Water Wars ini, Vandana Shiva juga mengatakan bahwa air adalah hal yang secara turun-temurun dipergunakan secara gratis oleh masyarakat.Peraturan dan manajemen air diaplikasikan dengan kebijakan warga lokal dan secara musyawarah diaplikasikan.Hal itu membuat pemakaian air bersih menjadi rata dan tidak ada yang termarginalkan.

Bingkai kerja hak atas air ini merujuk pada air sebagai hak sosial dan ekonomi yang penting bagi keberlangsungan hidup manusia. Hal ini bukan lah hanya hak sebagai izin untuk menggunakan air, namun, hak asasi manusia atas air ini menyadarkan bahwa semua manusia mempunyai kebutuhan akan air bersih yang melekat pada dirinya. (Hale, 2007)

Hak asasi manusia atas air juga disebut dengan konsep usufructuary rights.

(27)

yang dimiliki oleh pihak lain dengan tidak menyebabkan kerusakan atau mengubah daya guna hal tersebut (World Wide Words, 2002). Vandana Shiva (2002) juga menyebutkan konsep usufructuary rights ini. Shiva menjelaskan bahwa seseorang berhak menggunakan dan menikmati suatu hal dengan tidak melarang orang lain untuk menggunakan dan menikmati hal tersebut.

Air merupakan milik publik yang dapat dinikmati bersama demi berlangsungnya kehidupan manusia. Secara tradisional, masyarakat memperlakukan air sebagai milik bersama. Apabila ada tanah bermata air yang dimiliki oleh suatu pihak, ia akan membiarkan masyarakat di sekitarnya mengambil air dari situ sehingga masyarakat bisa mengonsumsi air bersih untuk berbagai macam keperluan. Masyarakat tradisional menganut nilai bahwa walaupun seseorang menjadi pemilik tanah tersebut, mata airnya adalah tetap milik masyarakat bersama.

Pengurangan atau peniadaan hak manusia atas air merupakan pelanggaran HAM. Pelanggaran atas HAM merupakan hal yang sangat serius. Dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 butir keenam disebutkan, bahwa pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

2.1.2. Globalisasi

Adanya gagasan tentang hak asasi manusia yang kemudian diterapkan di seluruh negara dunia tersebar melalui globalisasi. Selain itu, terdapat pula gagasan tentang privatisasi air yang lahir dari menyebarnya ideologi neoliberal ke seluruh negara di dunia. Indonesia pun tidak luput dari globalisasi ini dan kemudian turut melakukan privatisasi air.

(28)

Universitas Indonesia

kepada seluruh warga dunia. Kejadian yang terjadi di suatu belahan dunia dapat memberikan pengaruh terhadap orang-orang di belahan dunia yang lain. Batas-batas antarnegara sudah tidak terlihat lagi, yang dapat dibuktikan dari mudahnya akses berita dan informasi suatu negara yang dapat diperoleh oleh masyarakat negara lain dalam waktu yang bersamaan tanpa harus berada di tempat kejadian. Kejadian yang dapat memberi pengaruh terhadap belahan dunia lain, seperti yang dijelaskan oleh Ahalla tersebut dapat dijelaskan alasannya oleh tulisan Gregg Barak (2001) yang menyatakan, bahwa globalisasi merujuk pada adanya proses pertumbuhan keadaan saling tergantung antara kejadian, masyarakat, dan pemerintah di seluruh dunia yang terhubung melalui ekonomi-politik di seluruh dunia serta komunikasi, transportasi, dan komputer yang berkembang. Mark Findlay dalam bukunya yang berjudul Globalisation of Crime mengatakan, bahwa dalam dunia yang terglobalisasi, hanya ada satu masyarakat dan budaya yang ada di dalam planet bumi ini. Globalisasi adalah negara transisi. Berbicara tentang globalisasi tidak hanya tentang hilangnya waktu dan ruang, namun juga adanya kesadaran manusia sebagai penghuni dunia global tersebut terhadap adanya dunia secara utuh, dunia yang hubungan antarwarga di dalam dunia ini secara konkret saling tergantung. (Findlay, 2004)

(29)

mencapai level pembangunan yang dilakukan oleh negara maju. Seperti yang dinyatakan oleh Barak (2001), bahwa negara berkembang ditandai oleh tersedianya sumber daya yang murah, dan yang mempunyai standar kehidupan yang rendah. Hal itu lah yang akhirnya dikatakan oleh Barak, bahwa ada ketergantungan negara berkembang terhadap bantuan asing tersebut dengan adanya bantuan untuk melakukan pembangunan di negara berkembang tersebut.

2.1.3. Neoliberalisme

Neoliberalisme merupakan kelanjutan dari paham liberalisme klasik yang yang pernah berkembang dan mengalami krisis. Globalisasi yang sangat mempengaruhi perdagangan antarnegara dalam dunia internasional sangat bergantung pada pasar (Serra & Stiglitz, 2008). Namun, masih adanya campur tangan yang besar dari negara membuat pasar tidak bebas dalam melakukan kegiatanya. Untuk itu, lahir lah paham neoliberalisme ini yang ingin menyingkirkan campur tangan negara dalam kegiatan pasar. Paham itu lah yang kemudian dilembagakan dalam suatu konsensus yang bernama Konsensus Washington (The Washington Consensus).

Konsensus Washington ini merupakan konsensus antara IMF, Bank Dunia, dan the US Treasury tentang kebijakan untuk negara berkembang (Stiglitz, 2002). Konsensus Washington menyatakan, bahwa era negara dalam memimpin industrialisasi dan substitusi impor sudah berakhir (Serra & Stiglitz, 2008). Mengacu pada Aminuddin (2009), terdapat reaksi dari negara-negara di dunia untuk mencapai akselerasi ekonomi global. Hal itu membuat negara-negara di dunia tidak luput dari neoliberalisasi ekonomi.

(30)

Universitas Indonesia

pada kebijakan pemerintah yang harus memotong anggaran untuk melakukan pelayanan publik untuk warga negaranya.

Serra dan Stiglitz (2008) dalam bukunya juga menyatakan, bahwa Konsensus Washington ini mempunyai tiga ide besar yang diambil dari paham neoliberal, yaitu privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi. Hal itu sangat berdampak pada bentuk hubungan antara negara, publik, dengan pasar. Satu-satunya tolok ukur dalam menilai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah adalah dengan kinerja dan kepentingan pasar. Akibatnya, terjadilah liberalisasi dan deregulasi. Negara tidak memiliki wewenang untuk mengontrol dan mencampuri pasar bebas. Logika pasar bukan mengedepankan kepentingan publik, namun mengedepankan kepentingan tiap individu. Menurut penganut neoliberalisme, pelayanan publik merupakan bentuk inefisiensi finansial. Untuk itu, harus dilakukan privatisasi agar terjadi efisiensi finansial.

2.1.4. Strukturasi

Giddens dalam teori strukturasi ini mengangkat hubungan antara struktur dan agensi (Priyono, 2002).Giddens mengatakan bahwa, “Setiap penelitian ilmu sosial atau sejarah pasti melibatkan pengaitan tindakan [seringkali digunakan

secara sinonim dengan agensi] dengan struktur ... tidak mungkin struktur

„menentukan‟ tindakan atau sebaliknya.”(Ritzer & Goodman, 2011). Namun, menurut Giddens, hubungan antara struktur dan agensi merupakan dualitas (timbal-balik) dan bukan dualisme (pertentangan).Agensi merupakan orang-orang yang melakukan tindakan dan praktik yang konkret dalam kontinuitas tindakan dan peristiwa di dunia.Kemudian, struktur merupakan aturan dan sumberdaya yang terbentuk dari dan membentuk perulangan praktik sosial (Priyono, 2002).

(31)

menghasilkan struktur sosial dan struktur sosial memperkuat tindakan sosial sehingga praktik sosial bisa berlanjut terus-menerus.

Giddens melihat adanya tiga gugus besar struktur.Pertama, struktur penandaan atau signifikasi, yang menyangkut tata simbol dan wacana.Kedua, struktur dominasi, yang mencakup tata penguasaan atas orang (politik) dan barang (ekonomi).Ketiga, struktur pembenaran atau legitimasi, yang mencakup peraturan normatif yang terungkap dalam tata hukum.Ketiga gugus besar ini berkelindan dan membentuk suatu struktur besar.Struktur ini lah yang menjadi dasar untuk melakukan praktik sosial.(Priyono, 2002)

Giddens menyatakan, bahwa manusia sebagai agen atau pelaku praktik sosial ini mengetahui akan keberlangsungan struktur ini, namun tahu tidak berarti sadar. Terdapat tiga dimensi internal pelaku.Pertama, motivasi tak sadar, yang menyangkut keinginan atau kebutuhan yang berpotensi mengarahkan tindakan.Kedua, kesadaran diskursif, yang mengacu pada kapasitas kita merefleksikan dan memberikan penjelasan rinci serta eksplisit atas tindakan kita.Ketiga, kesadaran praktis, yang menunjuk pada gugus pengetahuan praktis yang tidak selalu bisa diurai. Kesadaran praktis ini merupakan kunci untuk memahami proses bagaimana berbagai tindakan dan praktis sosial lambat-laun bisa menjadi struktur, dan bagaimana struktur tersebut bisa mengekang serta memampuan tindakan dan praktik sosial manusia. (Priyono, 2002)

2.1.5. Hegemoni

Globalisasi merupakan konteks kekuasaan dan menegaskan hirarki dalam kekuasaan (Findlay, 2004). Dalam globalisasi, Gramsci dalam Green dan Ward (2004) menyebutkan, bahwa negara kapitalis mengamankan legitimasi mereka dengan proses hegemoni. Hegemoni merupakan proses yang mendukung status quo yang dimiliki oleh masyarakat dominan sehingga hal itu muncul seolah-olah sebagai konsensus yang telah disepakati bersama. “Konsensus” ini kemudian diaplikasikan menjadi hukum yang berlaku di masyarakat dan dapat mempertahankan pemerintahan yang berkuasa.

(32)

Universitas Indonesia

konsekuen sebagai wasit dari semua sengketa. Dalam definisi selanjutnya, Adamson menuliskan tentang level hegemoni yang merepresentasikan kesadaran kelas yang dimengerti tidak hanya secara ekonomi, namun juga dalam hal intelektual dan kesadaran moral dalam pengaruh kultural. Jadi, masyarakat yang dikuasai harus menyetujui subordinasi atas diri mereka. Cox (1997) menyatakan bahwa hegemoni didefinisikan sebagai kemampuan dari kelompok dominan untuk memberlakukan serangkaian praktik-praktik sosial pada skala spasial tertentu untuk keuntungan kelompok dominan tersebut (misalnya perusahaan, pemilik modal). Lebih umumnya, Cox menyatakan bahwa hegemoni itu sendiri adalah kapasitas dari model hubungan sosial untuk memaksakan dirinya sebagai model yang diinginkan atau diimpikan pada seluruh masyarakat, dan bahkan pada masyarakat yang belum ada di bawah dominasinya.

Istilah “hegemoni” dapat digunakan dalam hubungan internasional. Pertama, hegemoni mengacu pada hubungan kekuasaan dan distribusi, seperti militer, teknologi, dan finansial. Yang kedua, adalah dominasi dari beberapa ide atau asumsi-asumsi, seperti liberalisme ekonomi dan globalisasi (Moghalu, 2006). Moghalu juga mengatakan bahwa hegemoni ini berjubah sebagai globalisasi norma yang seakan menuntut semua pihak yang terlibat untuk tunduk dalam hegemoni. Dalam Held (2003) yang dikutip oleh Aas (2007), selain berbicara soal hubungan sosial kekuasaan, hegemoni dalam globalisasi berbicara tentang meningkatnya intensitas dan kecepatan interkoneksi global serta meningkatkan dampaknya terhadap local development.

(33)

2.1.6. Kebijakan Publik

Kebijakan privatisasi air merupakan kebijakan publik. Dalam buku Analisis Kebijakan Publik karya Edi Suharto (2006), terdapat kutipan Dye yang diambil dari Young dan Quinn (2002) yang memberikan definisi kebijakan publik, yaitu whatever governments choose to do or not to do.Edi Suharto juga mengutip definisi yang disampaikan oleh Anderson tentang kebijakan publik yang lebih spesifik, yaitu a purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter of concern.

Edi Suharto (2006) mengutip dalam Young dan Quinn (2002) bahwa kebijakan publik merupakan tindakan pemerintah yang dibuat dan diimplementasikan oleh badan pemerintah yang memiliki kewenangan hukum, politis, dan finansial.Kebijakan publik merupakan reaksi atas kenyataan kebutuhan yang ada di dalam masyarakat.Orientasi kebijakan publik adalah pada suatu tujuan dan bukan merupakan keputusan tunggal, melainkan terdiri dari beberapa pilihan tindakan atau strategi yang dibuat untuk mencapai tujuan tersebut demi kepentingan masyarakat luas (Suharto, 2006).Kebijakan adalah soal pilihan. Pilihan akan objektivitas, pilihan akan alasan untuk melakukan suatu aksi, pilihan akan instrumen kebijakan, dan pilihan untuk merespon konsekuensi dari hasil kebijakan (Kay, 2006).Dalam menentukan kebijakan, pemerintah harus memiliki public awareness dan juga membuat masyarakat terlibat dalam menentukan kebijakan tersebut (Moran, Rein, & Goodin, 2008).Hal itu disebabkan karena masyarakat pula lah yang merasakan implementasi dari kebijakan publik tersebut.

(34)

Universitas Indonesia

Kebijakan publik yang fokus dalam memperhatikan kesejahteraan sosial disebut dengan kebijakan sosial. Area kebijakan sosial ini mencakup kebijakan tentang keamanan sosial, jaminan untuk pengangguran, perumahan, kesehatan, pendidikan, dan keluarga. Kebijakan sosial tersebut memperhatikan:

1. Peran negara dalam distribusi sumber daya dan kesempatan antara yang kaya dan yang miskin, pekerja dan orang yang bergantung, orang tua dan muda. 2. Pembagian tanggung jawab akan distribusi kepada pemerintah dan institusi

sosial lainnya, seperti pasar, bidang amal, keluarga dan individual.

3. Pengertian tentang konsekuensi sosial dan ekonomi dari perubahan pengaturan. (Knepper, 2007)

Dalam hal ini, air merupakan arena kebijakan sosial. Negara dituntut untuk berperan dalam distribusi sumber daya dan kesempatan akan akses terhadap air bersih kepada seluruh masyarakat. Kemudian, tanggung jawab pemerintah harus ditekankan di sini walaupun ada distribusi tugas antara pasar, bidang amal, dan kelompok-kelompok masyarakat. Tidak boleh ada hubungan yang timpang antara pemerintah dengan pasar dan pemerintah dengan masyarakat karena pemerintah harus menjamin keamanan dan jaminan akan akses air bersih yang merupakan kebutuhan dasar manusia untuk hidup.

2.1.7. Privatisasi Air

Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat.

(35)

melalui penjualan saham negara pada persero atau penjualan saham dalam simpanan. (Leks & Co Lawyers, 2013)

Salah satu bentuk privatisasi adalah privatisasi air. Privatisasi air merupakan fenomena internasional yang terjadi di berbagai tempat di dunia, seperti Inggris, Cina, Argentina, Filipina, Afrika Selatan, dan tidak terkecuali Indonesia. Gelombang neoliberalisme yang dibawa oleh globalisasi membuat privatisasi air ini juga melibatkan institusi global, seperti World Bank dan the United Nations. Kelompok pendukung privatisasi berpendapat, bahwa pemerintah itu korup, tidak akuntabel, tidak imajinatif, dan kekuarangan keuangan tidak mampu memperluas dan meningkatkan pelayanan air. Hal itu membuat sektor swasta harus menjadi pusat komponen strategi penyaluran air bersih (McDonald & Ruiters, 2005).

Privatisasi air adalah berpindahnya pengelolaan air, baik sebagian maupun seluruhnya dari sektor publik kepada sektor swasta (Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air, 2011). Dalam privatisasi, perusahaan swasta diberikan hak untuk mengelola air di area tertentu dan bisa mematok harga jual air tersebut (Spronk, 2007). Para pendukung privatisasi air berpendapat bahwa privatisasi adalah cara yang paling baik untuk mengatasi persoalan sulitnya akses masyarakat miskin untuk memperoleh air bersih. Selain itu, privatisasi, dengan menjual-belikan air, dipandang membantu untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi layanan air yang selama ini dikelola oleh pemerintah.Namun, menurut para penentang privatisasi air, air merupakan kebutuhan dasar manusia dan bukan merupakan barang ekonomi yang diperjual-belikan.Memperjual-belikan barang tersebut merupakan salah satu tindakan dari adanya keterlibatan sektor swasta dalam pengelolaan dan penyediaan air bersih. Sektor swasta akan lebih memprioritaskan keuntungan daripada pelayanan kepada masyarakat.(Janmaat, 2011)

(36)

Universitas Indonesia

UK, di bentuk Office of Water Services sebagai badan independen. Sedangkan, di Prancis, peran economic regulator-nya diperankan oleh pemerintah daerah.

2.1.8. Barang Publik dan Barang Ekonomi

Bannock, Graham, Baxter, dan Davis (1987) dalam Budds & McGranahan (2003) menyebutkan bahwa barang publik (public goods) didefinisikan sebagai:

 Non-rivalrous – pemakaian satu orang tidak mengurangi atau menghilangkan hak orang lain dalam memakai barang tersebut.

 Non-excludable jika satu orang mengonsumsi barang tersebut, hal itu menjadi mustahil untuk melarang orang lain dalam mengonsumsi barang tersebut.

 Non-rejectable individu tidak bisa menjauhkan diri dari konsumsi bahkan apabila ia menginginkan hal itu.

Menurut Nancy Holstrom (2000), terdapat banyak macam barang publik dan beberapa pengertian akan barang publik. Namun, semua barang publik mempunyai hal yang sama, yaitu secara definisi, barang publik adlah barang untuk semua orang atau kebanyakan orang dan kebutuhan orang-orang tersebut bisa dipuaskan hanya dengan barang tersebut.

Secara tradisional, air merupakan hal yang digunakan oleh masyarakat secara bebas.Hal ini berarti air merupakan barang publik yang bisa bebas digunakan oleh masyarakat. Dengan hak atas air, manusia diperbolehkan mengonsumsi air untuk bertahan hidup dan untuk berproduksi dalam pekerjaannya.

(37)

sanitasi bukan lah murni barang publik, namun, jaringan air di perkotaan, drainase, dan sanitasi tersebut bisa membuat keuntungan pada publik, termasuk perlindungan terhadap publik dari bahaya infeksi dan kesehatan lainnya.Air bersih menjadi barang ekonomi yang memiliki nilai tinggi dalam memenuhi kebutuhan manusia, dan untuk dapat mengakses air bersih, warga negara harus membayar mahal sesuai dengan tarif yang dipatok oleh perusahaan swasta.

Dalam mengelola air bersih, Peter Gleick mengatakan bahwa terdapat tiga pandangan yang berbeda-beda: memperlakukan air sebagai public goods,

memperlakukan air sebagai economic goods, dan gabungan keduanya (Hadi, Sitepu, Soraya, Kusumaningtyas, Ndaru, & Arumsari, 2007):

1. Pandangan untuk tetap mengelola air sebagai public goods mempunyai alasan bahwa harus terdapat pemenuhan kebutuhan dasar manusia akan air. Dalam setiap proses privatisasi yang terjadi, warga yang berada di wilayah pelayanan harus dijamin pasokan airnya. Selain itu, harus ada pula pemenuhan kebutuhan ekosistem alami akan air. Ekosistem alami harus mendapatkan perlindungan. Penyediaan air dilakukan dengan menggunakan subsidi, terutama bagi warga yang tidak mampu membayar akses air bersih.

2. Sedangkan, pandangan untuk mengelola air sebagai economic goods,

beralasan bahwa pengelolaan air membutuhkan biaya yang tinggi arena air harus dirancang untuk meningkatkan penggunaan air yang efektif dan efisien. Pelayanan yang telah disepakati bersama tidak lah murah. Peningkatan pelayanan juga berarti peningkatan harga air. Subsidi yang dilakukan adalah kepada pengguna air, bukan mengurangi harga air. Hal itu disebabkan karena pengurangan harga air akan berdampak pada pengurangan efisiensi penggunaan air.

(38)

Universitas Indonesia

secara terpadu dengan pengelola air dalam mengawasi kualitas air. Selain itu, sebelum ditentukan dan diputuskannya privatisasi, pemerintah dan pihak swasta harus menentukan prosedur penyelesaian perselisihan untuk membangun prosedur yang tidak merugikan rakyat. Yang paling penting adalah negosiasi privatisasi harus terbuka, transparan, dan melibatkan semua pihak yang berkepentingan.

2.1.9. Viktimisasi Struktural

Intensi manusia akan pencapaian tujuan politik dan ekonomi dicerminkan dalam setiap kebijakan yang diambil. Kebijakan tersebut tentu akan berdampak pada orang-orang yang terlibat dan mempunyai relasi dengan pembuat keputusan yang tentunya mempunyai kepentingan. Seringkali, orang lain yang terlibat di dalamnya namun tidak mempunyai daya apa-apa akan disingkirkan.

Viktimisasi merupakan tindakan yang membuat pihak tertentu menderita secara baik mental, fisik, maupun sosial yang dilakukan oleh pihak tertentu dan demi kepentingan tertentu (Gosita, 2004). Kemudian, Fattah mengklasifikasi viktimisasi ke dalam beberapa tipe, salah satunya adalah viktimisasi struktural. Terdapat korelasi positif antara ketidakberdayaan (powerlessness) dengan perampasan dan frekuensi viktimisasi. Hal ini meningkatkan risiko atas timbulnya viktimisasi dengan cara merancang kelompok tertentu sebagai korban (Fattah, 2000). Perancangan ini dimasukkan ke dalam struktur sosial yang melembaga. Fattah (1991) dalam Andari (2012) menyebutkan, bahwa viktimisasi struktural memiliki beragam bentuk, seperti perang, genosida, tirani, kediktatoran, opresi, represi, penyiksaan, penderitaan, eksploitasi, diskriminasi, rasisme, seksisme,

ageism, dan classism. Viktimisasi ini kemudian berujung pada adanya kerusakan sosial.

(39)

2.1.10. Welfare Justice

Berbicara tentang kejahatan tidak terlepas dari kesejahteraan (welfare), kemudian, kesejahteraan tersebut menjadi salah satu tujuan dari diadakannya kebijakan publik, termasuk kebijakan sosial seperti air bersih. Mustofa (2010) menyebutkan, bahwa kesejahteraan sosial sebagai tujuan dari kemerdekaan bangsa tidak dapat dilepaskan dari konsep kejahatan. Keadaan tidak terwujudnya kesejahteraan berhubungan secara umum dengan konsep kejahatan. Goodin (1988) yang dikutip oleh Mustofa (2010) menyatakan, tujuan dari kesejahteraan sosial bukanlah persamaan keadaan dari kelas-kelas dalam masyarakat, atau untuk menatur kegiatan ekonomi, namun adalah untuk menyediakan pelayanan barang dan barang untuk pihak yang berhak mendapatkannya. Perwujudan kesejahteraan sangat berhubungan dengan hak-hak asasi manusia yang diwujudkan oleh pemerintah.

Menurut Neil Gilbert dalam bukunya yang berjudul Welfare Justice, kesejahteraan dilandaskan pada keadilan (equity), bukan pada persamaan (equality). Keadilan itu sendiri merupakan suatu gagasan bahwa kontrak sosial menentukan tanggung jawab timbal-balik antara individu dengan negara (Stoesz, 1996). Keadilan tersebut bisa diukur dengan kesejahteraan. Kesejahteraan itu mencakup pendidikan, kesehatan, dan pangan. Ketiadaan akses terhadap hal-hal mendasar tersebut membuat tidak adanya keadilan kesejahteraan.

Gilbert melihat pada kasus Amerika Serikat, di mana kebijakan untuk memajukan kesejahteraan menjadi tidak adil. Hal itu disebabkan oleh adanya redistribusi akan barang dan jasa yang dilandaskan pada kemampuan untuk membayar. Hal tersebut menjadi isu yang sangat serius, yaitu ketidakadilan (Borgatta, 1996). Apa yang Gilbert nyatakan berlaku juga di Indonesia. Kebijakan privatisasi air juga telah menjadikan air sebagai objek yang didistribusikan pada kemampuan untuk membayar. Oleh karena itu, kebijakan privatisasi bertentangan dengan kebijakan kesejahteraan.

(40)

Universitas Indonesia

menyejahterakan warga negara, namun bukan untuk mencari keuntungam. Oleh karena itu, ada konsep subsidi silang dalam pembedaan kelas ekonomi.

2.1.11. Crime of Domination sebagai Kejahatan Negara

Vito, Maahs, dan Holmes (2006), dalam bukunya, menjelaskan tentang Quinney yang menggambarkan beberapa tipe kejahatan. Gregg Barak (2001) mengutip tulisan dari Quinney (1977), bahwa dalam konteks pembangunan kapitalis dan perjuangan kelas, terdapat berbagai macam bentuk dan ekspresi dari kejahatan itu sendiri yang disebut sebagai adaptasi struktural. Adaptasi struktural tersebut yang membuat muncul atau terjadinya kejahatan.

Tipe kejahatan yang pertama yang pertama adalah crimes of domination, yang merupakan kejahatan yang dilakukan oleh para kapitalis dalam rangka mempertahankan kekuasaan dan kontrol mereka atas masyarakat. Di dalamnya termasuk crimes of control, crimes of government, crimes of economic domination, dan social injuries. Kemudian, tipe kejahatan yang kedua adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berada di kelas pekerja atau kelas bawah. Kejahatan ini disebut sebagai crimes of accommodation, yang di dalamnya termasuk predatory crimes, personal crimes, dan crimes of resistance. Kejahatan negara ini dimasukkan Quinney ke dalam tipe crimes of domination. (Vito, Maahs, & Holmes, 2006)

Alan Doig (2011) menyatakan, bahwa state crime merupakan gagasan jangka panjang yang merujuk hanya pada tindak kejahatan yang dapat pemerintah lakukan. Istilah kejahatan itu sendiri harus dijelaskan. Kejahatan menurut Mustofa (2010) sesuai dengan definisi sosiokriminologis adalah

(41)

b. Pola tingkah laku individu, sekolompok individu baik yang terstruktur ataupun tidak, dan suatu organisasi baik formal maupun nonformal di dalam masyarakat yang bertentangan dengan perasaan moral dan nilai masyarakat. Pelaku dari kejahatan ini diberi reaksi nonformal oleh masyarakat, seperti pengucilan.

Kejahatan negara itu adalah salah satu kategori penyimpangan organisasi, seperti kejahatan korporasi, kejahatan terorganisasi. Analisis kejahatan negara lebih meluas ke arah bagaimana politik dan ekonomi negara yang brutal pada abad kedua puluh satu. Negara dan ekonomi merupakan kerangka pikir untuk studi kejahatan negara. Kejahatan negara merupakan kejahatan dengan definisi yang lebih terfokus pada kerugian sosial. Dominasi ekonomi yang berasal dari sistem perekonomian suatu negara merupakan sebab dari adanya kerugian sosial. Namun, faktanya adalah bahwa kejahatan negara sangat jarang diekspos atau dihukum dalam sistem peradilan pidana. (Chambliss, Michalowski, & Kramer, 2010)

Barlow dan Decker (2010) menyebutkan, bahwa perilaku kriminal pada tingkat organisasi mempunyai tekanan untuk mencapai tujuan. Namun, kejahatan pada tingkat negara (state crime), merupakan kejahatan kasat mata sehingga tidak dapat dengan mudah didefinisikan, bahkan ditentukan siapa pelakunya. Hal itu disebabkan oleh karena konsep kejahatan itu sendiri merupakan bentukan negara. Kejahatan merupakan pelanggaran hukum. Tidak peduli dengan tingkat imoralitasnya, tingkat ketercelaannya, dan tingkat ketidaksenonohannya suatu tindakan, tindakan tersebut tidak akan disebut sebagai tindakan jahat apabila tidak dituliskan dalam hukum oleh negara. (Sutherland & Cressey, 1978)

(42)

Universitas Indonesia 2.2. Landasan Teori

Pendekatan Kriminologi Kritis oleh Julia dan Herman Schwendinger

Julia dan Herman Schwendinger berasumsi bahwa ada hubungan antara kejahatan dan kerusakan. Dengan itu, mereka mengkritik definisi legal atas kejahatan dengan dasar bahwa mereka menggunakan kriteria yang ditentukan oleh perjuangan kelas yang tidak adil sebagai dasar dari praktik keilmuan (Lasslett, 2010). Dengan begitu, definisi legal akan kejahatan gagal untuk menangkap beragam contoh akan kerusakan serius yang dilakukan oleh kelas yang mendominasi dan membuat peraturan.

Solusi alternatif yang diberikan oleh Julia dan Herman Schwendinger (1975) dalam artikel mereka yang berjudul Defenders of Order or Guardians of Human Rights? adalah bahwa definisi kejahatan harus terbuka dengan isu moral. Isu moral dalam kehidupan manusia tidak lah sederhana (Coicaud, Doyle, & Gardner, 2003). Secara tradisional, isu moral tersebut misalnya kerusakan sosial dan tindakan anti-sosial. Terminologi-terminologi tersebut ditentukan oleh adanya hak-hak asasi manusia. Agenda politik modern (abad kedelapan belas) sangat mendukung adanya penegakkan hak asasi manusia, seperti hak mendapatkan rasa aman, hak berbicara, dan hak berkumpul secara bebas. Pada saat itu, kelas menengah baru muncul dan membentuk tantangan terhadap hak istimewa ekonomi dari aristrokat feodal. Dengan bentuk ini, kesetaraan merupakan hak yang immutable (abadi, kekal) untuk berkompetisi secara setara dan bebas dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik. Namun, persamaan yang bersifat kompetitif tersebut, yang juga disebut sebagai prinsip egaliter, menimbulkan pembenaran akan adanya ketidaksetaraan dalam hal jenis kelamin, kelas, ras, dan bangsa. Hal tersebut justru membuat ketiadaan equality of opportunity (keseteraan akan kesempatan).(Schwendinger & Scwendinger, 1975)

(43)

objek yang diperlakukan secara setara oleh institusi. Semua orang harus dijamin prasyarat kehidupannya, termasuk makanan, tempat berlindung, pakaian, pelayanan medis, pekerjaan, rekreasi, dan keamanan dari individu predator atau elit sosial yang imperialistik dan represif. Hal-hal tersebut merupakan hal dasar yang tidak boleh dianggap sebagai hadiah ataupun privileges. Hal-hal tersebut merupakan hak. (Schwendinger & Scwendinger, 1975)

Namun, dalam perjuangan memperjuangkan kesetaraan, kesetaraan itu sendiri sering kali secara meyakinkan dibela bukan atas dasar logika formal, melainkan atas dasar politik. Atas dasar siapa yang menang. Hal tersebut membuat semua manusia tidak terlahir bebas dan setara. Pencapaian kebebasan dan kesetaraan tersebut harus dicapai dengan harga tinggi sebagai usaha pencapaiannya.(Schwendinger & Scwendinger, 1975)

(44)

Universitas Indonesia 2.3. Kajian Kepustakaan dengan Isu Sebidang

Terdapat penelitian di Manila, Filipina yang dilakukan oleh Sarah Hale (2007). Manila adalah tempat dengan banyak kebijakan air baru. Penduduk Manila tidak memiliki hak atas air. Biaya akan air meningkat karena adanya privatisasi air. Selain itu, kualitas air menurun pula. Kebijakan yang ada di Manila adalah bahwa individu memiliki hak untuk menggunakan air. Hak tersebut melindungi aksesibilitas, keterjangkauan, dan kualitas air. Hal tersebut disebut dengan water right atau lisensi air. “Individuals may apply for a water rughts

permit allowing use of the water, but all uses must be beneficial.” tulis Hale. Kebijakan tersebut bukannya menjamin right to water bagi masyarakat Manila, namun malah membuat penduduk manila tidak memiliki hak atas air. Hale berpendapat bahwa menerapkan HAM dalam masalah hak air ini adalah langkah penting dalam perbaikan privatisasi air yang jelas gagal di Manila. Hukum dan peraturan arus air tidak memadai untuk melindungi dan memberikan solusi bagi pengguna air individu. Pemerintah Filipina harus mengakui peran penting air dalam menopang kehidupan. Langkah pertama dan paling signifikan adalah mengadopsi hak hukum positif terhadap air untuk semua warga negara.

(45)

Dalam tulisannya, Budds dan McGranahan (2003) berpendapat bahwa kekuatan privatisasi air adalah perubahan politik internasional dan pergeseran kebijakan di arena pembangunan internasional, khususnya lembaga keuangan internasional di akhir 1970an. Penyediaan sarana umum yang gagal dalam hal penyediaan air diberi solusi berupa privatisasi air yang merupakan kebijakan tanpa pembuktian bahwa kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang efektif. Permukiman informal dan kepemilikan lahan pun menjadi hambatan privatisasi. Sektor swasta tidak dapat meningkatkan pelayanan dan menghilangkan politisasi penyediaan air.

Rhodante Ahlers (2010) melakukan penelitiannya yang berjudul Fixing and Nixing: The Politics of Water Privatization. Ahlers melakukan penelitian di Meksiko dengan fokus sistem irigasi di sana. Kebijakan penyesuaian struktural di Meksiko didefinisikan oleh Bank Dunia dan IMF. Awal tahun 1990-an di Meksiko telah ada kebijakan air yang mengarah pada desentralisasi manajemen dan mengandalkan harga. Pemulihan biaya penuh dan peningkatan partisipasi oleh semua pemangku kepentingan di sektor air dibuat sebagai barang ekonomi. Hal itu membuat definisi air yang tadinya merupakan barang publik menjadi komoditas.

Ahlers menemukan bahwa adanya konsep pasar global yang bertemu dengan sektor publik merupakan gagasan untuk komodifikasi dan privatisasi barang dan aset publik. Kelangkaan air dibuat menjadi produksi pertanian dalam neoliberal sehingga dapat menjadikan lahan air dan tenaga kerja untuk sarana pasar.

(46)

Universitas Indonesia

Tanpa adanya gerakan publik menentang privatisasi, hanya akan ada ruang yang kecil bagi masyarakat transnasional untuk mengembangkan sistem air publik. Tanpa tekanan populer, kebijakan liberalisasi yang bias akan tetap dikembangkan. Terhorst menulis bahwa untuk itu, kesempatan politik ada harus diciptakan untuk membuka level baru dari lokal ke global untuk melakukan delegitimasi privatisasi air.

Allen, Davila, dan Hofmann (2006) melakukan penelitian di peri-urban lima kota metropolitan, yaitu Kairo, Caracas, Chennai, Dar es Salaam, dan Mexico City. Kota-kota tersebut adalah kota dengan penduduk yang sulit sekali mendapatkan akses air bersih dan sanitasi untuk kebutuhan kehidupan mereka. Di Dar es Salaam, terdapat privatisasi air yang berbentuk Public-Private Partnership

(PPP) dengan komponen komunitas. Di Kairo, terdapat dua agensi publik yang terpisah untuk pelayanan air dan sanitasi. Sedangkan di Mexico City, terdapat sistem publik yang melayani air dan sanitasi, namun dengan konsesi privat.Di Caracas dan Chennai, yang melakukan pelayanan air dan sanitasi adalah agensi publik.

Lima studi kasus ini memberikan gambaran yang kompleks tentang berbagai sarana pelayanan air dan sanitasi dasar penduduk pinggiran kota. Kegagalan pelayanan yang dilakukan oleh publik dan swasta untuk mendukung pelayanan air dan sanitasi memperlihatkan bahwa kaum miskin seringkali tertinggal dalam pelayanan-pelayanan publik. Mereka seringkali “invisible” untuk

sektor publik. Untuk itu, Allen, Davila, dan Hofmann mengeluarkan istilah, bahwa warga negara terlihat sebagai konsumen atau pelanggan, bukan sebagai warga negara yang harus dipenuhi haknya dalam pelayanan publik.

Cynthia Morinville dan Lucy Rodina (2012) menulis artikel yang berjudul

Rethinking the Human Right to Water: Water Access and Dispossession in

Gambar

Gambar 4.1.: Gambar Pembagian Wilayah Produksi dan Distribusi Air
Gambar 4.2. Bagan Mekanisme Kenaikan Water Tariff
Gambar 4.3.  Grafik Ilustrasi Grafik Water Charge dan Water Tariff yang Ideal Menurut Perjanjian Kerjasama
Tabel 4.2.: Upaya Penurunan Kehilangan Air yang Dicantumkan pada
+4

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil uji hipotesis, menurut nasabah Bank BTPN telah memiliki bukti fisik dalam suatu kualitas layanan dan rasa kepuasan dari suatu layanan dengan bukti fisik

Untuk mengetahui tingkat keuntungan tiap jenis produk yang dihasilkan dari usaha pengolahan kedelai khususnya pembuatan tahu, tempe, dan tauco sebaiknya dilakukan

Dari hasil penelitian diketahui dalam memperoleh suatu kinerja perusahaan yang baik maka pemilik atau manajer dari UKM harus memperhatikan orientasi kepemimpinan perusahaan

Gerakan yang paling sering digunakan adalah mengarahkan palu kayu dan menekan palu kayu yang dilakukan sebanyak masing-masing 11 kali, Elemen gerakan mengarahkan

88 Emilia Ramadhani Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Penelitian Terapan Unggulan Perguruan

ABSTRAK: Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan deskripsi empirik: 1) dekomposisi genetik mahasiswa pendidikan matematika ditinjau berdasarkan Model SRP tentang

Diperlukan penanganan atas konflik potensial ataupun konflik terbuka yang ada di antara anggota, sehingga konflik tidak menjadi bersifat disfungsional tetapi justru menguntungkan

Dasar hukum asuransi syariah adalah bersumber dari pengambilan hukum praktik asuransi syariah Karena sejak awal asuransi syariah dimaknai sebagai wujud dari bisnis pertanggungan