BAB II
ATURAN - ATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI SUAKA
A. Pengertian dan Istilah Pencari Suaka
Suaka adalah tempat mengungsi; tempat berlindung; menumpang hidup.17
Pencari suaka adalah orang yang telah mengajukan permohonan untuk
mendapatkan perlindungan namun permohonannya sedang dalam proses
penentuan. Apabila permohonan seorang pencari suaka itu diterima, maka
ia akan disebut sebagai pengungsi, dan ini memberinya hak serta kewajiban
sesuai dengan undang-undang negara yang menerimanya.18
Suaka dapat merupakan suaka territorial (atau intern), yaitu yang diberikan oleh suatu negara di wilayah; atau dapat juga suaka ekstra – territorial, yaitu suaka yang diberikan untuk dan dalam dengan kedutaan, gedung – gedung konsuler, markas besar internasional, dan kapal – kapal perang kepada para pengungsi dari penguasa mereka. Perbedaan antara prinsip – prinsip yang berlaku terhadap kedua jenis suaka tersebut mengalir dari fakta bahwa kekuasaan untuk memberikan suaka territorial merupakan suatu peristiwa yang terjadi di dalam wilayah kedaulatannya sendiri, sedangkan pemberian suaka ekstra-teritorial lebih merupakan suatu upaya penghindaran dari kedaulatan negara territorial sejauh
17
Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta, PT. Asdi Mahastya, 2007. Hal. 460.
18“Pengungsi”, dalam
negara itu dituntut untuk menerima para pelarian dari penguasa territorial untuk menikmati perlindungan dari penangkapan.19
Sangat tidak memungkinkan bagi pencari suaka untuk meninggalkan
negeri asal mereka tanpa membawa dokumen yang memadai dan visa.
Maka, banyak pencari suaka terpaksa memilih perjalanan yang mahal dan
berbahaya untuk memasuki negara – negara secara tidak wajar di mana
mereka dapat memperoleh status pengungsi.20
Dari praktek – praktek internasional dalam menghadapi masalah permintaan dan pemberian suaka, kenyataannya lembaga atau asas suaka tersebut mempunyai karakteristik atau prinsip – prinsip yang umum pada suaka yaitu sebagai berikut :21
a) Suaka bukan sesuatu yang dapat diklaim oleh seseorang sebagai hak; b) Hak seseorang hanya terbatas pada mencari suaka dan, kalau
memperbolehnya, menikmatinya;
c) Pemberian atau penolakan suaka adalah hak negara – negara berdasarkan kedaulatannya;
d) Pemberian suaka merupakan tindakan yang harus diterima sebagai tindakan damai dan humaniter. Oleh karena itu, pemberian suaka oleh suatu negara tidak boleh dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat terhadap negara asal pencari suaka;
19
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 2 Edisi Kesepuluh, Jakarta, Sinar Grafika, 2003. Hal. 475.
20“Pengungsi”, dalam
http://jrs.or.id/refugee/, diakses pada 10 Juni 2014.
21
e) Sebagai lembaga yang bersifat humaniter, suaka tidak boleh ditundukkan pada asas timbal balik22;
f) Suaka mengandung prinsip penghormatan pada asas – asas sebagai berikut:
i. Larangan pengusiran (non-explusion)
ii. Larangan pengembalian paksa ke negara asal (non-refoulement), termasuk penolakan di perbatasan (rejection at the frontiars); dan iii. Non – ekstradisi pesuaka (asylee)
g) Bilamana suatu negara menghadapi kesulitan untuk memberikan suaka kepada seseorang secara permanen atau untuk jangka waktu panjang, negara tersebut setidak – tidaknya harus bersedia memberikan suaka kepada pencari suaka yang bersangkutan untuk sementara waktu sampai ia memperoleh suaka di negara lain;
h) Suaka tidak dapat diberikan dalam kasus – kasus tindak pidana non – politis dan tindakan – tindakan yang bertentangan dengan asas – asas PBB23, yang meliputi:
i. Tindak pidana biasa;
22
Reciprositas (Asas timbal-balik), yaitu tindakan suatu negara terhadap negara lain dapat dibalas setimpal, baik tindakan yang bersifat negatif atau pun posistif. Lihat dalam “Asas –
Asas dan Peristilahan Hukum Internasional”, sebagaimana dimuat dalam
http://sujarman81.wordpress.com/2011/07/31/asas-asas-dan-peristilahan-hukum-internasional/, diakses pada 7 Juni 2014.
23
Asas – Asas PBB adalah (1) Persamaan derajat dan kedaulatan semua Negara anggota; (2) Persamaan hak dan kewajiban semua Negara anggota; (3) Penyelesaian sengketa dengan cara damai; (4) Setiap anggota akan memberikan bantuan kepada PBB sesuai ketentuan Piagam PBB;
ii. Tindak pidana menentang perdamaian, tindak pidana perang (war crimes) dan tindak pidana menentang kemanusiaan (crimes against humanity), sebagaimana dirumuskan dalam instrumen – instrumen internasional yang bersangkutan.
i) Pemberian suaka mengandung ketentuan yang mewajibkan pesuaka untuk tunduk pada hukum dan peraturan perundang – undangan negara pemberi suaka; dan
j) Pesuaka tidak boleh melakukan kegiatan – kegiatan yang bersifat menentang negara asalnya atau yang dapat mengakibatkan ketegangan – ketegangan antara negara pemberi suaka dan negara asal pesuaka.
Seringkali terminologi pencari suaka dan pengungsi menimbulkan kebingungan. Seorang pencari suaka adalah seseorang yang menyebut dirinya sebagai pengungsi, namun permintaan mereka akan perlindungan belum selesai dipertimbangkan. Seorang pencari suaka yang meminta perlindungan akan dievaluasi melalui prosedur penentuan status pengungsi (Refugee Status Determination), yang dimulai sejak tahap pendaftaran atau registrasi pencari suaka. Selanjutnya setelah registrasi, United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR)24 dibantu dengan penerjemah yang kompeten melakukan interview terhadap pencari suaka tersebut. Proses interview tersebut akan
24
United Nations High Commissioner For Refugess (UNHCR) adalah suatu badan / organisasi internasional dibawah naungan PBB dalam halaman pengungsi. Kantor UNHCR didikan 14 Desember 1950 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB). Organisasi ini memiliki mandat untuk memimpin dan mengkoordinasikan kegiatan internasional dalam melindungi pengungsi dan menyelesaikan permasalahan pengungsi di dunia. Lihat dalam “Sejarah
melahirkan alasan – alasan yang melatarbelakangi keputusan apakah status pengungsi dapat diberikan atau ditolak. Pencari suaka selanjutnya diberikan satu buah kesempatan untuk meminta banding atas permintaannya akan perlindungan internasional yang sebelumnya ditolak. Sampai dengan akhir Maret 2014, sebanyak 7,218 pencari suaka terdaftar di UNHCR Jakarta secara kumulatif, dan sebagian besar dari mereka berasal dari Afghanistan (44%), Iran (14%) dan Myanmar (8%).25
Penentuan praktis apakah seseorang disebut pengungsi atau tidak,
diberikan oleh badan khusus pemerintah di negara yang ia singgahi atau
badan PBB untuk pengungsi (UNHCR). Presentase permohonan suaka yang
diterima sangat beragam dari satu negara ke negara lain, bahkan untuk satu
negara yang sama. Setelah menunggu proses selama bertahun-tahun, para
pencari suaka yang mendapatkan jawaban negatif tidak dapat dipulangkan
ke negara asalnya, yang membuat mereka terlantar. Para pencari suaka
yang tidak meninggalkan negara yang disinggahinya biasanya dianggap
sebagai imigran tanpa dokumen26. Pencari suaka, terutama mereka yang
permohonannya tidak diterima, semakin banyak yang ditampung di rumah
detensi27.28
25“Pencari Suaka”, dalam
http://www.unhcr.or.id/id/siapa-yang-kami-bantu/pencari-suaka, diakses pada 28 April 2014.
26
Imigran Tanpa Dokumen adalah orang-orang yang melintasi batas-batas negara tanpa dokumen yang memadai (pasport, visa, dsb) disebut sebagai imigran tanpa dokumen (atau secara keliru disebut imigran gelap, karena masuk ke suatu negara secara tidak sah tidak selalu merupakan pelanggaran kriminal). Lihat dalam “Pengungsi”, sebagaimana dimuat dalam http://jrs.or.id/refugee/, diakses pada 10 Juni 2014.
27
Pengungsi adalah seseorang atau sekelompok orang yang meninggalkan suatu wilayah guna menghindari suatu bencana atau musibah. Bencana ini dapat berbentuk banjir, tanah longsor, tsunami, kebakaran, dan lain sebagainya yang diakibatkan oleh alam. Dapat pula bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia secara langsung. Misalnya perang, kebocoran nuklir, dan ledakan bom. Setiap pengungsi biasanya di tempatkan di sebuah tempat penampungan untuk memudahkan para relawan mengurusi dan menolong mereka. Lama pengungsi berada di sebuah tempat penampungan tidak dapat diprediksi. Tergantung dari kondisi atau situasi itu sendiri. Biasanya pengungsi diurus oleh pemerintah setempat, tapi itu tidak menutup kemungkinan para relawan datang untuk membantu.29
Selama beberapa dasawarsa terakhir ini, konsep status pengungsi telah mengalami perubahan yang substansial, baik dalam hukum internasional maupun dalam hukum nasional. Dalam hukum internasional, pada dasarnya pengungsi adalah orang – orang yang dikelompokkan ke dalam masyarakat yang tidak bisa dikenakan tanggung jawab internasional. Mereka melarikan diri dari negerinya dan menjadi pengungsi disebabkan karena adanya bencana kemanusiaan (humanitarian disaster), seperti peperangan, genocide30, kejahatan berat
asing yang melanggar Undang – Undang Imigrasi. Orang asing yang berdiam di rudenim disebut dengan deteni. Lihat dalam “Rumah Detensi Imigrasi”, sebagaimana dimuat dalam http://id. wikipedia.org/wiki/Rumah_Detensi_Imigrasi, diakses pada 30 April 2014.
melanggar kemanusiaan dalam sistem pemerintahan diktator dan kejahatan peperangan. Bencana kemanusiaan umunya termasuk motif dominan timbulnya pengungsi.31
Karena definisi di atas hanya berlaku bagi orang-orang yang takut terhadap penganiayaan, organisasi-organisasi regional baik di Afrika (Persatuan Afrika 1969) maupun di Amerika Latin (Organisasi Negara-negara Amerika 1984) telah memperluas definisi tersebut yang mencakup pula pengungsian masal yang terjadi sebagai akibat dari kehancuran sosial maupun ekonomi dalam konteks konflik :
1. Pengungsi Internal (Internally Displaced Persons/IDPs)
Pengungsi Internal adalah orang – orang atau kelompok orang yang telah terpaksa atau harus berpindah atau meninggalkan rumah atau kampung halaman mereka, terutama sebagai akibat dari atau demi menghindari pengaruh konflik bersenjata, situasi kekerasan yang meluas, pelecehan terhadap hak asasi manusia atau karena bencana alam maupun bencana akibat ulah manusia, dan tidak melintasi batas – batas negara yang diakui secara internasional. Sebagian besar pengungsi di dunia adalah orang-orang yang menjadi pengungsi di dalam
kelompok agama dengan cara membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisika atau mental yang berat terhadap anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya; melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok; memindahkan secara paksa anak – anak dalam kelompok ke kelompok lain. Lihat dalam “Genosida”, sebagaimana dimuat dalam http://id.wikipedia.org/wiki/ Genosida, diakses pada 30 Mei 2014.
31
negerinya sendiri. Hampir 4 juta dari 26 juta orang pengungsi di dalam negeri berasal dari Asia Selatan dan Asia Tenggara.32
Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa istilah IDPs timbul karena adanya bahaya yang mengancam keselamatan penduduk. Misalnya karena adanya pertikaian bersenjata, atau karena banyaknya terjadi pelanggaran, pelanggaran hak asasi manusia atau karena terjadinya bencana alam (natural disaster) seperti banjir, gempa, gunung meletus, kekeringan. Juga karena bencana buatan manusia (man – made disaster). Perlu dikemukakan bahwa telah terjadi perkembangan dalam penggunaan kata atau istilah “persons” dalam Displaced Persons (DPs) dan Internally Displaced Persons (IDPs) menjadi “people”, sehingga istilah –
istilah yang kini dipakai oleh UNHCR adalah Displaced Peoples (DPs) dan
Internally Displaced People (IDP).33
2. Pengungsi Prima Facie
Dalam menghadapi konflik dan pelanggaran hak asasi manusia secara masal, orang – orang seringkali meninggalkan negaranya secara masal. Dalam situasi ini, sangatlah tidak praktis dan tidak perlu untuk mengkaji masing-masing permohonan suaka yang mereka ajukan. Orang-orang ini sudah terbukti dengan sendirinya untuk dapat disebut pengungsi. Contoh dari gerakan pengungsi semacam ini dapat ditemukan dalam diri orang-orang Sudan yang mengungsi ke
32“Pengungsi”, dalam
http://jrs.or.id/refugee/, diakses pada 11 Juni 2014.
33 “Pengungsi Internal atau
Internally Displaced Persons (IDPs)”, sebagaimana dimuat
Chad, orang-orang Chad yang mengungsi ke Republik Afrika Tengah, orang Somalia ke Kenya, orang Sri Lanka yang mengungsi ke India dsb.34
Dalam bagan berikut ini akan tampak pembedaan pengungsi.35
Alam Statutory Refugee
Pengungsi UNHCR Convention Refugee
Manusia Mandate Refugee
Lain-lain
Penjelasan :
1. Statutory Refugee adalah status dari suatu pengungsi sesuai dengan persetujuan interansional sebelum tahun 1951.
2. Convention Refugee adalah status pengungsi berdasarkan Konvensi 1951 dan Protokol 1967. Di sini pengungsi berada pada suatu negara pihak/peserta konvensi. Yang menetapkan status pengungsi adalah negara tempat pengungsian (negara dimana pengungsi itu berada) dengan kejasama dari negara tersebut dengan UNHCR, wujud kerja sama itu
34“Pengungsi”, dalam
http://jrs.or.id/refugee/, diakses pada 11 Juni 2014.
35 “
misalnya: dengan mengikut sertakan UNHCR dalam komisi yang menetapkan status pengungsi, bentuk kerjasama lainnya negara yang bersangkutan menyerahkan mandat sepenuhnya pada UNHCR untuk menetapkan apakah seseorang itu termasuk pengungsi atau tidak.
3. Mandate Refugee adalah menentukan status pengungsi bukan dari Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tetapi berdasarkan mandat dari UNHCR. Di sini pengungsi berada pada negara yang bukan peserta konvensi atau bukan negara pihak. Yang berwenang menetapkan status pengungsi adalah UNHCR bukan negara tempat pengungsian. Mengapa
Mandate Refugee tidak ditetapkan oleh negara pengungsi? Hal ini disebabkan karena negara tersebut bukan negara pihak konvensi tadi, akibatnya ia tidak bisa melakukan tindakan hukum seperti dalam konvesi tadi.
4. Pengungsi – pengungsi lain (sebab manusia)
Ada yang tidak dilindungi oleh UNHCR, misalnya PLO36, sebab PLO sudah diurus dan dilindungi badan PBB lain maka tidak termasuk lingkungan kekuasaan UNHCR.
Selanjutnya Haryomataram membagi dua macam “Refugees, yaitu Human
Rights Refugees dan Humanitarian Refugees.
36
- Human Rughts Refugees adalah mereka yang (terpaksa) meninggalkan negara atau kampong halaman mereka karena adanya “fear of being
persecuted”, yang disebabkan masalah ras, agama, kebangsaan atau keyakinan politik. Telah ada Konvensi dan Protokol yang mengatur Status dari Human Rights Refugees ini.
- Humanitarian Refugess adalah mereka yang (terpaksa) meninggalkan negara atau kampung halaman mereka karena merasa tidak aman disebabkan karena ada konflik (bersenjata) yang berkecamuk dalam negara mereka. Mereka pada umumnya, di negara dimana mereka
mengungsi, dianggap sebagai „alien‟. Menurut Konvensi Geneva 1949,
“alien” ini diperlakukan sebagai “protected persons”. Dengan demikian
mereka mendapat perlindungan seperti yang diatur, baik dan Konvensi Geneva 1949 (terutama Bag. IV), maupun dalam Protokol Tambahan I – 1977.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, baik International Humanitarian Law maupun International Refugees Law, mengatur masalah
“refugees”. International Humanitarian Law memberikan perlindungan kepada
“Humanitarian Refugees”, sedang International Refugees Lawmengatur “Human
Rights Refugees”.37
B. Sejarah Munculnya Pencari Suaka
Persoalan pengungsi telah ada sejak lebih kurang Abad XX. Persoalan tersebut pertama kali timbul ketika terjadi Perang Rusia (ketika revolusi di Rusia), yaitu ketika para pengungsi dari Rusia berbondong – bondong menuju ke Eropa Barat.38
Enny Soeprapto mengatakan : Masyarakat Yunani Purba telah mengenal
lembaga yang disebut “asylia” walaupun agak berbeda maksud dan pengertiannya
dengan “suaka” yang kita kenal sekarang. Pada Masa Yunani Purba itu, agar
seseorang, terutama pedagang, yang berkunjung ke negara – negara lainnya, mendapat perlindungan, maka antara sesama negara kota di negeri itu diadakan perjanjian – perjanjian untuk maksud demikian. Lembaga “asylia” itu kemudian dilengkapi dengan lembaga yang disebut “asphalia” yang tujuannya melindungi
benda – benda milik orang dilindungi menurut lembaga “asylia”.39
Dalam perkembangan sejarah kemudian mengenal kebiasaan dimana rumah – rumah ibadat seperti gereja, merupakan tempat – tempat suaka. Demikian pula rumah – rumah sakit sering dipandang sebagai tempat suaka. Di masa – masa awal Masehi, suaka berarti suatu tempat pengungsian atau perlindungan terhadap orang yang peribadatannya dihina. Untuk waktu yang lama, suaka diberikan kepada pelarian pada umumnya, terlepas dari sifat perbuatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh pencari suaka yang menyebabkannya dikejar – kejar. Dalam
38 “
Perlindungan Pengungsi (Refugee) Menurut Hukum Internasional”, dimuat dalam http://si.uns.ac.id/profil/uploadpublikasi/Jurnal/196004161986011002PERLINDUNGAN%20PEN GUNGSI.doc konvensi 1951, diakses pada 5 Juni 2014.
39
waktu yang lama pelaku tindak pidana biasa pun, yang mendapat suaka di negara lain, tidak diekstradisikan.40
Sebagai pedoman, kita dapat berpegang kepada Pasal 1 Paragraf 3 Deklarasi Tentang Suaka Territorial 1967 bahkan secara tegas mengatakan bahwa penilaian alasan – alasan bagi pemberi suaka diserahkan kepada negara pemberi suaka (It shall rest with the State granting asylum to evaluate the grounds for the grant of asylum).41
Badan PBB yang mengurusi bidang pengungsi adalah UNHCR (United Nations High Comissioner for Refugees). UNHCR merupakan sebuah organinsasi kemanusiaan global yang rendah hati. Badan PBB untuk urusan pengungsi pertama kali terbentuk pada awal Perang Dunia ke-2 untuk membantu orang Eropa yang terpencar karena konflik tersebut. Dengan optimisme, Kantor United Nations High Commissioner for Refugees didirikan pada 14 Desember 1950 oleh Sidang Umum PBB dengan mandat tiga tahun untuk menyelesaikan tugasnya lalu akan dibubarkan. Di tahun berikutnya, pada 28 Juli, Konvensi PBB Tentang Status Pengungsi, sebuah dasar hukum dalam membantu pengungsi dan statuta dasar yang mengarahkan kerja UNHCR, dicetuskan.42
Pada tahun 1956, UNHCR mengalami keadaan darurat terbesarnya yang pertama, dimana jumlah pengungsi mengalami peledakan dikarenakan Soviet yang menghancurkan Revolusi Hongaria. Segala teori yang menyebutkan bahwa UNHCR tidak dibutuhkan, tidak lagi mengemuka. Pada tahun 1960-an,
40Ibid
. Hal. 43-44.
41
Ibid. Hal. 44
42“Sejarah UNHCR”, dalam
dekolonisasi Afrika menyebabkan krisis pengungsi dalam jumlah terbesar dalam benua tersebut hingga membutuhkan intervensi UNHCR. Selama dua dekade berikutnya UNHCR membantu mengatasi pergerakan manusia di Asia dan Amerika Latin. Pada akhir abad, terdapat permasalahan pengungsi baru di Afrika, menjadikan adanya siklus yang berulang dan membawa gelombang pengungsi baru di Eropa menyusul serangkaian perang di daerah Balkan.43
Secara singkat UNHCR dalam Information Paper-nya mengatakan batasan pengungsi : Pengungsi adalah orang terpaksa memutuskan hubungan dengan negara asalnya karena rasa takut –yang berdasar- mengalami persekusi44 (persecution). Rasa takut yang berdasar inilah pengungsi dari jenis migran lainnya, seberat apapun situasinya, dan juga dari orang lain yang membutuhkan bantuan kemanusiaan. Karena pengungsi tidak dapat mengandalkan perlindungan dari negara yang seharusnya memberikan perlindungan kepada mereka, maka untuk menanggapi situasi menyedihkan yang dihadapi pengungsi, persiapan – persiapan khusus harus dibuat oleh masyarakat Internasional.45
C. Ketentuan Hukum Internasional Mengenai Pencari Suaka
Secara definitif belum ditemui adanya ketentuan – ketentuan Hukum
Internasional yang bersifat universal yang menentukan status “pesuaka” (asylee)
Tidak ada yang menentukan secara hukum pengertian tentang “suaka” dan atau
“pesuaka”. Demikian pula dengan batasan “pencari suaka” (asylum seeker) tidak
43 Ibid. 44
Persekusi adalah pemburuan sewenang-wenang thd seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah, atau ditumpas. Sebagaimana dimuat dalam http://kbbi.web.id/persekusi, diakses pada 10 Juni 2014.
45
ditemui dalam ketentuan – ketentuan Hukum Internasional yang bersifat universal atau regional yang berkaitan dengan masalah lembaga suaka.46
Ada banyak definisi tentang pengungsi, dari yang paling sempit sampai yang paling luas. Setelah Perang Dunia II, negara – negara anggota PBB mendorong lahirnya apa yang sekarang dikenal sebagai Konvensi PBB Tahun 1951 Tentang Status Pengungsi. Pada mulanya, konvensi ini diterapkan untuk mereka yang mengungsi di Eropa sebelum tahun 1951. Pada tahun 1967, sebuah protokol untuk Konvensi ini telah menghapuskan pembatasan waktu dan tempat yang dirumuskan sebelumnya.47
Pengertian Pengungsi Dalam Konvensi PBB 1951 Tentang Pengungsi dinyatakan bahwa pengungsi adalah:
“Any person who owing to well-founded fear of being persecuted for
reasons of race, religion, nationality, membership of a particular social
group or political opinion, is outside the country of his nationality and is
unable, or owing to such fear, is unwilling to avail himself of the
protection of that country; or who, not having a nationality and being
outside the country of his former habitual residence as a result of such
events, is unable, or owing to such fear, is unwilling to return to it."
46
Ibid. Hal. 44
47“Pengungsi”, dalam
Pengertian ini berlaku bagi mereka yang menjadi pengungsi akibat peristiwa sebelum tanggal 1 Januari 1951 , dan pengakuan terhadap status pengungsi mereka diberikan berdasarkan instrumen internasional lainnya.48
Negara – negara di kawasan Amerika Latin dan Karibia telah mengakui dan menghormati lembaga suaka dalam hubungan antar mereka sudah sejak abad ke-19, sebagaimana terefleksikan dalam Perjanjian Montevideo tentang Hukum Pidana Internasional, 1889, yang memuat ketentuan yang mengakui dan menghormati prinsip lembaga suaka (Pasal 15 – 18). Prinsip lembaga suaka terus menerus dikukuhkan oleh negara – negara di kawasan tersebut dengan inkorporasinya ke dalam, dan kemudian dibuatnya secara khusus perjajnjian regional yang mengatur masalah suaka, seperti Persetujuan Caracas tentang Ekstradisi, 1911 (Pasal 18), Konvensi Havana Tentang Suaka (Diplomatik), 1928, Konvensi Montevideo Tentang Suaka Politik, 1933, Deklarasi Bogota Tentang Hak dan Kewajiban Manusia, 1948 (Pasal 27), Konvensi Caracas Tentang Suaka Diplomatik, 1954, Konvensi Caracas Tentang Suaka Teritorial, 1954, Konvensi San Jose Tentang Hak Asasi Manusia, 1969 (Pasal 22), dan Konvensi Antar-Amerika Tentang Ekstradisi, Caracas, 1981 (Pasal 6).49
Konvensi Wina 196150 tidak memuat ketentuan – ketentuan mengenai
suaka, meskipun Pasal 41 (3) menyebutkan tentang “persetujuan khusus” yang
48 “Perlindungan Internasional Terhadap Pengungsi Dalam Konflik Bersenjata”, dalam
http://hukum.unisba.ac.id/syiarhukum/index.php/jurnal/item/98-perlindungan-internasional-terhadap-pengungsi-dalam-konflik-bersenjata, diakses pada 12 Juni 2014.
49
Sulaiman Hamid, Lembaga Suaka Dalam Hukum Internasional, Op. Cit, Hal. VII-VIII.
50
masing-dapat memberikan peluang terhadap pengakuan secara bilateral, hak untuk memberikan suaka kepada pengungsi politik di dalam lingkungan perwakilan asing.51
Dalam hal ini kemudian Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi 2198 (XXI) 1966 yang mulai berlaku 4 Oktober 1967 Tentang Status Pengungsi yang dikenal dengan Protokol Tentang Status Pengungsi 1967. Dalam protokol ini dinyatakan bahwa pengertian pengungsi tidak lagi dibatasi kepada peristiwa sebelum 1951, hal ini terlihat dalam pasal 1 ayat 2 protokol tersebut yang menghapuskan kata-kata “As a result of events occuring before 1 January 1951”
dan kata-kata “…. As a result of such events”. Protokol juga menghilangkan batas geografis berlakunya Konvensi 1951. Dari pengertian tersebut kita dapat melihat beberapa elemen yang terkandung di dalamnya, yaitu ;
1. Well-founded fear
Rasa takut ini harus mempunyai landasan yang objektif dan benar-benar berdasarkan fakta yang realistis, bahwa kalau dia kembali maka dia akan diadili.
2. Persecution
Persekusi dalam hal ini bukan berarti penuntutan yang dilakukan oleh suatu negara berdasarkan yurisdiksinya, tapi dalam proses itu
masing terdiri dari 8-10 pasal. Konvensi Wina 1961 itu beserta dengan dua protokolnya telah diberlakukan sejak tanggal 24 April 1964 hingga 31 Desember 1987. Ada total 151 negara yang menjadi para pihak dalam Konvensi tersebut dimana 42 di antaranya adalah pihak dalam protokol pilihan mengenai perolehan kewarganegaraan dan 52 negara telah menjadi pihak dalam protokol pilihan tentang keharusan untuk menyelesaikan sengketa. Lihat dalam “Sejarah Kongres Wina”, sebagaimana dimuat dalam http://sahabatrevolusi.blogspot.com/2011/07/sejarah-kongres-wina.html, diakses pada 3 Februari 2015.
51
terkandung adanya ancaman terhadap nyawa dan terhadap kemerdekaan pribadinya. Jadi ini sangat berkaitan dengan pelanggaran hak azasi manusia.
3. Convention grounds
Dalam hal ini adalah alasan-alasan yang membuat dia takut dituntut tersebut, seperti alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan disuatu kelompok masyarakat atau karena perbedaan paham politik. Alasan-alasan ini pada umumnya terdapat dalam beberapa konvensi internasional
4. Outside the country of nationality or habitual residence
Dalam hal ini dia tidak berada dalam wilayah negaranya, tapi pergi melintasi batas negaranya kepada negara terdekat, atau bahkan lebih jauh lagi seperti yang dilakukan oleh pengungsi Vietnam (boat people).
5. Unable or unwilling to avail himself of state protection.
Ini berarti bahwa dia tidak mau minta perlindungan kepada negaranya sendiri dengan alasan-alasan seperti yang terdapat dalam elemen sebelumnya. Dalam hal ini terlihat juga bahwa negaranya tidak akan memberikan perlindungan terhadap mereka.52
Upaya internasional dalam rangka mengurangi “stateless persons” sudah ada yaitu melalui “The Convention on the Reduction of Statelessnes (1961)”.
52 “Perlindungan Internasional Terhadap Pengungsi Dalam Konflik Bersenjata”, dalam
Salah satu bentuk perubahan yang terjadi dalam suatu negara yang dapatmenyebabkan seseorang atau sekelompok orang yang kehilanganan kewarganegaraannya adalah peristiwa succession of state (suksesi negara).
Menurut Ian Bronwlie :
“State succession arises when there is a definitive replacement of sovereignty over a given territory in conformity with international law”.
Berdasarkan resolusi ini, maka setiap orang yang pada saat terjadi suksesi negara, berkewarganegaraan dari negara lama (predecessor state) memiliki hak atas kewarganegaraan dari salah satu negara yang tersangkut. Maksudnya orang yang bersangkutan dapat memilih kewarganegaraannya baik dari negara lama atau negara pengganti (successor state). Pilihan ini, tentunya untuk menghindari agar seseorang tidak kehilangan kewarganegaraan dan akan menjadi seorang yang tidak memiliki kewarganegaraan (stateless persons).53
Tanpa kewarganegaraan adalah situasi di mana tidak adanya status
pengakuan berkenaan dengan hal yang membuat seorang individu memiliki
landasan yang bermanfaat secara hukum untuk menyatakan
kewarganegaraannya, atau di mana ia memiliki klaim yang bermanfaat
secara legal namun dihalangi untuk menuntutnya karena
pertimbangan-pertimbangan praktis seperti biaya, adanya gangguan sipil, atau ketakutan
akan penganiayaan. Badan PBB untuk pengungsi (UNHCR) memperkirakan
bahwa ada kurang lebih tiga juta orang tanpa kewarganegaraan di seluruh
dunia. Kondisi tanpa kewarganegaraan seringkali menjadi penyebab
pengungsian yang terpaksa ketika orang-orang berpindah ke
wilayah-wilayah dunia di mana mereka dapat memperoleh hak-hak dasar dan
menghindari pelanggaran hak asasi manusia.54
Untuk menghindari seseorangkehilangan kewarganegaraan dalam peristiwa suksesi negara, Resulosi Majelis Umum Nomor 55/153 mengenai “Nationally of natural persons in relation to the succession of states” dalam Pasal
1 yaitu :
“Every individual who, on the date of the succession of states, had the
nationality of the predecessor State, irrespective of the mode of acquisition
of that nationality, has the right to the nationality at least one of the state
concered…..”55
Beberapa upaya telah banyak ditempuh PBB dalam memberikan perlindungan terhadap berbagai kelompok pengungsi itu supaya bisa menjadi kompetensi UNHCR hingga akhirnya pada tahun 1972 ECOSOC56 dengan Resolusi 1655 (LII) memberikan referensi tentang displaced persons ketika dia meningkatkan pemulangan sukarela (voluntary repatriation) terhadap pengungsi
54“Pengungsi”, dalam
http://jrs.or.id/refugee/, diakses pada 10 Juni 2014.
55“
Thesis Master Degree, Refugee Law”, dalam http://kadarudin.blogspot.com/2012_05_ 01_archive.html, diakses pada 20 Juni 2014.
56
ECOSOC (Economic And Social Council) adalah Dewan Ekonomi dan Sosial ini terdiri atas 18 anggota dengan hak yang sama selama 3 tahun. Tugas Dewan Ekonomi dan Sosial :
Mengadakan penyelidikan dan menyusun laporan tentang soal-soal ekonomi, sosial, pendidikan, dan kesehatan di seluruh dunia.
Membuat rencana perjanjian tentang soal tersebut dengan negara-negara anggota untuk diajukan kepada Majelis Umum.
Sudan termasuk upaya rehabilitasi terhadap “persons displaced within the country”. Pengertian displaced persons sendiri sebetulnya bukan terminologi baru, sebelumnya secara eksplisit sudah dinyatakan dalam Konstitusi IRO yaitu;
“The term displaced persons applies to a person who, as a result of the
action of the authorities if the regimes mentioned in Part I, section A,
paragraph l (a) of this Annex, has been deported from, or has been obliged
to leave his country of nationality or of former habitual residence, such as
persons who were compelled to undertake force labour or who were
deported for racial, religious or political reasons”.
Namun dari pengertian tersebut masih disebutkan bahwa orang tersebut tidak berada dalam wilayah negaranya, tapi berada di negara lain, dan pasal juga membatasi dirinya terhadap displaced persons yang menjadi korban kekejaman Nazi dan korban Perang Dunia Ke-II , sehingga pasal ini tidak cukup untuk mewadahi kompetensi UNHCR untuk melindungi displaced persons yang terlantar dalam negaranya sendiri. Dalam kaitan itulah resolusi-resolusi yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB ataupun ECOSOC menjadi penting dalam memberikan perlindungan terhadap displaced persons tersebut.
eksplisit. Pembatasan yang jelas tentang itu dapat ditemukan dalam UN Doc, E/CN.4/1998/Add.2, yang menyatakan bahwa :
“Internally displaced persons are persons or group of persons who have
been forced or obliged to flee or to leave their homes or places or habitual
residence, in particular as a result of or in order to avoid the effects of
armed conflict, situations of generalized violence, violations of human
rights or natural or human made disasters, and who have not crossed an
internationally recognized State border”
Pembatasan ini mempertegas karakter keberadaan seorang pengungsi dengan displaced persons dilihat dari sebab dan keberadaan mereka. Dengan demikian dalam pelaksaan tugasnya UNHCR tidak lagi terbatas pada pengungsi seperti yang diamanatkan oleh Konvensi 1951.57
57 “Perlindungan Internasional Terhadap Pengungsi Dalam Konflik Bersenjata”, dalam