• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Malahayati | Kapita Selekta Hukum Internasional | October 10, 2015

HUKUM HUMANITER

INTERNASIONAL

KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

(2)

Kata Pengantar

Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kekuatan dan kemudahan bagi Penyusun dalam menyelesaikan makalah yang berjudul Hukum Humaniter Internasional: Konflik Bersenjata Non-Internasional. Makalah ini merupakan salah satu tugas dalam Mata Kuliah Kapita Selekta Hukum Internasional pada Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala Tahun 2015.

Makalah ini menguraikan tentang konflik non-internasional dalam perspektif hukum humaniter internasional. Makalah ini terdiri dari III (tiga) bab yang tersusun dalam sistematika: Bab I Pendahuluan; Bab II Pembahasan tentang konflik bersenjata non-internasional dalam perspektif hukum humaniter internasional; serta Bab III Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.

Makalah ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Harapan Penyusun, masukan dan kritikan dari pembaca akan memberikan perbaikan terhadap substansi tulisan yang lebih akurat dan reliable. Di sisi lain, semoga makalah ini dapat memberi kontribusi dalam bidang hukum humaniter internasional dan konflik bersenjata non-internasional khususnya.

Salam. Penyusun,

(3)

Daftar Isi

Kata Pengantar ... 1 Daftar Isi ... 2 PENDAHULUAN ... 3 A. Latar Belakang ... 3 B. Rumusan Masalah ... 4 PEMBAHASAN... 5

A. Pengertian Konflik Bersenjata Non-Internasional ... 5

B. Pengaturan Tentang Konflik Bersenjata Non-Internasional ... 8

PENUTUP ... 10

(4)

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Konflik bersenjata baik yang berupa perang atau konflik bersenjata lainnya adalah suatu keadaan yang sangat dibenci oleh bangsa-bangsa beradab diseluruh dunia dan harus dihindari, karena akan mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan bagi umat manusia. Oleh karena itu dengan alasan apapun perang sebisa mungkin harus dihindari. Namun upaya menghapus perang sama sekali dari muka bumi nampaknya sia-sia karena perang akan selalu terjadi. Karena upaya menghapus perang tidak mungkin dilakukan maka umat manusia berupaya mengurangi penderitaan akibat perang dengan membuat hukum. Hukum yang dimaksud pada waktu dulu dikenal dengan istilah hukum perang dan sekarang lebih dikenal dengan istilah Hukum Humaniter Internasional.

Istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut internasional humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict), yang akhirnya pada saat ini biasa dikenal dengan istilah hukum humaniter.1

Hukum Humaniter Internasional merupakan salah satu cabang dari hukum internasional yang tertua. Sejarah Hukum Humaniter Internasional itu sendiri telah ada setua perang dan kehidupan manusia itu sendiri. Hukum perang dalam bentuknya yang sekarang walaupun baru, memiliki sejarah yang panjang. Bahkan jauh pada masa dahulu kala, para pemimpin militer kadang-kadang memerintahkan pasukan mereka untuk menyelamatkan jiwa musuh yang tertangkap atau terluka, merawat mereka dengan baik, dan menyelamatkan penduduk sipil musuh dan harta benda mereka. Manakala permusuhan berakhir, para pihak menyetujui untuk menukarkan tawanan yang berada di tangan mereka. Selama waktu tersebut, praktek ini dan praktek yang serupa telah berkembang secara bertahap kedalam seperangkat aturan kebiasaan yang berkaitan dengan tindakan perang.2

1 Arlina Permanasari, Aji Wibowo, et all, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, International Committee of the Red Cross, Jakarta, hlm.5

(5)

Hukum perang pada awalnya hanya berdasarkan pada kebiasaan (custom) yang berlaku dalam perang. Kebiasaan (custom) ini sangat dipengaruhi oleh agama, asas perikemanusiaan dan asas kesatriaan. Baru dalam abad ke-19 ada usaha dari beberapa negara untuk mengadakan perjanjian yang berisi ketentuan tentang perang. Perang merupakan kejadian yang tidak diinginkan tetapi perang juga tidak dapat dicegah. Maka diusahakan dalam perang meminimalisir korban dan menciptakan perang yang manusiawi.3

Hukum Humaniter Internasional berlaku dalam konflik bersenjata baik itu konflik bersenjata internasional maupun konflik bersenjata non-internasional yang menyebabkan terjadinya korban.

B. RUMUSAN MASALAH

Oleh karena itu, penelitian ini akan mencoba melihat bagaimanakah pengaturan terhadap konflik bersenjatan non-internasional menurut hukum internasional.

3 GPH Haryomataram, 1994, Sekelumit Tentang Hukum Humaniter, Sebelas Maret

(6)

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict merupakan suatu keadaan yang tidak asing lagi di mata dunia internasional. Dalam kurun waktu sekitar 60 tahun belakangan ini setelah munculnya Konvensi konvensi Jenewa 1949, umat manusia mengalami konflik bersenjata dengan jumlah yang sangat besar. Hampir di setiap negara mengalami konflik bersenjata. Terjadinya konflik bersenjata diawali dari adanya pertentangan kepentingan dengan bangsa lain atau pertentangan antar kelompok dalam suatu bangsa sendiri. Secara implisit, hal ini dapat disebut sebagai suatu bentuk perjuangan nasional atau memperjuangkan kepentingan nasional. Berdasarkan jumlah konflik bersenjata yang telah ataupun sedang terjadi di berbagai negara di dunia, konflik tersebut dapat dibedakan menjadi konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non internasional (konflik dalam negeri).

Konflik bersenjata adalah suatu peristiwa penuh dengan kekerasan dan permusuhan antara pihak-pihak yang bertikai. Dalam sejarah konflik bersenjata telah terbukti bahwa konflik tidak saja dilakukan secara adil, tetapi juga menimbulkan kekejaman.4 Dapat dipastikan bahwa konflik bersenjata tidak bisa

dihindarkan dari jatuhnya korban, baik pihak kombatan maupun dari pihak penduduk sipil yang tidak ikut berperang, baik golongan tua maupun golongan muda, wanita dan anak-anak. Akibat dari konflik bersenjata dapat mengenai siapa saja yang berada dalam daerah konflik tersebut.

Beberapa akibat yang sering ditimbulkan selama terjadi nya konflik bersenjata antara lain:

1. Terjadinya kekerasan terhadap tubuh maupun nyawa seseorang 2. Penyanderaan

3. Pelecehan martabat, pemerkosaan

4 Asep Darmawan, Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Komandan Dalam Hukum Humaniter KumpulanTulisan, Jakarta: Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 2005, hlm 51.

(7)

4. Penjatuhan dan pelaksanaan pidana tanpa proses peradilan yang menjamin hak-hak seseorang

5. Perbudakan dan perdagangan orang

Melihat akibat-akibat seperti yang dicantumkan diatas, tentulah menjadi kekhawatiran bagi dunia apabila hal tersebut tidak diatasi dengan cepat. PBB sebagai suatu organisasi dunia yang turut menjaga dan memelihara keamanan dunia, akhirnya tidak tinggal diam melihat situasi yang ditimbulkan oleh konflik bersenjata. Oleh PBB, konflik bersenjata tersebut mendapat pengaturan dalam beberapa Konvensi seperti Konvensi Den Haag 1907, Konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan I dan II 1977. Pengaturan-pengaturan tersebut tentunya diciptakan untuk mencegah atau memberi perlindungan terhadap setiap pihak yang menjadi korban dari konflik bersenjata, sehingga terhindar dari tindak kekerasan yang berakibat fatal.

Namun sekalipun telah ada pengaturan mengenai tata cara peperangan dan pengaturan mengenai perlindungan terhadap korban perang, tampaknya para pihak yang berselisih kurang mengindahkan pengaturan-pengaturan tersebut. Setiap konflik yang terjadi, dapat diketahui bahwa masih banyak korban yang jatuh akibat konflik bersenjata tersebut. Keadaan ini menunjukkan bahwa keberadaan dari setiap pengaturan-pengaturan mengenai konflik bersenjata belum terlalu memberi dampak yang positif.

Sengketa bersenjata noninternasional yang dimaksud dalam Protokol Tambahan II/1977 adalah sengketa bersenjata yang terjadi dalam wilayah suatu negara antara pasukan bersenjata negara tersebut dengan pasukan bersenjata pemberontak.

Untuk menentukan pemberlakuan aturan Protokol Tambahan II/1997 perlu

dilihat bahwa yang dihadapi oleh pasukan bersenjata negara tertentu adalah pasukan

pemberonntak yang memiliki unsur atau kriteria sebagai berikut :

 Merupakan kelompok bersenjata terorganisasi

 Berada dibawah komando yang bertanggung jawab

(8)

 Mampu melakukan operasi militer yang berkelanjutan dan berkesatuan

 Mampu menerapkan aturan-ataan HHI yanng termuat dalam Protokol

Tambahan II/1997

Di samping mengetahui maksud atau pengertian konflik bersenjata non-internasional menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977, maka tidak ada salahnya mengetahui bagaimana pengertian konflik non-internasional menurut para ahli. Berikut dicantumkan bagaimana pendapat ahli dalam usaha mereka untuk merumuskan apa yang disebut dengan sengketa bersenjata non-internasional.

Dieter Fleck menyebutkan bahwa “Konflik bersenjata non-internasional

adalah suatu konfrontasi antara penguasa pemerintah yang berlaku dan suatu kelompok yang dipimpin oleh orang yang bertanggung jawab atas anak buahnya, yang melakukan perlawananan bersenjata di dalam wilayah nasional serta telah mencapai intensitas suatu kekerasan bersenjata atau perang saudara”.

Pietro Verri menyatakan bahwa “Suatu konflik non-internasional dicirikan

dengan pertempuran antara angkatan bersenjata suatu negara dengan perlawanan dari sekelompok orang atau pasukan pemberontak… Bagaimanapun juga suatu konflik di suatu wilayah negara antara dua kelompok etnis dapat pula diklasifikasikan sebagai konflik bersenjata non-internasional asalkan konflik tersebut memenuhi syarat-syarat yang diperlukan seperti intensitas konflik, lama atau durasi konflik dan partisipasi rakyat pada konflik tersebut”. Selanjutnya, dikatakan pula oleh Verri, bahwa konflik bersenjata non-internasional ini adalah sinonim dari perang saudara.

Hans-Peter Gasser menambahkan bahwa “Konflik non-international adalah

konfrontasi bersenjata yang terjadi di dalam wilayah suatu negara, yaitu antara pemerintah di satu sisi dan kelompok perlawanan bersenjata di sisi lain. Anggota kelompok perlawanan bersenjata tersebut – apakah digambarkan sebagai pemberontak, kaum revolusioner, kelompok yang ingin memisahkan diri, pejuang kebebasan, teroris, atau istilah-istilah sejenis lainnya — berperang untuk

(9)

menggulingkan pemerintah, atau untuk memperoleh otonomi yang lebih besar di dalam negara tersebut, atau dalam rangka memisahkan diri dan mendirikan negara mereka sendiri. Penyebab dari konflik seperti ini bermacam-macam; seringkali penyebabnya adalah pengabaian hak-hak minoritas atau hak asasi manusia lainnya yang dilakukan oleh pemerintah yang diktator sehingga menyebabkan timbulnya perpecahan di dalam negara tersebut”. 5

B. PENGATURAN TENTANG KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

Sasaran dari tindakan penyanderaan dalam konflik bersenjata, salah satunya adalah warga sipil. Sementara, warga sipil merupakan salah satu pihak yang harus dilindungi selama pertikaian bersenjata itu berlangsung. Dalam suatu sengketa bersenjata, orang-orang yang dilindungi meliputi kombatan dan penduduk sipil. Penduduk sipil berhak mendapatkan perlindungan sebagaimana diatur dalam Konvensi Jenewa IV dan Protokol Tambahan 1977.

Menurut Konvensi Jenewa IV, perlindungan terhadap warga sipil meliputi perlindungan umum (general protection) yang diatur dalam Bagian II dari Konvensi tersebut. Sedangkan pada Protokol Tambahan, perlindungan tersebut diatur dalam Bagian IV tentang penduduk sipil. Berdasarkan Konvensi Jenewa, perlindungan umum yang diberikan kepada penduduk sipil tidak boleh dilakukan secara diskriminatif. Dalam segala keadaan, penduduk sipil berhak atas penghormatan pribadi, hak kekeluargaan, kekayaan dan praktek ajaran agamanya.

Terhadap warga sipil tersebut, tidak boleh dilakukan tindakan-tindakan sebagaimana disebutkan di dalam pasal 27-34, yaitu:

1. Melakukan pemaksaan jasmani maupun rohani untuk memperoleh keterangan.

2. Melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani. 3. Menjatuhkan hukuman kolektif.

4. Melakukan intimidasi, terorisme dan perampokan. 5. Melakukan pembalasan (reprisal).

6. Menjadikan mereka sebagai sandera.

(10)

7. Melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani atau permusuhan terhadap orang yang dilindungi.

Berdasarkan uraian diatas, menjadikan warga sipil sebagai sandera adalah salah satu tindakan yang dilarang oleh konvensi ini. Pasal Umum III dari Konvensi Jenewa melarang pengambilan sandera. Tindakan penyanderaan terhadap penduduk sipil menurut Konvensi Jenewa IV juga dianggap sebagai suatu pelanggaran yang berat.

Ketetapan-ketetapan yang terdapat dalam Konvensi Jenewa menunjukkan bahwa larangan penyanderaan kini tertanam kuat dalam hukum kebiasaan internasional dan dianggap sebagai kejahatan perang. Larangan penyanderaan diakui sebagai jaminan mendasar bagi warga sipil dan orang yang termasuk dalam hors de combat dalam Protokol Tambahan I dan II. Statuta Mahkamah Pidana Internasional juga mengaskan bahwa yang "mengambil sandera" merupakan kejahatan perang di kedua konflik bersenjata internasional dan non-internasional. Larangan ini juga diatur dalam undang-undang di berbagai negara.

(11)

PENUTUP

Konflik bersenjata terdiri dari konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non-internasional. Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 mengatur tentang perlindungan dalam konflik bersenjata non-internasional. Pasal 3 tersebut menentukan bahwa pihak-pihak yang bertikai dalam wilayah suatu negara berkewajiban untuk melindungi orang-orang yang tidak turut serta secara aktif dalam pertikaian.

(12)

Daftar Pustaka

Arlina Permanasari, Aji Wibowo, et all, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, International Committee of the Red Cross, Jakarta, hlm.5

Arlina web’s blog, dapat diakses melalui https://arlina100.wordpress.com

Asep Darmawan, Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Komandan Dalam Hukum Humaniter KumpulanTulisan, Jakarta: Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 2005, hlm 51.

C. de rover, 2000, To Serve & To Protect, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 95. GPH Haryomataram, 1994, Sekelumit Tentang Hukum Humaniter, Sebelas Maret

Referensi

Dokumen terkait

1) Menyelenggarakan pelaksanaan dan penilaian kegiatan Klinik Sanitasi di dalam maupun di luar gedung Puskesmas. 2) Melakukan pengumpulan pengolahan dan analisis data tentang

Berdasarkan tempat, penderita malaria paling banyaj berada di Desa Wonoharjo yang merupakan daerah perbukitan dibandingkan daerah dataran rendah, dan adanya

produksi, (c) hasil analisis petrografi dapat digunakan baik di bidang geologi maupun teknik reservoir / produksi, (d) di dalam eksplorasi-pengembangan- produksi minyak-gas

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa variabel ROA secara bersama- sama mempunyai pengaruh yang signifikan dalam menentukan besarnya perubahan laba di perusahaan

Pelatihan kedua adalah pelatihan manajemen berbasis kompetensi sejumlah 30 peserta yang merupakan koperasi KSP/KSPPS berasal dari wilayah Bandung, Kabupaten Subang, dan

Kehadiran masyarakat muslim dayak ngaju dalam pelaksanan upacara tewah, yaitu Upacara Tiwah adalah upacara terbesar yang hanya dilakukan oleh masyarakat

Berlandaskan kepada kejayaan ini, saya percaya bahawa penswastaan KTM Berhad melalui perancangan yang lebih kemas dan teratur akan dapat menjadi sebuah syarikat pengangkutan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara variabel kepuasan kerja dan disiplin kerja terhadap