• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Budaya - Tradisi Pertanian Dan Tantangan Globalisasi (Studi Kasus Kelangsungan Tradisi Pertanian Pada Masyarakat Karo)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Budaya - Tradisi Pertanian Dan Tantangan Globalisasi (Studi Kasus Kelangsungan Tradisi Pertanian Pada Masyarakat Karo)"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Budaya

Istilah kebudayaan dalam pengertian sehari – hari sering juga disamakan

dengan suatu kesenian seperti seni musik, seni tari, seni rupa, seni sastra, ilmu

pengetahuan maupun filsafat merupakan salah satu bagian dari kebudayaan. Kata

kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddayah yang merupakan

bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi dan akal. Dengan demikian

kebudayaan diartikan sebahai hal–hal yang bersangkutan dengan budi dan akal.

Istilah culture yang merupakan istilah dalam bahasa asing yang sama artinya

dengan kebudayaan, berasal dari bahasa latin colere, yang artinya mengolah atau

mengerjakan (dalam hal mengolah tanah dan bertani). Dari asal arti tersebut yaitu

colere kemudian culture diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk

mengolah dan mengubah alam.

Kebudayaan sendiri memiliki berbagai ragam arti, tergantung dari sudut

pandang ilmu apa yang dilihat. Bahkan dua sarjana antropologi yaitu A.L Kroeber

dan C. Kluchohn (dalam Salim, 1978) telah mengumpulkan 160 macam defenisi

tentang kebudayaan yang berasal dari berbagai buku dengan pengarang yang

berbeda. Defenisi yang sampai sekarang merupakan defenisi sistematis dan ilmiah

adalah yang dikemukakan oleh E.B.Taylor dalam bukunya Primitive Culture, yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks yang

(2)

hukum, adat istiadat dan kemampuan – kemampuan lain serta kebiasaan yang

didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Menurut Koentjaraningrat (1969) kebudayaan adalah keseluruhan dari

hasil kelakuan manusia yang diatur oleh tata kelakuan manusia yang harus

didapatkan

dengan belajar dan semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.

Koentjaraningrat yang mengatakan kebudayaan itu sendiri merupakan suatu

wujud. Wujud kebudayaan dapat digolongkan kedalam tiga wujud yaitu :

a. Wujud Ideal merupakan kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide,

gagasan, nilai–nilai, norma–norma, peraturan–peraturan dan sebagainya.

Wujud ini sifatnya abstrak atau tidak dapat dilihat dan diraba manusia

b. Wujud Sosial / tingkah laku berpola manusia dalam masyarakat.

Kompleks tindakan berpola serta tindakan berpola manusia dalam

masyarakat. Tindakan berpola dan bertingkah laku ini dituangkan dalam

bentuk adat – istiadat, peraturan–peraturan, dan sebagainya.

c. Wujud Fisik merupakan suatu kebudayaan sebagai suatu hasil karya

manusia yang dituangkan dalam bentuk benda– enda atau objek–objek

fisik yang dapat dilihat dan diraba manusia. Koentjaraningrat (1969)

menyebutkan ada tujuh unsur kebudayaan yang bersifat universal yang

sudah pasti terdapat dalam semua bangsa didunia.

Tujuh unsur kebudayaan adalah :

a. Sistem religi / kepercayaan ; Dalam sistem ini pada umumnya

(3)

dunia alam, hidupnya, maupun maut, dan sebagainya tentang kesustraan

suci/mitologi seperti pengetahuannya dan hal–hal yang bersifat tabu atau

pantangan dan lain–lainnya tentang sistem upacara yang bertujuan

menjalankan ide-ide yang terkandung didalam sistem kepercayaan.

Konsep ini sangat berpengaruh pada pola pikir masyarakat baik secara

individu maupun secara kolektif

b. Organisasi sosial/kepercayaan; Dalam hal ini organisasi tidak harus selalu

bersifat formal namun dapat juga bersifat non formal. Organisasi yang

paling kecil dalam masyarakat akan terikat dengan sistem organisasi

lainnya misalnya sistem hukum, sistem perkawinan, organisasi politik, dan

sebagainya.

c. Sistem Pengetahuan; Tiap–tiap suku bangsa di dunia umumnya

mempunyai pengetahuan tertentuyang didapat dari hasil pengalaman dan

disimpulkan kedalam suatu rumusan atau teori tertentu yang

mempengaruhi pola pikir masyarakat itu sendiri. Misalnya pengetahuan

tentang musim sifat–sifat dari gejala alam dan binatang, pengetahuan

tentang ilmu pengobatan, pengetahuan tentang ilmu menghitung angka,

mengukur waktu dan sebagainya.

d. Bahasa; bahasa merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan

manusia yang berguna agar dapat berinteraksi dengan sesame manusia

dengan komunikasi. Bahasa terdiri dari tiga macam yaitu bahasa lisan,

tulisan, dan isyarat. Bahasa ini juga penting dalam pengembangan

kebudayaan, karena tanpa bahasa maka suatu masyarakat tidak akan dapat

(4)

e. Kesenian; Kesenian dapat dibagi menjadi dua macam yaitu seni suara dan

seni rupa, karena seni hanya bisa dinikmati oleh indra pendengaran atau

telinga bila ia berupa seni suara begitu juga dengan seni rupa hanya bias

dinikmati oleh indera penglihatan atau mata. Kesenian pada jaman dahulu

selalu dikaitkan dengan keagamaan dalam fungsinya sebagai pelengkap

suatu upacara keagamaan dan sebagai dasar–dasar keindahan yang

diwujudkan dalam motif-motif perhiasaan dan nyanyian serta tarian rakyat

ataupun simbol–simbol atau lambang suatu benda yang dilukiskan atau

dilambangkan.

f. Sistem Mata Pencaharian; Mata pencaharian rakyat umumnya tergantung

pada potensi yang dimiliki oleh daerahnya. Sistem mata pencaharian yang

dimulai dari tradisional yaitu meramu dan berburu, bercocok tanam

diladang. Sistem mata pencaharian ini sangat berpengaruh pada

perkembangan tingkat perekonomian suatu masyarakat.

g. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi; Sistem peralatan hidup dan

teknologi dari suatu suku bangsa mengandung unsur- unsur khusus,

diantaranya mengenai bahan – bahan yang digunakan, cara pembuatannya,

tujuan atau manfaat dari alat tersebut. Proses pembuatan hidup tersebut

akan selalu berkembang seiring dengan semakin bertambahnya

pengetahuan manusia.

2.2. Budaya/tradisi Pertanian di Karo

Dalam Ilmu Sosial dan Budaya, wujud dari kebudayaan itu ada dalam

(5)

gagasan, nilai-nilai, aturan-aturan dan sebagainya. Semuanya itu membentuk

suatu cultural system (sistem budaya). Kedua, kebudayaan itu dapat dilihat namun tidak dapat diraba. Yang dimaksudkan dalam penjelasan untuk sifat kedua ini

adalah segala aktivitas, perilaku, ritual (kebudayaan) yang dilakukan oleh

masyarakat karo yang dimulai dari nenek moyang karo hingga diturnkan ke

generasi berikutnya. Ketiga, wujud dari kebudayaan itu adalah hasil kerja manusia

yang bersifat konkrit dan nyata. Yang dimaksudkan untuk wujud ketiga ini adalah

segala benda budaya (material cultural) yang menandakan suatu identitas suatu budaya, termasuk identitas budaya karo. Benda budaya yang merupakan identitas

budaya Karo juga terbagi dalam beberapa bentuk, yakni dalam segi pakaian, alat

musik, alat pertanian, dan lain-lain. Semuanya itu dapat diciptakan dan diperoleh

dengan cara belajar agar menghasilkan suatu karya tersendiri dan menjadi

identitas budaya.

Pertanian Karo dan bagaimana mengelola lahan pertanian merupakan hasil

dari suatu kebudayaan yang sudah diturunkan selama puluhan tahun atau bahkan

sampai ratusan tahun kepada generasi berikutnya yang berasal dari nenek moyang

suku Karo. Pertanian Karo merupakan salah satu identitas suku karo yang terkenal

dari hasil pertaniannya yang sudah mampu menembus pasar daerah, nasional dan

bahkan sudah diekspor ke luar negeri. Pertanian Karo juga tidak akan lepas dari

istilahAron, yang dalam terjemahan bahasa Indonesia secara luas, yakni bekerja sama. Masyarakat akan saling bekerja sama untuk mengelola lahan pertanian

penduduk yang satu, dan begitu juga dengan penduduk yang dibantu tadi akan

(6)

merupakan salah satu penyumbang hasil-hasil pertanian di daerah Sumatera Utara,

selain dari beberapa kabupaten yang berada dalam wilayah provinsi Sumatera

Utara.

Lahan pertanian yang terbentang luas di dataran tinggi karo menjadi salah

satu sumber pertanian unggulan di daerah Sumatera Utara. Tanah karo yang

berbatasan langsung dengan kabupaten Deli Serdang, kabupaten Simalungun,

Kabupaten Dairi dan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, yang di dalam nya ada

terdapat gunung sinabung, gunung sibayak dan perbukitan yang mengakibatkan

tanah di kabupaten Karo ini menjadi lahan subur dan sangat cocok untuk tanaman

muda dan beberapa jenis tanaman tua. Pertanian karo juga sekaligus merupakan

identitas budaya karo yang sesungguhnya. Kebudayaan karo yang dimaksudkan

penulis merupakan hasil dari segala kegiatan masyarakat dalam budaya tersebut,

membentuk struktur dan sistem pertanian yang menggabungkan antara pemakaian

alat pertanian, teknik pemakaiann, dan pelaksanaan di lapangan. Pertanian sebagai

identitas budaya Karo dapat kita temukan dalam segala aktivitas masyarakat Karo

di setiap wilayah dataran tinggio Karo. Kebudayaan yang dimaksudkan penulis

adalah segala aktivitas masyarakat yang memberikan cirri-ciri khusus mengenai

kehidupan masyarakat Karo yang dalam hubungannya adalah menyangkut

pertanian, cara mengelola lahan pertanian, ritual, peralatan yang digunakan hingga

segala kegiatan yang berhubungan langsung dengan kegiatan menanam dan

memanen hasil pertanian. Kerja Tahun merupakan salah satu kegiatan masyarakat

(7)

Ketika Kerja Tahun (pesta tahunan) diadakan, maka setiap keluarga yang mempunyai sanak famii di luar tanah Karo akan datang ke kampung mereka

masing-masing untuk memeriahkan acara tersebut. Di dalam budaya Karo, pesta

tahunan ini menjadi perayaan yang paling besar dalam budaya Karo. Hal ini

dapat kita lihat selama adanya pesta tahunan di antara desa yang satu dengan yang

lain, maka setiap keluarga yang mempunyai saudara di luar daerah tanah karo

akan berusaha mengajak saudaranya agar mau berkunjung ke desa mereka

masing-masing. Pesta tahunan antara desa yang satu dengan yang lain

dilaksanakan dalam waktu yang berbeda, sebab kerja tahun merupakan perayaan

yang diputusakan bersama kepala desa serta masyarakat yang ada di dalam

lingkungan desa tersebut. Pesta tahunan ini juga menjadi ajang cari jodoh di

tengah kaum muda-mudi. Ajang cari jodoh yang dimaksudkan penulis adalah,

bahwa ketika pesta tahuna ini diselenggarakan, maka pemuda atau pemudi dari

desa yang lain akan datang menghadiri dan memeriahkan pesta tahunan yang

dilaksanakan oleh sutu desa. Kesempatan ini akan dipergunakan oleh muda-mudi

untuk saling berkenalan, dan jika ada kecocokan di antara mereka maka hubungan

itu juga akan berlanjut ke tahapan yang lebih serius, yakni perkawinan. Tidak

jarang ditemukan satu pasangan akan melangsungkan perkawinan hanya

mengalami masa perkenalan ketika pesta tahunan itu dilangsungkan.

Beda dengan Kerja Tahun (pesta tahunan), maka ada juga disebut dengan Guro-guro aron.Sebenarnya kedua hal ini hampir sama. Cuma jika pesta tahuna ini hanya dilaksanakan di daerah tanah karo (Karo Gugung), sedangkan perayaan Guro-Guro Aron ini dapat dilaksanakan di mana pun masyarakat Karo berada,

(8)

di suatu wilayah di luar tanah Karo, maka komunitas ini dapat melaksanakan

perayaan Guro-Guro Aron. Guro-Guro Aron ini diadakan sebagai ungkapan syukur kepada Sang Pencipta atas hasil panen, hasil kerja yang sudah diterima

selama satu tahun.

Sebagai daerah yang mayoritasnya adalah suku karo, maka ada berbagai

istilah dalam bahasa karo dalam hubungannya dengan sisterm pertanian karo,

yakni nuan (musim menanam), ngrirak(musim perawatan tanaman), rani (musim panen), dan masih ada lagi bebrapa istilah yang menyangkut pertanian di dalam

masyarakat karo dan menjadi identitas budaya Karo. Sistem pertanian Karo telah

mampu menjadi daya tarik tersendiri bagi siapa saja yang pernah berkunjung ke

Tanah Karo. Lahan pertanian Karo juga telah menjadi salah satu obyek wisata

yang telah mampu menyita perhatian setiap wisatawan yang berasal dari dalam

dan luar negeri yang ketika berkunjung ke tanah karo tersebut. Pemandangan yang

memperlihatkan lahan pertanian ini membuat setiap wisatawan akan merasa

kagum.

Dalam setiap ritual yang dilakukan oleh masyarakat Karo dalam

hubungannya terhadap sistem pertanian di tengah masyarakat, masing-masing

mempunyai maksud dan tujuan yang mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan

pencipta atas segala apa yang ada. Dengan upacara tersebut, masyarakat diminta

agar senantiasa bersyukur atas segala apa yang sudah mereka terima. Masyarakat

juga diminta agar senantiasa mau menjaga kelestarian alam sehingga lingkungan

yang mereka tempati akan memberikan hasil yang berguna untuk menopang

(9)

masyarakat karo selama puluhan tahun menjadi cirri khas tersendiri dibandingkan

dengan masyarakat yang berasal dari luar tanah Karo.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pertanian karo dan bagaimana cara

mengolah lahan pertanian di daerah tanah karo tidak luput dari perkembangan

jaman, yakni perkembangan teknologi yang sudah membawa perubahan dalam

semua bidang kehidupan manusia, terutama dalam hubungannya terhadap

pengelolaan lahan–lahan pertanian ,masyarakat karo. Cara pengelolaan itu telah

mengubah sistem pertanian masyarakat karo, yang pada dahulu dilakukan dengan

cara tradisional, maka sekarang ini lahan pertanian sudah disentuh dengan

berbagai alat pertanian terbaru yang semuanya bertujuan untuk mencapai efisiensi

kerja dan mampu memberikan hasil maksimal lagi dari setiap lahan pertanian

yang dikelola. Pertanian karo hadir sebagai salah satu usaha untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat sekitanya, dan mampu menjadi sumber mata pencaharian

di tengah masyarakat karo sekitarnya. Pertanian Karo juga sekaligus menjadi

spiritualitas baru dalam bertani, dan mampu mengungkapkan nilai-nilai budaya

yang ada.

Perkembangan jaman dan modernisasi dalam sektor pertanian juga telah

mengubah pandangan masyarakat, terutama masyarakat Karo yang berada di

daerah dataran tinggi Karo. Penggunaan peralatan pertanian yang terbaru dan juga

penggunan herbisida dan pestisida menjadi salah satu cara untuk memberi hasil

pertanian yang lebih besar lagi. Dengan penggunaan alat pertanian yang lebih

modern lagi, maka akan lebih meminimalisir tenaga manusia dalam mengelola

lahan pertanian, yang biasanya dilaksanakan secara tradisonal dan melibatkan

(10)

pestisida dan herbisida di dalam lahan pertanian dimaksudkan untuk menjaga

tanaman dari serangan hama atau tumbuhan yang dapat mengganggu

perkembangan tanaman di lahan pertanian tersebut.

Pandangan baru mengenai Spiritualitas bertani di dalam masyarakat karo

melibatkan semua komponen dalam masyarakat dalam setiap pribadi dan mampu

diintegrasikan dalam bentuk sinergitas di tengah masyarakat. Penulis beranggapan

bahwa spiritualitas bertani di dalam masyarakat karo hendaknya dibangun atas

rasa kepedulian terhadap lingkungan, mampu mengelola alam dengan baik dan

adanya timbal balik antara pengelola alam dan perhatian terhadap alam itu juga.

Hendaknya bukan hanya hasil yang besar yang hanya diharapkan oleh masyarakat

dari alam tersebut, melainkan segala tindakan dalam hubungannya terhadap

pengelolaan lahan pertanian itu juga memperhatikan etika alam, sehingga apa

yang dikerjakan oleh masyarakat itu juga sesuai dengan nilai-nilai dan etika yang

ada dalam bertani,

Sebagai suatu identitas budaya, spiritualitas bertani merupakan suatu hal

yang harus dipelihara, dijalankan secara berkesinambungan, mempunyai

akuntabilitas, sehingga nilai-nilai dari sistem pertanian dalam budaya Karo

senantiasa terpelihara dengan baik. Masyarakat juga diminta tidak

mengeksploitasi lingkungan dimana mereka berada, melainkan senantiasa

menjaga keseimbangan lingkungan, sehingga lingkungan dan manusia menjadi

satu kesatuan utuh dalam proses perjalanan waktu yang akan senantiasa

berhadapan dengan perubahan cuaca dan perubahan waktu. Alam juga perlu

(11)

pemerhati dan meminimalisir segala tidnakan yang mmapu merusak alam,

trerutama di daerah tanah Karo.

Nilai-nilai budaya dalam masyarakat Karo dalam hubungnnya terhadap

sisterm pertanian yang ada hendaknya senantiasa dipelihara, sehingga budaya

karo dalam bertani menjadi salah satru contoh yang dapat ditiru oleh masyarakat

lain. Pertanian Karo semestinya memberikan suatu pandangan, bahwa segala

aktivitas dalam bertani di dalamnya terdapat spiritualitas yang mampu membuat

setiap masyarakat semakin mampu menyatu dengan budaya, dengan masyarakat

lain dan dengan alam. Kebudayaan yang bersifat dinamis itu akan senantiasa

mengalami perubahan seturut perubahan lingkungan yang ada, maka semestinya

kita menjaga dan memperhatikan nilai-nilai budaya bertani setiap kita melakukan

aktivitas di lahan pertanian.

Jika budaya bertani itu senantiasa dilaksanakan dengan penuh kesadaran,

maka penulis yakin bahwa pertanian karo akan mampu bertahan dan bersaing

dengan daerah lain tanpa harus bergantung dari daerah lain. Penggunaan alat

pertanian, pestisida dan herbisida, pupuk juga diharapkan bersifat tepat sasaran

dan tidak merusak lingkungan, dan tidak berlebihan yang nantinya dapat merusak

ekosistem yang ada. Masyarakat karo yang tinggal di dataran tinggi Karo

merupakan salah satu masyarakat yang dikenal sebagai masyarakat yang hidup

dari bidang pertanian. Pertanian menjadi cirri utama dalam kehidupan masyarakat

Karo. Lahan pertanian menjadi penopang hidup masyarakat yang tinggal di daerah

dataran tinggi Karo.

Semua harapan ke depannya akan terwujud jika masyarakat karo yang

(12)

terkenal itu akan dapat dipertahankan jika setiap masyarakat selalu berusaha

memberikan perhatian lebih terhadap alam, tanpa merusak dan selalu

menjalaninya dengan penuh tanggung jawab. Bagaimana pun waktu akan selalu

mengalami perubahan, namun penulis mengharapakan bahwa budaya bertani

dalam masyarakat karo dan spiritualitas bertani yang dimiliki akan senantiasa

mampu berjalan seturut perubahan waktu yang ada. Perubahan itu memang

diperlukan, namun marilah kita mengalami perubahan ke arah yang positif dan

mampu member kontribusi terhadap budaya bertani dan sekaligus menjadi

identitas budaya Karo yang sesungguhnya. Semoga setiap masyarakat mampu

mengelola lahan pertanian dengan selalu memperhatikan nilai-nilai yang ada.

Budaya karo tetap terjaga, dan hasil pertanian semakin bertambah. Marilah kita

kembali kepada nilai budaya, dan mari lah kita menyeimbangkan alam melalui

budaya dan spiritualitas bertani yang tepat sasaran

2.3. Globalisasi

Teori globalisasi juga muncul sebagai akibat dari serangkain

perkembangan internal teori sosial, khususnya reaksi terhadap prespektif seperti

teori modernisasi. Diantara karakteristik dari teori ini adalah bias Westren-nya

disesuaikan dengan perkembangan di barat dan bahwa ide di luar dunia barat tak

punya pilihan kecuali menyesuiakan ide dengan ide barat.

Globalisasi data dianalisi secara kultural ekonomi, polemik dan atau

institusioanl. Dalam masing-masing kasus, perbedaan kuncinya adalah apakah

seseorang melihat homogenitas atau heterogenitas. Pada titik ekstrem, globalisasi

(13)

(homogenitas) atau sebagai proses di mana banyak input kultul; l. local dan global

saling berinteraksi untuk menciptakan semacam perpaduan yang menorah ke

pencangkokan kultur (heterogenitas). Teoritis yang memfokuskan pada

faktor-faktor ekonomi cenderung menekankan arti penting dan efeknya yang bersifat

homogenizing terhadap dunia. Mereka umumnya melihat globalisasi sebagai

penyebaran ekonomi pasar ke seluruh kawasan dunia yang berbeda-beda.

Perspektif Neo-Marxian Kellner tentang Globalisasi. Kellner menfokuskan

pada realitas kapitalisme sekarang dimana teknologi memegang peranan yang

semakin penting, kellner mengalihkan perhatiannya kepada globalisasi dari

perspektif ini dan yang lebih umum, beralih orientasi neo Marxian yang kritis,

kunci untuk memahami globalisasi adalah menyusun teori tentangnya sebagai

produk dari revolusi teknologi sekaligus restruktuisai global kapitalisme.

Perspektif dialektis juga menjelaskan bahwa ada ciri-ciri progresif dan

emansipatoris dari globalisasi dan kita harus mempertimbangkan keduanya.

Perbedaan kuncinya dari perspektif dialektis, adalah perbedaan antara globalisasi

yang dipaksakan dari atas dan globallisasi yang muncul dari bawah. Yang

merupakan hal penting buat Kellner, dan refleksi dari prespektif dialektisnya,

adalah pemikirannya tentang internet. Teknologi baru ini dipakai dengan berbagai

macam cara untuk mempromosikan globalisasi kapitalis. Akan tetapi intentiv juga

dipakai untuk memobilisasi orang-orang yang menentang globalisasi.

Giddens tentang “Runaway World” dan Globalisasi. Pandangan Giddens

tentang globalisasi jelas terkait erat dan tumpang tindih dengan pemikirannya

tentang juggernaut modernitas. Globalisasi juga mengandung dampak besar

(14)

didiskusikan seperti keintiman dan aspek lain dari kehidupan sehari-hari. Dan

Giddens melihat keterkaitan erat antara globalisasi dan risiko, khususnya

munculnya apa yang dia namakan manufactured risk. Dia juga mengakui bahwa

globalisasi adalah proses dua arah dengan amerika dan barat sebagai kawasan

yang paling banyak terkena pengaruhnya. Lebih jauh dia mengatakan, globalisasi

menjadi semakin decentred, dengan bangsa-bangsa di luar barat memainknan

peran yang semakin besar didalamnya. Dia juga mengakui bahwa globalisasi

melemahkan kultur local sekaligus membangkitkan kembali. Dia mengatakan

bahwa globalisasi menyelinap kesamping menghasilkan area baru yang mungkin

melintasi bangas-bangsa. Perbenturan utama yang terjadi ditingkat global dewasa

ini adalah antara fundamental dengan kosmopolitanisme, pada akhirnya Giddens

melihat munculnya masyarakat cosmopolitan global. Tetapi bahkan kekuatan

utama yang menentangnya tradisionlisme merupakan produk dari globalisme.

Fundamentalis dapat mengambil bermacan-macam bentuk, agama etnis,

nasionalis, politik tetapi apapun bentuknya menurut Giddens bahwa benar untiuk

menganggap fundamentalisme sebagai sebuah problem. Fundamentalisme dekat

kemungkinan kekerasan dan fundamentalisme adalah lawan dari nilai-nilai

cosmopolitan.

Beck dan Politik Globalisasi. Globalisme adalah pandangan bahwa dunia

didominasi oleh perekonomian dan kita menyaksikann munculnya hegemoni

pasar dunia kapitalis dan ideologi neoliberalis yang menopangnya, menurut beck,

ini melibatkan pemikiran line dan monokausal. Multi dimensionalitas dari

perkembangan global, ekologi, politik kultur, dan masyarakt sipil. Sementara beck

(15)

ruang-ruang tertutup, khususnya yang diasosiasikan dengan bangsa, semakin

ilusif. Ruang-ruang itu menjadi ilusif karena globalisasi atau proses-proses

melaluinya negara yang berdaulat dimasuki dan dilemahkan oleh actor-aktor

transnasional, dengan berbagai macam prospek kekuasaan , orientasi, identitas

dan jaringan. Globalitas adalah proses baru setidaknya karena tiga alasan.

Pertama, pengaruhnya atas ruang geografis jauh lebih ekstensif. Kedua

pengaruhnya atas waktu jauh lebih stabil dan terus berlanjur dari waktu ke waktu,

ketiga ada densitas yang lebih besar untuk jaringan transnasional, hubungan dan

arus pekerjaan jaringan. Beck juga mendaftar sejumlah hal lainnya yang mencolok

yang berkaitan dengan globalitas ketika membandingkannya dengan manifestasi

lain dari transnasional. Ini membuat Beck memperbaiki yang terdahulu tentang

modernitas dan menyatakan globalitas, bersama dengan ketidakmampuan untuk

membalikannya, diasosiasikan dengan apa yang dia sebut sebagai second modernity.

Bauman tentang Konsekwensi Globalisasi. Bauman melihat globalisasi

dari segi perang ruang. Pemenang dari perang ruang ini adalah mereka yang

mobile, mampu untuk bergerak secara bebas keseluruh dunia dan dalamproses

untuk menciptakan makna bagi diri mereka sendiri. Mereka dapat mengambang

relative bebas di atas ruang dan ketika mereka harus mendarat diatas tempat,

mereka mengisolasikan diri mereka dalam ruang yang tertutup dan terjaga di

mana mereka aman dari ganguan orang-orang yang kalah dalam peperangan ruang

tersebut.

Akan tetapi adalah penting untuk membedakan di antara orang-orang yang

(16)

mereka menginginkan. Kemanusian para pengembara yang berefek karena merasa

lingkunganya tak tertahan dan tak bersahabat karena sejumlah alasan..

Bauman menempatkan perbedaan ini dalam konteks perjanjian utama kita

apa yang sekarang diklaim sebagai globalisasi disesuaikan dengan mimpi-mimpi

dan keinginan turis, akan tetapi sebagian besar orang berada di antara dua titik

ekstrem ini dan merasa tidak sebagai besar orang berbeda diantara dua titik

esktrem ini dan merasa tidak berasal. Pada saat itu bahkan pasti bahwa mereka

akan bisa melihat cahaya esok hari. Jadi globalisasi berarti kegelisahan bagi

semua orang.

Ritzer tentang “Globalization of Nothing”. Sesuatu bukan akibat dari

sesuatu yang lain, tetapi cenderung bervariasi bersama-sama. Jadi globalisasi

cenderung menyebarkan nothing ke seluruh dunia. yang nothing oleh Ritzer

adalah bentuk yang dibayang dan di control secara sentral yang kosong dari isi

yang distintif dan semua sebagian besar kosong dari distintif dan sedang

mengglobal. Ke empat tipe itu adalah non-place, nothing, non-people, non-service

jadi argument dasarnya adalah bahwa globalisasi membawa penyebaran

nothingness ke seluruh dunia.

2.4. Strategi Adaptasi

Didalam dunia antropologi, khususnya Antropologi Ekologi terdapat suatu

konsep yang menurut saya cukup unik dan masih relevan kita bicarakan hingga

kini. Konsep tersebut adalah konsep tentang adaptasi. Kita harus memahami

latarbelakang munculnya teori adaptasi ini dimana ketika itu ilmu pasti menjadi

(17)

Konsep-konsep biologi dan ilmu pasti dijadikan dasar untuk menjelaskan

fenomena-fenomena sosial yang ada. Tidak mengherankan jika secara

epistemologi teori adaptasi ini mempunyai sifat alur penalaran yang menurut saya

sangat deduktif, yaitu mencoba menalar suatu gejala sosial dengan penalaran

bangunan konseptual terlebih dahulu untuk menjelaskanya. Ini berbeda memang

dengan kebanyakan teori sosial dalam antropologi kemudian yang banyak

mendasarkannya pada proses penalaran induktif dari gejala empiris terlebih

dahulu kemudian ke bangunan konseptual. Ciri deduktif ini memang sangat kental

dalam era perkembangan teori ekologi yang awalnya banyak dibangun oleh para

ahli ekologi, seperti Julian Steward, Marvin Harris, Marshal Sahlin, dll. Dan

memang wajar karena domain ilmiah itu adalah terukur atau kebenaran sejati itu

sesungguhnya adalah ukuran-ukuran yang jelas, menjadi dasar pemahaman para

antropolog saat itu.

Konsep adaptasi datangdari dunia biologi, dimana ada 2 poin penting yaitu

evolusi genetik, dimana berfokus pada uimpan balik dari interaksi lingkungan, dan

adaptasi biologi yang berfokus pada perilaku dari organisme selama masa hidupnya, dimana organisme tersebut berusaha menguasai faktor lingkungan,

tidak hanya faktor umpan balik lingkungan, tetapi juga proses kognitif dan

levelgerak yang terus-menerus. Adaptasi juga merupakan suatu kunci konsep

dalam 2 versi dari teori sistem,baik secara biological, perilaku, dan sosial yang

dikemukakan oleh John Bennet (Bennet, 249-250). Asumsi dasar adaptasi

berkembang dari pemahaman yang bersifat evolusionari yang senantiasa melihat

manusia selalu berupaya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan alam

(18)

dalam evolusi melibatkan seleksi genetik dan varian budaya yang dianggap

sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan. Adaptasi

merupakan juga suatu proses yang dinamik karena baik organisme maupun

lingkungan sendiri tidak ada yang bersifat konstan/tetap (Hardestry,45-46).

Sedangkan Roy Ellen membagi tahapan adaptasi dalam 4 tipe. Antara lain adalah

(1) tahapanphylogenetic yang bekerja melalui adaptasi genetik individu lewat seleksi alam, (2) modifikasi fisikdari phenotype/ciri-ciri fisik, (3) proses belajar,

dan (4) modifikasi kultural. Modifikasi budaya bagi Ellen menjadi supreme atau

yang teratas bagi homo sapiens, dimana adaptasi budaya dan transmisi

informasidikatakannya sebagai pemberi karakter spesifik yang dominan. Manusia

dilahirkan dengan kapasitas untuk belajar seperangkat sosial dan kaidah-kaidah

budaya yang tidak terbatas. Sehingga kemudian fokus perhatian adaptasi menurut

Rot Ellen seharusnya dipusatkan pada proses belajar, dan modifikasi budayanya.

Dasar pembagian keempat tipe adaptasi di atas, berdasarkan atas laju

kecepatan mereka untuk dapat bekerja secara efektif. Seperti adaptasi phylogenetik, dibatasi oleh tingkatan bagaimana populasi dapat bereproduksi dan berkembangbiak. Modifikasi fisik bekerja lebih cepat, akan tetapi tetap tergantung

pada perubahan somatik dan akomodasi yang dihubungkan dengan pertumbuhan

fisik dan reorganisasi dari tubuh. Sedangkan proses belajar, tergantung dari

koordinasi sensor motor yang ada dalam pusat sistem syaraf. Disini ada proses uji

coba, dimana terdapat variasi dalam waktu proses belajar yang ditentukan oleh

macam-macam permasalahan yang dapat terselesaikan. Adaptasi kultural proses

bekerjanya dianggaplebih cepat dibandingkan ke-3 proses diatas karena ia

(19)

komuniti mempunyai daya tahan yang berbeda berdasarkan perasaan akan resiko,

respon kesadaran, dan kesempatan.Sifat-sifat budaya mempunyai koefisiensi

seleksi, variasi, perbedaan kematian-kelahiran, dan sifat budaya yang bekerja

dalam sistem biologi.

Daya tahan hidup populasi tidak bekerja secara pasif dalam menghadapai

kondisi lingkungan tertentu, melainkan memberikan ruang bagi individu dan

populasi untuk bekerja secara aktif memodifikasi perilaku mereka dalam rangka

memelihar kondisi tertentu, menanggulangi resiko tertentu pada suatu kondisi

yang baru, atau mengimprovisiasi kondisiyang ada. Beberapa adaptasi juga adalah

kesempatan, efek dari sosial dan praktek kulturalyang secara tidak sadar

mempengaruhinya. Proses adaptif yang aktual mungkin merupakan kombinasi

dari ke-3 mekanisme tersebut diatas. Misalnya, variasi dalam praktek kultural

mungkin meningkat karena kesempatan/tekanan pada sumber-sumber daya

/group. Sehingga adaptasi bisa kita sebut sebagai sebuah strategi aktif manusia

dalam menghadapi lingkungannya. Adaptasi dapat dilihat sebagai usaha untuk

memelihara kondisi kehidupan dalam menghadapi perubahan. Dengan demikian

definisi adaptasi selalu berkaitan erat dengan pengukuran, dimana tingkat

keberhasilan suatu organisme dapat bertahan hidup. Sejauh mana, dapat dikenali

bahwa adaptasi dapat dikatakan berhasil atau tidak.

Adaptasi yang dilakukan populasi sebagai suatu keseluruhan yanglengkap/

bulat adalah lebih menjanjikan hasil dari tekanan seleksi variasi pada dimana ini

menjadi subyek dan dari tingkat penvariasian resistensi pada adapatasi dalam

tujuan yang bebeda. Adaptasi tidak selalu dihubungkan pada penegasan

(20)

atau hanya kondisi yang extreme. Adaptasi seharusnya dilihat sebagai respon kultural atau proses yang terbukapada proses modifikasi dimana penanggulangan

dengan kondisi untuk kehidupan oleh reproduksi selektif danmemperluasnya.

Ukuran-ukuran bekerja berdasar pada adapatasi yang dilibatkan, dan lebih penting

lagi, pada bahaya/resiko yang mana perubahan adalah adaptif. (Hardestry

Populasi adalah faktor yang penting dalam hubungannya dengan

lingkungan. Suasana yang penuh kelimpahan, lokasi dan cuaca yang ada untuk

mendapatkan makanan di alam bebas membatasi ukuran dan memebutuhkan

ruang kehidipanb bagi pemburu-meramu (Spradley &; McCurdy, 189-190).

Populasi merupakan variabel/faktor yang penting dalam ekologi karena menjaga

keseimbangan antara ketersediaan sumber alamdan pemakaiannya (Stanley A.

Freed &; Ruth S. Freed, 220-226).

, 243)

Adaptasi populasi adalah melihat hubungannya dengan habitatnya. Konsep

dari adapatasi ini adalah historikal: ketika berbicata tentang populasi beradapatasi

adalah hubungannya dengan haitatnya dimana dimaksudskan, untuk habitat

membuat sesuai dimana tempatnya untuk hidup, atau membuat dirinya sendiri

lebih mensesuaikannya untuk hidup dalam habitat (Cohen,3). Jadi ketika

mengatakan bahwa kelompok manusia telah beradapatsi dengan habitatnya, ketika

telah tercipta /dicapai dan memlihara hubungan yang bergairah/hidup dengan

habitatnya. Adaptasi ini merupakan daya tahan/kelangsungan hidup kelompkk,

reproduksi, dan fungs-fungsi yang efektif dalam rangka agar elemen-elemen ini

bekerja sesuai dengan tugasnya.Pencapaian dari tipe dari hungan yang

(21)

dan haitat melalui perubahan dlam sistem energi kelompok dan organisasi

hubungan sosial selam periode yang panjang.

Aspek historikal dari proses adaptasi adalah apa yang kita sebut dengan

evolusi kebudayaan, dengan apa kita maksud dengan proses dari perubhan sekuen

dari apa yang kita lihat dari kubudayaan . Dalam antroplogi ketika berbicara

tentang adaptasi, kita memfokuskan diri kepada kelompok sosial, tidak dengan

individual person. Kelompok ini (institusi/organisasi) tidak sewcara langsung

teramati, mereka merupakan abstraksi dari perilaku individula yang diamati.Lebih

spesifik, kita berbicaratentang instusi yang ada dalam masayarakat, tetapi yang

kita pelajari adalah individu. Disana ada 2 alasan prinsip untuk ini, yang

berhubungan antara satu dengan yang lain. Pertama adalah pertimbangan praktikal

dan yang kedua adalah teorikal (cohen).Respon Adaptif individuyang dipelajari

dapat ditransmisikan kepada yang lain secara independen membawa sifat. Dalam

prakteknya, adaptasi manusia terhadap lingkungan yang khusus melibatkan

kombinasi dari tipe-tipe modifikasi yang berbeda ini (Roy Ellen, 1982: 237-238).

Respon perilaku dianggap mempunyai respon kecepatan yang tinggi dan secara

khusus menysesuaikan diridengan fluktuasi perubahan lingkungan. Dibandingkan

proses adapatif yang bersifat genetik dan fisik, perilaku adalah respon yang

dianggap paling cepat dari apa yang organisme dapat lakukan. Apabilamengacu

pada proses belajar,respon perilaku tersebut dianggap pula merupakan tingkatan

adaptasi yang paling fleksibel.

Menurut Hardestry,ada 2 macam perilaku yang adaptif, yaituperilaku yang

(22)

anggota kelompok, dan tradisi.Bagi hardestry, adaptasi dilihat sebagai suatu

proses pengambilan ruang perubahan, dimana perubahan tersebut ada di dalam

perilaku kultural yang bersifat teknologikal (technological), organisasional, dan

ideological. Sifat-sifat kultural mempunyai koefisiensi seleksi seperti layaknya

seleksi alam, sejak tedapat unsur variasi, perbedaan tingkat kematian dan

kelahiran, dan sifat kultural yang bekerja melalui sistem biologi. Proses adaptif

yang aktual sedapat mungkin merupakaa kombinasi dari beberapa mekanisme

biologis dan modifikasi budaya tersebut diatas. Sehingga adaptasi dapatlah

disebut sebagaisebuah strategi aktif manusia (Hardestry, 238-240). Adaptasi dapat

dilihat sebagai usaha untuk memelihara kondisi kehidupan dalam menghadapi

perubahan. Definisi adaptasi tersebut kemudian berkaitan erat dengan tingkat

pengukuran yang dihubungkan dengan tingkat keberhasilannya agar dapat

bertahan hidup. Adaptasi seharusnya dilihat sebagai respon kultural atau proses

yang terbukapada proses modifikasi dimana penanggulangan dengan kondisi

untuk kehidupan oleh reproduksi selektif dan memperluasnya(Hardestry,243).

Dinamika adaptif mengacu pada perilaku yang didesain pada pencapaian

tujuandan kepuasan kebutuhan dan keinginan dan konsekuensi dari perilaku untuk

individu, masyarakat, dan lingkungan. Ada 2 mode analitik utama pada perilaku

ini: yaitu tindakan individu yang didesain untuk meningkatkan produkstifitasnya,

dan mode yangdiperbuat oleh perilaku interaktif individu dengan individu lain

dalam group, yang biasanya dibangun oleh aturanyang bersifat

resiprositas.Perilaku interakstif tersebut didesain juga untuk memenuhi akhir

(23)

Konsep kunci adaptasi pada tingkat sosial individu kemudian menjadi

perilaku adaptif, tindakan strategik dan sistensis dari keduanya yang disebut

strategi adaptif. Perilaku adaptif merupakan term yang lebih umum dan mengacu

pada bentuk perilaku yang menyesuaikan pada tujuan, pencapaian kepuasan,

danputusan. Tindakan strategik, dianggap lebih spesifik dan mengacu pada

kepentingan khusus yang dipunyai sang aktor. Dalam tindakan stratejik sendiri

terdapat konsep yang meliputinya seperti rasionalitas, maksimalisasi, orientasi

pencapaian, Homo faber dll. Term ke-3, yaitu strategi adaptif, adalah komponen

dari tindakan strategi atau tindakan spesifik dengan tingkatan prediksi

keberhasilan, dimana diseleksi oleh individu dalam menentukan keputusannya

(Hardestry,271-272).

Dalam perkembangannya sekarang, dalam perdebatan post-modern yang

berdebat tentang soal pencarian kebenaran sejati dan darimana kebenaran itu

datang, relevansi teori adaptasi mulai kembali dibicarakan. Ada beberapa kritik

penting menurut saya yang patut dialamatkan pada teori adaptasi ini, antara lain:

1. Tidak dipungkiri bahwa teori adaptasi muncul akibat pemahaman ketika

itu bahwa ilmu dapat dikatakan supreme jika ia bisa menunjukkan sisi

keilmiahannya, dalam artian ketika itu ilmiah terukur jelas, sehingga

acuannya adalah ilmu pasti atau ilmu alam. Demikiann juga dalam teori

adaptasi ini, ia menunjukkan bahwa perbedaan tahapan dan tataran

tingkatan kebudayaan manusia mana yang dianggap paling unggul. Ini

terkait dengan tingkat strategi adaptasi masing-masing kebudayaan

komuniti tersebut. Aroma paham evolusionisme memang sangat kental

(24)

teori adaptasi ini. Misalnya bagaimana perbedaan strategi suatu peradaban

terhadap lingkungan sehingga ia berlanjut maju dan sustain, dan

kebudayaan mana yang kemudian mati sedemikian rupa karena tidak

mampu beradaptasi. Ada pandangan akan tingkatan perbedaan kebudayaan

disini. Pertanyaanya adalah adaptasi manusia terhadap alam seperti apakah

yang mampu dianggap merubah manusia ke arah yang lebih baik daripada

sebelumnya ? Dan siapa yang menentukan apa dan mana yang baik untuk

suatu komuniti tertentu itu.

2. Dalam teori adaptasi ini menurut saya peran manusia secara kultural agak

dikesampingkan. Lebih banyak menurut saya bagaimana lingkungan atau

alam disebut sebagai faktor utama perubahan dalam diri manusia tersebut.

Ini seakan memberikan penjelasan manusia mempunyai andil yang kecil

dalam perubahan dan hanya mengikuti insting atas perubahannya terhadap

alam. Ini bertolak belakang dengan pandangan yang menyatakan bahwa

sesungguhnya manusia itu sendirilah kunci dari perubahan itu sendiri.

3. Pandangan alur penalarannya yang menurut saya sangat deduktif. Tentu

saja ini bukan masalah salah dan benar, tapi bagaimana sesungguhnya kita

melihat gejala sosial secara benar.Maksudnya memang ingin seobyektif

mungkin untuk memenuhi kaidah ke-ilmiahannya, namun tidak salah juga

(25)

2.5. Perubahan Sosial

Perdebatan mengenai perubahan sosial sering sekali memberikan

penafsiran yang berbeda. Konstruksi pemikiran tentang perubahan yang dibangun

sering sekali tidak komprehensif dan menyeluruh sehingga perubahan sosial

merupakan konsep yang sulit dipahami

Perubahan sosial dapat di analisa dari berbagai macam sudut pandang,: ke

“arah” mana perubahan dalam masyarakat itu “bergerak” (direction of change)”, yang jelas adalah bahwa perubahan itu bergerak meninggalkan faktor yang

diubah. Akan tetapi setelah meninggalkan faktor itu mungkin perubahan itu

bergerak kepada sesuatu bentuk yang baru sama sekali, akan tetapi boleh pula

bergerak kepada suatu bentuk yang sudah ada di dalam waktu yang lampau.

(Prasetyo, 2012).

. Memahami perubahan pasti tidak akan

lepas dari persoalan mengenai nilai dan norma sosial, pola-pola perilaku

organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat,

kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan sebagainya. Sebagai unsur dari

sistem sosial manusia akan selalu terkait/terhubung dengan manusia lain.

Konsekuensi dari keterkaitan/hubungan itu adalah manusia akan berinteraksi baik

antar individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok.

Soekanto (2006 menjelaskan bahwa perubahan-perubahan itu dapat berupa

perubahan dalam hal nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku

organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat,

kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan lain sebagainya.

Keberagaman sudut pandang ini pula yang di lihat oleh London (1996)

(26)

sebagian besar berfokus pada perlawanan dari sistem sosial, bagaimana dan

mengapa mereka menolak perubahan daripada proses perubahan itu sendiri. Ini

mungkin ada hubungannya dengan sifat ambigu dari konsep yang dipakai oleh

masing-masing peneliti datu penulis.

“While a great deal has been written about social change in the fields of history, sociology, organizational theory, and even psychology, much of it focuses on the recalcitrance of social systems — how and why they resist change — rather than the change process itself. This may have something to do with the ambiguous nature of the concept. First, there seems to be little consensus about what constitutes change. The causes, the processes, and the effects of change are often spoken of as if they are one and the same thing. Second, it is notoriously difficult to measure change — how do you know when a change has taken place? And third, change occurs on many levels — cultural, social, institutional, and individual — and it is often hard to draw clear distinctions between them. Sometimes change occurs spontaneously on several levels at once. This problem is especially troublesome given the specialization of academic research today. Psychologists, physicists, and anthropologists rarely exchange notes and so the connections between, say, complexity theory and cultural change are easily missed. As a result, the academic literature is brimming with definitions of change and yet the confusion is as great as ever. (London, 1996)

Dari apa yang di utarakan oleh London (1996) di atas maka dapat dilihat

bahwa penyebab, proses, dan efek dari perubahan sering sekali didiskusikan

secara bersamaan dan dianggap sebagai suatu hal yang sama. Padahal unsur-unsur

tersebut tidaklah sama dan akan menimbulkan kerancuan dalam membahas

perpektif teori perubahan. Demikian juga dengan mengukur perubahan

merupakan suatu hal yang sulit.

Berdasarkan hal di atas maka sebenarnya tidak ada satu acuan baku yang

dapat disepakati bersama mengenai pengelompokan teori perubahan tersebut.

(27)

beberapa literature yang dibaca dapat dijelaskan beberapa pengelompokan teori

perubahan diantaranya:

1.

2.

Dilihat dari masa waktu keluarnya teori tersebut maka akan di kelompokkan

menjadi Klasik dan Kontemporer (Ritzer and J. Goodman, 2004)

Dilihat dari bentuk perubahan (Soekanto, 2006)

a.

maka teori perubahan dapat

di kelompokan menjadi

Evolusi dan Revolusi,

b. Perubahan Kecil dan Besar

Perubahan Lambat dan Perubahan Cepat

c. Intended-change/planned-change dan unitended-

change/Unplanned-change

3. Dilihat dari model interpretasinya dikelompokkan menjadi Tradisional,

Liberal dan Radikal (

4.

blog.ub.ac.id)

Dilihat dari p

a. Teori Perkembangan (linear) – Evolusi dan Revolusi

erspektif teoritis teori perubahan dapat dibagi ke dalam empat

bagian besar yaitu:

b. Teori Siklus

c. Teori Struktural Fungsional

d. Teori Konflik

2.5.1. Teori Perkembangan (Linear)

Teori perkembangan (linear) merupakan bagian dari kelompok teori

perubahan sosial yang melihat perkembangan sistem sosial dari kecepatan

berubahnya. Pembagiannya dibagi menjadi dua bagian yaitu Evolusi dan

(28)

Teori Evolusi boleh dibilang melekat pada sosok Charles Darwin. Bukunya

Origin of Species dianggap sebagai peletak dasar teori evolusi dalam ilmu pengetahuan. Lalu, di manakah posisi Herbert Spencer? Faktanya, Spencer lebih

awal memunculkan gagasan teori evolusi ketimbang Darwin. Spencer

mengenalkan konsep evolusi sosial dalam bukunya Social Statics pada 1850, sembilan tahun sebelum Darwin menulis Origin of Species (1859). Spencer (1897) menguraikan teori evolusi secara mendalam dalam The Principles of Sociology yang terbit 1897 di New York. Dalam buku ini Spencer menyebut kata “evolusi” dalam beragam variannya sebanyak 249 kali, termasuk kutipan

langsung dan daftar isi

Teori evolusioner memiliki paham bahwa perubahan sosial memiliki arah

yang tetap yang dilalui oleh semua masyarakat. Semua masyarakat melalui urutan

pertahapan yang sama dan bermula dari tahap perkembangan awal menuju tahap

perkembangan akhir. Di samping itu teori evolusioner mengatakan bahwa

manakala tahap terakhir telah dicapai, maka pada saat itu perubahan evolusioner

pun berakhir.

Teori ini pada dasarnya berpijak pada perubahan yang memerlukan proses

yang cukup panjang. Dalam proses tersebut, terdapat beberapa tahapan yang harus

dilalui untuk mencapai perubahan yang diinginkan. Ada bermacam-macam teori

tentang evolusi. Teori tersebut digolongkan ke dalam beberapa kategori, yaitu

(29)

a.Unilinear Theories of Evolution

Auguste Comte dan Herbert Spencer adalah tokoh yang layak untuk

menjadi referensi bagi teori ini. Teori ini melihat bahwa proses perubahan akan

mengikuti tahapan-tahapan tertentu dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang

lebih kompleks sampai mencapai kesempurnaan.

b.Universal Theories of Evolution

Teori ini menyatakan bahwa perkembangan masyarakat tidak perlu

melalui tahap-tahap tertentu yang tetap. Kebudayaan manusia telah mengikuti

suatu garis evolusi tertentu. Menurut Herbert Spencer, prinsip teori ini adalah

bahwa masyarakat merupakan hasil perkembangan dari kelompok homogen

menjadi kelompok yang heterogen.

c.Multilined Theories of Evolution

Teori ini lebih menekankan pada penelitian terhadap tahaptahap

perkembangan tertentu dalam evolusi masyarakat. Misalnya mengadakan

penelitian tentang perubahan sistem mata pencaharian dari sistem berburu ke

sistem pertanian menetap dengan menggunakan pemupukan dan pengairan.

Menurut Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, (Horton dan Hunt, 1989)

ada beberapa kelemahan dari Teori Evolusi yang perlu mendapat perhatian, di

antaranya adalah sebagai berikut.

a. Data yang menunjang penentuan tahapan-tahapan dalam masyarakat

(30)

b. Urut-urutan dalam tahap-tahap perkembangan tidak sepenuhnya tegas,

karena ada beberapa kelompok masyarakat yang mampu melampaui

tahapan tertentu dan langsung menuju pada tahap berikutnya, dengan kata

lain melompati suatu tahapan. Sebaliknya, ada kelompok masyarakat yang

justru berjalan mundur, tidak maju seperti yang diinginkan oleh teori ini.

c. Pandangan yang menyatakan bahwa perubahan sosial akan berakhir pada

puncaknya, ketika masyarakat telah mencapai kesejahteraan dalam arti

yang seluas-luasnya. Pandangan seperti ini perlu ditinjau ulang, karena

apabila perubahan memang merupakan sesuatu yang konstan, ini berarti

bahwa setiap urutan tahapan perubahan akan mencapai titik akhir.

Pada evolusi, perubahan- perubahan terjadi dengan sendirinya, tanpa suatu

rencana ataupun suatu kehendak tertentu. Perubahan- perubahan terjadi oleh

karena usaha- usaha masyarakat untuk menyusaikan diri dengan keperluan-

keperluan, keadaan-keadaan dan kondisi-kondisi baru, yang timbul sejalan dengan

pertumbuhan masyarakat. Rentetan perubahan-perubahan tersebut, tidak perlu

sejalan dengan rentetan peristiwa –peristiwa di dalam sejarah masyarakat yang

bersakutan.

Berikut di bawah ini diuraikan sekilas tentang tokoh yang berpengaruh

pada kelompok teori ini.

Auguste Comte

Dalam bukunya, Positive Philosophy (1851-1854), Comte menulis tentang tiga tingkatan yang pasti dilalui pemikiran manusia yaitu: teologis, metafisik (atau

filosofis), dan akhirnya positif (atau ilmiah). Comte berpendapat bahwa

(31)

teologis yang menjadi karakteristik dunia sebelum era 1300. Dalam era ini system

gagasan utamya menekankan pada keyakinan bahwa kekuatan adi kodrati, tokoh

agama dan keteladana kemanusiaan menjadi dasar segala sesuatu. Tahap

Metafisik yang terjadi antara tahun 1300-1800 ditandai dengan keyakinan bahwa

kekuatan abstraklah yang menerangkan segala sesuatu, bukan dewa-dewa

personal. Tahap berikutnya adalah tahap positivistic yang ditandai keyakinan

terhadap sains (ilmu). (Ritzer and J. Goodman, 2004)

“Comte's idea of positivism is based on the premise that everything in society is observable and subject to patterns or laws. These laws could help to explain human behavior. Comte did not mean that human behavior would always be subjected to these "laws"; rather, he saw positivism as a way of explaining phenomena apart from supernatural or speculative causes” (Delaney, 2003)

Dalam tulisannya mengenau auguste Comte, Tim Delanel menyatakan hal

yang menarik tentang Comte:

Comte dikenang sampai hari ini dalam sosiologi untuk memperjuangkan

nya positivisme. Gagasan Comte positivisme didasarkan pada premis bahwa

segala sesuatu di masyarakat diamati dan tunduk pada pola atau hukum.

Hukum-hukum ini bisa membantu menjelaskan perilaku manusia. Comte menyatakan

tidak berarti bahwa perilaku manusia akan selalu tentang "hukum", melainkan, ia

melihat positivisme sebagai cara untuk menjelaskan fenomena terlepas dari

penyebab supranatural atau spekulatif. Hukum perilaku manusia hanya bisa

didasarkan pada data empiris. Dengan demikian, positivisme didasarkan pada

penelitian yang dipandu oleh teori, premis yang tetap landasan sosiologi hari.

Comte percaya bahwa positivisme akan menciptakan teori suara berdasarkan bukti

(32)

depan. Penemuan hukum dasar perilaku manusia akan memungkinkan untuk

kursus yang disengaja tindakan pada bagian dari baik individu dan masyarakat.

Pengambilan keputusan dipandu oleh ilmu pengetahuan akan, memang, menjadi

positif

Darwin

Darwinisme Sosial merupakan istilah yang menjelaskan proses evolusi

masyarakat berdasarkan teori evolusi Charles Darwin (1809-1892). Menurut teori

evolusi Darwin, spesies akan beradaptasi dengan lingkungannya untuk

mempertahankan hidup. Sebagian dari mereka, yang tidak mampu menyesuaikan

diri, akan punah, sedangkan yang dapat menyesuaikan diri akan bertahan hidup.

Bahkan, dalam waktu yang lama bisa menghasilkan spesies baru. Gagasan tentang

teori evolusi mulai populer di berbagai kalangan intelektual, bukan hanya dalam

biologi, pada pertengahan abad ke-19. Dan sampai saat ini kita mengenal istilah

evolusi sosial ala evolusi Darwin atau istilah lainnya darwinisme sosial . Frasa “survival of the fittest” sendiri diciptakan oleh tokoh sosiologi Inggris Herbert

Spencer (1820-1903) untuk menjelaskan perkembangan masyarakat menurut

perspektif historis. Salah satu bentuk darwinisme sosial yang paling terkenal adalah eugenics (konsep pemisahan gen baik dan gen buruk). Eugenics terkenal di Inggris dan Amerika Serikat pada akhir abad kesembilan belas, di mana konsep

ini kemudian digunakan untuk memisahkan individu keturunan yang baik dengan

yang buruk. Misalnya, para penjahat atau orang bodoh harus dipisahkan dengan

mereka yang berasal dari keturunan orang baik-baik. Eugenics juga pernah digunakan oleh Hitler dan partainya, Nazi, pada tahun 1930-an.

(33)

Herbert Spenser

Spencer adalah orang yang pertama kali memperkenalkan konsep Survival of the fittest atau yang kuatlah yang akan menang dalam bukunya Social Statics

yang terbit pada tahun 1850. Konsep ini untuk menggambarkan kekuatan

fundamental ilmu biologi yang menjadi dasar perkembangan evolusioner.

Konsepsi ini dipengaruhi karya Thomas R. Malthus mengenai tekanan

kependudukan, An Essay on the Principle of Population (1798). sinya konsepnya antara lain adalah perjuangan untuk dapat bertahan bagi suatu masyarakat atau

bagi beberapa masyarakat agar menghasilkan keseimbangan karena perubahan

yang terjadi dari keadaan yang homogen yang tidak terpadu menjadi heterogen

yang terpadu. (Ritzer dan Goodman, 2007).

Dalam tulisannya John Offer mengungkapkan bahwa sebenarnya Spencer

telah mengeluarkan karya tentang evolusi sebelum Darwin.

“Spencer's theoretical dispositions were pre-Darwinian in form, nourished by the traditions of evolutionary deism and natural theology. His focus, definitively established in First Principles (1862), was on the nature and overall beneficent direction of change in general, arising from the cumulative deterministic adaptation of organisms and the successes they exhibited, instead of their elimination.”(Offer, 2008)

Sembilan tahun kemudian teori evolusioner karya Darwin terbit. Spencer

dan Darwin melihat adanya persamaan antara evolusi organisme dengan evolusi

sosial. Evolusi sosial adalah serangkaian perubahan sosial dalam masyarakat yang

berlangsung dalam waktu lama yang berawal dari kelompok suku atau

masyarakat yang masih sederhana dan homogen kemudian secara bertahap

menjadi kelompok suku atau masyarakat yang lebih maju dan akhirnya menjadi

(34)

Soekanto (1990) mendefinisikan evolusi sebagai serentetan perubahan

kecil secara pelan-pelan dan kumulatif yang terjadi dengan sendirinya dan

memerlukan waktu lama. Evolusi dalam masyarakat adalah serentetan perubahan

yang terjadi karena usaha-usaha masyarakat tersebut untuk menyesuaikan diri

dengan keperluan, keadaan, dan kondisi baru yang timbul sejalan dengan

pertumbuhan masyarakat. Perubahan ini tidak harus sejalan dengan rentetan

peristiwa di dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan. Spencer berpendapat

bahwa pribadi mempunyai kedudukan dominan dalam struktur masyarakat. Dia

menekankan bahwa pribadi merupakan dasar struktur sosial, meskipun

masyarakat dapat dianalisis pada tingkat struktural. Struktur sosial suatu

masyarakat dibangun untuk memungkinkan anggotanya memenuhi berbagai

keperluan. Oleh karena itu, banyak ahli memandang Spencer bersifat

individualistis. Terkait ketertarikannya pada perkembangan evolusi jangka

panjang dari masyarakat modern, Spencer menilai masyarakat bersifat organis.

Pandangan ini yang kemudian menjadikan Spencer sering disebut sebagai seorang

teoretis organik karena usahanya memperluas prinsip-prinsip evolusi pada ilmu

biologi ke institusi sosial.

Lewis Henry Morgan

Lewis mengatakan bahwa terdapat tujuh tahap teknologi yang dilalui

masyarakat yaitu dari tahap perbudakan hingga tahap peradapan. Keyakinannya

(35)

semua bangsa di dunia telah atau sedang akan menyelesaikan proses evolusinya.

Berikut 8 tahapan tersebut yang dikutip dalam Koenjtraningrat (1987):

1. Zaman Liar Tua, yaitu zaman sejak adanya manusia sampai ia menemukan

api, dalam zaman ini manusia hidup dari meramu, mencari akar-akar, dan

tumbuhan-tumbuhan liar.

2. Zaman Liar Madya, yaitu zaman sejak manusia menemukan api, sampai ia

menemukan senjata busur/panah, dalam zaman ini manusai mulai merubah

mulai merubah mata pencaharian hidupnya dari meramu menjadi pencari

ikan disungai-sungai dan memburu.

3. Zaman Liar Muda, yaitu zaman sejak manusia menemukan senjata

busur/panah, sampai ia mendapatkan kepandaian membuat tembikar.

4. Zaman Barbar Tua, yaitu zaman sejak manusia menemukan kepandaian

membuaat tembikar sampai ia mulai beternak dan bercocok tanam.

5. Zaman Barbar Madya, yaitu zaman sejak manusia beternak dan bercocok

tanam sampai ia menemukan kepandaian membuat benda-benda dari

logam

6. Zaman Barbar Muda, yaitu zaman sejak manusia menemukan kepandaian

membuat benda-benda dari logam sampai ia mengenal tulisan.

7. Zaman Peradaban Purba (Civilization) 8. Zaman Peradaban Masa Kini

Kerangka tahapan evolusi tersebut di gunakan oleh Morgan untuk

menyusun bahan yang banyak jumlahnya tentang unsur-unsur kebudayaan dari

(36)

Karl Marx

Marx dalam bukunya “The German Ideology” menjelaskan beberapa tahap

perubahan-perubahan utama pada kondisi material dan cara-cara produksi di satu

pihak dan hubungan-hubungan sosial serta norma-norma kepemilikan di lain

pihak. Tahapan-tahapan perubahan tersebut bersifat linier (Johnson, 1994)

Komunis

Primitif

Gambar 2.1. Tahapan Perubahan Sosial Linier Marx

Tahapan ini sekaligus menjelaskan tahapan-tahapan perubahan sosial versi

Marx yaitu pertama, dimulai dengan adanya masyarakat primitif. Komunitas

masyarakat primitive ini merupakan suatu komunitas yang mengakui milik

pribadi sebagai milik komunitas dan pembagian kerja yang sangat sedikit. Pada

fase ini tidak ada pemilikan pribadi, kepemilikan juga sekaligus kepemilikan

komunitas, sehingga milikku adalah mlikmu. Kedua, struktur komunal purba yang

ditandai dengan bentuk yang lebih besar daripada komunitas primitive, pembagian

kerja semakin tinggi dan kepemilikan pribadi mulai diakui. Ketiga. sistem feodal

yang ditandai dengan pembagian kerja dan pola-pola kepemilikan kekayaan

pribadi yang lebih ketat. Tahap inilah yang memberikan jalan bagi cara-cara

produksi borjuis dan hubungan yang menyertainya. Ke-empat, tahap borjuis

berupa perombakan kehidupan komunal di bawah pengaruh ideology-ideologi

(37)

hubungan kepemilikan. Kelima, tahap kapitalis dimana seluruh kelas buruh

proletar memiliki hubungan dengan kelompok majikan (borjuis) semat-mata

sebagai penjual tenaga kerja yang kegiatan produktifnya digunakan untuk

mengahasilkan produk-produk yang akan dijual ke system pasar yang bersifat

impersonal. Ke-enam, tahap komunis dimana pada tahap ini pemilikan pribadi

akan lenyap dan individu akan dapat berinteraksi dalam hubungan-hubungan

komunal, tidak selalu berupa hubungan yang bersifat ekonomis. (Martono, 2011)

Teori Revolusi Marx

Setiap perkembangan sosial harus melalui berbagai tahapan. Sosialisme

hanya mungkin berdasarkan produktivas kerja yang tinggi, dan produktivitas

tinggi tersebut adalah sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi secara dahsyat

yang dijalankan oleh kapitalisme. Selain itu, kapitalisme menimbulkan kelas

buruh, serta menerapkan demokrasi parlementer dan menciptakan kondisi di mana

kelas buruh itu bisa berorganisir dan berjuang. Sehingga di tingkat global, umat

manusia jelas harus melewati tahap kapitalis (yang sekaligus merupakan tahap

demokratis-borjuis) sebelum masyarakat sosialis dapat tercapai.

Dalam karya Marx sering mendapati asumsi bahwa revolusi sosialis harus

didahului oleh revolusi borjuis, yang juga disebut sebagai revolusi demokratik.

Bukan karena sosialisme tidak demokratik. Sebaliknya, sistem sosialis akan

membawa demokrasi ke semua pelosok masyarakat, terutama ke tempat kerja.

Namun di masa Marx, penguasaan kelas borjuis memang untuk pertama kalinya

menimbulkan demokrasi (walau secara terbatas). Di negeri seperti Inggeris dan

(38)

2.5.2. Teori Siklus

Perubahan sebagai suatu siklus karena sulit diketahui ujung pangkal

penyebab awal terjadinya perubahan sosial. Perubahan yang terjadi lebih

merupakan peristiwa prosesual dengan memandang sejarah sebagai serentetan

lingkaran tidak berujung. Tokoh-tokoh dan pokok-pokok pikiran yang terkait

dalam kelompok teori ini di antaranya adalah:

Ibn Khaldun

Ibnu Khaldun, salah satu teoritisi sosiohistoris mengemukakan bahwa

perubahan sebagai suatu siklus, yang analisisnya memfokuskan pada bentuk dan

tingkat pengorganisasian kelompok dengan latar belakang sosial budaya yang

berbeda. Para penganut teori siklus juga melihat adanya sejumlah tahap yang

harus dilalui oleh masyarakat, tetapi mereka berpandangan bahwa proses

peralihan masyarakat bukannya berakhir. Pada tahap terakhir yang sempurna

melainkan berputar kembali ke tahap awal untuk peralihan selanjutnya.

Oswald Spengler

Oswald Spengler berpandangan bahwa setiap peradaban besar mengalami

proses kelahiran, pertumbuhan dan keruntuhan. Proses perputaran itu memakan

waktu sekitar seribu tahun.Karya Oswald Spengler yang berpengaruh adalah Der

Untergang des Abendlandes (Decline of the West) atau Keruntuhan Dunia

Barat/Eropa. Spengler meramalkan keruntuhan Eropa. Ramalan itu didasarkan

(39)

ialah bahwa kehidupan sebuah kebudayaan dalam segalanya sama dengan

kehidupan tumbuhan, hewan, manusia dan alam semesta. Persamaan itu

berdasarkan kehidupan yang dikuasai oleh hukum siklus sebagai wujud dari

fatum. Fatum adalah hukum alam yang menjadi dasar segala hukum cosmos,

setiap kejadian, setiap peristiwa akan terjadi lagi, terulang lagi.

(http://nasherooy.blogspot.com/2010)

Pitirim Sorokin

Sorokin memusatkan perhatiannya pada tingkat budaya, dengan

menekankan pada arti, nilai, norma dan symbol sebagai kunci untuk memahami

kenyataan social-budaya. Sorokin juga menekankan adanya saling ketergantungan

antara pola-pola budaya. Ia percaya bahwa masyarakat adalah suatu sistem

interaksi dan kepribadian individual. Tingkat tertinggi integrasi sistem-sistem

sosial yang paling mungkin didasari pada seperangkat arti, nilai, norma hukum

yang secara logis dan konsisten mengatur interaksi antara kepribadian-kepribadian

yang ada didalam masyarakat. Tingkat yang paling rendah dimana kenyataan

sosial-budaya dapat dianalisa pada tingkat interaksi antara 2 orang atau lebih.

Pitirim Sorokin menyatakan terdapat tiga siklus sistem kebudayaan yang berputar

tanpa akhir, yaitu kebudayaan ideasional yang didasari oleh nilai-nilai dan

kepercayaan terhadap unsur supernatural, kebudayaan idealistis dimana

kepercayaan terhadap unsur supernatural dan rasionalitas yang berdasarkan fakta

bergabung dalam menciptakan masyarakat ideal dan terakhir kebudayaan sensasi

yang merupakan tolak ukur dari kenyataan dan tujuan hidup.

(40)

Arnold Toynbee

Pokok pikiran yang dinyatakannya bahwa peradaban besar berada dalam

siklus kelahiran, pertumbuhan, keruntuhan dan kematian. Arnold Toynbee tidak

puas dengan teori Spengler. Alasannya karena Spengler hanya mempelajari di

peradaban yang sangat tidak memadahi dan pesimitis. Sehingga dalam karyanya A Study of History Toynbe menyatakan pemikiran visionernya untuk menjawab persoalan timbul-tenggelamnya peradaban dengan teorinya Challenge and Response (tantangan dan jawaban). Ia memberi contoh tentang kelahiran peradaban Mesir yang menurut pendapatnya merupakan sebuah respon terhadap

tantangan kegersangan lingkungan alam sekitarnya yang mengancamnya, yaitu

Padang Pasir Sahara. Dihadapkan pada tantangan ini, Mesir Kuno mengeringkan

rawa-rawa di wilayah Sungai Nil bagian selatan dan diterusan dengan segala

respons positif sehingga melahirkan peradaban besar dalam sejarah. (Djoko

Suryo. 2009)

Toynbe lebih menekankan peran manusia yang memiliki kekuatan untuk

mengubah perjalanan masa depan dan tetap menjaga peradapan dari kehancuran.

Ini tentu berbeda dengan Spengler yang beranggapan bahwa kehidupan

kebudayaan manusia sama dengan kehidupan mahluk lainnya. Menurut Toynbe,

unit yang tepat dalam studi sejarah bukanlah negara-negara bangsa (nation-states) atau periode, tetapi masyarakat secara keseluruhan. Dia meneliti sedikitnya 21

kebudayaan di dunia. Hasil dari temuannya itu menunjukkan bahwa timbul dan

tenggelamnya kebudayaan disebabkan adanya Challenge and Response.

(41)

2.5.3. Teori Struktural Fungsional

Teori struktural fungsional Talcot Person dimulai dengan empat fungsi

penting untuk semua sistim ”tindakan” yang disebut dengan AGIL. Melalui Agil

ini kemudian dikembangkan pemikiran mengenai struktur dan sistim. Menurut

Person fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan ke arah pemenuhan

kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistim. Dengan difinisi ini Person yakin bahwa

ada empat fungsi penting yang diperlukan semua sistim yang dinamakan AGIL

yang antara lain adalah :

1. Adaptation (adaptasi); Sebuah sistim harus menanggulangi situasi eksternal

yang gawat. Sistim harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan

menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya.

2. Goal attainment (pencapaian tujuan); Sebuah sistim harus mendifiniisikan diri

untuk mencapai tujuan utamanya.

3. Integration (integrasi); Sebuah sistim harus mengatur antar hubungan

bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistim juga harus mengelola antar

hubungan ketiga fungsi penting lainnya (A, G, L).

4. Latency (pemeliharaan pola); Sebuah sistim harus memperlengkapi,

memelihara, dan memperbaiki, baik motivasi individu maupun pola-pola

kultural yang menciptakan dan menopang motivasi. (Martono, 2011)

Inti pemikiran Parson ditemukan dalam empat sistim tindakan yang

diciptakannya. Tingkatan yang paling rendah dalam sistim tindakan ini adalah

lingkunagn fisik dan organisma, meliputi aspek-aspek tubuh manusia, anatomi,

dan fisiologisnya. Sedang tingkat yang paling tinggi dalam sistim tindakan adalah

(42)

kegelisahan, dan tragedi kehidupan sosial yang menantang organisasi sosial. Di

antara dua lingkungan tindakan itulah terdapat empat sistim yang diciptakan oleh

Parson meliputi organisme perilaku, sistim kepribadian, sistim sosial, dan sistim

kultutral. Semua pemikiran Parson tentang sistim tindakan ini didasarkan pada

asumsi-asumsi beikut :

1. Sistim memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling

bergantung.

2. Sistim cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau

keseimbangan.

3. Sistim mungkin statis atau bergerak dalam proses perubahan yang teratur.

4. Sifat dasar bagian dari suatu sistim berpengaruh terhadap bentuk

bagian-bagian lain.

5. Sistim memelihara batas-batas dengan lingkunganya.

6. Alokasi dari integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan

untuk memelihara keseimbangan sistim.

7. Sistim cenderung menuju ke arah pemeliharaan keseimbangan diri yang

meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara

bagian-bagian dengan kerseluruhan sistim, menegndalikan lingkungan yang

berbeda-beda dan mengendalikan kecenderungan untuk merubah sistim

dari dalam. (http://sharingtheory.blogspot.com/2009/)

Dalam analisisnya tentang sistim sosial, Meski Parson lebih melihat pada

komponen-komponen strukturalnya seperti status-peran, kolektifitas, norma, dan

nilai, namun parson juga melihat aspek fungsionalnya. Persyaratan fungsional dari

(43)

1. Sistim sosial harus terstruktur (ditata) sedemikian rupa hingga dapat

beroperasi dalam hubungan yang harmonis dengan sistim yang lain.

2. Untuk menjaga kelangsungan hidupnya, sistim sodial harus mendapatkan

dukungan dari sistim yang lain.

3. Sistim sosial harus mampu memenuhi kebutuhan para aktornya dalam

proporsi yang signifikan.

4. Sistim harus mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari para

anggotanya.

5. Sistim sosial harus mampu mengendalikan perilaku yang berpotensi

mengganggu.

6. Bila konflik akan menimbulkan kekacauan, maka itu harus segera

dikendalikan.

7. Untuk kelangsungan hidupnya, sistim sosial memerlukan bahasa.

(http://sharingtheory.blogspot.com/2009/)

Dalam sistim sosial ini Parson menekankan pentingnya aktor. Akan tetapi

Parson lebih melihatnya sebagai kenyataan fungsional bukan struktural, karena

aktor merupakan pengemban dari fungsi peran yang adalah bagian dari sistim.

Oleh karenanya harus terdapat integrasi pola nilai dalam sistim antara aktor

dengan struktur sosialnya. Dan ini hanya dapat dilakukan dengan melalui proses

internalisasi dan sosialisasi. Disini terdapat pengalihan norma dan nilai sistim

sosial kepada aktor di dalam sistim sosial. Dalam proses sosialisasi yang berhasil,

Referensi

Dokumen terkait

Hasil yang ditemukan dari penelitian ini adalah: Pertama, Ajaran malu dalam Islam sangat berkaitan dengan budaya siri’ yang hidup pada masyarakat Bugis.. Hal ini

kebudayaan, dan individu di muka bumi ini, tanpa sekat-sekat ruang komunikasi Sri Hastanto 2005 INVENTARSASI WARISAN BUDAYA TAK BENDA, Apa, Mengapa, dan Bagaimana Pengelolaan

Manusia hidup bersama dan ditandai dengan adanya hubungan atau pertalian satu sama lainnya, paling tidak setiap individu sebagai anggotanya (masyarakat) mempunyai kesadaran

dalam penelitian ini, yang dijadikan acuan adalah terkait dengan masalah media massa, gaya hidup dan imitasi budaya populer berhijab.. Oleh karena itu, peneliti melakukan

Aktivitas hidup cacing tanah dalam suatu ekosistem tanah dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti: iklim (curah hujan, intensitas cahaya dan lain sebagainya), sifat fisik

Oleh karena itulah, pada masyarakat Karo di Kabupaten Langkat setiap ada anggota keluarga yang meninggal cawir metua, selalu diadakan upacara adat yang sesuai dengan adat