BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Budaya
Istilah kebudayaan dalam pengertian sehari – hari sering juga disamakan
dengan suatu kesenian seperti seni musik, seni tari, seni rupa, seni sastra, ilmu
pengetahuan maupun filsafat merupakan salah satu bagian dari kebudayaan. Kata
kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddayah yang merupakan
bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi dan akal. Dengan demikian
kebudayaan diartikan sebahai hal–hal yang bersangkutan dengan budi dan akal.
Istilah culture yang merupakan istilah dalam bahasa asing yang sama artinya
dengan kebudayaan, berasal dari bahasa latin colere, yang artinya mengolah atau
mengerjakan (dalam hal mengolah tanah dan bertani). Dari asal arti tersebut yaitu
colere kemudian culture diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk
mengolah dan mengubah alam.
Kebudayaan sendiri memiliki berbagai ragam arti, tergantung dari sudut
pandang ilmu apa yang dilihat. Bahkan dua sarjana antropologi yaitu A.L Kroeber
dan C. Kluchohn (dalam Salim, 1978) telah mengumpulkan 160 macam defenisi
tentang kebudayaan yang berasal dari berbagai buku dengan pengarang yang
berbeda. Defenisi yang sampai sekarang merupakan defenisi sistematis dan ilmiah
adalah yang dikemukakan oleh E.B.Taylor dalam bukunya Primitive Culture, yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks yang
hukum, adat istiadat dan kemampuan – kemampuan lain serta kebiasaan yang
didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Menurut Koentjaraningrat (1969) kebudayaan adalah keseluruhan dari
hasil kelakuan manusia yang diatur oleh tata kelakuan manusia yang harus
didapatkan
dengan belajar dan semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.
Koentjaraningrat yang mengatakan kebudayaan itu sendiri merupakan suatu
wujud. Wujud kebudayaan dapat digolongkan kedalam tiga wujud yaitu :
a. Wujud Ideal merupakan kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide,
gagasan, nilai–nilai, norma–norma, peraturan–peraturan dan sebagainya.
Wujud ini sifatnya abstrak atau tidak dapat dilihat dan diraba manusia
b. Wujud Sosial / tingkah laku berpola manusia dalam masyarakat.
Kompleks tindakan berpola serta tindakan berpola manusia dalam
masyarakat. Tindakan berpola dan bertingkah laku ini dituangkan dalam
bentuk adat – istiadat, peraturan–peraturan, dan sebagainya.
c. Wujud Fisik merupakan suatu kebudayaan sebagai suatu hasil karya
manusia yang dituangkan dalam bentuk benda– enda atau objek–objek
fisik yang dapat dilihat dan diraba manusia. Koentjaraningrat (1969)
menyebutkan ada tujuh unsur kebudayaan yang bersifat universal yang
sudah pasti terdapat dalam semua bangsa didunia.
Tujuh unsur kebudayaan adalah :
a. Sistem religi / kepercayaan ; Dalam sistem ini pada umumnya
dunia alam, hidupnya, maupun maut, dan sebagainya tentang kesustraan
suci/mitologi seperti pengetahuannya dan hal–hal yang bersifat tabu atau
pantangan dan lain–lainnya tentang sistem upacara yang bertujuan
menjalankan ide-ide yang terkandung didalam sistem kepercayaan.
Konsep ini sangat berpengaruh pada pola pikir masyarakat baik secara
individu maupun secara kolektif
b. Organisasi sosial/kepercayaan; Dalam hal ini organisasi tidak harus selalu
bersifat formal namun dapat juga bersifat non formal. Organisasi yang
paling kecil dalam masyarakat akan terikat dengan sistem organisasi
lainnya misalnya sistem hukum, sistem perkawinan, organisasi politik, dan
sebagainya.
c. Sistem Pengetahuan; Tiap–tiap suku bangsa di dunia umumnya
mempunyai pengetahuan tertentuyang didapat dari hasil pengalaman dan
disimpulkan kedalam suatu rumusan atau teori tertentu yang
mempengaruhi pola pikir masyarakat itu sendiri. Misalnya pengetahuan
tentang musim sifat–sifat dari gejala alam dan binatang, pengetahuan
tentang ilmu pengobatan, pengetahuan tentang ilmu menghitung angka,
mengukur waktu dan sebagainya.
d. Bahasa; bahasa merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan
manusia yang berguna agar dapat berinteraksi dengan sesame manusia
dengan komunikasi. Bahasa terdiri dari tiga macam yaitu bahasa lisan,
tulisan, dan isyarat. Bahasa ini juga penting dalam pengembangan
kebudayaan, karena tanpa bahasa maka suatu masyarakat tidak akan dapat
e. Kesenian; Kesenian dapat dibagi menjadi dua macam yaitu seni suara dan
seni rupa, karena seni hanya bisa dinikmati oleh indra pendengaran atau
telinga bila ia berupa seni suara begitu juga dengan seni rupa hanya bias
dinikmati oleh indera penglihatan atau mata. Kesenian pada jaman dahulu
selalu dikaitkan dengan keagamaan dalam fungsinya sebagai pelengkap
suatu upacara keagamaan dan sebagai dasar–dasar keindahan yang
diwujudkan dalam motif-motif perhiasaan dan nyanyian serta tarian rakyat
ataupun simbol–simbol atau lambang suatu benda yang dilukiskan atau
dilambangkan.
f. Sistem Mata Pencaharian; Mata pencaharian rakyat umumnya tergantung
pada potensi yang dimiliki oleh daerahnya. Sistem mata pencaharian yang
dimulai dari tradisional yaitu meramu dan berburu, bercocok tanam
diladang. Sistem mata pencaharian ini sangat berpengaruh pada
perkembangan tingkat perekonomian suatu masyarakat.
g. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi; Sistem peralatan hidup dan
teknologi dari suatu suku bangsa mengandung unsur- unsur khusus,
diantaranya mengenai bahan – bahan yang digunakan, cara pembuatannya,
tujuan atau manfaat dari alat tersebut. Proses pembuatan hidup tersebut
akan selalu berkembang seiring dengan semakin bertambahnya
pengetahuan manusia.
2.2. Budaya/tradisi Pertanian di Karo
Dalam Ilmu Sosial dan Budaya, wujud dari kebudayaan itu ada dalam
gagasan, nilai-nilai, aturan-aturan dan sebagainya. Semuanya itu membentuk
suatu cultural system (sistem budaya). Kedua, kebudayaan itu dapat dilihat namun tidak dapat diraba. Yang dimaksudkan dalam penjelasan untuk sifat kedua ini
adalah segala aktivitas, perilaku, ritual (kebudayaan) yang dilakukan oleh
masyarakat karo yang dimulai dari nenek moyang karo hingga diturnkan ke
generasi berikutnya. Ketiga, wujud dari kebudayaan itu adalah hasil kerja manusia
yang bersifat konkrit dan nyata. Yang dimaksudkan untuk wujud ketiga ini adalah
segala benda budaya (material cultural) yang menandakan suatu identitas suatu budaya, termasuk identitas budaya karo. Benda budaya yang merupakan identitas
budaya Karo juga terbagi dalam beberapa bentuk, yakni dalam segi pakaian, alat
musik, alat pertanian, dan lain-lain. Semuanya itu dapat diciptakan dan diperoleh
dengan cara belajar agar menghasilkan suatu karya tersendiri dan menjadi
identitas budaya.
Pertanian Karo dan bagaimana mengelola lahan pertanian merupakan hasil
dari suatu kebudayaan yang sudah diturunkan selama puluhan tahun atau bahkan
sampai ratusan tahun kepada generasi berikutnya yang berasal dari nenek moyang
suku Karo. Pertanian Karo merupakan salah satu identitas suku karo yang terkenal
dari hasil pertaniannya yang sudah mampu menembus pasar daerah, nasional dan
bahkan sudah diekspor ke luar negeri. Pertanian Karo juga tidak akan lepas dari
istilahAron, yang dalam terjemahan bahasa Indonesia secara luas, yakni bekerja sama. Masyarakat akan saling bekerja sama untuk mengelola lahan pertanian
penduduk yang satu, dan begitu juga dengan penduduk yang dibantu tadi akan
merupakan salah satu penyumbang hasil-hasil pertanian di daerah Sumatera Utara,
selain dari beberapa kabupaten yang berada dalam wilayah provinsi Sumatera
Utara.
Lahan pertanian yang terbentang luas di dataran tinggi karo menjadi salah
satu sumber pertanian unggulan di daerah Sumatera Utara. Tanah karo yang
berbatasan langsung dengan kabupaten Deli Serdang, kabupaten Simalungun,
Kabupaten Dairi dan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, yang di dalam nya ada
terdapat gunung sinabung, gunung sibayak dan perbukitan yang mengakibatkan
tanah di kabupaten Karo ini menjadi lahan subur dan sangat cocok untuk tanaman
muda dan beberapa jenis tanaman tua. Pertanian karo juga sekaligus merupakan
identitas budaya karo yang sesungguhnya. Kebudayaan karo yang dimaksudkan
penulis merupakan hasil dari segala kegiatan masyarakat dalam budaya tersebut,
membentuk struktur dan sistem pertanian yang menggabungkan antara pemakaian
alat pertanian, teknik pemakaiann, dan pelaksanaan di lapangan. Pertanian sebagai
identitas budaya Karo dapat kita temukan dalam segala aktivitas masyarakat Karo
di setiap wilayah dataran tinggio Karo. Kebudayaan yang dimaksudkan penulis
adalah segala aktivitas masyarakat yang memberikan cirri-ciri khusus mengenai
kehidupan masyarakat Karo yang dalam hubungannya adalah menyangkut
pertanian, cara mengelola lahan pertanian, ritual, peralatan yang digunakan hingga
segala kegiatan yang berhubungan langsung dengan kegiatan menanam dan
memanen hasil pertanian. Kerja Tahun merupakan salah satu kegiatan masyarakat
Ketika Kerja Tahun (pesta tahunan) diadakan, maka setiap keluarga yang mempunyai sanak famii di luar tanah Karo akan datang ke kampung mereka
masing-masing untuk memeriahkan acara tersebut. Di dalam budaya Karo, pesta
tahunan ini menjadi perayaan yang paling besar dalam budaya Karo. Hal ini
dapat kita lihat selama adanya pesta tahunan di antara desa yang satu dengan yang
lain, maka setiap keluarga yang mempunyai saudara di luar daerah tanah karo
akan berusaha mengajak saudaranya agar mau berkunjung ke desa mereka
masing-masing. Pesta tahunan antara desa yang satu dengan yang lain
dilaksanakan dalam waktu yang berbeda, sebab kerja tahun merupakan perayaan
yang diputusakan bersama kepala desa serta masyarakat yang ada di dalam
lingkungan desa tersebut. Pesta tahunan ini juga menjadi ajang cari jodoh di
tengah kaum muda-mudi. Ajang cari jodoh yang dimaksudkan penulis adalah,
bahwa ketika pesta tahuna ini diselenggarakan, maka pemuda atau pemudi dari
desa yang lain akan datang menghadiri dan memeriahkan pesta tahunan yang
dilaksanakan oleh sutu desa. Kesempatan ini akan dipergunakan oleh muda-mudi
untuk saling berkenalan, dan jika ada kecocokan di antara mereka maka hubungan
itu juga akan berlanjut ke tahapan yang lebih serius, yakni perkawinan. Tidak
jarang ditemukan satu pasangan akan melangsungkan perkawinan hanya
mengalami masa perkenalan ketika pesta tahunan itu dilangsungkan.
Beda dengan Kerja Tahun (pesta tahunan), maka ada juga disebut dengan Guro-guro aron.Sebenarnya kedua hal ini hampir sama. Cuma jika pesta tahuna ini hanya dilaksanakan di daerah tanah karo (Karo Gugung), sedangkan perayaan Guro-Guro Aron ini dapat dilaksanakan di mana pun masyarakat Karo berada,
di suatu wilayah di luar tanah Karo, maka komunitas ini dapat melaksanakan
perayaan Guro-Guro Aron. Guro-Guro Aron ini diadakan sebagai ungkapan syukur kepada Sang Pencipta atas hasil panen, hasil kerja yang sudah diterima
selama satu tahun.
Sebagai daerah yang mayoritasnya adalah suku karo, maka ada berbagai
istilah dalam bahasa karo dalam hubungannya dengan sisterm pertanian karo,
yakni nuan (musim menanam), ngrirak(musim perawatan tanaman), rani (musim panen), dan masih ada lagi bebrapa istilah yang menyangkut pertanian di dalam
masyarakat karo dan menjadi identitas budaya Karo. Sistem pertanian Karo telah
mampu menjadi daya tarik tersendiri bagi siapa saja yang pernah berkunjung ke
Tanah Karo. Lahan pertanian Karo juga telah menjadi salah satu obyek wisata
yang telah mampu menyita perhatian setiap wisatawan yang berasal dari dalam
dan luar negeri yang ketika berkunjung ke tanah karo tersebut. Pemandangan yang
memperlihatkan lahan pertanian ini membuat setiap wisatawan akan merasa
kagum.
Dalam setiap ritual yang dilakukan oleh masyarakat Karo dalam
hubungannya terhadap sistem pertanian di tengah masyarakat, masing-masing
mempunyai maksud dan tujuan yang mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan
pencipta atas segala apa yang ada. Dengan upacara tersebut, masyarakat diminta
agar senantiasa bersyukur atas segala apa yang sudah mereka terima. Masyarakat
juga diminta agar senantiasa mau menjaga kelestarian alam sehingga lingkungan
yang mereka tempati akan memberikan hasil yang berguna untuk menopang
masyarakat karo selama puluhan tahun menjadi cirri khas tersendiri dibandingkan
dengan masyarakat yang berasal dari luar tanah Karo.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pertanian karo dan bagaimana cara
mengolah lahan pertanian di daerah tanah karo tidak luput dari perkembangan
jaman, yakni perkembangan teknologi yang sudah membawa perubahan dalam
semua bidang kehidupan manusia, terutama dalam hubungannya terhadap
pengelolaan lahan–lahan pertanian ,masyarakat karo. Cara pengelolaan itu telah
mengubah sistem pertanian masyarakat karo, yang pada dahulu dilakukan dengan
cara tradisional, maka sekarang ini lahan pertanian sudah disentuh dengan
berbagai alat pertanian terbaru yang semuanya bertujuan untuk mencapai efisiensi
kerja dan mampu memberikan hasil maksimal lagi dari setiap lahan pertanian
yang dikelola. Pertanian karo hadir sebagai salah satu usaha untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat sekitanya, dan mampu menjadi sumber mata pencaharian
di tengah masyarakat karo sekitarnya. Pertanian Karo juga sekaligus menjadi
spiritualitas baru dalam bertani, dan mampu mengungkapkan nilai-nilai budaya
yang ada.
Perkembangan jaman dan modernisasi dalam sektor pertanian juga telah
mengubah pandangan masyarakat, terutama masyarakat Karo yang berada di
daerah dataran tinggi Karo. Penggunaan peralatan pertanian yang terbaru dan juga
penggunan herbisida dan pestisida menjadi salah satu cara untuk memberi hasil
pertanian yang lebih besar lagi. Dengan penggunaan alat pertanian yang lebih
modern lagi, maka akan lebih meminimalisir tenaga manusia dalam mengelola
lahan pertanian, yang biasanya dilaksanakan secara tradisonal dan melibatkan
pestisida dan herbisida di dalam lahan pertanian dimaksudkan untuk menjaga
tanaman dari serangan hama atau tumbuhan yang dapat mengganggu
perkembangan tanaman di lahan pertanian tersebut.
Pandangan baru mengenai Spiritualitas bertani di dalam masyarakat karo
melibatkan semua komponen dalam masyarakat dalam setiap pribadi dan mampu
diintegrasikan dalam bentuk sinergitas di tengah masyarakat. Penulis beranggapan
bahwa spiritualitas bertani di dalam masyarakat karo hendaknya dibangun atas
rasa kepedulian terhadap lingkungan, mampu mengelola alam dengan baik dan
adanya timbal balik antara pengelola alam dan perhatian terhadap alam itu juga.
Hendaknya bukan hanya hasil yang besar yang hanya diharapkan oleh masyarakat
dari alam tersebut, melainkan segala tindakan dalam hubungannya terhadap
pengelolaan lahan pertanian itu juga memperhatikan etika alam, sehingga apa
yang dikerjakan oleh masyarakat itu juga sesuai dengan nilai-nilai dan etika yang
ada dalam bertani,
Sebagai suatu identitas budaya, spiritualitas bertani merupakan suatu hal
yang harus dipelihara, dijalankan secara berkesinambungan, mempunyai
akuntabilitas, sehingga nilai-nilai dari sistem pertanian dalam budaya Karo
senantiasa terpelihara dengan baik. Masyarakat juga diminta tidak
mengeksploitasi lingkungan dimana mereka berada, melainkan senantiasa
menjaga keseimbangan lingkungan, sehingga lingkungan dan manusia menjadi
satu kesatuan utuh dalam proses perjalanan waktu yang akan senantiasa
berhadapan dengan perubahan cuaca dan perubahan waktu. Alam juga perlu
pemerhati dan meminimalisir segala tidnakan yang mmapu merusak alam,
trerutama di daerah tanah Karo.
Nilai-nilai budaya dalam masyarakat Karo dalam hubungnnya terhadap
sisterm pertanian yang ada hendaknya senantiasa dipelihara, sehingga budaya
karo dalam bertani menjadi salah satru contoh yang dapat ditiru oleh masyarakat
lain. Pertanian Karo semestinya memberikan suatu pandangan, bahwa segala
aktivitas dalam bertani di dalamnya terdapat spiritualitas yang mampu membuat
setiap masyarakat semakin mampu menyatu dengan budaya, dengan masyarakat
lain dan dengan alam. Kebudayaan yang bersifat dinamis itu akan senantiasa
mengalami perubahan seturut perubahan lingkungan yang ada, maka semestinya
kita menjaga dan memperhatikan nilai-nilai budaya bertani setiap kita melakukan
aktivitas di lahan pertanian.
Jika budaya bertani itu senantiasa dilaksanakan dengan penuh kesadaran,
maka penulis yakin bahwa pertanian karo akan mampu bertahan dan bersaing
dengan daerah lain tanpa harus bergantung dari daerah lain. Penggunaan alat
pertanian, pestisida dan herbisida, pupuk juga diharapkan bersifat tepat sasaran
dan tidak merusak lingkungan, dan tidak berlebihan yang nantinya dapat merusak
ekosistem yang ada. Masyarakat karo yang tinggal di dataran tinggi Karo
merupakan salah satu masyarakat yang dikenal sebagai masyarakat yang hidup
dari bidang pertanian. Pertanian menjadi cirri utama dalam kehidupan masyarakat
Karo. Lahan pertanian menjadi penopang hidup masyarakat yang tinggal di daerah
dataran tinggi Karo.
Semua harapan ke depannya akan terwujud jika masyarakat karo yang
terkenal itu akan dapat dipertahankan jika setiap masyarakat selalu berusaha
memberikan perhatian lebih terhadap alam, tanpa merusak dan selalu
menjalaninya dengan penuh tanggung jawab. Bagaimana pun waktu akan selalu
mengalami perubahan, namun penulis mengharapakan bahwa budaya bertani
dalam masyarakat karo dan spiritualitas bertani yang dimiliki akan senantiasa
mampu berjalan seturut perubahan waktu yang ada. Perubahan itu memang
diperlukan, namun marilah kita mengalami perubahan ke arah yang positif dan
mampu member kontribusi terhadap budaya bertani dan sekaligus menjadi
identitas budaya Karo yang sesungguhnya. Semoga setiap masyarakat mampu
mengelola lahan pertanian dengan selalu memperhatikan nilai-nilai yang ada.
Budaya karo tetap terjaga, dan hasil pertanian semakin bertambah. Marilah kita
kembali kepada nilai budaya, dan mari lah kita menyeimbangkan alam melalui
budaya dan spiritualitas bertani yang tepat sasaran
2.3. Globalisasi
Teori globalisasi juga muncul sebagai akibat dari serangkain
perkembangan internal teori sosial, khususnya reaksi terhadap prespektif seperti
teori modernisasi. Diantara karakteristik dari teori ini adalah bias Westren-nya
disesuaikan dengan perkembangan di barat dan bahwa ide di luar dunia barat tak
punya pilihan kecuali menyesuiakan ide dengan ide barat.
Globalisasi data dianalisi secara kultural ekonomi, polemik dan atau
institusioanl. Dalam masing-masing kasus, perbedaan kuncinya adalah apakah
seseorang melihat homogenitas atau heterogenitas. Pada titik ekstrem, globalisasi
(homogenitas) atau sebagai proses di mana banyak input kultul; l. local dan global
saling berinteraksi untuk menciptakan semacam perpaduan yang menorah ke
pencangkokan kultur (heterogenitas). Teoritis yang memfokuskan pada
faktor-faktor ekonomi cenderung menekankan arti penting dan efeknya yang bersifat
homogenizing terhadap dunia. Mereka umumnya melihat globalisasi sebagai
penyebaran ekonomi pasar ke seluruh kawasan dunia yang berbeda-beda.
Perspektif Neo-Marxian Kellner tentang Globalisasi. Kellner menfokuskan
pada realitas kapitalisme sekarang dimana teknologi memegang peranan yang
semakin penting, kellner mengalihkan perhatiannya kepada globalisasi dari
perspektif ini dan yang lebih umum, beralih orientasi neo Marxian yang kritis,
kunci untuk memahami globalisasi adalah menyusun teori tentangnya sebagai
produk dari revolusi teknologi sekaligus restruktuisai global kapitalisme.
Perspektif dialektis juga menjelaskan bahwa ada ciri-ciri progresif dan
emansipatoris dari globalisasi dan kita harus mempertimbangkan keduanya.
Perbedaan kuncinya dari perspektif dialektis, adalah perbedaan antara globalisasi
yang dipaksakan dari atas dan globallisasi yang muncul dari bawah. Yang
merupakan hal penting buat Kellner, dan refleksi dari prespektif dialektisnya,
adalah pemikirannya tentang internet. Teknologi baru ini dipakai dengan berbagai
macam cara untuk mempromosikan globalisasi kapitalis. Akan tetapi intentiv juga
dipakai untuk memobilisasi orang-orang yang menentang globalisasi.
Giddens tentang “Runaway World” dan Globalisasi. Pandangan Giddens
tentang globalisasi jelas terkait erat dan tumpang tindih dengan pemikirannya
tentang juggernaut modernitas. Globalisasi juga mengandung dampak besar
didiskusikan seperti keintiman dan aspek lain dari kehidupan sehari-hari. Dan
Giddens melihat keterkaitan erat antara globalisasi dan risiko, khususnya
munculnya apa yang dia namakan manufactured risk. Dia juga mengakui bahwa
globalisasi adalah proses dua arah dengan amerika dan barat sebagai kawasan
yang paling banyak terkena pengaruhnya. Lebih jauh dia mengatakan, globalisasi
menjadi semakin decentred, dengan bangsa-bangsa di luar barat memainknan
peran yang semakin besar didalamnya. Dia juga mengakui bahwa globalisasi
melemahkan kultur local sekaligus membangkitkan kembali. Dia mengatakan
bahwa globalisasi menyelinap kesamping menghasilkan area baru yang mungkin
melintasi bangas-bangsa. Perbenturan utama yang terjadi ditingkat global dewasa
ini adalah antara fundamental dengan kosmopolitanisme, pada akhirnya Giddens
melihat munculnya masyarakat cosmopolitan global. Tetapi bahkan kekuatan
utama yang menentangnya tradisionlisme merupakan produk dari globalisme.
Fundamentalis dapat mengambil bermacan-macam bentuk, agama etnis,
nasionalis, politik tetapi apapun bentuknya menurut Giddens bahwa benar untiuk
menganggap fundamentalisme sebagai sebuah problem. Fundamentalisme dekat
kemungkinan kekerasan dan fundamentalisme adalah lawan dari nilai-nilai
cosmopolitan.
Beck dan Politik Globalisasi. Globalisme adalah pandangan bahwa dunia
didominasi oleh perekonomian dan kita menyaksikann munculnya hegemoni
pasar dunia kapitalis dan ideologi neoliberalis yang menopangnya, menurut beck,
ini melibatkan pemikiran line dan monokausal. Multi dimensionalitas dari
perkembangan global, ekologi, politik kultur, dan masyarakt sipil. Sementara beck
ruang-ruang tertutup, khususnya yang diasosiasikan dengan bangsa, semakin
ilusif. Ruang-ruang itu menjadi ilusif karena globalisasi atau proses-proses
melaluinya negara yang berdaulat dimasuki dan dilemahkan oleh actor-aktor
transnasional, dengan berbagai macam prospek kekuasaan , orientasi, identitas
dan jaringan. Globalitas adalah proses baru setidaknya karena tiga alasan.
Pertama, pengaruhnya atas ruang geografis jauh lebih ekstensif. Kedua
pengaruhnya atas waktu jauh lebih stabil dan terus berlanjur dari waktu ke waktu,
ketiga ada densitas yang lebih besar untuk jaringan transnasional, hubungan dan
arus pekerjaan jaringan. Beck juga mendaftar sejumlah hal lainnya yang mencolok
yang berkaitan dengan globalitas ketika membandingkannya dengan manifestasi
lain dari transnasional. Ini membuat Beck memperbaiki yang terdahulu tentang
modernitas dan menyatakan globalitas, bersama dengan ketidakmampuan untuk
membalikannya, diasosiasikan dengan apa yang dia sebut sebagai second modernity.
Bauman tentang Konsekwensi Globalisasi. Bauman melihat globalisasi
dari segi perang ruang. Pemenang dari perang ruang ini adalah mereka yang
mobile, mampu untuk bergerak secara bebas keseluruh dunia dan dalamproses
untuk menciptakan makna bagi diri mereka sendiri. Mereka dapat mengambang
relative bebas di atas ruang dan ketika mereka harus mendarat diatas tempat,
mereka mengisolasikan diri mereka dalam ruang yang tertutup dan terjaga di
mana mereka aman dari ganguan orang-orang yang kalah dalam peperangan ruang
tersebut.
Akan tetapi adalah penting untuk membedakan di antara orang-orang yang
mereka menginginkan. Kemanusian para pengembara yang berefek karena merasa
lingkunganya tak tertahan dan tak bersahabat karena sejumlah alasan..
Bauman menempatkan perbedaan ini dalam konteks perjanjian utama kita
apa yang sekarang diklaim sebagai globalisasi disesuaikan dengan mimpi-mimpi
dan keinginan turis, akan tetapi sebagian besar orang berada di antara dua titik
ekstrem ini dan merasa tidak sebagai besar orang berbeda diantara dua titik
esktrem ini dan merasa tidak berasal. Pada saat itu bahkan pasti bahwa mereka
akan bisa melihat cahaya esok hari. Jadi globalisasi berarti kegelisahan bagi
semua orang.
Ritzer tentang “Globalization of Nothing”. Sesuatu bukan akibat dari
sesuatu yang lain, tetapi cenderung bervariasi bersama-sama. Jadi globalisasi
cenderung menyebarkan nothing ke seluruh dunia. yang nothing oleh Ritzer
adalah bentuk yang dibayang dan di control secara sentral yang kosong dari isi
yang distintif dan semua sebagian besar kosong dari distintif dan sedang
mengglobal. Ke empat tipe itu adalah non-place, nothing, non-people, non-service
jadi argument dasarnya adalah bahwa globalisasi membawa penyebaran
nothingness ke seluruh dunia.
2.4. Strategi Adaptasi
Didalam dunia antropologi, khususnya Antropologi Ekologi terdapat suatu
konsep yang menurut saya cukup unik dan masih relevan kita bicarakan hingga
kini. Konsep tersebut adalah konsep tentang adaptasi. Kita harus memahami
latarbelakang munculnya teori adaptasi ini dimana ketika itu ilmu pasti menjadi
Konsep-konsep biologi dan ilmu pasti dijadikan dasar untuk menjelaskan
fenomena-fenomena sosial yang ada. Tidak mengherankan jika secara
epistemologi teori adaptasi ini mempunyai sifat alur penalaran yang menurut saya
sangat deduktif, yaitu mencoba menalar suatu gejala sosial dengan penalaran
bangunan konseptual terlebih dahulu untuk menjelaskanya. Ini berbeda memang
dengan kebanyakan teori sosial dalam antropologi kemudian yang banyak
mendasarkannya pada proses penalaran induktif dari gejala empiris terlebih
dahulu kemudian ke bangunan konseptual. Ciri deduktif ini memang sangat kental
dalam era perkembangan teori ekologi yang awalnya banyak dibangun oleh para
ahli ekologi, seperti Julian Steward, Marvin Harris, Marshal Sahlin, dll. Dan
memang wajar karena domain ilmiah itu adalah terukur atau kebenaran sejati itu
sesungguhnya adalah ukuran-ukuran yang jelas, menjadi dasar pemahaman para
antropolog saat itu.
Konsep adaptasi datangdari dunia biologi, dimana ada 2 poin penting yaitu
evolusi genetik, dimana berfokus pada uimpan balik dari interaksi lingkungan, dan
adaptasi biologi yang berfokus pada perilaku dari organisme selama masa hidupnya, dimana organisme tersebut berusaha menguasai faktor lingkungan,
tidak hanya faktor umpan balik lingkungan, tetapi juga proses kognitif dan
levelgerak yang terus-menerus. Adaptasi juga merupakan suatu kunci konsep
dalam 2 versi dari teori sistem,baik secara biological, perilaku, dan sosial yang
dikemukakan oleh John Bennet (Bennet, 249-250). Asumsi dasar adaptasi
berkembang dari pemahaman yang bersifat evolusionari yang senantiasa melihat
manusia selalu berupaya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan alam
dalam evolusi melibatkan seleksi genetik dan varian budaya yang dianggap
sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan. Adaptasi
merupakan juga suatu proses yang dinamik karena baik organisme maupun
lingkungan sendiri tidak ada yang bersifat konstan/tetap (Hardestry,45-46).
Sedangkan Roy Ellen membagi tahapan adaptasi dalam 4 tipe. Antara lain adalah
(1) tahapanphylogenetic yang bekerja melalui adaptasi genetik individu lewat seleksi alam, (2) modifikasi fisikdari phenotype/ciri-ciri fisik, (3) proses belajar,
dan (4) modifikasi kultural. Modifikasi budaya bagi Ellen menjadi supreme atau
yang teratas bagi homo sapiens, dimana adaptasi budaya dan transmisi
informasidikatakannya sebagai pemberi karakter spesifik yang dominan. Manusia
dilahirkan dengan kapasitas untuk belajar seperangkat sosial dan kaidah-kaidah
budaya yang tidak terbatas. Sehingga kemudian fokus perhatian adaptasi menurut
Rot Ellen seharusnya dipusatkan pada proses belajar, dan modifikasi budayanya.
Dasar pembagian keempat tipe adaptasi di atas, berdasarkan atas laju
kecepatan mereka untuk dapat bekerja secara efektif. Seperti adaptasi phylogenetik, dibatasi oleh tingkatan bagaimana populasi dapat bereproduksi dan berkembangbiak. Modifikasi fisik bekerja lebih cepat, akan tetapi tetap tergantung
pada perubahan somatik dan akomodasi yang dihubungkan dengan pertumbuhan
fisik dan reorganisasi dari tubuh. Sedangkan proses belajar, tergantung dari
koordinasi sensor motor yang ada dalam pusat sistem syaraf. Disini ada proses uji
coba, dimana terdapat variasi dalam waktu proses belajar yang ditentukan oleh
macam-macam permasalahan yang dapat terselesaikan. Adaptasi kultural proses
bekerjanya dianggaplebih cepat dibandingkan ke-3 proses diatas karena ia
komuniti mempunyai daya tahan yang berbeda berdasarkan perasaan akan resiko,
respon kesadaran, dan kesempatan.Sifat-sifat budaya mempunyai koefisiensi
seleksi, variasi, perbedaan kematian-kelahiran, dan sifat budaya yang bekerja
dalam sistem biologi.
Daya tahan hidup populasi tidak bekerja secara pasif dalam menghadapai
kondisi lingkungan tertentu, melainkan memberikan ruang bagi individu dan
populasi untuk bekerja secara aktif memodifikasi perilaku mereka dalam rangka
memelihar kondisi tertentu, menanggulangi resiko tertentu pada suatu kondisi
yang baru, atau mengimprovisiasi kondisiyang ada. Beberapa adaptasi juga adalah
kesempatan, efek dari sosial dan praktek kulturalyang secara tidak sadar
mempengaruhinya. Proses adaptif yang aktual mungkin merupakan kombinasi
dari ke-3 mekanisme tersebut diatas. Misalnya, variasi dalam praktek kultural
mungkin meningkat karena kesempatan/tekanan pada sumber-sumber daya
/group. Sehingga adaptasi bisa kita sebut sebagai sebuah strategi aktif manusia
dalam menghadapi lingkungannya. Adaptasi dapat dilihat sebagai usaha untuk
memelihara kondisi kehidupan dalam menghadapi perubahan. Dengan demikian
definisi adaptasi selalu berkaitan erat dengan pengukuran, dimana tingkat
keberhasilan suatu organisme dapat bertahan hidup. Sejauh mana, dapat dikenali
bahwa adaptasi dapat dikatakan berhasil atau tidak.
Adaptasi yang dilakukan populasi sebagai suatu keseluruhan yanglengkap/
bulat adalah lebih menjanjikan hasil dari tekanan seleksi variasi pada dimana ini
menjadi subyek dan dari tingkat penvariasian resistensi pada adapatasi dalam
tujuan yang bebeda. Adaptasi tidak selalu dihubungkan pada penegasan
atau hanya kondisi yang extreme. Adaptasi seharusnya dilihat sebagai respon kultural atau proses yang terbukapada proses modifikasi dimana penanggulangan
dengan kondisi untuk kehidupan oleh reproduksi selektif danmemperluasnya.
Ukuran-ukuran bekerja berdasar pada adapatasi yang dilibatkan, dan lebih penting
lagi, pada bahaya/resiko yang mana perubahan adalah adaptif. (Hardestry
Populasi adalah faktor yang penting dalam hubungannya dengan
lingkungan. Suasana yang penuh kelimpahan, lokasi dan cuaca yang ada untuk
mendapatkan makanan di alam bebas membatasi ukuran dan memebutuhkan
ruang kehidipanb bagi pemburu-meramu (Spradley &; McCurdy, 189-190).
Populasi merupakan variabel/faktor yang penting dalam ekologi karena menjaga
keseimbangan antara ketersediaan sumber alamdan pemakaiannya (Stanley A.
Freed &; Ruth S. Freed, 220-226).
, 243)
Adaptasi populasi adalah melihat hubungannya dengan habitatnya. Konsep
dari adapatasi ini adalah historikal: ketika berbicata tentang populasi beradapatasi
adalah hubungannya dengan haitatnya dimana dimaksudskan, untuk habitat
membuat sesuai dimana tempatnya untuk hidup, atau membuat dirinya sendiri
lebih mensesuaikannya untuk hidup dalam habitat (Cohen,3). Jadi ketika
mengatakan bahwa kelompok manusia telah beradapatsi dengan habitatnya, ketika
telah tercipta /dicapai dan memlihara hubungan yang bergairah/hidup dengan
habitatnya. Adaptasi ini merupakan daya tahan/kelangsungan hidup kelompkk,
reproduksi, dan fungs-fungsi yang efektif dalam rangka agar elemen-elemen ini
bekerja sesuai dengan tugasnya.Pencapaian dari tipe dari hungan yang
dan haitat melalui perubahan dlam sistem energi kelompok dan organisasi
hubungan sosial selam periode yang panjang.
Aspek historikal dari proses adaptasi adalah apa yang kita sebut dengan
evolusi kebudayaan, dengan apa kita maksud dengan proses dari perubhan sekuen
dari apa yang kita lihat dari kubudayaan . Dalam antroplogi ketika berbicara
tentang adaptasi, kita memfokuskan diri kepada kelompok sosial, tidak dengan
individual person. Kelompok ini (institusi/organisasi) tidak sewcara langsung
teramati, mereka merupakan abstraksi dari perilaku individula yang diamati.Lebih
spesifik, kita berbicaratentang instusi yang ada dalam masayarakat, tetapi yang
kita pelajari adalah individu. Disana ada 2 alasan prinsip untuk ini, yang
berhubungan antara satu dengan yang lain. Pertama adalah pertimbangan praktikal
dan yang kedua adalah teorikal (cohen).Respon Adaptif individuyang dipelajari
dapat ditransmisikan kepada yang lain secara independen membawa sifat. Dalam
prakteknya, adaptasi manusia terhadap lingkungan yang khusus melibatkan
kombinasi dari tipe-tipe modifikasi yang berbeda ini (Roy Ellen, 1982: 237-238).
Respon perilaku dianggap mempunyai respon kecepatan yang tinggi dan secara
khusus menysesuaikan diridengan fluktuasi perubahan lingkungan. Dibandingkan
proses adapatif yang bersifat genetik dan fisik, perilaku adalah respon yang
dianggap paling cepat dari apa yang organisme dapat lakukan. Apabilamengacu
pada proses belajar,respon perilaku tersebut dianggap pula merupakan tingkatan
adaptasi yang paling fleksibel.
Menurut Hardestry,ada 2 macam perilaku yang adaptif, yaituperilaku yang
anggota kelompok, dan tradisi.Bagi hardestry, adaptasi dilihat sebagai suatu
proses pengambilan ruang perubahan, dimana perubahan tersebut ada di dalam
perilaku kultural yang bersifat teknologikal (technological), organisasional, dan
ideological. Sifat-sifat kultural mempunyai koefisiensi seleksi seperti layaknya
seleksi alam, sejak tedapat unsur variasi, perbedaan tingkat kematian dan
kelahiran, dan sifat kultural yang bekerja melalui sistem biologi. Proses adaptif
yang aktual sedapat mungkin merupakaa kombinasi dari beberapa mekanisme
biologis dan modifikasi budaya tersebut diatas. Sehingga adaptasi dapatlah
disebut sebagaisebuah strategi aktif manusia (Hardestry, 238-240). Adaptasi dapat
dilihat sebagai usaha untuk memelihara kondisi kehidupan dalam menghadapi
perubahan. Definisi adaptasi tersebut kemudian berkaitan erat dengan tingkat
pengukuran yang dihubungkan dengan tingkat keberhasilannya agar dapat
bertahan hidup. Adaptasi seharusnya dilihat sebagai respon kultural atau proses
yang terbukapada proses modifikasi dimana penanggulangan dengan kondisi
untuk kehidupan oleh reproduksi selektif dan memperluasnya(Hardestry,243).
Dinamika adaptif mengacu pada perilaku yang didesain pada pencapaian
tujuandan kepuasan kebutuhan dan keinginan dan konsekuensi dari perilaku untuk
individu, masyarakat, dan lingkungan. Ada 2 mode analitik utama pada perilaku
ini: yaitu tindakan individu yang didesain untuk meningkatkan produkstifitasnya,
dan mode yangdiperbuat oleh perilaku interaktif individu dengan individu lain
dalam group, yang biasanya dibangun oleh aturanyang bersifat
resiprositas.Perilaku interakstif tersebut didesain juga untuk memenuhi akhir
Konsep kunci adaptasi pada tingkat sosial individu kemudian menjadi
perilaku adaptif, tindakan strategik dan sistensis dari keduanya yang disebut
strategi adaptif. Perilaku adaptif merupakan term yang lebih umum dan mengacu
pada bentuk perilaku yang menyesuaikan pada tujuan, pencapaian kepuasan,
danputusan. Tindakan strategik, dianggap lebih spesifik dan mengacu pada
kepentingan khusus yang dipunyai sang aktor. Dalam tindakan stratejik sendiri
terdapat konsep yang meliputinya seperti rasionalitas, maksimalisasi, orientasi
pencapaian, Homo faber dll. Term ke-3, yaitu strategi adaptif, adalah komponen
dari tindakan strategi atau tindakan spesifik dengan tingkatan prediksi
keberhasilan, dimana diseleksi oleh individu dalam menentukan keputusannya
(Hardestry,271-272).
Dalam perkembangannya sekarang, dalam perdebatan post-modern yang
berdebat tentang soal pencarian kebenaran sejati dan darimana kebenaran itu
datang, relevansi teori adaptasi mulai kembali dibicarakan. Ada beberapa kritik
penting menurut saya yang patut dialamatkan pada teori adaptasi ini, antara lain:
1. Tidak dipungkiri bahwa teori adaptasi muncul akibat pemahaman ketika
itu bahwa ilmu dapat dikatakan supreme jika ia bisa menunjukkan sisi
keilmiahannya, dalam artian ketika itu ilmiah terukur jelas, sehingga
acuannya adalah ilmu pasti atau ilmu alam. Demikiann juga dalam teori
adaptasi ini, ia menunjukkan bahwa perbedaan tahapan dan tataran
tingkatan kebudayaan manusia mana yang dianggap paling unggul. Ini
terkait dengan tingkat strategi adaptasi masing-masing kebudayaan
komuniti tersebut. Aroma paham evolusionisme memang sangat kental
teori adaptasi ini. Misalnya bagaimana perbedaan strategi suatu peradaban
terhadap lingkungan sehingga ia berlanjut maju dan sustain, dan
kebudayaan mana yang kemudian mati sedemikian rupa karena tidak
mampu beradaptasi. Ada pandangan akan tingkatan perbedaan kebudayaan
disini. Pertanyaanya adalah adaptasi manusia terhadap alam seperti apakah
yang mampu dianggap merubah manusia ke arah yang lebih baik daripada
sebelumnya ? Dan siapa yang menentukan apa dan mana yang baik untuk
suatu komuniti tertentu itu.
2. Dalam teori adaptasi ini menurut saya peran manusia secara kultural agak
dikesampingkan. Lebih banyak menurut saya bagaimana lingkungan atau
alam disebut sebagai faktor utama perubahan dalam diri manusia tersebut.
Ini seakan memberikan penjelasan manusia mempunyai andil yang kecil
dalam perubahan dan hanya mengikuti insting atas perubahannya terhadap
alam. Ini bertolak belakang dengan pandangan yang menyatakan bahwa
sesungguhnya manusia itu sendirilah kunci dari perubahan itu sendiri.
3. Pandangan alur penalarannya yang menurut saya sangat deduktif. Tentu
saja ini bukan masalah salah dan benar, tapi bagaimana sesungguhnya kita
melihat gejala sosial secara benar.Maksudnya memang ingin seobyektif
mungkin untuk memenuhi kaidah ke-ilmiahannya, namun tidak salah juga
2.5. Perubahan Sosial
Perdebatan mengenai perubahan sosial sering sekali memberikan
penafsiran yang berbeda. Konstruksi pemikiran tentang perubahan yang dibangun
sering sekali tidak komprehensif dan menyeluruh sehingga perubahan sosial
merupakan konsep yang sulit dipahami
Perubahan sosial dapat di analisa dari berbagai macam sudut pandang,: ke
“arah” mana perubahan dalam masyarakat itu “bergerak” (direction of change)”, yang jelas adalah bahwa perubahan itu bergerak meninggalkan faktor yang
diubah. Akan tetapi setelah meninggalkan faktor itu mungkin perubahan itu
bergerak kepada sesuatu bentuk yang baru sama sekali, akan tetapi boleh pula
bergerak kepada suatu bentuk yang sudah ada di dalam waktu yang lampau.
(Prasetyo, 2012).
. Memahami perubahan pasti tidak akan
lepas dari persoalan mengenai nilai dan norma sosial, pola-pola perilaku
organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat,
kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan sebagainya. Sebagai unsur dari
sistem sosial manusia akan selalu terkait/terhubung dengan manusia lain.
Konsekuensi dari keterkaitan/hubungan itu adalah manusia akan berinteraksi baik
antar individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok.
Soekanto (2006 menjelaskan bahwa perubahan-perubahan itu dapat berupa
perubahan dalam hal nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku
organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat,
kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan lain sebagainya.
Keberagaman sudut pandang ini pula yang di lihat oleh London (1996)
sebagian besar berfokus pada perlawanan dari sistem sosial, bagaimana dan
mengapa mereka menolak perubahan daripada proses perubahan itu sendiri. Ini
mungkin ada hubungannya dengan sifat ambigu dari konsep yang dipakai oleh
masing-masing peneliti datu penulis.
“While a great deal has been written about social change in the fields of history, sociology, organizational theory, and even psychology, much of it focuses on the recalcitrance of social systems — how and why they resist change — rather than the change process itself. This may have something to do with the ambiguous nature of the concept. First, there seems to be little consensus about what constitutes change. The causes, the processes, and the effects of change are often spoken of as if they are one and the same thing. Second, it is notoriously difficult to measure change — how do you know when a change has taken place? And third, change occurs on many levels — cultural, social, institutional, and individual — and it is often hard to draw clear distinctions between them. Sometimes change occurs spontaneously on several levels at once. This problem is especially troublesome given the specialization of academic research today. Psychologists, physicists, and anthropologists rarely exchange notes and so the connections between, say, complexity theory and cultural change are easily missed. As a result, the academic literature is brimming with definitions of change and yet the confusion is as great as ever. (London, 1996)
Dari apa yang di utarakan oleh London (1996) di atas maka dapat dilihat
bahwa penyebab, proses, dan efek dari perubahan sering sekali didiskusikan
secara bersamaan dan dianggap sebagai suatu hal yang sama. Padahal unsur-unsur
tersebut tidaklah sama dan akan menimbulkan kerancuan dalam membahas
perpektif teori perubahan. Demikian juga dengan mengukur perubahan
merupakan suatu hal yang sulit.
Berdasarkan hal di atas maka sebenarnya tidak ada satu acuan baku yang
dapat disepakati bersama mengenai pengelompokan teori perubahan tersebut.
beberapa literature yang dibaca dapat dijelaskan beberapa pengelompokan teori
perubahan diantaranya:
1.
2.
Dilihat dari masa waktu keluarnya teori tersebut maka akan di kelompokkan
menjadi Klasik dan Kontemporer (Ritzer and J. Goodman, 2004)
Dilihat dari bentuk perubahan (Soekanto, 2006)
a.
maka teori perubahan dapat
di kelompokan menjadi
Evolusi dan Revolusi,
b. Perubahan Kecil dan Besar
Perubahan Lambat dan Perubahan Cepat
c. Intended-change/planned-change dan unitended-
change/Unplanned-change
3. Dilihat dari model interpretasinya dikelompokkan menjadi Tradisional,
Liberal dan Radikal (
4.
blog.ub.ac.id)
Dilihat dari p
a. Teori Perkembangan (linear) – Evolusi dan Revolusi
erspektif teoritis teori perubahan dapat dibagi ke dalam empat
bagian besar yaitu:
b. Teori Siklus
c. Teori Struktural Fungsional
d. Teori Konflik
2.5.1. Teori Perkembangan (Linear)
Teori perkembangan (linear) merupakan bagian dari kelompok teori
perubahan sosial yang melihat perkembangan sistem sosial dari kecepatan
berubahnya. Pembagiannya dibagi menjadi dua bagian yaitu Evolusi dan
Teori Evolusi boleh dibilang melekat pada sosok Charles Darwin. Bukunya
Origin of Species dianggap sebagai peletak dasar teori evolusi dalam ilmu pengetahuan. Lalu, di manakah posisi Herbert Spencer? Faktanya, Spencer lebih
awal memunculkan gagasan teori evolusi ketimbang Darwin. Spencer
mengenalkan konsep evolusi sosial dalam bukunya Social Statics pada 1850, sembilan tahun sebelum Darwin menulis Origin of Species (1859). Spencer (1897) menguraikan teori evolusi secara mendalam dalam The Principles of Sociology yang terbit 1897 di New York. Dalam buku ini Spencer menyebut kata “evolusi” dalam beragam variannya sebanyak 249 kali, termasuk kutipan
langsung dan daftar isi
Teori evolusioner memiliki paham bahwa perubahan sosial memiliki arah
yang tetap yang dilalui oleh semua masyarakat. Semua masyarakat melalui urutan
pertahapan yang sama dan bermula dari tahap perkembangan awal menuju tahap
perkembangan akhir. Di samping itu teori evolusioner mengatakan bahwa
manakala tahap terakhir telah dicapai, maka pada saat itu perubahan evolusioner
pun berakhir.
Teori ini pada dasarnya berpijak pada perubahan yang memerlukan proses
yang cukup panjang. Dalam proses tersebut, terdapat beberapa tahapan yang harus
dilalui untuk mencapai perubahan yang diinginkan. Ada bermacam-macam teori
tentang evolusi. Teori tersebut digolongkan ke dalam beberapa kategori, yaitu
a.Unilinear Theories of Evolution
Auguste Comte dan Herbert Spencer adalah tokoh yang layak untuk
menjadi referensi bagi teori ini. Teori ini melihat bahwa proses perubahan akan
mengikuti tahapan-tahapan tertentu dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang
lebih kompleks sampai mencapai kesempurnaan.
b.Universal Theories of Evolution
Teori ini menyatakan bahwa perkembangan masyarakat tidak perlu
melalui tahap-tahap tertentu yang tetap. Kebudayaan manusia telah mengikuti
suatu garis evolusi tertentu. Menurut Herbert Spencer, prinsip teori ini adalah
bahwa masyarakat merupakan hasil perkembangan dari kelompok homogen
menjadi kelompok yang heterogen.
c.Multilined Theories of Evolution
Teori ini lebih menekankan pada penelitian terhadap tahaptahap
perkembangan tertentu dalam evolusi masyarakat. Misalnya mengadakan
penelitian tentang perubahan sistem mata pencaharian dari sistem berburu ke
sistem pertanian menetap dengan menggunakan pemupukan dan pengairan.
Menurut Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, (Horton dan Hunt, 1989)
ada beberapa kelemahan dari Teori Evolusi yang perlu mendapat perhatian, di
antaranya adalah sebagai berikut.
a. Data yang menunjang penentuan tahapan-tahapan dalam masyarakat
b. Urut-urutan dalam tahap-tahap perkembangan tidak sepenuhnya tegas,
karena ada beberapa kelompok masyarakat yang mampu melampaui
tahapan tertentu dan langsung menuju pada tahap berikutnya, dengan kata
lain melompati suatu tahapan. Sebaliknya, ada kelompok masyarakat yang
justru berjalan mundur, tidak maju seperti yang diinginkan oleh teori ini.
c. Pandangan yang menyatakan bahwa perubahan sosial akan berakhir pada
puncaknya, ketika masyarakat telah mencapai kesejahteraan dalam arti
yang seluas-luasnya. Pandangan seperti ini perlu ditinjau ulang, karena
apabila perubahan memang merupakan sesuatu yang konstan, ini berarti
bahwa setiap urutan tahapan perubahan akan mencapai titik akhir.
Pada evolusi, perubahan- perubahan terjadi dengan sendirinya, tanpa suatu
rencana ataupun suatu kehendak tertentu. Perubahan- perubahan terjadi oleh
karena usaha- usaha masyarakat untuk menyusaikan diri dengan keperluan-
keperluan, keadaan-keadaan dan kondisi-kondisi baru, yang timbul sejalan dengan
pertumbuhan masyarakat. Rentetan perubahan-perubahan tersebut, tidak perlu
sejalan dengan rentetan peristiwa –peristiwa di dalam sejarah masyarakat yang
bersakutan.
Berikut di bawah ini diuraikan sekilas tentang tokoh yang berpengaruh
pada kelompok teori ini.
Auguste Comte
Dalam bukunya, Positive Philosophy (1851-1854), Comte menulis tentang tiga tingkatan yang pasti dilalui pemikiran manusia yaitu: teologis, metafisik (atau
filosofis), dan akhirnya positif (atau ilmiah). Comte berpendapat bahwa
teologis yang menjadi karakteristik dunia sebelum era 1300. Dalam era ini system
gagasan utamya menekankan pada keyakinan bahwa kekuatan adi kodrati, tokoh
agama dan keteladana kemanusiaan menjadi dasar segala sesuatu. Tahap
Metafisik yang terjadi antara tahun 1300-1800 ditandai dengan keyakinan bahwa
kekuatan abstraklah yang menerangkan segala sesuatu, bukan dewa-dewa
personal. Tahap berikutnya adalah tahap positivistic yang ditandai keyakinan
terhadap sains (ilmu). (Ritzer and J. Goodman, 2004)
“Comte's idea of positivism is based on the premise that everything in society is observable and subject to patterns or laws. These laws could help to explain human behavior. Comte did not mean that human behavior would always be subjected to these "laws"; rather, he saw positivism as a way of explaining phenomena apart from supernatural or speculative causes” (Delaney, 2003)
Dalam tulisannya mengenau auguste Comte, Tim Delanel menyatakan hal
yang menarik tentang Comte:
Comte dikenang sampai hari ini dalam sosiologi untuk memperjuangkan
nya positivisme. Gagasan Comte positivisme didasarkan pada premis bahwa
segala sesuatu di masyarakat diamati dan tunduk pada pola atau hukum.
Hukum-hukum ini bisa membantu menjelaskan perilaku manusia. Comte menyatakan
tidak berarti bahwa perilaku manusia akan selalu tentang "hukum", melainkan, ia
melihat positivisme sebagai cara untuk menjelaskan fenomena terlepas dari
penyebab supranatural atau spekulatif. Hukum perilaku manusia hanya bisa
didasarkan pada data empiris. Dengan demikian, positivisme didasarkan pada
penelitian yang dipandu oleh teori, premis yang tetap landasan sosiologi hari.
Comte percaya bahwa positivisme akan menciptakan teori suara berdasarkan bukti
depan. Penemuan hukum dasar perilaku manusia akan memungkinkan untuk
kursus yang disengaja tindakan pada bagian dari baik individu dan masyarakat.
Pengambilan keputusan dipandu oleh ilmu pengetahuan akan, memang, menjadi
positif
Darwin
Darwinisme Sosial merupakan istilah yang menjelaskan proses evolusi
masyarakat berdasarkan teori evolusi Charles Darwin (1809-1892). Menurut teori
evolusi Darwin, spesies akan beradaptasi dengan lingkungannya untuk
mempertahankan hidup. Sebagian dari mereka, yang tidak mampu menyesuaikan
diri, akan punah, sedangkan yang dapat menyesuaikan diri akan bertahan hidup.
Bahkan, dalam waktu yang lama bisa menghasilkan spesies baru. Gagasan tentang
teori evolusi mulai populer di berbagai kalangan intelektual, bukan hanya dalam
biologi, pada pertengahan abad ke-19. Dan sampai saat ini kita mengenal istilah
evolusi sosial ala evolusi Darwin atau istilah lainnya darwinisme sosial . Frasa “survival of the fittest” sendiri diciptakan oleh tokoh sosiologi Inggris Herbert
Spencer (1820-1903) untuk menjelaskan perkembangan masyarakat menurut
perspektif historis. Salah satu bentuk darwinisme sosial yang paling terkenal adalah eugenics (konsep pemisahan gen baik dan gen buruk). Eugenics terkenal di Inggris dan Amerika Serikat pada akhir abad kesembilan belas, di mana konsep
ini kemudian digunakan untuk memisahkan individu keturunan yang baik dengan
yang buruk. Misalnya, para penjahat atau orang bodoh harus dipisahkan dengan
mereka yang berasal dari keturunan orang baik-baik. Eugenics juga pernah digunakan oleh Hitler dan partainya, Nazi, pada tahun 1930-an.
Herbert Spenser
Spencer adalah orang yang pertama kali memperkenalkan konsep Survival of the fittest atau yang kuatlah yang akan menang dalam bukunya Social Statics
yang terbit pada tahun 1850. Konsep ini untuk menggambarkan kekuatan
fundamental ilmu biologi yang menjadi dasar perkembangan evolusioner.
Konsepsi ini dipengaruhi karya Thomas R. Malthus mengenai tekanan
kependudukan, An Essay on the Principle of Population (1798). sinya konsepnya antara lain adalah perjuangan untuk dapat bertahan bagi suatu masyarakat atau
bagi beberapa masyarakat agar menghasilkan keseimbangan karena perubahan
yang terjadi dari keadaan yang homogen yang tidak terpadu menjadi heterogen
yang terpadu. (Ritzer dan Goodman, 2007).
Dalam tulisannya John Offer mengungkapkan bahwa sebenarnya Spencer
telah mengeluarkan karya tentang evolusi sebelum Darwin.
“Spencer's theoretical dispositions were pre-Darwinian in form, nourished by the traditions of evolutionary deism and natural theology. His focus, definitively established in First Principles (1862), was on the nature and overall beneficent direction of change in general, arising from the cumulative deterministic adaptation of organisms and the successes they exhibited, instead of their elimination.”(Offer, 2008)
Sembilan tahun kemudian teori evolusioner karya Darwin terbit. Spencer
dan Darwin melihat adanya persamaan antara evolusi organisme dengan evolusi
sosial. Evolusi sosial adalah serangkaian perubahan sosial dalam masyarakat yang
berlangsung dalam waktu lama yang berawal dari kelompok suku atau
masyarakat yang masih sederhana dan homogen kemudian secara bertahap
menjadi kelompok suku atau masyarakat yang lebih maju dan akhirnya menjadi
Soekanto (1990) mendefinisikan evolusi sebagai serentetan perubahan
kecil secara pelan-pelan dan kumulatif yang terjadi dengan sendirinya dan
memerlukan waktu lama. Evolusi dalam masyarakat adalah serentetan perubahan
yang terjadi karena usaha-usaha masyarakat tersebut untuk menyesuaikan diri
dengan keperluan, keadaan, dan kondisi baru yang timbul sejalan dengan
pertumbuhan masyarakat. Perubahan ini tidak harus sejalan dengan rentetan
peristiwa di dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan. Spencer berpendapat
bahwa pribadi mempunyai kedudukan dominan dalam struktur masyarakat. Dia
menekankan bahwa pribadi merupakan dasar struktur sosial, meskipun
masyarakat dapat dianalisis pada tingkat struktural. Struktur sosial suatu
masyarakat dibangun untuk memungkinkan anggotanya memenuhi berbagai
keperluan. Oleh karena itu, banyak ahli memandang Spencer bersifat
individualistis. Terkait ketertarikannya pada perkembangan evolusi jangka
panjang dari masyarakat modern, Spencer menilai masyarakat bersifat organis.
Pandangan ini yang kemudian menjadikan Spencer sering disebut sebagai seorang
teoretis organik karena usahanya memperluas prinsip-prinsip evolusi pada ilmu
biologi ke institusi sosial.
Lewis Henry Morgan
Lewis mengatakan bahwa terdapat tujuh tahap teknologi yang dilalui
masyarakat yaitu dari tahap perbudakan hingga tahap peradapan. Keyakinannya
semua bangsa di dunia telah atau sedang akan menyelesaikan proses evolusinya.
Berikut 8 tahapan tersebut yang dikutip dalam Koenjtraningrat (1987):
1. Zaman Liar Tua, yaitu zaman sejak adanya manusia sampai ia menemukan
api, dalam zaman ini manusia hidup dari meramu, mencari akar-akar, dan
tumbuhan-tumbuhan liar.
2. Zaman Liar Madya, yaitu zaman sejak manusia menemukan api, sampai ia
menemukan senjata busur/panah, dalam zaman ini manusai mulai merubah
mulai merubah mata pencaharian hidupnya dari meramu menjadi pencari
ikan disungai-sungai dan memburu.
3. Zaman Liar Muda, yaitu zaman sejak manusia menemukan senjata
busur/panah, sampai ia mendapatkan kepandaian membuat tembikar.
4. Zaman Barbar Tua, yaitu zaman sejak manusia menemukan kepandaian
membuaat tembikar sampai ia mulai beternak dan bercocok tanam.
5. Zaman Barbar Madya, yaitu zaman sejak manusia beternak dan bercocok
tanam sampai ia menemukan kepandaian membuat benda-benda dari
logam
6. Zaman Barbar Muda, yaitu zaman sejak manusia menemukan kepandaian
membuat benda-benda dari logam sampai ia mengenal tulisan.
7. Zaman Peradaban Purba (Civilization) 8. Zaman Peradaban Masa Kini
Kerangka tahapan evolusi tersebut di gunakan oleh Morgan untuk
menyusun bahan yang banyak jumlahnya tentang unsur-unsur kebudayaan dari
Karl Marx
Marx dalam bukunya “The German Ideology” menjelaskan beberapa tahap
perubahan-perubahan utama pada kondisi material dan cara-cara produksi di satu
pihak dan hubungan-hubungan sosial serta norma-norma kepemilikan di lain
pihak. Tahapan-tahapan perubahan tersebut bersifat linier (Johnson, 1994)
Komunis
Primitif
Gambar 2.1. Tahapan Perubahan Sosial Linier Marx
Tahapan ini sekaligus menjelaskan tahapan-tahapan perubahan sosial versi
Marx yaitu pertama, dimulai dengan adanya masyarakat primitif. Komunitas
masyarakat primitive ini merupakan suatu komunitas yang mengakui milik
pribadi sebagai milik komunitas dan pembagian kerja yang sangat sedikit. Pada
fase ini tidak ada pemilikan pribadi, kepemilikan juga sekaligus kepemilikan
komunitas, sehingga milikku adalah mlikmu. Kedua, struktur komunal purba yang
ditandai dengan bentuk yang lebih besar daripada komunitas primitive, pembagian
kerja semakin tinggi dan kepemilikan pribadi mulai diakui. Ketiga. sistem feodal
yang ditandai dengan pembagian kerja dan pola-pola kepemilikan kekayaan
pribadi yang lebih ketat. Tahap inilah yang memberikan jalan bagi cara-cara
produksi borjuis dan hubungan yang menyertainya. Ke-empat, tahap borjuis
berupa perombakan kehidupan komunal di bawah pengaruh ideology-ideologi
hubungan kepemilikan. Kelima, tahap kapitalis dimana seluruh kelas buruh
proletar memiliki hubungan dengan kelompok majikan (borjuis) semat-mata
sebagai penjual tenaga kerja yang kegiatan produktifnya digunakan untuk
mengahasilkan produk-produk yang akan dijual ke system pasar yang bersifat
impersonal. Ke-enam, tahap komunis dimana pada tahap ini pemilikan pribadi
akan lenyap dan individu akan dapat berinteraksi dalam hubungan-hubungan
komunal, tidak selalu berupa hubungan yang bersifat ekonomis. (Martono, 2011)
Teori Revolusi Marx
Setiap perkembangan sosial harus melalui berbagai tahapan. Sosialisme
hanya mungkin berdasarkan produktivas kerja yang tinggi, dan produktivitas
tinggi tersebut adalah sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi secara dahsyat
yang dijalankan oleh kapitalisme. Selain itu, kapitalisme menimbulkan kelas
buruh, serta menerapkan demokrasi parlementer dan menciptakan kondisi di mana
kelas buruh itu bisa berorganisir dan berjuang. Sehingga di tingkat global, umat
manusia jelas harus melewati tahap kapitalis (yang sekaligus merupakan tahap
demokratis-borjuis) sebelum masyarakat sosialis dapat tercapai.
Dalam karya Marx sering mendapati asumsi bahwa revolusi sosialis harus
didahului oleh revolusi borjuis, yang juga disebut sebagai revolusi demokratik.
Bukan karena sosialisme tidak demokratik. Sebaliknya, sistem sosialis akan
membawa demokrasi ke semua pelosok masyarakat, terutama ke tempat kerja.
Namun di masa Marx, penguasaan kelas borjuis memang untuk pertama kalinya
menimbulkan demokrasi (walau secara terbatas). Di negeri seperti Inggeris dan
2.5.2. Teori Siklus
Perubahan sebagai suatu siklus karena sulit diketahui ujung pangkal
penyebab awal terjadinya perubahan sosial. Perubahan yang terjadi lebih
merupakan peristiwa prosesual dengan memandang sejarah sebagai serentetan
lingkaran tidak berujung. Tokoh-tokoh dan pokok-pokok pikiran yang terkait
dalam kelompok teori ini di antaranya adalah:
Ibn Khaldun
Ibnu Khaldun, salah satu teoritisi sosiohistoris mengemukakan bahwa
perubahan sebagai suatu siklus, yang analisisnya memfokuskan pada bentuk dan
tingkat pengorganisasian kelompok dengan latar belakang sosial budaya yang
berbeda. Para penganut teori siklus juga melihat adanya sejumlah tahap yang
harus dilalui oleh masyarakat, tetapi mereka berpandangan bahwa proses
peralihan masyarakat bukannya berakhir. Pada tahap terakhir yang sempurna
melainkan berputar kembali ke tahap awal untuk peralihan selanjutnya.
Oswald Spengler
Oswald Spengler berpandangan bahwa setiap peradaban besar mengalami
proses kelahiran, pertumbuhan dan keruntuhan. Proses perputaran itu memakan
waktu sekitar seribu tahun.Karya Oswald Spengler yang berpengaruh adalah Der
Untergang des Abendlandes (Decline of the West) atau Keruntuhan Dunia
Barat/Eropa. Spengler meramalkan keruntuhan Eropa. Ramalan itu didasarkan
ialah bahwa kehidupan sebuah kebudayaan dalam segalanya sama dengan
kehidupan tumbuhan, hewan, manusia dan alam semesta. Persamaan itu
berdasarkan kehidupan yang dikuasai oleh hukum siklus sebagai wujud dari
fatum. Fatum adalah hukum alam yang menjadi dasar segala hukum cosmos,
setiap kejadian, setiap peristiwa akan terjadi lagi, terulang lagi.
(http://nasherooy.blogspot.com/2010)
Pitirim Sorokin
Sorokin memusatkan perhatiannya pada tingkat budaya, dengan
menekankan pada arti, nilai, norma dan symbol sebagai kunci untuk memahami
kenyataan social-budaya. Sorokin juga menekankan adanya saling ketergantungan
antara pola-pola budaya. Ia percaya bahwa masyarakat adalah suatu sistem
interaksi dan kepribadian individual. Tingkat tertinggi integrasi sistem-sistem
sosial yang paling mungkin didasari pada seperangkat arti, nilai, norma hukum
yang secara logis dan konsisten mengatur interaksi antara kepribadian-kepribadian
yang ada didalam masyarakat. Tingkat yang paling rendah dimana kenyataan
sosial-budaya dapat dianalisa pada tingkat interaksi antara 2 orang atau lebih.
Pitirim Sorokin menyatakan terdapat tiga siklus sistem kebudayaan yang berputar
tanpa akhir, yaitu kebudayaan ideasional yang didasari oleh nilai-nilai dan
kepercayaan terhadap unsur supernatural, kebudayaan idealistis dimana
kepercayaan terhadap unsur supernatural dan rasionalitas yang berdasarkan fakta
bergabung dalam menciptakan masyarakat ideal dan terakhir kebudayaan sensasi
yang merupakan tolak ukur dari kenyataan dan tujuan hidup.
Arnold Toynbee
Pokok pikiran yang dinyatakannya bahwa peradaban besar berada dalam
siklus kelahiran, pertumbuhan, keruntuhan dan kematian. Arnold Toynbee tidak
puas dengan teori Spengler. Alasannya karena Spengler hanya mempelajari di
peradaban yang sangat tidak memadahi dan pesimitis. Sehingga dalam karyanya A Study of History Toynbe menyatakan pemikiran visionernya untuk menjawab persoalan timbul-tenggelamnya peradaban dengan teorinya Challenge and Response (tantangan dan jawaban). Ia memberi contoh tentang kelahiran peradaban Mesir yang menurut pendapatnya merupakan sebuah respon terhadap
tantangan kegersangan lingkungan alam sekitarnya yang mengancamnya, yaitu
Padang Pasir Sahara. Dihadapkan pada tantangan ini, Mesir Kuno mengeringkan
rawa-rawa di wilayah Sungai Nil bagian selatan dan diterusan dengan segala
respons positif sehingga melahirkan peradaban besar dalam sejarah. (Djoko
Suryo. 2009)
Toynbe lebih menekankan peran manusia yang memiliki kekuatan untuk
mengubah perjalanan masa depan dan tetap menjaga peradapan dari kehancuran.
Ini tentu berbeda dengan Spengler yang beranggapan bahwa kehidupan
kebudayaan manusia sama dengan kehidupan mahluk lainnya. Menurut Toynbe,
unit yang tepat dalam studi sejarah bukanlah negara-negara bangsa (nation-states) atau periode, tetapi masyarakat secara keseluruhan. Dia meneliti sedikitnya 21
kebudayaan di dunia. Hasil dari temuannya itu menunjukkan bahwa timbul dan
tenggelamnya kebudayaan disebabkan adanya Challenge and Response.
2.5.3. Teori Struktural Fungsional
Teori struktural fungsional Talcot Person dimulai dengan empat fungsi
penting untuk semua sistim ”tindakan” yang disebut dengan AGIL. Melalui Agil
ini kemudian dikembangkan pemikiran mengenai struktur dan sistim. Menurut
Person fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan ke arah pemenuhan
kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistim. Dengan difinisi ini Person yakin bahwa
ada empat fungsi penting yang diperlukan semua sistim yang dinamakan AGIL
yang antara lain adalah :
1. Adaptation (adaptasi); Sebuah sistim harus menanggulangi situasi eksternal
yang gawat. Sistim harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan
menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya.
2. Goal attainment (pencapaian tujuan); Sebuah sistim harus mendifiniisikan diri
untuk mencapai tujuan utamanya.
3. Integration (integrasi); Sebuah sistim harus mengatur antar hubungan
bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistim juga harus mengelola antar
hubungan ketiga fungsi penting lainnya (A, G, L).
4. Latency (pemeliharaan pola); Sebuah sistim harus memperlengkapi,
memelihara, dan memperbaiki, baik motivasi individu maupun pola-pola
kultural yang menciptakan dan menopang motivasi. (Martono, 2011)
Inti pemikiran Parson ditemukan dalam empat sistim tindakan yang
diciptakannya. Tingkatan yang paling rendah dalam sistim tindakan ini adalah
lingkunagn fisik dan organisma, meliputi aspek-aspek tubuh manusia, anatomi,
dan fisiologisnya. Sedang tingkat yang paling tinggi dalam sistim tindakan adalah
kegelisahan, dan tragedi kehidupan sosial yang menantang organisasi sosial. Di
antara dua lingkungan tindakan itulah terdapat empat sistim yang diciptakan oleh
Parson meliputi organisme perilaku, sistim kepribadian, sistim sosial, dan sistim
kultutral. Semua pemikiran Parson tentang sistim tindakan ini didasarkan pada
asumsi-asumsi beikut :
1. Sistim memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling
bergantung.
2. Sistim cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau
keseimbangan.
3. Sistim mungkin statis atau bergerak dalam proses perubahan yang teratur.
4. Sifat dasar bagian dari suatu sistim berpengaruh terhadap bentuk
bagian-bagian lain.
5. Sistim memelihara batas-batas dengan lingkunganya.
6. Alokasi dari integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan
untuk memelihara keseimbangan sistim.
7. Sistim cenderung menuju ke arah pemeliharaan keseimbangan diri yang
meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara
bagian-bagian dengan kerseluruhan sistim, menegndalikan lingkungan yang
berbeda-beda dan mengendalikan kecenderungan untuk merubah sistim
dari dalam. (http://sharingtheory.blogspot.com/2009/)
Dalam analisisnya tentang sistim sosial, Meski Parson lebih melihat pada
komponen-komponen strukturalnya seperti status-peran, kolektifitas, norma, dan
nilai, namun parson juga melihat aspek fungsionalnya. Persyaratan fungsional dari
1. Sistim sosial harus terstruktur (ditata) sedemikian rupa hingga dapat
beroperasi dalam hubungan yang harmonis dengan sistim yang lain.
2. Untuk menjaga kelangsungan hidupnya, sistim sodial harus mendapatkan
dukungan dari sistim yang lain.
3. Sistim sosial harus mampu memenuhi kebutuhan para aktornya dalam
proporsi yang signifikan.
4. Sistim harus mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari para
anggotanya.
5. Sistim sosial harus mampu mengendalikan perilaku yang berpotensi
mengganggu.
6. Bila konflik akan menimbulkan kekacauan, maka itu harus segera
dikendalikan.
7. Untuk kelangsungan hidupnya, sistim sosial memerlukan bahasa.
(http://sharingtheory.blogspot.com/2009/)
Dalam sistim sosial ini Parson menekankan pentingnya aktor. Akan tetapi
Parson lebih melihatnya sebagai kenyataan fungsional bukan struktural, karena
aktor merupakan pengemban dari fungsi peran yang adalah bagian dari sistim.
Oleh karenanya harus terdapat integrasi pola nilai dalam sistim antara aktor
dengan struktur sosialnya. Dan ini hanya dapat dilakukan dengan melalui proses
internalisasi dan sosialisasi. Disini terdapat pengalihan norma dan nilai sistim
sosial kepada aktor di dalam sistim sosial. Dalam proses sosialisasi yang berhasil,