TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian dan Peran Ekosistem Mangrove
Kata mangrove merupakan kombinasi antara mangue (bahasa Portugis)
yang berarti tumbuhan dan grove (bahasa Inggris) yang berarti belukar atau hutan
kecil. Menurut Macnae (1978), kata mangrove digunakan untuk menyebut jenis
pohon-pohon atau semak-semak yang tumbuh di antara batas air tertinggi saat
pasang dan batas air terendah sampai di atas rata-rata permukaan air laut.
Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang
digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang
didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak
yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan
mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili dan
12 genera tumbuhan berbunga : Avicennia, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera,
Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda,
dan Conocarpus (Bengen, 2001).
Menurut Kusmana dkk (2005) hutan mangrove adalah tipe hutan yang
tumbuh di daerah pasang-surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara
sungai) yang tergenang pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang
komunitas tumbuhannya toleran terhadap garam. Adapun ekosistem mangrove
merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang
berinteraksi dengan faktor lingkungan di dalam suatu habitat mangrove.
Ekosistem mangrove mempunyai peran yang penting dalam mendukung
kehidupan organisme yang terdapat pada ekosistem tersebut. Fungsi hutan
fungsi kimia, fungsi biologi, fungsi ekonomi, dan fungsi lain (wanawisata) seperti
dibawah ini. Fungsi fisik: (a) Menjaga garis pantai agar tetap stabil; (b)
melindungi pantai dan tebing sungai dari proses erosi atau abrasi, serta menahan
atau menyerap tiupan angin kencang dari laut ke darat; (c) Menahan sedimen
secara periodik sampai terbentuk lahan baru; (d) Sebagai kawasan penyangga
proses intrusi atau rembesan air laut ke darat, atau sebagai filter air asin menjadi
tawar; (e) Mencegah terjadinya erosi pantai. Fungsi kimia: (a) Sebagai tempat
terjadinya proses daur ulang yang menghasilkan oksigen; (b) Sebagai penyerap
karbondioksida; (c) Sebagai pengolah bahan-bahan limbah hasil pencemaran
industri dan kapal-kapal di lautan. Fungsi biologi: (a) Sebagai penghasil bahan
pelapukan yang merupakan sumber makanan penting bagi invertebrata kecil
pemakan detritus, yang kemudian berperan sebagai sumber makanan bagi hewan
yang lebih besar; (b) Sebagai kawasan pemijah bagi udang, ikan, kepiting, dan
kerang yang setelah dewasa akan kembali ke lepas pantai; (c) Sebagai kawasan
untuk berlindung, bersarang, serta berkembang biak bagi burung dan satwa lain;
(d) Sebagai sumber plasma nutfah dan sumber genetik. Fungsi ekonomi: (a)
Penghasil kayu; (b) Penghasil bahan baku industri; (c) Penghasil bibit ikan,
udang, kerang, kepiting, telur burung. Fungsi lain (Wanawisata): (a) Sebagai
kawasan wisata alam pantai; (b) Sebagai tempat pendidikan, konservasi, dan
penelitian.
Struktur dan Zonasi Hutan Mangrove
Tomlinson (1986) membagi flora mangrove menjadi tiga kelompok sesuai
1. Flora mangrove mayor, yakni flora yang menunjukkan kesetiaan terhadap
habitat mangrove, berkemampuan membentuk tegakan murni dan secara
dominan mencirikan struktur komunitas, secara morfologi mempunyai
bentuk-bentuk adaptif khusus (bentuk akar dan viviparitas) terhadap
lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme fisiologis dan mengontrol
garam. Contohnya adalah: Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops,
Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia, dan Nypa.
2. Flora mangrove minor, yaitu flora mangrove yang tidak mampu membentuk
tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam
struktur komunitas, contohnya: Excoecaria, Xylocarpus, Heritiera, Aegialitis,
Achrostichum, Camptostemon, Schyphipora, Phempis, Osbornia, dan
Peliciera.
3. Asosiasi mangrove, jenis-jenis ini bukan merupakan anggota komunitas
mangrove sejati dan tumbuh pada lingkungan vegetasi darat contohnya adalah
Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus, Calamus, dll.
Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove
tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan
mangrove di Indonesia : daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat
agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia sp. Pada zona ini biasa berasosiasi
Sonneratia sp, yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan
organik. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh
Rhizophora sp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera sp dan Xylocarpus sp. Zona
dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa
spesies palem lainnya.
Menurut Supriharyono (2007) beberapa faktor yang menentukan
penyebaran tumbuhan mangrove, yaitu :
1. Gelombang pasang surut, yang menentukan waktu dan tinggi penggenangan
suatu lokasi, sehingga menentukan spesies tumbuhan yang tumbuh.
2. Salinitas, yang berkaitan dengan penyebaran tumbuhan mangrove, karena ada
beberapa spesies yang tidak tahan pada salinitas yang tinggi.
3. Substrat (bentuk tekstur tanah dan kemantapan), tipe substrat yang sesuai
untuk pertumbuhan mangrove adalah lumpur lunak, yang mengandung silt
(debu), clay (liat), dan bahan – bahan organik yang lembut.
4. Suhu, suhu yang baik untuk kehidupan mangrove adalah tidak kurang dari
200C.
Umumnya mangrove di Indonesia jika diurutkan dari arah laut ke arah
daratan biasanya dapat dibedakan menjadi 4 zonasi yaitu sebagai berikut :
1. Zona Api-api – Prepat (Avicennia – Sonneratia)
Terletak paling luar / jauh atau terdekat dengan laut, keadaan tanah
berlumpur agak lunak (dangkal), dengan substrat agak berpasir, sedikit bahan
organik dan kadar garam agak tinggi. Zona ini biasanya didominasi oleh jenis
api-api (Avicennia sp) dan prepat (Sonneratia sp), dan biasanya berasosiasi dengan
jenis bakau (Rhizophora sp).
Biasanya terletak di belakang api-api dan prepat, keadaan tanah berlumpur
lunak (dalam). Pada umumnya didominasi bakau (Rhizophora sp) dan di beberapa
tempat dijumpai berasosiasi dengan jenis lain seperti tanjang ( Bruguiera sp ).
3. Zona Tanjang (Bruguiera)
Terletak di belakang zona bakau, agak jauh dari laut dekat dengan daratan.
Keadaan berlumpur agak keras, agak jauh dari garis pantai. Pada umumnya
ditumbuhi jenis tanjang (Bruguiera sp) dan di beberapa tempat berasosiasi dengan
jenis lain.
4. Zona Nipah (Nypa fruticans)
Terletak paling jauh dari laut atau paling dekat ke arah darat. Zona ini
mengandung air dengan salinitas sangat rendah dibandingkan zona lainnya,
tanahnya keras, kurang dipengaruhi pasang surut dan kebanyakan berada di
tepi-tepi sungai dekat laut. Pada umumnya ditumbuhi jenis nipah (Nypa fruticans) dan
beberapa spesies palem lainnya ( Bengen, 2001 ).
Ciri Umum Rhizophora apiculata
Pohon Rhizophora apiculata termasuk kedalam famili Rhizophoraceae.
Dalam bahasa lokal, pohon ini dikenal dengan nama bakau kacang, bakau minyak,
bakau kecil dan lain-lain. Pertumbuhan Rhizophora apiculata akan semakin jelek
apabila kadar garam dalam air makin rendah. Rhizophora apiculata memiliki ciri
yang sangat khas yaitu memiliki tulang daun berwarna merah kecoklatan dan
daun meruncing. Buahnya (propagul) termasuk tipe vivipari dimana buah telah
berkecambah saat di pohon (Martawijaya dkk., 1989).
Habitusnya berupa pohon, berakar jangkar, daun tebal mengulit,
elips, tunggal, ujung bermukro (ekor), tangkai daun pendek, terdapat stipula di
ujung, dan berbentuk tabung; buah berbentuk bulat telur, berwarna coklat, biji
vivipar, berkecambah dengan mengeluarkan hipokotil, panjang 15-70 cm
(Munawar & Rina, 2010).
Secara ekologis Rhizophora merupakan penyusun vegetasi mangrove
muda. Pada tipe vegetasi ini dicirikan oleh satu lapis tajuk hutan yang seragam
tingginya dari jenis Rhizophora dan berperan juga sebagai jenis pioner di
tempat-tempat yang posisinya terlindung dari hempasan ombak yang kuat, atau
berkembang setelah kolonisasi dari jenis Avicennia dan Sonneratia yang
kemudian Rhizophora tumbuh diantaranya (Sukardjo, 2002).
Gambar 1. Bakau Minyak (Rhizophora apiculata)
Pengertian Logam Berat
Logam berat adalah unsur-unsur kimia dengan bobot jenis lebih besar dari
5 gr/cm3, terletak di sudut kanan bawah sistem periodik, mempunyai afinitas yang
tinggi terhadap unsur S dan biasanya bernomor atom 22 sampai 92 dari periode
pencemar adalah karena adanya sifat-sifat logam berat yang tidak dapat terurai
(non degradable) dan mudah diabsorbsi (Darmono, 1995).
Sifat toksisitas logam berat dapat dikelompokkan ke dalam 3 kelompok,
yaitu bersifat toksik tinggi, sedang dan rendah. Logam berat yang bersifat toksik
tinggi terdiri dari unsur Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn. Bersifat toksik sedang terdiri dari
unsur-unsur Cr, Ni dan Co, sedangkan bersifat tosik rendah terdiri atas unsur Mn
dan Fe (Moore dan Ramamoorthy, 1984).
Kandungan kelompok anorganik logam di perairan alami sangat rendah
(trace element). Kelompok logam berat yang termasuk bersifat esensial adalah Cr,
Ni, Cu, Zn dan yang bersifat non esensial adalah As, Cd, Pb, Hg. Elemen yang
bersifat esensial dibutuhkan dalam proses kehidupan biota akuatik. Kelompok
elemen esensial maupun non esensial dapat bersifat toksik atau racun bagi
kehidupan biota akuatik terutama apabila terjadi peningkatan kadarnya dalam
perairan (Sanusi, 2006).
Semua logam berat dapat menimbulkan pengaruh yang negatif terhadap
organisme perairan pada batas dan kadar tertentu. Hal ini dipengaruhi oleh jenis
logam, pengaruh interaksi antar logam dan jenis racun lainnya, spesies hewan
daya permeabilitas organisme, dan mekanisme detoksikasi serta pengaruh
lingkungan seperti suhu, pH, dan oksigen (Bryan, 1984).
Hutagalung (1994) menyatakan selain suhu dan pH, salinitas dan
kesadahan juga mempengaruhi toksisitas logam berat. Penurunan pH dan
salinitas perairan menyebabkan toksisitas logam berat semakin besar. Lain halnya
dengan suhu, toksisitas logam berat semakin tinggi dengan meningkatnya suhu.
berat dalam air dengan kesadahan tinggi membentuk senyawa kompleks yang
mengendap dalam air. Logam berat yang terdapat di perairan dapat diketahui
melalui media air, sedimen maupun organisme hidup.
Tembaga (Cu)
Tembaga merupakan logam berat yang diperlukan untuk terjadinya proses
fisiologis secara normal dalam tubuh makhluk hidup, karena Cu merupakan
logam esensial yang diperlukan makhluk hidup terutama dalam perannya sebagai
kofaktor enzim (membantu kerja enzim). Bahkan pada tumbuhan seperti alga, Cu
dapat berperan sebagai pembawa elektron sebagai baik pada proses fotosintesis
maupun pada proses respirasi (Perales, dkk., 2007).
Tembaga adalah logam merah muda yang lunak, dapat ditempa, dan liat
yang melebur pada 1038°C. Potensial elektroda standardnya positif (+ 0,34 V),
logam ini tidak larut dalam asam klorida dan asam sulfat encer (Vogel 1994).
Logam ini banyak digunakan pada pabrik yang memproduksi alat-alat listrik,
gelas dan zat warna yang biasa dicampur dengan logam lain seperti alloy dengan
perak, kadmium, timah putih, dan seng (Merian, 1994).
Tembaga bukan hanya meracuni hewan, tetapi juga bersifat toksik pada
tumbuhan (jasad autotrof). Dalam hal ini tembaga dalam jumlah sedikit
merupakan unsur yang esensial yang diperlukan oleh tubuh, karena tembaga akan
berperan sebagai elemen penting dalam mengatur protein, berpartisipasi dalam
transportasi elektron pada proses fotosintesis, membantu proses respirasi pada
mitokondria, merespon stress oksidatif yang terjadi pada seluruh tubuh,
membantu proses metabolisme pada dinding sel, dan akan membantu kerja
Timbal (Pb)
Timbal atau dikenal sebagai logam Pb dalam susunan unsur merupakan
logam berat yang terdapat secara alami di dalam kerak bumi dan tersebar ke alam
dalam jumlah kecil melalui proses alami termasuk letusan gunung berapi dan
proses geokimia. Pb merupakan logam lunak yang berwarna kebiru-biruan atau
abu-abu keperakan dengan titik leleh pada 327,5 ºC dan titik didih 1.740 ºC pada
tekanan atmosfer. Timbal mempunyai nomor atom terbesar dari semua unsur yang
stabil, yaitu 82 dengan berat atom 207,20 g/mol. Namun logam ini sangat
beracun. Seperti halnya merkuri yang juga merupakan logam berat. Timbal adalah
logam yang yang dapat merusak sistem syaraf jika terakumulasi dalam jaringan
halus dan tulang untuk waktu yang lama. Logam ini sangat resistan (tahan)
terhadap korosi, oleh karena itu seringkali dicampur dengan cairan yang bersifat
korosif (seperti asam sulfat) (BPLHD Jabar, 2013).
Timbal hitam pada perairan ditemukan dalam bentuk terlarut dan
tersuspensi. Kelarutan timbal dalam air cukup rendah sehingga kadarnya relatif
sedikit. Bahan bakar yang mengandung timbal (lead gasoline) memberikan
kontribusi yang berarti bagi keberadaan timbal diperairan. Kadar dan toksisitas
timbal di perairan dipengaruhi oleh kesadahan, pH, alkalinitas, dan kadar oksigen
(Effendi, 2003).
Sifat-sifat timbal berdasarkan Darmono (1995) dan Fardiaz (2005) antara
lain:
1. Memiliki titik cair rendah.
2. Merupakan logam yang lunak sehingga mudah diubah menjadi berbagai
3. Timbal dapat membentuk alloy dengan logam lainnya, dan alloy yang
terbentuk mempunyai sifat yang berbeda dengan timbal murni.
4. Memiliki densitas yang tinggi dibandingkan logam lain kecuali emas dan
merkuri yaitu 11,34 g/cm3.
5. Sifat kimia timbal menyebabkan logam ini dapat berfungsi sebagai pelindung
jika kontak dengan udara lembab.
Mekanisme Penyerapan Logam Berat oleh Mangrove
Komunitas mangrove sering kali mendapatkan suplai bahan polutan
seperti logam berat yang berasal dari limbah industri, rumah tangga, dan
pertanian. Tumbuhan mangrove ini termasuk jenis tumbuhan air yang mempunyai
kemampuan sangat tinggi untuk mengakumulasi logam berat yang berada pada
wilayah perairan. Proses absorpsi pada tumbuhan terjadi seperti pada hewan
dengan berbagai proses difusi, dan istilah yang digunakan adalah translokasi.
Transpor ini terjadi dari sel ke sel menuju jaringan vaskuler agar dapat
didistribusikan ke seluruh bagian tubuh. Menurut Soemirat (2003), menyatakan
bahwa proses absorpsi dapat terjadi lewat beberapa bagian tumbuhan, yaitu :
1. Akar, terutama untuk zat anorganik dan zat hidrofilik.
2. Daun bagi zat yang lipofilik.
3. Stomata untuk masukan gas.
Tumbuhan mangrove mampu mengalirkan oksigen melalui akar ke dalam
sedimen tanah untuk mengatasi kondisi anaerob pada sedimen tersebut. Jika
logam berat memasuki jaringan, terdapat mekanisme yang sangat jelas,
pengambilan (up taken) logam berat oleh tumbuhan di lahan basah adalah melalui
seperti protein dan glukosida yang berfungsi mengikat logam dan dikumpulkan ke
jaringan tubuh kemudian ditransportasikan ke batang, daun dan bagian lainnya,
sedangkan ekskresinya terjadi melalui transpirasi (Panjaitan, 2009).
Menurut Fitter dan Hay (1991) mekanisme yang mungkin dilakukan oleh
tumbuhan untuk menghadapi konsentrasi toksik adalah :
1. Penanggulangan (ameliorasi), proses ameliorasi dilakukan dengan empat
pendekatan, yaitu :
a. Lokalisasi (intraseluler atau ekstraseluler) biasanya di dalam akar.
b. Ekskresi, secara aktif melalui kelenjar pada tajuk atau secara pasif melalui
akumulasi pada daun-daun tua yang diikuti dengan absisi daun.
c. Dilusi, yaitu melalui pengenceran.
d. Inaktivasi secara kimia.
2. Toleransi, yaitu tumbuhan mengembangkan sistem metabolik yang dapat
berfungsi pada konsentrasi toksik.
Brooks (1997) mengatakan akumulasi logam ke dalam akar tumbuhan
melalui bantuan transpor molekul dalam membran akar kemudian akan
membentuk transpor logam kompleks yang menembus xilem dan terus menuju sel
daun. Setelah sampai di daun, logam akan melewati plasmalemma, sitoplasma,
dan tonoplasma untuk memasuki vakuola. Di dalam vakuola transpor, molekul
kompleks bereaksi dengan akseptor terminal molekul untuk membentuk akseptor
kompleks logam kemudian transpor molekul dilepas dan akseptor kompleks
logam terakumulasi dalam vakuola yang tidak akan berhubungan dengan proses
Menurut Priyanto dan Prayitno (2006) mekanisme penyerapan logam
berat pada tanaman melalui akar dapat dibagi menjadi tiga proses yang
sinambung. Pertama adalah penyerapan logam berat oleh akar. Agar dapat
menyerap logam, tanaman membentuk suatu enzim reduktase di membran
akarnya. Reduktase ini berfungsi mereduksi logam yang selanjutnya diangkut ke
bagian tumbuhan lainnya melalui jaringan pengangkut, yaitu xilem dan floem.
Untuk meningkatkan efisiensi pengangkutan, logam diikat oleh molekul kelat
kemudian senyawa-senyawa yang larut dalam air biasanya diserap oleh akar
bersama air. Kedua, melalui translokasi logam dari akar ke bagian tanaman lain,
yaitu setelah logam menembus endodermis akar, logam atau senyawa asing lain
mengikuti aliran transpirasi ke bagian atas tanaman melalui jaringan pengangkut
xilem ke bagian tanaman lainnya. Ketiga, lokalisasi logam pada sel dan jaringan
yang bertujuan untuk menjaga agar logam tidak menghambat metabolisme