• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akumulasi Logam Berat Cu dan Pb Pada Rhizophora apiculata Tingkat Pancang dan Pohon

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Akumulasi Logam Berat Cu dan Pb Pada Rhizophora apiculata Tingkat Pancang dan Pohon"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

AKUMULASI LOGAM BERAT Cu DAN Pb PADA

Rhizophora apiculata

TINGKAT PANCANG DAN POHON

SKRIPSI

Oleh :

NOA VIOLEN SIMANGUNSONG 101201119/ Budidaya Hutan

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

AKUMULASI LOGAM BERAT Cu DAN Pb PADA

Rhizophora apiculata

TINGKAT PANCANG DAN POHON

SKRIPSI

Oleh :

NOA VIOLEN SIMANGUNSONG 101201119/ Budidaya Hutan

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kehutanan di Fakultas Kehutanan

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Akumulasi Logam Berat Cu dan Pb Pada Rhizophora apiculata Tingkat Pancang dan Pohon

Nama : Noa Violen Simangunsong NIM : 101201119

Program Studi : Kehutanan

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yunasfi, M.Si Dr. Budi Utomo, S.P, M.P

Ketua Anggota

Mengetahui

(4)

ABSTRACT

NOA VIOLEN S. Accumulation of Heavy Metals Cu and Pb on Rhizophora apiculata Stake and Tree Level. Under academic supervision of YUNASFI and BUDI UTOMO.

The excessive utilizations of using mangrove cause wastes heavy metals enter mangrove ecosystem. The purposes of the research is to find and compare the content of heavy metals Cu and Pb in roots, leaves and barks of Rhizophora apiculata stake and tree level and to know the ability of Rhizophora apiculata in accumulating heavy metals. Analysis of heavy metals is done in Laboratory Research, the Faculty of Pharmaceuticals, University of North Sumatera using the Atomic Absorbsion Spectrofotometer (AAS) method with two stage that is wet destruction and dry destruction.

(5)

ABSTRAK

NOA VIOLEN S. Akumulasi Logam Berat Cu dan Pb Pada Rhizophoraapiculata

Tingkat Pancang dan Pohon. Dibawah bimbingan YUNASFI dan BUDI UTOMO.

Banyaknya usaha pemanfaatan mangrove menyebabkan masuknya limbah logam berat ke dalam ekosistem mangrove. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan membandingkan kandungan logam Cu dan Pb pada akar, daun dan kulit Rhizophora apiculata tingkat pancang dan pohon, dan untuk mengetahui kemampuan Rhizophora apiculata dalam mengakumulasi logam berat. Analisis logam berat dilakukan di Laboratorium Penelitian, Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara menggunakan metode Atomic Absorbsion Spectrofotometer (AAS) dengan dua tahap yaitu dekstruksi basah dan dekstruksi kering.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan logam berat Cu dan Pb pada kulit, akar dan daun tingkat pohon lebih besar dibandingkan tingkat pancang. Berdasarkan faktor biokonsentrasi kemampuan Rhizophora apiculata dalam mengakumulasi logam berat Cu pada pancang dan pohon tergolong tinggi sedangkan nilai BCF Pb tergolong sedang.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Tebing Tinggi pada tanggal 6 Februari 1992 dari ayah

M. Simangunsong dan ibu S.M Sianturi. Penulis merupakan anak kedua dari tiga

bersaudara.

Tahun 2004 penulis lulus dari SD Swasta Methodist 2 Tebing Tinggi.

Penulis melanjutkan ke SMP Negeri 4 Tebing Tinggi tamat tahun 2007.

Kemudian melanjut ke SMA Negeri 1 Tebing Tinggi tamat tahun 2010.

Pada tahun 2010 penulis masuk Perguruan Tinggi Universitas Sumatera

Utara melalui jalur SNMPTN dengan jurusan Kehutanan. Penulis melakukan

penelitian dengan judul Akumulasi Logam Berat (Cu dan Pb) Pada Rhizophora apiculata Tingkat Pancang dan Pohon. Penulis masuk organisasi HIMAS (Himpunan Mahasiswa Sylva) tahun 2010, mengikuti kegiatan P2EH (Praktek

Pengenalan Ekosistem Hutan) tahun 2012 di Taman Hutan Raya Bukit Barisan

Tongkoh selama 10 hari. Penulis melakukan PKL (Praktek Kerja Lapang) di Balai

Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango pada tanggal 4 Februari 2014-

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena

rahmatNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Akumulasi Logam

Berat Cu dan Pb Pada Rhizophora apiculata Tingkat Pancang dan Pohon” ini dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan

studi di Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara,

Medan.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Yunasfi, M.Si dan Dr. Budi Utomo, S.P, M.P selaku Komisi Pembimbing

yang telah banyak mengarahkan dan memberikan saran kepada penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada

kedua orang tua dan kedua saudari (Eva Friska dan Dian Julia) serta teman-teman

di Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian USU (Yepta, Ria, Ervan, Juneith,

Bunga, Soni, Fitri, Sukma, Marisi, Triskin, Gusti, Wika, Riston, Mario, Adrian,

tim PKL dll) yang selalu memberi semangat kepada penulis.

Penulis mengharapkan kritik, saran, dan masukan dari pembaca demi

kelancaran penelitian ini. Semoga penelitian ini akan memberi manfaat dan

(8)

DAFTAR ISI

Struktur dan Zonasi Hutan Mangrove ... 5

(9)
(10)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Analisis Parameter Kualitas Lingkungan Perairan ... 22

2. Analisis Rata-Rata Kandungan Logam Berat Cu dan Pb dalam

Akar, Daun dan Kulit Batang Rhizophora apiculata ... 22 3. Analisis Rata-Rata Kandungan Logam Berat Cu dan Pb pada

Air dan Sedimen ... 23

4. Nilai Faktor Biokonsentrasi (BCF) Cu dan Pb pada Tingkat

(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Dokumentasi penelitian ... 37

2. KEPMEN LH No. 51 Tahun 2004 Baku Mutu Air Laut Untuk

Biota Laut ... 41

3. IADC / CEDA Tahun 1997 Tentang Baku Mutu Logam Berat Dalam

Sedimen ... 43

4. Data Dasar Konsentrasi Logam Berat ... 44

(13)

ABSTRACT

NOA VIOLEN S. Accumulation of Heavy Metals Cu and Pb on Rhizophora apiculata Stake and Tree Level. Under academic supervision of YUNASFI and BUDI UTOMO.

The excessive utilizations of using mangrove cause wastes heavy metals enter mangrove ecosystem. The purposes of the research is to find and compare the content of heavy metals Cu and Pb in roots, leaves and barks of Rhizophora apiculata stake and tree level and to know the ability of Rhizophora apiculata in accumulating heavy metals. Analysis of heavy metals is done in Laboratory Research, the Faculty of Pharmaceuticals, University of North Sumatera using the Atomic Absorbsion Spectrofotometer (AAS) method with two stage that is wet destruction and dry destruction.

(14)

ABSTRAK

NOA VIOLEN S. Akumulasi Logam Berat Cu dan Pb Pada Rhizophoraapiculata

Tingkat Pancang dan Pohon. Dibawah bimbingan YUNASFI dan BUDI UTOMO.

Banyaknya usaha pemanfaatan mangrove menyebabkan masuknya limbah logam berat ke dalam ekosistem mangrove. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan membandingkan kandungan logam Cu dan Pb pada akar, daun dan kulit Rhizophora apiculata tingkat pancang dan pohon, dan untuk mengetahui kemampuan Rhizophora apiculata dalam mengakumulasi logam berat. Analisis logam berat dilakukan di Laboratorium Penelitian, Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara menggunakan metode Atomic Absorbsion Spectrofotometer (AAS) dengan dua tahap yaitu dekstruksi basah dan dekstruksi kering.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan logam berat Cu dan Pb pada kulit, akar dan daun tingkat pohon lebih besar dibandingkan tingkat pancang. Berdasarkan faktor biokonsentrasi kemampuan Rhizophora apiculata dalam mengakumulasi logam berat Cu pada pancang dan pohon tergolong tinggi sedangkan nilai BCF Pb tergolong sedang.

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ekosistem mangrove di Indonesia saat ini kondisinya sangat

mengkhawatirkan akibat tekanan pertambahan penduduk yang sangat pesat.

Jumlah penduduk yang terus bertambah membutuhkan lahan untuk pemukiman

dan mencari nafkah. Mangrove sebagai ekosistem pesisir dan dekat dengan

pusat-pusat pemukiman penduduk sangat rawan ancaman dan tekanan, sehingga

kelestariannya sangat rentan terhadap perubahan lingkungan (Tomlinson, 1986).

Banyaknya usaha pemanfaatan mangrove, menyebabkan luasan mangrove

berkurang dari tahun ke tahun. Kegiatan ini seperti reklamasi pantai, pembukaan

lahan untuk pertanian dan perikanan budidaya, industri serta pengembangan

perumahan di daerah pesisir. Dampak langsung yang disebabkan oleh kegiatan di

atas adalah masuknya limbah ke dalam ekosistem mangrove terutama limbah

yang mengandung logam berat. Peningkatan kadar logam berat pada ekosistem

mangrove dapat juga berasal dari perkapalan, wisata, tumpahan minyak,

pengolahan limbah tumbuhan serta peningkatan sampah dan aktivitas

pertambangan. Konsentrasi logam berat yang tinggi akan menyebabkan kerusakan

lingkungan dan meningkatkan daya toksisitas, persistan dan bioakumulasi logam

itu sendiri (Lindsey dkk., 2004).

Logam berat adalah unsur-unsur kimia dengan bobot jenis lebih besar dari

5 gr/cm3. Bila kadar logam berat yang terlalu rendah di suatu perairan dapat

menyebabkan kehidupan organism mengalami defisiensi,namun bila unsure

logam berat dalam jumlah yang berlebihan dapat bersifat racun. Sifat–sifat logam

(16)

perairan dan keberadaannya secara alami sulit terurai (dihilangkan), mudah

terakumulasi pada sedimen, sehingga konsentrasinya selalu lebih tinggi dari

konsentrasi logam dalam air. Selain itu sedimen mudah tersuspensi karena

pergerakan massa air yang akan melarutkan kembali logam yang dikandungnya ke

dalam air, sehingga sedimen menjadi sumber pencemar potensial dalam skala

waktu tertentu (Sutamihardja dkk, 1982).

Brooks (1997) mengatakan akumulasi logam ke dalam akar tumbuhan

melalui bantuan transpor molekul dalam membran akar kemudian akan

membentuk transpor logam kompleks yang menembus xilem dan terus menuju sel

daun. Setelah sampai di daun, logam akan melewati plasmalemma, sitoplasma,

dan tonoplasma untuk memasuki vakuola. Di dalam vakuola transpor, molekul

kompleks bereaksi dengan akseptor terminal molekul untuk membentuk akseptor

kompleks logam kemudian transpor molekul dilepas dan akseptor kompleks

logam terakumulasi dalam vakuola yang tidak akan berhubungan dengan proses

fisiologi sel tumbuhan.

Mangrove yang tumbuh di muara sungai merupakan tempat penampungan

terakhir bagi limbah-limbah yang terbawa aliran sungai, terutama jika jumlah

limbah yang masuk ke lingkungan estuari melebihi kemampuan pemurnian alami

oleh badan air. Penyerapan logam berat oleh akar pohon dipengaruhi sistem

perakaran dan luasan permukaan akarnya. Pohon bakau mempunyai tekanan

osmosis tinggi dalam cairan selnya, dan karena itu sistem akarnya berdaya

absorbsi lebih tinggi daripada larutan tanahnya. Kondisi ini mempermudah

(17)

meningkat, potensial osmosis tinggi terjadi karena bertumpuknya zat organik atau

akibat garam mineral yang terserap dari medium beragam(Arisandi, 2008).

Jenis Rhizophora apiculata menyerap polutan cukup besar terutama di bagian akar dan batang. Diperkirakan jenis ini mempunyai akar jangkar yang

cukup banyak, panjang, dan besar, sehingga kemampuan daya serap logam berat

di habitatnya lebih besar dari daya serap sistem perakaran Avicennia marina

(Subiandono dkk, 2013).

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1. Mengukur dan membandingkan kandungan logam Cu dan Pb pada akar, daun

dan kulit Rhizophoraapiculata tingkat pancang dan pohon.

2. Mengukur dan membandingkan nilai BCF logam Cu dan Pb

Rhizophoraapiculata tingkat pancang dan pohon.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai

akumulasi logam berat Cu dan Pb pada Rhizophora apiculata secara kuantitatif berdasarkan komposisi jenis pancang dan pohon serta sebagai referensi bagi

masyarakat untuk menanam mangrove jenis tersebut sebagai akumulator logam

berat.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah kandungan logam berat pada tingkat pohon

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian dan Peran Ekosistem Mangrove

Kata mangrove merupakan kombinasi antara mangue (bahasa Portugis) yang berarti tumbuhan dan grove (bahasa Inggris) yang berarti belukar atau hutan kecil. Menurut Macnae (1978), kata mangrove digunakan untuk menyebut jenis

pohon-pohon atau semak-semak yang tumbuh di antara batas air tertinggi saat

pasang dan batas air terendah sampai di atas rata-rata permukaan air laut.

Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang

digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang

didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak

yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan

mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili dan

12 genera tumbuhan berbunga : Avicennia, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2001).

Menurut Kusmana dkk (2005) hutan mangrove adalah tipe hutan yang

tumbuh di daerah pasang-surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara

sungai) yang tergenang pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang

komunitas tumbuhannya toleran terhadap garam. Adapun ekosistem mangrove

merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang

berinteraksi dengan faktor lingkungan di dalam suatu habitat mangrove.

Ekosistem mangrove mempunyai peran yang penting dalam mendukung

kehidupan organisme yang terdapat pada ekosistem tersebut. Fungsi hutan

(19)

fungsi kimia, fungsi biologi, fungsi ekonomi, dan fungsi lain (wanawisata) seperti

dibawah ini. Fungsi fisik: (a) Menjaga garis pantai agar tetap stabil; (b)

melindungi pantai dan tebing sungai dari proses erosi atau abrasi, serta menahan

atau menyerap tiupan angin kencang dari laut ke darat; (c) Menahan sedimen

secara periodik sampai terbentuk lahan baru; (d) Sebagai kawasan penyangga

proses intrusi atau rembesan air laut ke darat, atau sebagai filter air asin menjadi

tawar; (e) Mencegah terjadinya erosi pantai. Fungsi kimia: (a) Sebagai tempat

terjadinya proses daur ulang yang menghasilkan oksigen; (b) Sebagai penyerap

karbondioksida; (c) Sebagai pengolah bahan-bahan limbah hasil pencemaran

industri dan kapal-kapal di lautan. Fungsi biologi: (a) Sebagai penghasil bahan

pelapukan yang merupakan sumber makanan penting bagi invertebrata kecil

pemakan detritus, yang kemudian berperan sebagai sumber makanan bagi hewan

yang lebih besar; (b) Sebagai kawasan pemijah bagi udang, ikan, kepiting, dan

kerang yang setelah dewasa akan kembali ke lepas pantai; (c) Sebagai kawasan

untuk berlindung, bersarang, serta berkembang biak bagi burung dan satwa lain;

(d) Sebagai sumber plasma nutfah dan sumber genetik. Fungsi ekonomi: (a)

Penghasil kayu; (b) Penghasil bahan baku industri; (c) Penghasil bibit ikan,

udang, kerang, kepiting, telur burung. Fungsi lain (Wanawisata): (a) Sebagai

kawasan wisata alam pantai; (b) Sebagai tempat pendidikan, konservasi, dan

penelitian.

Struktur dan Zonasi Hutan Mangrove

Tomlinson (1986) membagi flora mangrove menjadi tiga kelompok sesuai

(20)

1. Flora mangrove mayor, yakni flora yang menunjukkan kesetiaan terhadap

habitat mangrove, berkemampuan membentuk tegakan murni dan secara

dominan mencirikan struktur komunitas, secara morfologi mempunyai

bentuk-bentuk adaptif khusus (bentuk akar dan viviparitas) terhadap

lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme fisiologis dan mengontrol

garam. Contohnya adalah: Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia, dan Nypa.

2. Flora mangrove minor, yaitu flora mangrove yang tidak mampu membentuk

tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam

struktur komunitas, contohnya: Excoecaria, Xylocarpus, Heritiera, Aegialitis, Achrostichum, Camptostemon, Schyphipora, Phempis, Osbornia, dan Peliciera.

3. Asosiasi mangrove, jenis-jenis ini bukan merupakan anggota komunitas

mangrove sejati dan tumbuh pada lingkungan vegetasi darat contohnya adalah

Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus, Calamus, dll.

Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove

tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan

mangrove di Indonesia : daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat

agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia sp. Pada zona ini biasa berasosiasi

Sonneratia sp, yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh

(21)

dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.

Menurut Supriharyono (2007) beberapa faktor yang menentukan

penyebaran tumbuhan mangrove, yaitu :

1. Gelombang pasang surut, yang menentukan waktu dan tinggi penggenangan

suatu lokasi, sehingga menentukan spesies tumbuhan yang tumbuh.

2. Salinitas, yang berkaitan dengan penyebaran tumbuhan mangrove, karena ada

beberapa spesies yang tidak tahan pada salinitas yang tinggi.

3. Substrat (bentuk tekstur tanah dan kemantapan), tipe substrat yang sesuai

untuk pertumbuhan mangrove adalah lumpur lunak, yang mengandung silt

(debu), clay (liat), dan bahan – bahan organik yang lembut.

4. Suhu, suhu yang baik untuk kehidupan mangrove adalah tidak kurang dari

200C.

Umumnya mangrove di Indonesia jika diurutkan dari arah laut ke arah

daratan biasanya dapat dibedakan menjadi 4 zonasi yaitu sebagai berikut :

1. Zona Api-api – Prepat (Avicennia – Sonneratia)

Terletak paling luar / jauh atau terdekat dengan laut, keadaan tanah

berlumpur agak lunak (dangkal), dengan substrat agak berpasir, sedikit bahan

organik dan kadar garam agak tinggi. Zona ini biasanya didominasi oleh jenis

api-api (Avicennia sp) dan prepat (Sonneratia sp), dan biasanya berasosiasi dengan jenis bakau (Rhizophora sp).

(22)

Biasanya terletak di belakang api-api dan prepat, keadaan tanah berlumpur

lunak (dalam). Pada umumnya didominasi bakau (Rhizophora sp) dan di beberapa tempat dijumpai berasosiasi dengan jenis lain seperti tanjang ( Bruguiera sp ). 3. Zona Tanjang (Bruguiera)

Terletak di belakang zona bakau, agak jauh dari laut dekat dengan daratan.

Keadaan berlumpur agak keras, agak jauh dari garis pantai. Pada umumnya

ditumbuhi jenis tanjang (Bruguiera sp) dan di beberapa tempat berasosiasi dengan jenis lain.

4. Zona Nipah (Nypa fruticans)

Terletak paling jauh dari laut atau paling dekat ke arah darat. Zona ini

mengandung air dengan salinitas sangat rendah dibandingkan zona lainnya,

tanahnya keras, kurang dipengaruhi pasang surut dan kebanyakan berada di

tepi-tepi sungai dekat laut. Pada umumnya ditumbuhi jenis nipah (Nypa fruticans) dan beberapa spesies palem lainnya ( Bengen, 2001 ).

Ciri Umum Rhizophora apiculata

Pohon Rhizophora apiculata termasuk kedalam famili Rhizophoraceae.

Dalam bahasa lokal, pohon ini dikenal dengan nama bakau kacang, bakau minyak,

bakau kecil dan lain-lain. Pertumbuhan Rhizophora apiculata akan semakin jelek apabila kadar garam dalam air makin rendah. Rhizophora apiculata memiliki ciri yang sangat khas yaitu memiliki tulang daun berwarna merah kecoklatan dan

daun meruncing. Buahnya (propagul) termasuk tipe vivipari dimana buah telah

berkecambah saat di pohon (Martawijaya dkk.,1989).

Habitusnya berupa pohon, berakar jangkar, daun tebal mengulit,

(23)

elips, tunggal, ujung bermukro (ekor), tangkai daun pendek, terdapat stipula di

ujung, dan berbentuk tabung; buah berbentuk bulat telur, berwarna coklat, biji

vivipar, berkecambah dengan mengeluarkan hipokotil, panjang 15-70 cm

(Munawar & Rina, 2010).

Secara ekologis Rhizophora merupakan penyusun vegetasi mangrove muda. Pada tipe vegetasi ini dicirikan oleh satu lapis tajuk hutan yang seragam

tingginya dari jenis Rhizophora dan berperan juga sebagai jenis pioner di tempat-tempat yang posisinya terlindung dari hempasan ombak yang kuat, atau

berkembang setelah kolonisasi dari jenis Avicennia dan Sonneratia yang kemudian Rhizophora tumbuh diantaranya (Sukardjo, 2002).

Gambar 1. Bakau Minyak (Rhizophora apiculata)

Pengertian Logam Berat

Logam berat adalah unsur-unsur kimia dengan bobot jenis lebih besar dari

5 gr/cm3, terletak di sudut kanan bawah sistem periodik, mempunyai afinitas yang

tinggi terhadap unsur S dan biasanya bernomor atom 22 sampai 92 dari periode

(24)

pencemar adalah karena adanya sifat-sifat logam berat yang tidak dapat terurai

(non degradable) dan mudah diabsorbsi (Darmono, 1995).

Sifat toksisitas logam berat dapat dikelompokkan ke dalam 3 kelompok,

yaitu bersifat toksik tinggi, sedang dan rendah. Logam berat yang bersifat toksik

tinggi terdiri dari unsur Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn. Bersifat toksik sedang terdiri dari

unsur-unsur Cr, Ni dan Co, sedangkan bersifat tosik rendah terdiri atas unsur Mn

dan Fe (Moore dan Ramamoorthy, 1984).

Kandungan kelompok anorganik logam di perairan alami sangat rendah

(trace element). Kelompok logam berat yang termasuk bersifat esensial adalah Cr, Ni, Cu, Zn dan yang bersifat non esensial adalah As, Cd, Pb, Hg. Elemen yang

bersifat esensial dibutuhkan dalam proses kehidupan biota akuatik. Kelompok

elemen esensial maupun non esensial dapat bersifat toksik atau racun bagi

kehidupan biota akuatik terutama apabila terjadi peningkatan kadarnya dalam

perairan (Sanusi, 2006).

Semua logam berat dapat menimbulkan pengaruh yang negatif terhadap

organisme perairan pada batas dan kadar tertentu. Hal ini dipengaruhi oleh jenis

logam, pengaruh interaksi antar logam dan jenis racun lainnya, spesies hewan

daya permeabilitas organisme, dan mekanisme detoksikasi serta pengaruh

lingkungan seperti suhu, pH, dan oksigen (Bryan, 1984).

Hutagalung (1994) menyatakan selain suhu dan pH, salinitas dan

kesadahan juga mempengaruhi toksisitas logam berat. Penurunan pH dan

salinitas perairan menyebabkan toksisitas logam berat semakin besar. Lain halnya

dengan suhu, toksisitas logam berat semakin tinggi dengan meningkatnya suhu.

(25)

berat dalam air dengan kesadahan tinggi membentuk senyawa kompleks yang

mengendap dalam air. Logam berat yang terdapat di perairan dapat diketahui

melalui media air, sedimen maupun organisme hidup.

Tembaga (Cu)

Tembaga merupakan logam berat yang diperlukan untuk terjadinya proses

fisiologis secara normal dalam tubuh makhluk hidup, karena Cu merupakan

logam esensial yang diperlukan makhluk hidup terutama dalam perannya sebagai

kofaktor enzim (membantu kerja enzim). Bahkan pada tumbuhan seperti alga, Cu

dapat berperan sebagai pembawa elektron sebagai baik pada proses fotosintesis

maupun pada proses respirasi (Perales, dkk., 2007).

Tembaga adalah logam merah muda yang lunak, dapat ditempa, dan liat

yang melebur pada 1038°C. Potensial elektroda standardnya positif (+ 0,34 V),

logam ini tidak larut dalam asam klorida dan asam sulfat encer (Vogel 1994).

Logam ini banyak digunakan pada pabrik yang memproduksi alat-alat listrik,

gelas dan zat warna yang biasa dicampur dengan logam lain seperti alloy dengan perak, kadmium, timah putih, dan seng (Merian, 1994).

Tembaga bukan hanya meracuni hewan, tetapi juga bersifat toksik pada

tumbuhan (jasad autotrof). Dalam hal ini tembaga dalam jumlah sedikit

merupakan unsur yang esensial yang diperlukan oleh tubuh, karena tembaga akan

berperan sebagai elemen penting dalam mengatur protein, berpartisipasi dalam

transportasi elektron pada proses fotosintesis, membantu proses respirasi pada

mitokondria, merespon stress oksidatif yang terjadi pada seluruh tubuh,

membantu proses metabolisme pada dinding sel, dan akan membantu kerja

(26)

Timbal (Pb)

Timbal atau dikenal sebagai logam Pb dalam susunan unsur merupakan

logam berat yang terdapat secara alami di dalam kerak bumi dan tersebar ke alam

dalam jumlah kecil melalui proses alami termasuk letusan gunung berapi dan

proses geokimia. Pb merupakan logam lunak yang berwarna kebiru-biruan atau

abu-abu keperakan dengan titik leleh pada 327,5 ºC dan titik didih 1.740 ºC pada

tekanan atmosfer. Timbal mempunyai nomor atom terbesar dari semua unsur yang

stabil, yaitu 82 dengan berat atom 207,20 g/mol. Namun logam ini sangat

beracun. Seperti halnya merkuri yang juga merupakan logam berat. Timbal adalah

logam yang yang dapat merusak sistem syaraf jika terakumulasi dalam jaringan

halus dan tulang untuk waktu yang lama. Logam ini sangat resistan (tahan)

terhadap korosi, oleh karena itu seringkali dicampur dengan cairan yang bersifat

korosif (seperti asam sulfat) (BPLHD Jabar, 2013).

Timbal hitam pada perairan ditemukan dalam bentuk terlarut dan

tersuspensi. Kelarutan timbal dalam air cukup rendah sehingga kadarnya relatif

sedikit. Bahan bakar yang mengandung timbal (lead gasoline) memberikan kontribusi yang berarti bagi keberadaan timbal diperairan. Kadar dan toksisitas

timbal di perairan dipengaruhi oleh kesadahan, pH, alkalinitas, dan kadar oksigen

(Effendi, 2003).

Sifat-sifat timbal berdasarkan Darmono (1995) dan Fardiaz (2005) antara

lain:

1. Memiliki titik cair rendah.

2. Merupakan logam yang lunak sehingga mudah diubah menjadi berbagai

(27)

3. Timbal dapat membentuk alloy dengan logam lainnya, dan alloy yang terbentuk mempunyai sifat yang berbeda dengan timbal murni.

4. Memiliki densitas yang tinggi dibandingkan logam lain kecuali emas dan

merkuri yaitu 11,34 g/cm3.

5. Sifat kimia timbal menyebabkan logam ini dapat berfungsi sebagai pelindung

jika kontak dengan udara lembab.

Mekanisme Penyerapan Logam Berat oleh Mangrove

Komunitas mangrove sering kali mendapatkan suplai bahan polutan

seperti logam berat yang berasal dari limbah industri, rumah tangga, dan

pertanian. Tumbuhan mangrove ini termasuk jenis tumbuhan air yang mempunyai

kemampuan sangat tinggi untuk mengakumulasi logam berat yang berada pada

wilayah perairan. Proses absorpsi pada tumbuhan terjadi seperti pada hewan

dengan berbagai proses difusi, dan istilah yang digunakan adalah translokasi.

Transpor ini terjadi dari sel ke sel menuju jaringan vaskuler agar dapat

didistribusikan ke seluruh bagian tubuh. Menurut Soemirat (2003), menyatakan

bahwa proses absorpsi dapat terjadi lewat beberapa bagian tumbuhan, yaitu :

1. Akar, terutama untuk zat anorganik dan zat hidrofilik.

2. Daun bagi zat yang lipofilik.

3. Stomata untuk masukan gas.

Tumbuhan mangrove mampu mengalirkan oksigen melalui akar ke dalam

sedimen tanah untuk mengatasi kondisi anaerob pada sedimen tersebut. Jika

logam berat memasuki jaringan, terdapat mekanisme yang sangat jelas,

(28)

seperti protein dan glukosida yang berfungsi mengikat logam dan dikumpulkan ke

jaringan tubuh kemudian ditransportasikan ke batang, daun dan bagian lainnya,

sedangkan ekskresinya terjadi melalui transpirasi (Panjaitan, 2009).

Menurut Fitter dan Hay (1991) mekanisme yang mungkin dilakukan oleh

tumbuhan untuk menghadapi konsentrasi toksik adalah :

1. Penanggulangan (ameliorasi), proses ameliorasi dilakukan dengan empat

pendekatan, yaitu :

a. Lokalisasi (intraseluler atau ekstraseluler) biasanya di dalam akar.

b. Ekskresi, secara aktif melalui kelenjar pada tajuk atau secara pasif melalui

akumulasi pada daun-daun tua yang diikuti dengan absisi daun.

c. Dilusi, yaitu melalui pengenceran.

d. Inaktivasi secara kimia.

2. Toleransi, yaitu tumbuhan mengembangkan sistem metabolik yang dapat

berfungsi pada konsentrasi toksik.

Brooks (1997) mengatakan akumulasi logam ke dalam akar tumbuhan

melalui bantuan transpor molekul dalam membran akar kemudian akan

membentuk transpor logam kompleks yang menembus xilem dan terus menuju sel

daun. Setelah sampai di daun, logam akan melewati plasmalemma, sitoplasma,

dan tonoplasma untuk memasuki vakuola. Di dalam vakuola transpor, molekul

kompleks bereaksi dengan akseptor terminal molekul untuk membentuk akseptor

kompleks logam kemudian transpor molekul dilepas dan akseptor kompleks

logam terakumulasi dalam vakuola yang tidak akan berhubungan dengan proses

(29)

Menurut Priyanto dan Prayitno (2006) mekanisme penyerapan logam

berat pada tanaman melalui akar dapat dibagi menjadi tiga proses yang

sinambung. Pertama adalah penyerapan logam berat oleh akar. Agar dapat

menyerap logam, tanaman membentuk suatu enzim reduktase di membran

akarnya. Reduktase ini berfungsi mereduksi logam yang selanjutnya diangkut ke

bagian tumbuhan lainnya melalui jaringan pengangkut, yaitu xilem dan floem.

Untuk meningkatkan efisiensi pengangkutan, logam diikat oleh molekul kelat

kemudian senyawa-senyawa yang larut dalam air biasanya diserap oleh akar

bersama air. Kedua, melalui translokasi logam dari akar ke bagian tanaman lain,

yaitu setelah logam menembus endodermis akar, logam atau senyawa asing lain

mengikuti aliran transpirasi ke bagian atas tanaman melalui jaringan pengangkut

xilem ke bagian tanaman lainnya. Ketiga, lokalisasi logam pada sel dan jaringan

yang bertujuan untuk menjaga agar logam tidak menghambat metabolisme

(30)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Juni sampai Februari 2015. Pengambilan

sampel dilakukan di kawasan hutan mangrove Kuala Dewi Desa Kota Pari

kecamatan Pantai Cermin Serdang Bedagai Sumatera Utara yang terletak antara

03039’42” LU dan 98057’40” BT dengan luas ± 4 ha. Analisis logam berat

dilakukan di Laboratorium Penelitian, Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera

Utara. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

(31)

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian adalah pisau, tali rafia, kompas,

kantong plastik, pita ukur, hand refractometer, mortal dan pastle, botol akuades, labu erlenmeyer 100 ml, pipet tetes, oven, corong, tanur, krus porselin, gelas ukur,

labu takar 100 ml dan 25 ml, termometer, timbangan analitik, hot plate, kertas saring whatman ukuran 42, atomic absorbsion spectrofotometer (AAS).

Bahan yang digunakan pada penelitian adalah tally sheet, akar

Rhizophora apiculata, daun Rhizopora apiculata, kulit batang

Rhizophora apiculata, sampel sedimen, sampel air, akuabides, larutan HNO3,

larutan standar Cu dan Pb.

Prosedur Penelitian

1. Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel pada lokasi dilakukan dengan metode stasiun secara

purposif. Sampel akar, daun, dan kulit batang diambil dari pohon

Rhizophora apiculata. Akar yang diambil adalah akar tunjang yang berada diatas batas yang terkena batas pasang surut air laut, sedangkan untuk daun yang diambil

adalah daun muda pada pucuk dan daun tua pada pangkal ranting, kulit batang

pohon Rhizophora apiculata yang diambil adalah kulit batang yang terkena pasang surut air laut dengan jarak sekitar 10-15 cm dari batas akar tunjang.

Diambil 3 titik sampel pada setiap lokasi dengan jarak antar titik sampel 50 meter.

Pengambilan sampel pohon Rhizophora apiculata setiap titiknya dengan tiga ulangan. Sebagai data penunjang dilakukan juga pengukuran logam berat pada air

(32)

kualitas air, seperti suhu udara, suhu air, pH air, dan salinitas pada keenam titik

tersebut. Gambar lokasi pengambilan sampel dapat dilihat pada Lampiran 1.

2. Preparasi Sampel Akar, Daun, Kulit Batang dan Sedimen

Sampel akar, daun, kulit batang dihomogenkan dengan cara

mengkompositkan sampel yang diambil dari enam titik pengambilan pada setiap

stasiun. Untuk preparasi akar, daun, dan kulit batang, sampel dipotong kecil-kecil

sebelum dihaluskan. Demikian juga sampel sedimen yang dapat langsung

dihaluskan. Setelah itu dikeringkan dalam oven pada suhu 75º C sampai

diperoleh berat konstan.

Sampel akar, daun, kulit batang dan sedimen masing masing ditimbang

sebanyak 5 gram kemudian diarangkan di atas hotplate hingga menjadi arang. Untuk mempercepat terjadinya arang dapat diteteskan sedikit HNO3 secara

perlahan. Sampel yang telah menjadi arang dimasukkan dalam tanur pada suhu

700º C (pengabuan) sampai menjadi abu. Setelah selesai proses pengabuan sampel

akar, daun dan sedimen tersebut dilarutkan dengan menambahkan 10 ml HNO3

pekat.

Campuran larutan tersebut digerus di dalam wadah krus porselin lalu

disaring kedalam labu ukur 25 ml dengan menggunakan kertas saring whatman

ukuran 42. Krus yang telah digerus dibilas dengan menggunakan akuabides

sebanyak dua kali agar kandungan logam yang masih menempel pada krus dapat

larut. Setelah larutan disaring tambahkan akuabides hingga garis tanda batas pada

labu ukur 25 ml. Larutan yang diperoleh dapat diuji dengan menggunakan AAS.

(33)

3. Preparasi Sampel Air

Air laut diukur 100 ml, kemudian ditambahkan 10 ml HNO3 pekat.

Panaskan dalam wadah erlenmeyer dalam hot plate sampai volumenya menjadi 35 ml. Larutan yang telah diendapkan disaring fasa airnya dengan kertas saring

whatman ukuran 42. Larutan yang diperoleh siap untuk dianalisis dengan menggunakan AAS. Gambar preparasi dekstruksi basah dapat dilihat pada

Lampiran 1.

4. Pembuatan Larutan Standar Cu dan Pb

Sebanyak 10 ml dari larutan induk logam Cu dan Pb dipipet lalu

dimasukkan kedalam labu takar 100 ml kemudian ditambahkan akuabides sampai

garis tanda akhir. Larutan yang diperoleh mengandung konsentrasi 100 ppm. Dari

larutan 100 ppm dipipet sebanyak 10 ml lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100

ml kemudian ditambahkan akuabides sampai garis tanda akhir untuk mendapatkan

larutan dengan konsentrasi 10 ppm. Dibuat larutan dengan konsentrasi 10 ppm

sebanyak 5 ulangan untuk mempermudah pembuatan larutan standar berikutnya.

Untuk mendapatkan larutan standar dengan konsentrasi 0,2; 0,4; 0,6; 0,8

dan 1 ppm, berturut-turut dipipet sebanyak 2 ml, 4 ml, 6 ml, 8 ml dan 10 ml dari

larutan 10 ppm lalu masing masing dimasukkan kedalam labu takar 100 ml

kemudian ditambahkan akuades sampai garis tanda akhir.

5. Prinsip Kerja Atomic Absorpsion Spectrofotometer (AAS)

Alat AAS diset terlebih dahulu sesuai dengan instruksi dalam manual alat

(34)

logam Cu dan Pb dengan konsentrasi 0; 0,2; 0,4; 0,6; 0,8 dan 1 ppm. Diukur

absorbansi atau konsentrasi masing-masing sampel.

6. Analisis Data

a. Konsentrasi Sebenarnya

Untuk mendapatkan konsentrasi logam berat sebenarnya maka digunakan

rumus :

K sebenarnya (mg/l) = K AAS (mg /l) x Vol .Pelarut (L) Berat Sampel (mg )

Keterangan :

1. K.AAS : Konsentrasi yang didapat melalui pembacaan alat AAS

2. K. Sebenarnya : Konsentrasi sebenarnya

3. Vol Pelarut : Volume pelarut

4. Berat Sampel : Berat sampel yang akan diuji

b. Faktor Biokonsentrasi (BCF)

Setelah kandungan logam berat dalam air diketahui maka data tersebut

digunakan untuk menghitung kemampuan Rhizophora apiculata mengakumulasi logam berat Cu dan Pb melalui tingkat biokonsentrasi faktor (BCF) dengan

rumus :

BCF Cu / Pb = [Logam berat Cu / Pb ] Tumbuhan [Logam berat Cu / Pb ] Air

Dimana, jika nilai BCF > 1000 = Kemampuan Tinggi

1000 > BCF > 250 = Kemampuan Sedang

(35)

c. Analisis Deskriptif

Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif sesuai dengan baku mutu

lingkungan yang terdapat dalam Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 untuk kualitas

air. Sedangkan baku mutu untuk logam berat dalam lumpur atau sedimen di

Indonesia belum ditetapkan, sehingga sebagai acuan digunakan baku mutu yang

dikeluarkan IADC/CEDA (1997) mengenai kandungan logam yang dapat

(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Kondisi Lingkungan Perairan

Berdasarkan data Tabel 1 yang menunjukkan parameter kualitas

lingkungan di hutan mangrove Kuala Dewi diketahui bahwa pH dan salinitas

tertinggi terdapat pada titik pengamatan tingkat pancang. Suhu air dan suhu udara

tertinggi diperoleh di titik pengamatan tingkat pohon. Hasil analisis parameter

kualitas lingkungan perairan dari tiap stasiun disajikan pada Tabel 1. Data dasar

kondisi lingkungan perairan secara lengkap disajikan dalam Lampiran 4.

Tabel 1. Analisis Parameter Kualitas Lingkungan Perairan

Parameter TINGKAT PERMUDAAN

Kandungan Logam Berat Cu dan Pb Dalam Akar, Daun dan Kulit batang Rhizophora apiculata

Berdasarkan pengukuran konsentrasi logam berat Cu dan Pb dalam akar,

daun dan kulit Rhizophora apiculata diperoleh hasil bahwa penyerapan logam Cu dan Pb dalam akar, daun dan kulit batang lebih tinggi di tingkat pohon daripada di

tingkat pancang. Hasil analisis secara lengkap disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Analisis Rata-Rata Kandungan Logam Berat Cu dan Pb dalam Akar, Daun dan Kulit Batang Rhizophora apiculata

Sampel Pancang Pohon

Cu (mg/kg) Pb (mg/kg) Cu (mg/kg) Pb (mg/kg)

Akar 19,23 0,53 21,84 1,27

(37)

Kulit Batang 9,74 0,36 15,30 1,80

Kandungan Logam Berat Cu dan Pb Pada Air dan Sedimen

Berdasarkan pengukuran konsentrasi logam Cu dan Pb pada air dan

sedimen di titik pengamatan, penyerapan logam Cu dan Pb tertinggi terdapat pada

tingkat pohon. Hasil analisis secara lengkap disajikan pada Tabel 3. Baku mutu air

laut untuk lingkungan pelabuhan secara lengkap disajikan pada Lampiran 2.

Sedangkan baku mutu sedimen disajikan pada Lampiran 3.

Tabel 3. Analisis Rata-Rata Kandungan Logam Berat Cu dan Pb pada Air dan Sedimen Rhizophoraapiculata dalam Mengakumulasi Logam Berat Cu dan Pb

Dari hasil perhitungan faktor biokonsentrasi (BCF) diketahui bahwa nilai

BCF tertinggi untuk logam Cu yaitu pada tingkat pancang dengan nilai 2345,10

dan nilai BCF terendah untuk logam Pb yaitu pada tingkat pancang dengan nilai

394,28.

(38)

Pembahasan

Kondisi Lingkungan Perairan

pH rata-rata pada titik pengukuran pancang yaitu 6,67 dan pH rata-rata

pada titik pengukuran pohon yaitu 6,33. Dari kisaran nilai derajat keasaman (pH)

pada kedua stasiun pengukuran sampel dapat disimpulkan bahwa perairan

mangrove Pantai Kuala Dewi bersifat asam. Kondisi di perairan mangrove

biasanya bersifat asam karena banyaknya bahan organik di kawasan itu. Bahan

organik juga mempengaruhi kandungan logam berat di perairan.

Pengukuran pH diperlukan karena perubahan nilai pH perairan dapat

menjadi indikator adanya limbah yang bersifat asam atau basa. pH mempengaruhi

konsentrasi logam berat di perairan. Kelarutan logam berat akan lebih tinggi pada

pH rendah, sehingga menyebabkan toksisitas logam berat semakin besar. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Hutagalung (1994) yang menyatakan bahwa penurunan

pH menyebabkan toksisitas logam berat semakin besar. Berdasarkan KEPMEN

LH No.51 Tahun 2004 (Lampiran 2) sebagai baku mutu yang dipakai untuk

kualitas air, pH perairan mangrove tersebut berada di bawah ambang batas yang

ditolerir.

Salinitas laut adalah konsentrasi total ion yang terdapat di perairan.

Salinitas berpengaruh terhadap kehidupan organisme perairan. Salinitas rata-rata

di titik pengambilan sampel pancang yaitu 27,3 ppt sedangkan salinitas rata-rata

di titik pengambilan sampel pohon yaitu 27,1 ppt. Menurut Hutagalung (1994),

bahwa nilai salinitas perairan laut mempengaruhi faktor konsentrasi logam berat

(39)

menyebabkan tingkat bioakumulasi logam berat pada organisme semakin

meningkat.

Berdasarkan KEPMEN LH No.51 Tahun 2004 (Lampiran 2) sebagai

baku mutu air laut, salinitas yang terkandung pada lokasi penelitian masih berada

di ambang batas normal. Perubahan salinitas juga mempengaruhi logam berat. Hal

ini sesuai dengan pernyataan Hutagalung (1994) yang menyatakan bahwa

penurunan salinitas perairan menyebabkan toksisitas logam berat semakin besar

dan sebaliknya semakin tinggi salinitas maka konsentrasi logam berat akan

semakin rendah.

Suhu udara rata-rata pada saat pengambilan sampel di titik pengukuran

tingkat pancang dan pohon cukup tinggi yaitu 32,30C dan 32,70C. Kisaran suhu

yang cukup tinggi ini disebabkan adanya intensitas cahaya matahari yang tinggi

pada saat dilakukannya pengukuran di lapangan sementara jumlah individu

tanaman yang ada tidak rapat.

Suhu air rata-rata pada saat pengambilan sampel di titik pengukuran

tingkat pancang dan pohon yaitu 270C dan 28,30C. Kisaran suhu air pada pancang

dan pohon ini tidak jauh berbeda dikarenakan pada titik pengukuran pancang

jumlah vegetasinya lebih rapat sehingga proyeksi tutupan tajuknya lebih besar.

Sedangkan pada titik pengukuran pohon jumlah vegetasinya agak jarang dan lebih

sedikit. Suhu mempengaruhi kandungan logam berat pada suatu lingkungan, hal

ini seperti yang dinyatakan oleh Hutagalung (1994) bahwa suhu yang tinggi akan

memberikan pengaruh terhadap peningkatan kandungan logam berat, naiknya

suhu pada perairan akan mempercepat reaksi dalam pembentukan ion-ion logam

(40)

Berdasarkan KEPMEN LH No.51 Tahun 2004 (Lampiran 2) sebagai

baku mutu yang dipakai untuk kualitas air, suhu perairan pada kedua stasiun

pengambilan sampel tergolong baik dan dapat mendukung kehidupan biota laut di

dalamnya. Adapun data mengenai kondisi lingkungan pengambilan sampel

terlampir (Lampiran 4).

Kandungan Logam Berat Cu dan Pb Dalam Akar Rhizophora apiculata

Dari hasil pengukuran sampel akar menggunakan atomic absorbsion spectrofotometer (AAS), diperoleh hasil bahwa akar pada pancang mampu menyerap kandungan logam Cu sebanyak 19,23 mg/kg, sedangkan akar pada

pohon menyerap kandungan logam Cu sebanyak 21,84 mg/kg. Pada pengukuran

logam Pb, akar pancang mengandung konsentrasi Pb sebesar 0,53 mg/kg, akar

pohon mengandung konsentrasi Pb sebesar 1,27 mg/kg.

Dari hasil diatas dapat disimpulkan bahwa akar pohon menyerap lebih

banyak logam Cu dan Pb dibandingkan dengan akar pancang. Hal ini disebabkan

pohon memiliki perakaran yang lebih banyak dan ukurannya yang lebih besar.

Bentuk akar pohon yang besar dan permukaan akar yang luas menyebabkan

bidang penyerapan akar pohon lebih banyak. Hal ini sesuai dengan pendapat

Arisandi (2008) yang menyatakan bahwa penyerapan logam berat oleh akar pohon

di pengaruhi sistem perakaran dan luasan permukaan akarnya. Pohon bakau

mempunyai tekanan osmosis tinggi dalam cairan selnya, dan karena itu sistem

akarnya berdaya absorbsi lebih tinggi.

Akar-akar mangrove merupakan bagian tumbuhan yang pertama kali

menyerap logam. Selain menyerap logam pada sedimen, akar-akar mangrove juga

(41)

menyebabkan logam berat yang larut pada sedimen maupun pada perairan ditarik

oleh ujung-ujung akar. Brooks (1997) mengatakan akumulasi logam ke dalam

akar tumbuhan melalui bantuan transpor molekul dalam membran akar kemudian

akan membentuk transpor logam kompleks yang menembus xilem dan terus

menuju sel daun.

Kandungan Logam Berat Cu dan Pb Dalam Daun Rhizophora apiculata

Daun yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah campuran dari

daun muda pada pucuk dan daun tua pada pangkal ranting. Kandungan logam

pada daun di tingkat pancang dan pohon memiliki nilai yang beragam. Pancang

R. apiculata mampu menyerap logam Cu dengan rata-rata 55,84 mg/kg, sedangkan pada tingkat pohon R. apiculata mampu menyerap logam Cu dengan rata-rata 57,46 mg/kg. Perbedaan yang signifikan juga dapat dilihat pada

penyerapan logam Pb. Pada pancang, daun mengandung Pb sebanyak 1,42 mg/kg

sedangkan daun pada pohon mengandung Pb sebanyak 2,68 mg/kg.

Akumulasi logam paling banyak ditemukan di bagian daun jika

dibandingkan dengan bagian-bagian mangrove lainnya, hal ini merupakan salah

satu proses adaptasi mangrove terhadap logam berat yaitu dengan melakukan

lokalisasi pada salah satu bagian tumbuhan dalam hal ini yaitu daun. Lokalisasi

adalah proses pengumpulan logam berat pada salah satu organ tumbuhan. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Fitter dan Hay (1991) yang mengatakan bahwa

mekanisme yang mungkin dilakukan oleh tumbuhan untuk menghadapi

konsentrasi toksik adalah dengan melakukan lokalisasi secara intraseluler maupun

(42)

Kandungan logam berat pada daun merupakan yang terbesar karena daun

merupakan organ tumbuhan yang paling peka terhadap logam berat. Masuknya

logam berat pada daun dapat berasal dari xilem yang kemudian diedarkan ke

seluruh tubuh tumbuhan atau terpapar unsur logam berat dari udara. Logam berat

Pb menempel di permukaan daun kemudian masuk melalui stomata dan berikatan

dengan kloroplas.

Bentuk adaptasi mangrove lainnya terhadap logam berat adalah dengan

menyimpan logam berat pada daun yang lebih tua atau ekskresi. Daun yang tua

tersebut akan mengeluarkan kelebihan logam tersebut melalui proses pengguguran

daun-daun yang tua kemudian menggantinya dengan daun yang muda. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Fitter dan Hay (1991) yang mengatakan bahwa

ekskresi, secara aktif melalui kelenjar pada tajuk atau secara pasif melalui

akumulasi pada daun-daun tua yang diikuti dengan absisi (pengguguran) daun.

Kandungan Logam Berat Cu dan Pb Dalam Kulit batang Rhizophora apiculata

Untuk kandungan logam pada kulit, pancang mampu menyerap logam

Cu dengan rata-rata 9,74 mg/kg sedangkan pohon menyerap logam Cu dengan

rata-rata 15,30 mg/kg. Dibandingkan dengan logam Cu, konsentrasi penyerapan

logam berat Pb pada tingkat pancang dan pohon lebih sedikit. Logam Pb lebih

sedikit diserap karena sifat translokasinya yang rendah. Translokasi meliputi

gerakan berbagai materi dalam tubuh tumbuhan. Kulit pancang menyerap Pb lebih

sedikit dari kulit pohon yaitu 0,36 mg/kg sedangkan kandungan logam pada kulit

(43)

Perbedaan diameter batang pohon dan usia pohon menentukan

banyaknya logam berat dan zat-zat lain yang terakumulasi di dalam pohon

tersebut. Semakin besar diameter batang pohon maka usia pohon juga semakin tua

sehingga akumulasi zat-zat yang terdapat di dalam pohon tersebut semakin besar.

Data mengenai diameter dan tinggi sampel pancang maupun pohon tercantum

pada Lampiran 4.

Jumlah logam berat yang diserap di akar mangrove berkurang kadarnya

ketika sudah sampai di batang mangrove karena logam tersebut sudah

ditranslokasikan ke bagian tanaman lain melalui xilem dan diakumulasikan di

daun-daun tua yang akan mengalami absisi daun sehingga kadar logam berat yang

tertinggal di batang sedikit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Priyanto dan

Prayitno (2006) yang mengatakan bahwa mekanisme penyerapan logam berat

pada tanaman melalui akar dapat dibagi menjadi tiga proses yaitu penyerapan

logam berat oleh akar, kedua melalui translokasi logam dari akar ke bagian

tanaman lain melalui jaringan pengangkut (xilem) dan ketiga lokalisasi logam

pada sel dan jaringan yang bertujuan untuk menjaga agar logam tidak

menghambat metabolisme tanaman.

Kandungan Logam Berat Cu dan Pb Pada Air dan Sedimen

Kandungan logam berat Cu pada sampel air pancang dan pohon

bervariasi namun tidak menunjukkan perbedaan nilai yang cukup jauh.

Kandungan logam Cu pada sampel air pancang adalah 0,04 mg/L, sedangkan

kandungan logam Cu pada sampel air pohon adalah 0,06 mg/L. Logam Pb yang

(44)

dengan logam Cu. Air pancang mengandung logam Pb 0,01 mg/L dan air pohon

mengandung logam Pb 0,01 mg/L.

Karena menurut KEPMEN KLH No 51 Tahun 2004 (Lampiran 2) baku

mutu air laut untuk biota laut tidak boleh mengandung logam Cu dan Pb melebihi

0,008 mg/L maka kandungan logam pada titik pengambilan sampel pancang dan

pohon R. apiculata di hutan mangrove Kuala Dewi masih berada di bawah ambang batas baku mutu yang telah ditetapkan KEPMEN KLH No 51 Tahun

2004.

Menurut Bryan (1984) logam berat yang masuk ke sistem perairan, baik

di sungai maupun lautan akan dipindahkan dari badan airnya melalui tiga proses

yaitu pengendapan, adsorbsi, dan absorbsi oleh organisme-organisme perairan.

Pada saat buangan limbah industri masuk ke dalam suatu perairan maka akan

terjadi proses pengendapan dalam sedimen. Hal ini menyebabkan konsentrasi

bahan pencemar dalam sedimen meningkat. Logam berat yang masuk ke dalam

lingkungan perairan akan mengalami pengendapan, pengenceran dan dispersi,

kemudian diserap oleh organisme yang hidup di perairan tersebut.

Kandungan logam sedimen pada tingkat pancang dan pohon memiliki

perbedaan nilai yang cukup jauh dimana pancang Cu mengandung 1,24 mg/kg

sedangkan pohon mengandung logam Cu 2,21 mg/kg. Pada logam Pb terdapat

perbedaan yang cukup signifikan juga dimana pancang mengandung 1,23 mg/kg

sedangkan pohon mengandung 2,27 mg/kg. Berdasarkan IADC/CEDA (1997)

kandungan logam berat Pb dan Cu pada sedimen di lokasi pengambilan sampel

masih berada di bawah nilai level target, yang berarti logam berat yang ada di

(45)

Pada sedimen yang berada di sekitar pohon logam Pb yang terkandung

lebih banyak jika dibandingkan dengan logam Cu. Hal ini mungkin disebabkan

karena pada lokasi pengambilan sampel pohon sedimen yang berada di sekitarnya

banyak tercemari logam Pb dan potensi buangan Pb ke perairan akibat aktivitas

manusia lebih besar daripada Cu.

Rata-rata kandungan logam berat di air lebih sedikit jika dibandingkan

dengan kandungan logam di dalam sedimen. Hal ini disebabkan karena kelarutan

logam di air cukup rendah sehingga kadarnya relatif sedikit. Hal ini juga didukung

oleh pernyataan Sutamihardja dkk (1982) yang mengatakan bahwa salah satu

sifat dari logam berat adalah mudah terakumulasi pada sedimen, sehingga

konsentrasinya selalu lebih tinggi dari konsentrasi logam dalam air. Selain itu

sedimen mudah tersuspensi karena pergerakan masa air yang akan melarutkan

kembali logam yang dikandungnya ke dalam air, sehingga sedimen menjadi

sumber pencemar potensial dalam skala waktu tertentu.

Faktor Biokonsentrasi (BCF) Untuk Menilai Kemampuan Rhizophoraapiculata dalam Mengakumulasi Logam Berat Cu dan Pb

Faktor biokonsentrasi (BCF) adalah konsentrasi suatu senyawa di dalam

suatu organisme percobaan dibagi dengan konsentrasi senyawa tersebut dalam

medium air satuannya (L/kg). Untuk mendapatkan faktor biokonsentrasi dari

R. apiculata maka kandungan logam berat Cu dan Pb dari akar, kulit batang dan daun dibagi dengan konsentrasi logam berat Cu dan Pb pada air dari kedua

stasiun. Faktor biokonsentrasi dihitung untuk melihat kemampuan

(46)

Dari Tabel 4 diatas dapat dilihat bahwa nilai BCF Cu pada pancang

Rhizophora apiculata lebih tinggi daripada tingkat pohon jenis R. apiculata yaitu 2345,10. Sedangkan nilai BCF pada logam Pb lebih tinggi pada tingkat pohon

yaitu 821,43. Data dasar kandungan logam berat pada tiap-tiap bagian pancang

atau pohon tercantum di Lampiran 3.

Berdasarkan Tabel 4, dapat disimpulkan bahwa tingkat pancang lebih

efektif dalam menyerap logam Cu sedangkan tingkat pohon lebih efektif dalam

menyerap logam Pb. Cu merupakan unsur hara mikro yang dibutuhkan tanaman

walaupun dalam jumlah yang sedikit. Pancang merupakan tingkat permudaan

yang masih membutuhkan banyak unsur hara yang dapat menunjang proses

pertumbuhannya serta proses fisiologisnya. Tingginya konsentrasi Cu pada

pancang menunjukkan kebutuhan fisiologi dari pancang itu sendiri.

Logam Pb pada dasarnya merupakan unsur toksik yang sama sekali

tidak dibutuhkan oleh tanaman. Itulah sebabnya pancang hanya mampu menyerap

sedikit logam Pb karena diameter batang, besarnya akar serta jumlah daun yang

dimilikinya masih sedikit. Sedangkan pohon mampu menyerap lebih banyak

logam Pb karena diameter batangnya yang besar, akarnya yang banyak serta

jumlah daunnya yang banyak mampu menjadi tempat menyimpan logam Pb

dalam muatan besar.

Nilai BCF Cu lebih besar dari nilai BCF Pb, hal ini disebabkan karena

Cu merupakan unsur hara mikro bagi tumbuhan yang dibutuhkan dalam jumlah

sedikit namun dapat menghambat metabolisme suatu tanaman jika berada dalam

(47)

merupakan unsur hara essensial bagi tanaman dan menjadi toksik bagi tanaman

bila konsentrasi yang terkandung tinggi.

Nilai BCF Cu pada pancang dan pohon tergolong tinggi yaitu 2345,10

dan 1595,54. Nilai BCF Pb pada pancang dan pohon tergolong sedang yaitu

394,29 dan 821,43. Dari faktor biokonsentrasi diatas dapat disimpulkan bahwa

jenis Rhizophora apiculata memiliki kecenderungan untuk menyerap dan mengakumulasi logam berat yang terkandung di dalam habitat tempat tinggalnya.

Perbedaan penyerapan logam pada bagian tumbuhan disebabkan karena

mekanisme penyerapan logam pada tumbuhan itu sendiri yang berbeda satu sama

lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan Priyanto dan Prayitno (2006) yang

menyatakan bahwa mekanisme penyerapan logam berat pada tanaman melalui

akar dapat dibagi menjadi tiga proses yang sinambung. Pertama adalah

penyerapan logam berat oleh akar. Kedua, melalui translokasi logam dari akar ke

bagian tanaman lain, Ketiga, lokalisasi logam pada sel dan jaringan yang

(48)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Kandungan logam Cu rata-rata pada akar, daun dan kulit pancang Rhizophora apiculata berturut-turut adalah 19,23 mg/kg, 55,84 mg/kg dan 9,74 mg/kg. Kandungan logam Cu rata-rata pada akar, daun dan kulit pohon R. apiculata

berturut-turut adalah 21,84 mg/kg, 57,46 mg/kg dan 15,30 mg/kg. Kandungan

logam Pb rata-rata pada akar, daun dan kulit pancang R. apiculata berturut-turut adalah 0,53 mg/kg, 1,42 mg/kg dan 0,36 mg/kg. Kandungan logam Pb

rata-rata pada akar, daun dan kulit pohon R. apiculata adalah 1,27 mg/kg, 2,68 mg/kg dan 1,80 mg/kg.

2. Nilai BCF Cu pada pancang R. apiculata lebih tinggi daripada tingkat pohon jenis R. apiculata yaitu 2345,10. Sedangkan nilai BCF pada logam Pb lebih tinggi pada tingkat pohon yaitu 821,43.

Saran

Rhizophora apiculata merupakan salah satu jenis mangrove yang dapat mengakumulasi logam Cu dan Pb sehingga perlu dilakukan peningkatan jumlah

(49)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, A . 2003. Hutan dan Kehutanan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Arisandi, P. 2008. Bioakumulasi Logam Berat Dalam Pohon Bakau (Rhizophora mucronata) dan Pohon Api-Api (Avicennia marina). http ://ecoton.terranet.or.id [1 April 2014]

Bengen, D. G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB Press. Bogor.

BPLHD Jawa Barat. 2008. Hasil Analisis Kualitas Air Sungai Cikijing. Jawa Barat.

Brooks, R. R. 1989. Terrestrial Higher Plants Which Hyperaccumulate Metal Elements. A Review of Their Distribution, Ecology And Phytochemistry. Biorecovery.

Bryan, G.W. 1984. Heavy Metal Contamination in The Sea. Marine Pollution Bulletin. London Academic Press. London.

Darmono. 1995. Logam Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. UI Press. Jakarta.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya Dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Fardiaz, S. 2005. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta.

Fitter, A. H dan R.K.M. Hay. 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. UGM Press. Yogyakarta.

Hutagalung. 1994. Kandungan Logam Berat Dalam Sedimen di Kolam Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta. Makalah Penunjang Seminar Pemantauan Pencemaran Laut Pusat Penelitian Dan Pengembangan Oseanologi. LIPI. Jakarta.

Lindsey, H.D., M.M. James, and M.G. Hector. 2004. An Assessment of Metal Contamination in Mangrove Sediments and Leaves From Punta Mala Bay, Pacific Panama. Marine Pollution Bulletin. London Academic Press. London.

Macnae, W. 1978. A General Account of The Fauna and Flora Mangrove Swamp and Forest in The Indo Pacific Region. Adv. Mor .Biol. 6 : 73-270.

(50)

Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.

Merian, E. 1994. Toxic Metal In The Environment. Vch verlagsgeselischattmbh. Weinheim.

Moore, J.W., and S. Ramamoorthy. 1984. Organic Chemicals in Natural Waters – Applied Monitoring and Impact Assessment. New York – Berlin – Heidelberg – Tokyo, Springer Verlag.

Munawar, A dan Rina. 2010. Kemampuan Tanaman mangrove Untuk Menyerap

Logam Merkuri Dan Timbal. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan Vol. 2 No. 2

Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia. Jakarta.

Panjaitan, G. Y. 2009. Akumulasi Logam Berat Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb) Pada Pohon Avicennia marina di Hutan Mangrove. USU Press. Medan. Perales, I. 2003. Culture Media of Aeromonas spp. and Plesiomonas shigelloides.

Handbook of Culture Media for Food Microbiology.

Priyanto, B., dan J. Prayitno. 2006. Fitoremediasi Sebagai Sebuah Teknologi Pemulihan Pencemaran, Khusus Logam Berat. [1 April 2014]

Sanusi, H. S. 2006. Kimia Laut Proses Fisik Kimia dan Interaksinya Dengan Lingkungan. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB Press. Bogor.

Soemirat, J. 2003. Toksikologi Lingkungan. UGM Press. Yogyakarta.

Subiandono, E, M. Bismark, dan N. M. Heriyanto. 2013. Kemampuan

Avicennia Marina (Forsk.) Vierh. dan Rhizophora apiculata Bl. Dalam Penyerapan Polutan Logam Berat Pusat Litbang Konservasi Dan Rehabilitasi. Bogor.

Sukardjo, S. 2002. Integrated Coastal Zone Management (ICZM) in Indonesia: A View from a Mangrove Ecologist. Southest Asian Studies. Vol. 40 No.2, September 2002.

Supriharyono, 2007. Konservasi Ekosistem Sumber Daya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

(51)

Tomlinson, C. B. 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge Tropical Biology Series. Cambridge University Press. Cambridge, New York, U.S.

Vogel. 1994. Qualitative Inorganik Analysis. Department of Chemistry Queens University. Belfast, N. Ireland.

Walsh, G.E. 1974. Mangrove, A Review. In : Ecology of Halophytes sp. New York Academic Press. New York.

(52)

Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian

Pengambilan Sampel Rhizophora apiculata

(53)

Lampiran 1. Lanjutan

Penyaringan Sampel Air

(54)

Lampiran 1. Lanjutan

Tanur Untuk Proses Pengabuan

(55)

Lampiran 1. Lanjutan

Penambahan HNO3 Pada Sampel Kering

(56)

Lampiran 2. KEPMEN LH No 51. Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut

10 PAH (Poliaromatik hidrokarbon) mg/l 0.003

11 Senyawa fenol total mg/l 0.002

18 Kromium heksavalen (Cr(VI)) mg/l 0.005

(57)

20 Kadmium (Cd) mg/l 0.001

1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai dengan metode yang digunakan)

2. Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada, baik internasional maupun nasional.

3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim)

4. Pengamatan oleh manusia (visual).

5. Pengamatan oleh manusia (visual). Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan tipis (thin layer) dengan ketebalan 0,01mm

6. Tidak bloom adalah tidak terjadi pertumbuhan yang berlebihan yang dapat menyebabkan eutrofikasi. Pertumbuhan plankton yang berlebihan

dipengaruhi oleh nutrient, cahaya, suhu, kecepatan arus dan kestabilan plankton itu sendiri

7. TBT adalah zat antifouling yang biasanya terdapat pada cat kapal

a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman

euphotic

b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman

c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2oC dari suhu alam. d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan pH

e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman

f. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman.

(58)

Lampiran 3. IADC / CEDA Tahun 1997 Tentang Baku Mutu Logam Berat

a. Level target. Jika konsentrasi kontaminan yang ada pada sedimen memiliki

nilai yang lebih kecil dari nilai level target, maka substansi yang ada pada

sedimen tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan.

b. Level limit. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen memiliki nilai

maksimum yang dapat ditolerir bagi kesehatan manusia maupun ekosistem.

c. Level tes. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen berada pada

kisaran nilai antara level limit dan level tes, maka dikategorikan sebagai

tercemar ringan.

d. Level intervensi. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen berada pada

kisaran nilai antara level tes dan level intervensi, maka dikategorikan sebagai

tercemar sedang.

e. Level bahaya. Jika konsentrasi kontaminan berada pada nilai yang lebih besar

dari baku mutu level bahaya maka harus dengan segera dilakukan pembersihan

(59)

42

Lampiran 3. Data Dasar Konsentrasi Logam Berat

(60)
(61)

44

NAMA SAMPEL K. AAS VOL. PELARUT BERAT SAMPEL K. SEBENARNYA RATA - RATA

Air Pohon Cu 1 0,33 35 100 0,12 0,06

Air Pohon Cu 2 0,10 35 100 0,04

Air Pohon Cu 3 0,07 35 100 0,03

Air Pancang Pb 1 0,03 35 100 0,01 0,01

Air Pancang Pb 2 0,01 35 100 0,003

Air Pancang Pb 3 0,01 35 100 0,003

Air Pohon Pb 1 0,02 35 100 0,01 0,01

Air Pohon Pb 2 0,01 35 100 0,003

Air Pohon Pb 3 0,03 35 100 0,01

(62)

Lampiran 4. Tally Sheet Pengambilan Sampel di Lapangan

Tally sheet pengambilan sampel pancang

TALLY SHEET PENGAMBILAN SAMPEL PANCANG PLOT

Tally sheet pengambilan sampel pohon

Gambar

Gambar 1. Bakau Minyak (Rhizophora apiculata)
Gambar 2.  Lokasi pengambilan sampel dan Peta lokasi penelitian
Tabel 1. Analisis Parameter Kualitas Lingkungan Perairan
Tabel 3. Analisis Rata-Rata Kandungan Logam Berat Cu dan Pb pada Air dan Sedimen

Referensi

Dokumen terkait

Uji Korelasi Non Parametrik Religiositas dengan Sikap terhadap Kenakalan Remaja.

Atas kasih karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “UPAYA INDONESIA DALAM PENYELESAIAN KONFLIK LAUT CINA SELATAN” ini.. Adapun skripsi ini dibuat sebagai

Bagi orang tua remaja putri agar dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang gizi dengan mengikuti penyuluhan tentang gizi atau berkonsultasi kepada ahli

Hasil: hasil penelitian ini menunjukan bahwa angka keberhasilan pemberian ASI eksklusif pada ibu post SC di RS Nur Hidayah Bantul adalah 85%.. Kata kunci :ASI eksklusif, Bayi

Berdasarkan data evaluasi dari 4 ahli yaitu 1 ahli atletik, ahli pembelajaran, ahli permainan dan ahli media terdapat beberapa revisi terhadap produk yang dikembangkan,

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT. RESOR

Berdasarkan hasil pengumpulan data dilapangan mengenai peran guru bimbingan dan konseling dalam membentuk sikap belajar di SMP Negeri 1 Darusalam bahwa di sekolah SMP Negeri 1

Sedangkan untuk miskonsepsi pengertian, miskonsepsi penggunaan konsep dan miskonsepsi contoh-contoh konsep tidak ada siswa yang mengalami (0 %). Tabel 4 Tabel Distribusi