• Tidak ada hasil yang ditemukan

SASTRA SUFI DAN NEGARA ORDE BARU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SASTRA SUFI DAN NEGARA ORDE BARU"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

SASTRA SUFI DAN NEGARA ORDE BARU

Oleh Aprinus Salam

Fakultas Ilmu Budaya UGM

1. Pengantar

Pada tahun 1980-an hingga 1990-an awal di Indonesia, atau lebih khusus lagi Yogya, pernah terjadi apa yang disebut sebagai bangkitnya sastra sufi. Kebangkitan dan kegairahan tersebut tentu tidak hadir sebagai satu kenyataan tunggal, terlepas dari berbagai faktor internal maupun eksternal yang meliputinya. Tulisan berikut ingin melihat bahwa kebangkitan dan kegairahan tersebut terkait dengan situasi sosial politik yang sedang terjadi. Apalagi, perlu diingat, bahwa bangkitnya sastra sufi tersebut justru ketika negara ada dalam "cengkraman" rezim Orde Baru yang demikian dominan dan hegemonik.

Seperti diketahui, sastra sufi, pada tataran nilai bukan saja sebagai gerakan kesastraan, tetapi lebih luas dari itu adalah pula gerakan sosial, politik, dan kebudayaan.1 Hal ini terkait dengan satu teori umum yang mengatakan bahwa pada

dasarnya sufisme adalah kandungan terdalam dari ajaran Islam. Pernyataan ini dapat ditemukan pada hampir sebagian besar buku-buku yang membahas tentang sufisme.2 Beberapa pakar lebih senang menyebut sufisme sebagai spritualitas Islam.3

Berbicara tentang sastra sufi, pada tingkat tertentu tidak dapat dilepaskan dari wacana keislaman secara umum. Berbicara tentang keislaman adalah pula berbicara tentang pemeluknya (masyarakat). Soedjatmoko menambahkan jika ingin mempelajari Indonesia abad ke-20, pelajarilah dua tradisi besar yaitu Jawa dan Islam.4

Dengan demikian, sadar atau tidak, penyair-penyair yang berdasarkan pilihan tertentu menulis sastra sufi secara tersirat dan tersurat sedang melakukan sesuatu yang bersifat gerakan kesastraan, kultural, sosial, dan politik berdasarkan keyakinan keislamannya. Konteks ini akan sangat terkait dengan wacana yang sedang berkembang untuk setiap situasi sosial, politik, dan kebudayaan tempat di mana sastra sufi tersebut menemukan kegairahannya.

1 Bandingkan dengan A.J. Arberry dalam bukunya Sufism: An Account of the Mystic of Islam.

London: George Allen & Unwin Ltd. 1979, khususnya pada bagian pengantar.

2 Sebagai misal Nicholson, Tasawuf Menguak Cinta Ilahiah, 1987; Martin Lings, Membedah Tasawuf,

1987; Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, 1986; Trimingham, The Sufi Orders in Islam, 1971; Al-Kalabadzi, Ajaran Kaum Sufi, 1989, Titus Burckhardt, Mengenal Ajaran Kaum Sufi, 1984; K.S.K. Khan, Cakrawala Tasawuf, 1987.

3 John Bousfield, "Islamic Philosophy in East Asia". dalam M.B. Hooker (ed.), Islam in

South-East Asia, 1983. h. 98-100. Taufik Abdullah, "Terbentuknya Paradigma Baru: Sketsa Wacana Islam Kontemporer", dalam Mark R. Woodard, Jalan Baru Islam Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, 1999. h. 85.

4 Soedjatmoko, "Indonesia: Problems and Opportunities", dalam Australian Outlook. Vol.21 Number

(2)

2. Islam (Sufistik) Indonesia

Barangkali, tidak lagi perlu diuraikan secara panjang lebar tentang "jenis" Islam yang masuk dan menjadikan Indonesia beragama mayoritas Islam.5 Paling tidak

yang perlu disimpulkan adalah bahwa Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam sufistik, dan ini pula yang menyebabkan Islam sufistik secara cepat dapat diterima oleh masyarakat Indonesia karena dianggap memiliki "kesamaan nafas" dengan kepercayaan sebelumnya terutama kepercayaan Hindu dan Budha.

Berangkat dari kenyataan tersebut, tidak mengherankan jika dalam banyak hal "prilaku politik" orang Indonesia, khususnya Jawa, juga dipengaruhi oleh doktrin-doktrin sufistik. Kerajaan-kerajaan di Aceh dan Mataram Yogya adalah contoh-contoh yang menonjol tentang aplikasi ajaran-ajaran sufistik diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Kenyataan itu juga tidak terlepas dari satu asumsi umum yang banyak diyakini bahwa pada dasarnya Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik, Islam secara inheren adalah agama politik.Kesimpulan ini cukup populer di kalangan ilmuwan sosial.6 Memang, karena pengaruh Barat kecenderungan tersebut semakin

cair. Indonesia, misalnya, yang tidak mengaku sebagai negara agama (teokrasi), tetapi juga tidak negara sekuler, dalam praktiknya memisahkan urusan agama dan negara (politik). Paling tidak agama dan negara memiliki hubungan yang sangat erat, bahkan di dalam masyarakat modern sekalipun negara dapat berfungsi sebagai agama. Dengan begitu, sadar atau tidak, sebetulnya sebagian orang yang beragama Islam secara relatif mengaktualitaskan keyakinan beragamanya, khususnya dalam kehidupan berpolitik dan kekuasaan, dan untuk keperluan tulisan ini, berkesastraan.

Dalam sejarahnya, salah satu sebab munculnya sufisme adalah adanya perselisihan politik yang tajam dan masyarakat tidak tahu harus "berpihak" kemana, atau kalau ikut berpihak diperkirakan akan menambah permasalahan. Dengan begitu, kondisi politik yang kacau tersebut menyebabkan sekelompok masyarakat "mengundurkan diri" dalam partisipasi politiknya dan secara serius mencoba melakukan pendalaman terhadap penghayatan riligiusitas dan masalah ketuhanan. Sikap tidak berpolitik tersebut, berdasarkan asumsi klasik, sesungguhnya juga dianggap keputusan politik.

5 Untuk itu antara lain lihat tulisan A.H. Jonhs, "Islam di Asia Tenggara: Masalah Perspektif" maupun

G.W.J. Drewes, "Pemahaman Baru tentang Kedatangan islam di Indonesia" dalam Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique, Yasmin Hussain (eds.), Islam di Asia Tenggara Perspektif Sejarah. 1989; A.H. Jonhs, "Tentang Kaum Mistik Islam dan Penulisan Sejarah" dalam Taufik Abdullah (ed.)1987). Bandingkan dengan Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Yarekat, Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, 1995. h. 336-337.

6 Pada tataran konseptual lihat B. Lewis, Bahasa Politik Islam, (terjemahan dari The Political Language

(3)

Sebetulnya paling tidak ada empat kemungkinan kondisi sosial politik yang secara langsung atau tidak ikut mengondisikan kehadiran gerakan sufistik. Pertama, kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang secara sosial politis dalam keadaan kacau. Hal ini seperti telah di singgung di depan. Kedua, ketika negara dalam keadaan kuat dan memanfaatkan kekuataannya untuk mempertahankan kekuasaannya dengan cara menekan masyarakat. Dalam kondisi ini akan muncul sikap-sikap perlawanan dalam tubuh masyarakat.7

Ketiga, ketika masyarakat hidup dalam kemakmuran atau kemiskinan yang berlebihan. Masyarakat yang hidup dalam kemakmuran tersebut kemudian memperlihatkan hidup secara berlebihan dan mulai memperlihatkan sifat-sifat kesombongan, ketakaburan, atau bahkan sekuler. Secara paralel adalah terjadinya kemiskinan yang berlebihan yakni munculnya kekufuran, atau bahkan masyarakat terpaksa melakukan berbagai cara (yang bisa jadi tidak benar) dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Ini juga berangkat dari doktrin umum sufisme yang secara prinsip selalu ingin mengembalikan kehidupan berdasarkan prinsip tauhid.

Keempat, masih "dalam rangka" politis yaitu upaya memperebutkan dominasi ideologis dalam suatu kenegaraan. Hal ini terjadi ketika satu pihak merasa lebih benar sehingga merasa lebih berhak mengusai ideologi masyarakat. Sikap merasa lebih benar ini mendorong sikap-sikap politik untuk "menyelamatkan" masyarakat yang sedang dikuasai oleh satu ajaran ideologis (mistisisme atau sufisme) tertentu yang dianggap sesat. Kasus Siti Jenar berhadapan dengan Wali Songo di Jawa pada abad ke-16 dan kasus ajaran Hamzah Fansuri dan Nurrudin Araniri di Aceh pada abad ke-17 memperlihatkan kejadian tersebut.8 Persoalan ini merupakan persoalan

ortodoksi, dan di lain pihak heterodoksi, yang mana sesuatu menjadi ortodoksi karena mendapat dukungan langsung dari penguasa. Karena mendapat dukungan langsung dari penguasa, ia menjadi mayoritas, mainstream. Di luar mainstream, maka ajaran tersebut secara "sosial-politis" dianggap tidak benar.9

Alwi Shihab10 dalam disertasinya mengatakan bahwa secara umum kecenderungan

sufisme masyarakat Indonesia, dan secara khusus Jawa, pada akhirnya berafiliasi dan didominasi oleh sufisme suni. Kesimpulan Alwi berdasarkan pada asumi bahwa peran penting dari proses Islamisasi Jawa adalah peran Wali Songo. Padahal, menurut Alwi berdasarkan kajiannya terhadap ajaran-ajaran Wali Songo, sufisme Wali Songo adalah sufisme suni. Hal ini didukung oleh Simuh11 yang mengatakan bahwa paham

sufisme filosofis dengan konsep manunggaling kawula gusti-nya tidak berkembang

7 Bandingkan dengan tulisan Moeslim Abdurrahman dalam "Sufisme di Kediri", dalam Dialog Edisi

Khusus, "Sufisme di Indonesia", Maret 1978. h. 23-40.

8 Untuk peristiwa sosial politis Siti Jenar lihat karya Abdul Munir Mulkhan, Syekh Siti Jenar

Pergumulan Islam-Jawa. 2000, sedang kasus Hamzah Fansuri yang ajarannya diharamkan oleh Nurruddin lihat karya S.M.N. Al-Alattas, The Mysticism of Hamzah Fansuri. 1970.

9 Lihat tulisan Martin van Bruinessen, "Gerakan Sempalan di Kalangan Umat Islam Indonesia: Latar

Belakang Sosial Budaya" dalam Ulumul Qur'an. Vol. III No. 1, 1992. h.16-27.

10 Alwi Shihab, Islam Sufistik: "Islam Pertama" dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia, 2001.

(4)

dalam tasawuf pesantren di Jawa. Paham ini hanya berkembang dalam kesastraan atau kepustakaan Jawa.

Doktrin sufisme suni adalah khalik dan makhluk tersebut bukan sesuatu yang dapat menjadi satu. Sufisme suni lebih menekankan pada aspek transendensi Tuhan, Tuhan mengatasi (bukan di luar atau di dalam) segala sesuatunya. Posisi manusia sederajat dan sama saja, karena segala sesuatunya ada dalam kendali Tuhan. Hanya Tuhanlah yang mengatasi segala sesuatunya. Memang, ajaran ini meyakini bahwa pada dasarnya pemimpin dan rakyat itu adalah dua fungsi entitas yang berbeda yang tidak dapat disamakan. Doktrin ini dianggap yang paling syah bagi Islam Indonesia dan, terutama, diajarkan di pesantren-persantren di seluruh Indonesia.12

Konsep terebut berbeda dengan doktrin wahdatul wujud (filosofis). Wahdatul wujud meyakini bahwa Tuhan dan manusia yang fana pada dasarnya mengalami persatuan. Dalam kondisi inilah konsep Ana al Haq-nya Al-Hallaj, dan kemudian ditransfer oleh Siti Jenar dengan konsep "Aku adalah Tuhan"-nya harus dipahami. Doktrin wahdatul wujud menekankan aspek imanensi Tuhan, Tuhan dapat hadir dan "menjadi" dalam manusia. Doktrin ini sebagian besar mengalami osmosis dengan mistisisme Jawa, dan secara dominan dapat disebut sebagai Islam Jawa abangan.

Implikasi derivatif dan simbolik dari doktrin ini adalah bahwa kekuasaan tertinggi itu ada di tangan Tuhan, dan secara simbolik kekuasaan tertinggi itu ada di tangan manusia (rakyat). Padahal, negara dan masyarakat (rakyat) Indonesia mengakui bahwa kekuasaan (kedaulatan) tertinggi ada di tangan rakyat.Kalimat lengkapnya adalah Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (UUD '45, pasal I ayat 2). Rumus kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat ini sangat mungkin merupakan eksplorasi bawah sadar dari para founding fathers Indonesia, yang dapat dipastikan sebagian besar orang Jawa, sebagai orang Islam-sufistik, atau dalam sisi lain Islam Jawa.13

Sesuai dengan konteks teoretik tulisan ini bisa jadi kalimat tersebut merupakan kompromi antara Islam sufi filosofis dan suni. Dalam praktiknya, wacana yang cukup dominan adalah rakyat menghendaki kedaulatan memang ada di tangannya, sementara para pemimpin lebih menekankan pada pernyataan kedua dari UUD '45 tersebut. Dalam kehidupan yang lebih nyata pada masa Orde Baru, yang berdaulat bukan rakyat, bukan pula wakilnya di MPR, tetapi presiden, kekuasaan pusat. Institusi presiden demikian kuatnya mengatasi segala hal.

12 Lihat Zamakhsyari Dhafier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, 1984. h. 143.

13 Untuk kajian-kajian tentang kebudayaan dan Islam Jawa lihat Mulder (1983), Geertz (1981), de

(5)

Dengan demikian, terjadi perkembangan yang dikotomis antara wacana kesastraan (kepustakaan) pesantren dan kepustakaan kraton Jawa. Dikotomi inilah yang menjadi wacana perkelahian, yang mana para pemimpin Orde Baru, seperti diperli-hatkan Soeharto, dalam mengembangkan konsep kekuasaannya mengacu pada tradisi dan kepustakaan Jawa. Bukan kesamaan yang kebetulan dengan para pendiri Indone-sia juga Soeharto juga memberikan komentarnya tentang Pancasila. Soeharto mengatakan bahwa Pancasila digali dari alam pikiran nenek moyang. Nenek moyang yang dibayangkan Soeharto tentulah nenek moyang Jawa. Untuk membangun kekuasaan politiknya yang berbasis militer Soeharto banyak belajar dari konsep-konsep Mangkunegara.14Sementara itu, penyair-penyair sufi tahun 1980-an dan

1990-an awal, sekali lagi khususnya di Yogya,15 justru mengacu pada apa yang disebut

sebagai sastra pesantren.

3. Mataram Islam sebagai Model

Salah satu model perpolitikan Islam yang paling luas dibicarakan adalah konsep kerajaan Mataram Islam Kraton Yogyakarta. Orang Jawa, seperti yang dikaji B. Anderson, percaya bahwa kekuasaan politik itu bersifat kongkret, homogen, tentap jumlah keseluruhannya, dan tidak mempunyai implikasi-implikasi moral yang inheren.16Penguasa (raja) pada dasarnya adalah pusat mikrokosmos. Padahal

mikrokosmos dan makrokosmos adalah sesuatu saling mengadakan antara satu dan yang lain, keduanya saling bergantung keberadaannya. Itu artinya makrokosmos dan mikrokosmos adalah sesuatu yang sejajar, suatu identifikasi (penyamasesuaian).Banyak ahli yang mengatakan hal ini merupakan bentuk lanjut dari pengaruh Hindu. Memang, pada tataran universalitas, ada kesamaan tertentu antara doktrin Islam sufistik dan Hindu (sebagai sisa Majapahit). Itu pula yang menyebabkan Islam sufistik secara "mudah" dapat diterima dan terserap dalam budaya masyarakat Jawa.17

Dengan demikian, ketika kosep jumbuhing kawula gusti, menjadi keyakinan terdalam masyarakat (Jawa), maka sebetulnya keberadaan rakyat dan gusti merupakan entitas yang tak dapat dipisahkan, saling mengadakan dan memerlukan. Hal tersebut tampak pada kepustakaan Jawa Mistik Islam yaitu Serat Centhini dan Serat Cebolek.18Namun, berdasarkan kekuatan yang dimiliki gusti, kawula tidak lebih

sebagai perpanjangan tangan gusti.

14 Lihat Fachry Ali, Refleksi Paham "Kekuasaan Jawa" dalam Indonesia Modern, 1986. h. 150-212. Hal

ini akan didiskusikan lebih lanjut pada bagian lain tulisan ini.

15 Pernyataan ini tentu tetap dengan memperhitungkan bahwa tidak semua penyair pada waktu itu

berlatar belakang sastra pesantren. Istilah penyair dengan berlatar pesantren adalah mereka yang melakukan urbanisasi dari pedesaan Jawa, misalnya dari pedesaan Jawa Timur dan Jawa Tengah, dan kemudian bermukim dan menjadi penyair Yogya.

16 B.R.O.G. Anderson, "Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa" dalam Miriam

Budiardjo (ed.), Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. 1984. h. 51-52.

17 Lihat kajian Mulder, de Jong, Geertz, Hadiwijono, Woodward, R. Jay. Anderson, Soemarsaid, Facry

Ali.

18 Untuk Serat Centhini penulis merujuk karya suntingan yang diedit oleh Kamajaya dan Hadijaya,

(6)

Pandangan dunia tersebut secara umum watak kultural masyarakat Indonesia yang pada dasarnya memiliki karakter mitis. Kehidupan bermasyarakat dan bernegara dapat berjalan dengan baik, harmonis, sejauh negara dapat menjaga keseimbangan tersebut dengan mengondisikan negara yang tata tentrem kerta raharja, negeri subur makmur gemah ripah loh jinawi, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Akan tetapi, jika kondisi ini tidak terjadi maka negara dianggap tidak mampu memenuhi batin rakyat, dan akan terjadi desakan untuk memenuhi kebutuhan ini.

Di Indonesia, sufisme yang secara inheren diajarkan pada kelompok-kelompok tarekat, terbukti adalah kelompok masyarakat yang paling artikulatif dalam melakukan perlawanan terhadap kekuasaan yang tidak mampu menjaga keseimbangan tersebut, tidak mampu menjaga harmoni. Artikulasi tersebut biasa disebut perang suci atau jihad.19

Paling tidak dapat diambil kesimpulan bahwa sufisme mengajarkan pengikutnya untuk berani melakukan tindakan-tindakan progresif sesuai dengan prinsip-prinsip tauhid, sebagai kunci utama ajaran sufisme, agar masyarakat dan negara "kembali" dalam kehidupan yang benar, yang harmonis, yang berada dalam lindungan tauhid Allah. Dalam beberapa hal, prinsip-prinsip inilah yang dimainkan oleh para penyair sufi berhadapan dengan negara.

Sesungguhnya, sadar atau tidak, rezim Orde Baru yang mulai berkuasa pada 1967 (saat Soeharto dilantik jadi presiden) dan mengalami puncak kekuasaannya pada tahun 1980-an, pada tingkat nilai dan filosofis juga dijalankan dengan model politik budaya Mataraman tersebut. Bukan karena kebetulan Soeharto adalah orang Jawa Yogya, tetapi terlebih-lebih kondisi-kondisi umum wacana Islam, dalam proses pertarungan yang panjang, juga mendukung ke arah tersebut.20Sebagaimana

diketahui, Soeharto adalah manusia yang dibesarkan dalam budaya Jawa Mataram. Dalam pandangannya, yang namanya penguasa itu adalah raja. Sebagai seorang penguasa dengan konotasi raja itu maka segala sesuatu yang berada dalam wilayah kekuasaannya adalah hambanya.

Sebelumnya, perlu dijelaskan bahwa sebagai orang Jawa (Mataram) secara kebetulan Soeharto menjadi presiden dengan barisan militernya. Secara historis dan politis Soeharto mendapatkan legitimasi jika peran militer sangat kuat bagi konsolidasi Indonesia. Dalam kepemimpinnannya lebih lanjut, Soeharto mengembangkan konsep kesatria (terutama bagi militer) dalam pengertian tradisional. Kesatria yang dimaksud adalah orang yang yakin jika tindakannya adalah ungkapan dari kehendak Tuhan. Seorang menjadi kesatria jika dapat memenuhi Asta Bhrata (Delapan Kebajikan). Konsep ini secara tersirat muncul dalam doktrin militer khususnya sumpah ke-3.21

19 Lihat kajian Sartono Kartodirjo. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya, 1984.

20 Lihat catatan kaki No. 14.

(7)

Konsep kesatria analog dengan konsep Insal Kamil (Manusia Ideal, Manusia Semupurna) dalam sufisme walaupun tidak berlaku sepenuhnya karena Islam-sufistik Jawa, yang dalam banyak hal juga berwajah kebatinan, mengalami lokalisasi Jawa sehingga Islam sufistik Jawa tidak lagi dapat diandaikan seperti Islam sufistik dalam pengertian awalnya. Apalagi perlu diingat bahwa dalam sejarah militer di Indonesia,22militer selalu curiga kepada Islam yang dianggap memiliki potensi paling

besar dalam menggerogoti kekuasaannya. Secara umum Islam mengalami kondisi yang tidak menyenangkan dan dipojokkan. Menilik kesejarahannya, militer tampaknya memiliki trauma tersendiri terhadap Islam, khususnya mengingat pernah adanya gerakan-gerakan/pemberontakan yang ingin mendirikan negara Islam.

Itulah sebabnya, untuk memperkuat kekuasaannya, Soeharto sungguh-sungguh memegang militer (dan birokrasi) sebagai penyangga utama kekuasaannya. Donald K. Emmerson23membandingkan model kekuasaan yang dilakukan Soeharto dengan

Amangkurat I (memerintah 1646-1677). Walaupun dalam kondisi sosial politik yang berbeda, Amangkurat I secara sukses mampu membangun jaringan kekuasaannya pada masa pra-kolonial setara dengan apa yang dilakukan Soeharto yang memerintah dari 1966-1998.

Hal yang perlu digarisbawahi dari budaya politik Jawa yang menjadi orde tersebut adalah terjadinya penghisapan kekuatan-kekuatan luar ke dalam tubuh pemerintahan (sentralisasi kekuasaan). Terlepas dari munculnya beberapa implikasi, yang jelas birokrasi negara atau pemerintahan tumbuh dengan demikian hebatnya. Hampir tidak ada kekuatan yang aktif di luar pemerintahan Soeharto. Konsentrasi, raja sebagai pusat makro-kosmos, yang menjadi ciri penting dari budaya politik Jawa, memang tidak memperkenankan tumbuhnya kekuatan-kekuatan efektif di luar genggaman penguasa. Sebab, itu berarti terjadinya distribusi kekuasaan, yang dalam perspektif kekuasaan Jawa dianggap bisa menggerogoti kekuasaan pusat. Karena itulah, justru di masa Orde Baru, partisipasi masyarakat, khususnya partisipasi politik, mengalami krisis, atau pembekuan.24

Implikasi dari tidak adanya partisipasi politik adalah kehidupan demokrasi tidak berjalan dengan baik. Dalam kondisi itulah, tepatnya pada tahun-tahun 1980-an dan hingga 1990-an awal Indonesia, sekali lagi khususnya Yogya, mengalami kegairahan

22 Peter Britton dalam "Military Profesionalism in Indonesia: Javanese and Western Military Traditions

in the Army Ideology to the 1970's", (diambil dari Fachry Ali (1986) militer Indonesia, yang hampir dapat dipastikan didominasi orang Jawa, secara umum berideologikan tradisi dan kebatinan Jawa dengan konsep kesatriaannya. Dalam sejarahnya, kebatinan Jawa seperti memiliki ketidaksukaan dan kecurigaan laten terhadap Islam. Bandingkan dengan Allan A. Samson, "Army and Islam in Indonesia" dalam Pacific Affairs. Vol. XLIV. No. 4. 1971-1972. h. 555, mengatakan bahwa para perwira militer pada masa awal Orde Baru memiliki ikatan yang kuat pada tradisi budaya Jawa terutama mereka yang dari Diponogoro dan Brawijaya. Islam dianggap sebagai tandingan yang dapat menggerogoti integritas budaya Jawa.

23 Donald K. Emmerson, "The Bureaucracy in Political Context: Weakness in Strenght," dalam Karl

(8)

dan kebangkitan sastra sufi. Kegairahan tersebut tidak harus dianggap sebagai bentuk resistensi dari sekelompok masyarakat, utamanya para penyair, terhadap kekuasaan Orde Baru. Akan tetapi, paling tidak kegairahan sastra sufi memberi perimbangan wacana terhadap dinamika kultural dan politik terhadap kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Terlepas dari konteks yang mana dalam ikut mengondisikan kehadiran sastra sufi tersebut, kompleksitas permasalahan yang meliputi hal-hal tersebut tentulah cukup beragam dan sangat mungkin mengalami beberapa reduksi.

4. Sastra Sufi (Yogya) dan Kekuasaan Politik Orde Baru

Yogya dikenal sebagai gudang sastrawan dan penyair Indonesia, walaupun akhir-akhir ini mitos tersebut mulai berguguran. Yang jelas pada periode 1980-an hingga 1990-an awal, Yogya melahirkan banyak sastrawan terutama penyair. Beberapa di antaranya yang menampakkan kecenderungan sufistik adalah Emha Ainun Nadjib, Ahmadun Y. Herfanda, Abidah El Khaliqie, Matori A. Elwa, Abdul Wachid B.S., Hamdi Salad, Ulfatin Ch., Ahmad Syuhbanudin Alwi, Otto Soekatno C.R., dan Kuswaidi Syafii, Amin Wangsitalaja untuk generasi yang lebih kemudian. Dalam banyak hal mereka biasa disebut sebagai penyair santri.25

Nama-nama tersebut, dalam konteks kesastraan Indonesia bertaraf nasional, dan dengan demikian, kehadiran mereka sangat signifikan dalam peta kesastraan Indonesia dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Saya, karena keterbatasan ruang, berikut ini saya hanya mengambil tiga buah puisi saja sebagai contoh. Dalam sebuah puisinya, Emha pernah menulis demikian; seperti langit dan warna biru/ seperti sepi nenyeru/ Kekasih/ Kau kandung aku/ kukandung Engkau/.../ hanya sunyi/ mengajari kita/ untuk/ tak mendua.26

Salah satu puisinya yang lain yaitu;Menderas di darah/ Aku yang lain, yang Allah// Menderas, mengalir kepadaku/ Seperti aliran sungaiku ke lautnya/ Menderas, menggelombang/ Seperti ombaknya pada airku// Kami ganti mengganti/ Saling mengkau, mengia, mengaku// Kami berdenyut bagai satu/ Kami bergiliran bagai dua// Kami menghilang, menjelma aku/ Sesukanya, sesuka kami, sesukaku//...27Dari

puisi tersebut terlihat bahwa Emha seolah berdiri di antara dua tradisi yaitu tradisi suni dan filosifis.

Puisi lainnya adalah sebagai berikut. Aku berperan di bumi/ Berendam di kolam-kolam dunia/ Sambil menatap cakrawala// Siapakah aku?/ Jangan cari di kolam-kolam/ Lacaklah ke cakrawala// Aku ruh tunggal/ Namaku beragam/ Petakku tiga

25 Istilah penyair santri, mengikuti Geertz (1981) ada dua pengertian. Pertama mereka yang berlatar

belakang pendidikan pesantren, dan kedua, menunjuk akar budaya sekelompok pemeluk Islam. Dalam beberapa hal istilah santri yang saya maksudkan lebih dalam pengertian yang kedua. Namun, bukan kebetulan jika para penyair yang disebutkan sebagian besar berlatar belakang pesantren, yang nota bene berafiliasi pada tradisionalisme. Dalam beberapa hal tradisi pesantren sangat akrab dengan sufisme.

26 Emha Ainun Nadjib puisi 5 dalam 99 Untuk Tuhanku, 1984. h. 7.

(9)

puluh enam// Jumlah sejuta/ Hanya bisa dihitung oleh satu angka/ Karena satu berjuta jumlahnya// Lihatlah lendir peradaban/ Tulang belulang sejarah/ Mulai kukuburkan// Aku belajar memenuhi ruang/ Belajar mengatasinya/ Merdeka darinya// Merdeka dari waktu/ Aku tak menapak/ Di titian hukum// Kekal abadi/ Sebelum dan sesudah/ Tanpa sekarang dan nanti// Aku belajar tegak di sini/ Tak kau awali tak kau akhiri/ Usia ruh di atas langit dan bumi.28

Berperan di Bumi adalah pengejawantahan konsepsi kekhalifahan manusia di dunia. Sebagaimana diketahui, pengertian manusia sebagai khalifah di bumi adalah suatu pengertian ideal manusia sebagai wakil Tuhan di dunia ini. Berperan di Bumi mengacu pada hakikat pengejawantahan kekhalifahan tersebut, yaitu manusia sebagai wakil Tuhan di bumi dengan potensi-potensi ilahiah yang diberikan padanya. Untuk itu ia diberi Tuhan berbagai kelengkapan, "Diajarkan-Nya kepada manusia nama-nama (benda-benda) seluruhnya" (QS. 2.31), dianugrahkan-Nya manusia dengan kebebasan (memilih) dan ditambahkan-Nya pada diri manusia sifat-sifat uluhiyyah (teomorfis), maka tak pelak manusia, tetap dengan kehendak bebasnya, memiliki kemampuan sebagai 'perpanjangan tangan' Tuhan di dunia. Dari puisi ini tampak jika Emha memiliki kecenderungan yang agak berat ke sunis.

Pada tingkat lebih lanjut konsepsi Khalifah Allah itu mengacu pada suatu kehadiran Tuhan di tengah-tengah manusia dan ciptaan lainnya, yang biasa disebut Insan Kamil. Dalam tradisi sufisme predikat tersebut hanya dikenakan untuk para nabi, dan wali-wali pilihan-Nya. Namun, tidak tertutup kemungkinan jika manusia pada umumnya berpeluang menjadi Insan Kamil. Dalam arti jika manusia tersebut mampu mengaktualisasikan diri dengan cara mengejawantahkan kesadaran ketuhanan yang menjadi dasar sifat manusia. Sesuai dengan arah pembahasan, tidak lain ketika seorang manusia mampu menfanakan dirinya dan menjadi ada dalam kebakaan Tuhan. Konsep menfanakan diri ini menjadi kunci menuju Insan Kamil, sejauh memenuhi syarat-syarat syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat yang bersumber pada ajaran Muhammad berdasarkan Quran dan Hadis.

Dengan demikian, tentulah berbeda dengan konsep kesatriaan (Manusia Sempurna) yang dikembangkan mistisisme Jawa. Soeharto, dalam mengembangkan konsep manusia sempurnanya, tidak mengacu pada tradisi sufisme yang diajarkan oleh Islam sufistik suni, tetapi pada syarat-syarat yang ditunjukaan oleh ajaran Jawa, khususnya piwulang dalam kisah-kisah pewayangan, maupun nasihat nenek moyang Jawa Kraton yang cenderung sinkretis.

Ada kesan bahwa konsep kesatria (Manusia Sempurna) pada masa Orde Baru mengalami manipulasi sehingga penekanan yang berlebihan pada kehendak Tuhan menjadi salah satu ciri mistik Jawa, yang lebih menekankan aspek imanensi Tuhan dalam diri para elit. Aspek pada ciri imanensi yang heterodoks, atau dalam bahasa lain disebut abangan, dalam prilaku politiknya cenderung permisif. Dalam keterangan Fazlur Rahman, kecenderungan ini tidak terbuka untuk pengecekan dan kontrol,

(10)

karena definisinya yang demikian telah membuat ia tak mungkin bisa dikoreksi.29

Karena berposisi sebagai penguasa yang kuat, maka prilaku kekuasaan hampir tidak mendapat kontrol sama sekali. Dampak dari tekanan yang berlebihan pada aspek-aspek imanensi adalah terjadinya personalisasi kekuasaan. Kekuasaan yang personal tersebut menjadi dirinya sendiri, dalam hal ini menjadi Soeharto itu sendiri.

Bisa jadi, dalam konteks inilah para penyair sufi, dengan ortodoksi yang lebih menekankan pada aspek transendensi Tuhan, dalam banyak hal memberikan perlawanannya, atau minimal perimbangan. Di sini kita tidak perlu membayangkan bahwa sastra sufi akan merubah paradigma kekuasaan Orde Baru. Karena kehadiran sastra sufi sendiri sebenarnya tidak terlepas dari apa yang disebut bangkitnya politik dan dinamika Islam di Indonesia secara keseluruhan. Kalau toh terjadi perubahan gaya kekuasaan Orde Baru, hal tersebut lebih sebagai pengaruh dari desakan-desakan politik Islam yang semakin substantif dalam mengikuti langgam kekuasaan yang dimainkan oleh Soeharto.

Pernyataan itu perlu dikemukakan karena memang ada kesan pada paruh pertama 1990-an negara lebih mengakomodasi Islam, khususnya dalam bidang politik, misalnya dengan didirikannya ICMI pada akhir 1990 dan banyaknya pejabat tinggi (mentri) dari golongan Islam (santri). Namun, banyak yang menyangka bahwa didir-ikannya ICMI tersebut justru untuk merangkul kekuatan Islam dalam tetap memper-tahankan kekuasaan Soeharto. Pada dekade 1990-an tersebut, dinilai banyak penga-mat, konspirasi Soeharto dengan militer mengalami keretakan. Hal ini terjadi karena dalam tubuh militer semakin banyak pejabat tinggi militer yang tidak berorientasi pada Islam abangan (kebatinan), sehingga secara spritual tidak lagi dapat dikendalikan oleh Soeharto. Soeharto melihat hanya umat Islamlah yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung kekuasaannya.

Sebagaimana sedikit dirilis, kutipan puisi di atas memperlihatkan bahwa dimensi sufistik puisi Emha Ainun Nadjib bukan sesuatu yang berkonotasi Tuhan sama dengan zat dan sifat-Nya terhadap makhluk ciptaan-Nya (alam semesta). Dalam puisinya hanya memperlihatkan kesamaan dalam pengertian nilai atau kualitasnya saja. Tuhan secara kualitatif memang imanen, tetapi yang pasti ia adalah sesuatu yang transenden. Konsep ini tidak hanya memperlihatkan bahwa puisi seperti Emha adalah sufisme suni, tetapi ada sisi-sisi lain dia sebagai orang Jawa juga memperlihatkan kecenderungan filosofis.

Tulisan ini justru tidak mengutip puisi-puisi dengan muatan protes yang berang dan meledak-ledak mengingat puisi-puisi pada tahun 1980-an hingga 1990-an cukup banyak memperlihatkan kemarahannya kepada negara Orde Baru yang telah berlaku sewenag-wenang. Akan tetapi, kita tahu, bahwa sebagian besar puisi-puisi protes hanya menyenangkan di kuping dan hati karena secara tidak langsung seperti mewakili perasaan hati kita yang juga gerah dan marah, tetapi ternyata tidak mampu berbuat apa-apa.

(11)

Puisi-puisi sufi tidak memperlihatkan wajah yang garang dan melakukan protes-protes terbuka, karena hal demikian tidak menjadi bagian dari identitas sastra sufi. Puisi sufistik, yang dalam hal ini diwakili oleh puisi Emha justru melakukan, apa yang saya sebut sebagai perlawanan epistemologis, suatu perlawanan yang jauh lebih dalam dan berakar. Hal ini seperti memperlihatkan kejadian pada masa-masa sebelumnya, terjadinya pertarungan ulang antara tradisi kepustakaan Jawa berhadapan dengan tradisi pesantren.

Tradisi kepustakaan pesantren Jawa, khususnya setelah abad 18 dengan jaringan ulamanya, mengalami apa yang disebut sebagai intervensi sufisme suni bahkan suniisasi, walaupun proses tersebut pastilah tidak pernah berjalan sempurna.30Akan tetapi, dalam beberapa hal Shihab memperlihatkan

keberpihakannya tanpa memperhitungkan kekuatan tradisi budaya Jawa. Dengan beberapa catatan yang lebih netral dalam melihat kekuatan tradisi budaya Jawa, dan kekuatan doktrin wahdatul wujud, Azra justru secara umum setuju bahwa sufisme suni memang sesuatu yang dominan di Indonesia. Akan tetapi, itu tidak mengurangi bahwa sufisme filosofis tetap signifikan dalam Islam sufistik Indonesia, mengingat ajaran tersebut pernah dominan pada abad ke-17 hingga ke-18.31 Artinya,

kekuasaan yang berbau filosofis tersebut mengalami perlawanan dari penyair-penyair santri dengan paradigma suni. Penyair-penyair santri, dengan tradisi sastra pesantrennya, mencoba melawan simbol-simbol manipulasi simbol-simbol imanensi kekuasaan Tuhan yang hadir dalam kekuasaan rezim Orde Baru. Artinya, tidak ada yang betul-betul mutlak berkuasa di muka bumi ini selain Tuhan. Tidak ada yang perlu ditakuti di negara Indonesia ini selain kekuasaan Tuhan.

Cuma perlawanan itu tidak dapat berjalan sepenuhnya, karena kuatnya dominasi sufisme filosofis (Islam Jawa) bukan saja tampak dalam kekuasaan Soeharto dengan militer Orde Baru-nya, tetapi secara umum mendapat dukungan dari orang Jawa (abangan) pada umumnya yang terbukti selalu memenangkan dominasi politik yang tidak memberikan perhatian yang cukup serius terhadap cita-cita politik Islam.

Dan lagi, karena bawaan sufisme suni memang cenderung kompromis, khususnya dalam konteks politik, maka sastra sufi Yogya, sejauh yang dapat dicatat hanya memperlihatkan kegairahan dalam pengertian tekstual dan kultural belaka. Di masa-masa kemudian, apakah perlawanan epistemolgis tersebut berdampak bagi 30 tuntutan-tuntutan reformasi politik, tentu membutuhkan kajian tersendiri yang lebih serius.

Kajian ini dengan terpaksa tidak menganalisis persoalan bekunya kehidupan demokrasi pada masa rezim Orde Baru, seperti sempat disinggung, dan bagaimana

30 Lihat Alwi Shihab, Islam Sufistik "Islam Pertama dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia". 2001.

31 Lihat bukunya, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan

(12)

Referensi

Dokumen terkait

Aplikasi ini diharapkan dapat membantu penelitian terdahulu yaitu “Aplikasi Transliterator dan Tanslator Bahasa Indonesia ke Bahasa Korea dan Bahasa Korea

identification dan compliance) secara bersama-sama berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap sikap dalam penerimaan sistem informasi. Namun secara parsial, hanya

Indeks Tendensi Konsumen (ITK) merupakan indeks yang menggambarkan kondisi ekonomi konsumen pada triwulan berjalan dan perkiraan pada triwulan mendatang.. ITK

pengajaran secara perlahan dan bertahap, b) kesiapan tenaga pendidik tergantung pada kemampuan masing-masing guru dan juga kemauan guru untuk belajar

Salah satu masalah yang dihadapi orang tua masa kini dalam berkomunikasi dengan anak, khususnya anak remaja adalah bagaimana menumbuhkan sikap anak patuh mengikuti nasihat

Berdasarkan uji antibakteri yang telah dilakukan, formula optimum sabun cair ekstrak etanol rimpang jahe merah mempunyai aktivitas

Teori pembangunan Chenery (2007) memfokuskan pada perubahan struktur dalam tahapan proses perubahan ekonomi, industri dan struktur institusi dari perekonomian negara

cincin pada elang jawa yang akan dilepas. Balai Besar KSDA Jawa Timur bekerjasama dengan Raptor Indonesia mengadakan pelaihan bagi para penelii dan pemerhai elang di Jawa