• Tidak ada hasil yang ditemukan

KPK MK YR Rudi Satryo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KPK MK YR Rudi Satryo"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

MENJAWAB “GUGATAN” TERHADAP

KEWENANGAN

KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH:

Rudy Satriyo Mukantardjo (staf pengajar hukum pidana FHUI)1

1

(2)

I. Retroaktif

Hukum pidana tidak berlaku surut (non-retroaktif). Non-retroaktif diartikan bahwa hukum pidana tidak dapat dikenakan kepada perbuatan yang telah terjadi sebelum diberlakukannya undang-undang tersebut. Hal ini mengandung pengertian bahwa hukum pidana baru dapat diberlakukan terhadap perbuatan-perbuatan yang terjadi setelah dirumuskannya perbuatan-perbuatan tersebut dalam suatu undang-undang.

Dalam statuta Roma, asa legalitas masih tetap dipegang tegus, termasuk asas non-retroaktif. Pasal 22 Statuta Roma secara jelas menyatakan:

(1) Seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana berdasarkan statute ini kecuali jika tindakan tersebut pada waktu dilakukan merupakan suatu tindak pidana dalam yurisdiksi Mahkamah ini.

Persoalan retroaktif (memberlakukan surut suatu produk hukum). Berawal dari isi Pasal 72 terkait dengan isi Pasal 68 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi . Adapun isi dari Pasal 72 adalah sebagai berikut:

Pasal 72

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya

(3)

Pasal 70

Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan tugas dan wewenangnya paling lambat 1 (satu) tahun setelah Undang-undang ini diUndang-undangkan.

Dari dua pasal tersebut dapat diketahui bahwa walaupun Undang-undang 30 tahun tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan tanggal 27 Desember 2002, namun KPK efektif bekerja menjalankan tugas dan wewenangnya mulai pada tanggal 27 Desember 2003.

Bagaimana dengan aktivitas pelaksanaan penegakan hukumnya? Hal ini dapat diketahui dari isi Pasal 68 yang menyatakan

Pasal 68

Semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.

Pasal 68 tersebut berada pada Bab XI tentang Ketentuan Peralihan. Mengapa terdapat dan masuk di dalam ketentuan peralihan? Sebagaimana diketahui apabila persoalan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi dibagi di dalam masa atau periode lembaga penegak hukumnya, maka secara garis besar terdapat 2 (dua) masa atau periode.

Periode atau masa pertama adalah masa sebelum adanya Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) yaitu sebelum 27 Desember 2003. Sedangkan periode atau masa kedua adalah setelah adanya KPK

(4)

diundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK ada dan kemudian mempunyai dasar hukum dalam menjalankan tugas dan kewenangan mulai pada tanggal 27 Desember 2003.

Periode sebelum 27 Desember 2003 kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara korupsi ada pada pihak Kepolisian juga penyidikan dan penuntutan ada pada pihak Kejaksaan. Namun setelah 27 Desember 2003 selain kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan ada pada pihak Kepolisian, juga penyidikan dan penuntutan ada pada pihak Kejaksaan, kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan juga diberikan kepada KPK. Dengan kata lain kalau sebelum 27 Desember 2003 yang mempunyai kewenangan dalam penanganan tindak pidana korupsi adalah 2 (dua) lembaga yaitu Kepolisian dan Kejaksaan, maka setelah 27 Desember 2003 menjadi 3 (tiga)

lembaga yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan KPK.

Selain perubahan dalam hal jumlah lembaga yang berwenang menangani tindak pidana korupsi, juga terdapat peralihan mengenai kewenangan, yaitu dari bagian kalimat “Semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi”.

(5)

mempunyai kewenangan untuk menyidik dan menuntut kasus tindak pidana korupsi.

Masa peralihan ini dimaksudkan agar KPK diberikan kesempatan untuk ”tugas belajar” melakukan penegakan hukum atas pelanggaran tindak pidana korupsi. Nanti tugas tersebut akan sepenuhnya berada pada pundak KPK.

Walaupun masih dalam masa ”tugas belajar”, KPK oleh undang-undang yang ada sudah diberikan kewenangan untuk mengambil alih kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani oleh pihak Kepolisian dan Kejaksaan. Ini merupakan hal yang tidak menutup kemungkinan mengundang decak kekaguman. Kalau KPK diibaratkan sebagai proses pertumbuhan manusia, ia masih ”balita”, namun oleh rakyat melalui mandatnya yang dituangkan dalam bentuk undang-undang, telah diberikan kepercayaan untuk mengambil alih pekerjaan saudaranya yang lebih tua yang lebih berpengalaman di negara ini.

Namun karena masih dalam masa transisi dan masih ”bayi”, maka kasus-kasus yang dapat diambil alih oleh KPK dibatasi, yaitu sebatas yang diatur di dalam Pasal 9.

Pasal 9

Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh KPK dengan alasan:

a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;

b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;

(6)

d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;

e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campurtangan dari pihak eksekutif, yudikatif atau legislatif, atau

f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Namun apabila memperhatikan isi Pasal 9 dari huruf a

sampai f, itulah memang ”penyakit yang paling berat” dari

persoalan penegakan hukum kasus korupsi. Dan itulah memang

hambatan yang paling besar dalam persoalan penanganan

tindak pidana.

Pertanyaan yang mendasar adalah ”apakah dari sisi hukum adalah salah apabila KPK diberikan kewenangan untuk menyidik dan menuntut terhadap kasus korupsi yang ada sebelum KPK ada?” sebagaimana yang diamanatkan di dalam Pasal 68 UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Apakah tidak melanggar prinsip hukum larangan berlaku surut – retroaktif –?

Dalam kajian hukum pidana materiil dan khususnya sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1ayat (1) KUHP,

Pasal 1

(1). Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan

(7)

Bagaimana halnya dengan hukum pidana formil atau hukum acara pidana?

Salah satu dasar untuk memberikan atas pertanyaan ”Bagaimana halnya dengan hukum pidana formil atau hukum acara pidana?” maka mari kita perhatikan isi dari Pasal 28i ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hasil amandemen ke dua

Pasal 28i

(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Bagian dari kalimat ”...hak untuk tidak dituntut...” adalah berbicara hal yang berhubungan dengan hukum acara pidana (hukum pidana formil sekarang adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau hukum acara yang diatur di luar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana termasuk dalam hal ini adalah hukum acara yang ada di dalam UU Nomor 30 Tahun 2002). Dituntut untuk persoalan apa? yang berhubungan dengan ”...atas dasar hukum yang berlaku surut...” berarti adalah hukum pidana materiil.

Maka makna dari ”...hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut...” adalah pada diri seseorang tidak

(8)

formilnya tidak terdapat larangan untuk tidak boleh berlaku surut. Tegasnya hukum pidana formilnya atau hukum acara pidananya dapat berlaku surut.

Karena isi Pasal 68 UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi “Semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi” berkaitan dengan hukum acara pidana (hukum pidana formil), maka sifatnya dapat berlaku surut – retroaktif – .

Sehingga menurut pendapat penulis suatu hal yang tidak salah apa yang telah diatur di dalam Pasal 68 UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, karena nyata-nyata berhubungan dengan hukum acara pidana (hukum pidana formil) dan bukan hukum pidana materiil.

Jadi suatu hal yang tidak salah kalau kemudian kasus korupsinya Abdullah Puteh atau Capt. Tarcisius Walla alias Capt T Walla diselidiki, disidik dan dituntut oleh KPK walaupun saat peristiwa hukumnya (tempus delictie) berada sebelum adanya KPK. Sekalilagi di sini berbicara pada persoalan hukum acara pidana.

(9)

sedang hukum pidana formil atau hukum acara pidana dapat berlaku surut.

Dalam halaman 32 permohonan pemohon, menyebutkan kasus Bram HD Manoppo untuk uji materiil pesoalan yang sama (MK.069/PUU-II/2004), MK menyatakan:

”Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 68 undang-undang a quo tidak mengandung asas retroaktif, walapun KPK dapat mengambil alih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukan setelah diundangkannya Undang-undang KPK (vide Pasal 72) sampai dengan terbentuknya KPK (vide Pasal 70), sebagaimana telah diuraikan di atas”

Dengan berpedoman terhadap putusan MK.069/PUU-II/2004, menurut pendapat saya, yang seharusnya menjadi perhatian utama dari sisi kajian hukum pidana adalah ” apakah kasus Abdullah Puteh atau Capt. Tarcisius Walla alias Capt T Walla terkait dengan salah satu dari 6 (enam) yang disebutkan dalam Pasal 9 ataukah tidak?” (lihat halaman 30 permohonan pemohon) kalau hasil analisis ditemukan jawaban ya, maka KPK mempunyai kewenangan itu.

II. Lex specialis derogat legi generali

Tentang berlakunya suatu undang-undang dalam arti materiil, dikenal asas undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum jika pembuatnya sama.

(10)

undang-undang yang menyebut peristiwa yang lebih luas atau lebih umum yang dapat juga mencakup peristiwa khusus tersebut (lihat Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto. Perundang-undangan Dan Yurisprudensi, Bandung: Alumni, 1979. hal 16-17).

Contoh pengakuan terhadap asas Lex specialis derogat legi generali dalam bidang hukum pidana materiil dapat kita lihat di dalam isi Pasal 103 KUHP yang menyatakan:

Pasal 103

Ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VII buku ini berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan yang lain diancam pidana, kecuali jika oleh undang-undang itu ditentukan lain.

Sedangkan dalam bidang hukum pidana formil, namapak di dalam isi Pasal 284 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Pasal 284

(2) Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.

Memang benar bahwa sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) butir i Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,

Pasal 7

(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang:

(11)

Sebagai alasan dari penghentian penyidikan perhatikan isi Pasal 109 ayat (2) yang menyatakan:

Pasal 109

(2) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penghentian penyidikan demi hukum (Pasal 76; 77; 78 dan 79 KUHP), maka penyidik memberitahukan kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.

Memang benar sesuai dengan Pasal 14 huruf h dinyatakan bahwa Penuntut umum mempunyai wewenang:

Pasal 14

h. Menutup perkara demi kepentingan hukum

Sebagai alasan dari penghentian penuntutan perhatikan isi Pasal 140 ayat (2) a.

Pasal 140

(2) a. Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penunutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak piada atau perkara ditutup demi hukum penuntutan umum menuangkan dalam surat ketetapan.

(12)

materiil dan hukum pidana formil) yang berbeda dengan apa yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (legi generali).

Sehingga apabila di dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, menyebutkan bahwa:

Pasal 40

Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi

Demikian juga dengan Pasal 12 ayat (1)

Pasal 12

(1) a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.

Adalah suatu hal yang sah sebagai aplikasi dari asas Lex specialis derogat legi generali.

1. KPK dilarang melakukan penghentian penyidikan dan penuntutan

(13)

tahap berikutnya. Dari hal ini didapatkan pelajaran yang berharga bekerja harus bertanggungjawab dan profisional.

2. KPK dengan kewenangan menyadap dan merekam

Tindakan dalam upaya penegakan hukum oleh aparat penegakan hukum harus diberikan sarana untuk menegakkan hukum. Kalau tidak diberikan sarana tersebut maka dapat dipastikan aparat penegak hukum tidak dapat atau tidak mampu melaksanakan tugas penegakan hukum. Dalam konteks hukum acara pidana dikenal dengan tindakan upaya paksa (penangkapan, penahanan, penggeledahan, penehanan dan pemeriksaan surat).

Apabila memperhatikan esensi dari tindakannya jelas adalah melanggar HAM dan kalau dilihat dari sisi hukum pidana adalah tindak pidana. Mulai dari menangkap dan menahan adalah menghilangkan HAM terkait dengan kebebasan bergerak orang yang identik dengan tindak pidana penculikan atau penyekapan (Pasal 328 – Pasal 333 KUHP), menggeledah lalu menyita identik dengan menghilangkan privasi orang terhadap barang dan merupakan tindak pidana pencurian (Pasal 362 KUHP).

Sebagai contoh aparat kepolisian melakukan perbuatan – tindakan – penangkapan, maka keseluruhan tatacara yang telah diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana harus dipenuhi atau dilaksanakan. Mulai dari hal tatacara penangkapan sampai dengan pemenuhan hak-hak yang dimiliki oleh orang yang ditangkap.

(14)

penyelidikan dan penyidikan; 2. terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup;3. dilakukan dengan memperlihatkan surat tugas dan surat perintah penangkapan (kecuali tertangkap tangan); 4. tembusan surat perintah penangkapan diberikan kepada keluarganya;5 dilakukan untuk paling lama 1 (satu) hari;6. hanya untuk pelaku tindak pidana dengan jenis delik kejahatan bukan pelanggaran (kecuali telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan tanpa alasan yang sah).

Juga hak-hak yang dimiliki sebagai orang yang ditangkap untuk untuk diperiksa pada tahap penyidikan, yang tercantum dalam Pasal 50 “hak segera mendapat pemeriksaan”, Pasal 51”pemberitahuan

dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti mengenai apa yang disangkakan”, Pasal 52 “berhak memberikan keterangan secara bebas”, Pasal 53 “berhak untuk mendapatkan bantuan juru bahasa”,

(15)

Dengan kata lain, sebagai konsekwensi penyandang nama aparat penegak hukum, tidak hanya menegakan hukum atas hukum yang mengatur kewenangan aparat penegak hukum, korban akan tetapi juga hukumnya si tersangka pelaku tindak pidana. Inilah pelaksanaan yang kongkrit dari asas praduga tidak bersalah

presumption of innotion. Sehingga suatu hal yang sah apabila KPK mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 a. ”Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan” dengan syarat dilaksanakan sesuai dengan prosedur hukum yang telah ditentukan terlebih dahulu terhadap tindakan tersebut.

III. Pengadilan TIPIKOR

Dalam Pasal 54 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, menyatakan bahwa:

Pasal 54

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

[r]

Diabetes melitus merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh ketidakmampuan organ pankreas untuk memproduksi hormon insulin dalam jumlah yang cukup, tubuh tidak

[r]

Transformasi sawijine karya sastra saka naskah dadi prosesi utawa ora bisa ditindakake kanthi sekabehane. Ana perangan saka karya sastra kasebut kang ditambahi

Demikian halnya dengan keluarga, adalah sebagai lembaga pendididkan pertama seorang anak, sebuah keluarga yang cendrung jauh dari dunia ilmu pengetahuan akan menghasilkan

Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan hidayah-Nya hingga penulis dapat menyusun hasil penelitian dengan judul, EVALUASI

Berdasarkan hasil evaluasi Administrasi, Teknis dan Harga serta kualifikasi dengan ini Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan Barang / Jasa mengumumkan pemenang

Tabel 2.3 Jumlah Mata Air, Debit Rerata Tahunan dan Volume Tahunan di Wilayah Sungai UPT PSDAW di Provinsi Jawa Timur tahun 2012