• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perempuan dan Lingkungan Studi Kasus Mam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perempuan dan Lingkungan Studi Kasus Mam"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

(C-POL-5)

MAKALAH POLITIK DAN GENDER

Perempuan dan Lingkungan ( Studi Kasus Mama Aleta dkk dalam Perjuangan Melawan Tambang Anti Rakyat di Gunung Mutis, Nusa Tenggara Timur)

Dosen Pengampu:

Tri Hendra W, S.IP,M.IP

Disusun Oleh:

Nazil Afifatun N (135120500111005)

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya Penulis mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Politik dan Gender.

Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan Dosen pengampu mata kuliah Politik dan Gender, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Perempuan dan Lingkungan yang penulis sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi, referensi, dan berita. Makalah ini di susun oleh Penulis dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri Penulis maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa Ilmu Politik dalam memahami tenting Perempuan dan Lingkungan. Penulis sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pengampu mata kuliah Politik dan Gender. Penulis meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah Penulis di masa yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Malang, November 2015

(3)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Di akhir abad ke-21, timbul berbagai gerakan kesadaran masyarakat yang menaruh perhatian terhadap keadaan lingkungan. Ini berkaitan dengan kesadaran untuk menjaga bumi tempat tinggal manusia menjadi bersih, sehat, dan hijau. Sejak kecenderungan peduli lingkungan ini merebak bukan saja di kalangan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) akan tetapi juga di kalangan pemerintah baik daerah maupun pusat, bahkan di kalangan akademisi di perguruan tinggi, tidak banyak yang menyadari bahwa isu lingkungan berkaitan erat dengan isu perempuan. Padahal menurut mitos-mitos yang ada di masyarakat, perempuan sering diasosiasikan dengan alam. Sebut saja misalnya perempuan dian-andaikan dengan bumi, bunga ayam, malam, bulan, dan padi. Kadang mitos-mitos tersebut bukanlah mitos-mitos yang mempunyai makna positif tapi justru negatif. Bahasa metafora untuk perempuan ini terkadang menimbulkan penafsiran yang melemahkan perempuan. Perempuan identik dengan alam yang dikuasai manusia. Dari analogi itu alam adalah benda barang lahan yang dikuasai dan dieksplorasi manusia, bahkan dieksploitasi. Dengan demikian implikasi dari analogi perempuan dengan alam maka perempuan juga “menjadi yang dikuasai” oleh manusia lain (manusia masyarakat laki-laki)1.

Oleh karena itu, isu ekofeminisme2 menjadi isu yang begitu actual dikalangan abad 21

ini. Ekofeminisme juga lahir di Indonesia ini, salah satunya terjadi pada tahun 2001 oleh suku Molo di Nusa Tenggara Timur (NTT). Pegunungan yang menjadi tulang punggung warga digunakan untuk pertambangan liar yang jelas merugikan warga sekitar tertama suku Molo. Disini mama aleta sebagai agen of change yang menyadarkan perempuan-perempuan suku Molo telah berhasil merebut kembali tanah milik masyarakatnya.3

Pada permasalahan Mama Aleta dkk dalam Perjuangan Melawan Tambang Anti Rakyat di Gunung Mutis, Nusa Tenggara Timur ini akan dianalisis pada bab-bab selanjutnya sebagai

1 Tri Marhaeni, Ekofeminisme Dan Peran Perempuan (Semarang: Indonesia Journal Of Conservation Vol 1 No 1 Juni 2012) Hal 50

2 Sebuah gerakan yang berusaha menciptakan dan menjaga kelestarian alam dan lingkungan dengan berbasis feminitas atau perempuan.perempuan dianggap memainkan peran strategis dalam upaya mencegah atau setidaknya menciptakan lingkungan alam yang nyaman dan strategis.

3 --- Mama Aleta Sang Pejuang Hijau Gunung Mutis Nusa Tenggara Timur. Pada Web

(4)

pisau analisa secara mendalam sesuai dengan kasus yang ada. Menggunakan salah teori yang telah disediakan dalam menganalisis kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan feminisme.

1.2 Fokus Masalah

Focus masalah ini terletak pada analisis permasalahan yang terjadi pada suku Molo, NTT. Pada permasalahan ini akan membahas sudut pandang ekofeminisme terhadap gerakan yang dilakukan oleh Aleta Baun.4 Dengan ,menggunakan sudut pandang teori pada bab kerangka

teoritis nantinya diharapkan peristiwa ini bisa disangkut pautkan dengan teori yang ada dan sudah tersedia serta memberikan sedikit gambaran analisis tetntang peristiwa ini menggunakan tipologi ekofenisme.

BAB II

(5)

KERANGKA TEORITIS 2.1 Kerangka Teoritis

Pembangunan merupakan sesuatu hal yang wajar bagi kita, apalagi pada negara kita yang sedang dalam perbaikan pembangunannya, namun ketika pembangunan sudah lalai dalam prosedur-prosedur pembangunannya seperti merusak lingkungan dan merugikan masyarakat itu merupakan awal dari kehancuran pembangunan itu sendiri. Pada peristiwa ini, yang mana tambang yang telah merusak lingkungan suku Molo sampai mengakibtkan lingkungan menjadi tambah buruk dan tak menentu merupakan suatu kegagalan dalam pembangunan daerah.

Di dalam ilmu ekologi kita mempelajari hubungan antara manusia dan lingkungan hidup, mengkaitkan antara ilmu alam dengan ilmu kemanusiaan secara interdispliner. Kesadaran ekologi hen- dak melihat kenyataan dunia ini secara inte- gral holistik, bahwa dunia yang satu itu ternyata mengandung banyak keanekaragaman (Buntaran, 1996). Ekologi sekaligus merupakan reaksi kritis atas pandangan umum terhadap dunia yang dualistis dikotomis.5

Gerakan ekofeminisme6 mempunyai tujuan yang saling memperkuat, keduanya hendak

membangun terhadap dunia dan prakteknya yang tidak berdasarkan model-model dominasi. Seperti yang dilakukan Roesemary R. R: ada kaitan yang sangat penting antara pola dominasi terhadap perempuan dan perlakuan dominasi terhadap perempuan (kaitan terhadap isu feminisme dan environtalisme).7 Pemanfaatan alam yang tidak dalam batas kewajaran merupakan tindak

kejahatan. Kaum-kaum perempuan yang diibaratkan alam merasa perlakuan itu sewajarnya. Penggunaan teknologi-teknologi yang kurang ramah lingkungan membuat alam ini semakin hancur. Perempuan Indonesia mempunyai pengetahuan yang mendalam dan sistematis mengenai proses-proses alam serta meyakini bahwa keyakinan alam harus selalu dipulihkan.

Antroposentrisme yang menjadikan manusia sebagai pusat wacana membuat kehendak akan kebenaran mengesampingkan kehendak akan kehidupan. Kehendak akan kebenaran

5 Tri Marhaeni, Op. Cit, Hal 51

6 Istilah Ekofeminisme pertama diperkenalkan ditahun 1974 oleh Francoise d'Eaubonne dalam bukunya Le Feminisme ou la mort. Gagasan yang diusung adalah pandangan bahwa ada hubungan langsung antara opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam. Menurut Karen J.Warren bahwa modus berpikir patriarki yang hirarkis, dualistis dan opresif telah merusak perempuan dan alam. Perempuan dinaturalisasi dengan digambarkan sebagai binatang. Sebaliknya alam difeminisasi dengan digambarkan seperti perempuan.

(6)

modernitas dan globalitas mengesahkan mesin-mesin menggantikan hubungan intim manusia dengan alam.8

Beberapa asumsi pokok dalam ekofeminisme seperti yang digambarkan Karen J.Warren sebagai berikut :

1. Ada keterkaitan penting antara opresi terhadap alam dan opresi terhadap perempuan

2. Pemahaman terhadap alam dalam keterkaitan ini adalah penting untuk mendapatkan pemahaman yang memadai atas opresi terhadap alam dan opresi terhadap perempuan

3. Teori dan Praktek feminis harus memasukkan perspektif ekologi

4. Pemecahan masalah ekologi harus memasukkan perspektif feminis

Dalam perkembangannya, pemikiran ekofeminisme terbagi lagi beberapa varian antara lain Ekofeminis Spiritual, Ekofeminis Sosialis, dan Ekofeminis Sosial-Konstruksionis. Beberapa tokoh ekofeminisme antara lain, Vandana Shiva, Starhawk, Susan Griffin, Dorothy Dinnerstein, Mary Daly, Marie Mies, Karen J. Warren dan tentu saja pencetusnya yaitu Francoise D'Eaubonne.9

BAB III

8 Kalis Mardi Asih, Kapitalisme Perempuan Dan Ekofeminisme (Jurnal Perempuan, 8 November 2014) Diakses Pada 30 Oktober 2015

(7)

ANALISIS

3.1 Kronologi Peristiwa Perjuangan Melawan Tambang Anti Rakyat di Gunung Mutis, Nusa Tenggara Timur

Di setengah bagian barat Indonesia, tepatnya di Pulau Timor, Gunung Mutis, Nusa Tenggara Timur, terdapat satu wilayah yang kaya akan keanekaragaman hayati. Gunung Mutis adalah daerah hulu untuk semua aliran sungai utama Timor Barat, yang menjadi sumber air minum dan irigasi bagi mayoritas penduduk di pulau itu. Penduduk Molo amat bergantung pada sumber – sumber daya alam ini, yang juga dianggap sakral. Hutan menjadi sumber obat-obatan bagi warga, mereka menanam hasil bumi di tanah yang subur ini. Di hutan ini pula warga memanen zat pewarna tanaman yang diperlukan untuk bertenun, sebuah keterampilan tradisional menjadi jati diri bagi kaum perempuan di desa-desa sekitar hutan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hubungan spiritual yang erat antara warga dan lingkungan hidup terjalin dengan baik. Kedalaman hubungan ini tercermin dalam penamaan rakyat Timor yang sesuai dengan tanah, air, batu, dan pohon yang melambangkan daging, darah, tulang dan rambut mereka. Bagi warga asli Moro, kerusakan lingkungan hidup sama artinya dengan hilangnya sebagian dari jati diri mereka.

Di tahun 1980an, pemerintah daerah mengeluarkan izin bagi perusahaan – perusahaan tambang untuk memotong batu-batu marmer di pengunungan di kepulauan Molo. Hal ini dilakukan secara tidak sah karena tidak berkonsultasi dengan warga terlebih dahulu. Warga justru dianggap sebagai penghalang program pembangunan. Akibat pertambangan pun mulai dirasakan warga, terjadi penggundulan hutan, tanah longsor, pencemaran air dan banyak menimbulkan penderitaan bagi warga yang tinggal di daerah hilir. Aleta Baun, yang akrab dipanggil dengan sapaan Mama Aleta mengambil peran pemimpin dalam komunitasnya. Disebarkannya pengetahuan tradisional yang ia warisi dari sesepuhnya. Di kala perusahaan- perusahaan tambang mulai membabat hutan dan memotong batu marmer dari gunung, Mama Aleta paham bahwa aktivitas mereka tersebut akan mengancam hak – hak orang Molo atas wilayah mereka dan juga terhadap kelanjutan hidup mereka.

(8)

dengan tiga perempuan lain, tepatnya pada tahun 1999. Mereka melakukan perjalanan kaki dari satu desa terpencil ke desa lain yang kadang bisa memakan waktu lebih dari enam jam.

“Mulai 1999, sejumlah kecil perempuan dan saya memutuskan kami harus bertindak untuk menghentikan penambangan. Kami merasa satu-satunya cara dengan pergi dari satu rumah ke rumah lain. Dari satu desa ke desa lain dan menjangkau sebanyak mungkin orang untuk menyampaikan pesan kami. Rumah-rumah dan desa-desa terletak berjauhan. Kadang kami harus berjalan enam jam untuk mencapai desa satu ke desa lain. Kami meyakinkan orang-orang untuk bergabung. Kami ingatkan mereka akan keyakinan kami tidak akan dapat hidup tanpa semua unsur-unsur dari alam. Kami juga menekankan pada para perempuan bahwa hutan menganugerahi kami dengan zat-zat pewarna tenun. Ini bagian penting dalam hidup kami.”

Karena kegiatannya inilah, Mama Aleta menjadi bulan-bulanan bagi kepentingan usaha pertambangan dan para pejabat daerah. Tak tanggung-tanggung, mereka bahkan menawarkan hadiah kepada siapa saja yang bisa membunuh Mama Aleta. Namun, Mama Aleta tidak gentar, ia terus melakukan upayanya bahkan ketika usaha percobaan pembunuhan tersebut semakin sering dilakukan. Suatu hari, Mama Aleta lolos dari usaha percobaan pembunuhan yang sebenarnya hampir saja berhasil. Mama Aleta lari dan bersembunyi di dalam hutan bersama bayi mungilnya. Sejumlah warga desa pun tak luput dari siksaan, mereka berkali-kali ditahan dan dipukuli.

Puncak gerakannya diwujudkan dalam gerakan pendudukan sambil menenun. Sekitar 150 perempuan melakukan aksi pendudukan lokasi pertambangan marmer sambil menenun. Dengan tenang, 150 perempuan pemberani ini menenun pakaian tradisional sebagai bentuk protes mereka.

“Perempuan punya alat-alat tenun, kapas dan pewarna dari alam. Kami pun protes dengan menenun pakaian tradisional. Hutan kami tak boleh rusak. Kalau rusak, perempuan tak bisa beraktivitas. Itu tempat kami cari makanan, bikin pewarna benang sampai obat-obatan. Jadi harus kami pertahankan.” Kata Mama Aleta

“Kamilah yang memanfaatkan hutan untuk bertahan hidup. Kaum pria mendukung kami, namun tidak menempatkan diri di garis depan karena kemungkinan besar mereka akan terlibat dalam perkelahian atau konflik dengan perusahaan – perusahaan pertambangan dan menjadi target serangan- serangan. Jadi saat perempuan aksi, para pria berperan di rumah tangga dari memasak sampai menjaga anak-anak”. Aksi protes warga desa menuai hasil. Aksi protes pendudukan dan menenun makin berkembang dan mendapat perhatian pemerintah. Pada tahun 2010, karena menghadapi tekanan yang amat besar, perusahaan – perusahaan tambang menghentikan penambangan di 4 lokasi di wilayah Molo dan meninggalkan operasi tambang mereka.10

10 --- Mama Aleta, Berjuang Melawan Tambang Anti Rakyat, Pada Web

(9)

3.2 Relasi Antara Alam Dan Perempuan Pada Suku Molo

Alam merupakan sumber penghidupan bagi semua manusia apalagi bagi kaum perempuan. Kaum perempuan yang biasanya memanfaatkan alam sebagai sarana kebutuhan penghidupan keluarga mereka. Seperti yang telah dicertakan oleh mama Aleta bahwa suku Molo biasanya memanfaatkan alam untuk kebutuhan menenun, masak, dsb. Disini alam sudah pasti mempunyai peranan penting untuk suku Molo. Sayangnya pemerintah kurang mengerti akan hal itu, sehingga pemerintah membuat kebijakan sepihak dengan menyewakan lahannya untuk kepentingan pertambangan.

Menurut Strong (1995) kunci untuk memperbaiki bumi terletak pada penghormatan terhadap hukum alam yang dipahami oleh masyarakat asli tradisional. Masyarakat ini berbicara dengan kumpulan instruksi yang asli yang diberikan kepada mereka oleh Sang Pencipta. Mereka mengetahuinya dan menghidupi hukum ini, yang menuntun relasi manusia dengan empat elemen pemberi kehidupan, yakni, tanah, air, udara, dan api (energi serta mengajarkan penghormatan kepada kesatuan dan kesinambungan dari seluruh kehidupan.11 Pada gerakan feminisme yang

dilakukan oleh mama Aleta ini lebih pada kesadaran yang dilakukan oleh mama Aleta yang kemudian dapat menyadarkan kaum perempuan menjadi banyak secara kuantitas. Mereka sadar bahwa alam ini sangat penting dan dibutuhkan bagi kaum perempuan lainnya untuk penghidupan mereka.

Bentuk protes yang dilakukan oleh mama Aleta dkk ini sangat unik karena menggunakan simbolisasi yang diibaratkan bahwa alam ini penting untuk kaum perempuan dan laki-laki. Sebuah kecaman yang luar biasa oleh dua pihak yaitu perempuan dan laik-laki yang bisa saling melengkapi kekurangan mereka. Aksi protes dalam bentuk pendudukan dan menenun ini menyiratkan pesan bahwa kaum perempuan tradisional bertanggung jawab untuk mencari makan, zat pewarna. Di sisi lain, sementara kaum perempuan melakukan aksi pendudukan, kaum lelaki mendukung aksi kaum perempuan ini dengan melakukan aktivitas rumah tangga seperti memasak, membersihkan rumah dan menjaga anak. Sebenarnya, menurut Mama Aleta, dalam kebudayaan Molo, perempuan diharapkan menjadi ibu rumah tangga dan merawat keluarga.

(10)

Namun saat protes berlangsung, kaum perempuan Molo menyadari bahwa mereka bisa melakukan banyak hal. Dalam adat Molo, perempuan adalah juga pemilih tanah yang sah. Hak inilah yang digunakan kaum perempuan yang kala itu belum aktif mengungkapkan pendapat untuk melindungi tanah mereka..

Menurut Karen J.Warren ada empat asumsi pokok dalam ekofeminisme. Di peristiwa ini kesemuanya telah mengandung empat asumsi pokok diatas yaitu Ada keterkaitan penting antara opresi terhadap alam dan opresi terhadap perempuan, Pemahaman terhadap alam dalam keterkaitan ini adalah penting untuk mendapatkan pemahaman yang memadai atas opresi terhadap alam dan opresi terhadap perempuan, Teori dan Praktek feminis harus memasukkan perspektif ekologi, Pemecahan masalah ekologi harus memasukkan perspektif feminis. Dengan kata lain, gerakan feminisme yang dilakukan mama Aleta telah mengandung gerakan ekofeminisme.

Menurut Al Putnam Tong (1998) dan Sturgeon (1997)12 tipologi yang cocok sebagai

analisa peristiwa ekofeminisme diatas adalah ekofeminisme transformative salah satunya karena bergantung pada etika penekanan nilai-nilai “feminine” tradisional yang cenderung untuk menjalin, saling menghubungkan dan menyatukan manusia. Di gerakan ekofeminisme ini suku Molo sadar akan nilai-nilai tradisional yang menyatukan mereka dan kemudian menjadi gerakan pemersatu melawan tambang anti rakyat.

BAB IV KESIMPULAN

(11)

4.1 Kesimpulan

Peristiwa yang terjadi pada gunung mutis NTT merupakan salah satu peristiwa ekofeminisme yang ada di Indonesia. Banyak sekali peristiwa lain yang hamper sama dengan peristiwa tersebut. Alam dan perempuan masih dalam satu keluarga dan satu kesatuan utuh, karena keandaian manusia yang selalu mengibaratkan perempuan dengan peristiwa-peristiwa peristiwa alam. Menurut Karen J.Warren ada empat asumsi pokok dalam ekofeminisme. Di peristiwa ini kesemuanya telah mengandung empat asumsi pokok diatas yaitu Ada keterkaitan penting antara opresi terhadap alam dan opresi terhadap perempuan, Pemahaman terhadap alam dalam keterkaitan ini adalah penting untuk mendapatkan pemahaman yang memadai atas opresi terhadap alam dan opresi terhadap perempuan,

Pada hakikatnya terdapat kesamaan kedudukan antara wanita dan pria dalam masyarakat Indonesia. Terutama pada kehidupan alami yang mencerminkan kebudayaan rakyat, posisi wanita dan pria berlaku wajar secara adil. Tentu saja sesuai dengan kodrat alaminya pula.13 Oleh

karena itu kodrat kita sebagai perempuan dan laki-laki harus saling memahami terutama untuk kebutuhan selanjutnya bagi kelanjutan reproduksi masa depan.

DAFTAR PUSTAKA Buku

(12)

Tan, G, Mely Perempuan Indonesia Pemimpin Masa Depan?, 1991, PT Gelora Aksara Pratama., Jakarta.

Tong, Putnam, Rosemarie, 1998, Feminisme Thought, Jalasutra, Jogjakarta.

Jurnal

Asih, Mardi , 2014, Kalis, Kapitalisme Perempuan Dan Ekofeminisme dalam Jurnal Perempuan,

Marhaeni, Tri, 2012, Ekofeminisme Dan Peran Perempuan dalam Indonesia Journal Of Conservation Vol 1 No 1

Wulan, Retno, Tyas, 2007, Feminisme Transformative: Alternative Kritis Mendekonstruksi Relasi Perempuan dan Ekologi dalam Jurnal Transdisiplin Social, Komunikasi Dan Ekologi Manusia,

Internet

--- Mama Aleta Sang Pejuang Hijau Gunung Mutis Nusa Tenggara Timur. Pada Web

Http://Www.Tugulangsa.Com/2015/06/Mama-Aleta-Sang-Pejuang-Hijau-Gunung.Html. Diakses

Pada 30 Oktober 2015

--- Mama Aleta, Berjuang Melawan Tambang Anti Rakyat, Pada Web

Referensi

Dokumen terkait

Mimpi memiliki peran dan pengaruh yang besar dalam kehidupan si pemuda. Fenomena ini menjadi indikasi kuat tentang alam tak sadar yang menguasai dirinya. Si pemuda

Jika dikaitkan dengan rekaman pembicaraan antara MS Kaban dengan Anggoro yang diperdengarkan di muka persidangan pada tanggal 28 Mei 2014 namum tidak diakui oleh MS

PSN DBD adalah "ing$atan dari Pe(eranta"an Sarang N-a&$ Dea Berdarah Deng&e yaitu kegiatan untuk memberantas tempat berkembang. biaknya

Pasien den(an hi!er!rola$tinemia atau tumor hi!o)sis $e*il da!at diobati den(an o!erasi amada& atau den(an

Prinsip metode kolorimetri pada penetapan kadar asam asetilsalisilat adalah pembentukan kompleks antara besi nitrat dengan gugus fenolik asam salisilat pada asam

Pada akhir sesi teknis, peserta diminta berdiskusi kelompok untuk mengidentifikasi praktek baik dilingkungan kerja setiap anggota sesuai area pengamatan, dan mempresentasikan

Translation dalam Laurence Venuti (Ed) The Translation Studies Reader. New