• Tidak ada hasil yang ditemukan

DELIR DAN SEKSUALITAS INFANTIL DALAM AL-FIRÂSH AL-SHAGHÎR KARYA YEHIA HAKKI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DELIR DAN SEKSUALITAS INFANTIL DALAM AL-FIRÂSH AL-SHAGHÎR KARYA YEHIA HAKKI"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Delirious and Infantile Sexuality in the "Al-Firâsh Al-Shaghîr" by Yehia Hakki

As. Rakhmad Idris Kantor Bahasa Provinsi Lampung

Jalan Beringin II No 40 Kompleks Gubernuran Telukbetung, Bandarlampung Pos-el: asrakhmad@gmail.com

Diajukan: 25 Maret 2017, direvisi: 10 Juli 2017

Abstract

Literary works are born from the social womb of society. Authors are just painters of everyday phenomena and human behaviors. The story of Yehia Hakki's "Al-Firâsh Al-Shaghîr" (FS) is one of the most interesting fictional stories of the Middle East to be studied. The main character in the FS short story has a different mental predisposition from ordinary people. He is suspected of having a delirious and infantile desire controlled by his dreams to prove the psychological phenomenon, the writer conducts a study using Freud's psychological approach. In his theory, Freud describes the concept of id, ego, and superego, oedipus complex, and self-defence This study finds the psychological phenomenon of the "young man" who "loves "his mother thus he considers the father as a rival, and also has a pent-up desire to a black woman who is cold like a wax statue. The desires and pent-up desires of the main character in the FS show the delirious phenomenon of infantile delirium and passion in the young man.

Keywords: Literature, psychology, psychoanalysis, delirium, infantile desire

Abstrak

Karya sastra lahir dari rahim sosial masyarakat. Pengarang hanyalah pelukis fenomena keseharian dan tingkah laku manusia. Cerpen “Al-Firâsh Al-Shaghîr" (FS) karya Yehia Hakki merupakan salah satu cerita fiksi dari Timur Tengah yang menarik untuk dikaji. Tokoh utama dalam cerpen FS memiliki kecenderungan kejiwaan yang berbeda dari manusia biasa. Ia diduga mengidap delir dan hasrat infantil yang dikuasai oleh mimpinya. Untuk membuktikan fenomena kejiwaan tersebut, penulis melakukan kajian menggunakan pendekatan psikologi Freud. Dalam teorinya Freud memaparkan konsep id, ego, dan superego, odipus kompleks, dan pemertahan diri. Kajian ini menemukan fenomena kejiwaan tokoh “si pemuda” yang “mencintai” ibunya sehingga menganggap sang ayah sebagai saingan. Ia juga memiliki hasrat terpendam untuk memiliki seorang wanita berkulit hitam dan dingin seperti patung lilin. Keinginan dan hasrat terpendam tokoh utama dalam FS memperlihatkan fenomena delir dan hasrat infantil yang ada pada diri si pemuda.

(2)

471

1. Pendahuluan

Peneliti yang mengkaji

problematika kejiwaan kerap

menjumpai dalam karya sastra—baik sengaja maupun tidak disengaja— fenomena yang berkaitan erat persoalan kejiwaan. Bahkan tak jarang karya sastra tersebut membantu mereka ketika menerapkan teori dan metode pengobatan terbaik bagi penderita hysteria dan neurosis. Tak terkecuali Freud. Ia melihat hasil penelitiannya selama ini sangat cocok sekali dengan apa yang dideskripsikan oleh para sastrawan dalam karya sastra mereka. Sebagai contoh novel La Gradiva karya Wilhelm Jensen yang terbit pada tahun 1903 (Milner, 1992: 48). Pada akhirnya muncul pendapat

yang mengatakan bahwa para

sastrawan ternyata justru mengetahui lebih dalam dan detail seputar kejiwaan manusia saat itu.

Hubungan antara sastra dan kejiwaan terlihat melalui benang merah antara kritik sastra dan psikologi sebagai pendekatannya. Psikologi memasuki bidang kritik sastra melalui beberapa jalan. Pertama, melalui pembahasan tentang proses penciptaan sastra, kedua melalui pembahasan psikologi pengarang (baik sebagai model tertentu maupun sebagai diri pribadi), ketiga melalui pembicaraan tentang ajaran dan kaidah psikologi yang dapat digali dari karya sastra, keempat melalui pengaruh karya sastra terhadap pembacanya (Hardjana, 1985 : 60). Benang merah yang menghubungkan antara sastra dan psikoanalisis setidaknya melalui dua hal. Pertama, setiap manusia (berdasarkan hasil penelitian Freud) memiliki kesamaan dalam hasrat-hasrat tersembunyi. Kesamaan itulah yang membuat kehadiran karya sastra dapat menyentuh perasaan kita karena

berperan memberi solusi atas hasrat tersebut. Karya sastra dianggap

mampu memberi kepuasan tak

langsung pada hasrat-hasrat kita. Kedua, hubungan antara proses elaborasi karya sastra dan elaborasi mimpi memiliki kemiripan karena mimpi seperti tulisan yang memiliki sistem tanda yang menunjuk pada sesuatu yang berbeda untuk setiap tanda (Milner, 1992 : 32-37). Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila

analisis karya sastra yang

menggunakan psikoanalisis memiliki ciri khas dan mendapat perhatian serius kalangan kritikus.

Untuk memahami kejiwaan seseorang yang tidak sedang dalam gangguan jiwa saja sudah cukup merepotkan, apalagi memahami

orang-orang yang sedang mendapat

gangguan kejiwaan sebagai contoh gangguan neurosis. Tokoh yang mendapat peran sebagai penderita neurosis dalam beberapa novel dan cerpen tak jarang membuat para kritikus sastra semakin penasaran. Hubungan antara karya sastra dan neurosis ala Freud antara lain karena

pembahasannya menyangkut

persoalan bawah sadar (Hardjana, 1985: 61). Makna yang disampaikan sastrawan dalam karya sastra yang dibungkus dengan fenomena neurosis terkadang tidak dapat dimunculkan dengan utuh. Ketidakutuhan itu disebabkan proses penciptaan karya tersebut diniatkan sebagai media ekspresi hasrat-hasrat manusia yang dirahasiakan.

Cerpen “Al-Firâsh Al-Shaghîr”

(Tempat Tidur yang Kosong,

selanjutnya disingkat menjadi FS)

karya Yehia Hakki—telah

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia—merupakan satu di antara banyak karya sastra yang menarik bila dianalisis menggunakan pendekatan psikoanalisis. Hakki semula menolak

(3)

471 karyanya ini dikategorikan dan

dimasukkan dalam antologi cerpen Arab kontemporer. Ia menganggap cerpen FS merupakan sebuah terapi kejiwaan dan tidak layak menjadi konsumsi publik. Padahal FS memiliki sudut pandang pengarang yang kuat dan penokohan yang rumit serta latar sosial mengenai degradasi manusia sehingga menjadikan cerpen FS layak dibaca masyarakat di dalam dan luar negeri (Manzaloui, 1990: 176).

Pengarang yang notabene

alum-nus Fakultas Hukum (1925),

Universitas Kairo ini memang pada masa mudanya termasuk penggemar Freud dan Adler. Ia lahir pada tahun 1905 dan pernah menjadi diplomat dan duta besar. Ia pindah dari satu negara ke negara di Asia dan Eropa. Akan tetapi, latar cerita yang dikarangnya selalu diangkat dari kehidupan rakyat biasa di pedesaan. Beberapa drama karya Maeterlinck dan novel karya Thomas Mann, Stefan Zweig, Edith Saunders, Alexander Dumas, dan Desmond Stewart sudah pernah ia terjemahkan ke dalam bahasa Arab. Selain tercatat sebagai penerima hadiah Yayasan Faisal (semacam hadiah Nobel di Timur Tengah) di bidang sastra pada bulan Maret 1990, ia juga tercatat sebagai anggota Akademi Seni, Sastra, dan Ilmu-ilmu Sosial di Kairo. Namanya melejit di dunia sastra setelah noveletnya Qindil Ummi Hasyim

(Lampu Minyak Ibu Hasyim)

diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing termasuk bahasa

Indonesia pada tahun 1976

(Manzaloui, 1990 : xix-xx).

Cerpen FS memiliki kekuatan pada penokohan tokoh pemuda tanpa nama yang hidup di sebuah distrik di Mesir. Kehidupan pemuda ini nyaris tanpa tujuan. Sejak kuliah hingga akhirnya menikah, ia tidak pernah menemukan hakikat dirinya. Hingga

akhirnya ia mendapatkan pekerjaan di tempat kremasi mayat. Menurutnya, tempat dan pekerjaannya tersebut sudah sesuai dengan hasrat dan keinginan terpendamnya selama ini.

Kehidupan tokoh pemuda dan keinginannya yang tertekan dan terpendam merupakan fenomena kejiwaan. Ada korelasi antara psikoanalisis dan cerpen FS sehingga mendorong pengkaji untuk meneliti lebih jauh dan dalam bagaimana konsep Freud dapat diterapkan dalam teks sastra. Fenomena peristiwa alam bawah sadar mendapat tempat pembahasan lebih banyak—termasuk

permasalahan mimpi—karena

memiliki kemiripan dengan proses penulisan karya sastra. Mimpi menurut Freud tak ubahnya teks yang menuntut ketelitian khusus bagi penulis untuk mengkaji setiap jengkal teks sehingga

dapat memunculkan fenomena

psikoanalisis di dalamnya.

Pendekatan psikoanalisis dalam kajian ini mengusung konsep delir dan seksualitas infantil. Delir adalah gangguan kejiwaan yang menyebabkan penderitanya memberi kepercayaan yang sama besar pada ciptaan imajinasi, khayalan, dan persepsi nyata sehingga penderita membiarkan perilakunya dibelokkan atau diarahkan oleh imajinasi yang timbul dalam khayalannya (Milner, 1992 : 59-60).

Gejala-gejala penderita delir antara lain adalah kepercayaan yang berlebih terhadap khayalan berupa representasi imajiner yang dipercaya oleh penderita seperti kenyataan atau dapat juga berupa tindakan-tindakan yang didorong kepercayaan pada khayalan (Milner, 1992 : 63). Fenomena ini terjadi sebagai dampak dari konflik yang timbul oleh dua kekuatan yang sama-sama tak disadari. Kedua kekuatan itu berupa keinginan atau kecenderungan yang muncul sejak kanak-kanak (pulsi) dan represi

(4)

471

yang menghalangi pulsi tersebut sehingga muncullah gejala tersebut sebagai jalan tengah. Keduanya akan terus berevolusi dalam wujud delir karena masing-masing kekuatan terus

memaksa untuk muncul dan

menimbulkan jalan tengah tersebut kembali (gejala delir).

Seksualitas infantil sering juga disebut dengan seksualitas anak-anak. Istilah ini akrab dengan psikoanalisis. Freud yang melontarkan istilah ini pertama kali tak luput dari kritik terhadap penemuannya tersebut. temuannya ini membuat dirinya ditertawakan banyak orang karena mustahil seksualitas telah dimiliki anak-anak semenjak mereka lahir. Sangggahan terhadap teori Freud ini dapat kita kategorikan ke dalam dua pandangan. Pertama dari pandangan moral dan kedua dari pandangan yang bersifat ilmiah (Milner, 1992 : 109). Pandangan pertama bisa kita lihat dalam bentuk pertanyaan, bagaimana mungkin anak kecil semenjak lahir telah memiliki pengalaman seksual, apalagi yang bersifat perversi? Pandangan kedua berupa pertanyaan

ilmiah yang mempertanyakan

mengapa dari dulu orang tidak pernah berbicara mengenai seksualitas anak-anak dan bagaimana mungkin tidak ada satu pun kajian psikologi selama berabad-abad, yang membahas secara detail seputar permasalahan seksual pada anak-anak.

Hubungan antara delir dan seksualitas infantil serta psikoanalisis sendiri adalah hubungan yang hampir pasti tidak dapat dipisahkan. Psikoanalisis membahas tentang kecenderungan manusia terhadap fenomena alam bawah sadar yang selama ini tidak pernah disentuh peneliti. Di sisi lain, delir dan seksualitas infantil merupakan dua kecenderungan yang terjadi di bawah alam sadar manusia.

Berdasarkan latar belakang permasalahan, kajian ini akan menentukan garis besar masalah yang akan dikupas. Rumusan permasalahan

tersebut secara umum dapat

disimpulkan dari beberapa pertanyaan penting berikut. Bagaimana bentuk delir dan seksualitas infantil yang terdapat pada tokoh cerpen FS (Al-Firâsh Al-Shaghîr)? Bagaimana psikoanalisis melihat perilaku yang diderita tokoh dalam FS? Pembahasan terperinci berkenaan dengan kedua masalah tersebut diuraikan secara bertahap dan sistematis.

2. Metode

Psikoanalisis dipilih sebagai pendekatan dalam mengkaji cerpen FS bukan tanpa alasan. Selain karena kandungan isi cerita yang diakui oleh penulis sendiri sebagai ekspresi kejiwaan, juga karena pendekatan psikoanalisis dirasa sangat tepat bila diaplikasikan dalam menganalisis dan mencari penyimpangan yang terdapat dalam tokoh cerita. Untuk itu perlu dipaparkan bagaimana cara kerja psikoanalisis dalam mengkaji teks sastra. Konsep psikoanalisis yang digunakan dalam kajian ini adalah konsep-konsep yang dijabarkan Freud, Carl Gustav Jung, dan Jacques Lacan.

Sigmund Freud lahir di tengah keluarga Yahudi pada tanggal 6 Mei 1856 di Freidburg dan menetap di Wina ketika ia berumur 4 tahun hingga tahun 1938 (Lechte, 2001 : 44). Bermodalkan kecerdasan, ia berhasil

memenangkan beasiswa untuk

melanjutkan studi ke Paris. Di sana ia belajar di bawah pengawasan Jean Martin Charcot di Salpetrière. Freud

kemudian bergelut dengan

penelitiannya tentang histeria dan penggunaan hipnosis. Penelitiannya tersebut didukung Charcot yang membukakan jalan baginya untuk

(5)

477 lebih serius mendalami persoalan

kejiwaan. Ia wafat di London pada tanggal 23 September 1939 (Lechte, 2001 : 45).

Pada tahun 1900, Freud menulis dan menerbitkan sebuah buku yang menjadi tonggak lahirnya aliran psikologi psikoanalisis. Buku tersebut berjudul Interpretation of Dreams yang masih dikenal sampai hari ini. Dalam buku ini Freud memperkenalkan konsep yang disebut "unconscious mind" (alam ketidaksadaran). Secara garis besar Freud ingin memaparkan teori bahwa penafsiran mimpi harus dengan metode khusus karena mimpi adalah suatu pemenuhan harapan (secara umum) yang tidak dipahami dengan mudah saat ditampilkan isinya (Lechte, 2001 : 47). Melalui mimpi kita bisa membaca dan melihat cara kerja proses primer. Seperti kata Freud, mimpi merupakan “jalan tol menuju ketidaksadaran” (Sarup, 2003: 19). Selama periode 1901—1905 dia menerbitkan beberapa buku. Tiga

diantaranya adalah The

Psychopathology of Everyday Life (1901), Three Essays on Sexuality (1905), dan Jokes and Their relation to the Unconscious (1905).

Pada tahun 1902 dia diangkat sebagai profesor di University of Viena dan saat itu namanya mulai mendunia. Pada tahun 1905 ia mengejutkan dunia

dengan teori perkembangan

psikoseksual (Theory of Psychosexual Development) yang mengatakan bahwa seksualitas adalah faktor pendorong terkuat untuk melakukan sesuatu dan balita pun mengalami ketertarikan dan kebutuhan seksual (Milner,1992: 104-105). Beberapa komponen teori Freud yang sangat terkenal adalah:

1. The Oedipal Complex, yaitu ketertarikan anak kepada ibu dan kecenderungan mengidentifikasi diri seperti sang ayah demi mendapatkan perhatian dari ibu.

2. Konsep Id, Ego, dan Superego. 3. Mekanisme pertahanan diri (ego

defense mechanisms).

Psikoanalisis yang

dikemukakan Freud memiliki

beberapa makna yaitu: (1) sebagai sebuah teori kepribadian dan psikopatologi, (2) sebuah metode terapi untuk gangguan-gangguan kepribadian, dan (3) suatu teknik untuk menginvestigasi pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan individu yang tidak disadari oleh individu itu sendiri.

Kendati sejarah mencatat bahwa di kemudian hari teori ini diteruskan oleh beberapa tokoh psikoanalisis seperti Carl Gustav Jung dan Jacques Lacan, tetapi teori awal Freud tetap menjadi rujukan. Lacan lahir pada tahun 1901 dalam keluarga Katolik. Ia kemudian memperdalam bidang psikiatri pada tahun 1920 di

bawah bimbingan Gaetran de

Clèrambault. Ia berhasil mengubah seluruh orientasi psikoanalisis di Prancis dan tempat-tempat lainnya (Lechte, 2001: 114). Ia berupaya menafsirkan ulang teori Freud— “kembali ke Freud” seperti kata Lacan—yang dimulai pada tahun 1930-an dan diilhami oleh pemikiran Hegel menurut Alexander Kojève. Upaya penafsiran ulang tersebut di antaranya terkait anggapan bahwa ego merupakan hal yang paling penting dalam upaya memahami perilaku manusia. Di sisi lain, konsep bahasa dalam karya Freud, menurut Lacan memegang peranan penting dalam suatu wawancara psikoanalitis, tetapi tidak terbatas pada fungsinya sebagai medium komunikasi. Faktor yang membuat komunikasi menjadi cacat juga penting (seperti selip lidah, linglung dan lainnya), sehingga kesalahan tersebut membuat kita dapat dengan mudah memahami fenomena ketidaksadaran (Lechte, 2001: 114-116). Namun, pandangan

(6)

471

tersebut tidak berarti bahwa Lacan menerima begitu saja mentah-mentah teori Freud, tetapi ia juga banyak berbeda pendapat dengan Freud terutama perbedaan konsep ego, ketidaksadaran, mimpi, dan kompleks oedipus (Sarup, 2003 : 17).

Carl Gustav Jung dilahirkan pada tanggal 26 Juli 1875 di Kesswyl (Switzerland), pinggir danau Konstanz (Bodense) dan wafat pada tanggal 6 Juni 1961 di Kusnacht (Switzerland) (Jung, 1989: 3). Jung bertemu Freud pada tahun 1907. Sejak tahun 1907— 1913 terjalin kerjasama intensif di antara keduanya yang bertahan dan membawa hasil yang besar. Jung sempat menjadi ketua Perhimpunan Psikoanalisis Internasional dalam usia yang sangat muda. Kerja sama dengan Freud terputus pada tahun 1912 tatkala Jung mengundurkan diri dari ketua Perhimpunan Psikoanalisis Internasional dan menerbitkan buku Symbol and Transformations of the Libido (pada tahun 1916 buku ini diberi judul Psychology of the Unconscious) (Jung, 1989: 8—10). Perbedaan pendapat menjadi awal perpisahan antara Freud dan Jung. Keduanya tidak bersepakat mengenai alam tak sadar kolektif, libido, dan dimensi spiritual budaya dalam filsafat dan agama.

Terlepas dari adanya

perbedaan antara Freud dan

pengikutnya, analisis cerpen FS

menggunakan pendekatan yang

digagas oleh Freud berkenaan masalah delir dan seksualitas infantil.

3. Hasil dan Pembahasan

Delir dan Seksualitas Infantil dalam Cerpen Al-Firâsh Al-Shaghîr

Tokoh yang ditampilkan Yehia Hakki dalam cerpen FS diperankan oleh seorang pemuda yang menyerah

pada kemauannya dan bergelut dengan dorongan-dorongan bawah sadar yang terus berevolusi dalam delir yang dideritanya. Kondisi ini bisa saja terjadi pada setiap orang. Saat kepuasan seseorang tidak terpenuhi dan hidup menjadi terasa sulit, saat itulah kita sering menarik diri dari realitas dan mengatasi frustasi dengan halusinasi. Realitas kembali menguasai setelah beberapa waktu kita sadar bahwa kita harus tetap bertahan hidup (Sarup, 2003 : 18-19). Perlu digarisbawahi dalam kajian ini bahwa kajian sastra dengan pendekatan psikoanalisis dilakukan sebagai analisis terhadap simbol-simbol

mimpi, pengungkapan aliran

kesadaran jiwa, dan pengertian libido ala Freud yang kelak menjadi dukungan terhadap pemberontakan sosial melawan gerakan puritan (kerohanian ketat) dan viktorianisme (pergaulan kaku) (Hardjana, 1985 : 59). Asumsi sementara atas teks FS ini mengandung penokohan tokoh yang

mengalami penyimpangan.

Pembahasan yang akan diuraikan di bawah ini akan mengungkap berbagai fenomena psikoanalisis yang ditemui dalam teks, terutama fenomena delir dan seksualitas infantil yang diderita oleh “si pemuda”.

Sebelum masuk ke dalam inti cerita, deskripsi tentang si pemuda digambarkan oleh pengarang sebagai orang yang memang sedang menderita delir. Ia senantiasa merasa dipenjara oleh imajinasinya tentang keberadaan musuhnya yang telah menghancurkan hidupnya selama ini. Musuh yang diciptakan oleh khayalannya tersebut baginya memang benar-benar ada dan ia tidak berhenti mengejarnya.

“Ia ini selalu dengan licik

mencari kesempatan untuk

membebaskan diri dan lari untuk mengejar seorang musuh yang telah

(7)

471 menghancurkan semangatnya,

kesadarannya, dan kemampuan berpikirnya...” (hal. 19)

“Kesulitannya ialah bahwa ia tidak tahu siapa musuhnya itu”. (hal. 19)

Pengarang bahkan berusaha

memberikan deskripsi tentang makna delir yang menimpanya.

“...sebab tipuan bermain dengan khayalan dan tidak dengan kebenaran, dan membuat hal yang diangan-angankan menjadi lebih cemerlang sehingga memudarkan kenyataan”. (hal. 21)

Fenomena the Oedipal Complex dapat kita temukan dalam deskripsi singkat seputar tiga anggota keluarga tersebut. Fenomena ini terlihat ketika

si pemuda menganggap bahwa

ayahnya adalah saingannya, untuk mendapatkan perhatian dari ibunya, sang “kekasih”. Peristiwa ini kita jumpai dengan jelas dalam kalimat berikut yang menceritakan kecintaan (seksualitas infantil) si pemuda kepada ibunya :

“Si suami menyebut istrinya “Ibu”, si istri memanggilnya “Bapak”, dan keduanya memanggil anaknya yang tunggal “Kawanku”, sedangkan putranya memanggil ibunya “Kekasih”. (hal. 23)

Ternyata semenjak kecil, si

pemuda sudah memiliki

kecenderungan untuk menyingkirkan ayahnya yang dianggap sebagai penghalang dan musuh yang merepresi hasrat pulsi infantilnya. Kalimat demi kalimat berikut menggambarkan secara jelas mengenai keadaan yang dialami si pemuda semenjak ia berumur lima tahun.

“Putranya sama sekali tidak pernah menyapa ayahnya sejak ia berusia lima tahun; ia tidak pernah bercakap-cakap dengan ayahnya, malahan tidak bicara dengan ayahnya secara langsung, dan apabila ayahnya tidak ada di tempat ia memakai kata ganti, dengan sebuah kata: “Dia”.

“Sering kali apabila mereka berdua bertolak belakang misalnya, ketika salah satu sedang meninggalkan ruangan, si ayah akan menoleh dan melihat putranya menatap dari belakang. Dan si putra merasa bahwa ayahnya sedang menatapnya dengan pandangan yang tajam menusuk yang memfirasatkan sesuatu. Si ayah akan merasa bahwa pandangan sekilas anaknya adalah tatapan seseorang

dengan pisau bedah yang

disembunyikan ditangannya. Kemudian tukar pandang itu menimbulkan situasi yang kaku, dan senyuman maaf yang malu karena ketahuan kelicikan mereka;...” (hal. 23)

Pertanyaan mengemuka

mengenai karakter si pemuda yang

tidak betah dan membenci

keadaannya. Saat ia diterima di fakultas perdagangan, ia tidak betah bahkan semakin menjadi-jadi dengan igauan dan ocehan yang tak bermakna. Namun, ketika ia berkuliah di fakultas hukum, ia mendapatkan ketenangan. Perasaan itu ia dapatkan karena ia merasa senang dengan cara hukum memisahkan diri sama sekali dari undang-undang alam. Ia sangat mencintai alam. Alam adalah simbol dari “Ibu”. Fenomena oedipus terus dialami si pemuda dan mendorong pulsi infantilnya hingga ia dewasa.

“Akhirnya ia memasuki Fakultas Hukum, dan menekuni ilmu hukum itu dan setiap tahun mengikuti ujian...Ia menemukan ketenangan mental dalam mempelajari ilmu itu dan ia pun

(8)

411

setahun lagi akan lulus. Ia menyukai cara hukum yang memisahkan diri sama sekali dari undang-undang alam,...” (hal. 24)

Perasaan si Pemuda yang sangat mencintai alam “Ibu” semakin terlihat ketika ia begitu senang berada dalam alam terbuka. Ia merasakan kebebasan dan kebahagiaan, padahal sebelumnya ia begitu kehilangan semangat.

“(Ia) merebahkan diri di kaki lima depan masjid, dan membiarkan dadanya terbuka disinari pancaran matahari dan dikerubungi kutu-kutu; dan bilamana pancaran sinar matahari dan pada waktu kutu-kutu itu dan sinar matahari bersama-sama menyerang dadanya, pengemis itu akan

menemukan kesenangan yang

membuatnya pada saat yang bersamaan menyeringai kesakitan dan menggigil kesenangan”. (hal. 26)

Kita menemukan alur cerita yang mengejutkan dalam cerita ini. Si Pemuda tiba-tiba memutuskan untuk menikah. Keinginan si pemuda yang ingin memilih calon istrinya sendiri tanpa campur tangan orang tuanya memperlihatkan adanya pengaruh pengalaman masa kecilnya. Dorongan pulsi seksual infantil kembali

menguasainya. Fenomena ini

menunjukkan delir yang dideritanya kembali berevolusi. Kita boleh saja

menduga bahwa si pemuda

sebenarnya ingin menikahi ibunya, “alam” dan sang “kekasih”. Pengarang mencoba mendeskripsikan fenomena tersebut dengan kalimat di bawah ini.

“Ia mengulurkan tangannya ke arah seorang gadis miskin, dan menyatakan pilihannya seperti seorang bocah dalam toko mainan, hanya dengan menunjuk: “Yang ini!”. Hal itu

memberikan kegembiraan yang tiada tara baginya yang mengira bahwa ia telah kembali ke alam dan cara hidupnya” (hal.26—27)

Kehidupan sehari-hari si pemuda senantiasa dikuasai oleh khayalan dan imajinasinya. Ia kerap mengkhayalkan kecantikan seorang wanita yang akan dinikahinya dengan cara membayangkan betis wanita tersebut yang merah jambu. Ia juga memiliki keinginan dan imajinasi untuk menikahi wanita yang telah “dirambah oleh orang lain”. Ia ingin mewujudkan pernikahan dengan wanita tersebut di rumah orang tuanya sebagai pelengkap khayalannya. Bahkan khayalan dan hasratnya yang paling ekstrim adalah menikahi wanita yang dingin seperti patung dan lilin. Semua khayalannya itu merupakan halusinasi dari delir yang dideritanya dan turut mengatur jalan hidupnya melalui setiap perilakunya. Khayalan dan imajinasi si pemuda merupakan bentuk-bentuk unheimliche yang kerap dibahas dalam kajian psikoanalisis. Deskripsi dari pengarang berikut ini

memperkuat fenomena delir,

seksualitas infantil, oedipus dan unheimliche dalam cerpen ini.

“Dan pemuda itu melanjutkan khayalan kecantikan wanita itu pada betisnya yang merah jambu” (hal. 27)

“Gadis ini merupakan segalanya yang dapat ia harapkan: langkah yang mudah untuk diambil, telah terbuka dan menjadi lancar baginya karena sudah dirambah oleh orang lain.” (hal. 28)

“Untuk melengkapi

khayalannya, si pemuda mengisi kamar pengantin dirumah orang tuanya yang telah dipilihnya sendiri” (hal. 28—29)

“Seorang wanita yang wajahnya tetap beku dan diam sungguh pun harus dibuat dari lilin, dengan bibir kaku

(9)

414 seperti kayu, atau dibentuk dengan

cetakan, seorang wanita yang tidak dapat menggerakkan lengannya, sekalipun berarti bahwa ia akan sedingin es” (hal. 33)

Wanita yang dinikahi si pemuda dalam FS tidak berperan sebagai penyembuh penyakit delir yang dideritanya. Berbeda dari novel La Gradiva yang menceritakan tokoh Joe yang berusaha memahami keadaan Norbert. Joe berusaha memberikan kesempatan kepada Norbert dengan cara mengikuti imajinasi Norbert. Langkah tersebut dianggap sebagai tahapan penyembuhan delir yang di derita Norbert. Sebaliknya dalam FS, si wanita yang dipilih menjadi istri si

pemuda justru memaki dan

menanggapi penyimpangan yang terjadi sebagai kelainan dan sakit jiwa. Pengarang mendeskripsikan karakter sang istri sebagai wanita yang panik menanggapi situasi tersebut. Sikap tersebut merupakan suatu kewajaran karena si wanita hanyalah gadis desa dari Mesir Utara yang tidak berpendidikan. Ia sama sekali tidak mengenal problematika delir yang diderita si pemuda. Kita juga melihat ego si pemuda yang ingin berkuasa dan mengatur segalanya dalam rumah tangga. Malam pertama pernikahan yang seharusnya menjadi malam bahagia bagi kedua belah mempelai, justru menjadi malapetaka bagi si

pemuda. Malapetaka tersebut

disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena khayalannya untuk menikahi wanita dingin dan diam seperti boneka tidak terwujud. Kedua, sang istri sudah mulai mengatur dan mengubah khayalan yang telah disusun si pemuda selama ini. Kita dapat menyaksikan perilaku sang istri dalam teks berikut.

“Karena aku mengawini seorang laki-laki dari Kairo dan dari kalangan

atas, paling tidak aku ingin kasurku memakai per daripada tempat tidur dengan alas papan kayu ini”

“Di atas ranjang per itu, si pemuda menerima guncangan yang hebat dalam hidupnya, yang mengguncang pribadinya pula. Hal ini menghancurkan mimpinya; yang meninggalkannya tak berdaya dalam kebingungan” (hal. 29)

“Kami wanita dari Mesir Utara adalah untuk kaum pria dari Mesir Utara pula. Persetan dengan duitmu, keanggunan dan kata-katamu yang halus.”

Dan ia menambahkan seakan-akan ia mendapat suatu padah, “Carilah untuk dirimu sendiri suatu mumi yang semuanya dicelup putih, hitam dan merah: ada beribu-ribu di kotamu ini”. (hal.31)

Mimpi memiliki peran dan pengaruh yang besar dalam kehidupan si pemuda. Fenomena ini menjadi indikasi kuat tentang alam tak sadar yang menguasai dirinya. Si pemuda bermimpi melihat seekor burung musim hujan. Menurut ibunya, mimpi tersebut pertanda akan hadirnya seorang pengembara. Mimpi itu terus menghantui dan membayanginya. Tatkala ia berkenalan dengan pemilik toko di depan rumahnya yang berprofesi sebagai penyedia jasa pemakaman jenazah, ia menganggap pria itu adalah pengembara yang dinantikannya. Oleh sebab itu, ia merasa senang bekerja dengan pria tersebut. Saat melakukan prosesi pemandian mayat, si pemuda merasa mendapatkan solusi penyaluran hasrat infantil dan khayalannya. Saat melakukan itu, si pemuda merasa telah

mendapatkan kepuasan. Pada

akhirnya, si pemuda tidak bisa meninggalkan dunia barunya tersebut.

(10)

411

“Sehari berlalu tanpa sebuah jenazah terasa menjemukan dan tidak menarik. Ia bekerja sebagai pekerja yang unggul. Jari-jemarinya ingin sekali menyentuh jenazah”. (hal. 41)

Puncak dari khayalannya yang belum terwujud dan pemenuhan hasrat infantilnya adalah tatkala ia mendapat kabar dari si pemagang bahwa seorang wanita Mesir Utara berkulit hitam meninggal dunia. Wanita seperti itulah yang selama ini ia impikan. Sang pemuda menganggap wanita tersebut tidaklah mati, melainkan akan hidup menjadi istrinya. Namun, untuk memenuhi keinginannya tersebut ia harus membayar mahal dengan memenuhi keinginan si pemagang melakukan perbuatan homoseksual.

“Seorang pengantin wanita dalam usia remajanya, terbaring dengan baju pengantin dengan bunga-bunga yang ditaburkan di tubuhnya. Dan malam ini adalah bulan purnama.”

“Kuning langsat atau hitam?” tanya si pemuda dengan berdebar-debar.

“Hitam. Mereka mengatakan boleh jadi ia datang dari Mesir Utara”.

Ketika mendengar hal itu, si pemuda melompat dan menyambar kerah si pemagang.

“Tunjukkan padaku jalan ke makamnya,” pintanya dengan suara parau.

Dan si pemagang berbisik kembali.

“Dengan syarat, bahwa kau tidak menolak kali ini. Dengan syarat bahwa kau akan membiarkan aku.”

Dua bayangan sosok tubuh dengan bergegas-gegas berlalu dalam gelap, seekor binatang rakus yang bisa mengunyah batu koral; dan jiwa yang yang busuk, hancur, yang Tuhan telah

menarik kembali segala

keampunanNya. (hal. 43-44) 4. Simpulan

Delir dan hasrat infantil memenuhi ruang dan alur cerita FS. Keduanya terus berevolusi dan mendorong pulsi si pemuda yang tak mampu menguasai dunia tak sadarnya. Fenomena oedipus kompleks, peran dan fungsi mimpi turut memperkaya cerpen FS sebagai terapi kejiwaan. FS sebagai cerita psikologi patut direnungkan oleh pembaca walau makna yang terkandung di dalamnya tidak pernah selesai. Cerpen FS

memperlihatkan pemberontakan

sosial tokoh si pemuda terhadap puritanisme dan viktorianisme. Kita disadarkan bahwa setiap manusia memiliki kecenderungan yang berbeda dan memerlukan sikap sikap saling

menghormati dan menghargai

terhadap perbedaan tersebut.

Konsep psikoanalisis Freud yang diterapkan dalam cerpen FS bersifat terbuka dan universal. Masing-masing pihak berhak memberikan interpretasi yang berbeda-beda dari

penggalan cerpen tersebut.

Pemaknaan semacam ini akan

memperkaya khasanah sastra dan memberikan nilai tersendiri bagi perkembangan dunia sastra.

Daftar Acuan

Hardjana, Andre. 1985. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia. Jung, Carl Gustav. 1989. Memperkenalkan

Psikologi Analitis. Jakarta: PT. Gramedia Lechte, John. 2001. 50 Filsuf Kontemporer

Yogyakarta. Jakarta: Kanisius.

Manzaloui, Mahmoud. 1990. Masjid di Lorong Sempit. Penerjemah Zen Rosdy. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Milner, Max. 1992. Freud dan Interpretasi

Sastra. Penerjemah, Afsanti Ds (et. All). Jakarta: Intermassa.

(11)

411 Sarup, Madan. 2003. Poststrukturalisme dan

Posmodernisme. Alih bahasa Medhy Aginta Hidayat. Yogyakarta: Penerbit Jendela.

Sinopsis Cerpen Al-Firâsh Al-Shaghîr

Cerpen FS mengangkat kisah tentang seorang pemuda yang menyerah pada kemauan alam bawah sadarnya.

Sebuah keluarga kecil terdiri atas sepasang suami, istri, dan seorang anak lelaki menetap di Distrik Imamein. Rumah yang mereka huni tepat berseberangan dengan toko yang khusus memberi pelayanan sebagai pengurus pemakaman untuk seluruh distrik tersebut. Keluarga tersebut selama ini terkesan mengisolasi diri dari kehidupan masyarakat sekitarnya.

Cerpen FS kemudian memfokuskan pada kehidupan sehari-hari yang dijalani oleh pemuda tersebut. Kehidupan yang ia jalani seakan tanpa arah dan tujuan. Ia menempuh studi di fakultas perdagangan sebuah perguruan tinggi. Setahun kemudian ia menampakkan kecemasan dan kebencian pada fakultas yang dipilihnya. Ia lalu pindah dan melanjutkan studi di fakultas sastra karena ia merasa kemampuan pikir dan bahasanya menurun. Namun, ia kembali mengundurkan diri dan berhenti kuliah. Hingga akhirnya ia memilih fakultas hukum. Pilihan tersebut merupakan pilihan terakhir dan sangat sesuai dengan jiwanya.

Ketika masih menempuh kuliah di fakultas sastra memutuskan untuk menikah. Si pemuda memutuskan untuk memilih calon istri tanpa campur tangan orang tuanya. Ia hanya berdiam diri di rumah lalu tiba-tiba menunjuk seorang wanita desa dari Mesir Utara untuk menjadi istrinya. Wanita tersebut ternyata telah menikah di desanya. Sang suami baru saja meninggal dunia karena dibunuh saingan bisnisnya. Untuk melengkapi khayalannya selama ini, si pemuda mengisi kamar pengantin di rumah orang tuanya. Pemuda ini sangat berharap kalau wanita yang dinikahinya sesuai dengan keinginannya (imajinasinya) yaitu wanita yang tidak aktif dan hanya pasif dalam melakukan hubungan seksual. Namun,

dugaannya meleset. Pernikahan tersebut hanya dapat bertahan selama 3 hari.

Setelah gagal membangun rumah tangganya, si pemuda melampiaskan hawa nafsunya kepada para wanita tunasusila. Menurut si pemuda, wanita tunasusila lebih mudah diatur sesuai dengan keinginan dan khayalannya. Namun, ia sama sekali tidak mendapatkan kesenangan dan kepuasan karena wanita yang dikhayalkannya adalah:

“seorang wanita yang wajahnya tetap beku dan diam sungguhpun harus dibuat dari lilin, dengan bibir kaku seperti kayu, atau dibentuk dengan cetakan, seorang wanita yang tidak dapat menggerakkan lengannya, sekalipun berarti bahwa ia akan sedingin es” (hal. 33).

Hingga akhirnya ia jatuh sakit. Namun, para dokter menyadari bahwa penyakit yang dideritanya hanya bisa disembuhkan dengan membawanya ke psikolog. Pemuda tersebut tersinggung dengan nasihat dokter. Ia serta merta bangkit dan mengubah perilakunya selama ini. Ia akhirnya melanjutkan kuliah di fakultas hukum. Selama menempuh studi di fakultas hukum, ia merasa mendapatkan ketenangan jiwa.

Suatu ketika tatkala sedang beristirahat di atas tempat tidurnya, ia bermimpi melihat seekor burung. Menurut ibunya, burung itu merupakan jenis burung musim hujan. Mimpi tersebut menandakan si pemuda akan kedatangan seorang pengembara. Ketika ia terbangun dari mimpi dan keluar dari rumahnya, si pemuda mendapat tatapan tajam dari laki-laki “Pengurus pemakaman Untuk Seluruh Distrik Imamein”. Ia meyakini bahwa yang lelaki yang dilihatnya adalah pengembara yang akan menyelamatkannya dari penyakit kejiwaannya. Singkat cerita, si pemuda berkenalan dengan lelaki tersebut dan mau bekerja dengannya walau sekadar magang. Ia diberi tugas memandikan mayat yang hendak dimakamkan. Lama kelamaan ia menyukai pekerjaan tersebut. Ia seakan mendapat tempat penyaluran hasratnya selama ini. Ia terlihat lebih bersemangat dengan lebih dulu datang ke tempat mayat yang hendak dimandikan sebelum lelaki itu

(12)

411

tiba. Di akhir cerita, ia mendengar bahwa ada seorang wanita—yang sesuai dengan khayalannya selama ini, berkulit hitam dan berasal dari Mesir Utara—meninggal dunia dan hendak dimandikan. Namun, untuk

memenuhi keinginannya, ia harus membayarnya dengan mengikuti hasrat terpendam lelaki pemilik jasa pemandian mayat.

Referensi

Dokumen terkait

Menyatakan bahwa “Skripsi” yang saya buat untuk memenuhi persyaratan kelulusan pada Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana

Pemberdayaan ekonomi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah upaya- uapaya yang dilakukan pemerintah daerah Kabupaten Simeulue dalam meningkatakan kesejeahteraan

Hal tersebut sejalan dengan penelitian Dwiasri (2015) sebanyak 64,1 % dan 68,8 % Polisi memiliki asupan energi dan asupan lemak berlebih, hal tersebut menunjukan adanya hubungan

Selain analisis sensori dan analisis kimia, dilakukan juga analisis ekonomi untuk mengetahui biaya yang dikeluarkan dalam pembuatan selai kulit jeruk bali, baik biaya

Bagi umat Islam, 'Isa yang disebut 24 kali dalam al-Qur'an 20 yang penyebutannya sering menggunakan kata Ibnu Maryam, adalah tidak lebih sebagai manusia biasa yang lahir

Pemikiran dasar penggunaan sekuen DNA dalam studi filogenetika ( DNA Barcode) adalah bahwa terjadi perubahan basa nukleotida menurut waktu, sehingga akan dapat

Selain pengelolaan lahan yang lebih baik, tanaman kelapa sawit di PTPN I telah lama dibudidayakan sehingga FMA telah beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ada

Kain yang sudah didasari dengan cat plamir yang digunakan untuk melukis disebut kain.... Motif batik Sidomukti berasal