BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERIUSIONAL DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
S K R I P S L
O L E H
H E R U P R A S E T Y O
P A K U L T A 3 H U K U M U l - i l V E R S I T A S A I R L A M C j G A S U R A B A Y A
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL DALAM HASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
SKRIPSI
DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI TUGAS DAN MEMENUHI SYARAT-SYARAT UNTUK
MENCAPAI GELAR. SARJANA HUKUM
O L E H
HERU PRASETYO NO. POKOK 037710344
tfAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA S U R A B A Y A
KATA PEfoGANTAR
Dengan mengucap puji dan syukur yang tak terhingga ke hadirat Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, serta berkat petunjukNya, maka selesailah saya menyusun skripsi ini dalam rangka melengkapi tugas dan memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana di lingkungan Pakul- tas Hukum Universitas Airlangga.
Saya menyadari bahwa skripsi ini memang jauh dari sempurna. Karenanya ada harapan pada diri saya bahwa pe nulisan ini bukan merupakan suatu karya yang terakhir, akan tetapi kiranya dapat dijadikan dasar dalam mengemban segala tugas kehidupan yang dinamis untuk menyongsong ha- ri esok yang lebih cemerlang.
Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada yang terhormat :
\
1. bapak Dr. J.E. Sahetapy, S.H. Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga beserta staf;
2. bapak J. Hendy Tedjonagoro, S.H. sebagai perabimbing pertama dan bapak Kermawan PS. Notodipoero, S.H. seba
gai pembimbing kedua yang telah sudi meluangkan waktu- nya untuk memberikan bimbingan hingga selesainya skrip
si ini;
3. para Dosen dan Asisten di lingkungan Fakultas Kukum Universitas Airlangga yang telah membekali saya dengan
4* ayah dan ibu tercinta yang telah membiayai, mendorong, dan member! doa restu selaraa belajar di Fakultas Hukum Universitas Airlangga;
5. serta segenap handai taulan dan teman-teman yang tidak sedikit memberikan bantuan balk materiil maupun moril aehingga saya dapat menyelesaikan kuliah.
Akhir kata, dengan segala kekurangan yang ada se- moga skripsi ini dapat berraanfaat bagi siapa; saja; .
Surabaya, 22 Agustus 1983
DAFIAR ISI
Hal am an
KATA P E N G A N T A R ... ‘ iii
DAPTAR ISI v
PENDAHULUAN . . • . ... 1
BAB I IINJAUAN UMUM MENGENAI PEMBAJAKAN
PESA-WAI UDARA' . . . . . . 11
1. Rumusan Yuridis Pembajakan Pesawat .
Udara * ... 11
2. Perbedaaa Aspek Hukum Antara Pembajak-
an Pesawat Udara dan Pembajakan Kapal
Laut . . ... 19
BAB II YURISDIKSI DALAM MENGADILI PELAKU PEMBA
JAKAN PESAWAT U D A R A ... .. 22
1. Yurisdiksi Mengadili Pembajak Menurut
Hukum Internasional... 22
2. Yurisdiksi Mengadili Pembajak Pesawat
U d a r a ... 24
a. Wewenang Negara Di Mana Pesawat
Didaftarkan . . . ... 27
b. Wewengan Negara Yang Didarati Pesa
wat Yang Dibajak Beserta Pembajak
Di D a l a m n y a ... 31
c. Wewenang Negara Di Mana Perusahaan
yang Menyewa Pesawat Mempunyai
Tempat Uaaha Utama Atau Tempat
Ting-gal T e t a p ... 32
d. Wewenang Negara Di Mana Pembajak Di- . ~
k e t e m u k a n ... 33
BAB III EKSTRADISI PELAKU PEMBAJAKAN PESAWAT
U D A R A ... .. 37
1. Daaar-Dasar Ekstradisi Dalam Masalah
Pembajakan Pesawat Udara ... 37
2. Penolakan Ekstradisi Berdasarkan
Alasan Politik ... 46
BAB IV LANGKAH-LANGKAH PENCEGAHAN DAN
PENANG-GU1ANGAN PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA . . . 50
1. Usaha Negara-Negara Mencegah
Terjadi-nya Pembajakan Pesawat Udara • . . . 51
2. Eewajiban. Negara-Negara Dalam Menang-
gulangi Pembajakan Pesawat Udara Ber
dasarkan. Konvensi ... 54
KESIKPULAN DAN ... 63
PEKDAHULUAN
Sampai saat ini, penerbangan sipil internasional merupakan sarana angkutan yang amat. penting di dunia dise- babkan kecepatan dan efisiensinya. Mengingat fungsi pe
nerbangan ini, .maka perlu adanya jaminan keselamatan ter hadap pesawat, penumpang, dan awak pesawatnya demi kelan- caran penerbangan tersebut* Memang, hingga saat ini
bahaya-bahaya operasional dan gangguan alam atas kesela matan penerbangan relatif sudah dapat diatasi dengan ke- majuan tehnologi dan ilmu pengetahuan. Akan tetapi adalah
eangat ironis apabila bahaya-bahaya yang datang dari manusialah yang sangat sukar untuk diatasi.^
Bahaya-bahaya itu timbul karena penguasaan pesawat secara melawan hukum oleh pembajak-pembajak atau tindakan lain yang mengganggu keselamatan penerbangan dan sarana penerbangan, misalnya dengan menempatkan bom di pesawat udara, pen^rusakan atau penghancuran sarana penerbangan dengan jalan sabotase.
Meskipun dalam beberapa kasus .pembajakan, data yang menunjukkan jumlah penumpang yang terkena akibat langsung
adalah relatif kecil, namun dapat diperkirakan bahwa yang
Agrawala, Aircraft Hijacking and Internatio nal Law. Bombay : N.M. Tripathy Private Ltd., 1973, h. 13
menjadi korban pembajakan itu telah. mewakili hampir semua negara di dunia, seningga dapat ditarik kesimpulan bahwa pembajakan pesawat udara merupakan masalah dunia dan hu kum internasional.
1. Permasalahan
Penerbangan sipil internasional merupakan sarana penghubung antar negara, maka akibat pembajakan itu tidak hanya dirasakan oleh satu negara saja, akan tetapi akibat tersebut dapat dirasakan oleh banyak negara di dunia, dan sebagai dinyatakan dalam Penjelasan Undang-undang RI No- mor 2 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970, dan Konvensi Montreal 1971 pada Alinea II, baiiwa kejahatan penerbangan wajib dinyatakan sebagai suatu perbuatan pidana yang menimbulkan kepriha- tinan bagi seluruh umat manusia, sehingga pencegahan ser ta pemberantasannya perlu diusahakan oleh setiap negara dengan mengancam hukuman yang berat bagi si pelaku di ma-.
2
napun ia berada. Jadi di sini pembajakan pesawat udara dianalogikan seperti pembajakan kapal di laut, yaitu me rupakan "delict jure gentium", yang pada dasarnya pelaku pembajakan dapat ditangkap, diadili, dan dihukum oleh.
^Chiair Ali, Himpunan Lengkap Undang-Undang dan Peraturan tentang Ekstradisi, Ke.ianatan Penerbangan, Ke-
semua negara atas dasar "bahwa pembajakan adalah "hostis humani generis" atau musuh seluruh umat manusia. Akan tetapi melihat tempat dilakukan, motif pembajakan, dan korbannya, maka masyarakat dunia memandang pembajakan pe sawat udara secara yuridis berbeda dengan pembajakan ka pal di laut, meskipun dalam beberapa hal ada sedikit per- samaan. Oleh karenanya perlu ditelaah, apakan yang dimak- sud dengan pembajakan pesawat udara itu, dan aspek-aspek hukum apa yang membedakan pembajakan pesawat udara dengan pembajakan kapal.'di laut ?.
Dibandingkan dengan pembajakan kapal di laut, maka pembajakan pesawat udara merupakan masalah yang baru,
sebab kwantitas dan kwalitas pembajakan pesawat udara mulai berkembang dengan pesat sejak sekitar tahun i960 di mana sebagian besar mempunyai motif politik. Hanya se- bagian kecil saja yang mempunyai motif kriminal seperti
* perampasan harta benda dan permintaan uang tebusan,
Berhubung hampir semua korban pembajakan ini ada lah pesawat-pesawat udara dari penerbangan sipil milik negara, maka negara-negara dalam masyarakat internasional sepakat untuk menentukan yurisdiksi dalam mengadili pem bajak yang tertangkap. Dasar pemikiran untuk menentukan yurisdiksi ini adalah pandangan masyarakat dunia yang
tidak lagi memandang pembajakan pesawat udara sebagai
suatu "delict jure gentium", tetapi merupakan perbuatan pidana biasa yang diancam dengan hukuman yang berat.^
Sehingga dalam menangani masalah ini dipakai asas "aut punire, aut dedere", yaitu penjahat harus dihukum oleh negara teritorial atau diserahkan kepada negara yang ber wenang untuk menjalankan yurisdiksi terhadap pelaku keja hatan tessebut. Namun karena sebagian besar pembajakan pesawat udara mempunyai motif politik, pesawat yang men
jadi korban pembajakan, dan negara-negara yang berkepen- tingan dengan pembajakan tersebut sering bertentangan
satu dengan lainnya, maka pertanyaan mengenai negara mana yang berwenang mengadili pembajak, masih merupakan dilema, Baru pada tahun 1970 masalah ini dapat dipecahkan, yaitu
setelah adanya "Convention for the Suppression on Unlaw ful Seizure of Aircraft", atau lebih dikenal dengan Kon vensi The Hague 1970, di mana dalam pasal 4 Konvensi Ini ditentuican mengenai negara-negara mana yang berwenang un tuk mengadili pembajak yang tertangkap. Wewenang yang di- berikan oleh Konvensi The Hague 1970 untuk menetapkan yu risdiksi adalah merupakan suatu perkembangan yang berbeda dengan wewenang menetapkan yurisdiksi yang ada pada pemba
jakan kapal laut.
Dengan adanya Konvensi The Hague 1970, maka ada suatu dasar hukum untuic menetapkan yurisdiksi. Namun kon vensi ini belum merupakan suatu alat yang "applicable", karenanya masih memerlukan penafsiran mengenai wewenang- wewenang yang bagaimana yang timbul pada negara-negara anggota yang meratifikasi konvensi The Hague dengan adanya hak untuk menetapkan yurisdiksi seperti yang terdantum dalam pasal 4 Konvensi The Hague tersebut ?.
Karena hampir semua pembajakan pesawat udara dila kukan dengan motif politik, maka kemungkinan terbesar adalah pelaku pembajakan itu melarikan diri ke negara yang dapat memberikan suaka politik pada dirinya. Dalam hal demikian, maka timbul suatu kontradilcai antara -.pemba-
jakan sebagai suatu tindak pidana biasa dan pembajakan sebagai suatu kejahatan politik, sebab sudah menjadi aSa's yang umum bahwa tanpa suatu perjanjian ekstradisi dan terhadap pelaku kejahatan politik tertentu, ekstradisi tidak dapat dilaksanakan. Karenanya perlu kiranya ditela-
ah pelaku pemoajakan yang b^gaimanakah yang dapat dieks- tradisikan dan apa dasar pelaKsanaan ekstradisi tersebut? Lebih lanjut, apabila ada negara yang menolak mengekstra- disi pelaku pembajaican dengan alasan politik, langkah apa yang perlu diambil untuk menyelesaikan masalah pembajakan pesawat udara yang sangat merugikan kepentingan interna
Pembajakan pesawat udara selain raengancam kesela- matan jiwa maupun harta, juga raerupakan tindakan yang sa- ngat mengganggu dan menghambat perkembangan lalu-lintas udara internasional, serta menyebabkan kepercayaan masya- rakat terhadap keamanan penerbangan sipil menjadi berku- rang, Oleh. karenanya perlu diusahakan pencegahan dan pe- nanggulangannya, hal ini diperlukan suatu tindakan yang konkrit dari setiap negara. Masalahnya sekarang adalah, langkah-langkah apa yang perlu diambil oleh. setiap negara guna raencegah terjadinya pembajakan pesawat udara terse- but ?. Dan apabila dengan pencegahan masih terjadi juga pembajakan terhadap pesawat udara, raaka perlu kiranya di ambil langkah-langkah penanggulangan. Dalam iangkah pe- nanggulangan inilah kiranya diperlukan suatu kerjasama antar negara dengan suatu kesepakatan bertindak yang ter- tuang dalam konvensi-konvensi mengenai pemberantasan ke- jahatan penerbangan. Karena itu perlu ditinjau kewajiban apa yang harus dilaksanakan setiap negara dalam menanggu- langi masalah pembajakan berdasarkan konvensi-konvensi yang ada ?
Sesuai dengan permasalahan di atas, maka penulisan ini akan mencoba untuk membaiiaa mengenai penentuan yuris- diksi, wewenang yangtimbul pada negara yang menetapkan yurisdiksi, ekstradisi, dan langKah-langkah pehanggulang-
ketentuan yang ada dalam Konvensi ‘lokyo 1963, Konvensi The Hague 1970, dan Konvensi Montreal 1971, ^ang oleh. Pe- raerintah Indonesia telah diratifikasi menjaai Undang- Undang RI Nomor 2 Tahun 1976 (LNRI Ho, 18 - 1976).
2. Alasan pemilihan ,judul
Dalam hal terjadi pembajakan pesawat udara, maka akan timbul berbagai macam aspek, yaitu aspek yuridis, ekonomis, dan sosial. Diantara aspek yuxidis yang timbul misalnya tentang penentuan yurisdiksi, ekstradiai pelaku kejahatan, dan penghukuman terhadap pembajak yang tertang- kap* Keseluruhan aspek ini dibahas untuk raencari jalan
dalam rangka pencegahan dan penanggulangan kejahatan pe- nerbangan pada waktu-waktu yang akan datang.
Karena usaha pencegaiian dan penanggulangan pemba- jakan pesawat udara harus dilakukan secara internasional, maka penulisan ini mengambil judul !I3K33RAPA ASPEK HUKUM Mitfii'USl'ji'iAl DAlAfr MASALAH PiiH^AJAKAN PSSAWAT UDARA"-
Di sini dipakai kata "beberapa" dalam pemberian judul, sebab tidak keseluruhan aspek hukiun internasional akan dibahas dalam penulisan ini, mengingat akibat dari pembajaacan itu sendiri yang sangat luas, sedangkan penu- lisan ini hanya membahas mengenai masalah yurisdiksi,
3. Tu.juan penulisan
Sesuai dengan judul skripsi, maka penulisan ini akan membahas mengenai aspek-aspek hukum yang timbul apa- bila terjadi kasus pembajakan pesawat udara, dan pemba- hasan ini akan difokuskan pada hukum internasional.
Secara umum, saya mengharap agar penulisan ini da- pat membantu mengembangkan hukum internasional dan hukum nasional, terutama hukum penerbangan. Dilain pihak, penu lisan ini bermaksud menganalisa dan mengevaluasi ketetapan- ketetapan yang ada dalam konvensi Tokyo 1963* Konvensi
The hague 1970, dan Konvensi Montreal 1971 dalam bentuk yang obyektif sehingga dapat diketahui sampai sejauh mana
pemecahan masalah pembajakan pesawat udara tersebut.
4, ftletode pendekatan
Sesuai dengan maksud dan tujuan penulisan yaitu mengevaluasi dan menganalisa ketentuan-ketentuan yang ada dalam konvensi, maka penulisan ini tidak hanya mengete- ngahkan gajnbaran umum dan penafsiran dari konvensi- konvensi yang ada, akan tetapi juga berusaha untuk meng analisa dan menilai ketentuan-ketentuan tersebut (metode deskriptif-analitis), dengan menitik-beratkan pada studi kepustakaan, disamping mengajukan beberapa kasus (case
5. Sistematika dan pertan^gungjawaban
Agar mudah untuk diikuti, maica penulisan ini akan saya ba&i dalam beberapa tahap pembahasan. Sebagai bab Pendahuluan, saya kemukakan mengenai permasalahan, tujuan penulisan, metode penulisan, sistematika dan pertanggung-
jawaban penulisan.
Masyarakat memandang pembajakan pesawat udara meru- pakan suatu bentuk kejahatan yang berbeda dengan pembajak- an kapal laut. Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa la- tar belakang, cara dilakukan, korban kejahatan, dan ke- pentingan dari pihak-pihak yang dirugikan yang berbeda antara keduanya, sehingga perlu kiranya secara umum di tin jau kembali mengenai masalah ini dalam arti perumusan secara yuridis, dan faktor-faktor yang membedakan pemba jakan ini dengan pembajakan kapal di laut (Bab I).
Dalam hubungan ini, karena negara-negara sepakat memakai asas "aut punire, aut dedere" dalam menyelesaikan masalah ini, maka perlu ditentukan yurisdiksi dalam meng-
adili pembajak yang tertangkap dengan dasar-dasar keten- tuan internasional yang terdapat dalam konvensi-konvensi mengenai pemberantasan pembajakan pesawat udara, dengan perincian seperti yang tercantum dalam pasal 4- Konvensi The Hague 1970, yang memberikan wewenang untuk menetapkan yurisdiksi (to establish its jurisdiction) kepada negara
tempat usaha utama atau tempat tinggal tetap, dan negara di mana pembajak diketemukan (Bab IIJ.
iiengan dasar ketentuan yurisdiksi tersebut, ber- arti tidak semua negara berwenang mengadili dan menghukum pelaku pembajakan, sehingga dda kemungkinan suatu negara menuntut ekstradisi pelaku kejahatan untuk diadili di ne- garanya, Karenanya perlu ditinjau dasar-dasar ketentuan ekstradisi yang oerhubungan dengan kejahatan tersebut. J)i lain pihak, sebagian besar pembajakan dilakukan dengan alasan politik, maka tujuan dari pelaku adalah melarikan diri dari tuntutan pengadilan ke negara yang dapat membe- rikan suaka politik, dan negara ke mana pembajak melarikan diri adakalanya menolak permintaan ekstradisi tersebut. Oleh sebab itu perlu ditinjau tanggungjawab negara yang menolak ekstradisi dengan alasan politik dalam usaha men-
cegah dan menanggulangi pembajakan pesawat udara (Bab III). Akhirnya sebagai suatu langkah konkrit dari negara- negara yang sepakat untuk meraberantas pembajakan pesawat udara, maka penulisan ini akan membahas ipengenai usaha untuk mencegah terjadinya pembajakan pesawat udara, dan kewajiban negara-negara dalam usaha menanggulangi masalah
ini berdasarkan ketentuan yang ada dalam konvensi sebagai suatu kesepakatan untuk bertindak (Bab IV).
TINJAUAN UMUM MENGENAI PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
Pembajakan pesawat udara hingga saat ini dapat di- anggap sebagai salah satu sarana paling efektif untuk rae- maksakan kehendak. Dengan pengorbanan uang, tenaga, dan
jiwa yang relatif kecil, aerta dengan cara yang non-mili- ter, dapat dicapai suatu tujuan, baik tujuan pribadi mau- pun tujuan perjuangan kelompok tertentu.
• Persoalan politik masih merupakan motif yang umum dalam kasus pembajakan pesawat udara, meskipun tidak dapat dipungkiri adanya motif-motif kriminal, misalnya pelarian penjahat dari tuntutan hukuman atau permintaan uang te- busan dengan menyandera pesawat.^
£1 . Rumusan yuridis pemba;jaitan pesawat udara,
Istilah "pembajakan pesawat udara", secara analogis diambil dari istilah pembajakan kapal di laut yang ada di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), atau ter- jemahan langsung dari bahasa Inggris, yang menggunakan istilah "aircraft hijacking", 11 sky-jacking”, ''aircraft
BAB I
^Alona E. Evans, “Aircraft Hijacking : What is to be Done ?H,American Journal of International Law, Vol. 66 October 1972, h. 819.
5
piracy", dan "aerial piracy" di mana istilah ini bukanlah merupakan istilah formal yuridis, tetapi hanya sebagai
"cap" sehari-hari yang ditujukan untuk suatu perbuatan kekerasan yang dilakukan di. dalam pesawat udara yang se~ dang dalam penerbangan (in flight). Sebagai suatu gambar- an mengenai apa yang dimaksud dengan pembajakan pesawat udara , maka sebaiknya kita melihat beberapa kasus yang pernah terjadi yang oleh umum dianggap sebagai "pembajak
an pesawat udara1*.
Pada tanggal 1 Mei 1961, sebuah pesawat terbang Amerika dibajak menuju Kuba. Pada saat itu orang berang- gapan bahwa pembajakan itu sebagai kelanjutan dari pe- rang dingin antara Amerika dengan Kuba, Pembajakan ini di anggap sebagai pembalasan Pemerintah Kuba terhadap Ameri ka, dengan menolak mengembaiikan pesawat beserta pembajak ke Amerika. Bahkan Kuba mengabaikan penghukuman terhadap pembajak yang tertangkap. ,
Lama-kelamaan, pembajakan pesawat ini tidak hanya terjadi karena alasan politis, tetapi para penjahatpun mempergunakan kesempatan ini untuk tujuan pemerasan dan melarikan diri rari tuntutan hukum, seningga hal ini me- repotkan Pemerintah Kuba sendiri. Akhirnya, sepuluh tahun kemudian pendirian Kuba berubah, yaitu ketika tiga orang
^"Laporan Internasional1' , Tempo, 29 Desember 1973,
narapidana w&rga negara Amerika membajak sebuah pesawat "Southern Air Lines", dan melarikannya Ice Kuba dengan me- minta uang tebusan sebesar 10 juta dollar. Akan tetapi begitu pesawat mendarat, telah disongsong oleh pasukan keamanan Kuba ,yang dipirapin oleh Fidel Castro sendiri,
7 dan akhirnya pembajak dapat dilumpunkan dan ditawan. *
Sementara itu di bagian dunia lain, yakni di ka- wasan Timur Tengah, khususnya setelah terjadinya konflik
senjata bulan Juni 1967 antara negara-negara Arab dan Is rael, pembajakan pesawat udara berkembang1 dengan sangat mengerikan dan seolah-olah merupakan satu-satunya alat untuk mencapai tujuan politik. Pembajakan pesawat udara di kawasan ini banyak dilakukan oleh orang-orang Palesti- na yang menamakan dirinya sebagai Pront Populer Pembebas- an Palestina (P.P.L.P.) terhadap pesawat-pesawat Israel dan sekutu-sekutunya* Beberapakali usaha mereka berhasil, diantaranya pembajakan yang dilakukan oleh seorang wanita yang bernama Laila Khaled terhadap pesawat "El Al" pada tanggal 6 September 1970 di kawasan udara kota London. Pesawat tersebut tinggal landas dari lapangan udara Schi- phol, Amsterdam, dengan tujuan New York. Namun pembajakan terseDut dapat digagalkan dengan tewasnya seorang pemba- jak dan seorang luka-luka.
"Laporan Internasional", Tempo , 2 Desember 1972, h. 10.
Pada waktu yang bersamaan dengan pembajakan yang gagal tersebut, telaJi dibajak pula empat buah pesawat u- dara dari berbagai maskapai penerbangan sipil (BOAC, P M AM, TWA, dan SWISS AIR), dengan tujuan New York. Keempat pesawat tersebut berhasil dibajak dan diubah arah pener- bangannya. Tiga pesawat dipaksa mendarat di padang pasir Yordania, dan setelah para penumpang dibebaskan, para pembajak meledakkan pesawat-pesawat tersebut, sedangkan
aebuah pesawat lainnya (PANAH), dilarikan ke Kairo dan Q
aknirnya diledakkan di sana.
Pembajakan pesawat udara tidak hanya terjadi ter hadap pesawat-terbang di luar negeri saja, bahkan pesawat ‘ Indonesia pun pernah menjadi korban pembajakan, yaitu
terhadap pesawat MHA “Merauke", pada sekitar bulan April 1972, di mana tujuan pesawat yang semula ke Surabaya, de ngan menggunakan kekerasan diubah menuju ke Jogyakarta. Akan tetapi pembajakan ini dapat digagalkan oleh awak
9 pesawatnya. J
Peraoajaican lain terjadi terhadap pesawat G-IA "Woy- la", yang dilakukan oleh "Jama*ah Imron" pada tanggal 28 Maret 1981. Pembajakan terhadap pesawat DC-9 dengan jalur penerbangan Jakarta-Palembang-Medan ini secara paksa
Q
Tempo, 29 Desember 1973» loc. cit.
diterbangkan ke Bangkok. Akan tetapi beberapa saat sete lah mendarat di Don Muang Airport, Bangkok, Pembajak da- pat dilumpuhkan. Namun s'eorang anggota ABRI dan seorang kapten pesawat gugur dalam penyerangan.'1'^
Melihat kejadian-kejadian tersebut, ternyata pemba jakan pesawat udara sebagai suatu sarana untuk meraaksakan kehendak masih belum berakhir. Ini terbukti dengan pembe- ritaan beberapa suratkabar, seperti pembajakan terhadap pesawat "Kuwaiti Airways" pada tanggal 24 Pebruari 1982, di mana pesawat yang berangkat dari Tunisia menuju Kuwait diserbu dan dibajak tak lama setelah mendarat di lapangan udara Beirut. Pembajakan yang dilakukan oleh sembilan
orang bersenjata yang mengaku dirinya sebagai gerilyawan Ammal Malitia, organisasi politik militer Islam Syiah Li- banon itu, menuntut penyelidikan atas hilangnya pemimpin mereka ketika berkunjung ke Libya,^
Bain pula di Jepang, pada tanggal 7 Januari 1983 sebuah pesawat Boeing 747 milik maskapai penerbangan KAL, mengad&kan pendaratan darurat di lapangan udara Narita, 'Tokyo, setelan ada surat ancaman yang menyatakan terdapat
12
sebuah bom di dalam pesawat. Pesawat itu sedang dalam
1QIbid.. h, 10.
^"Berakhir, Drama Pembajakan Pesawat Kuwait", Kom- pas, 26 Pebruafi 1982, h. VII.
penerbangan dari Anchorage, Alaska, menuju Seoul. Drama pembajakan ixii beraKhir setelah tertangkapnya seorang pe- muda warga negara Kanada kelahiran Hongkong oleh. polisi Jepang, Motif pembajakan ini tidak diketahui, akan tetapi diduga pemuda tersebut mengidap sakit ingatan.^
Kasus-kasus tersebut adalah beberapa contoh saja mengenai "pembajakan pesawat udara" yang hanya merupakan istilah umum, yakni suatu sebutan dengan fuang lingkup yang mempunyai jangkauan secara internasional, atau de ngan kata lain merupakan suatu “international public opi nion". Oleh karenanya perlu disadari bahwa kasus-kasus
tersebut belum meraberikan suatu gambaran yang tepat me ngenai "pembajakan pesawat udara11. Betapa tidak, karena dalam kasus-kasus yang telah diketengahkan tidak disaji- kan unsur-unsur yang memberikan syarat suatu'"pembajakan pesawat udara", tetapi lebih merupakan suatu produksi ba- han baku. yang informatif belaka, Memang, dalam kasus- kasus tersebut sering disebut^an mengenai "pembajakan pe
sawat udara", tetapi kriterianya belum cukup ditonjolkan sehingga belum raarapu menjamin kokohnya konstruksi yuridis untuk mengkwalifikasikan perbuatan pidana dengan predikat
"psmbajaican pesawat udara".
Karenanya dalam meninjau masalah pembajakan ini
dadi segi hukum, yang menjadi persoalan pertama adalah mengenai dasar hukumnya. Untuk keperluan ini maka sebaik- nya kita melihat konvensi-konvensi internasional yang mengatur mengenai kejahatan penerbangan.
Sampai sejauh ini, perbuatan "pembajakan pesawat udara" diatur secara mandiri dalam konvensi-konvensi in ternasional, yakni Konvensi Tokyo 1963 tentang "Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft"
(Pelanggaran-pelanggaran dan tindakan-tindakan Tertentu Lainnya yang Dilaxukan Dalam Pesawat Udara), Konvensi The Hague 1970 tentang "The Suppression of Unlawful Seizure
of Aircraft" (Pemberantasan Penguasaan Pesawat Udara Se cara Melawan Hukum), dan Konvensi Montreal 1971 tentang "The Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation" (Pemberantasan Tindakan-tindakan Melawan Hukum yang Mengancam Keselamatan Penerbangan Sipil). Pengaturan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Dalam Konvensi Tokyo 1963 :
Pemoajaitan pesawat udara dirumuskan dalam pasal 11 ayat 1 seoa^ai berikut :
When a person on board has unlawfully committed by force or tnreat tnereof an act of interference sei zure or otner wrongfull exercise of control of an aircraft in flight or when such an act is about to be i committed, ...
b. Dalam Konvensi The Hague 1970 :
Any person who on board an aircraft in flight : (a). Unlawfully bjr force or threat thereof or by any
other form of intimidation, seizes, or exercise control of that aircraft, or attempt to perform any such act or;
(b). is an accomplice of a person who performs or at tempts to perform any such act.
Commits an offence (hereinafter referred it as "the offence").
c. Dalam Konvensi Montreal 1971 :
Sesuai dengan judul konvensi tersebut, maka dalam pasal 1 disebutican bahwa yang dimaksua dengan perbuatan yang membanayakan penerbangan sipil adalah :
Any person commits an offence if he unlawfully and intentionally :
(a), perform an act of violence against a person on board an aircraft in flight, if that act is like ly endanger the safety of that aircraft, or; (b). destroy an aircraft in secvice or causes damage
to such an aircraft in which renders it incapable of flight or which is likely to endanger its sa fety in flight, or ;
(c). places or caused to be placed on aircraft in ser vice by any mean whatsoever, a device or sub stance which likely to destroy that aircraft or causes damage to it renders it capable of their flight, or causes damage to it which likely to endanger it safety in flight, or ;
(d). destroy or damage air navigation facilities or interferes with their operation, if any such act is likely endanger the safety of aircraft in flight, or ;
(e). communicates information which he knows to be false, thereby endangering the safety of an air craft in flight.
Any person also commits an offence if he :
(aj. attempts to commits of offences mentioned in paragraph 1 of this Article ;
Dengan demikian secara yuridis dapat dikatakan bahwa "pembajaKan pesawat udara" adalah suatu perbuatan dengan ciri-ciri sebagai berikut :
(1 ). setiap orang yang melakukan, atau membantu melakukan (an accomplice of a person), atau o£ang yang ikut campur-tangan melakukan perbuatan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, atau ancaman dalam
bentuk lain;
(2), untuk merampas, atau raenguasai kendali pesawat udara; (3 ). dilakukan dengan kesengajaan dan secara melawan hu
kum;
(4J. perbuatan tersebut dapat pembafrayakan keselamatan penumpang, awak pesawat, dan pesawat udara yang ada dalam penerbangan,
Jadi gambaran maksimal yang bisa dikemukakan dalam mendalaini masalah ini adalah dengan meneliti kasus-ka3us yang pernah terjadi.
2. Perbedaan aspek hukum antara pemba.iakan pesawat udara dan pembajakan kapal laut
Pada mulanya pemba jaacan pesawat udara dianalogikan seperti pembajakan kapal laut, yang merupakan suatu keja- hatan yang menimbulkan bencana bagi umat Tnanusia atau
mendefiuisikan pembajakan sebagai suatu “delict jure gen tium" sebagai berikut :
Any illegal acts violence, detention, or any act of depredation, committed for private ends by crew or passenger of private ship or private aircraft and di rected :
(a), on High Seas against another ship or aircraft or against person or property on board such ship or aircraft;
(b). against ship, aircraft, person, or property in place outside the jurisdiction of any State ... Kalau ditinjau kasus-kasus pembajakan pesawat uda ra yang sering terjadi, maka ada suatu perbedaan antara pembajakan pesawat udara menurut pengertian Konvensi Je- newa 1958 dengan praktek pembajakan dalam pengertian se- hari-hari. Hal ini akan raenimbulkan pula perbedaan aspek hukum dalam menangani kasus pembajaican yang terjadi,
Menurut pasal tersebut, pembajakan dilakukan "in a place outside the jurisdiction of any State",atau Mon the High Seas" sedangkan pembajakan pesawat udara dalam prak tek dapat terjadi di mana saja di dalam wilayah suatu negara, bahkan dapat dilakukan dengan menyerang pesawat yang ada di lapangan terbang dalam wilayah suatu negara atau dengan jalan sabotase. Selain itu menurut pasal 15 Konvensi Jenewa 1958 tersebut dinyatakan bahwa pelaku pem
secara melawan hukum.
Sebagai duatu perbandingan, Priyatna Abdurrasyid menyatakan banwa pembajakan pesawat udara adalah perbuat- an mengubah tujuan pesawat udara secara melawan hukum da ri tujuan asal dengan cara kekerasan atau ancaman kekeras- axi (illegal difertion on aircraft in flight).^
Meskipun pembajakan pesawat udara tidak dapat di- masukkan ke dalam "delict jure gentium" secara keseluruhan namun apabila kita teliti kasus-kasus yang pernah terjadi maka tidaklah mungkin suatu negara menanggulangi sendiri masalah tersebut, karena pada umumnya selalu melibatkan lebih dari satu negara sehingga timbul masalah hukum yaitu menentukan yurisdiksi dalam mengadili pembajak yang ter-
tangkap dan masalah ekstradisi pembajak ke negara yang berwenang mengadilinya.
14
^Konvensi Tokyo 1963, pasal 11; Konvensi The Ha gue 1970, pasal 1 sub a, supra, h. 17 - 18.
IUHISDIKSI DALAM MEIflrADILI PELAX.U PEM3AJAKAK PESAw aT UDARfU
1. Xurisdiksi mengadili pemba.jak menurut hukum internasi onal
Hukum internasional memberikan hak dan kewajiban kepada negara-negara untuk melindungi dan menjalankan yu risdiksi atas orang, benda, dan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh warga negaranya.
Dalam masalah pembajakan,'maka.semua negara mempu- nyai hak untuk menjalankan yurisdiksinya, karena seperti telah disinggung dalam bab terdahulu bahwa pembajakan merupakan "hostis humani generis", sehingga pelaku penba-
jakan dapat ditangkap, diadili, dan dihukum oleh semua negara. Di sini diterapkan asas yurisdiksi dengan asas universal.1^ Pembajak biasanya dikenal sebagai orang yang mexakukan kejahatan yang bertentangan dengan hukum inter nasional di mana semua negara berusaha untuk menghukumnya, Dalam kasus United States v. Smith (1820) Hakim Story
menyatakan bahwa secara hukum icebiasaan internasional pengakuan dan penghukuman terhadap pembajakan sebagai su atu kejahatan tidak hanya bertentangan dengan hukum suatu
BAB II
daerah, tetapi lebih merupakan kejahatan yang bertentang-
an dengan hukum bangsa-bangsa yang merupakan bagian dari
hukum kebiasaan internasional. Kejahatan itu bertentangan
dengan hukum masyarakat yang universal, dan merupakan bencana bagi seluruh umat manusia.^
Senubungan dengan asas yurisdiksi universal terha dap pembajakan, Hakim Hackworth menyatakan bahwa yang di- maksud dengan pembajakan adalah orang atau kapal-kapal yang terlibat dalam operasi bajak laut di laut lepas yang
tidak mendapat perlindungan dari negara manapun, dan da pat, dihukum oleh negara yang menangkap dan menahannya.
Sedang Sub-Committee of League Nation Committee of Expert for the Progressive Codification of International Law, menyatakan bahwa senubungan dengan hukum internasional maka yang dimaksud dengan pembajakan adalah mereka yang melakukan pelayaran di laut dengan tujuan pribadi tanpa suatu perintah dari Pemerintah suatu negara dan bermaksud mengadakan perampasan barang atau tindakan kekerasan
ter-.
18 hadap orang lain.Dalam praktek, penerapan asas yurisdiksi universal ini mempunyai batasan yaitu pembajakan harus dilakukan
^William W. Bishop, Jr., International Law, Cases and Materials, Third Edition, Little Brown Company, Bos ton and Toronto, h. 461i
di laut bebas (High Seas), hal ini senubungan dengan per- timbangan bahwa kejahatan tersebut membahayakan keamanan perdagangan melalui laut bebas. Perbuatan yang sama yang dilakukan di wilayah teritorial suatu negara bukan meru pakan wewenang hukum internasional, tetapi termasuk wewe- nang dari keKuasaan atau kedaulatan negara di mana
keja-iq hatan dilakukan, ^
Pembajakan pesawat udara seperti telah diutarakan dapat dilakuican di setiap tempat di wilayah suatu negara, sehingga dalam mengadili pembajak dipakai asas "aut puni- re aut dedere". Hal ini menimbulkan hak dan kewajiban bagi semua negara untuk mencegah dan menanggulanginya terutama negara-negara yang telah ikut menandatangani dan meratifikasi konvensi-konvensi mengenai penanggulangan pembajakan pesawat udara. Dengan demikian dasar untuk me- laskan yurisdiksi atas perbuatan pembajakan pesawat udara berbeda dengan dasar penerapan yurisdiksi atas perbuatan pembajakan kapal laut.
2. Yurisdiksi mengadili pemba.jak pesawat udara
Dasar pertama dalam menjalankan yurisdiksi atas perbuatan pembajakan pesawat udara adalah yang tercantum dalam Konvensi Tokyo 1963, yakni dalam pasal 3 ayat 1
yang menyatakan "the State of registration of the air
craft is competent to exercise over offences and act3
committed on 'board'1. Jadi pasal ini memberi wewenang
ke-pada negara di mana pesawat didaft^rkan untuk
melaksana-kan yurisdiksinya, dan selanjutnya tertulis dalam pasal 3
ayat 3 bahwa tidak ditutup kemungkinan untuk menjalankan
yurisdiksi kriminal apabila terdapat kasus-Ocasus yang
me-mang mempunyai motif kriminal. Selain itu dapat juga
di-laksanakan yurisdiksi atas dasar asas-asas teritorial,
nasional aktif, nasional pasif, kaamanan negara, dan
pe-langgaran terhadap peraturan penerbangan setempat. Ini
dapat dilihat dalam pasal 4. Di sini dimungkinkan juga
pelaksanaan yurisdiksi guna memnuhi kewajiban perjanjian
multilateral.
Kalau kita lihat pasal tersebut, maka Konvensi To kyo 1963 tidak menetapkan satu ketentuan mengenai yuris diksi, tetapi memberikan beberapa pilihan penentuan yu risdiksi (mixed jurisdiction) sebagai suatu jalan keluar yang terbaik yang ditempuh untuk menanggulangi pembajakan pesawat udara. Konvensi ini tidak menetapkan suatu kewa- jiban bagi negara-negara anggota, kecuali kepada negara di mana pesawat didaftarkan untuk melaksanakan yurisdik
Dalam Konvensi The Hague 1970, yurisdiksi diatur
dalam pasal 4* dan Konvensi Montreal 1971 mengaturnya da
lam pasa 5 sebagai berikut ;
1. Each Contracting State shall take measures as may be necessary to establish its jurisdiction over the offences and any other acts of violence against passenger and crew committed by alleged offender in connection with the following cases :
(a), when the offence is committed on board an air craft registered in that State;
(b). wnen aircraft on board which the offence is committed lands in its territory with the al leged offender still on board;
(c).. when the offence is committed on board an aircraft leased without crew to alessee who has his principal place of bussines: or if he has no such place of bussines, his permanent recidence in that State.
2. Each Contracting State shall likewise take such measures as may be nessecary to establish its ju
risdiction over the offence in the case where the alleged offender is present in its territory and it does not extradite him pursuant to Article 8 to any of the State.
3. This Convention does not exclude any criminal ju risdiction exercised in accordance with national law.
Ketentuan yang ada dalam pasal ini kelihatan lebih
maju bila dibandingkan dengan penetapan yurisdiksi yang
terdapat dalam Konvensi Tokyo 1963, karena di sini ada
suatu tanggungjawab yang dibebankan oleh Konvensi kepada
negara-negara Anggota agar sedapat mungkin mengambil
tin-dakan (shall take such measures) untuk menetapkan (to es
tablish) yurisdiksi terhadap pembajak.
Dalam hukum internasional yurisdiksi merupakan
memiliki kedaulatan (sovereignty), karenanya penetapan
yurisdiksi mempunyai hubungan dengan kompetentsi
adminis-2 0
tratif, legeslatif, dan yudikatif. Jadi apabila suatu
negara menetapkan yurisdiksinya atas suatu perbuatan, ma
ka negara tersebut berwenang mengatur, mengadili, dan
me-laksanakan atau menjatuhkan hukuman atas perbuatan yang
telah ditetapkan yurisdiksinya tersebut.
Demikian pula yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 1
Konvensi The hague 1970, dan pasal 5 ayat 1 dan 2 Konven
si Montreal 1971, apabila suatu negara menetapkan (to es
tablish) yurisdiksinya maka negara tersebut mempunyai ke
wajiban untuk melaksanakan kompetensinya yakni menahan,
mengadili, dan menghukum pelaku pembajakan pesawat udara.
a* Wewenang negara di mana pesawat aldaftarkan
Pasal 4 ayat 1 (a) Konvensi The Hague dan pasal 5
ayat 1 (b) Konvensi Montreal menyatakan bahwa negara di
mana pesawat didaftarkan mempunyai wewenang untuk
mene-tapakan yurisdiksi atas perbuatan pembajakan yang terjadi
di dalam pesawatnya. Jadi negara tersebut berwenang untuk
menetapakan peraturan yang diperlakukan bagi pembajak
ya-itu menahan, mengadili dan menghukumnya.
Dasar yang' digunakan dalam ayat ini adalah asas
Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Clorendo Press, Oxford, 19b6, h. 250.
yurisdiksi teritorial yang memberikan wewenang kepada
se-mua negara untuk menjalankan yurisdiksinya atas orang dan
benda serta perbuatan-perbuatan yang terjadi di dalam
vi-layahnya, juga perbuatan tang terjadi di atas lingkungan
maritim (maritime belt), kapal-kapal, dan
pelabuhan-“ 21
pelabuhan, Asas yurisdiksi teritoriaj ini diakui secara
universal, di mana asas ini menimbulkan hak penting bagi
negara untuk melaksanakan kedaulatan atas wilayahnya,
ya-22
itu wewenang hukum yang dipunyai suatu negara.
' Dalam praktek asas yurisdiksi teritorial ini
meng-alaini perluasan karena kemajuan komunikasi dan
transporta-si yang amat pesat sehingga memungkinkan dilakukannya ke
jahatan didalam wilayah suatu negara yang direncanakan di
23
wilayah negara lain. ' Perluasan tersebut adalah :
(a), pen^gunaan yurisdiksi teritorial subyektif, yaitu
yurisdiksi suatu negara untuk mengadili dan
menghu-kum kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah
nega-ranya tetapi diselesaikan di wilayah negara lain,
atau akibat perbuatan tersebut dirasakan di luar wi
layah negaranya. Gontoh, kasus Tennyson (1917).
M ahkamah Agung Brasilia menjatuhkan hukuman kepada .
becerapa orang yang berdomisili di Brasil karena
me-reka meledakkan sebuah. kapal Inggris di laut lepas
dengan memasaiig alat peledak di kapal tersebut
keti-24 ka ia singgah di Brasil*
(b). penggunaan yurisdiksi teritorial obyektif, yaitu yu
risdiksi suatu negara untuk mengadili dan menghukum
kejahatan yang dilakukan di luar wilayah negaranya
tetapi menimbulkan akibat yang merugikan ketertiban
25
tunum di wilayah negara tersebut. Contoh, kasus Lo
tus *(1927). Dalam kasus ini Mahkamah Internasional
Permanen memutuskan kasus tabrakan antara kapal
Pe-rancis "Lotus" dengan sebuah kapal Turki di luar wi
layah kedua negara karena kelalaian perwira piket di
atas kapal "Lotus". Tabrakan ini menyebabkan
tengge-lamnya kapal Turki dan hilangnya delapan warganegara
Turki. Pemerintah Turki menuntut perwira piket itu
karena tabrakan tersebut mengakibatkan tenggelam
ka-palnya yang dianggap sebagai wilayah Turki
berdasar-kan asas teritorial atas kapal menurut kebiasaan
hu-kum internasional. Mahkamah Internasional memutuskan
bahwa tindakan penguasa Turki itu tidak bertentangan
^Brownlie, op. cit., h. 484 - 487.
25
mula-mula pesawat didaftarkan, dengan. melihat ciri-ciri
dan atribut pesawat yang dibajak itu.
b. Wewenang negara yang didarati pesawat yang dibajak
beserta pembajak di dalamnya
Dengan melalui pasal 4 ayat 1 (b) Konvensi The Ha
gue atau pasal 5 ayat 1 (c) Konvensi Montreal,
negara-negara yang didarati pesawat dengan pembajak masih berada
di dalamnya* berwenang melaksanakan yurisdiksinya tanpa
memandang apakah pembajakan itu telah terjadi di dalan
wilayahnya atau tidak.
Sebenarnya tidak ada suatu keistimewaan dengan
pemberian yurisdiksi tersebut apabila pembajakan itu ter
jadi di wilayah negaranya karena suatu negara berdasarkan
prinsip yurisdiksi teritorial mempunyai wewenang untuk
melaksanakan yurisdiksinya secara mandiri dan menyeluruh.
(comlpete and exclusive).^®
Masalah akan timbul apabila pembajakan terjadi di
luar wilayah negara tempat pesawat mendarat karena di sini
tidak ada hubungan yang jelas antara kompetensi terhadap
pembajakan dengan perbuatan kecuali hanya merupakan
tem-pat pendaratan pesawat.
Pasal ini juga tidak menjelaskan apakah pada saat
pesawat mendarat pembajak masih menguasai kemudi pesawat
ataukah pembajak sudah;dilumpuhkan oleh kapten pesawat
(aircraft commander). Sebab masalah lain akan timbul apa
bila kapten pesawat sudah dapat melmmpuhkan pemba jak dan
memutuskan untuk membawa pemba jak ke negara tempat
pesa-wat didaftarkan, atau apabila pesapesa-wat beserta pembajak
hanya singgah untuk mengisi bahan bakar guna melanjutkan
perjalanan ke suatu tempat yang dituju oleh pembajak.^1
Namun pasal tersebut dapat dianggap sebagai suatu
alat untuk memberantas pembajakan pesawat udara yang me
rupakan dasar bagi negara-negara untuk menghukum pemba jak
di manapun ia berada, karena tanpa pasal ini maka akan
terjadi kekosongan hukum dengan tidak adanya hubungan
an-tara pembajakan pesawat dengan negara yang didarati.
c. Wewenang negara di mana perusahaan yang menyewa pesa
wat meurpgnyal tempat usaha utama atau mempunyai tempat
tinggal tetap
Pasal 4 ayat 1 (c) Konvensi The Hague, dan pasal 5
ayat 1 (d) Konvensi Montreal menyatakan bahwa negara di
mana perusahaan yang menyewa pesawat mempunyai tempat usa
ha utama atau tempat tinggal tetap berwenang untuk
melak-sanakan yurisdiksinya atas pembajakan yang terjadi
di dalam pesawat yang disewa oleh perusahaan yang ada di
negara itu. Pengertiannya adalah apabila sebuah pesawat
disewakan tanpa awak (dry leased) oleh negara tempat pe
sawat didaftarkan kepada penyewa yang berada di negara
lain, maka negara di mana pesawat didaXtarkan tidak
raem-punyai wewenang untuk menjalankan yurisdiksinya karena
negara tersebut tidak mempunyai kepentingan langsung de
ngan pembajakan yang terjadi.
Alasan dikeluarkannya ketentuan yurisdiksi ini ada
lah karena pesawat tersebut telah disewa secara "dry lea
sed", maka awak pesawat yang menjadi saksi dalam persi- .
dangan harus memberikan kesaksian di negara tempat peru
sahaan penyewa pesawat berada dan bukan ke negara di mana
pesawat didaftarkan.^2 Maksud pasal ini adalah agar tidak
terjadi kekosongan hukum apabila terjadi kasusu yurisdik
si terhadap pesawat yang dioperasikan dengan perjanjian
sewa menyewa*
d. Wewenang negara di mana pemba.iak diketemukan
Pasal 4 ayat 2 Konvensi The Hague dan pasal 5 ayat 2 Konvensi Montreal memberikan wewenang kepada negara anggota untuk melaksanakan yurisdiksinya apabila di dalam wilayah negaranya diketemukan pembajak.
Pasal-pasal ini tidak mempersoalkan dengan cara
bagaimana pembajak masuk ke dalam wilayahnya. Misalnya
seseorang melakukan pembajakan sebuah pesawat yang
kemudi-an mendarat di negara A, tetapi setelah mendarat pembajak
melarikan diri ke negara maka negara B berwenang untuk
melaksanakan yurisdiksinya karena pembajak diketemukan di
dalam wilayah negaranya.
Pelaksanaan yurisdiksi ini menpunyai dua syarat
yaitu :
(a), pembajak harus berada di dalam wilayah negaranya;
(b). negara tersebut menolak untuk mengekstradisi pelaku
pembajakan ke negara lain,
Prinsip penetapan yurisdiksi ini merupakan suatu
prinsip yang baru dalam hukum internasional sebab
meski-pun di sini diterapkan penetapan yurisdiksi
ekstra-terito-rial, yaitu pemberian yurisdiksi terhadap perbuatan yang
dilakukan di luar wilayah negaraaya dan perbuatan itu
ti-dak dilakukan oleh warganegaranya, namun di sini
seolah-olah tidak ada hubungan antara perbuatan pembajakan, pela
ku, dan pesawat yang dibajak dengan negara yang berwenang
untuk melaksanakan yurisdiksinya. Satu-satunya faktor
yang jelas adalah diketemukannya pembajak di wilayah ne
garanya. Dimasukkannya prinsip ini adalah agar pembajak
tetap dikenai hukuman di raanapun ia berada dan memenuhi
kewajiban konvensi yaitu menanggulangi masalah pembajakan
pesawat udara dengan menetapkan hukuman yang tepat bagi
pelaku pembajakan.
Apabila dibandingkan keseluruhan penetapan yuris
diksi tersebut, maka pasal 4 Konvensi The Hague dan pasal
5 Konvensi Montreal mensejajarkan kedudukan negara-negara
yang mendapat wewenang untuk menetapkan dan melaksanakan
yurisdiksinya sehingga timbul kekaburan dalam menerapkan
pasal-pasal tersebut, Kemungkinan terjadi perselisihan
dalam melaksanakan yurisdiksi tersebut dapat menjadi sua
tu apidemi.
Agrawala, menyarankan bahwa untuk melaksanakan yu
risdiksi tersebut sebaiknya diadakan prioritas, yaitu we
wenang untuk melaksanakan yurisdiksi diberikan secara
bertahap sebagai berikut :
(a), negara tempat pesawat didaftarkan, kecuali jika pe
sawat itu telah disewa tanpa awak. Dalam hal demikian
maka wewenang diprioritaskan kepada negara tempat
perusahaan yang menyewa pesawat berada;
(b). negara yang didarati pesawat yang dibajak;
(c). negara di mana pembajak diketemukan, apabila negara
tersebut menolak untuk mengekstradisi pembajak ke
negara lain;
(d). negara awal pembajakan terjadi;
mula-mula pesawat diberangkatkan (the originated
flight) atau negara tujuan sesungguhnya dari pesawat
7 J
(original destination).
Untuk pembajakan dengan motif kriminal* maka kon
vensi tidak menutup kemungkinan diterapkannya yurisdiksi
kriminal terhadap pembajak. Hal ini dapat dilihat pada
pasal 4 ayat 3 Konvensi The Hague dan pasal 5 ayat 3 Kon
vensi Monteral. Penafsiran mengenai motif kriminal ini
diserahkan pada hukum nasional negara-negara anggota* Mo
tif kriminal yang dimaksud adalah penculikan, membuat
kerusuhan di dalam pesawat, perampokan, atau pembajakan
35 terhadap pesawat milik kebangsaannya sendiri.
^Agrawala, op. cit., h. 42.
EKSTRADISI PEIAKU PEMBAJAKAN
'"PESAWAT UDARA '
1 , Dasar-dasar ekstradisi dalam masalah pembajakan pesawat
udara
Sehubungan dengan pelaksanaan yurisdiksi oleh
negara-negara dalam masyarakat internasional, maka
adaka-lanya sebuah negara diminta untuk menyerahkan seseorang
yang melakukan kejahatan, Penyerahan ini secara umum
di-kenal dengan sebutan -ekstradisi, di mana penyerahan itu
sendiri dilakukan secara formal oleh suatu negara kepada
negara lain yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili
orang yang dimintakan ekstradisinya itu,
Maksud dan tujuan ekstradisi adalah untuk menjamin
agar pelaku kejahatan berat tidak dapatjmenghindarkan di
ri dari penuntutan dan pemidanaan serta raerapermudah
pem-buktian kejahatan, sebab bah an bukti lebih mudah
didapat-kan di negara tempat kejahatan dilakudidapat-kan, dan negara ter
sebut adalah yang paling berkepentingan serta paling
mu-57 dah mendapatkan kebenaran. '
BAB III
^ M . Budiarto, Ekstradisi dalam Hukum Nasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, h, 7*
Dalam usaha mencegah dan menanggulangi pembajakan
pesawat udara, maka ekstradisi merupakan salah satu hal
yang sangat menentukan dalam pemidanaan pelaku kejahatan
penerbangan ini. Hal ini dapat disadari karena ekstradisi
menyangkut hak dan kewajiban suatu negara untuk
menyerah-kan seseorang yang ada dalam wilayahnya kepada negara
lain untuk diadili, dan ekstradisi hanya dapat dilakukan
terhadap kejahatan-kejahatan yang telah diperjanjikan se
cara bilateral atau multilateral.
Konvensi Tokyo tidak memberikan batasan mengenai
kewajiban suatu negara untuk mengekstradisi pelaku
pemba-jakan pesawat udara, hal ini tertulis dalam pasal 16 ayat
2 yang menyatakan "... not&ing in this Convention shall
be deemed to create an obligation to grant extradition'1.
Akan tetapi konvensi ini memberi wewenang sukarela kepada
negara tempat pesawat menurunkan penumpang (disembark)
untuk mengembalikan pembajak ke negara di mana pembajak
mempunyai kewarganegaraan (rendition), yakni jika pemba
jak atas kemauannya sendiri tidak menghendaki kelanjutan
perjalanannya atau tidak mungkin berbuat demikian, dan
negara yang didarati menolak untuk menerima pembajak. Ne
gara tersebut juga dapat mengembalikan pembajak ke negara
dari mana ia memulai perjalanannya jika pembajak bukan
warga negara atau tidak mempunyai tempat tinggal tetap di
Di dalam Konvensi The Hague dan Konvensi Montreal
ketentuan-ketentuan mengenai ekstradisi mengambil peranan
penting untuk memerangi perbuatan melawan hukum yang di
lakukan terhadap pesawat udara atau sarana penerbangan
lainnya. Hal ini dapat kita lihat dalam pasal 8 pada
ke-dua konvensi tersebut yang menyatakan sebagai berikut :
t h e o f f e n c e shall be deemed to be included as an extraditable offence in any extradition treaty exis~ ting between Contracting States. Contracting States undertake to include the pfxence as an extraditable offence in every extradition treaty to be .concluded between them.
Jadildi sini semua negara anggota wajib menganggap
pemba-jakan pesawat udara sebagailiuatu perbuatan yang pelaku*
nya dapat diekstradisikan (extraditable offence). Namun
dalam praktek ada beberapa kt£us pembajakan yang ditolak
permintaan ekstradisinya karena alasan politik, misalnya
pembajakan yang dilakukan oleh dua orang Front Pembebasan
Kashmir atas pesawat Indian Airlines yang dilarikan ke
Pakistan pada tanggal 30 Januari 1971. Pemerintah Pakis
tan menolak mengekstradisi pembajak dengan dasar politik
bahwa pembajak adalah orang Kashmir dan bukan varganegara
India. 3 8
Ketentuan bahw* pembajakan pesawat udara harus
diusahakan oleh negara-negara anggota sebagai keftahatan
yang dapat diekstradisikan, aebagian besax masih
tergantung dari penafsiran negara-negara dalam masyarakat
internasional dan tergantung pada dimasukkan atau tidak
t
kejahatan ini ke dalam perjanjian ekstradisi bilateral
39 atau multilateral.
Negara-negara dapat saja menganggap suatu perbuat
an pembajakan sebagai alat untuk melarikan diri dari
ke-kuasaan politik, kemudian negara ke mana pembajak melari
kan diri memberikan suaka politik (assylum) kepadanya
ee-suai dengan ketentuan hukum national negara tersebut.
Dalam hal demikian, maka kemungkinan pembajak akan loloa
dari hukuman.
Dengan kalimat "The offence shall be deemed to be
included as an extraditable offence ... % terdapat suatu
anggapan bahwa konvensi akan memperoleh hasil yang
maksi-mal dalam usaha memberantas pembajakan kalau semua negara
anggauta mengakui suatu prinsip ekstradisi tanpa terkecu- ,
ali (mandatory extradition) terhadap semua orang yang
di-40 tuduh melakukan pembajakan pesawat udara.
^Nicholas M. Poulanzas, "The Hague Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft. (Decem ber 16, 1970)", Netherlands Tl.jdschrift voor Internatio nal Recht, Jrg, XVllI, Afl. 1 - l971f A.W. Sijthoff, Lei-den^ h* 62. .
^Oli v e r J. Disaitzyn, "International Control of Aerial Hijacking : T h e role of Values and Interests", American Journal of International Daw. Sept. 1971, Vol.
Pengakuan adanya ^mandatory extradition" ini
men-dapat dukungan dari para pihak yang langsung berhubungan
dengan penerbangan komersial, misalnya para pengelola
perusahaan penerbangan komersial, bu'ruh, perusahaan
aau-ransi, para pejabat penerbangan yang bertugas mengadakan
promosi atau membuat peraturan penerbangan, dan dari
pemerintah-pemerintah yang mempunyai pandangan politik
yang berbeda, misalnya Amerika Serikat dan Uni S o v y e t . ^
Amerika menghendaki penetapan “mandatory extradi
tion" bagi pembajak karena sam'pai sejauh ini sebagian
be-sar pesawat yang dibajak mempunyai registraai negaranya.
Sedangkan Uni Sovyet menyetujui prinsip ini karena meski
hanya sedikit pesawat yang beregistrasi negaranya yang
di-bajak, namun karena sistim pemerintahan yang totaliter
merasa dirugikan apabila ada warganegaranya yang melari
kan diri dengan jalan membajak pesawat*
Di lain piliak ada juga yang menentang prinsip ini
dengan alasan hak-hak asasi manusia, alasan politik
ter-42
tentu, dan hubungan baik antar negara. Mereka yang
me-nentang prinsip ini menyatakan bahwa berhubung dengan
a-danya hak-hak asasi manusia yang telah lama dirintis
oleh umat manusia, maka hak-hak inipun akan mempengaruhi
pelaksanaan ekstradisi atas diri seorang penjahat.
4 1 I b i d .
Karena itu pelaksanaan ekstradisi tidak dapat dilakuican
aecara langsung tetapi haras memenuhi syarat atau
asas-asaa yang telah ditentukan, khususnya yang menyangkut
me-43 negenai perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia*
Dalam hubungan ini, pembajakan pesawat udara perlu
dibedakan menjadi dua golongan yaitu :
(a), pembajakan yang dilakukan sebagai alat untuk
meracu-lik, melukai, menahan orang lain, dan merusaJfc
barang-barang miliknya dengan menghancurkan pesawat. Pemba
jakan semacam ini merupakan alat untuk mencapai tu
juan tertentu dengan pemerasan;
(b). pembajakan sebagai alat pengangkut semata (travel
hijacking) tanpa adanya maksud untuk melukai
penum-pang atau merusak harta benda milik orang lain. Pem
bajakan ini biasanya di&unakan untuk melarikan diri
dari negara-negara yang dianggap melanggar hak-hak
asasi m a n u s i a * ^ misalnya pembajakan milik maskapai
penerbangan Cina (CAAG) yang dilarikan menuju Korea
Selatan pada tanggal 5 Mei 1 9 8 3 . ^
Budiarto, Masalah Ekstradisi dan Jamlnan Per lindungan Atas aak-haE Asasi Manuaia, tihaiia Indonesia,-JbJcarta»'_i98b7* h. 16
^liasitzyn, loc, cit.
Para pendukung "mandatory extradition" memberikan
argumentasi, demi perlindungan terhadap kelangsungan
transportasi udara secara internasional, dan dipandang
dari segi biaya, kerugian material, serta gangguan yang
timbul terhadap jadwal penerbangan maka jumlah kerugian
yang timbul sebagai akibat pembajakan jauh lebih besar
di-bandingkan dengan hak individu yang menggunakan pembajakan
itu sebagai alat untuk roelepaskan diri dari rejim politik
tirani. Oleh karenanya pembajakan pesawat udara harus
di-cegah dan ditanggulangi demi kelangsungan operasi pener
bangan sipil internasional sebagai salah aatu sarana
per-hubungan antar negara yang cepat dan efisien,
Menurut pasal 8 ayat 2, apabila suatu negara
ang-gota menghendaki adanya suatu perjanjian ekstradisi de
ngan negara lainnya yang tidak mempunyai perjanjian eks
tradisi dengannya, maka konvensi ini dapat dijadikan
da-sar hukum untuk mengatur kepentingan-kepentingan ekstra
disi antara kedua negara sehubungan dengan pembajakan pe
sawat udara* Misalnya, negara A penandatangan Konvensi
menerima permintaan ekstradisi atas pembajak yang berada
dalam wilayahnya dari negara B yang juga penandatangan
konvensi, sedangkan antara keduanya tidak ada perjanjian
ekstradisi, maka kedua negara tersebut dapat menggunakan
konvensi sebagai dasar perjanjian ekstradisi.
Dalam pembahasan pasal ini, delegasi jBelanda
menggunakan ketentuan pasal tersebut sebagai dasar per
janjian ekstradisi dan sebagai dasar hukum. Akantetapi
usul ini ditolak sebab hal ini akan menjadikan konvensi
46 sama dengan perjanjian ekstradisi,
Dengan demikian negara yang menerima permintaan
ekstradisi masih dapat mempertimbangkan apakah ia akan
menggunakan ketentuan-ketentuan ekstradisi yang ada dalam
konvensi atau tidak, di mana hal ini disebutkan secara
jelas dengan kalimat it may at its option consider
this Convention as legal basis for extradition . .*M. Hal
ini didasarkan pada pertimbangan bahwa ekstradisi juga
tunduk pada hukum nasional dari negara penerima perminta
an ekstradisi. Hal ini ditekankan dengan kalimat M... Ex
tradition shall be subyect to other conditions provided
by the law of the requested State”.
Pasal 8 ayat 3 f mengatur mengenai negara-negara
anggota yang tidak menentukan syarat-syarat ekstradisi
bagi pembajakan pesawat udara atau kejahatan penerbangan
dalam perjanjian ekstradisinya, maka negara-negara anggo
ta tersebut hendaknya mengakui perbuatan pembajakan pesa
wat udara sebagai perbuatan pidana yang pelakunya dapat
diekstradisikan dan tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum
nasional dari negara yang menerima permintaan ekstradisi.
Kalau ditelaah, dengan adanya ketentuan pasal ini
maka asas yang membuat perbuatan pembajakan sebagai suatu
perbuatan yang dapat diekstradisikan dengan suatu prinsip
“mandatory extradition!' menjadi tidak berlaku jika hukum
nasional memnentukan sebaliknya, Kamun dalam hal demikian
konvensi memberikan jalan keluar yaitu seperti tercantum
dalam pasal 7 yang menyatakan bahwa apabila di dalam wi
layah negara anggota diketeraukan pembajak dan negara ter
sebut menolak untuk mengekstradisinya, maka ia
berkewajib-an - tberkewajib-anpa perkecualiberkewajib-an - menyerahkberkewajib-an pembajak kepada
pe-jabat yang berwenang untuk mengadili (to submit the case
to its competent authorities for the purpose of prosecu
tion), dan pejabat yang berwenang tersebut berdasaskan
hukum nasionalnya harus memperlakukan perbuatan itu
seba-gai perbuatan pidana biasa yang diancam dengan hukuman
yang ber^t (an ordinary offence of aserious nature). Jadi
meskipun di sini tidak ada jaminan bahwa pembajak akan
di-hukum atas perbuatan. yang dilakukannya, akan tetapi
seti-daknya terdapat suatu kemungkinan pelaksanaan proses hukum
yang seharusnya diperlakukan terhadap pembajak,
Selanjutnya pasal 8 ayat 4- menyatakan bahwa setiap
pembajak hendaknya dapat diekstradisikan tidak saja ke
negara di tempat perbuatan dilakukan, tetapi juga ke
negara-negara yang berwenang untuk melaksanakan yurisdiksi
yaitu ke negara tempat pesawat didaftarkan, ke negara yang
pesawat mempunyai tempat udaha utama atau tempat tinggal
tetap. Jadi sal ah satu negara tersebut dapat meminta
eks-tradisi dari negara di mana pembajak diketemukan. Dengan
demikian ada kemungkinan satu negara menerima permintaan
ekstradisi dari beberapa negara sekaligus,
Dalam hal demikian, maka negara di mana pembajak
diketemukan dapat menggunakan ketentuan yang tercantum da^
lam pasal 7 Konvensi The Hague apabila ia tidak bersedia
menyerahkan pembajak atau mempertimbangkan penyerahan
pembajak berdasarkan prioritas untuk menerapkan
yurisdik-si atas perbuatan pidana pembajakan kepada negara-negara
yang berkepentingan seperti telah diuraikan dalam bab
terdahulu.^
2. Penolakan ekstradisi berdasarkan alasan politik
Sudah menjadi asas umum dalam ekstradisi, jika su
atu kejahatan oleh negara yang diminta penyerahan dianggap
sebagai kejahatan politik, maka permintaan ekstradisi akan
ditolak kecuali terhadap beberapa jenis kejahatan politik
tertentu pelakunya dapat diserahkan sepenjang
diperjanji-kan antara negara yang meminta dan negara yang diminta
ekstradisinya. ^ 8
Sehubungan dengan pembajakan pesawat udara, maka
^ Supra,, h. 35 - 3 6 ,
yang dimaksud dengan "kejahatan politik" perlu
mendapat-kan penjelasan. Memang tidak mudah untuk raerumesmendapat-kan suatu
kejahatan menjadi kejahatan politik, sebab harus dilihat
dari kriteria kejahatan tersebut, misalnya motif kejahat
an, keadaan ketika dilakukan, dan hanya meliputi beberapa
4.9 kejahatan tertentu.
Suatu kejahatan dapat dikatakan sebagai kejahatan
politik apabila kejahatan itu secara langsung bertentangan
dengan konstitusi atau lembafea-lembaga pemerintah yang sah
dalam suatu negara. Kejahatan ini harus mempunyai
hubung-an denghubung-an pemberontakhubung-an, ghubung-angguhubung-an keamhubung-anhubung-an dhubung-an ketertibhubung-an
umum, dan perjuangan untuk merebut kekuasaan dari
pemerin-50 tah yang sah.
Ada beberapa kasus yang menurut praktek hukum in
ternasional dicontohkan sebagai suatu kejahatan politik,
misalnya praktek Pemerintah Xnggris yang menyatakan kasua
Castioni (1891) dan Re Meunier (1894) sebagai kejahatan
politik. Di dalam kasus-kasus ini, Pemerintah Inggris me
nyatakan bahwa kriteria kejahatan politik adalah adanya
dua pihak yang berjuang untuk memperoleh kekuasaan politik
dalam negara tempat kejahatan itu dilakukan dengan
^Starke, op. cit., h. 351 - 352.
perkecualian kaum anarkhis dan teroris. Selain itu keja
hatan politik mempunyai esensi bahwa perbuatan itu dilaku
kan bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi harua merupa
kan tujuan uaaha dari suatu kelompok politik, aeperti ker*
putusan pengadilan Inggria terhadap kaaua Giovanni Gatti
( 1947) . 5 1
Dalam kasus Kolozynski (1955), seorang awak kapal
penangkap ikan Polandia yang memberontak dan minta suaka
politik di Inggria, Pemerintah Inggria menolak perminta
an ekstradiai Pemerintah Polandia dengan alaaan bahwa
nsetiap peradilan di Polandia didasarkan pada kekuaaaan
politik", aehingga sejak aaat itu Inggria memperluaa pe
ngertian kejahatan politik dengan memaaukkan "alaaan
ke-manusiaan", yaitu bahwa dilakukannya kejahatan itu meru
pakan 8uatu tujuan untuk mengelakkan diri dari kekuaaaan
politik,^
Pengadilan negara Swiss juga memasukkan "alasan
kemanuaiaan" dalam pengertian kejahatan politik hagi
individu-individu yang melakukan suatu kejahatan sebagai
upaya untuk melarikan diri dari rejim pemerintah yang
me-nindas. Hal ini dapat dilihat pada kaaua Kavic,
Bjelano-vic, dan Arsenejenic (1952), yakni tiga orang awak
J Agrawalat op* cit., h. 51
52Ibid.. h. 52.