• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kaya atau Bahagia Diskursus Politik tent

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kaya atau Bahagia Diskursus Politik tent"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

KAYA ATAU BAHAGIA?

Diskursus Politik tentang Ukuran Kesejahteraan

Caroline Paskarina

Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Padjadjaran

cpaskarina@yahoo.com

Tema: Kesejahteraan Individu, Masyarakat, dan Serantau

Abstrak. Kesejahteraan menjadi isu yang paling banyak dibahas selama sejarah umat manusia.

Kesejahteraan tidak hanya menjadi ukuran kekuatan suatu negara, bahkan menentukan legitimasi pemerintah yang berkuasa. Sebagai konstruksi realitas, kesejahteraan tidak dapat dilepaskan dari proses diskursif yang membentuk makna, pengetahuan, bahkan batasan-batasan untuk menentukan mana yang termasuk kategori kesejahteraan dan mana yang bukan. Proses diskursif ini telah menjadi pintu masuk bagi berbagai intervensi negara terhadap kehidupan manusia, terutama melalui paradigma pembangunan yang berkembang selama ini. Paradigma modernisasi, liberalisme, dan neoliberalisme yang menjadi diskursus utama pembangunan di dunia memaknai kesejahteraan sebagai kemapanan pertumbuhan ekonomi yang dibuktikan secara empirik dengan capaian Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Tapi, kesenjangan antara tingginya capaian PDB dan kondisi riil kehidupan masyarakat telah merusak kepercayaan akan statistik resmi yang dipublikasi pemerintah sebagai ukuran kinerja. Ketidakpuasan terhadap PDB sebagai indikator kemajuan telah lama dirasakan di berbagai negara di dunia, bahkan telah mengerucut dalam “gerakan indikator” untuk membentuk indikator alternatif terhadap kesejahteraan. Bhutan, misalnya, mengembangkan Indeks Kebahagiaan, di mana rasa bahagialah yang menjadi tolok ukur kemajuan masyarakat, bukan produksi sebagaimana diukur PDB. Kanada dan negara-negara Skandinavia pun mulai mengembangkan indikator kesejahteraan yang berbasis keberlanjutan. Kemunculan diskursus tandingan ini menjadi fenomena menarik untuk melihat bagaimana kesejahteraan menjadi arena diskursus politik yang mengubah praktik pembangunan dari urusan teknis menjadi perdebatan publik, bahkan menjadi upaya politik global untuk mewujudkan visi perbaikan kualitas hidup manusia. Makalah ini akan menguraikan bagaimana makna kesejahteraan dibentuk ulang, argumentasi yang menopang kemunculan indikator kebahagiaan sebagai alternatif, dan bagaimana proses diskursif tersebut berimplikasi pada kebijakan pembangunan di Indonesia dan Malaysia.

Kata kunci: kesejahteraan, pendapatan, kebahagiaan, diskursus politik

Pengantar

Diskursus tentang kesejahteraan mulai berkembang sejak berakhirnya Perang Dunia II. Kehancuran ekonomi akibat perang mendorong semua negara di dunia untuk segera melakukan pembenahan menuju taraf hidup yang lebih baik. Dalam konteks inilah pembangunan muncul sebagai solusi untuk mencapai kesejahteraan. Dengan berpatokan pada pengalaman negara-negara Amerika Utara dan Eropa Barat yang berhasil mentransformasikan diri menjadi masyarakat modern pascarevolusi industri, maka paradigma pembangunan yang kemudian menjadi arus utama (mainstream) adalah paradigma modernisasi yang berfokus pada pertumbuhan ekonomi sebagai ukuran kesejahteraan. Agar dapat memantau pertumbuhan ekonomi tersebut dan memastikan bahwa situasi perekonomian berjalan stabil, diperlukan ukuran statistik yang dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi perencanaan pembangunan. Selama bertahun-tahun kemudian, banyak negara di dunia mengandalkan Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP) sebagai indikator utama untuk menggambarkan keberhasilan pembangunan dalam suatu negara. PDB adalah indeks

Makalah disiapkan untuk mengikuti Simposium Kebudayaan Indonesia-Malaysia (SKIM) XII, tanggal 29-30 November 2011 di Universiti

(2)

tentang output perekonomian keseluruhan suatu negara, hitungan tentang antara lain, hasil produksi pabrik, panen petani, penjualan ritel, dan belanja konstruksi (Gertner, 2010). Melalui angka PDB, luasnya perekonomian nasional dipadatkan ke dalam satu data tunggal. Tidak hanya menjadi ukuran kemajuan, PDB juga kemudian menjadi landasan bagi legitimasi pemerintahan suatu negara. Semakin tinggi capaian PDB, legitimasi pemerintah makin kuat, dan otomatis memperkuat basis argumen bagi intervensi negara dalam perekonomian.

Dominasi peran negara ini mulai mengalami penurunan pada akhir periode 1980-an seiring dengan meningkatnya inefisiensi sektor keuangan publik akibat pembiayaan birokrasi pemerintahan yang berlebihan. Bertambahnya kasus korupsi dan tingginya biaya ekonomi akibat perilaku kolusi penguasa dan pengusaha juga mendorong berkembangnya paradigma baru pembangunan yang menggeser peran alokasi dan distribusi kesejahteraan pada mekanisme pasar. Mekanisme pasar memang berhasil mendorong laju pertumbuhan ekonomi lebih cepat dan lebih tinggi dari sebelumnya melalui penyediaan iklim kompetisi di kalangan pelaku usaha. Tapi, di sisi lain, pasar ternyata tidak dapat menjamin pemerataan pertumbuhan ekonomi. Bahkan, eksploitasi terhadap berbagai sumber daya alam atas nama optimalisasi produktivitas justru menyebabkan kerusakan lingkungan hidup yang semakin parah. Kesenjangan wilayah, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan berdampak pada bertambahnya beban sosial yang harus ditanggung masyarakat, yang ironisnya ternyata jauh lebih besar ketimbang keuntungan ekonomi yang selama ini diperoleh melalui industrialisasi dan eksploitasi sumber daya alam.

Ketidakpuasan terhadap pengukuran kesejahteraan yang selama ini diterapkan mulai muncul dari berbagai kalangan, termasuk para akademisi. Selama beberapa dekade terakhir, kritik telah diarahkan pada PDB yang dianggap tidak cukup akurat untuk menunjukkan capaian kemajuan yang sebenarnya. Kritik juga muncul dari sejumlah pemimpin politik dunia, terutama di Eropa, dan oleh sejumlah kelompok internasional seperti Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). PDB mulai dipertanyakan validitasnya karena dianggap gagal menangkap kesejahteraan masyarakat di abad ke-21, sekaligus menyimpangkan tujuan politik global ke arah pengejaran pertumbuhan ekonomi semata.

Di Amerika Serikat, kritik terhadap PDB ditandai dengan kemunculan berbagai ukuran lain yang tersedia secara online, dapat diakses oleh siapa pun secara gratis, dan selalu diperbaharui secara reguler (Gertner, 2010). Di Kanada, gejala serupa juga mulai berkembang sejalan dengan upaya menyusun Indeks Kesejahteraan Kanada yang mencoba melepaskan diri dari belenggu indikator makro ekonomi ala PDB. Di Bhutan, Indeks Kebahagiaan dipakai sebagai alat ukur untuk membuktikan bahwa ada dimensi yang jauh lebih penting dituju ketimbang pertumbuhan ekonomi, yakni kebahagiaan umat manusia. Tersedianya berbagai variasi indikator ini membuka arena diskursus baru dalam memandang kesejahteraan. Kesejahteraan tidak hanya ditentukan dari satu dimensi, satu metode, dan berlaku seragam bagi semua negara. Kemunculan variasi indikator tersebut tidak menggugat ketunggalan PDB sebagai pembukti kesejahteraan, tapi juga penyederhanaan -- bahkan pereduksian -- kesejahteraan dari sebuah proses yang kompleks dan multidimensional menjadi sekedar indeks. Implikasi lanjutan akibat dari pereduksian itu adalah kecenderungan untuk mengejar peningkatan capaian angka PDB ketimbang sungguh-sungguh mengatasi permasalahan yang menghambat pembangunan.

(3)

Kesadaran akan pentingnya indikator alternatif selain PDB telah berkembang dewasa ini, tapi pertanyaannya adalah seperti apa indikator alternatif itu? Apakah indikator baru yang berbeda dengan PDB ataukah seperangkat indikator yang menggabungkan baik PDB maupun indikator lain yang mencakup dimensi-dimensi di luar pertumbuhan ekonomi? Perdebatan yang lebih penting sesungguhnya bukan pada bentuk indikator kesejahteraannya, tapi bagaimana kesejahteraan dibentuk ulang sebagai sebuah realitas yang kompleks, multidimensional, dan berkelanjutan. Implikasi apa yang kemudian muncul dari proses diskursif tersebut, dan bagaimana implikasi ini dapat dikelola oleh negara-negara serantau, seperti Indonesia dan Malaysia untuk meningkatkan taraf hidup warganya secara berkelanjutan.

Formasi Makna Kesejahteraan dalam Pembangunan

Sejarah teori pembangunan sejak masa klasik hingga kontemporer merupakan cerminan perjalanan panjang umat manusia untuk mendefinisikan kesejahteraan, bagaimana kesejahteraan itu dicapai, dan apa bukti dari pencapaian kesejahteraan tersebut. Hitungan pendapatan nasional, seperti PDB awalnya diperkenalkan untuk mengukur taraf aktivitas perekonomian pasar dan sektor publik (tidak termasuk produksi rumah tangga) pada periode pascakrisis ekonomi di tahun 1950-an, ketika paradigma ekonomi Keynesian menjadi arus utama dalam pembangunan. Pada masa itu, pemerintah memikul tanggung jawab dalam mengelola perekonomian, sehingga penting bagi mereka untuk mempunyai statistik yang bisa menggambarkan kondisi perekonomian. Statistik tersebut digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan dalam perencanaan pembangunan. Dalam perkembangan selanjutnya, ukuran-ukuran statistik tersebut terus diperbaiki hingga mencakup pula ukuran aktivitas pasar, aktivitas pemerintah, dan produksi rumah tangga. Awalnya, ukuran-ukuran ini hanyalah alat untuk menunjukkan secara matematis apa dampak yang timbul dari sebuah kebijakan ekonomi, tapi dalam perkembangan berikutnya, ukuran-ukuran ini semakin lama semakin disamaartikan sebagai ukuran kesejahteraan masyarakat.

Indikator kesejahteraan tidak pernah hanya menjadi produk pengetahuan yang netral. Di dalam indikator tersebut terkandung informasi yang dibentuk atas dasar sistem pengetahuan bahkan ideologi tertentu. Karena itu, tidak mudah untuk melakukan perubahan terhadap cara pandang dan metode pengukuran kesejahteraan. Bagi para pembuat kebijakan, indikator kesejahteraan yang bersifat statistikal tidak hanya membantu dalam proses perencanaan program, tapi juga menjadi alat untuk menjustifikasi pilihan kebijakan yang dibuatnya dan memperkuat legitimasi kinerja pemerintahan manakala berhasil mencapai target yang telah ditetapkan. Manfaat politis dari indikator kesejahteraan inilah yang membuat PDB bertahan lama sebagai alat ukur kesejahteraan.

Kerumitan dalam hal penghitungan PDB juga turut berperan dalam melanggengkan hegemoni PDB sebagai indikator kesejahteraan. Dengan dukungan argumentasi yang meyakinkan dari para teknokrat, kesejahteraan dibentuk sebagai realitas yang terukur, obyektif, universal, dan linear. PDB menjadi indikator standar yang digunakan oleh seluruh negara di dunia, apapun kondisi negara tersebut. Padahal, ketika PDB diterapkan, universalitas tersebut pada kenyataannya tidak terwujud. Negara dengan PDB tinggi jelas mengungguli negara dengan PDB rendah, tidak hanya dari sisi ekonomi tapi terutama dari sisi kualitas hidup warganya. Aktivitas ekonomi yang lebih dinamis di negara-negara dengan PDB tinggi membuat warganya lebih banyak memiliki peluang untuk memilih ketimbang negara-negara dengan PDB rendah. Tapi, di sinilah jebakan determinisme ekonomi terjadi karena dinamika aktivitas ekonomi tersebut tidaklah sama dengan tingkat kesejahteraan. Begitu pun linearitas dari argumentasi PDB sesungguhnya tidak pernah benar-benar terwujud karena tetap ada kesenjangan historis yang panjang antara negara-negara maju dan berkembang. PDB dalam konteks diskursif kemudian menjadi alat untuk melanggengkan kesenjangan negara-negara di dunia dalam bentuk pemeringkatan pertumbuhan ekonomi.

(4)

kemudian tereduksi sebagai tujuan dan bukan alat, nasib IPM pun tidak jauh berbeda. Banyak negara yang kemudian lebih berkonsentrasi meningkatkan nilai IPM-nya dan bukan kesejahteraan warganya. Perhatian pada dimensi keberlanjutan mulai menggeser perhatian dari IPM ke arah pencarian indikator lain yang dapat mengukur keberlanjutan pembangunan. Dimensi keberlanjutan muncul sebagai reaksi terhadap menurunnya kualitas lingkungan hidup dan kehidupan sosial. Kemajuan ekonomi yang dicapai selama ini sesungguhnya terdistorsi karena tidak ada biaya yang dikenakan atas emisi karbon dan tidak ada usaha untuk menghitung biaya beban emisi tersebut dalam hitungan standar pendapatan negara. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi yang diklaim oleh angka-angka statistik PDB bisa jadi tidak mencerminkan kondisi positif karena negara justru menanggung beban kerusakan lingkungan akibat eksploitasi alam. Pembentukan makna kesejahteraan mengalami perubahan karena ada narasi politik baru untuk mengidentifikasi ke mana masyarakat akan diarahkan, sehingga sistem perhitungan yang berorientasi produksi bergeser pada ukuran kemajuan sosial yang berorientasi keberlanjutan.

Kesejahteraan masa kini terkait dengan sumber daya ekonomi, seperti pendapatan, dan dengan aspek-aspek non-ekonomi manusia (apa yang mereka lakukan dan apa yang bisa mereka lakukan, apa yang mereka rasakan, serta lingkungan hidup yang mereka tinggali). Apakah taraf kesejahteraan ini bisa dipertahankan seiring waktu, bergantung pada apakah cadangan kapital yang penting bagi kehidupan (lingkungan hidup, fisik, manusia, sosial) dapat diwariskan ke generasi berikutnya.

Mengapa Mengukur Kebahagiaan?

Untuk mendefinisikan kesejahteraan, rumusan multidimensi harus digunakan. Dari berbagai hasil penelitian, setidaknya terdapat 8 (delapan) dimensi kesejahteraan, yakni standar hidup material (pendapatan, konsumsi, dan kekayaan); kesehatan; pendidikan; aktivitas individu termasuk bekerja; suara politik dan tata pemerintahan; hubungan dan kekerabatan sosial; lingkungan hidup (kondisi masa kini dan masa depan); serta ketidakamanan, baik yang bersifat ekonomi maupun fisik (Stiglitz, et.al., 2011). Dengan demikian, kesejahteraan dalam arti kualitas hidup bergantung pada kondisi obyektif dan kapabilitas masyarakat. Karena itu, yang perlu dikembangkan adalah seperangkat indikator yang dapat memperbaiki pengukuran atas keadaan kesehatan, pendidikan, akativitas personal, dan lingkungan masyarakat. Secara khusus, upaya substantif perlu dikembangkan untuk merumuskan ukuran yang akuntabel atas hubungan sosial, pilihan politik, dan ketidakamanan, yang dapat memberi prediksi mengenai kepuasan hidup.

Salahsatu indikator yang dikembangkan untuk mengukur kepuasan hidup adalah Indeks Kebahagiaan (Index of Happiness) yang saat ini mulai dikembangkan oleh Inggris, Kanada, dan Bhutan. Indeks ini berakar dari konsep modal sosial (social capital) yang menekankan pentingnya jejaring sosial sebagai bagian dari kapabilitas yang harus dimiliki orang untuk dapat bertahan hidup. Banyak hasil penelitian psikologi yang menemukan bahwa orang yang bahagia mampu berpikir positif, bekerja dengan lebih baik, dan tingkat produktivitasnya lebih tinggi ketimbang orang yang tidak bahagia. Hal ini sejalan dengan konsep kapabilitas manusia yang juga menekankan pada peluang dan kebebasan manusia untuk memilih bentuk kehidupan yang dipandang paling berharga bagi mereka. Pilihan akan kebergunaan dan kemampuan yang relevan dalam pengukuran kesejahteraan dengan demikian merupakan pilihan atas nilai, dan bukan semata persoalan teknis.

Pemberlakuan Indeks Kebahagiaan mencerminkan titik balik dalam memandang kesejahteraan sebagai persoalan subjektif. Indeks ini juga sekaligus merupakan bentuk perlawanan terhadap determinisme ekonomi dan dominasi negara-negara maju dalam menentukan kesejahteraan global. Kebahagiaan akan berbeda makna dan ukurannya bagi setiap negara, sehingga dengan menggunakan Indeks Kebahagiaan, suatu negara berpeluang untuk memperoleh informasi yang relevan bagi pilihan kebijakan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Hal ini penting karena dampak dari rendahnya kualitas hidup dalam pelbagai dimensinya jauh melebihi dampak masing-masingnya bila dikumulatifkan. Mengembangkan pengukuran atas dampak kumulatif ini memerlukan informasi mengenai distribusi gabungan aspek-aspek terpenting kualitas hidup dari semua orang yang ada di suatu negara.

(5)

quality), tingkat hedonistik/keduniawian (hedonistic level), euphoria (euphoria), kegembiraan (elation), kenikmatan (enjoyment), dan keberhasilan dalam mencapai tujuan-tujuan hidup (success in achieving life goals). Semua istilah tersebut merefleksikan kebahagiaan pada level individu, karenanya kebahagiaan tidak terikat pada satu konsep, interpretasi atau definisi khusus. Keberagaman makna kebahagiaan ini juga ditentukan oleh konteks budaya di mana masyarakat itu berada, sehingga pengembangan ukuran kebahagiaan pada dasarnya merupakan upaya untuk memetakan aspek kontekstual yang membentuk cara pandang tentang kebahagiaan. Hasil penelitian Jaafar, et.al. (2008) tentang Indeks Kebahagiaan di Malaysia dan Indonesia menunjukkan bahwa makna kebahagiaan dalam kedua masyarakat tersebut dibentuk oleh nilai-nilai tradisional, komunalitas, dan keagamaan. Ketika dikaitkan dengan keberhasilan pembangunan, hasil penelitian Jaafar, et.al. menunjukkan temuan menarik karena ternyata tingkat kebahagiaan masyarakat Malaysia lebih tinggi daripada Indonesia, karena tingkat distribusi pendapatannya lebih merata (Jaafar, et.al., 2008). Temuan ini membuktikan bahwa bukan tingkat pendapatan yang terpenting dalam pembangunan, tapi bagaimana pendapatan tersebut didistribusikan secara merata, sehingga dapat memenuhi kebutuhan dasar setiap orang, membuka akses terhadap lapangan kerja, pelayanan publik, dan infrastruktur yang lebih berkualitas. Kebahagiaan menjadi indikator dari respon masyarakat tentang cara pembangunan dilakukan selama ini dan dampak-dampak yang ditimbulkannya dalam kehidupan manusia. Karena itu, tingkat kebahagiaan yang rendah sebenarnya menjadi peringatan bagi pengambil kebijakan untuk segera melakukan perbaikan kebijakan pembangunan agar lebih berorientasi pada pemerataan dan keamanan kualitas hidup.

Penutup

Indeks Kebahagiaan merupakan alternatif untuk melengkapi pengukuran kesejahteraan, sehingga keberadaannya tidak berarti menggantikan ukuran-ukuran yang sudah ada sebelumnya. Kemunculan diskursus tentang ukuran kesejahteraan yang berbasis kekayaan dan kebahagiaan merupakan proses politik untuk melakukan perbaikan kebijakan pembangunan, bahkan mengubah paradigma pembangunan agar lebih peduli pada dimensi keberlanjutan.

Sebagai sebuah alternatif, Indeks Kebahagiaan juga dikritik karena seolah memberi peluang bagi intervensi pemerintah dalam kehidupan pribadi masyarakatnya. Untuk menghindarkan hal ini, penting untuk memahami apa yang akan diukur dari kebahagiaan dan bagaimana hasil pengukuran itu digunakan untuk memperjuangkan kesejahteraan. Kebahagiaan tidak menjadi ukuran tunggal bagi kesejahteraan, tapi menjadi ukuran tentang cara yang dipilih untuk mewujudkan kesejahteraan itu. Ukuran kesejahteraan mencerminkan apa yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat (ukuran pendapatan), apa yang terjadi pada kaum miskin (ukuran kemiskinan), apa yang terjadi pada lingkungan (ukuran pengelolaan sumber daya dan degradasi lingkungan hidup), dan apa yang terjadi pada perekonomian yang berkelanjutan (ukuran utang). Kebahagiaan menjadi refleksi dari respon masyarakat terhadap kondisi-kondisi tersebut. Karena itu, yang diperlukan bukan kebijakan untuk menciptakan kebahagiaan bagi setiap individu, tapi kebijakan untuk mengelola kondisi-kondisi yang diperlukan agar individu-individu dapat merasa bahagia.

Daftar Pustaka

Gertner, John. 2010. “The Rise and Fall of the G.D.P.”. Dalam New York Times, 13 Mei. Diunduh dari

http://www.nytimes.com/2010/05/16/magazine/16GDP-t.html?pagewanted=all, pada 29 September 2011.

Jaafar, Jas Laile Suzana, Haslina Muhamad, Shajaratu Adur Abu Hanapiah, Tina Afiatin, dan Yogi Suprayogi Sugandi. 2008. “The Index of Happiness of the Malaysian and Indonesian Peoples”. Makalah, diunduh dari

http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:gjaqb671BlEJ:www.postf.org/others/downCheck.jsp%3FfileType%3D B%26fileName%3D200952620362221_1.doc%26realName%3D%26idx%3D114%26year%3D2007+indeks+kebah agiaan&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEESio3fmtcoKRMYDHHMF1evWXZbFhDcxX6UHoD15RzIWqqKJxa dsvdXlPoUrLv45x7RlpEJO2LNMKG70broDAuOzPCRqZtHwG_ZybGOYFhWpoG9eidYdBlXuf3nqVhqXycr0OR

KCW&sig=AHIEtbTuWEOcSfAjAnVqAwAuzucnaoxQmA, pada 29 September 2011.

Referensi

Dokumen terkait

Aspek-aspek yang diamati terhadap aktivitas guru selama pembelajaran berlangsung meliputi: (1) membuka pembelajaran, (2) menyampaikan tujuan pembelajaran dan materi yang akan

terlampau cukup jauh adalah jumlah pekerja yang dibutuhkan untuk pekerjaan dinding bata ringan jauh lebih sedikit ketimbang penggunaan pekerja dengan menggunakan

Terapi ini dilakukan secara klasikal mengingat permasalahan yang dihadapi subjek bukan permasalahan ranah klinis dan sampel yang sedikit dimana peneliti mengacu

Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi jenis wordplay yang ada dalam film Spongebob Squarepants “Sponge Out Of Water”, teknik penerjemahan yang digunakan pembuat subtitle

“ Studi Kasus Mengatasi Kecemasan Berkomunikasi (Apprehensive Communication) Melalui Konseling Behavioral Dengan Teknik Desensitisasi Sistematis Pada Siswa Kelas VII

Secara kelompok, siswa mengerjakan lembar portopolio yang diberikan oleh guru dalam rangka mengumpulkan informasi dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan, dan

Dalam perkembangannya, saat ini sistem pengolahan data yang di gunakan oleh koperasi simpan pinjam pada MTs Negeri 1 Kota lubuklinggau masih konvensional yaitu menggunakan buku

Data lembar validasi yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan rumus Rata-Rata Tiap Validator (RTV) dan data tes diagnostik pilihan ganda three-tier dianalisis