• Tidak ada hasil yang ditemukan

AGAMA DAN NEGARA Studi Relevansi A

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "AGAMA DAN NEGARA Studi Relevansi A"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENELITIAN

DISAMPAIKAN KEPADA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR

MELALUI LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT

UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR (LPPM UIKA BOGOR)

JUDUL :

KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERIBADAH

(Suatu Analisis Komparatif Mengenai Kebebasan Beragama dan Beribadah di Indonesia, Amerika Serikat, dan Hukum Internasional)

OLEH : DIDI HILMAN NIK. 410100051 NIDN. 420045601

FAKULTAS HUKUM

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadiran Allah SWT yang masih memberi kesempatan kepada Penulis untuk menyelesaikan Laporan Penelitian di seputar hubungan antara agama dan negara. Laporan Penelitian ini disusun dalam rangka tugas selaku dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas Ibn Khaldun Bogor.

Penulis menyadari bahwa Penelitian ini belum sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran dari siapa saja sangat diharapkan agar Penelitian ini dapat dijadikan bahan dalam studi dibidang hukum.

Bogor, Januari 2014

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Diterima oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat dan disampaikan kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Ibn Khaldun Bogor.

Bogor, 2 Januari 2014

Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat Universitas Ibn Khaldun Bogor

(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Diterima dan disahkan oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas Ibn Khaldun Bogor.

Bogor, 2 Januari 2014

Dekan Fakultas Hukum Universitas Ibn Khaldun Bogor

(5)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebebasan beragama adalah hak asasi manusia1 yang sifatnya universal dan

termuat dalam instrument-instrumen hak asasi manusia baik nasional maupun internasional. Hak kebebasan beragama merupakan bagian dari hak sipil (civil rights) yang tidak dapat dicabut (inalienable rights) dan tidak dapat dikurangi (non derogable rights). Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM) Tahun 19482,

Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945),3 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang

HAM4, Undang-Undang No. 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan Internasional Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (Konvensi

1 Hak Asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia yang diperoleh dan dibawanya bersamaan

dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu dimilikinya tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama atau kelamin, dan karena itu bersifat azasi dan universal. Dasar dari semua hak azasi ialah bahwa manusia harus memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya. Hak atas kebebasan beragama merupakan bagian dari Hak-hak Sipil dan Politik. Sedangkan Hak-hak Sipil dan Politik mencakup antara lain:

Pasal 6 : Right to life – hak untuk hidup.

Pasal 9 : Right to liberty and security of person – hak atas kebebasan dan keamanan dirinya. Pasal 14 : Right to equality before the courts and tribunal – hak atas kesamaan di muka badan-badan

peradilan.

Pasal 18 : Right to freedom of thought, conscience and religion – hak atas kebebasan berpikir, mempunyai conscience, beragama.

Pasal 19 : Right to hold opinions without interference – hak untuk mempunyai pendapat tanpa mengalami gangguan.

Pasal 21 : Right to peaceful assembly – hak atas kebebasan berkumpul secara damai. Pasal 22 : Right to freedom of association – hak untuk berserikat.

Lihat Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia, 1981. hal. 120 dan 126.

2 Deklarasi HAM PBB (The Universal Declaration of Human Rights) pasal 18 menyatakan :

1. Everyone shall have the right to freedom of thought, conscience and religion. This right shall include freedom to have or adopt a religion or belief of his choice, and freedom, either individually or in community with others and in pub ic or private, to manifest his religion or belief in worship, observance, practice and teaching.

2. No one shall be subject to coercion which would impair his freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice.

3. Freedom to manifest one’s religion or beliefs may be subject only to such limitations as are Prescribed by law and are necessary to protect public safety, order, health, or morals or the the fundamental rights and freedoms of others.

4. The states Parties to the present Covenant undertake to have respect for the liberty of parents and, when applicable, legal guardians to ensure the religious and moral education of their children in conformity with their own convictions.

3Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 menyatakan : (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha

Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

4 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pasal 4 yang berisi sebagai berikut ; Hak

(6)

Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial/CERD),5 Undang-Undang No. 11

Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights (Konvenan tentang Hak-ihak Ekonomi, Sosial dan Budaya/ICESCR),6

merupakan ketentuan- ketentuan yang menjamin hak kebebasan beragama.

Dalam sejarah kehidupan ummat beragama, hak atas kebebasan beragama mengalami pasang surut. Sejarah mencatat berbagai perang dan kekerasan yang

5 Undang-Undang No 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention on the Elimination

of All Forms of Racial Discrimination

(7)

disebabkan oleh agama. Perang Salib7, Perang Katolik dengan Protestan8, perpecahan

dalam tubuh Gereja (Schism)9 di Eropa, inquisisi10, persekusi hingga genosida11 yang

bermotifkan agama, semuanya meninggalkan jejak-jejak traumatik terhadap agama serta membentuk persepsi orang terhadap agama.12

Hampir semua konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia dewasa ini terkait dengan agama atau bernuansa agama. Di kawasan Asia Tenggara konflik antar agama terjadi di Thailand Selatan (Islam versus Budha), Myanmar (Islam versus Budha),

7 Perang Salib (1095 – 1272), terjadi setelah Paus Urbanus II menyerukan perang suci melawan Islam

(8)

dan Filipina Selatan (Islam versus Katolik). Sedangkan di Asia Selatan, konflik terjadi antara Hindu vs Budha di Srilangka), Islam versus Hindu di India, konflik intra agama di Pakistan ( Syiah vs.Sunni). Di wilayah Timur Tengah konflik antar-agama terjadi di Palestina (Islam vs Yahudi), di Irak ( Syiah vs. Sunni). Demikian pula di Eropa dan Amerika terjadi konlik baik intra maupun antar agama, yang melibatkan agama Islam, Katolik, Protestan, Ortodoks dan Yahudi Adapun di Afrika yang menonjol adalah konflik dan persaingan antara Islam vs. Kristen.

Islam agama yang dipeluk oleh mayoritas bangsa Indonesia penyebarannya dilakukan dengan cara damai (peaceful penetration). Agama Islam ini disebarkan melalui misi dagang, kaum sufi dan para penganut Islam yang taat. Islam berkembang secara damai di kalangan penduduk asli dan mampu menyatukan berbagai suku, bahasa, dan norma-norma. Sebagai agama natural, Islam tidak menghapus tradisi para penduduk asli tetapi justru mengakomodasinya. Kejujuran, kebenaran, keikhlasan,

dinasti kecil yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad. Kepada mereka yang ikut dalam perang salib Paus menjanjikan sorga dan penghapusan dosa. Lihat Sidney Poitir, The History of Midlle Ages,. Menurut Amstrong, perang ini menimbulkan luka yang traumatik bagi ummat Islam, hingga sekarang. Lihat Karen Amstrong “Perang Suci, Kisah Detail Perang Salib,Akar Pemicunya, Dan Dampaknya Terhadap Zaman Sekarang,(Jakarta:Serambi Ilmu Semesta, 2011),cetakan keenam, hal.9.

8 Perang Katolik melawan Protestan dikenal dengan French Wars of Religion (1562-1598). Perang ini

berawal dari pembantaian Vassy (the Massacre of Vassy) pada tahun 1562. Pembantaian ini memicu permusuhan terbuka antara pengikut Katolik dan Protestan (Huegenot). Para ahli sejarah membagi periode perang Katolik – Protestan sebagai-bertikut : Periode pertama (1562-1563), periode kedua (1567-1568), periode ketiga (1568-1570), periode keempat (1572-1573), Periode kelima (1574-1576), periode keenam (1576-1577), periode ketujuh (1579-1580), dilanjutkan dengan tiga peperangan yang dipimpin oleh raja Henry (The ’War of the Three Hanry’s) tahun 1585-1598. Perang Katolik-Protestan berakhir dengan disepakatinya Perjanjian Nantes (The Edict of Nantes) tahun 1598. Lihat Wikipedia, the free encyclopedia, French Wars of Religion.html

9 Perpecahan dalam gereja/skisma (schism) adalah perpecahan di dalam sebuah gereja atau kelompok

keagamaan. Adapun istilah skismatik berarti seseorang yang menciptakan atau menghasut agar terjadi perpecahan di dalam sebuah gereja atau anggota dari gereja yang memisahkan diri, atau gagasan serta hal-hal yang dianggap dapat menyebabkan perpecahan tersebut.

10 Menurut Oxford Learners Dictionary, kata inquisition berarti penyelidikan (investigation) dan

interogasi (interrogation). Sedang menurut Ensiclopedia Americana kata inquisition berasal dari kata Latin inquirere yang berarti suatu tata cara atau prosedur yang digunakan untuk memburu orang-orang yang melakukan bid’ah dan para pelanggar hukum lainnya, sambil menunggu dakwaan yang tetap. (the form of procedure used, that of searching out heretics and other offenders instead of waiting for charges to be made).

11 Genosida (genocide) adalah pemusnahan atas kelompok etnis atau kelompok agama.

12 Sikap negative terhadap agama misalnya ditunjukan oleh AN Wilson. Dalam bukunya yang berjudul

Against Religion, Why We Should Try to Live Without It , Wilson menulis sebagai-berikut :

(9)

dan hubungan yang damai di antara para suku, keluarga dan warga diikat oleh nilai-nilai yang berdasar pada kohesi sosial.

Namun demikian, tidak berarti bangsa Indonesia tidak menghadapi masalah yang berkaitan dengan agama. Hal ini terbukti ketika para founding father’s Republik ini tengah mempersiapkan kemerdekaannya, dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), terjadi perdebatan yang hangat mengenai relasi agama dan negara antara para tokoh golongan Islam (Nasionalis Islam) dan golongan Nasionalis (Nasionalis Sekuler).13

Perdebatan mengenai relasi agama dan Negara kembali terjadi pada sidang-sidang konstituante. Konstituante adalah suatu badan yang bertugas untuk membuat konstitusi yang anggotanya dipilih melalui Pemilihan Umum pada tahun 1955. Negara Republik Indonesia ketika itu belum memiliki konstitusi yang bersifat permanen. Undang-Undang Dasar 1945 merupakan undang-undang dasar yang bersifat darurat. Demikian pula dengan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950, ini merupakan UUD yang bersifat sementara sampai terbentuknya UUD yang dibuat oleh badan pembuat Undang-Undang Dasar (konstituante).

Usaha konstituate membuat undang-undang dasar yang permanen gagal, karena terjadi deadlock dalam pengambilan keputusan.14 Presiden Soekarno berdasarkan

alasan Negara dalam keadaan bahaya, mengumumkan dekrit Presiden 5 Juli 1959, membubarkan konstituante dan memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945.15

Di masa Orde Baru issue agama kembali muncul menjadi perdebatan sengit di dalam proses legislasi beberapa perundang-undangan, seperti Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan16, Undang-Undang No 2 Tahun 1989 tentang Sistem

13 Perdebatan dalam rapat pleno BPUPKI tentang dasar negara atau ‘weltanschauung’ berakhir dengan

disepakatinya Piagam Jakarta (Djakarta Charter). Namun pada tanggal 18 Agutus 1945, dalam rapat PPKI Mohammad Hatta salah seorang anggota Panitia Sembilan (perumus Piagam Jakarta) mencoret kata ‘Ketuhanan, dengan kejewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya’. Menurut Hatta pencoretan ini dilakukan karena adanya keberatan dari wakil-wakil Katolik dan Kristen dari kawasan Indonesia bagian timur. Lihat Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, (Jakarta:Tintamas,1969), hal.

14 Terjadi deadlock dalam persidangan konstituante antara kelompok/partai Islam dan partai-partai

lainnya (Nasionalis, Protestan, Katolik, Sosialis dan Komunis), keduanya tidak mencapai quorum 2/3 yang diperlukan untuk keputusan. Dalam Pemilihan Umum tahun 1955 partai Islam mendapatkan 230 kursi sedang partai lainnya memperoleh 286 kursi. Perimbangan kedua kelompok tersebut adalah 4 : 5. Lihat Endang Saefuddin Anshari, MA, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta, Gema Insani Press, 1997), hal.67.

15 Dekrit Presiden RI 5 Juli 1957 berisikan : Pembubaran konstituante, memberlakukan kembali UUD

1945 dan membentuk Majlis Permusyawaratan Sementara (MPRS).

16 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku sekarang ini ditetapkan dalam

(10)

Pendidikan Nasional,17 dan Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama.18

Setelah reformasi, issue agama-negara kembali mengemuka dalam sidang-sidang MPR RI. Namun demikian, tidak terjadi perdebatan ideologis seperti dalam sidang-sidang Konstituante tahun 1955. Beberapa peraturan perundangan yang diawali dengan kontroversi di era ini adalah Undang-Undang tentang Anti Pornografi19,

Undang-Undang No 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah20, dan Undang-Undang

tentang Sistem Pendidikan Nasional21.

kalangan Islam karena dianggap sangat ‘sekuler’ dan bertentangan dengan hukum Islam. Pemerintah kemudian merubah secara radikal RUU Perkawinan itu dan menetapkan UU No 1 Tahun 1974 setelah mendapatkan protes keras dari ummat Islam.

17 Pasal 28 Undang-Undang No 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengatur tentang

kewajiban untuk mengajarkan pendidikan agama kepada setiap peserta didik, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Penjelasan pasal 28 undang-undang tersebut menegaskan bahwa pendidikan agama yang diajarkan, maupun guru yang mengajarnya harus sesuai dengan agama yang dipeluk oleh peserta didik.

18 Proses legislasi Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama diwarnai oleh

pro-kontra dan perdebatan yang cukup panas di parlemen. Penolakan terhadap RUU Peradilan Agama antara lain berasal dari tokoh Katolik Frans Magnis Suseno dan R.Suprapto mantan Gubernur DKI Jaya. Magnis Suseno menulis:” ….terbentuknya Peradilan Agama akan merongrong kedaulatan negara, bertentangan dengan konsensus nasional Pancasila, serta akan menambah gejolak-gejolak yang timbul oleh kaum ekstrimis fundamentalis’. Lihat Frans Magnis Suseno SJ, Seputar Rencana Undang-Undang Peradilan Agama, Kompas 16 Juni 1989. Sedang R Suprapto dalam suratnya kepada ketua DPR/MPR RI Nomor bm.j. 010/3/1989 tanggal 2 Juni 1989 menyatakan bahwa peradilan agama bertentangan dengan : 1. Maksud mendirikan negara kesatuan. 2. Kesepakatan luhur pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. 3. Dasar negara Pancasila. 4.Pancasila sebagai satu-satunya asas. 5. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan kewajiban negara menjamin kemerdekaan beragama. 6. GBHN yang menghendaki pembentukan dan pengembangan satu sistem hukum nasional yang berdasarkan dan berazaskan Pancasila. 7. Persamaan semua warga negara di hadapan hukum (tanpa membedakan agama dan kepercayaan). 8. Wawasan nusantara. 9. Tekad Orde Baru melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

19 Terjadi kontroversi diseputar undang-undang pornografi. Ormas-ormas Islam dan partai-partai Islam

mendukung lahirnya undang-undang ini, sementara kelompok non Muslim dan daerah seperti Bali, Papua, Sulawesi Utara menentang undang-undang ini.

(11)

Selain issue legislasi sebagaimana dipaparkan di atas, pendirian atau pembangunan rumah ibadah dan kegitan proselitisasi22 kerapkali menimbulkan

konflik antar pemeluk agama.23

Kebebasan beragama telah diperjuangkan sejak ribuan tahun yang lalu dan hingga kini pun kebebasan beragama masih terus diperjuangkan, karena tidak semua pemeluk agama merasa telah mendapat hak-haknya untuk beragama dan beribadah sesuai dengan keyakinannya.

B. Permasalahan

Berdasarkan pemikiran-pemikiran yang telah diuraiakan dalam Latar Belakang tersebut di atas, maka permasalahan pokok yang dibahas dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai-berikut :

1. Salah satu hak asasi manusia yang dijamin di dalam konstitusi adalah hak dan kebebasan beragama. Apa yang menjadi dasar pemikiran sehingga hak dan kebebasan beragama tersebut perlu dijamin didalam konstitusi ?

2. Dalam negara yang bersifat majemuk (plural) seperti Indonesia, mungkinkah membuat batasan (definisi) yuridis atas agama ? Apakah batasan tersebut tidak menghilangkan hak dan kebebasan beragama ?

22 Proselitisasi adalah kegiatan menyebarkan agama kepada orang yang telah beragama lain. Pada

tahun 1967 pemerintah Republik Indonesia pernah menyelenggarakan ‘Pertemuan Antar Agama” yang dihadiri oleh tokoh-tokoh agama dari berbagai agama yang dianut di Indonesia. Kondisi hubungan antar ummat beragama ketika itu kurang harmonis. Di Ujung Pandang sebuah gereja dirusak oleh orang-orang Islam, karena seorang pemuka agama Kristen di kota itu mengeluarkan ucapan-ucapan menghina Nabi Muhammad SAW. Di Aceh sebuah gereja baru tidak jadi diresmikan karena di daerah tempat gereja itu didirikan tidak ada penganut Kristennya. Menteri Agama RI ketika itu KH M. Dahlan mengajukan sebuah rencana persetujuan kepada para peserta pertemuan yang pada pokoknya tidak membenarkan melakukan propaganda agama atau menyebarkan agama kepada orang yang sudah memeluk agama lain. Pemerintah menginginkan terciptanya kerukunan antar ummat di tanah air. Rosihan Anwar yang hadir dalam pertemuan itu menggambarkan sebagai-berikut :

23 Menurut Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) banyak kasus-kasus pelarangan beribadah

(12)

3. Bagaimanakah model Relasi Agama dan Negara yang dianut di Indonesia, dan Amerika Serikat ? Bagaimana pula model tersebut mempengaruhi kehidupan beragama para pemeluknya ?

4. Apakah amandemen UUD 1945 yang menegaskan kembali jaminan atas kemerdekaan beragama merubah makna kebebasan beragama yang dipahami selama ini ?

5. Bagaimanakah kebebasan beragama dipahami dalam konteks kebebasan berekspresi.

II TINJAUAN PUSTAKA

1. Kebebasan beragama dan kebebasan berekspresi

(13)

Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Salah satu hak asasi manusia yang harus dihormati oleh masyarakat dunia yaitu hak atau kebebasan beragama.

Kebebasan beragama merupakan fondasasi yang penting bagi kemerdekaan dan perdamaian ummat manusia. Hak kebebasan beragama bersifat universal, inalienable dan indivisible. Universal berarti hak ini diberlakukan bagi semua orang; analienable berarti tidak dapat dicabut karena hak ini bukan pemberian negara. Sedangkan indivisible artinya hak ini sama pentingnya dengan hak-hak asasi manusia yang lain seperti hak untuk hidup (right to life), hak untuk berpendapat, berserikat dan berkumpul.

Menurut pakar hak atas kebebasan beragama Tore Lindholm, ada delapan elemen atau unsur dari hak kebebasan beragama, yaitu :24

a. Kebebasan Internal (Forum Internum).

Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan setiap orang untuk memiliki, menganut, mempertahankan atau pindah agama atau keyakinan.

b. Kebebasan Eksternal (Forum Eksternum).

Setiap orang mempunyai kebebasan, baik sendiri atau bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum (publik) atau wilayah pribadi, untuk memanifestasikan agama atau kepercayaannya di dalam pengajaran, pengamalan, ibadah dan penataannya.

c. Tidak ada Paksaan (Non Coersion).

Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau keyakinannya sesuai dengan pilihannya.

d.Tidak Diskriminatif (Non Discrimination).

Negara berkewajibanuntuk menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkeyakinan bagi semua orang yang berada di dalam wilayah kekuasaannya dan tunduk pada wilayah hukum atau yuridiksinya, hak kebebasan beragama atau berkeyakinan tanpa pembedaan apapun seperti suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau keyakinan, politik atau perbedaan pendapat, kebangsaan atau asal-usulnya, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.

e. Hak dari Orang Tua dan Wali.

24 Tore Lindholm, W. Cole Durham Jr. Bahia G. Tahzib-Lie (ed), Kebebasan Beragama atau

(14)

Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orang tua, dan wali yang sah (jika ada) untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri, selaras dengan kewajiban untuk melindungi hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan setiap anak seiring dengan kapasitas anak yang sedang berkembang.

f. Kebebasan Lembaga dan Status Legal.

Aspek yang vital dari kebebasan beragama atau berkeyakinan, bagi komunitas keagamaan adalah kebebasan untuk berorganisasi atau berserikat. Oleh karena itu, komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam beragama/berkeyakinan, termasuk di dalamnya hak kemandirian di dalam pengaturan organisasinya.

g. Pembatasan yang diijinkan.

Kebebasan untuk memanifestasikan keagamaan atau keyakinan seseorang hanya dapat dibatasi oleh undang-undang dan ditujukan untuk kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak dasar orang lain.

h. Tidak Dapat Dikurangi (Non-Derogability).

Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam keadaan apa pun.

Pembatasan Hak Kebebasan Beragama

Pembatasan atas manifestasi kebebasan beragama hanya dapat dibenarkan jika diatur oleh hukum. Menurut pasal 18 ayat (3) International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICCPR), ada lima alasan untuk diijinkannya pembatasan hak kebebasan beragama, yaitu:25

a.Pembatasan Demi Keamanan Publik (Restriction for the Protection of Public Safety).

Makna pembatasan keamanan publik menurut Manfred Nowak (Special Repourteur PBB) ditafsirkan secara terbatas, berbeda dengan makna keamanan public di dalam pasal-pasal lain di dalam Konvensi Sipol. Pembatasan ini akan dibenarkan seperti ketika ada sekelompok organisasi agama sedang berkumpul untuk melakukan prosesi

25 Manfred Nowak dan Tanja Vospernik, Pembatasan-Pembatasan Yang Diperbolehkan terhadap

(15)

keagamaan, upacara penguburan jenazah, menyelenggarakan ritual dan kebiasaan agama yang mana secara spesifik mengancam keamanan orang-orang lain(nyawa, fisik dan kesehatan mereka itu) dan benda-benda lainnya.

b. Pembatasan untuk Melindungi Ketertiban Masyarakat (Restriction for the Protection of Public Order).

Pengertian ketertiban umum di sini adalah untuk mencegah gangguan terhadap ketertiban publik dalam arti yang terbatas. Sebagai sebuah gambaran seperti adanya aturan untuk pendaftaran penguburan jenazah dengan maksud untuk mengatur lalu-lintas, sehingga orang-orang yang menggunakan jalan tidak terganggu oleh adanya upacara penguburan jenazah tersebut. Disini, ketertiban umum ditafsirkan secara sempit untuk menjaga arus lalu lintas agar tidak terganggu oleh adanya upacara penguburan jenazah tersebut.

c.Pembatasan untuk Melindungi Kesehatan Masyarakat (Restriction for the Protection of Public Health).

Pembatasan yang diijinkan karena alasan kesehatan publik terutama dimaksudkan untuk mengijinkan intervensi negara dalam rangka mencegah wabah atau penyakit-penyakit lain. Seperti vaksinasi, pencegahan rabies, pencegahan penularan TBC.

d.Pembatasan untuk Melindungi Moral Masyarakat (Restriction for the Protection of Morals).

Pengertian moral harus diambil dari berbagai macam tradisi keagamaan, sosial dan filosofi. Oleh karena itu pembatasan atas manifestasi keagamaan atas dasar moral tidak boleh hanya diambil secara ekslusif dari satu tradisi saja. Pembatasan manifestasi keagamaan dalam kasus ‘black masses’ (ritual keagamaan yang mensyaratkan hubungan seksual), kemudian upacara/ritual keagamaan yang membahayakan kesehatan, seperti upacara keagamaan/kebiasaan keagamaan mewajibkan sunat untuk perempuan di Afrika, atau mewajibkan pengikutnya untuk minum racun. Negara atas dasar alasan-alasan tersebut ‘dapat’ membatasi manifestasi keagamaan setiap warga negara.

e. Pembatasan untuk Melindungi Kebebasan Mendasar dan Kebebasan Orang Lain (Restriction for the Protection of The (Fundamental) Rights and Freedom of Others).

(16)

nurani, hak beragama, hak untuk diakui sebagai pribadi didepan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

Hal yang sama juga terjadi pada hak seseorang untuk menentukan nasib sendiri, hak atas persamaan hak perempuan, larangan perbudakan, hak atas integritas fisik dan mental, hak untuk menikah, hak-hak minoritas, hak atas pendidikan dan kesehatan berkonflik dengan hak atas manifestasi agama orang lain. Dalam kasus kebiasaan keagamaan yang mewajibkan perempuan untuk disunat bertentangan dengan hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain yaitu hak perempuan atas integritas fisik dan mental serta persaan hak perempuan.

2. Model-Model Dalam Relasi Agama dan Negara

Winfried Brugger mengemukakan enam model relasi agama dan negara seperti dalam tabel berikut :

Model 1 adalah model permusuhan negara terhadap agama (Animosity between Church and State).

Negara bersikap anti agama seperti tercermin dalam konstitusi, ideology serta policy pemerintahnya. Contoh dari model ini adalah Albania. Dalam pasal 37 Kostitusi Albania tahun 1976, dinyatakan :26

“The state recognizes no religion of any kind and supports and develops the atheistic view so as to ingrain in the people the scientific and materialistic world view”.

Sikap permusuhan terhadap agama lazim dianut di negara-negara komunis, sebelum runtuhnya Uni Sovyet pada akhir tahun 1980’an. Dalam tulisannya yang

(17)

berjudul Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right tahun 1844, Karl Marx menegaskan pandangannya yang anti agama sebagai berikut :27

Religion is the sight of the oppressed creature, the heart of a heartless world, and the soul of soulless conditions. It is the opium of the people”.

Sedang V.I Lenin dalam socialism and religion, menulis sebagai-berikut :28

Religion is one of the forms of spiritual oppression which everywhere weighs down heavily upon the masses of people……”.

Sikap anti agama bukan hanya monopoli negara-negara yang berideologi komunis saja. Konflik antara gereja dan negara merupakan masalah yang paling mengemuka dalam sejarah Eropa modern. Konflik ini misalnya terjadi di Prancis, Italy dan Spanyol. Menurut Shapiro, meski bentuk konflik dan periode terjadinya berbeda-beda, namun akar pertentangannya tetap sama yaitu perebutan kekuasaan. Meski tingkat permusuhannya terhadap agama tidak seagresif merxisme-leninisme, Perancis sering dijadikan contoh sebagai negara yang aktif membendung pengaruh agama. Perancis yang sejak dulu mendapat julukan sebagai ’the classic land of anticlericalism’ , dari waktu ke waktu secara konsisten melakukan politik anti gereja dan upaya-upaya intelektual untuk menentang pengaruh agama.. Istilah Perancis ’laicite’ mengandung makna permusuhan terhadap agama. Menurut Brugger kualitas permusuhan (animosity) terhadap agama dapat dibedakan menjadi :29

(1) Permusuhan terhadap agama yang militan dan berkombinasi dengan tujuan untuk mengeliminir agama dan menggantikan tema-tema agama dengan tema-tema sekuler.

(2) Permusuhan yang lebih ’lunak’ (softer) yaitu tidak memenolak pemusnahan agama dan keyakinan agama secara totalitas, tetapi memperjuangkan pandangan yang sekuler dalam kehidupan.

(3) Permusuhan terhadap agama tertentu seperti permusuhan terhadap agama Katolik di Perancis.

Model 2 adalah model pemisahan yang tegas dalam teori dan praktik (Strict Separation in Theory and Practice).

27 ibid. lihat pula 28

(18)

Model ini adalah variasi dari doktrin pemisahan agama dan negara yang tegas dalam ruang dan tatanan kenegaraan, dan secara ketat diterapkan dalam praktik. Perancis, Mexico dan Amerika Serikat, dapat digolongkan kedalam model ini. Mexico menganut prinsip pemisahan yang ketat (strict separation) dengan kecurigaan yang berlebihan terhadap agama Katolik.30

Contoh dari model ini adalah kasus Everson melawan Dewan Pendidikan (Everson v. Board of Education) di Amerika Serikat. Pada tahun 1941, negara bagian (State) New Jersey memberlakukan undang-undang yang memberikan fasilitas bus sekolah baik bagi sekolah-sekolah negeri maupun swasta, termasuk sekolah Katolik. Perdebatan di Mahkamah Agung Amerika Serikat, memandang hal ini sebagai keuntungan bagi agama Katolik dan karena itu dianggap sebagai pelanggaran terhadap klausul yang melarang adanya memberikan keistimewaan terhadap agama.. Para hakim mengutarakan simpatinya terhadap orang tua Kristen yang dipaksa membayar pajak untuk mendukung sekolah-sekolah negeri tapi tidak bisa menikmati hak istimewa dari fasilitas bus sekolah. Ini jelas menjadi beban keuangan dan bahkan mungkin hukuman terhadap para orang tua dari siswa sekolah yang berorientasi keagamaan. Namun, ditemukan toleransi, sekali waktu negara mulai memberi manfaat secara finansial kepada gereja-gereja, peraturan lebih luas tidak bisa lagi dicegah. Hakim Jackson mencatat :

if the state may aid these religious schools it may therefore regulate them. Many groups have sought aid from tax funds only to find that it carried political control with it.

(jika negara dapat membantu sekolah-sekolah keagamaan ini, maka kemungkinannya dilakukan dengan mengaturnya. Banyak kelompok memerlukan bantuan dari dana-dana pajak untuk menemukan bahwa itu dilakukan dengan kontrol politik.)

Kerugian keuangan dipertimbangkan terhadap keuntungan konkrit – pemisahan yang kuat diperoleh dari kebebasan maksimal dalam kaitannya dengan permusuhan agama-agama atau preferensi lainnya. ”It is the same constitution that alone assures Catholics the right to maintain these [parochial] schools... when

30 Pasal 5 Konstitusi Mexico menegaskan : The state cannot permit the execution of any contract, pact

(19)

predominant local sentiment would forbid them.” (Ini adalah undang-undang yang sama yang mengatur hak umat Katolik untuk mempertahankan sekolah-sekolah keagamaan ... ketika perasaan sentimen setempat yang paling berkuasa akan melarang mereka.) Dengan demikian, sebagaimana Hakim Rutledge menyimpulkan, pemisahan antara gereja dan negara, yang meliputi ruang dan organisasi serta aspek substantif dan keuangan

adalah ”best for the state and best for religion.” (terbaik untuk negara dan terbaik untuk agama). Selain itu, ”is only by observing the prohibition rigidly that the state can maintain its neutrality and avoid partisanship in dissensions inevitable when sect opposes sect over demands for public funds to further religious education, teaching or training in any form or degree, directly or indirectly.” "hanya dengan cara mengamati larangan dengan keras bahwa negara dapat menjaga netralitas dan menghindari keberpihakan dalam perselisihan yang tak terelakkan ketika menentang sekte sekte atas tuntutan dana publik untuk mengajar lebih lanjut keagamaan, pendidikan atau pelatihan dalam bentuk atau derajat, langsung atau tidak langsung . "

Model 3 adalah model pemisahan yang tegas dalam teori tetapi luwes dalam praktik (Strict Separation in Theory, Accommodation in Parctice)

Mayoritas Hakim dalam perkara Everson melawan Board of Education di Amerika Serikat, sampai pada kesimpulan yang berbeda meskipun mereka menerima doktrin pemisahan agama dan negara secara ketat. Klausul non-establishment melarang pemerintah menarik pajak gereja untuk kepentingan keagamaan. Namun Hakim lain berpendapat bahwa hal itu boleh dilakukan jika ada netralitas dimana negara memberikan pelayanan baik bagi sekolah negeri maupun swasta. Hal ini merupakan kewajiban negara sebagaimana seharusnya seperti memberikan perlindungan dan keamanan oleh kepolisian, pungutan uang sampah, pemadam kebakaran dan jaminan keselamatan di jalan raya. Oleh karena itu klausul Non-establishment tidak mengeluarkan sekolah dan siswa sekolah agama dari menerima bantuan negara.

Sebuah kesimpulan yang berbeda akan membatasi kebebasan beragama yang positif dan

(20)

penganut agama dan orang tidak beriman; tidak mengharuskan negara untuk menjadi musuh mereka. Kekuasaan negara tidak lagi digunakan untuk dapat mencacatkan agama daripada untuk mendukung mereka”.)

Moderat ini, mengakomodasi pandangan dari doktrin tembok pemisah menyarankan bahwa dinding tidak perlu menjadi begitu tinggi dan tebal seperti yang lain, versi yang lebih

ketat. Secara doktrin berbicara, salah satu klausul agama (yakni, the Free Exercise Clause) digunakan untuk membatasi struktural ketat klausul Non-establishment. Dalam terminologi Mahkamah Konstitusi Jerman (Bundesverfassungsgericht, selanjutnya BverfG), sebuah "konkordansi yang praktis" antara dua norma harus ditemukan. Persis di

mana garis pemisah yang akan ditarik tidak dijawab di Everson. Pada tahun 1971 dalam kasus Lemon v Kurtzman, Mahkamah Agung AS mengembangkan Lemon Test, yang membedakan tiga komponen Klausul Non-establishment: ”first, the statute must have a secular legislative purpose; second, its principle or primary effect must be one that neither advances nor inhibits religion; finally, the statute must not foster ’an excessive government entanglement with religion.” ("pertama, undang-undang harus memiliki tujuan legislatif sekuler; kedua, prinsip atau efek primer harus menjadi salah satu yang tidak memajukan maupun menghambat agama; terakhir, undang-undang tidak boleh

mebina 'suatu keterikatan pemerintah yang berlebihan dengan agama"). Bahkan jika satu

elemen ini kurang, undang-undang tersebut tidak konstitusional.

Penyimpangan dari pendekatan pemisahan yang ketat adalah jelas - Dukungan marjinal dan dukungan tidak langsung nampaknya lemah, keterlibatan organisasi tidak cukup untuk dianggap tidak konstitusional. Hal ini juga berlaku untuk maksud dan tujuan subsidi. Namun, perlu dicatat bahwa ketiga bagian dari tes ini sekaligus beban pembuktian masih dapat diterapkan "ketat" atau "longgar" (ini juga berkaitan dengan "endorsement test" berikut dan hak-dasar yang sesuai kriteria "kekuatan" dan "diskriminasi"). Sebuah interpretasi lunak dari

Lemon Test dinyatakan dalam perbedaan pendapat dalam kasus Allegheny v. ACLU:

(21)

Model 4 adalah model pembagian dan kerjasama (Division and Cooperation)

Menurut model ini tidak ada tembok pemisah antara Agama dan Negara. Keduanya bekerjasama dengan erat, tidak sekedar adanya akomodasi dari negara. Negara boleh membantu lembaga keagamaan seperti pemotongan pajak atau penentuan untuk keperluan rumah ibadah. Jerman dapat dikatagorikan kedalam model ini. Pasal 4 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Dasar (Basic Law) Jerman menyatakan bahwa agama dan gereja merupakan subjek dari hak-hak asasi manusia, sehingga negara harus menghormati hak-hak tersebut. Pasal 140 Undang-Undang Dasar Jerman berkaitan dengan pasal 137 ayat 1 Konstitusi Weimar secara signifikan melarang adanya gereja negara. Namun para penganut agama diberi kebebasan untuk membangun komunitas keagamaannya dari bawah ke atas. Pembagian (division) tidak mengarah kepada pemisahan yang ketat, melainkan kerjasama dan koordinasi diantara keduabelah pihak.

Model 5 adalah model penyautan formal agama dan negara dengan pembagian yang substantive (Formal Unity of Church and State with Substantive Divisioni)

Model ini diterapkan kerajaan Inggris, Israel dan Yunani. Di Inggris, ratu atau raja merupakan kepala gereja Inggris. Penetapan para petinggi gereja Angican disahkan oleh ratu atau raja Inggris. Yunani dibawah konstitusi tahun 1975, menempatkan gereja bortodoks sebagai agama atau gereja negara. Sedangkan Israel selain para Rabi mempunyai pengadilan sendiri untuk mengadili sengketa di lingkungan hukum keluarga, juga memberikan perlakuan khusus bagi penganut agama Yahudi dalam Law of Return.

Model 6 adalah model penyatuan yang formal dan substantive (Formal and substantive unity between cruch and state).

Model ini sering disebut ‘theoracy’, dipraktikan di Iran dan Saudi Arabia.

1. Kebebasan Beragama Dalam Konstitusi Dan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.

(22)

jumlah penduduk Indonesia adalah 179.247.783 juta jiwa. Sedangkan jumlah penganut agama-agama di Indonesia adalah sebagai-berikut :31

Penganut agama Islam adalah sebesar 156.318.610 (87,21%);

Agama Kristen Protestan 10.820.769 (6,04%); Katolik 6.411.794 (3.58%); Hindu 3.287.309 (1.83%); Budha 1.840.693 (1.02%); lainnya 568.608 (0.32%).

Konstitusi Indonesia menjamin kebebasan beragama sebagaimana diatur dalam pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 tentang Agama, sebagai-berikut : (1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Meskipun bab XI pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 menyebut tentang “agama”, tetapi tidak ada definisi, pengertian ataupun penjelasan mengenai arti agama tersebut. Dengan demikian tidak ada definisi konstitusional atau definisi yuridis mengenai agama. Tidak adanya definisi agama yang inklusif yang dapat diterima oleh semua pihak, menyebabkan relasi agama-negara menjadi komplek. Dalam praktik, istilah agama dipergunakan begitu saja dalam berbagai peraturan perundangan, tanpa penjelasan yang memadai. Undang-undang No 1/PNPS/ 1965 tentang Pencegahan dan/atau Penodaan Agama tidak mendefinisikan apa agama itu. Undang-Undang ini dalam Penjelasannya (pasal 1) hanya menyatakan adanya enam agama yang dianut di Indonesia yaitu : Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Keenam agama ini mendapat bantuan dan perlindungan, sedangkan bagi agama-agama lain, misalnya Yahudi, Zoroaster, Shinto dan Thaoisme tidak dilarang. Agama tersebut dijamin sesuai dengan pasal 29 ayat 2 UUD 1945 di atas.

Undang-Undang No 1/PNPS/1965 selama ini dijadikan legitimasi bagi keberadaan keenam agama tersebut. Namun demikian, dalam pelaksanaannya undang-undang ini tidak dilaksanakan secara konsisten.

Pada zaman Orde Lama Kong Hu Cu diakui sebagai agama, sedangkan pada zaman Orde Baru (1966-1998), Kong Hu Cu tidak diakui sebagai agama dan keberadaanya diawasi secara ketat oleh pemerintah32.

31 Departemen Agama Republik Indonesia, Kompilasi Peraturan Perundangan-undangan Kerukunan

(23)

Ada beberapa kriteria dalam menggolongkan agama. Menurut Departemen Agama, suatu entitas dapat disebut sebagai agama apabila memenuhi kriteria atau unsur-unsur sebagai-berikut :33

(1) Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;

(2) Memiliki Nabi;

(3) Memiliki Kitab Suci;

(4) Ummat; serta adanya suatu sistem hukum bagi penganutnya.

Menurut Leight, Keller dan Calhoun, agama memiliki unsur-unsur pokok sebagai-berikut :34

(1) Kepercayaan agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benar tanpa ada keraguan lagi.

(2) Simbol agama, yakni identitas agama yang dianut umatnya.

(3) Praktik keagamaan, yaitu hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan-Nya, dan hubungan horizontal atau hubungan antarumat beragama sesuai dengan ajaran agama.

(4) Pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalaman keagamaan yang dialami oleh penganut-penganutnya secara pribadi.

(5) Umat beragama, yakni penganut masing-masing agama.

Substansi agama adalah adanya keyakinan tentang kekuatan Yang Maha Kuasa, yaitu Tuhan. Keyakinan akan adanya kekuatan yang maha kuasa (omnipotent) menyebabkan manusia berusaha mendekatkan dirinya kepada yang maha kuasa. Manusia menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya yang diyakininya berasal dari Tuhan.

Dalam agama terdapat tiga unsur pokok, yaitu manusia, penghambaan dan Tuhan. Suatu ajaran atau paham yang mengandung ketiga unsur pokok tersebut dapat disebut agama.

32 Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat

Istiadat Cina pada pokoknya melarang perayaan pesta agama dan adat-istiadat Cina di depan umum karena dapat mengganggu proses assimilasi warga keturunan Cina. Intruksi Presiden ini kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri Dan Jaksa Agung Nomor 67 Tahun 1980, Nomor 224 Tahun 1980, dan Nomor:Kep-111/J.A./10/1980 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan Dan Adat Istiadat Cina.

33 Budhy Munawar Rahman

(24)

Menurut Keith A.Robert,35 ada tiga pendekatan dalam mendefinisikan agama.

Ketiga pendekatan itu adalah pendekatan substantive; pendekatan fungsional; dan pendekatan simbolik. Pendekatan substantif memfokuskan pada apa yang menjadi substansi atau esensi dari agama. Edwin B Tylor yang menggunakan pendekatan substantive mendefinisikan agama sebagai kepercayaan atas adanya kekuatan spiritual (belief in Spiritual Beings). Berbeda dengan masyarakat Barat pada umumnya yang mencirikan agama pada keyakinan terhadap Tuhan (God) atau dewa-dewa (gods), sebagai antropolog Tylor lebih terfokus mengamati masyarakat yang terbelakang (primitive) yang menyembah atau mempercayai arwah-arwah nenek moyang yang telah mati. Jadi menurut Tylor kepercayaan (belief) terhadap roh atau arwah nenek moyang adalah substansi dari agama.

Selain melihat keyakinan (belief) sebagai unsur yang esensil dari agama, ada juga yang lebih menekankan kepada faktor ritual dan emosional sebagai faktor yang utama. Sedangkan keyakinan (belief) dipandang sebagai faktor sekunder.

Sebagian antropolog sepakat bahwa mengutamakan unsur keyakinan (belief) sebagai hal yang substansial dalam agama merupakan bias dari masyarakat Barat. Hal ini tidak kompatibel dengan pemaknaan agama di luar masyarakat Barat. Misalnya apakah Budhisme dapat dikatagorikan sebagai agama, karena penganut Budha tidak menekankan kepercayaan pada Tuhan (God) atau dewa-dewa (gods) tetapi pada keyakinan terhadap Sidharta Goutama sebagai manusia super (super Human Being).

Emile Durkheim yang juga mencari faktor substansial dalam agama, mengamati latihan latihan penyucian diri dan perubahan perilaku dalam berbagai kebudayaan sebelum mengikuti upacara keagamaan. Durkheim menerima pendapat bahwa pembagian terhadap apa yang suci (sacred) dan yang duniawi (profane) merupakan faktor yang esensial dalam agama. Menurut Durkheim,36 agama selalu melibatkan

kelompok masyarakat. Agama adalah suatu akitifitas komunal. ”In all history we do not find a single religion without a church”, ujar Durkheim. Durkheim mendefinisikan agama sebagai berikut : “A religion is a unified system of beliefs and practices relative to sacred things, that is to say, things set a part and forbidden – beliefs and practice which unite into single moral community called a Church, all those who adhere to them”.37

35 Keith A Robert, Religion in a Sociological Perspective, (Illinois: The Dorsey Press, 1984), hal. 22 36 ibid,

(25)

Pendekatan fungsional lebih mementingkan berfungsinya agama dalam masyarakat. Milton Yinger yang menganut pendekatan ini mencoba menawarkan suatu definisi yang lebih eksklusif tentang agama. Menurut Yinger dalam mendefinisikan agama agar fokus perhatian tidak ditujukan pada apa esensi agama itu (what religion essentially is) tetapi pada apa yang dilakukannya (what it does). Yinger mengusulkan dalam mendefinisikan suatu fenomena social sebagai fenomena agama, maka hal itu dapat dilakukan sejauh memenuhi fungsi yang nyata (manifest) dari agama. Yinger menulis :38

Religion, than, can be defined as a system of beliefs and practices by means of which a group of people struggles with this ultimate problems of human life”.

Agama menolong para individu untuk mengatasi berbagai kebingungan dengan menawarkan suatu penjelasan dan dengan menyediakan suatu strategi untuk mengatasi keputusasaan (despair), kehilangan harapan (hopelessness) dan kegagalan (futility).

Pendekatan simbolik mendefinisikan agama sebagai suatu sistem symbol yang memberikan suatu cetak biru dalam pemahaman dunia. Cliford Geertz adalah tokoh pendekatan simbolik. Menurut Geertz, drengan symbol-simbol itu seseorang mendapatkan kekuatan, ketenangan jiwa, dan motivasi dalam memformulasikan konsep-konsep kehidupan yang nyata.39

Istilah ‘agama’ yang dipergunakan dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti ‘teks’ atau ‘naskah’. Yang dimaksud ‘teks’ disini adalah kitab-kitab suci dari agama-agama sebagai doktrin atau keyakinan.40 Menurut John

Richard Bowen,41 negara-negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin dalam

mendefinisikan agama cenderung mengikuti gagasan orang-orang Eropa (Barat). Orang-orang Barat yang mempelajari agama lain, mengikuti model yang hanya familiar dengan mereka, yaitu Kristen dan Yahudi. Mereka beranggapan bahwa semua agama mempunyai tiga ciri atau elemen pokok, yaitu naskah (a central text), eksklusif (exclusivity) dan pemisahan (separation). Naskah artinya kumpulan doktrin-doktrin atau keyakinan yang dipercayai bersama yang tertulis dalam kitab suci.

38 Ibid hal 25

39 Geertz mendefinisikan agama sebagai-berikut : “Religion is a system of symbol which act to

establish powerful pervasive, and long-lasting moods and motivations in people by formulating conceptions of general order of existence and clothing these conceptions which an aura of factuality that moods and motivations seem uniquely realistic”. ibid

40 John Richard Bowen, Religions in Practice, An Approach to the anthropology of religion, (Boston:A

Person Education Company, 2002), hal. 14.

(26)

Eksklusif artinya bahwa seseorang hanya menganut satu agama. Pemisahan (separation) artinya bahwa agama merupakan suatu area kehidupan social yang berbeda dengan kehidupan lainnya seperti politik atau ekonomi.42

Kedudukan agama menurut konstitusi Republik Indonesia sangat unik. Meskipun agama Islam dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia, tetapi pasal 29 ayat (1) UUD 1945 sebagaimana tersebut di atas tidak meyebutkan secara eksplisit adanya agama negara. Kata “Allah” yang digunakan dalam agama Islam untuk menggantikan kata “Tuhan”, disebut dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai-berikut :

“Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya”.

Demikian pula dalam pasal 9 UUD 1945, yang mengatur tata cara sumpah bagi presiden terpilih, kata “Allah” disebut sebagai-berikut :

“Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut:

Sumpah Presiden (Wakil Presiden):

“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.

Kebebasan beragama diakui berdasarkan pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

Setelah amandemen kedua, kebebasan beragama semakin kuat kedudukannya didalam konstitusi seperti yang dirumuskan di dalam pasal 28 E ayat (1) dan (2) serta pasal 28I sebagai berikut :

Pasal 28E ayat (1) :

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah Negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”. Pasal 28E ayat (2) :

(27)

“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.

Pasal 28I :

(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu.

(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama pemerintah.

(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Amandemen kedua UUD 1945 sebagaimana dipaparkan di atas, merupakan perubahan yang progresif, dimana dimensi kebebasan beragama semakin luas, tidak hanya sekedar kebebasan untuk memeluk suatu agama dan melakukan ritual-ritualnya saja, tetapi meliputi kebebasan berpikir, berkeyakinan, bersikap dan berpendapat sesuai dengan hati nuraninya. Pendeknya hak kebebasan beragama adalah hak-hak sipil yang melekat pada setiap dalam individu dan menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah untuk menegakkan dan melindungi hak-hak tersebut.

4. Kebijakan Pemerinah Terhadap Agama di Indonesia

Pemerintah mengambil kebijakan terhadap agama sebagai-berikut :

1).Melindungi Agama dari Penodaan dan penghinaan (blasphemy) Serta Propaganda Ateisme.

(28)

ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama, menegaskan pebuatan-perbuatan yang dikualifikasikan sebagai delik agama sebagai-berikut :43

“Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”.

Jika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan tersebut di atas, maka pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri akan memberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatan itu di dalam suatu keputusan bersama.44

Jika pelanggaran tersebut dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri, dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang.45

Aliran kepercayaan masyarakat/kerohanian/kebatinan dan perdukunan dapat dibekukan berdasarkan kepada :46

(1) Ketentraman hidup beragama;

(2) Adanya tindakan-tindakan/kegiatan-kegiatannya bertentangan/melanggar suatu peraturan hukum yang berlaku;

(3) Terbukti menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban umum; (4) Terbukti bertentangan dengan policy/kebijaksanaan pemerintah;

(5) Terbukti menjadi alat/tempat berlindung orang-orang yang berusaha/melakukan kegiatan-kegiatan untuk comebacknya PKI, menjadi tempat bernaung orang-orang yang berusaha menggagalkan PELITA (Surat Jaksa Agung No. B-523/C/8/69).

43 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau

Penodaan Agama.

44 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau

Penodaan Agama.

45 Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/

Atau Penodaan Agama.

(29)

Untuk menciptakan ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan Agung turut menyelenggarakan kegiatan:47

(1) Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; (2) Pengamanan kebijakan penegakan hukum; (3) Pengamanan peredaran barang cetakan;

(4) Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;

(5) Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; (6) Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal

Instansi yang dapat membekukan aliran kebatinan adalah :48

(1) Kepala Kejaksaan Negeri, kalau-kalau aliran tersebut hanya berkembang dalam wilayah hukum Kejaksaan Negeri setempat.

(2) Kepala Kejaksaan Tinggi, kalau-kalau aliran tersebut berkembang dalam wilayah hukum Kejaksaan Tinggi tersebut.

(3) Kejaksaan Agung, kalau-kalau aliran tersebut berkembang dalam dua wilayah hukum kejaksaan Tinggi atau lebih

Jika, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau Presiden Republik Indonesia terhadap orang, organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan-ketentuan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota pengurus organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun49.

2) Mengatur dan Membina Keberadaan Organisasi Social Keagamaan dan Lembaga Keagamaan.

Organisasi Sosial Keagamaan dan Lembaga Keagamaan adalah salah satu organisasi kemasyarakatan yang dibentuk atas dasar kesamaan baik kegiatan maupun profesi, fungsi dan agama. Organisasi kemasyarakatan diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985. Keberadaan organisasi kemasyarakatan merupakan wujud dari kemerdekaan berserikat dan berkumpul , mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan yang dijamin dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945.

47 Pasal 27 ayat (3) UU No 5 Tahun 1991. 48 Surat Jaksa Agung No. B-170/B.2/1/73.

49 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau

(30)

Untuk lebih berperan dalam melaksanakan fungsinya, Organisasi Kemasyarakatan berhimpun dalam suatu wadah pembinaan dan pengembangan yang sejenis.

Menteri Dalam Negeri menentukan ruang lingkup Organisasi Kemasyarakatan , yaitu yang mempunyai ruang lingkup Nasional, Propinsi, Kabupaten/Kotamadya sesuai dengan keberadaannya.50

Pemerintah melakukan pembinaan terhadap organisasi kemasyarakatan. 51

Pelaksanaan pembinaan diatur dengan Peraturan Pemerintah.52 Pembinaan

dibedakan menjadi pembinaan umum dan pembinaan teknis dalam bentuk bimbingan, pengayoman, dan pemberian dorongan dalam rangka pertumbuhan organisasi yang sehat dan mandiri.53

Bimbingan dilakukan dengan cara memberikan saran, anjuran, petunjuk, pengarahan, nasehat, pendidikan dan latihan atau penyuluhan agar Organisasi Kemasyarakatan dapat tumbuh secara sehat dan mandiri serta dapat melaksanakan fungsinya dengan baik.54

Pengayoman dilakukan dengan cara memberikan perlindungan hak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.55

Pemberian dorongan dilakukan dengan cara menggairahkan, menggerakkan kreativitas dan aktivitas yang positif, memberikan penghargaan dan kesempatan untuk mengembangkan diri agar dapat melaksanakan fungsinya secara maksimal untuk mencapai tujuan organisasi.56

Dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna pembinaan organisasi kemasyarakatan diupayakan untuk berhimpun dalam wadah pembinaan dan pengembangan yang sejenis agar lebih berperan dalam melaksanakan fungsinya.57

Pembinaan umum Organisasi Kemasyarakatan dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri, Gubernur, Bupati/ Walikotamadya sesuai dengan ruang lingkup keberadaan organisasi kemasyarakatan yang bersangkutan.58

Pembinaan teknis Organisasi Kemasyarakatan dilakukan oleh Menteri dan/atau Pimpinan Lembaga non Departemen yang membidangi sifat kekhususan Organisasi Kemasyarakatan yang bersangkutan.59

Pelaksanaan pembinaan teknis Organisasi Kemasyarakatan di daerah dilakukan oleh instansi teknis di bawah Koordinasi Gubernur, Bupati/Walikotamadya.60

Untuk memperoleh daya guna dan hasil guna dalam pembinaan umum dan pembinaan teknis sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 dan pasal 16, Menteri Dalam Negeri melakukan koordinasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.61

50 Pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 18/1986

51 Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 52 Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Noor 8 Tahun 1985

53 Pasal 13 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986. 54 Pasal 13 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986. 55 Pasal 13 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986. 56 Pasal 13 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986. 57 Pasal 14 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1986.

(31)

Untuk meningkatkan pembinaan, bimbingan dan pengawasan terhadap kegiatan organisasi dan aliran dalam Islam yang bertentangan dengan ajaran Islam, maka Menteri Agama menginstruksikan kepada aparat Departemen Agama di pusat dan di daerah untuk mengindahkan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1. Meningkatkan hubungan dan kerjasama dengan aparat Kejaksaan Agung, Departemen Dalam Negeri, BAKIN dan aperatur Pemerintah Daerah serta Majelis Ulama Indonesia/Majelis Ulama Daerah dan Lembaga-lembaga Keagamaan Islam dalam rangka meningkatkan pembinaan, bimbingan dan pengawasan terhadap organisasi dan aliran-aliran tersebut di atas sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.

2. Meningkatkan pembinaan, bimbingan dan pengarahan terhadap organisasi dan aliran tersebut diatas ke jalan yang benar sesuai dengan ajaran Islam. 3. Pembinaan, bimbingan dan pengarahan terhadap kegiatan organisasi dan

aliran tersebut di atas dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.62

3).Pembekuan dan Pembubaran Organisasi Kemasyarakatan

Pemerintah dapat membekukan Pengurus atau Pengurus Pusat Organisasi Kemasyarakatan apabila Organisasi Kemasyarakatan:

a. Melakukan kegiatan yang menggangu keamanan dan ketertiban umum; b. Menerima bantuan dari pihak asing tanpa persetujuan Pemerintah;

c. Memberi bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan Bangsa dan Negara.63

Apabila Organisasi Kemasyarakatan yang pengurusnya dibekukan masih tetap melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13, maka Pemerintah dapat membubarkan organisasi yang bersangkutan.64

Pemerintah dapat membubarkan Organisasi Kemasyarakatan yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 7 dan/atau Pasal 18.65

Pemerintah membubarkan Organisasi Kemasyarakatan yang menganut, mengembangkan, dan menyebarkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme Lenimisme serta ideologi, paham, atau ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam segala bentuk perwujudan.66

Tatacara Pembekuan dan Pembubaran

62 Instruksi Menteri Agama No. 8 Tahun 1979.

(32)

Tatacara Pembekuan dan Pembubaran Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 diatur dengan Peraturan Pemerintah.67

Organisasi Kemasyarakatan yang melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum, dan/atau menerima bantuan pihak asing tanpa persetujuan Pemerintah Pusat dan/atau memberi bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan bangsa dan negara, dapat dibekukan

Keberadaan Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama didasarkan atas Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 35 Tahun 1980 yang menyatakan terbentuknya “Wadah Masyarakat Antar Umat Beragama” yang telah disepakati oleh wakil-wakil Majelis Agama dalam Pertemuan Tingkat Puncak Pada tanggal 30 Juni 1980 di Jakarta.

Fungsi dan wewenang Wadah Musyawarah, Forum Konsultasi dan Komunikasi, antara Pemimpin-pemimpin/Pemuka-pemuka Agama adalah:

a. Wadah atau Forum bagi pemimpin-pemimpin/pemuka-pemuka Agama untuk membicarakan tanggung jawab bersama dan kerjadama di antara para warganegara yang menganut berbagai agama, dengan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam rangka meningkatkan persatuan dan kesatuan serta keutuhan kita sebagai bangsa dan pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

b. Wadah atau Forum bagi pemimpin-pemimpin/pemuka-pemuka Agama untuk membicarakan kerjasama dengan pemerintah, sehubungan dengan pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan ketentuan lainnya dari Pemerintah khususnya yang menyangkut bidang keagamaan.

c. Wadah Musyawarah membicarakan segala sesuatu tentang tanggung jawab bersama dan kerjasama di antara para warga negara yang menganut berbagai agama, dan dengan Pemerintah, berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam rangka meningkatkan persatuan dan kesatuan serta keutuhan kita sebagai bangsa dan pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan ketentuan lainnya dari Pemerintah, khususnya yang menyangkut bidang keagamaan.

(33)

d. Keputusan-keputusan yang diambil oleh Wadah Musyawarah merupakan kesepakatan yang mempunyai nilai ikatan moral dan bersifat saran/rekomendasi bagi Pemerintah, Majelis-Majelis Agama dan masyarakat.70

(2) Majelis-Majelis Agama

a. Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Berdasarkan Musyawarah Nasional 1 Majelis Ulama seluruh Indonesia di Jakarta, pada tanggal 17 Rajab 1395 H bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 ditetapkan berdirinya Majelis Ulama Indonesia dengan dasar pertimbangan sebagai berikut:

a) Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung (Q.S. Ali Imran 104)

b) Ulama adalah pewaris Nabi (Hadits).

c) Dua golongan di antara manusia, bila keduanya baik, maka baiklah seluruh manusia, sedang bila keduanya rusak, maka rusak pulalah manusia, yaitu Ulama dan Umara (Hadits).

d) Bahwa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat (1), para Ulama berkewajiban membina Umat Islam untuk lebih bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan turut serta memperkokoh Ketahanan Nasional serta melawan atheisme.

e) Bahwa berdasarkan Garis-Garis Besar Haluan Negara ditetapkan, hakekat Pembangunan Nasional ialah Pembangunan Manusia seutuhnya, dan Pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, suatu pembangunan yang seimbang, materiil, spiritual, dunia akherat. Oleh karena itu para ulama merasa bertanggungjawab untuk ikut serta mensukseskan Pembangunan Nasional.

f) Bahwa berdasarkan sejarah sejak zaman kolonial para ulama telah merintis adanya persatuan Ulama; dan pada dewasa ini di seluruh tanah air telah terbentuk Majelis Ulama Daerah maka dirasa perlu adanya wadah persatuan para Ulama Seluruh Indonesia, untuk mewujudkan ukhuwah Islamiyah dalam rangka Pembinaan Persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia.71

Majelis Ulama Indonesia berfungsi:

a) Memberi fatwa dan nasehat mengenai masalah keagamaan kepada Pemerintah dan Umat Islam umumnya sebagai amar ma’ruf nahi munkar, dalam usaha meningkatkan ketahanan nasional.

b) Memperkuat ukhuwah Islamiyah dan memelihara serta meningkatkan suasana kerukunan antar umat beragama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.

70 Lampiran Keputusan Menteri Agama No. 35/1980. Pedoman Dasar Wadah Musyawarah Antar

Umat Beragama pasal 1 dan pasal 6.

(34)

c) Mewakili umat Islam dalam konsultasi antar umay beragama.

d) Penghubung antara ulama dan umara (Pemerintah) serta menjadi penerjemah timbal balik antara Pemerintah dan umat guna menyukseskan pembangunan nasional.72

Majelis Ulama Indonesia bertujuan ikut serta mewujudkan masyarakat yang aman, damai, adil dan makmur rohaniyah dan jasmaniah sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang diridhai oleh Allah SWT.73

b. Persekutusan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI)

Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia merupakan kelanjutan serta peningkatan Dewan Gereja-Gereja di Indonesia yang telah didirikan di Jakarta pada tanggal 25 Mei 1950 oleh 29 gereja-gereja di Indonesia.74

Dasar pemikiran adalah:

a) Bahwa sesungguhnya adalah orang-orang percaya di semua tempat dan dari segala zaman mengakui dan menghayati adanya satu gereja yang esa, kudus, am dan rasuli, seperti keesaan antara Allah Bapak, Anak dan Roh Kudus (yoh 17; Ef4: 1-6; Kor 12:27; Rm 12 :4-5).

b) Bahwa pengakuan akan adanya suatu gereja yang esa, kudus, am dan rasuli tadi, adalah juga merupakan suatu panggilan dan suruhan bagi semua gereja untuk mewujudkannya agar dunia percaya bahwa Allah Bapak telah mengutus AnakNya, Tuhan Yesus Kristus, menjadi Juru Selamat Dunia.

c) Bahwa oleh bimbingan dan kuasa Roh Kudus yang senantiasa membarui, membangun dan mempersatukan gereja-gereja, dan didorong pula oleh keinginan melanjutkan dan meningkatkan kebersamaan dalam keesaan yang telah dicapai selama ini melalui wadah DGI, maka 54 gereja anggota DGI, yang terhimpun dalam Sidang Raya X di Ambon (21-31 Oktober 1984) telah sepakat untuk meningkatkan DGI dalam suatu lembaga gerejawi dengan nama PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA, disingkat PGI, dengan tujuan “Perwujudan Gereja Kristen yang Esa di Indonesia”.75

Fungsi PGI Wilayah adalah untuk:

a) Membicarakan, menggumuli dan mewujudkan kehadiran bersama, gereja-gereja di wilayah.

b) Menggalang kebersamaan gereja-gereja di wilayah melalui kegiatan-kegiatan bersama, dan membantu gereja-gereja untuk memikirkan/mengusahakan kebutuhan-kebutuhannya.

72 Pasal 5 Pedoman Dasar MUI. 73 Pasal 3 Pedoman Dasar MUI. 74 Pasal 2 Tata Dasar PGI.

Gambar

tabel berikut :

Referensi

Dokumen terkait

sebelum dan sesudah amandemen yang disesuaikan dengan kedudukan dan kewenangan Presiden pada masa itu, yakni sebelum perubahan UUD 1945 dan sesudah perubahan UUD

Bahwa pada saat ini berkembang berbagai Diskursus/Wacana tentang kebebasan dan perlindungan beragama. Di satu sisi ada yang berpendapat seakan-akan kebebasan itu

87 UUD 1945 amandemen 4 pasal 18 ayat 4. 88 Lansford, Tom, Democracy: Political System of the World.. yang secara bebas dan luas rakyat sudah diberi kesempatan untuk memilih

Jaminan kebebasan beragama pertama-tama dapat dilihat dari konstitusi atau Undang-Undang Dasar 45 Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 hasil amandemen disebutkan: 1)

Setelah adanya amandemen ke IV UUD 1945, (yang selanjutnya akan disebut UUD NRI 1945), terdapat suatu perubahan yang cukup mendasar baik dalam sis- tem ketatanegaraan maupun ke-

• Dasar yuridis bagi negara Indonesia sebagai negara hukum tertera pada Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI 1945 (amandemen ketiga), “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” Konsep

Walaupun demikian, hak-hak asasi yang atur di dalam hukum Islam dan UUD 1945 Pasca Amandemen sama-sama menekankan pada aspek tercipta prinsip- prinsip persamaan, kebebasan dan

Setelah terjadi tarik menarik yang panjang akhirnya ada resultante bahwa amandemen bisa dilakukan dengan lima dasar kesepakatan: Pertama, Pembukaan UUD 1945