• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Komparatif Proses Impeachment Presiden Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Dan Iran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Komparatif Proses Impeachment Presiden Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Dan Iran"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KOMPARATIF PROSES IMPEACHMENT PRESIDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA DAN IRAN

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

OLEH:

INDAH KHOIRIL BARIYYAH NIM: 1613048000094

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

iv ABSTRAK

Indah Khoiril Bariyyah, NIM 1613048000094. STUDI KOMPARATIF

PROSES IMPEACHMENT PRESIDEN DALAM SISTEM

KETATANEGARAAN INDONESIA DAN IRAN. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1437 H/2016 M, viii + 94 halaman + 4 halaman daftar pustaka.

Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan mekanisme impeachment

terhadap Presiden antara Indonesia dan Iran. Hal yang menarik untuk dikaji adalah setiap negara menerapkan impeachment dengan ketentuan yang berbeda sesuai dengan aturan konstitusi yang berlaku di negara tersebut. Indonesia dengan Sistem Presidensiilnya menjadikan Presiden sebagai kepala negara dan sekaligus menjabat kepala pemerintahan, namun di Iran Presiden hanya menjabat sebagai kepala pemerintahan saja, sedangkan yang menjabat sebagai kepala negara dan pemimpin tertinggi adalah Wali Faqih.

Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif dengan menggunakan studi pustaka dan mengkaji UUD NRI dan UUD Republik Islam Iran.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Mekanisme impeachment di Indonesia memiliki beberapa perbedaan sebelum dan sesudah amandemen yang disesuaikan dengan kedudukan dan kewenangan Presiden pada masa itu, yakni sebelum perubahan UUD 1945 dan sesudah perubahan UUD 1945. Adapun mekanisme impeachment di Iran yaitu setelah adanya Revolusi besar-besaran tahun 1979, Imam Khumaini dengan para ulama lainnya merumuskan konstitusi negara Iran yang memuat didalamnya kewenangan Wali Faqih sebagai Pemimpin tertinggi negara Iran memiliki kewenangan untuk memecat atau melakukan impeachment

terhadap Presiden apabila Presiden terbukti melanggar konstitusi dan ajaran Islam namun tentunya setelah mendapatkan rekomendasi dari Mahkamah Agung yang diketahui oleh Majelis Permusyawaratan Islam. Penulis memaparkan alasan yang mendasari terjadinya impeachment di Indonesia dan Iran, lembaga yang berwenang dalam proses impeachment dan memberikan hasil analisis temuan penulis mengenai perbedaan dan persamaan mekanisme impeachment kedua negara tersebut.

Kata Kunci : Impeachment Presiden, Sistem Presidensiil, Sistem Parlementer, Konstitusi, MPR RI, Wilayatul faqih.

(6)

v

KATA PENGANTAR

ميحرلا نمرلا ه مسب

Dengan mengucap puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberi nikmat begitupun rahmat dalam penulisan penelitian ini sehingga penullis dapat menyelesaikan penelitian ini sebagai tugas akhir masa kuliah tingkat Strata Satu di perguruan tinggi ini. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW beserta seluruh keluarga, sahabat, dan juga para tabiin yang meneruskan dakwahnya hingga akhir zaman.

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang terlibat selama penyusunan penelitian ini dengan proses yang panjang berbagai bantuan moral dan kelancaran dalam setiap prosesnya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(7)

vi

3. Bapak Nurhabibi, S.HI., MH., dosen pembimbing 1 dan Bapak Nur Rohim Yunus, LLM, dosen pembimbing 2 yang telah bersedia dengan sabar memberikan arahan dan bimbingankepada penulis.

4. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan pengajaran kepada penulis, memberikan ilmu yang bermanfaat selama kuliah, dan tidak lupa kepada seluruh staff dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum.

5. Bapak Jajat Hendrawan dan Ibu Wawat Karwati, kedua orangtua penulis yang sangat penulis cintai, yang telah mencurahkan cinta dan kasih sayangnya kepada penulis, memberikan nasehat, doa, semangat dan dukungan sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini, serta adik-adik penulis yang penulis banggakan.

6. Abang Milki Aan, suamiku tercinta, yang telah memberikan motivasi dan mencurahkan cinta untuk istrinya. Uhibbuka Fillah. Teruntuk keluargaku di Jambi, ayah Alauddin, Ibu Juwirna dan keluarga dari pihak suami yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

(8)

vii

8. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.

Dengan rasa syukur yang tak tehingga kepada Allah SWT penulis berharap kepada yang Maha Esa agar seluruh upaya dan hasil yang penulis upayakan dapat bermanfaat bagi umat dan keindahan ilmu bagi siapapun yang mendapatkannya. Amin

Jakarta, 08 Juni 2016

(9)

viii DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Tinjauan Pustaka ... 7

E. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual ... 10

F. Metode Penelitian... 14

G. Sistematika Penulisan... 17

BAB II : TINJAUAN UMUM PERIHAL IMPEACHMENT A. Pengertian Impeachment ... 19

B. Batasan Hukum Istilah Impeachment ... 20

C. Sejarah Impeachment ... 23

D. Metode Impeachment di Beberapa Negara 1. Amerika Serikat ... 24

2. Fhilipina ... 28

3. Jerman ... 28

4. Korea Selatan ... 30

5. Brasil ... 31

(10)

ix

BAB III: PROSES IMPEACHMENT DI INDONESIA DAN IRAN

A. Impeachment di Negara Indonesia ... 38

1. Mekanisme Impeachment di Negara Indonesia ...38

a. Sebelum Amandemen UUD 1945 ... 40

1) Proses Impeachment Presiden Soekarno... 44

2) Proses Impeachment Presiden Abdurrahman Wahid ... 50

b. Setelah Amandemen UUD 1945 ... 55

2. Kewenangan MPR RI dalam Proses Impeachment di Indonesia ... 58

B. Impeachment di Republik Islam Iran ... 63

1. Mekanisme Impeachment di Iran... 63

2. Kewenangan Wali Faqih dalam Proses Impeachment di Iran . 71 BAB IV: ANALISIS PERBANDINGAN KETENTUAN IMPEACHMENT TERHADAP PRESIDEN DI INDONESIA DAN IRAN A. Alasan Yang Dijadikan Dasar Impeachment Presiden Di Indonesia Dan Iran... 78

B. Lembaga Yang Berwenang Melakukan Impeachment Di Indonesia Dan Iran... 80

1. Lembaga yang Berwenang di Indonesia ... 80

a. Dewan Perwakilan Rakyat ... 80

b. Mahkamah Konstitusi ... 81

c. Majelis Permusyawaratan Rakyat ... 82

2. Lembaga yang Berwenang di Iran ... 84

a. Wilayatul Faqih... 84

b. Mahkamah Agung ... 85

c. Majelis Permusyawaratan Islam ... 86

C. Persamaan dan Perbedaan Mekanisme Impeachment ... 86

1. Persamaan Mekanisme Impeachment Indonesia dan Iran... 88

(11)

x BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ... 91 B. Saran ... 94

(12)

xi

HARAPAN

Berjalan menelusuri barisan lampu peron Berharap temukan bunga dandelion Mengukir sejarah atas nama cinta

Cinta sempurna yang abadi sepanjang masa

Mencintai bukanlah hal yang mudah

Pun dicintai bukanlah perkara yang tak susah Semua perlu pengorbanan

Semua lahir dari ejekan dan cacian

Lahir bathin menjadi taruhan Harga diri menjadi ancaman

Waktu, pemgabdian dan ketulusan menjadi modal keutuhan

Kesetiaan dan ketegaran menjadi kekuatan untuk pertahankan kehidupan

Jika tak ku temukan lagi kau utuh

Hanya kau temukan kau separuh tak menyeluruh Kan ku kenang selamanya meski aku kan rapuh Asalkan demi cinta aku tak kembali angkuh

Jika tak ku temukan lagi kesetiaan Hanya ku temukan keluhan dan keluhan Kan berusaha perbaiki tanpa sentuhan

Hingga benang-benang yang putus kembali menyatu dalam keindahan

Skripsi ini dipersembahkan untuk suami seluruh keluargaku tercinta dan Para pejuang mimpi dimanapun berada ....

08 Juni 2016

(13)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Setiap negara menerapkan impeachment dengan ketentuan yang berbeda sesuai dengan aturan konstitusi yang mengaturnya. Konstitusi yang menjadi aturan tertinggi di sebuah negara menentukan peraturan yang berlaku di negara tersebut. Maka dalam hal ini setiap negara memiliki aturan khusus yang berbeda-beda mengenai impeachment. Aturan-aturan yang berbeda lahir dari alasan-alasan yang menyebabkan terjadinya impeachment tersebut.

Banyak pihak yang memahami bahwa impeachment merupakan turun, berhenti atau dipecatnya Presiden atau pejabat tinggi dari jabatannya. Arti

impeachment sendiri merupakan tuduhan atau dakwaan, sehingga impeachment

lebih menitikberatkan pada prosesnya dan tidak mesti berakhir dengan berhenti atau turunnya Presiden atau pejabat tinggi negara lain dari jabatannya.1

Pengaturan impeachment di Amerika Serikat terdapat dalam article of impeachment, yang menyatakan, “the president, vice president, and all civil

officers of the united states, shall be removed from office on imepachment for

and conviction of treason, bribery, or other high crimes and misdemeanors”.

Pasal inilah yang kemudian mengilhami konstitusi-konstitusi negara lain dalam pengaturan impeachment.2

1 Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden, Alasan-Alasan Tindak Pidana Pemberhentian

Presiden Menurut UUD 1945, cet.I, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), h. 13.

2 Winarno Yudho, dkk, Mek anisme Impeachment dan Huk um Acara Mahk amah Konstitusi,

(14)

Beberapa negara menerapkan impeachment untuk proses mendakwa para pejabat negara, dari level kepala daerah hingga level tertinggi yaitu Presiden. Indonesia adalah termasuk negara yang hanya mengadopsi mekanisme impeachment yang objeknya hanya menyangkut Presiden dan Wakil Presiden.

Aturan hukum impeachment Presiden dan/ atau Wakil Presiden disebutkan secara limitatif dalam UUD NRI 1945 perubahan ketiga, yaitu penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketentuan tersebut terdapat dalam UUD NRI 1945 perubahan ketiga, tepatnya pada pasal 7A dan 7B.3

Definisi Alasan impeachment dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dijabarkan dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi memberikan penjelasan jenis-jenis pelanggaran hukum tersebut yaitu:

a. Penghianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan Negara sebagaimana diatur dalam undang-undang.

b. Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana yang diatur dalam undang-undang.

c. Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana 5 (lima) tahun atau lebih.

d. Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.

e. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 6 Undang-Undang Dasar 1945.

3 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara

(15)

3

Namun penafsiran tersebut masih melahirkan banyak perdebatan di lingkungan para pakar hukum dan menarik untuk menjadi pembahasan wacana secara akademis yang dapat digali lebih dalam.

Berbeda dengan negara Iran, dalam menjalankan sistem demokrasinya Iran menerapkan konsep wilayatul faqih yang gagasannya dimasukkan ke dalam Undang-Undang Dasar Republik Islam Iran yang dalam prinsipnya menganut sistem demokrasi. Negara Iran dalam menetapkan undang-undang dan menyusun sebuah konstitusinya harus berdasarkan agama Islam dan sudah barang tentu terikat oleh aturan-aturan yang ditetapkan oleh Islam dan tidak boleh keluar dari Islam.

Undang-Undang Dasar Republik Islam Iran, mempunyai pranata-pranata demokrasi. Konstitusi melengkapi sistem pemerintahan dengan badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif melakukan pembagian kekuasaan dan membentuk sistem pengawasan dan perimbangan dan menetapkan pemilihan Presiden dengan suara mayoritas mutlak (pada tahun 1989 Konstitusi diubah, kedudukan Presiden menggantikan perdana menteri).4

Dalam mukadimahnya Konstitusi itu menjamin dengan tegas “menolak

segala bentuk tirani intelektual dan sosial serta monopoli ekonomi, dan

mempercayakan nasib rakyat ke tangan rakyat itu sendiri” dan dalam pasal

-pasal tertentu, Konstitusi menegaskan pentingnya opini rakyat dan

(16)

pemilihan umum.5

Setelah Imam atau pemimpin tertinggi di Iran yaitu Wali Faqih, kekuasaan tertinggi negara berada di tangan Presiden. Dalam pasal 113 disebutkan, Presiden bertanggung jawab dalam penerapan UUD, pengaturan ketiga cabang kekuasaan negara, dan memimpin cabang eksekutif, kecuali dalam hal-hal yang secara langsung menjadi tanggung jawab Imam. Presiden, berdasarkan pasal 114, dipilih untuk masa jabatan empat tahun, dan dipilih secara langsung melalui pemilihan umum. Presiden hanya dapat dipilih kembali untuk masa jabatan lagi secara berurutan.6

Demikian pula, terhadap pemilihan kepala negara atau Presiden, keabsahan pemilihannya sebagai Presiden tergantung pada persetujuan seorang Wali Faqih atau ahli agama tertinggi yang dipercaya sebagai penguasa tertinggi, dalam hal ini Presiden harus bertanggung jawab kepada imam yang disebut Wali Faqih. Wali faqih melalui dewan Wali dalam sistem pemerintahan Republik Islam Iran, bukan saja memiliki wewenang untuk menyetujui atau tidak terhadap calon Presiden, ia sekaligus berwenang untuk memecat Presiden jika Presiden dianggap tidak kapabel, setelah mendapat rekomendasi Mahkamah Agung.7

5 John L. Esposito, Demok rasi di Negara-Negara Muslim: Problem dan Prospek ,

penerjemah Rahmani Astuti, h. 82.

6 Riza Sihbudi, Biografi Politik Imam Khomeini, Cet.I, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama, 2001), h. 83.

7 Yamani, Antara Al-Farabi dan Khumaini Filsafat Politik Islam, Cet.I, (Bandung: Mizan,

(17)

5

Wali Faqih merupakan penguasa tertinggi memiliki kewenangan untuk memberhentikan Presiden dari jabatannya, atau dalam istilah lain,

Wali Faqih berhak untuk melakukan impeachment Presiden sebagaimana konstitusi yang berlaku di Negara Republik Islam Iran yang menjelaskan tentang kewenangan seorang.

Berkaitan dengan latar belakang di atas, perlu kiranya penulis membahas dan membandingkan proses impeachment yang dilakukan oleh kedua negara tersebut. Padahal Indonesia dengan sistem demokrasinya menjadikan pancasila sebagai ideologi tertinggi, sedangkan Iran menerapkan sistem demokrasi, namun tetap menjunjung tinggi agama Islam dalam konstitusinya dalam hal proses impeachment terhadap Presiden. Kajian tersebut penulis tuangkan dalam judul: STUDI KOMPARATIF

PROSES IMPEACHMENT PRESIDEN DALAM SISTEM

KETATANEGARAAN INDONESIA DAN IRAN.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

(18)

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada pembatasan masalah di atas dan dalam rangka mempermudah penulis dalam menganalisa permasalahan, maka penulis merumuskannya sebagai berikut:

a. Bagaimana mekanisme impeachment terhadap Presiden di negara Indonesia dan Iran?

b. Apa kewenangan MPR RI dalam proses impeachment terhadap Presiden di negara Indonesia dan Wali Faqih di negara Iran?

c. Bagaimana penerapan sistem demokrasi dalam proses impeachment di negara Indonesia dan Iran?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Dalam penulisan ini, ada beberapa tujuan yang hendak dicapai oleh penulis, dan tujuan yang dimaksud adalah:

a. Untuk mengetahui mekanisme impeachment terhadap Presiden di Indonesia dan Iran

b. Untuk mengetahui kewenangan MPR RI dalam proses impeachment

terhadap Presiden di negara Indonesia dan Wali Faqih di negara Iran. c. Untuk mengetahui penerapan sistem demokrasi dalam proses

impeachment di negara Indonesia dan Iran. 2. Manfaat Penelitian

(19)

7

a. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemahaman terhadap analisis mengenai peran MPR RI dalam impeachment terhadap Presiden di Indonesia dan peran wilayatul faqih dalam impeachment terhadap Presiden di Iran dalam perspektif Hukum Tata Negara dengan harapan, nantinya dapat dikembangkan dan dijadikan acuan penelitian lebih lanjut.

b. Dalam tataran praktis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan informasi dan pemahaman yang lebih mendalam terhadap konsep-konsep aktual, terutama menyangkut impeachment terhadap Presiden.

c. Dalam rangka pengembangan dan perluasan wawasan pengetahuan mengenai perbandingan hukum antara satu negara dengan negara lain dalam hal impeachment terhadap pemimpin negara.

d. Dapat memberikan informasi kepada pembaca tentang mekanisme

impeachment di dua negara yang sama-sama menganut sistem demokrasi, namun memiliki banyak perbedaan dan.

e. Menambah literatur perpustakaan khususnya dalam bidang perbandingan hukum.

D. (Review) Kajian Terdahulu

(20)

duplikasi serta untuk memenuhi kebutuhan dan keperluan penyusunan ini, beberapa tulisan yang terdapat di berbagai media cetak, buku dan lain-lain yang penyusun gunakan sebagai bahan rujukan sehingga dapat membantu dalam penyusunan yang mengkaji hal tersebut di atas ada beberapa tulisan Tesis dan Skripsi yang berkaitan dengan pembahasan impeachment Presiden, sistem pemerintahan Iran dan impeachment dalam ketatanegaaan Indonesia.

Penulis mengkaji beberapa skripsi terdahulu yang pembahasannya hampir sama dengan pembahasan yang penulis angkat, diantaranya:

1. Judul: Negara Hukum dan Mekanisme Pemberhentian Presiden di

Indonesia”.

Penulis: Achmad Farobi, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2010.

Uraian: Skripsi ini mengkaji tentang konsep negara hukum terhadap mekanisme dan pemberhentian presiden di Indonesia. Dimana pasca amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Mahkamah Konstitusi hadir sebagai perwakilan unsur yudikatif yang melengkapi proses pemberhentian Presiden di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana konsep negara hukum diterapkan dalam mekanisme pemberhentian Presiden di Indonesia.

2. Judul: “Proses Impeachment Presiden menurut UUD Negara Republik

Indonesia 1945”.

(21)

9

Uraian: Skripsi ini meneliti tentang bagaimanakah impeachment ditinjau secara global, sejarah impeachment di Indonesia, dan penerapan

impeachment Presiden menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta apakah proses impeachment tunduk pada asas-asas hukum dan bagaimana keterkaitan proses impeachment dengan beberapa asas hukum. 3. Judul: “ Perbandingan Konstitusional Pengaturan Impeachment Presiden

dan Wakil Presiden antara Republik Indonesia dengan Amerika Serikat

dalam Mewujudkan Demokrasi”

Penulis: Haris Fadillah Wildan, tahun 2010.

Uraian: Skripsi ini mengkaji tentang persamaan dan perbedaan pengaturan

impeachment di negara Indonesia dan Amerika Serikat ditinjau dari konstitusionalisme dan membahas tentang bagaimana seharusnya Indonesia dalam mengatur proses impeachment sebagai negara demokrasi.

4. Judul: “Pemakzulan Presiden di Indonesia”. Cetakan pertama, Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

Penulis: Hamdan Zoelva,

Uraian: Buku ini membahas tentang pemakzulan di Indonesia, termasuk juga dengan sejarah awal pemakzulan, dan negara-negara di dunia yang pernah melakukan proses pemakzulan.

5.

Judul: Pemikiran Politik Islam dalam Pemerintahan: Konsep Wilayatul Faqih Sebagai Epistemologi Pemerintahan Islam, penerjemah Muhammad Anis Maulachela. Cetakan pertama, Jakarta: Pustaka Zahra, 2002.

(22)

Uraian: Buku ini membahas terbentuknya sistem hukum Republik Islam Iran setelah kemenangan Revolusi Islam yang digerakan oleh Imam Khumaini.

Dari kajian studi terdahulu di atas, penulis tidak menemukan satupun pembahasan yang membahas tentang proses mekanisme

impeachment yang membandingkan antara negara Indonesia dengan negara Iran. Perbedaan skripsi di atas dengan skripsi yang penulis susun adalah dalam pemaparan proses impeachment di Indonesia, negara-negara yang menggunakan impeachment dan mekanismenya lebih lengkap. Skripsi yang sebelumnya tidak menjelaskan terlalu rinci. Oleh karena itu penulis menyimpulkan bahwa judul skripsi yang penulis ajukan belum pernah ada yang membahas dalam penelitian sebelumnya.

E. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual 1. Kerangka Teori

Kerangka teori dibangun dengan maksud sebagai bingkai dan pisau analisis pada permasalahan penelitian ini yang memfokuskan kajian tentang

impeachment. Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa teori untuk mempermudah dalam penyusunannya, diantaranya adalah:

a. Negara Hukum

Pada dasarnya, ada 12 prinsip pokok negara hukum (rechtsstaat)

(23)

11

negara modern sehingga dapat disebut sebagai negara hukum (the rule of law atau rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya.

Kedua belas prinsip itu adalah: (i) diakuinya supremasi hukum; (ii) adanya persamaan dalam hukum; (iii) berlakunya asas legalitas; (iv) efektifnya pembatasan kekuasaan; (v) terjaminnya independensi fungsi kekuasaan tekhnis; (vi) adanya peradilan bebas dan tidak berpihak; (vii) tersedianya mekanisme peradilan administrasi negara; (viii) adanya mekanisme peradilan konstitusi; (ix) dijaminnya perlindungan hak-hak asasi manusia; (x) dianutnya sistem dan mekanisme demokrasi

(democratic rule of law, democratische rechtsstaat); (xi) berfungsi sebagai sarana kesejahteraan rakyat (welfare-rechtsstaat); dan (xii) transparansi dan kontrol sosial.8

b. Teori Konstitusi

Kekuasaan suatu negara yang tidak memiliki Konstitusi adalah kekuasaan yang tak terbatas. Oleh karenanya, dibutuhkan Konstitusi untuk membatasi kekuasaan para penguasa. Sebagaimana kekuasaan para raja di masa silam, yang tidak terbatas oleh aturan mana pun, sehingga cenderung menimbulkan perilaku tirani dan otoriter. Pada dasarnya, pengertian dan materi muatan Konstitusi senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia dan organisasi kenegaraan. Dengan meneliti dan mengkaji konstitusi, dapat

8 Tahir Azhary, Beberapa Aspek Huk um Tata Negara, Huk um Pidana, dan Huk um Islam

(24)

diketahui prinsip-prinsip dasar kehidupan bersama dan penyelenggaraan negara serta struktur organisasi suatu negara tertentu. Bahkan nilai-nilai konstitusi dapat dikatakan mewakili tingkat peradaban suatu bangsa.9

Kajian tentang konstitusi menjadi hal penting dalam negara-negara modern saat ini yang pada umumnya menyatakan diri sebagai negara Konstitusional, baik demokrasi konstitusional maupun monarki konstitusional. Konstitusi tidak lagi sekedar istilah untuk menyebut suatu dokumen hukum, tetapi menjadi suatu paham tentang prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan negara (konstitusionalisme) yang dianut hampir di semua negara, termasuk negara-negara yang tidak memiliki konstitusi sebagai dokumen hukum tertulis serta yang menempatkan supremasi kekuasaan pada parlemen sebagai wujud kedaulatan rakyat.10 2. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual menjelaskan pengertian-pengertian yang berkaitan dengan istilah-istilah yang digunakan dalam penulisan ini, antara lain:

a. Impeachment: suatu proses dakwaan yang diajukan oleh cabang legislatif terhadap pejabat sipil atau pemerintahan. Secara hukum istilah

impeachment diterapkan hanya untuk dakwaan.11

9 A. Salman Manggalatung dan Nurrohim Yunus, Pok ok -Pok ok Teori Ilmu Negara,

Ak tualisasi dalam Teori Negara Indonesia, Cet.I,(Bandung: Fajar Media Bandung, 2013), h. 123.

10 Riri Nazriyah, MPR RI: Kajian Terhadap Produk Huk um dan Prospek di Masa Depan ,

(Yogyakarta: FH UII Press, 2007), h.22.

11 Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden, Alasan-Alasan Tindak Pidana Pemberhentian

(25)

13

b. Pemberhentian: istilah pemberhentian berupa tindakan lebih lanjut dari berhenti karena mengundurkan diri, atau tidak dapat lagi melaksanakan tugas (incapacity) dalam jabatannya.12

c. Presiden: adalah suatu nama jabatan yang digunakan untuk pimpinan suatu organisasi, perusahaan, perguruan tinggi, atau negara. Lebih spesifiknya, istilah Presiden digunakan untuk kepala negara bagi negara yang berbentuk republik, baik dipilih secara langsung maupun tidak langsung.13

d. Negara Republik: adalah negara dengan pemerintahan rakyat yang dikepalai oleh Presiden sebagai kepala negara yang dipilih dari dan oleh rakyat untuk masa jabatan tertentu.14

e. Demokrasi: adalah (bentuk atau sistem) pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya, pemerintahan rakyat.15

f. Sistem Presidensiil adalah suatu pemerintahan di mana kedudukan eksekutif tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat.

12 Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden, Alasan-Alasan Tindak Pidana Pemberhentian

Presiden Menurut UUD 1945, h. 2

13 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kek uasaan Presiden Indonesia setelah Perubahan UUD

dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 13

14 Ahmad Sukardja, Huk um Tata Negara dan Huk um Administrasi Negara dalam

Perspek tif Fik ih Siyasah, Cet.I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 112

(26)

Dengan kata lain kekuasaan eksekutif berada di luar pengawasan parlemen.16

g. Sistem parlementer merupakan sistem pemerintahan dimana hubungan antara eksekutif dan legislatif (badan perwakilan) mempunyai hubungan yang erat. Hal ini disebabkan karena adanya pertanggungjawaban para menteri kepada parlemen. Setiap kabinet yang dibentuk harus mendapat dukungan kepercayaan dengan suara terbanyak dari parlemen. Dengan demikian kebijakan parlemen atau kabinet tidak boleh menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh parlemen.17

h. Majelis Permusyawaratan Rakyat: menurut Pasal 2 ayat (1) UUD NRI 1945 terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum.

i. Wilayatul Faqih: yaitu menjalankan ketetapan hukum-hukum Islam, seorang hakim bertanggung jawab atas kekuasaan eksekutif dan wajib baginya untuk melaksanakan hukum-hukum Allah.18

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

16 A. Salman Manggalatung dan Nurrohim Yunus, Pok ok -Pok ok Teori Ilmu Negara,

Ak tualisasi dalam Teori Negara Indonesia, h. 87

17 A. Salman Manggalatung dan Nurrohim Yunus, Pok ok -Pok ok Teori Ilmu Negara,

Ak tualisasi dalam Teori Negara Indonesia, h. 86

18 Imam Khumaini, Pemik iran Politik Islam dalam Pemerintahan: Konsep Wilayatul Faqih

(27)

15

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif-empiris. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, acapkali hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.19 Kaitannya dengan penelitian ini, yang dimaksud dengan hukum yaitu hukum tertinggi di negara Iran dan Indonesia yakni Konstitusi negara atau disebut dengan UUD. Objek penelitian pustaka ini adalah perbedaan antara dua negara dalam hal proses impeachment terhadap Presiden.

2. Sumber Data

Data yang dihimpun dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer adalah sumber-sumber pokok yaitu Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dan Undang-Undang Dasar Republik Islam Iran atau yang disebut dengan (Qanun-e Asasi). Sedangkan data sekunder adalah data-data pendukung yang digali dari berbagai literatur yang tidak secara khusus membahas permasalahan yang penulis angkat, seperti buku-buku tentang hukum, ensiklopedi hukum dan jurnal nasional maupun internasional.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan faktual, teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan studi kepustakaan dengan

19 Amirudin, dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Huk um, cet.I, (Jakarta:

(28)

data kualitatif, yakni dengan mencari bahan-bahan (referensi) yang terkait serta mempunyai relevansi dengan penelitian. Secara kategoris, teknik pengumpulan data dan skripsi ini menggunakan penelitian pustaka (library research), yaitu dengan memanfaatkan sumber informasi yang terdapat di perpustakaan dan informasi tersedia, baik yang terdokumentasi dalam bentuk buku, majalah, jurnal, artikel ataupun data-data kepustakaan lainnya yang berhubungan dengan mekanisme impeachment di negara Indonesia dan Iran. Selain itu sumber data dalam teknik penulisan skripsi ini dengan menggunakan sumber primer dan sekunder.

4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif, yaitu menganlisis data yang telah dikumpulkan yang berisi informasi, pendapat dan konsep, serta analisis hukum yang bersifat komparatif yaitu menggambarkan tentang perssamaan dan perbedaan antara proses

impeachment di negara Indonesia dan Iran.

5. Teknik Penulisan Skripsi

(29)

17

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, penulis membuat sistematika penulisan dengan membagi kepada lima (5) bab, tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub bab dengan rincian sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumuan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian terdahulu, kerangka teori dan kerangka konseptual, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II Membahas kerangka teoritis tentang impeachment. Dalam bab ini penulis akan menguraikan menjadi tiga sub bab yaitu: pengertian dan istilah impeachment, sejarah impeachment, metode impeachment di beberapa negara dan mekanisme Impeachment dalam Al-Quran dan As-Sunnah.

BAB III Pada bab ini penulis menguraikan tentang impeachment di Indonesia dalam beberapa sub bab yaitu impeachment di Indonesia dan

impeachment di Iran yang mencakup tentang mekanisme

impeachment, kewenangan MPR RI daan Wali Faqih dan sejarah mengenai presiden yang pernah diberhentikan di Indonesia dan Iran. BAB IV Merupakan uraian analisa tentang kajian perbandingan hukum yang

(30)
(31)

19 BAB II

TINJAUAN UMUM PERIHAL IMPEACHMENT

A. Pengertian Impeachment

Impeachment dimaknai sebagai turun, berhenti, atau dipecatnya Presiden dan/atau Wakil Presiden. Arti dari impeachment itu sendiri adalah tuduhan atau dakwaan sehingga impeachment lebih menitikberatkan pada proses dan tidak selalu berakhir dengan berhentinya atau turunnya presiden atau pejabat tinggi negara lainnya dari jabatannya.1

Black’s law dictionary mendefinisikan impeachment sebagai “a

criminal proceeding against a public officer, before a quasi political court,

instituted by a written accusation called ‘articles of impeachment”. Henry

Campbell Black, black’s law dictionary: definitions of the term and phraes of

american and english jurisprudence, ancient and modern. Impeachment

diartikan sebagai suatu proses peradilan pidana terhadap pejabat publik yang dilaksanakan di hadapan senat, disebut dengan quasi political court. Suatu proses impeachment dimulai dengan adanya article of impeachment yang berfungsi sama dengan surat dakwaan dari suatu peradilan pidana. Jadi article of impeachment adalah satu surat resmi yang berisi tuduhan yang menyebabkan dimulainya suatu proses impeachment.2

1 Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden, Alasan-Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945, Cet.I, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), h. 13

2 Winarno Yudho, dkk, Mek anisme Impeachment dan Huk um Acara Mahk amah Konstitusi,

(32)

Istilah impeachment berasal dari bahasa Inggris yaitu dari kata “to

impeach”, yang berarti meminta atau mendakwa untuk meminta

pertanggungjawaban.3

Dalam kedudukannya dengan kedudukan kepala negara atau kepala pemerintahan, impeachment berarti pemanggilan atau pendakwaan untuk meminta pertanggungjawaban atas persangkaan pelanggaran hukum yang dilakukannya dalam masa jabatan. Dengan demikian penggunaan pranata

impeachment dalam sistem hukum yang sering digunakan terutama menurut Hukum Tata Negara lebih diproyeksikan pada ketentuan pelanggaran hukum yang tidak hanya disebabkan karena faktor politik. Meskipun dalam praktek pelaksanaannya pranata impeachment itu ditujukan bukan hanya kepada kekuasaan Presiden sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan melainkan setiap jenjang jabatan yang ada pada struktur pemerintahan negara yang berbentuk sistem presidensiil maupun parlementer.4

B. Batasan Hukum Istilah Impeachment

Istilah impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden memiliki banyak versi, yaitu pemakzulan, pemberhentian, dan pemecatan. Istilah yang digunakan dalam UUD NRI 1945 adalah pemberhentian.

3 Soimin, Impeachment Presiden dan Wak il Presiden di Indonesia, Cet.I,(Yogyakarta: UII

Press, 2009), h. 9

(33)

21

Istilah impeachment merupakan istilah umum yang sudah dikenal dalam literatur di berbagai negara dengan artian pemberhentian Presiden. Masyarakat umum cenderung keliru dalam mengartikan impeachment sebagai sebuah proses pemberhentian, padahal tidak selamanya proses impeachment berujung pada pemberhentian dan impeachment merupakan salah satu bagian dari proses pemberhentian. Hamdan Zoelva dalam bukunya Pemakzulan Presiden di Indonesia menyatakan bahwa impeach berasal dari bahasa latin yang berarti menjerat, jerat atau perangkap. Sehingga dapat diartikan impeachment adalah suatu proses dakwaan yang diajukan oleh DPR terhadap pejabat sipil atau pemerintahan. Secara hukum impeachment diterapkan hanya untuk dakwaan. 5

Terdapat beberapa hal yang menjadi dasar dalam proses impeachment.

Munir Fuady dalam bukunya Teori Negara Hukum Modern (Rechstaat) menyatakan bahwa yang menjadikan dasar bagi suatu proses impeachment

diantaranya adalah:

1. Melakukan kesalahan berat

2. Melanggar haluan negara sebagaimana berlaku di Indonesia sebelum amandemen UUD 1945.

3. Melakukan pengkhianatan (treason), suap menyuap (bribery), dan kelalaian serta kejahatan berat lainnya (other high crimes and misdemenors) sebagaimana yang terdapat dalam konstitusi federal Amerika Serikat. 4. Melakukan penyalahgunaan kekuasaan yang serius (serious abuse of power)

(34)

5. Melakukan penghianatan yang serius (a groos breach of trust).6

6. Dalam UUD NRI 1945 hasil amandemen 7A, impeachment dapat dilakukan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:

a. Penghianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan Negara sebagaimana diatur dalam undang-undang

b. Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana yang diatur dalam undang-undang

c. Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana 5 (lima) tahun atau lebih

d. Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden

e. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 6 Undang-Undang Dasar 1945.7

Berkaitan dengan batasan hukum istilah impeachment tersebut, dalam penelitian ini penulis hendak menegaskan bahwa pengaturan mengenai mekanisme dan batasan hukumnya merupakan kajian dalam ruang lingkup konstitusionalisme. Selanjutnya mengenai pengaturan impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam Konstitusi Republik Indonesia dan Republik Islam Iran akan merujuk kepada batasan-batasan yang ada dalam kajian perbandingan konstitusi secara formal yang terbatas pada pasal-pasal dalam konstitusi dan lembaga-lembaga negara yang diberi wewenang dalam proses

impeachment.

6 Munir Fuady, Teori Negara Huk um Modern (Rechstaat), (Bandung: Refika Aditama,

2009), h. 155-156

7 Lihat ketentuan Pasal 83 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah

(35)

23

C. Sejarah Impeachment

Perkenalan pemerintahan modern dan mekanisme pertanggungjawaban politik dalam sistem demokrasi dalam konstitusi di abad modern di Amerika serikat berjalan beriringan dengan diperkenalkannya pemberhentian Presiden dengan istilah impeachment pada tahun 1787.8

Para perumus konstitusi Amerika Serikat mengadopsi pemberhentian Presiden dari praktek di Inggris dengan melalui mekanisme impeachment yang dikenal pada abad ke-14. Mekanisme impeachment merupakan mekanisme peradilan yang mengalami perkembangan cukup baik di Inggris, tetapi hampir tidak memperoleh teknik dan mekanisme baku. Istilah impeachment sendiri telah lama digunakan berkaitan dengan jenis penuntutan di setiap pengadilan di Inggris. Awalnya tidak ditujukan khusus untuk penuntutan di parlemen (the House of Commons) di hadapan Raja9, dan tentunya dalam perkembangannya, banyak negara yang menerapkan impeachent dalam beberapa Pasal pada konstitusi negaranya.

Studi tentang impeachment dalam konteks ketatatanegaraan biasanya merujuk kepada ketentuan dan praktik di Amerika Serikat. Artikel I section 2, dan 3 dan Artikel II section 4 konstitusi Amerika Serikat menyatakan:

“The President and Vice President, and all civil officers of the United

Stated shall be removed from office on impeachment for, and conviction of, treason, bribery, or other high crimes and misdemeanors.

Judgment in Case of Impeachment shall not extend further than removal from office, and disqualification to hold and enjoy any Office of honor, Trust or Profit under the United Stated: but the Party convicted shall

8 Hamdan Zoelva Pemak zulan Presiden di Indonesia, h. 29

(36)

Neverthless be liable and subject to indictment, Trial, Judgment, and Punishment, acording to Law”.10

Dari sisi materiil uraian substansi pasal ini dijelaskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden saja yang dapat diberhentikan dari jabatannya melalui proses impeachment. namun seluruh pejabat negara sampai tingkat pejabat distrik juga dapat diproses impeachment untuk diberhentikan dari jabatannya jika terlibat atau melakukan tindakan yang memenuhi rumusan article impeachment dalam konstitusi Amerika Serikat. Namun dari sisi formil, penjelasan mengenai penghianatan terhadap negara, penyuapan, tindk pidana berat, dan perbuatan tercela yang menjadi sebab atau dasar untuk dilakukannya proses impeachment tidak dijelaskan secara luas dan rinci baik pada penjelasan konstitusi maupun undang-undang di bawah konstitusi.

D. Metode Impeachment di Beberapa Negara 1. Amerika Serikat

Impeachment di Amerika Serikat sebenarnya diadopsi dari praktik yang berlaku di Inggris sebagai ungkapan yang menunjuk pada pengadilan politik yang digunakan untuk menjangkau para pelanggar yang mungkin lepas dari tuntutan. Impeachment diperlukan untuk melindungi negara sekaligus menghukum pelaku.

10 National Constitution Centre, The Constitution of The United States. E-Pdf, Diakses Pada

(37)

25

Proses impeachment terhadap Presiden di Amerika Serikat pertama kali terjadi pada tahun 1868 yang menimpa Presiden Andrew Johnson. Secara garis besar tuduhan terhadap Presiden Andrew Johnson ini adalah

telah melakukan “high crimes and misdemeanor” dengan rincian

pelanggaran meliputi:

a. Pelanggaran sumpah jabatan. Presiden Andrew Johnson dipandang tidak menghiraukan kewajiban sesuai sumpah jabatannya. Presiden melakukan pemberhentian kepada Edwin M. Santon sebagai Menteri Pertahanan dan menggantinya dengan pejabat yang lain tanpa persetujuan senat Amerika Serikat. Padahal dalam Act Regulating the Tenure of Civil Officer ditentukan harus dengan persetujuan senat. b. Melanggar Undang-Undang Federal Amerika Serikat, yaitu “the

Command of Act” yang disahkan pada tanggal 2 Maret 1867, yaitu

memberikan perintah kepada Commander in Chief Willam H. Emory yang seharusnya melalui The General of The Army.11

Proses impeachment ini, dalam perjalanannya meskipun pelanggaran yang dituduhkan kepada Presiden, Andrew Johnson tetap menjabat sebagai Presiden karena suara di Senat yang menghendaki diberhentikannya Presiden Andrew Johnson kalah dengan suara anggota

(38)

Senat yang mendukung Andrew Johnson tetap sebagai Presiden meskipun

hanya berbeda satu suara.12

Upaya impeachment terhadap Pesiden yang terjadi kedua kali adalah pada tahun 1974 terhadap Presiden Richard Nixon yang dituduh

melakukan “high crimes and misdemeanors” berupa:

a. Obstuction of justice (menghambat peradilan); b. Abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan); c. Contemp of congress (penghinaan terhadap kongres)

Ketiga tuduhan tersebut berkaitan dengan kasus “Watergate” yang

terjadi pada tanggal 17 Juni 1972, yaitu masuk secara tidak sah (burglary) beberapa orang di kantor pusat Komite Nasional Demokrat di Watergate Washington DC. Namun, proses impeachment ini gugur karena Presiden

Richard Nixon mengundurkan diri.13

Hal ini dapat disimpulkan bahwa suatu proses impeachment dapat berakhir ketika yang terkena impeachment lebih memilih megundurkan diri daripada melayani persidangan baik di House of Representative maupun di Senat.

Pada tahun 1988, terjadi kembali proses impeachment terhadap Presiden di Amerika Serikat yaitu menimpa kepada Presiden Bill Clinton.

12 Soimin, Impeachment Presiden dan Wak il Presiden di Indonesia, h. 66

(39)

27

Kasus impeachment Presiden Amerika Bill Clinton ini bermula dari tuduhan bahwa Clinton telah melakukan perbuatan yang tidak bermoral terhadap karyawan Gedung Putih Monika Lewinsky. Clinton membantah telah melakukan perbuatan yang tidak wajar itu dengan karyawannya. Akan tetapi dalam perkembangan penyelidikannya Clinton mengakui telah melakukan perbuatannya yang disiarkan melalui televisi nasional. Oleh karena itu tuduhan terhadap Clinton beralih dari perbuatan yang tidak wajar pada tuduhan bahwa Clinton telah menghalangi penyidikan dengan berbohong di bawah sumpah. Oleh Commite of Judiciary House of Representative, Clinton dikenai 4 Pasal impeachment yaitu;

a. Melakukan sumpah palsu di hadapan grand jury (perjury in grand jury);

b. Melakukan sumpah palsu (perjury);

c. Menghambat peradilan (abstruction of justice);

d. Memberikan respon yang tidak layak atas pertanyaan tertulis dari

Committe of Judiciary.

Dari keempat dakwaan tersebut hanya dua yang dibawa ke senat. Akhir dari proses impeachment ini adalah Clinton dibebaskan (acquited) oleh Senat dengan Suara mutlak dan tetap menduduki jabatan Presiden Amerika Serikat.14

(40)

2. Fhilipina

Negara Fhilipina memberikan kekuasaan penuh kepada House of Representative untuk melakukan impeachment. Proses impeachment

tersebut bukan hanya terhadap Presiden, melainkan terhadap Wakil Presiden, Mahkamah Agung, anggota komisi-komisi yang dibentuk oleh konstitusi, serta Ombudsman. Hal ini terdapat dalam Konstitusi Fhilipina

Article XI Section 2.

Hamdan Zoelva mengungkapkan bahwa mekanisme impeachment

Presiden dalam masa jabatannya sebagaimana diatur dalam Konstitusi Fhilipina menerapkan model peradilan dua tingkat layaknya di Amerika Serikat. Peradilan pertama yaitu pendakwaan yang dilakukan oleh Ang Kapulungan ng nga Kintawan (House of Representatif), selanjutnya barulah dakwaan tersebut disidang dan diputuskan oleh Ang Senado

(Senate). Persidangan dilakukan oleh Ang Senado tersebut dipimpin oleh ketua Mahkamah Agung Fhilipina, sama halnya dengan persidangan

impeachment Presiden Amerika Serikat oleh Senate yang dipimpin oleh ketua Supreme Court.15

3. Jerman

Presiden Federasi Jerman dapat diajukan impeachment baik oleh

Bundestag maupun Bundesrat karena alasan secara sengaja melaggar hukum Jerman. Impeachment tersebut diajukan dan akan diputus oleh Mahkamah Konstitusi Jerman apakah Presiden bersalah atau tidak serta

(41)

29

apakah akan diberhentikan atau tidak. Dalam Pasal 61 ayat (1) Konstitusi Jerman ditentukan bahwa impeachment terhadap Presiden dapat diajukan oleh ¼ anggota Bundestag (lembaga perwakilan rakyat) atau ¼ jumlah suara dalam Bundesrat (Senat). Selanjutnya dalam Pasal 61 ayat (2) Konstitusi Jerman diberikan kewenangan untuk memutuskan Presiden bersalah telah melanggar konstutusi atau undang-undang federal lainnya, Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan Presiden telah dipecat dari jabatannya. Setelah impeachment, Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan perintah pengadilan interim untuk mencegah Presiden menjalankan fungsi kepresidenannya.16

Pandangan Abdul Rasyid Thalib sebagaimana yang dikutip oleh M. Saleh dan Mukhlish adanya instrumen hukum yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memerintahkan adanya instrumen hukum yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memerintahkan pengadilan interim untuk mencegah Presiden menjalankan fungsi kepresidenannya bertujuan untuk mempertegas status hukum dari keputusan Mahkamah Konstitusi.17 Hal ini mengandung makna jika parlemen memutuskan hal yang sebaliknya dengan keputusan Mahkamah Konstitusi maka keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut tetap memiiki

16 Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahk amah Konstitusi dan Implik asinya dala m Sistem Ketatanegaraan di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), h. 259-260

(42)

akibat hukum berupa impeachment Presiden secara administratif, dan bukan hanya suatu keputusan yang terkesan sia-sia.

4. Korea Selatan

Objek impeachment di Korea Selatan, selain Presiden, juga dapat ditujukan kepada pejabat negara lainnya seperti Wakil Presiden, Perdana Menteri, anggota Dewan Negara, Kepala Eksekutif Departemen, Hakim Mahkamah Konstitusi, anggota Komite Manajemen Pemilihan Pusat, anggota Dewan Audit dan Inspeksi, dan lainnya pejabat publik yang ditunjuk oleh hukum.18

Konstitusi Korea Selatan menyebutkan dua alasan diberlakukannya

impeachment yaitu jika melanggar hukum atau konstitusi dalam pelaksanaan tugas resminya. Hal ini terdapat dalam ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Korea Selatan, namun hanya disebutkan tanpa rinci apa bentuk pelanggaran yang dilakukan.19

Melihat pada praktek impeachment di berbagai negara di atas, terdapat beberapa alasan yang hampir sama terkait dengan dilakukannya

18 Dalam The Constitution of Republic of South Korea Article 65 section 1 dinyatakan

sebagai berikut : “In case the President, the Prime Minister, members of the State Council, heads of Executive Ministries, judges of the Constitutional Court, judges, members of the Central Election Management Committee, members of the Board of Audit and Inspection, and other publik officials designated by law have violated the Constitution or other laws in the performance of official duties, the National Assembly may pass motions for their impeachment”. lihat juga: M. Saleh dan Mukhlish, Impeachment Presiden dan/atau Wak il Presiden (Sebuah Tinjauan Konstitusional), h. 42, dan Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahk amah Konstitusi dan Implik asinya dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia, h. 270-271

(43)

31

impeachment yaitu bahwa Presiden sebagai pejabat publik merupakan pemimpin yang dihormati melakukan perbuatan melawan hukum dan melakukan pelanggaran hukum dan/atau melakukan tindakan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai moral bangsa dan juga konstitusi.

5. Brasil

Negara Brasil memberikan kekuasaan penuh kepada Majelis Tinggi Senat untuk melakukan impeachment terhadap Presiden dan wakil Presiden. Seperti yang ramai diperbincangkan dunia bahwa telah terjadi impeachment

terhadap Presiden Dilma Rousseff yang merupakan Presiden perempuan pertama di Brasil. Seperti yang diberitakan oleh BBC Indonesia, Rousseff dituduh telah menyembunyikan uang negara dan melakukan korupsi. Selain tuduhan tersebut, Roussef juga dituduh telah memanipulaasi data keuangan negara untuk menutupi defisit anggaran menjelang pemilihan Presiden yang dimenangkannya kembali pada 2014.20

Anggota senat Brasil mengadakan sidang untuk melakukan

impeachment terhadap Roussef. Hasilnya 55 anggota senat pro

impeachment setuju atas ditangguhkannya Rousseff dari jabatannya, sedangkan 22 orang lainnya menolak.21

Mekanisme tentang impeachment di negara Brasil dapat ditemukan pada pasal tentang kewenangan the Federal Senate yaitu pada Chapter I

20 Presiden Brasil Dilma Rossef diberhentikan sementara, Artikel ini diakses pada 08 Juni

2016 dari: http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2016/05/160512_dunia_brasil_pema kzulan

21 Presiden bakal hadapi sidang impeachment, Artikel ini diakses pada 08 Juni 2016

(44)

Section IV: The Federal Senate Art 52:

The Federal Senate has exclusive power:

To try the President and Vice-President of the Republic for impeachable offense, as wel as Ministers of the Federal Government and the Commanders of the Navy, the Army and the Air Force for crimes of the same nature connected with them;

Selain pasal tentang kewenangan dari Federal Senate, yang berkaitan dengan pemenuhan atas kewajiban Presiden ada pada Chapter II Section III : Liability of the President of the Republic Art 85 dan Art 86.22

E. Mekanisme Impeachment dalam Islam

Allah SWT mewajibkan kepada hambaNya untuk bersifat jujur dan adil termasuk ketika menjadi seorang pemimpin. Hal ini sejalan dengan ayat

Al-Quran surat An-nisa ayat 135 yang berbunyi:

ش ط ۡسقۡلٱب نيم ٰ ق ْا ن ك ْا ماء ني لٱ ا يأٰٓي

benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha

Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”

(45)

33

Dalam memilih seorang pemimpin dalam Islam harus merujuk kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Berkaitan dengan pembahasan penulis yatu impeachment terhada Presiden, yang dimaksud dengan pemimpin adalah Kepala negara atau dalam Islam disebut dengan Khalifah atau Imam. Memilih pemimpin sudah menjadi wajib sebagaimana yang dijelaskan oleh sabda

Rasulullah SAW:

( ريره يبأ يعس يبأ ثي ح نم د اد ا بأ ا ( مه حأ ا رم يلف رفس يف ةثَث جرخ ا

“apabila tiga orang bepergian, maka sallah serang daripadanya

hendaklah menjadi pemimpinnya.”(H.R. Abu Dawud)

Hal ini ditegaskan oleh Imam Al-Mawardi syarat-syarat sebagai seorang pemimpin adalah:

1. Adil dengan segala pernyataannya (benar tutur katanya, dapat dipercaya, terpelihara dari segala yang haram, menjauhi segala dosa dan hal-hal yang meragukan, memegang muruah;

2. Memiliki ilmu yang dapat digunakan untuk ijtihad di dalam hukum dan kasus-kasus hukum yang harus dipecahkan.

3. Sehat panca indranya baik pendengaran, penglihatan, lisannya agar dapat

sigunakan sebagaimana mestinya.sehat anggota badannya dari

kekurangan-kekurangan yang dapat mengganggu geraknya.

4. Kecerdasan dan kemampuan di dalam mengatur rakyat dan kemaslahatan

5. Kebenaran dan punya tanggung jawab dan tabah di dalam

mempertahankan negara dan memerangi musuh

6. Nasab, imam itu harus keturunan Quraisy atas dasar nash dan ijma.23

Pemberhentian jabatan atau impeachment dalam Islam dapat diartikan dengan al-khalla’. Al-Khalla memiliki makna pencabutan, pencopotan,

23 Al-Mawardy, Al- Ahk am AL-Sulthaniyyah wa al-Wilayah al-Diniyyah, (Mesir: Musthafa

(46)

pemecatan, menelanjangi, dan menyingkirkan. Ibnu Manzur mengatakan kata

“pencopotan” sama artinya dengan “pencabutan”; namun dalam istilah

“pemecatan” mengandung arti “penangguhan atau proses secara perlahan”.

Berkaitan dengan pencopotan maka erat kaitannya dengan pelanggaran atau dalam istilah bahasa arab yaitu an-naktsu. Pemecatan dan pelanggaran memiliki kandungan arti tipu daya dan muslihat, sedangkan dalam syariat Islam hal tersebut sangat tidak diperkenankan.24

Mengenai mekanisme impeachment, dalam Islam tidak ditemukan penjelasan secara eksplisit, namun terdapat dalam kitab-kitab fikih siyasah ditemukan mekanisme pemberhentian kepala negara, diantaranya:

1. Sekelompok ulama Ahli Sunnah, Khawarij, Mu’tazilah, Zaidiyah, dan para ulama Murjiah berpendapat wajib mengangkat senjata untuk memberhentikan Presiden.25

2. Untuk memberhentikan pemimpin adalah melalui apa yang diistilahkan pada zaman modern ini dengan civil disobedience (pembangkangan sipil). Cara inilah yang dilakukan apabila umat Islam merasa imamnya atau pemimpinnya berbuat fasiq dan melakukan dosa, maksiat dan zalim. Maka dalam keaadaan demikian tidak ada jalan lain selain memboikot pemimpin tersebut. hal ini diambil dari sabda Rasulullah SAW:

24 Yahya Ismail, Hubungan Penguasa dan Rak yat dalam Perspek tif Sunnah, (Jakarta:

Gema Insani Press, 1995), h. 191-192

25 Muhammad Abdul Qodir Abu Faris, Sistem Politik Islam, (Jakarta: Robbani Press,

(47)

35

ه لق ف عطتسي مل إف هناسل ف عطتسي مل ن ف يب ريغيلف ارك م مك م أ نم

(ملسم ا ( ا يإا فعضأ كل

Artinya: “Barangsiapa diantara kamu melihat suatu kemunkaran

maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, dan jika ia tak mampu maka dengan lisannya, dan jika ia tak mampu juga maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman”.(H.R. Muslim)26

Hadits Rasulullah SAW tersebut dalam konteks ini menjelaskan bahwa umat muslim harus saling mengingatkan satu sama lain dan apabila saudara muslim melakukan kemungkaran maka wajib bagi muslim lainnya untuk melakukan perubahan atas saudara muslim lainnya dengan tangan, lisan dan hati. Hal ini menunjukkan bolehnya umat muslim memboikot pemimpin dengan jalan yang dianjurkan oleh Rasul namun tidak keluar dari aturan Al-Quran dan As-Sunnah dengan menggunakan tangan yaitu menggunakan kekuasaan dan hak yang dimiliki oleh orang muslim dalam berbuat, menggunakan lisan dengan cara menyampaikan suara dan pendapat dan dengan hati apabila kedua cara tadi tidak mampu dilakukan lagi. Maksud dengan hati adalah dengan cara mendoakan pemimpin tersebut

supaya tidak melakukan perbuatan dzhalim.

3. Masa jabatan imam lebih baik dibatasi hingga jangka waktu tertentu. Jika imam melakukan perbuatan fasiq maka umat menghindarkan diri dari keburukannya dengan tidak memilihnya pada periode lain.27 Al-Quran mewajibkan ketaatan kepada mereka yang berkuasa, namun kepada

26 Muhyiddin Abi Zakaria, Riyadus Solihin, Penerjemah Muslich Shabir, (Surabaya:

Mahkota, tt), h. 108.

(48)

penguasa/ pemimpin yang memenuhi syariat dan memperhatikan kepentingan masyarakat.

Imam Al-Mawardi menjelaskan apabila Imam atau pemimpin tidak dapat melaksanakan kewajibannya dengan baik atau terdapat cacat pada keadilannya dan cacat pada badannya (Fasiq), maka imam atau pemimpin tersebut harus diberhentikan. Namun jumhur fuqaha berpendaat bahwa Imam dapat diberhentikan apabila dia itu fasiq dan sebab-sebab lain seperti: tidak memperhatikan keadaan kaum muslimin dan masalah-masalah agama, sebab jelas jabatan imam adalah untuk kemaslahatan kaum muslimin dan mendirikan serta meninggikan agama.28

Maka hal ini dapat disimpulkan bahwa pemimpin, imam, atau kepala negara dalam Islam dapat diberhentikan dengan alasan:

1. Apabila dia melaggar Al-Quran dan As-Sunnah

2. Tidak mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh umat dalam mengurus negara.

Sejalan dengan penjelasan di atas, Abdul Rashid Moten29 mengungkapkan bahwa di dalam Al-Quran dan Sunnah tidak pernah diatur mengenai mekanisme impeachment terhadap khalifah/pemimpin. Namun Moten menyebutkan adanya prinsip-prinsip dasar yang digariskan dalam

28 A. Djazuli, Fiqih Siyasah, Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu -Rambu Syariah, Cet.III, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 115.

29 Abdul Rashid Moten adalah seorang cendekiawan muslim dari Internasional Islamic

University Malaysia. Beberapa karyanya menyangkut tentang studi politik islam dan banyak

(49)

37

Al-Quran dan Sunnah di dalam otoritas melakukan impeachment terhadap

kepala negara30, yakni:

1. Diwan al-Nadzhar wa al-Madzhalim (dewan pengawas) yang biasa menangani kasus-kasus kegagalan keadilan dan tindakan-tindakan tiranik yang dilakukan oleh para elit penguasa, termasuk kepala negara. 2. Faqih atau Dewan Pimpinan yang terdiri atas Fuqaha.

3. Majlis al-Syura (Majelis Permusyawaratan ahl halli wa al-aqdhi).31

30 Setidaknya para pemikir politik Islam mengajukan tiga lembaga yang memiliki otoritas

untuk melakukan impeachment terhadap kepala negara/Presiden.

31 Abdul Rasyid Moten, Ilmu Politik Islam, Penerjemah A.Mu’in & Widyawati, (Bandung:

(50)

38 BAB III

PROSES IMPEACHMENT DI INDONESIA DAN IRAN

A. Impeachment di Negara Indonesia

1. Mekanisme Impeachment di Negara Indonesia

Konstitusi atau UUD adalah suatu keharusan dalam suatu negara, karena sebagaimana pernyataan E.C.S Wade yang dikutip oleh Sulardi menyatakan bahwa UUD merupakan suatu dokumen atau kerangka dasar yang menampilkan sanksi hukum khusus dan prinsip dari fungsi lembaga-lembaga pemerintahan negara dan menyatakan pula prinsip-prinsip yang mengatur cara kerja lembaga yang lain.1

Konstitusi atau UUD memiliki makna yang mengandung makna politis, sosiologis dan yuridis dari suatu negara yang tampak dari klasifikasi konstitusi, menurut Herman Heller, yaitu pertama, konstitusi mencerminkan politik di dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan, kedua, konstitusi merupakan suatu kaidah hidup dalam masyarakat, ketiga, konstitusi yang ditulis dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang tertinggi dalam suatu negara.2

Konstitusi atau UUD juga merupakan instrumen yang mengatur tentang pembagian kekuasaan negara berdasarkan Trias Politica yang berfungsi untuk mengawasi dan mengontrol lembaga negara supaya tidak terjadi kesewenang-wenangan.

1 Sulardi, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensial Murni, (Malang: Setara Press, 2012),

h. 55

(51)

39

Konstitusi negara tentunya memiliki tujuan yang mulia, termasuk Konstitusi Indonesia dan Iran, namun dalam pelaksanaannya dapat ditemukan beberapa permasalahan yang salah satunya adalah berkaitan dengan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya sejarah yang mencatat bahwa telah terjadi pemberhentian terhadapPresiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid di Indonesia dan Pemecatan Abol Hasan Bani Sadr di Iran oleh pemimpin Agung pada saat itu yaitu Imam Khumaini dengan proses mekanisme impeachment yang memiliki corak berbeda sesuai dengan konstitusi negara masing- masing.

Terdapat dua perspektif hukum ketatanegaraan (Constitutional Law)

dalam mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pertama,

dengan cara pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dan kedua dengan cara melalui mekanisme peradilan khusus (special legal proceeding) atau

“forum preveligiatum” yaitu forum yang diadakan khusus untuk melaksanakan

hal tersebut.3

Impeachment Presiden di Indonesia menggunakan istilah

“pemberhentian”. Proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

merupakan alat bagi lembaga legislatif untuk mengontrol lembaga eksekutif ketika pemerintahannya berjalan. Adakalanya terjadi penyimpangan dalam menjalankan praktek kenegaraan dan penyalahgunaan wewenang yang

3 Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahk amah Konstitusi dan Implik asinya dalam Sistem

Ketatanegaraan di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006) h. 24

(52)

dilakukan oleh pejabat negara yang dalam hal ini adalah Presiden sebagai Kepala Pemerintahan. Hal ini menjadi konsekuensi yang harus ditanggung oleh Indonesia karena menerapkan sistem Presidensiil dalam praktek ketatanegaraannya yang menempatkan Presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara.

a. Sebelum Amandemen UUD 1945

UUD 1945 (sebelum diubah) adalah UUD yang dikategorikan dalam sistem pemerintahan Presidensiil, namun UUD 1945 (sebelum diubah) tidak mengatur secara eksplisit dan detail mengenai mekanisme pemberhentian.

Pasal 8 UUD 1945 (sebelum diubah) hanya mengatur mengenai penggantian kekuasaan dari Presiden kepada Wakil Presiden jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya. Hal ini yang disebut masa kekosongan konstitusi (constitutionale vacuum) tentang mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam UUD 1945.4

Pada masa sebelum amandemen UUD 1945 terdapat konstitusi yang berlaku yaitu:

a. UUD 1945 yang berlaku pada 2 periode (18 Agustus 1945- 27 Desember 1945 dan 5 Juli 1959 hingga amandemen tahun 1999-2000);

b. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1949- 17 Agustus 1950);

4 Winarno Yudho, dkk, Mek anisme Impeachment dan Huk um Acara Mahk amah Konstitusi,

Referensi

Dokumen terkait

Menurut pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 baik sebelum maupun setelah amandemen, Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar, pasal 4 Ayat (1)

Sebelum amandemen, UUD 1945 telah memberikan kewenangan prerogatif kepada presiden secara luas, baik kaitannya dengan posisinya sebagai kepala negara maupun sebagai kepala

Pasal inilah yang kemudian mengilhami konstitusi-konstitusi negara lain dalam pengaturan impeachment termasuk Pasal 7A Perubahan Ketiga UUD 1945 yang menyatakan bahwa

Aturan prosedural tersebut kemudian dikaitkan dengan Pasal 7A UUD 1945 bahwa pertanggungjawaban Presiden setelah perubahan UUD 1945 merupakan pertanggungjawaban hukum,

BAB IV : Tinjauan Yuridis Terhadap Sistem Presidensial di Indonesia Sebelum dan Sesudah Amandemen UUD 1945, yang Meliputi Ketentuan Sistem Presidensial dalam UUD

Sesuai Undang-Undang Dasar 1945 presiden Republik Indonesia bertugas: (a) Menjalankan Undang- Undang Dasar 1945, (b) Menjalankan garis-garis besar haluan Negara, dan

Kalau sebelum amandemen UUD 1945 kekuasaan membentuk undang- undang berada di tangan Presiden, maka sesudah amandemen UUD 1945 kekuasaan membentuk undang-undang berada

2 Juli – Desember 2023 Page 5 mengilhami konstitusi- konstitusi negara lain dalam pengaturan impeachment termasuk Pasal 7A Perubahan Ketiga UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden