• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEWENANGAN PRESIDEN MEMBERIKAN GRASI KEPADA TERPIDANA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEWENANGAN PRESIDEN MEMBERIKAN GRASI KEPADA TERPIDANA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

KEWENANGAN PRESIDEN MEMBERIKAN GRASI KEPADA TERPIDANA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

Oleh Dede Agus Salam

Dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan bahwa “Indonesia negara hukum (rechstaat), Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kekuasaan negara, telah menegaskan bahwa konsep bernegara Republik Indonesia adalah konsep negara modern yang menganut sistem pemerintahan presidensial. Berkaitan dengan Kewenangan Presiden dalam pemberian Grasi kepada terpidana termaktub dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menempatkan kedudukan yang dimiliki Presiden pada posisi dua fungsi sangat penting dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, Pemberian grasi kepada terpidana merupakan kewenangan konstitusional Presiden yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 melalui Pasal 14 ayat (1), Pasal 11 Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, Pasal 1 Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan Pasal 27 Undang-Undang-Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Permasalahan yang timbul atas pemberian grasi adalah mengenai eksistensi Grasi dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Grasi tidak mengatur secara eksplisit yang merinci mengenai alasan dan batasan permohonan grasi yang diberikan oleh Presiden kepada terpidana, yang tersirat hanya mengatur mengenai prinsip-prinsip umum tentang grasi serta tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi. Untuk itu dalam rangka upaya penyelesaian dianggap perlu perbaikan pengaturan secara rinci dan jelas, hal ini dimaksudkan sebagai upaya agar Presiden dalam memutus mengabulkan atau menolak permohonan grasi kepada terpidana mempunyai dasar atau kriteria yang jelas dalam pemberian grasi.

Latar Belakang

Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan bahwa “Indonesia ialah negara berdasarkan hukum (rechstaat), tidak berdasarkan atas

kekuasaan belaka (machstaat). Dikaitkan dengan kalimat di atas arti negara hukum tidak terpisahkan dari pilarnya yaitu kedaulatan rakyat. Di samping itu para pendiri negara dalam membentuk

(2)

2 pemerintahan telah menentukan pilar lainnya, yaitu kedaulatan rakyat. Hal yang demikian mewujudkan perpaduan integral antara paham kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat.

Negara hukum, kekuasaan negara, hak asasi manusia, dan kekuasaan kehakiman, hal ini berkaitan pula dengan kewenangan Presiden sebagai Kepala Negara dalam pemberian Grasi. Sebagaimana diketahui bahwa sejak dahulu, grasi telah dikenal dan dipraktikkan oleh para Kaisar atau Raja pada masa monarki absolut, seperti misalnya pada zaman Yunani dan Romawi serta pada abad pertengahan di Eropa dan Asia. Kaisar atau Raja diangggap sebagai sumber dari segala kekuasaan termasuk di dalam kekuasaan bidang peradilan.1 Sedangkan dewasa ini pemberian grasi oleh Kepala Negara juga masih dipraktikkan oleh banyak negara. Demikian juga halnya di Indonesia, Kepala Negara yang mempunyai Hak Prerogratif memberikan grasi kepada terpidana tujuannya adalah kepentingan negara di mana para terpidana tersebut akan lebih cepat kembali ke masyarakat.

1 Nisfsu Sya’ban, Hak Presiden Dalam

Memberi Grasi, Amnesti, dan Rehabilitasi, (Jakarta: FH- UI, 1985), hal. 1.

Dalam Amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945, teori equality before the law (kesamaan di hadapan hukum baik bagi rakyat maupun pemerintah, tidak ada peradilan administrasi) termaktub dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Teori dan konsep equality before the law seperti yang dianut oleh Pasal 27 ayat (1) Amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tersebut menjadi dasar perlindungan bagi warga negara agar diperlakukan sama di hadapan hukum dan pemerintahan.

Sebagaimana diketahui, Grasi diberikan oleh Presiden dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara. Dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara, maka walaupun ada nasihat atau pertimbangan dari Mahkamah Agung, Grasi oleh Presiden pada dasarnya adalah bukan suatu tindakan hukum, melainkan suatu tindakan non-hukum berdasarkan hak preogratif seorang Kepala Negara. Dengan demikian Grasi bersifat pengampunan berupa mengurangi pidana atau memperingan pidana atau penghapusan

(3)

3 pelaksanaan pidana yang telah diputuskan oleh Mahkamah Agung.

Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Kendati pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana.

Konsepsi Negara Hukum dan Unsur-unsur Negara Hukum Indonesia

Pokok persoalan yang perlu dipahami adalah negara sebagai sarana untuk melindungi hak asasi manusia. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah hukum dasar positif di Indonesia, juga merupakan dasar hukum konstitusional bagi negara hukum Indonesia. Istilah negara hukum itu sendiri tidak terdapat dalam pembukaan, melainkan dalam pasal-pasalnya, yaitu Pasal 1 ayat (3) yang langsung dikaitkan dengan sistem pemerintahan negara. Adapun tujuan berdirinya negara Indonesia pada alinea 4 Undang-Undang

Dasar Tahun 1945 berbunyi : “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Undang-Undang Dasar atau hukum (tertinggi) adalah alat untuk mencari ketertiban dan untuk mencapai kesejahteraan sosial. Rumusan ini dipertegas dalam keterangan yang terdapat dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Roeslan Saleh berpendapat bahwa dengan memperhatikan penempatan fungsi Pancasila dalam Pembukaan, maka Pancasila merupakan grundnorm yang lebih luas dari pada arti Grund Norm menurut Hans Kelsen, karena meliputi seluruh norma kehidupan bangsa Indonesia.2 Sedangkan Padmo Wahyono berpendapat bahwa Pancasila menjadi landasan dasar kehidupan berkelompok (bernegara) bangsa Indonesia dan kaedah pokok fundamental

2

Roeslan Saleh, Penjabaran Pancasila

dan Undang-Undang Dasar 1945 Dalam

Perundang-Undangan, (Jakarta : Aksara Baru, 1979), hal 43.

(4)

4 negara.3 Inilah yang menjadi ciri atau unsur pada Pancasila. Di samping itu, perlu pula diketahui bahwa Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia juga merupakan ideologi negara.

Kekuasaan, Tugas dan Wewenang Presiden

Kekuasaan, wewenang dan tugas Presiden dalam negara demokrasi modern diatur secara rinci dalam Undang-Undang Dasar. Rincian kewenangan Presiden tersebut dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan Presiden agar tidak menyimpang. Dalam sistem Presidensial, Presiden mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai Kepala Pemerintahan dan sebagai Kepala Negara. Presiden sebagai Kepala Pemerintahan diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 baik sebelum atau sesudah amandemen. Kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara ditemukan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar Tahun 1945

3

Padmo Wahyono, Membudayakan UUD 1945, (Jakarta : Ind-Hild Co., 1991) hal 34. 35.

terutama dalam Pasal 10, 11, 12, 13, 14, dan 15.4

Sebagaimana yang tertera dalam Pasal 10 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi terhadap Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Dan Pasal 11 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menentukan bahwa Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 11 Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pasca amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ketentuan Pasal 11 dirubah menjadi tiga ayat, yakni ayat (1) yaitu Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakayat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.

4 Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah

UUD 1945 setelah Perubahan Keempat, (Jakarta: Pusat Studi Hukum FH-UI, 2002), hlm.17-20.

(5)

5 KEWENANGAN PEMBERIAN

GRASI OLEH PRESIDEN TERHADAP TERPIDANA

Sejarah dan Dasar Hukum Penerapan Grasi

Pemberian grasi atau pengampunan pada mulanya di zaman kerajaan absolut di Eropa adalah berupa anugerah Raja (vorstelijk gunst) yang memberikan pengampunan kepada orang yang telah dipidana, jadi sifatnya sebagai kemurahan hati Raja yang berkuasa. Tetapi setelah tumbuhnya negara-negara modern di mana kekuasaan kehakiman telah terpisah dengan kekuasaan pemerintahan atas pengaruh paham Trias Politica, yang mana kekuasaan pemerintahan tidak dapat sekehendaknya ikut campur ke dalam kekuasaan kehakiman, maka pemberian grasi berubah sifatnya menjadi suatu upaya koreksi terhadap putusan pengadilan, khususnya dalam hal mengenai pelaksanaannya.

Setelah UU No. 3 Tahun 1950 tentang Grasi tidak sesuai lagi dengan

sistem ketatanegaraan Indonesia yang berlaku pada saat ini dan substansinya sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat, maka lahirlah Undang-undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, yang diberlakukan mulai tanggal 22 Oktober 2002, dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 108. Sejak saat itu UU No. 3 Tahun 1950 tentang Grasi dinyatakan tidak berlaku lagi.

Dalam undang-undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi putusan pemidanaan yang dapat diajukan grasinya selain pidana mati dan penjara seumur hidup adalah pidana penjara yang ditentukan lamanya paling rendah 2 (dua) tahun. Berbeda dengan undang-undang grasi lama yang tidak membatasi lamanya pidana penjara yang dapat dimohonkan grasi. Oleh sebab itu dimungkinkan terjadi proses pengajuan grasi lebih lama dari masa hukuman seorang terpidana. Selain itu, tidak adanya batasan tersebut menyebabkan banyaknya permohonan grasi yang harus diproses.

Kedudukan Presiden sebagai Kepala Eksekutif dan Kepala Negara dan Mahkamah Agung dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia

(6)

6 Mencermati dan mengkaji tentang kekuasaan pemerintahan yang dilakukan oleh Presiden selalu menarik untuk di bahas karena Presiden merupakan pemegang kekuasaan tertinggi di Indonesia. Apabila dalam praktik ketatanegaraan yang terjadi, fenomena yang berjalan selama empat dekade terakhir ini menunjukkan kecenderungan pengaturan sitem bernegara yang lebih berat ke lembaga eksekutif. Posisi Presiden sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan yang tidak jelas batasan wewenangnya dapat berkembang ke arah yang negatif berupa penyalahgunaan wewenang.5

Penyelenggaraan Kekuasaan Pemerintahan secara umum dirumuskan dalam ketentuan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 4 ayat (1) menyebutkan bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Ditinjau dari teori pembagian kekuasaan, yang dimaksud kekuasaan pemerintahan adalah kekuasaan eksekutif. Sebagai kekuasaan eksekutif, penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan Presiden dapat

5

Anom Suryo Putra, Hukum Konstitusi Masa Transisi; Semiloka, Psikoanalisis dan Kritik Ideologi, Nuansa Cendekian, (Bandung: Nuansa Cendekian, 2003), hlm. 9.

dibedakan antara kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat umum dan kekuasaan penyelengaraan pemerintahan yang bersifat khusus. Kekuasaan penyelengaraan pemerintahan yang bersifat umum adalah kekuasaan penyelenggaraan administrasi negara. Presiden adalah pimpinan tertinggi penyelenggaraan administrasi negara. Penyelenggaraan administrasi negara meliputi lingkup tugas dan wewenang yang sangat luas, yaitu setiap bentuk perbuatan atau kegiatan administrasi negara. Lingkup tugas dan wewenang ini makin meluas sejalan dengan makin meluasnya tugas-tugas dan wewenang negara atau pemerintah.

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 juga memberikan kedudukan yang kuat kepada lembaga kepresidenan. Presiden adalah penyelenggara pemerintahan. Selain menjalankan kekuasaan eksekutif, Presiden juga menjalankan kekuasaan membentuk peraturan perundang-undangan, kekuasaan yang berkaitan dengan penegakan hukum (grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi) dan lain sebagainya. Walaupun telah ada perubahan terhadap Pasal 5 ayat (1) dan

(7)

7 Pasal 20 ayat (1) yang menggeser wewenang membentuk undang-undang dari Presiden ke Dewan Perwakilan Rakyat (Perubahan Pertama, 1999), tetapi wewenang Presiden membentuk peraturan perundang-undangan tetap kuat.

Dalam kaitannya dengan pemberian grasi kedudukan dan peran Mahkamah Agung sebagaimana ketentuan dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, mempunyai wewenang memberikan pertimbangan hukum kepada Presiden dalam permohonan grasi dan rehabilitasi. Selain itu juga dapat memberikan pertimbangan hukum atau saran kepada lembaga-lembaga negara Dan lemabaga pemerintah lainnya.

Dengan adanya peran serta Mahkamah agung dalam hal pertimbangan pemberian grasi ini, memberikan indikasi pembatasan terhadap otoritasi presiden. Sebagaimana diketahui, sistim presidensial yang dianut oleh negara Indonesia mempunyai kelemahan berupa kecenderungan terlalu kuatnya otoritas dan konsentrasi kekuasaan di tangan Presiden, dan dengan pembatasan

ini, hak preogratif Presiden tidak lagi bersifat mutlak.

Permohonan grasi kepada Presiden dapat diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Artinya, setelah suatu perkara selesai diputus oleh hakim, barulah dapat diajukan permohonan grasi. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah putusan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, dan pidana penjara paling rendah selama 2 (dua) tahun. Namun, terpidana yang biasanya mengajukan permohonan grasi adalah terpidana yang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.

Persyaratan dan Prosedur (Tata Cara), serta Proses Permohonan Grasi

Pada dasarnya setiap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap termasuk putusan pidana mati harus segera dilaksanakan eksekusinya meskipun si terpidana mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. Ketika Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 Tentang Grasi masih berlaku, permohonan grasi yang diajukan tepat dalam tenggat waktu yang ditentukan, terhadap hukuman mati, hukuman penjara, serta hukuman

(8)

8 kurungan, menunda pelaksanaan putusan pemidanaan, putusan pemidanaan baru dapat dilaksanakan setelah Keputusan Presiden menyangkut permohonan grasi tersebut sampai kepada Kepala Kejaksaan di wilayah hukum pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama atau pegawai yang diwajibkan menjalankan keputusan hakim.

Sedangkan berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950, permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati. Apabila si terpidana mati mengajukan permohonan grasi maka hukuman mati tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden menyangkut permohonan grasi tersebut diterima oleh terpidana. Sedangkan menyangkut batas waktu pengajuan permohonan grasi, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tidak memberikan batas waktu tertentu bagi terpidana.

Analisis Kewenangan Presiden dan Pertimbangan Mahkamah Agung dalam Pemberian Grasi kepada Terpidana

Kekuasaan-kekuasaan yang dimiliki oleh Presiden Republik Indonesia, memberikan pengertian yang relevan bagi pengembangan kehidupan kenegaraan dan pemerintahan Indonesia yang demokratis di masa mendatang. Dari kajian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa pendapat yang bahwa kekuasaan Presiden Repulik Indonesia adalah didasarkan pada cita negara integralistik sudah tidak lagi relevan dengan kebutuhan demokratisasi di masa mendatang. Konsep kekuasaan Presiden yang sangat besar, abstrak dan sentralistis sudah selayaknya disesuaikan dengan perkembangan konsep demokrasi di negara-negara modern yang menuntut diselenggarakannya kekuasaan secara rasional, terbatas dan dapat dipertanggungjawabkan. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kekuasaan negara, telah menegaskan bahwa konsep bernegara Republik Indonesia adalah konsep negara modern yang menganut sistem pemerintahan presidensial. Kekuasaan

(9)

9 Presiden dalam sistem pemerintahan ini hanya merupakan salah satu dari kekuasan alat kelengkapan negara yang berdiri sejajar dengan lembaga negara lainnya. Kekuasaan-kekuasan Presiden yang dimaksud adalah kekuasaan sebagai kepala negara, kekuasaan sebagai kepala pemerintahan dan kekuasaan legislatif. Kekuasaan ini dibatasi oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dalam penyelenggaraannya mendapatkan pengawasan dari DPR.

Jimly Asshiddiqie, 6 menjelaskan bahwa kewenangan Presiden dalam sistem presidensial yang biasa dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 di berbagai negara mencakup lingkup kewenangan di antaranya kewenangan yang bersifat judisial dalam rangka pemulihan keadilan yang terkait dengan putusan pengadilan, yaitu untuk mengurangi hukuman, memberikan pengampunan, ataupun menghapuskan tuntutan yang terkait erat dengan kewenangan pengadilan. Dalam sistem parlementer yang mempunyai kepala negara, ini biasanya mudah dipahami karena adanya peran simbolik yang berada

6 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan

Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, (Yogyakarta, FHUII, 2002), hlm. 172.

di tangan kepala negara. Tetapi dalam sistem presidensial, kewenangan untuk memberikan grasi, abolisi dan amnesti itu ditentukan berada di tangan Presiden.

Dalam kaitan itu adalah kewenangan pemberian grasi kepada terpidana merupakan kewenangan konstitusional Presiden yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 melalui Pasal 14 ayat (1). Pendapat Yusril Ihza Mahendra, yang mengatakan bahwa kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara telah dihapuskan pasca amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 merupakan suatu hal yang tidak tepat. Meskipun Penjelasan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 telah dihapuskan pasca dilakukannya amandemen, hal ini tidak berarti bahwa kewenangan Presiden sebagai Kepala Negara bisa ditiadakan begitu saja dan secara otomatis membuat Keppres Pemberian Grasi menjadi suatu Keputusan Tata Usaha Negara.

Dalam lingkungan Mahkamah Agung, terdapat empat lingkup peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Sebelumnya, administrasi Peradilan Umum berada di

(10)

10 bawah Departemen Kehakiman, administrasi Peradilan Agama berada di bawah Departemen Agama, dan Peradilan Militer di bawah organisasi tentara. Namun kini, keempat lingkup peradilan tersebut berada di bawah satu atap, yaitu Mahkamah Agung. Hal ini seperti tercantum dalam Pasal 24 ayat (2) Amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang berbunyi: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Hal senada dituangkan juga dalam Pasal 2 Undang-undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 10 ayat (2) yang lebih spesifik berbunyi: “Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan dalam lingkup Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara”.

Permasalahan yang Timbul dan Upaya Penyelesaian

Pokok permasalahan mengenai eksistensi Grasi dalam undang-undang

tidak mengatur secara eksplisit yang merinci mengenai alasan Presiden atas pemberian grasi kepada terpidana, sedangkan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, hal ini merupakan kekuasaan Presiden bidang yudikatif yang berwenang memberikan grasi, abolisi, amnesti dan rehabilitasi. Kekuasaan ini sering juga disebut dengan kekuasaan Prerogratif seorang Presiden.

Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, hanya mengatur mengenai prinsip-prinsip umum tentang grasi serta tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi. Ketentuan mengenai tata cara tersebut dilakukan dengan penyederhanaan tanpa melibatkan pertimbangan dari instansi yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana. Untuk mengurangi beban penyelesaian permohonan grasi dan mencegah penyalahgunaan permohonan grasi, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai pembatasan putusan pengadilan yang dapat diajukan grasi paling rendah 2 (dua) tahun serta ditegaskan bahwa permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan, kecuali terhadap putusan pidana mati. Di samping itu, ditentukan pula bahwa permohonan grasi hanya dapat diajukan 1

(11)

11 (satu) kali, kecuali untuk pidana tertentu dan dengan syarat tertentu pengajuan permohonan grasi dapat diajukan 1 (satu) kali lagi. Pengecualian tersebut terbuka bagi terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut, atau bagi terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima.

Kesimpulan

Berikut ini akan disampaikan mengenai kesimpulan dari penelitian yang telah penulis paparkan, sebagai berikut : 1. Dasar atau kriteria kewenangan

Presiden dalam pemberian Grasi kepada terpidana termaktub dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menempatkan kedudukan Presiden pada posisi sangat penting dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Itu terlihat dengan dimilikinya dua fungsi penting oleh Presiden, yaitu fungsi sebagai kepala negara dan fungsi sebagai kepala pemerintahan. Untuk itu, kekuasaan

yang dimiliki oleh Presiden menembus pada area kekuasaan-kekuasaan yang lain, seperti kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudisial.

Dalam praktiknya kekuasaan Presiden Republik Indonesia sebagai kepala negara disebut dengan istilah “Hak Prerogatif Presiden” atau Hak Mutlak yang dimiliki Presiden bersifat mandiri diartikan sebagai kekuasaan penuh dan hak istimewa Presiden yang tidak dapat diganggu oleh lembaga negara tertentu. Pemberian grasi kepada terpidana merupakan kewenangan konstitusional Presiden yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 melalui Pasal 14 ayat (1), hal ini merujuk pula pada Pasal 11 Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang menyatakan Presiden memutus permohonan Grasi setelah mendengar pertimbangan Mahkamah Agung, selanjutnya dalam Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, menyebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah salah satu kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dan Pasal 27 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

(12)

12 Kehakiman, yang berbunyi: “Mahkamah agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum pada lembaga negara dan lembaga pemerintah apabila diminta”.

1. Permasalahan yang timbul atas pemberian grasi adalah mengenai eksistensi Grasi dalam undang-undang tidak mengatur secara eksplisit yang merinci mengenai alasan Presiden atas pemberian grasi kepada terpidana, selanjutnya substansi dalam pasal-pasal Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi hanya mengatur mengenai prinsip-prinsip umum tentang grasi serta tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi, sedangkan batasan-batasan dan alasan-alasan permohonan grasi oleh terpidana tidak diatur.

2. Upaya penyelesaian pemberian grasi oleh kepala negara kepada terpidana selayaknya dilatarbelakangi oleh hal-hal, seandainya dipandang adanya kekurang layakan dalam penerapan hukum, maka pemberian grasi dalam hal ini adalah untuk memperbaiki penerapan hukum, seandainya dipandang bahwa para terhukum sangat dibutuhkan negara atau pada mereka

terdapat penyesalan yang sangat mendalam, maka dalam hal ini pemberian grasi adalah demi kepentingan negara. Pertimbangan pemberian grasi kepada si terhukum lebih dititikberatkan pada memberi penilaian kembali terhadap putusan hakim, dalam hal ini putusan tersebut dinilai kembali apakah putusan tersebut telah sesuai dengan kesalahan yang terbukti dilakukan oleh si terhukum atau apakah putusan tersebut ternyata terlalu berat dibandingkan dengan keadaan atau situasi pada saat putusan tersebut dijatuhkan.

3. Pemohon atau terpidana yang mengajukan grasi adalah sebagai warga negara yang berhak meminta ampun atas kesalahannya kepada Presiden sebagai pemimpin negara. Meskipun tidak tercantum dalam KUHP, namun grasi dapat menggugurkan hak negara untuk menjalankan pidana.

Saran

Saran-saran yang dapat penulis kemukakan berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Setelah diperhatikan, peraturan mengenai grasi yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 dirasa perlu

(13)

13 diperbaiki. Undang-undang tersebut tidak mengatur pemberian grasi kepada terpidana dengan jelas batasan waktu maksimal pengajuan dan alasan-alasan serta batasan-batasan bahwa grasi diproses dan diputuskan apakah dikabulkan atau ditolak. Undang-undang grasi tersebut hanya menyebutkan grasi kedua dapat diajukan dua tahun setelah grasi pertama. Grasi juga dapat diajukan oleh terpidana maupun keluarga. Oleh 2. Para pihak yang berperan dibalik

permohonan grasi seperti pengadilan pada tingkat pertama, Mahkamah Agung, bahkan sampai Presiden, agar dapat memproses permohonan grasi secara sungguh-sungguh, sehingga grasi tidak hanya dijadikan alasan untuk menunda atau mengulur pelaksanaan eksekusi, khususnya dalam hal eksekusi pidana mati.

3. Grasi sebenarnya dapat dijadikan sebagai lembaga rekoveri untuk mengkoreksi “kesalahan-kesalahan” dalam penyelenggaraan hukum.

Meskipun sudah ada lembaga peninjauan kembali yang dapat digunakan oleh terpidana, namun grasi yang berada diluar ranah hukum, dapat dijadikan Presiden sebagai sarana untuk mengkoreksi dan menunjukkan kearifan hukumnya. Sebagai negara berkembang tingkat kehati-hatian dan kontrol terhadap pelaksana hukumnya mengenai penerapan grasi, jangan sampai terjadinya kekeliruan dalam pengambilan keputusan oleh Presiden.

(14)

14

DAFTAR PUSTAKA

A. Peraturan Perundang-undangan

Indonesia. Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman. UU No. 48 Tahun 2009. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Lembaran Negara Nomor 108 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4358).

---. Undang-Undang tentang Mahkamah Agung. UU No. 5 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Lembaran Negara Nomor 9, Tambahan Lemaran Negara Nomor 4359).

---. Undang-Undang tentang Grasi. UU No. 22 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Lembaran Negara Nomor 108, Tambahan Lemaran Negara Nomor 4234).

B. Buku

Asshiddiqie, Jimly. “Konsolidasi Naskah

UUD 1945 Setelah

Perubahan Keempat.”

Jakarta: FH-UI, 2002.

---.“Konstitusi dan Konstitusionalisme”. Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

Basah, Sjahran, “Perlindungan Hukum

Terhadap Sikap Tindak

Administrasi Negara”.

Alumni: Bandung, 1992. Daud Busroh, Abu, Abubakar Busro,

“Asas-asas Hukum Tata

Negara. Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1985.

De Vos, Piere. “Sebuah pelajaran singkat tentang grasi Presiden.” http. translate.

googleusercontent.com/transl ate, 13 Januari 2010.

Effendie Lotulung, Paulus. “Mengkaji Kembali Pokok-pokok Pikiran Pembentukan Peradilan Tata

Usaha Negara”. Jakarta:

LLP-HAN, 2003.

Ilyas, Jazim. “Implementasi Kekuasaan

Pemerintah.” Semarang:

UNDIP, 2008.

Kartanegara, Satochid, “Hukum Pidana Bagian Dua.” Jakara: Balai Lektur Mahasiswa, 1975 Kanter, E.Y. dan S.R. Sianturi, “Asas-asas

Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya.,” Jakarta: Storia Grafika, 2002.

(15)

15 Kamirsa, “Kamus Bahasa Indonesia.”.

Jakarta: Ghalia, 2001.

Kusnadi, Moh. dan Harmaily Ibrahim. “Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia.” Jakarta: CV. Sinar Bakti, 1983.

M.P. Pangaribuan, Luhut, “Hukum Acara Pidana, Surat-Surat Resmi di Pengadilan Oleh Advokat”. Jakarta : Penerbit Djambatan, 2002.

P. , Darwan, “Hukum Acara Pidana Dalam Praktik”, Jakarta : Penerbit Djambatan, 2002.

Purbacaraka, Purnadi dan A. Ridwan Halim, “Filsafah Hukum Pidana dalam Tanya Jawab.” Jakarta: Penerbit Rajawali, 1982.

Rahardjo, Satjipto. “Ilmu Hukum.” Bandung, Citra Aditya, 1996. Saleh, Roeslan. “Penjabaran Pancasila

dan Undang-Undang Dasar

1945 Dalam

Perundang-Undangan:, Jakarta : Aksara Baru, 1979.

Simorangkir, JCT. “Hukum dan Konstitusi

Indonesia II”. Jakarta:

Rajawali Press, 1982.

Suny, Ismail. “Mekanisme Demokrasi

Pancasila” Jakarta, Aksara

Baru, 1981.

Suryo Putra, Anom . “Hukum Konstitusi

Masa Transisi; Semiloka,

Psikoanalisis dan Kritik

Ideologi, Nuansa Cendekian”. Bandung: Nuansa Cendekian, 2003.

Sya’ban, Nisfsu. “Hak Presiden Dalam Memberi Grasi, Amnesti, dan

Rehabilitasi.” Jakarta: FH-UI, 1985.

Tahir Azhary, Muhammad. “ Negara Hukum”. Jakarta : Unipress, 1992.

Wijaya, Rendi. “Posisi Grasi dalam Sistem Hukum Nasional.” Jakarta: Posted, 2012.

Wahyono, Padmo. “Membudayakan UUD 194”. Jakarta : Ind-Hild Co., 1991.

---. “Negara Republik Indonesia”. Jakarta : Rajawali Press, 1982.

C. Lain-lain

Soemantri M., Sri. “ Kemandirian

Kekuasaan Kehakiman

Sebagai Prasyarat Negara Hukum Indonesia”. Makalah,

Seminar.” 50 Tahun Kemandirian Kekuasaan Kehakiman di Indonesia.” Yogyakarta: FH-UGM, 1995. http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Lemb aga_Keperesidenan_Indonesi a, 01 Oktober 2012.

Referensi

Dokumen terkait

Lembar Pertama serta bukti transfer bank sebagai bukti telah dilunasinya hutang, kemudian Bukti Kas Keluar Lembar Pertama diarsipkan secara permanen sesuai nomor,

Dalam melakukan analisis tidak hanya untuk keperluan pemeriksaan pola sebaran data, tetapi juga untuk pendugaan parameter dan Return Level.Dalam menganalisis Return

Kondisi ini diduga terjadi karena adanya perubahan pola arus menurut musim yang mempengaruhi karakter massa air lapisan permukaan pada masa tersebut (Wyrtki 1961). Kondisi

Proses pada kolom distilasi jenis SHOF digunakan untuk mengkaji kemampuan dari strategi MPC dalam pengontrolan proses multivariabel untuk meregulasi variabel proses,

2014 Berdasarkan pada tabel tersebut, maka dapat dilihat bahwa pada dasarnya karyawan yang ada pada perusahaan ini adalah yang memiliki pendidikan SD dan

merupakan langkah awal dan yang menentukan keberhasilan suatu organisasi atau perusahaan, karena tenaga kerja merupakan faktor yang paling penting dalam suatu

Semakin baik budaya organisasi yang ada di perusahaan, maka akan semakin tinggi pula tingkat kepuasan kerja pada karyawan, artinya semakin baik budaya organisasi yang dimiliki

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan: 1) kualitas proses pembelajaran dan 2) keterampilan menulis karangan eksposisi pada siswa kelas VII A SMP Negeri 2