• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TINJAUAN UMUM PERIHAL IMPEACHMENT

B. Impeachment di Republik Islam Iran

1. Mekanisme Impeachment di Republik Islam Iran

37 Harjono dan Maruar Siahaan, Mek anisme Impechment dan Huk um Acara Mahk amah

Konstitusi, h. 24

38 Ahmad Roestandi, Mahk amah Konstitusi dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Sekretariat

Imam Khumaini memperhatikan bahwa ada tiga fase perkembangan dalam sejarah Iran modern, yaitu:

1. Fase pertama adalah fase dimana yang berkuasa adalah dua orang Syah, yaitu Reza Syah Pahlevi dan Mohammed Reza Syah Pahlevi, terutama yang telah terjadi sebelum tahun 1963. Dalam kurun waktu ini telah terjadi suatu proses sekularisasi, karena kedua penguasa itu berusaha keras untuk mengadakan modernisasi di Iran dengan mempergunakan paradigma Barat. Apa yang dilakukan Khumaini saat itu adalah mengembangkan sikap oposisi terhadap proses sekularisasi itu dan menuntut agar para ulama atau Fuqaha dikembalikan kepada kedudukan mereka sebagai orang-orang yang mengawasi apa yang terjadi di dalam majelis (parlemen) sesuai dengan Pasal 2 Konstitusi 1906-1909. Semua lembaga budaya yang terdapat di Iran harus berada di bawah pengawasan kaum Fuqaha itu.

2. Fase kedua terjadi ketika sedang hebat-hebatnya dilaksanakan Revolusi Putih itu antara 1963 dan 1979. Salah satu tujuan kebijakan Syah di kurun waktu ini adalah mengkonsolidasikan pengaruh dan kekuasaannya, terutama disintegrasi. Sebagai akibatnya, Khumaini makin memperhebat kampanyenya dalam menentang perubahan-perubahan sosial yang dilakukan Syah. Sebagai akibatnya dia ditahan, sedangkan para pengikutnya di berbagai kota besar ditindas dengan kejam. Para ulama menuntut agar Khumaini dibebaskan, sehingga pada akhirnya dia dibebaskan kembali, Akan tetapi, kebebasan ini

65

menjadikan Khumaini lebih bersemangat dalam menentang pemerintah. Terutama, ketika itu, Syah memberikan kekebalan hukum kepada warga negara Amerika Serikat, sehingga oleh Khumaini hal ini dianggap merendahkan kedaulatan Iran. Karena kritikan itu, dia ditangkap kembali Oktober 1964. Dia dibuang ke luar negeri, mula-mulanya ke Turki, kemudian ke Irak. Dalam kurun waktu ini, Khumaini semakin khawatir melihat kian mantapnya kekuasaan pihak eksekutif dalam memerintah Iran yang Islam itu. 39

3. Fase ketiga adalah munculnya kekuasaan mutlak dari wilayatul faqih

itu. Perkembangan di dalam negeri Iran yang penuh tantangan, telah menjadikan Khumaini meminta kekuasaan yang lebih mutlak lagi, sehingga tidak perlu lagi meminta persetujuan para ulama yang lain, tidak memerlukan referendum untuk menentukan persetujuan rakyat, dan juga bahkan tidak boleh ikut atau dihambat oleh konstitusi manapun.

Kekuasaan tertinggi di Republik Islam Iran berada di tangan Imam/pemimpin spiritual. Semasa hidupnya, Ayatullah Khumaini selain berkedudukan sebagai Imam/pemimpin spiritual, juga sebagai wilayatul faqih atau vilayat-i faqih. Kekuasaan pemimpin tidak diperoleh melalui suatu pemilihan umum, tetapi melalui suatu aklamasi dari rakyat (popular acclamation). Ayatullah Khumaini, misalnya muncul sebagai penguasa

39 A. Rahman Zainuddin, Afadlal, dkk, Syi’ah dan Politik di Indonesia sebuah penelitian, Cet ke-1, (Bandung: Penerbit Mizan Anggota IKAPI, 2000), h.48

tertinggi karena dinilai berhasil memimpin revolusi Islam yang menggulingkan monarki Syah Iran dan membentuk sebuah republik Islam,

sehingga Ayatullah Khumaini juga mendapat gelar sebagai “pemimpin

Revolusi Islam Iran”.40

Dalam pasal 113 disebutkan, Presiden bertanggung jawab dalam penerapan UUD, pengaturan ketiga cabang kekuasaan negara, dan memimpin cabang eksekutif, kecuali dalam hal-hal yang secara langsung menjadi tanggung jawab Imam. Hal ini menunjukkan bahwa setelah imam atau pemimpin Revolusi Islam atau Dewan Pimpinan, kekuasaan tertinggi negara berada di tangan Presiden. Presiden, berdasarkan pasal 114, dipilih untuk masa jabatan empat tahun, dan dipilih secara langsung melalui pemilihan umum. Presiden hanya dapat dipilih kembali untuk masa jabatan lagi secara berurutan.41

Secara teoritis, kandidat-kandidat presiden yang dicalonkan di Iran

haruslah terlebih dahulu disaring oleh rahbar dan majelis

mudarrisin sebelum nama mereka disiarkan oleh Dewan Pelindung

Konstitusi. Seorang kandidat presiden harus memenuhi beberapa

persyaratan yang ditetapkan oleh konstitusi Iran seperti asli Iran, warga Negara Iran, memiliki kemampuan administrasi dan kepemimpinan, memiliki masa lalu yang baik, beriman, dan teguh pada landasan Republik

40 Riza Sihbudi, Biografi Politik Imam Khomeini, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,

2001), h. 82

67

Islam Iran dan mazhab resmi Negara. Setelah lulus seleksi, maka diumumkanlah kandidat dan ditetapkan sebagai calon presiden.42

Kemudian diadakanlah pemilihan umum yang diikuti oleh seluruh rakyat Iran untuk memilih presiden dari calon-calon tersebut. Calon yang mendapatkan suara mayoritas rakyat, maka ditetapkan sebagai presiden untuk masa jabatan empat tahun. Dan jika masa jabatannya telah habis, ia diperbolehkan mengikuti pemilihan presiden sekali lagi. Hal-hal tersebut di atas disebutkan secara eksplisit di dalam UUD Iran :

“Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat untuk masa jabatan empat tahun. Dia secara berturut-turut diperbolehkan mengikuti mengikuti

pemilihan kembali sekali lagi.” (UUD RII Pasal 114)

“Presiden harus dipilih di antara tokoh agama dan politisi yang

memiliki kualifikasi sebagai berikut: asli Iran, warga negara Iran, memiliki kapasitas administrasi dan kepemimpinan, memiliki masa lalu yang baik, jujur, bertakwa, beriman, dan berpegang teguh pada landasan Republik

Islam Iran dan mazhab resmi Negara.” (UUD RII Pasal 115)

“Kandidat presiden akan secara resmi mengumumkan pencalonan

mereka sebelum pergelaran pemilihan. Perlengkapan yang berhubungan dengan kebutuhan pemilihan presiden ditetapkan sesuai peraturan yang berlaku. (pasal 116)43

42Candiki Repantu “Wilayah Al-Faqih Dalam Konstitusi Iran”. Artikel ini diakses pada 06 Juni 2016 dari: https://abuthalib.wordpress.com/page/11/, Lihat UUD RII, Pasal 113 sebagai

berikut : “Next to the Leader, the President shall be the highest official State authority who is

responsible for the implementation of the Constitution and, as the Chief Executive, for the exercise of the executive powers, with the exception of those matters that directly relate to the Leader. (Pasal 113)

43 Candiki Repantu “Wilayah Al-Faqih Dalam Konstitusi Iran”. Artikel ini diakses pada 06 Juni 2016 dari: https://abuthalib.wordpress.com/page/11/, Lihat UUD RII, Pasal 114 sebagai berikut : The President shall be elected by the direct vote of the people for a four-year term of office. His consecutive re-election shall be allowed only for one term. (Pasal 114). Dan lihat juga: Pasal

117 UUD Iran menyebutkan : “The President shall be elected by an absolute majority of votes cast.

However, if in the first round none of the candidates secures such majority, a second round of elections shall be held on the Friday of the following week. Only two of the candidates, who secure the highest number of votes in the first round, shall participate in the second round. But in case one or more of such candidates wish to withdraw from the elections, two candidates from among the

rest, who secured the highest number of votes in the first round, shall be introduced for election.”

Proses pemilihan umum yang dilangsungkan untuk menetapkan Presiden melalui suara terbanyak merupakan elemen penting demokrasi. Jika dalam putaran pertama tidak ada kandidat yang mendapatkan suara mayoritas, maka diadakan pemilihan putaran kedua. Hanya dua kandidat yang memiliki suara terbanyak pada putaran pertama yang berhak mengikuti pemilihan pada putaran kedua. Dan siapa yang memperoleh suara mayoritas maka ialah yang terpilih dan ditetapkan sebagai presiden.

Sebagai pemimpin yang dipilih oleh rakyat, Presiden lazimnya bertanggung jawab kepada rakyat, yakni kepada parlemen yang juga dipilih rakyat. Akan tetapi, menurut pemahaman para bapak revolusi Islam Iran, di dalam sistem kepemimpinan Islam wewenang parlemen untuk meminta pertanggungjawaban Presiden bukan tidak terbatas. Pada akhirnya Presiden harus bertanggung jawab kepada imam, atau yang di dalam sistem ini disebut sebagai Wali faqih. Wali faqih, melalui Dewan Wali dalam sistem pemerintahan Republik Islam Iran, bukan saja memiliki wewenang untuk mengesahkan atau tidak mengesahkan calon Presiden, ia sekaligus berwenang untuk memecat Presiden dalam hal Presiden dianggap tidak kapabel, setelah mendapatkan rekomendasi Mahkamah Agung. Kekuasaan wali faqih dalam hal seperti ini pernah ditetapkan oleh Ayatullah Khumaini ketika ia memecat Abol Hasan Bani Sadr, Presiden saat itu.44

44 Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini Filsafat Politik Islam, Cet.1, (Bandung: Mizan,

69

Abol Hassan Bani Sadr adalah Presiden Iran pertama yang dipilih oleh rakyat pasca Revolusi Islam Iran. Ia lahir di Tehran yang merupakan Ibu Kota Iran pada tanggal 22 Maret 1933. Aboul Hassan Bani Sadr atau dengan nama singkatnya Bani Sadr bekerjasama dengan Imam Khumaini dalam mendirikan Pemerintahan Islam Iran pasca Revolusi Iran tahun 1979 dan setelah tumbangnya Dinasti Pahlevi. Pada 1980 ia membentuk pemerintahan koalisi untuk memerintah Iran.45

Terjadi hal yang menarik pada saat perang antara Iran dan Irak pasca revolusi 1979, yaitu telah terjadi skandal antara para petinggi Amerika Serikat dan Iran, yang dalam skandal ini memuat perjanjian pertukaran sandera dan senjata, dan tetap menyandera sisanya selama pemilu berlangsung untuk merendahkan Carter dan memenangkan Reagan ketika itu, akhirnya sandera dibebaskan pada 20 Januari 1981, hari dimana pelantikan Reagan berlangsung.46

Bani Sadr memulai masa jabatannya pada 4 Februari 1980,47 kemenangannya dalam pemilihan umum yang secara langsung dipilih langsung oleh rakyat Iran, namun Imam Khumaini dan beberapa ulama dari awal tidak memilih kepada Bani Sadr. Bahkan dalam keterangannnya

45 Wikipedia Bahasa Indonesia. Artikel ini diakses pada 06 Juni 2016 dari:

https://id.wikipedia.org/wiki/Abolhassan_Banisadr.

46 Amy Goodman & David Goodman, Perang Demi Uang, (Bandung, Mizan, 2005), h. 20

47 Wikipedia Bahasa Indonesia. Artikel ini diakses pada 06 Juni 2016 dari:

terhadap kawannya Imam Khumaini mengatakan bahwa ia sudah salah karena Ia telah melantiknya sebagai Presiden.48

Bani Sadr dalam menjalankan jabatannya sebagai Presiden tidak berjalan dengan mulus, pasalnya masa jabatannya ditandai dengan krisis terhadap Amerika Serikat dan serangan Irak ke Iran. Bani Sadr mendapat dakwaan pada 21 Juni 1981 oleh Parlemen Iran karena gerakannya. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya pemecatan/ impeachment terhadap Presiden Bani Sadr oleh Imam Khumaini sebagai Pemimpin Tertinggi Iran.

Pemecatan secara langsung oleh Imam Khumaini terhadap Presiden Bani Sadr, karena berbagai dakwaan yang dituduhkan kepada Presiden Bani Sadr, yaitu:

1) Bani Sadr merupakan seorang pengkhianat di Iran karena telah bersekutu dengan Amerika Serikat

2) Tidak mendengarkan ucapan dan nasihat imam Khumaini untuk memisahkan kelompok yang fasid dengan kaum mujahidin Iran.

3) Tidak memberikan senjata kepada para pembela Islam.

4) Bani Sadr dianggap melakukan perlawanan terhadap para ulama. 5) Telah melakukan kebohongan besar.49

48 Abi Tanah Bumbu Batulicin. Artikel ini diakses pada 06 Juni 2016 dari:

http://dpdabitanahbumbu.blogspot.co.id/2014/10/menelisik-sikap-imam-khomeini-terhadap.html. Lihat pula sumber aslinya: Penuturan Almarhum Hujjatul Islam Sayid Ahmad Khomeini, anak Imam Khomeini ra, Pa be Pa-ye Aftab; Gofteh-ha va Nagofteh-ha az Zendegi Imam Khomeini ra,

Cet. 6, (Tehran: Moasseseh Nashr-e Panjereh, 1387), dan lihat juga: http://indonesian.irib.ir/islam/hikayat/item/85077-menelisik-sikap-imam-khomeini-terhadap-bani-sadr

49 Abi Tanah Bumbu Batulicin. Artikel ini diakses pada 06 Juni 2016 dari:

http://dpdabitanahbumbu.blogspot.co.id/2014/10/menelisik-sikap-imam-khomeini-terhadap.html. Lihat pula sumber aslinya: Penuturan Almarhum Hujjatul Islam Sayid Ahmad Khomeini, anak

71

Berdasarkan hal tersebut di atas, Imam Khumaini memecatnya dari jabatan sebagai Panglima tertinggi seluruh angkatan bersenjata lalu menandatangani keputusan parlemen.

2. Kewenangan Wilayatul Faqih dalam Proses Impeachment di Iran Kepemimpinan tertinggi di negara Iran dipegang oleh seorang Wali Faqih atau ulama yang memiliki kriteria tertentu, diantaranya; memiliki integritas dan kesucian akhlak yang dibutuhkan untuk memimpin umat Islam, memiliki keilmuan yang mampu memberikan fatwa dalam urusan agama, memiliki visi politik dan sosial, kebijaksanaan dan keberanian, kemampuan administrasi dan kemampuan yang memadai.50

Republik Islam Iran memiliki sistem pemerintahan yang berasaskan

konstitusi yang dinamakan dengan “Qanun-e Asasi”(Undang-Undang Dasar). Republik Islam Iran sebagaimana yang tercantum dalam konstitusinya adalah negara Syiah modern karena konstitusinya mengacu pada konsep wilayah al-faqih Imam Khumaini. Pada bagian Mukaddimah konstitusi tersebut tertulis bahwa “rencana pemerintahan Islam yang berdasarkan wilayah al-faqih yang

disarankan oleh Imam Khumaini” dan dinyatakan bahwa:

Imam Khomeini ra, Pa be Pa-ye Aftab; Gofteh-ha va Nagofteh-ha az Zendegi Imam Khomeini ra,

Cet. 6, (Tehran: Moasseseh Nashr-e Panjereh, 1387), dan lihat juga: http://indonesian.irib.ir/islam/hikayat/item/85077-menelisik-sikap-imam-khomeini-terhadap-bani-sadr

50 A. Rahman Zainuddin, Afadlal, dkk, Syi’ah dan Politik di Indonesia sebuah penelitian, Cet ke-1, (Bandung: Penerbit Mizan Anggota IKAPI, 2000), h. 62, lihat pula Khomeini, Sistem Pemerintahan Islam, terjemahan Muhammad Anis Maulachela, Cet ke-1, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002), 56

“Berdasarkan prinsip-prinsip wilayah al-amr dan kepemimpinan yang terus-menerus (Imamah). Konstitusi tersebut harus mempersiapkan lahan bagi terwujudnya kepemimpinan bagi seorang Faqih yang

memenuhi persyaratan dan diakui sebagai pemimpin oleh rakyat”. Rumusan tersebut menyatakan bahwa peran ulama yang memegang tampuk kekuasaan diidentifikasi sebagai wilayah al-amr dan jabatan tertingginya sebagai “kepemimpinan”.51

Sebagai suatu aturan umum, seseorang agar bisa terpilih untuk memegang kedudukan ini, dan untuk menjadi representasi tertinggi dari pemerintahan Islam, semestinya mempunyai syarat-syarat berikut52:

a. Ia harus orang yang saleh dan mempunyai berbagai kualitas penting untuk menjadi mujtahid mutlak, yakni seorang mujtahid peringkat pertama yang sepenuhnya berkompeten untuk menguraikan hukum secara terperinci, dan sampai kepada keputusan-keputusan mandiri dalam persoalan ini.

b. Kecenderungan pemikirannya seperti yang diturunkan dari tulisan-tulisan dan diskusi-diskusinya, haruslah menampakkan bahwa ia memiliki keyakinan yang kokoh terhadap pemerintahan Islam dan menyadari pentingnya membela pemerintahan Islam.

c. Otoritas keagamaannya harus diterima dan diakui sesuai dengan

tradisi-tradisi Syi’ah sepanjang sejarah.

51 Didin Saefuddin, Biografi Intelek tual 17 Tok oh Pemik iran Modern dan Posmodern

Islam, (Jakarta: Grasindo, 2003), h. 124-126

52 Sayyid Muhammad Baqir Ash-Shadr, Sistem Politik Islam, (Jakarta: Lentera, 2001), Cet ke-1, h. 106-109.

73

d. Dia harus memberi dukungan kepada mayortitas anggota-anggota dewan konsultatif wilayatul faqih. Di samping itu, sejumlah “para pelayan agama” (religious workers) yang jumlahnya ditentukan dalam konstitusi, seperti para ulama, pelajar-pelajar pusat keagamaan, imam shalat berjamaah, para khatib, dan pemikir-pemikir Islam harus mendukung syarat-syarat keterpilihannya.

e. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, orang-orang tersebut merupakan para wakil yang sah dari pemerintahan Islam. Secara hukum, mereka mempunyai hak-hak yang sama dalam persoalan ini. Setiap individu mempunyai hak memilih dan mengambil bagian dalam berbagai aktivitas politik. Mereka juga bebas menjalankan upacara-upacara kegamaan mereka. Adalah tugas pemerintah guna memberikan kebebasan yang serupa kepada penduduk non-Muslim yang setia kepada pemerintah, dan bekerja sama dengannya dalam kerangka doktrin yang umum.53

Dewan pimpinan yang terdiri dari para Fuqaha (bentuk jamak dari

Faqih) yang memenuhi syarat-syarat tersebut di atas akan memegang tanggung jawab itu. Sementara dalam pasal 107 disebutkan jika seseorang ahli agama memenuhi syarat-syarat yang disebutkan dalam pasal 5 sebagaimana halnya otoritas keagamaan yang menonjol (Marja’i) dan pemimpin Revolusi Ayatullah

53 Sayyid Muhammad Baqir Ash-Shadr, Sistem Politik Islam, h. 106-109. Lihat pula:

Humas Kedutaan Besar Republik Islam Iran Undang-Undang Republik Islam Iran, (Jakarta: Humas Keduataan Besar RII, tt), h. 62, di dalamnya menjelaskan tentang Persyaratan dan kualifikasi utama pemimpin: a) Keilmuan, sebagaimana yang dituntut bagi tugas -tugas mufti (pemeberi fatwa) dalam berbagai bidang fiqih. b) Adil, fatwa, sebagaimana yang dituntut bagi kepemimpinan Umat Islam. c) Berwawasan politik dan sosial, bijaksana, berani, mampu dalam pemerintahan, dan ca kap dalam kepemimpinan.

al-‘Uzma Imam Khumaini. Pemimpin ini berkedudukan wilayatul faqih apabila tidak demikian halnya maka tiga atau lima Marja’i yang memenuhi syarat-syarat kepemimpinan akan dipilih untuk jabatan anggota dewan pimpinan dan akan diperkenalkan kepada rakyat.54 Syarat tersebut terdapat dalam pasal 109.

Setelah imam atau pemimpin Revolusi Islam atau Dewan Pimpinan, kekuasaan tertinggi negara berada di tangan Presiden. Dalam pasal 113 disebutkan, Presiden bertanggung jawab dalam penerapan UUD, pengaturan ketiga cabang kekuasaan negara, dan memimpin cabang eksekutif, kecuali dalam hal-hal yang secara langsung menjadi tanggung jawab Imam. Presiden, berdasarkan pasal 114, dipilih untuk masa jabatan empat tahun, dan dipilih secara langsung melalui pemilihan umum. Presiden hanya dapat dipilih kembali untuk masa jabatan lagi secara berurutan.55

Sebagai pemimpin yang dipilih oleh rakyat, Presiden lazimnya bertanggung jawab kepada rakyat, yakni kepada parlemen yang juga dipilih rakyat. Akan tetapi, menurut pemahaman para bapak Revolusi Islam Iran, di dalam sistem kepemimpinan Islam wewenang parlemen untuk meminta pertanggungjawaban Presiden bukan tidak terbatas. Pada akhirnya Presiden harus bertanggung jawab kepada imam, atau yang di dalam sistem ini disebut sebagai Wali faqih. Wali faqih, melalui Dewan Wali dalam sistem pemerintahan Republik Islam Iran, bukan saja memiliki wewenang untuk

54 Riza Sihbudi, Biografi Politik Imam Khumaini, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,

2001), h. 81

75

mengesahkan atau tidak mengesahkan calon presiden, ia sekaligus berwenang untuk memecat Presiden dalam hal Presiden dianggap tidak kapabel, setelah mendapatkan rekomendasi Mahkamah Agung. Kekuasaan Wali Faqih dalam hal seperti ini pernah ditetapkan oleh Ayatullah Khumaini ketika ia memecat Abol Hasan Bani Sadr, p#residen saat itu.56

Sistem ketatanegaraan Iran memang unik. Letak keunikannya terutama pada peran yang dibuat Ayatullah Khumaini untuk dirinya sendiri. Ia menjadikan dirinya di puncak piramida politik sebagai faqih atau pemimpin tertinggi. Dia berdiri di atas segala bentuk ketegangan politik, sebagai arbitrase final di mana ucapannya adalah hukum. Khumaini telah membangun doktrin mengenai pemerintahan faqih (ahli hukum) bertahun-tahun sebelum revolusi dalam kuliah-kuliah dan tulisan-tulisan seminarnya. Jika tidak ada penguasa

yang adil, atau imam, doktrin Syi’ah mengajarkan bahwa masyarakat Muslim

dibimbing oleh hukum Islam melalui para ahlinya, yaitu faqih.

Khumaini berkata, “Kami tidak mengatakan bahwa pemerintahan harus diserahkan ke tangan faqih, tetapi bahwa pemerintahan harus diselenggarakan sesuai hukum Allah karena kesejahteraan negara dan rakyat membutuhkannya, dan itu tidak mungkin dapat dilakukan kecuali dengan pengawasan para

pemimpin agama.” Namun, tambah Khumaini “adalah fakta yang tak terbantahkan bahwa Faqih lebih berwenang daripada penguasa” kekuasaan

sentralistik Faqih yang tak lain adalah Khumaini sendiri, diabadikan dalam

56 Yamani, Antara Al-Farabi dan Khumaini Filsafat Politik Islam, Cet. Ke-1, (Bandung:

konstitusi Iran. Faqih akan dibantu oleh Dewan Pelindung (Council of Guardians) beranggotakan dua belas ahli hukum, enam dipilih Khumaini dan lainnya parlemen.57

Dewan ini bertugas mengawasi pemilihan Presiden dan parlemen, menafsirkan konstitusi, dan memastikan kesesuaian antara setiap perundang-undangan dengan hukum dan konstitusi Islam. Wewenangnya termuat dalam konstitusi Iran pasal 96, yang menyatakan Dewan Pelindung mempunyai hak veto atas semua undang-undang yang lolos dari parlemen. Tentu, sistem ketatanegaraan seperti ini menguntungkan kubu konservatif, karena mereka mendominasi Dewan ini.58

Wilayatul faqih menurut pasal 110 konstitusi 1979 memberi tugas dan kekuasaan untuk merujuk fuqaha pada Dewan Perwalian, wewenang pengadilan yang tertinggi, untuk mengangkat dan memberhentikan Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata dan pasukan pengawal Revolusi Islam, untuk menyatakan keadaan perang dan damai, untuk menyetujui kelayakan calon-calon Presiden dan untuk memberhentikan Presiden Republik Islam Iran berdasarkan pada rasa hormat terhadap kepentingan negara. 59

Penjelasan di atas menjelaskan bahwa Wilayatul Faqih memiliki kewenangan tertinggi untuk mengangkat dan memberhentikan Presiden,

57Mun’im A. Sirry, Dilema Islam Dilema Demok rasi: Pengalaman Baru Muslim dalam Transisi Indonesia, Cet-ke-1, (Bekasi: Gugus Press, 2002), h. 65

58 Humas Kedutaan Besar RII, Undang-Undang Dasar Republik Islam Iran,(Jakarta:

Humas Keduataan Besar RII), h. 56

77

bahkan Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata dan pasukan pengawal Revolusi Islam, namun berdasarkan konstitusi dan kepentingan negara bukan karena kesewenang-wenangan.

Presiden diberhentikan dan/atau dipecat oleh Wali Faqih bukan tanpa dasar dan alasan, namun sesuai dengan yang terdapat dalam Pasal 131 Undang-Undang Republik Islam Iran yaitu:

“Dalam hal kematian, pemecatan, pengunduran diri, tidak adanya, atau

penyakit yang berlangsung lebih dari dua bulan Presiden, atau ketika masa jabatannya telah berakhir dan presiden baru belum terpilih karena beberapa hambatan, atau keadaan lain yang serupa, pertama wakil akan berasumsi, dengan persetujuan Pemimpin, kewenangan dan fungsi Presiden. Dewan, yang terdiri dari Ketua Majelis Permusyawaratan Islam, kepala, dari kekuasaan kehakiman, dan wakil pertama dari Presiden, wajib mengatur presiden baru yang terpilih dalam jangka waktu maksimum lima puluh hari. Dalam hal kematian dari wakil pertama kepada Presiden, atau hal - hal lain yang mencegah dia untuk melakukan tugasnya, atau ketika Presiden tidak memiliki wakil pertama, Pemimpin harus menunjuk orang

lain menggantikan dia.”(UUD RII Pasal 115)

Dokumen terkait