• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEPUTUSAN MENTERI PERMUKIMAN DAN PRASARA (3)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEPUTUSAN MENTERI PERMUKIMAN DAN PRASARA (3)"

Copied!
159
0
0

Teks penuh

(1)

KEPUTUSAN MENTERI PERMUKIMAN DAN

PRASARANA WILAYAH

NOMOR: 332/KPTS/M/2002

TANGGAL 21 AGUSTUS 2002

TENTANG

Pedoman Teknis

P E M B A N G U N A N

B A N G U N A N G E D U N G

N E G A R A

(2)

REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI

PERMUKIMAN DAN PRASARNA WILAYAH

NOMOR: 332/KPTS/M/2002

TENTANG

PEDOMAN TEKNIS PEMBANGUNAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA

MENTERI PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH

Menimbang: a. bahwa sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat (3) butir 15 d.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintahan dan Pemerintah Provinsi sebagai Daerah Otonom, bahwa Penetapan Pedoman Teknis Pengelolaan Fisik Bangunan Gedung dan Rumah Negara menjadi kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah yang harus segera ditindak lanjuti;

b. bahwa bangunan gedung negara merupakan salah satu asset milik negara yang mempunyai nilai strategis sebagai tempat proses penyelenggaraan negara, perlu diatur dan dikelola agar efektif, efisien, dan diselenggarakan secara tertib;

c. bahwa dalam rangka pembangunan bangunan gedung negara sebagai bagian awal dari proses pengelolaan fisik bangunan gedung dan rumah negara yang fungsional, andal, efektif, dan efisien, diperlukan adanya Pedoman Teknis sebagai landasan dalam penyelenggaraan pembangunannya;

(3)

2. Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Pemerintah Provinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 No. 54 Tambahan Lembaran Negara No. 3952);

3. Keputusan Presiden RI Nomor 228/M tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong;

4. Keputusan Presiden RI Nomor 102 tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen;

5. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 61/KPTS/1981 tentang Prosedur Pokok Pengadaan Bangunan Gedung Negara;

6. Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor: 01/KPTS/M/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah.

MEMUTUSKAN

Menetapkan: KEPUTUSAN MENTERI PERMUKIMAN DAN PRASARANA

WILAYAH TENTANG PEDOMAN TEKNIS PEMBANGUNAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA.

BAB I KETENTUAN UMUM

Bagian Pertama

Pengertian

Pasal 1

Dalam keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan:

(4)

maupun perluasan bangunan gedung yang sudah ada, dan atau lanjutan pembangunan bangunan gedung yang belum selesai, dan atau perawatan (rehabilitasi, renovasi, restorasi), yang terdiri dari tahap perencanaan konstruksi dan tahap pelaksanaan konstruksi.

3. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta para Menteri.

4. Pemerintah Daerah Provinsi adalah Gubernur beserta perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah Provinsi.

5. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota beserta perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah Kabupaten/Kota.

Bagian Kedua Maksud dan Tujuan

Pasal 2

(1) Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara ini dimaksudkan sebagai petunjuk pelaksanaan bagi para penyelenggara dalam melaksanakan pembangunan bangunan gedung negara.

(2) Pedoman Teknis Bangunan Gedung Negara ini bertujuan terwujudnya bangunan gedung negara sesuai dengan fungsinya, memenuhi persyaratan keselamatan, kesehatan, kemudahan, kenyamanan, efisien dalam penggunaan sumber daya, dan serasi dengan lingkungannya, serta diselenggarakan secara tertib, efektif dan efisien.

BAB II

PENGATURAN PEMBANGUNAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA

Bagian Pertama

Substansi Pedoman Teknis

Pasal 3

(1) Pembangunan Bangunan Gedung Negara meliputi :

a. Persyaratan Bangunan Gedung Negara yang terdiri dari : 1. Klasifikasi Bangunan Gedung Negara

(5)

b. Tahapan Pembangunan Bangunan Gedung Negara terdiri dari : 1. Tahap Persiapan

2. Tahap Perencanaan Konstruksi 3. Tahap Pelaksanaan Konstruksi 4. Masa Pemeliharaan Konstruksi

5. Pendaftaran Bangunan Gedung Negara

c. Pembiayaan Pembangunan Bangunan Gedung Negara terdiri dari : 1. Umum

2. Standar Harga Satuan Tertinggi 3. Komponen Biaya Pembangunan

4. Pembiayaan Bangunan/Komponen tertentu 5. Pembiayaan Pekerjaan Non Standar

6. Prosentase Komponen Pekerjaan

d. Tata cara Pembangunan Bangunan Gedung Negara terdiri dari : 1. Penyelenggara Pembangunan Bangunan Gedung Negara 2. Organisasi dan Tata Laksana

3. Penyelenggaraan Pembangunan tertentu

4. Pedoman Pemeliharaan / Perawatan Bangunan Gedung Negara 5. Pembinaan dan Pengawasan Teknis

(2) Rincian Pembangunan Bangunan Gedung Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini tercantum pada lampiran Keputusan Menteri ini, yang merupakan satu kesatuan pengaturan dalam Keputusan Menteri ini.

(3) Setiap orang atau Badan Hukum termasuk instansi Pemerintah, dalam penyelenggaraan pembangunan bangunan gedung negara wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) pasal ini.

Bagian Kedua

Pengaturan Penyelenggaraan

Pasal 4

(6)

pada Pasal 3.

(3) Daerah yang telah mempunyai Keputusan Gubernur/Bupati/ Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini sebelum Keputusan Menteri ini ditetapkan, harus menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan persyaratan pembangunan bangunan gedung negara sebagaimana dimaksud pada Pasal 3.

Pasal 5

(1) Dalam melaksanakan pembinaan pembangunan bangunan gedung negara, Pemerintah melakukan peningkatan kemampuan aparat Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota maupun masyarakat dalam memenuhi ketentuan Pedoman Teknis sebagaimana dimaksud pada pasal 3 untuk terwujudnya tertib pembangunan bangunan gedung negara.

(2) Dalam melaksanakan pengendalian pembangunan bangunan gedung negara Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota wajib menggunakan Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

(3) Terhadap aparat Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan atau Kabupaten/Kota yang bertugas dalam pembangunan bangunan gedung negara yang melakukan pelanggaran ketentuan dalam Pasal 3 dikenakan sanksi sesuai ketentuan dalam Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN dan Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta peraturan-peraturan pelaksanaannya.

(4) Terhadap penyedia jasa konstruksi yang terlibat dalam pembangunan bangunan gedung negara yang melakukan pelanggaran ketentuan dalam Pasal 3 dikenakan sanksi dan atau ketentuan pidana sesuai dengan Undang-undang No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan peraturan-peraturan pelaksanaannya.

BAB III KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 6

(7)

BAB IV

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 7

(1) Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, maka Keputusan Direktur Jenderal Cipta Karya Nomor: 295/KPTS/CK/1997 tanggal 1 April 1997 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara tidak berlaku lagi.

(2) Dengan berlakunya Keputusan Menteri ini maka semua ketentuan Pembangunan Bangunan Gedung Negara yang telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan Keputusan Menteri ini masih berlaku sampai digantikan dengan yang baru.

BAB V KETENTUAN PENUTUP

Pasal 8

(1) Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

(2) Keputusan Menteri ini disebarluaskan kepada pihak-pihak yang bersangkutan untuk diketahui dan dilaksanakan.

Ditetapkan di : Jakarta

Pada tanggal : 21 Agustus 2002

MENTERI PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH,

(8)

Surat Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah ………. i

DAFTAR ISI ……… vii

Lampiran Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah:

BAB I

UMUM

A. PENGERTIAN 1. Bangunan Gedung ………..……….…… 1

2. Bangunan Gedung Negara ………..….…… 1

3. Pengadaan…...……….. 1

4. Pembangunan ..………..……….. 2

5. Instansi Teknis Setempat……….………. 2

B. ASAS PEMBANGUNAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA……… 2

C. MAKSUD DAN TUJUAN .………. 3

D. LINGKUP MATERI PEDOMAN ………... 3

BAB II

PERSYARATAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA

A. KLASIFIKASI BANGUNAN GEDUNG NEGARA 1. Bangunan Sederhana……… 4

2. Bangunan Tidak Sederhana ...……… 4

3. Bangunan Khusus……….………... 5

B. TIPE BANGUNAN RUMAH NEGARA………. 5

C. STANDAR LUAS 1. Standar Luas Gedung Kantor. ………... 6

2. Standar Luas Rumah Negara………….………. 6

(9)

1. Persyaratan Tata Bangunan dan Lingkungan…….…….. 7

2. Persyaratan Bahan Bangunan………...……… 10

3. Persyaratan Struktur Bangunan ……… ……… 12

4. Persyaratan Utilitas Bangunan ……….. 15

5. Persyaratan Sarana Penyelamatan ……….. 19

E. PERSYARATAN ADMINISTRASI 1. Dokumen Pembiayaan ……..……….… 21

2. Status Hak Atas Tanah ………..……… 21

3. Perizinan ……….………..………..………... 21

4. Dokumen Perencanaan .…..……….……..…….. 21

5. Dokumen Pembangunan……….…….…... 21

6. Dokumen Pendaftaran ………..……….. 22

BAB IIII

TAHAPAN PEMBANGUNAN BANGUNAN GEDUNG

NEGARA

A. TAHAP PERSIAPAN 1. Penyusunan Program dan Pembiayaan………. 23

2. Persiapan Proyek ……….………. 25

B. TAHAP PERENCANAAN KONSTRUKSI ………. 25

C. TAHAP PELAKSANAAN KONSTRUKSI ……… 26

D. PEMELIHARAAN KONSTRUKSI……….……… 28

E. PENDAFTARAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA 1. Dokumen Pendaftaran………. 28

2. Prosedur Pendaftaran………….……….. 29

(10)

dan Tidak Sederhana ………... 31 2. Harga Satuan per-m2 Tertinggi Untuk Pembangunan

Bangunan Rumah Negara……….. 32 3. Harga Satuan per-m1 tertinggi Untuk Pembangunan

Bangunan Pagar Gedung Negara ..……….. 32 C. KOMPONEN BIAYA PEMBANGUNAN

1. Biaya Konstruksi Fisik ………… ………. 33 2. Biaya Manajemen Konstruksi ….…….……… 33 3. Biaya Perencanaan Konstruksi ………..……….….……….. 35 4. Biaya Pengawasan Konstruksi ..………...…….. .. 36 5. Biaya Pengelolaan Proyek ……….. 37 D. PEMBIAYAAN BANGUNAN/KOMPONEN BANGUNAN TERTENTU

1. Harga Satuan tertinggi rata-rata per m2 bangunan

bertingkat untuk bangunan gedung negara……… 38 2. Harga Satuan tertinggi rata-rata per m2 bangunan/

ruang dengan fungsi khusus untuk bangunan gedung

negara….……….. 39 E. BIAYA PEKERJAAN NON-STANDAR

1. Pekerjaan/Kegiatan yang diklasifikasikan sebagai Pekerjaan

non-Standar.………. 39

2. Pembiayaan Pekerjaan Non-Standar………. 40 F. PROSENTASE KOMPONEN PEKERJAAN BANGUNAN

GEDUNG NEGARA ……….……… 42

BAB V

TATA CARA PEMBANGUNAN BANGUNAN GEDUNG

NEGARA

A. PENYELENGGARA PEMBANGUNAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA

1. Pemegang Mata Anggaran ……….……… 43 2. Pembina Teknis ……….………. 44 B. ORGANISASI DAN TATA LAKSANA

(11)

1. Pelaksanaan Pembangunan Lebih dari Satu Tahun

Anggaran ……….…… 60

2. Pelaksanaan Pembangunan dengan Desain Berulang 61 3. Pelaksanaan Pembangunan dengan Desain Prototipe 62 D. PEMELIHARAAN/PERAWATAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA 1. Umur Bangunan dan Penyusutan ..………... 63

2. Kerusakan Bangunan ………...………... 63

3. Perawatan Bangunan .. ……….. 64

4. Pemeliharaan Bangunan …….……….. 64

E. PEMBINAAN DAN PENGAWASAN TEKNIS ………. 65

BAB VI

PENUTUP

……….. 67

TABEL-TABEL :

TABEL A1 SPESIFIKASI TEKNIS BANGUNAN GEDUNG PEMERINTAH/LEMBAGA TINGGI/TERTINGGI NEGARA.. 68

TABEL A2 SPESIFIKASI TEKNIS BANGUNAN RUMAH NEGARA…….. 71

TABEL B1 PROSENTASE KOMPONEN BIAYA PEMBANGUNAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA KLASIFIKASI SEDERAHANA……… 74

TABEL B2 PROSENTASE KOMPONEN BIAYA PEMBANGUNAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA KLASIFIKASI TIDAK SEDERHANA……….………. 75

TABEL B3 PROSENTASE KOMPONEN BIAYA PEMBANGUNAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA KLASIFIKASI KHUSUS…. 76 TABEL C STANDAR LUAS RUANG GEDUNG KANTOR………... 77

TABEL D KETENTUAN JENIS DAN JUMLAH RUANG RUMAH NEGARA………. 78

TABEL E1 DAFTAR BIAYA KOMPONEN KEGIATAN PEMBANGUNAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA KLASIFIKASI SEDERHANA……… 79

(12)
(13)

Tanggal : 21 Agustus 2002

Tentang : Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara

BAB I

U M U M

A. PENGERTIAN

1. BANGUNAN GEDUNG

Yang dimaksud dengan bangunan gedung adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya untuk kegiatan hunian atau tinggal, kegiatan usaha, kegiatan sosial, kegiatan budaya, dan/atau kegiatan khusus.

2. BANGUNAN GEDUNG NEGARA

Bangunan Gedung Negara adalah bangunan gedung untuk keperluan dinas yang menjadi/akan menjadi kekayaan milik negara dan diadakan dengan sumber pembiayaan yang berasal dari dana APBN, dan/atau APBD, dan/atau sumber pembiayaan lainnya, antara lain seperti: gedung kantor, gedung sekolah, gedung rumah sakit, gudang, dan rumah negara, yang dapat dibedakan atas:

a. Bangunan Gedung Negara Pusat, yaitu bangunan gedung untuk keperluan dinas pelaksanaan tugas Pusat/nasional;

b. Bangunan Gedung Negara Provinsi, yaitu bangunan gedung untuk keperluan dinas pelaksanaan tugas otonomi Provinsi;

c. Bangunan Gedung Negara Kabupaten/Kota, yaitu bangunan gedung untuk keperluan dinas pelaksanaan tugas otonomi Kabupaten/Kota;

d. Bangunan Gedung Negara BUMN/BUMD, yaitu bangunan gedung untuk keperluan dinas pelaksanaan tugas BUMN/BUMD.

3. PENGADAAN

(14)

4. PEMBANGUNAN

Yang dimaksud dengan pembangunan adalah proses mendirikan bangunan gedung baik merupakan pembangunan baru, perbaikan sebagian atau seluruhnya, maupun perluasan bangunan gedung yang sudah ada, maupun lanjutan pembangunan bangunan gedung yang belum selesai, dan/atau perawatan (rehabilitasi, renovasi, restorasi), yang terdiri dari tahap perencanaan konstruksi dan tahap pelaksanaan konstruksi.

5. INSTANSI TEKNIS SETEMPAT

a. Untuk Bangunan Gedung Negara Pusat dan BUMN, Instansi Teknis setempat adalah:

1) Direktorat Bina Teknik, Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah untuk wilayah Pusat dan DKI Jakarta, atau

2) Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah/Dinas Pekerjaan Umum/Dinas Teknis Provinsi yang bertanggung jawab dalam pembinaan bangunan gedung untuk wilayah Provinsi, di luar DKI Jakarta.

b. Untuk Bangunan Gedung Negara Provinsi dan BUMD Provinsi, Instansi Teknis setempat adalah Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah/Dinas Pekerjaan Umum/ Dinas Teknis Provinsi yang bertanggung jawab dalam pembinaan bangunan gedung untuk wilayah Provinsi.

c. Untuk Bangunan Gedung Negara Kabupaten/Kota dan BUMD Kabupaten/Kota, Instansi Teknis setempat adalah Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah/Dinas Pekerjaan Umum/Dinas Teknis Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab dalam pembinaan bangunan gedung untuk wilayah Kabupaten/ Kota.

B. ASAS PEMBANGUNAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA

Pelaksanaan pembangunan bangunan gedung negara berasaskan:

1. hemat, tidak mewah, efisien, dan sesuai dengan kebutuhan teknis yang disyaratkan;

2. terarah dan terkendali sesuai rencana, program/kegiatan, serta fungsi setiap Departemen/Lembaga/Instansi pengguna bangunan gedung; 3. semaksimal mungkin menggunakan hasil produksi dalam negeri dengan

(15)

C. MAKSUD DAN TUJUAN

1. Pedoman ini dimaksudkan sebagai petunjuk pelaksanaan bagi para penyelenggara pembangunan dalam melaksanakan pembangunan bangunan gedung negara.

2. Dengan pedoman ini diharapkan:

a. bangunan gedung negara diselenggarakan sesuai dengan fungsinya, memenuhi persyaratan keselamatan, kesehatan, kemudahan, dan kenyamanan, serta efisien dalam penggunaan sumber daya dan serasi dengan lingkungannya,

b. penyelenggaraan pembangunan bangunan gedung negara dapat berjalan dengan tertib, efektif, dan efisien.

D. LINGKUP MATERI PEDOMAN

Lingkup materi Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara adalah sebagai berikut:

1. Bab I: Umum, yang memberikan gambaran umum, meliputi pengertian, asas bangunan gedung negara, maksud dan tujuan, serta lingkup materi pedoman.

2. Bab II: Persyaratan Bangunan Gedung Negara, meliputi klasifikasi bangunan gedung negara, tipe rumah negara, standar luas, persyaratan teknis, dan persyaratan administrasi bangunan gedung negara.

3. Bab III: Tahapan Pembangunan Bangunan Gedung Negara, meliputi tahapan persiapan, perencanaan konstruksi, pelaksanaan konstruksi, masa pemeliharaan konstruksi, dan pendaftaran bangunan gedung negara.

4. Bab IV: Pembiayaan Pembangunan Bangunan Gedung Negara, meliputi standar harga satuan tertinggi, komponen pembiayaan pembangunan, pembiayaan pembangunan pekerjaan standar, dan pekerjaan non-standar bangunan gedung negara.

5. Bab V: Tata Cara Pembangunan Bangunan Gedung Negara, meliputi ketentuan penyelenggara pembangunan, organisasi dan tata laksana, prosedur penyelenggaraan, pedoman perawatan/pemeliharaan, serta pembinaan dan pengawasan teknis.

(16)

BAB II

PERSYARATAN

BANGUNAN GEDUNG NEGARA

A. KLASIFIKASI BANGUNAN GEDUNG NEGARA

1. BANGUNAN SEDERHANA

Klasifikasi bangunan sederhana adalah bangunan gedung negara dengan karakter sederhana serta memiliki kompleksitas dan teknologi sederhana, atau bangunan gedung negara yang sudah ada disain prototipenya. Masa penjaminan kegagalan bangunannya adalah selama 10 (sepuluh) tahun.

Yang termasuk klasifikasi Bangunan Sederhana, antara lain:

gedung kantor yang sudah ada disain prototipenya, atau bangunan gedung kantor dengan jumlah lantai s.d. 2 lantai dengan luas sampai dengan 500 m2;

bangunan rumah dinas tipe C, D, dan E yang tidak bertingkat; gedung pelayanan kesehatan: puskesmas;

gedung pendidikan tingkat dasar dan/atau lanjutan dengan jumlah lantai s.d. 2 lantai.

2. BANGUNAN TIDAK SEDERHANA

Klasifikasi bangunan tidak sederhana adalah bangunan gedung negara dengan karakter tidak sederhana serta memiliki kompleksitas dan atau teknologi tidak sederhana. Masa penjaminan kegagalan bangunannya adalah selama 10 (sepuluh) tahun.

Yang termasuk klasifikasi Bangunan Tidak Sederhana, antara lain:

gedung kantor yang belum ada disain prototipenya, atau gedung kantor dengan luas di atas dari 500 m2, atau gedung kantor bertingkat di atas 2 lantai.

bangunan rumah dinas tipe A dan B; atau rumah dinas C, D, dan E yang bertingkat,

gedung Rumah Sakit Klas A, B, C, dan D.

(17)

3. BANGUNAN KHUSUS

Klasifikasi bangunan khusus adalah bangunan gedung negara yang memiliki penggunaan dan persyaratan khusus, yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya memerlukan penyelesaian/ teknologi khusus. Masa penjaminan kegagalan bangunannya minimum adalah 10 (sepuluh) tahun.

Yang termasuk klasifikasi Bangunan Khusus, antara lain:

Istana negara dan rumah jabatan presiden & wakil presiden wisma negara

gedung instalasi nuklir gedung laboratorium

gedung terminal udara/laut/darat stasiun kereta api

stadion olah raga rumah tahanan

gudang benda berbahaya gedung bersifat monumental gedung untuk pertahanan

gedung kantor perwakilan negara R.I. di luar negeri.

B. TIPE BANGUNAN RUMAH NEGARA

Untuk bangunan rumah negara, disamping klasifikasinya berdasarkan klasifikasi bangunan gedung negara tersebut diatas, juga digolongkan berdasarkan tipe yang didasarkan pada tingkat jabatan penghuninya.

Tipe Untuk Keperluan Pejabat

Khusus 1) Menteri, Kepala Lembaga Pemerintah Non-Departemen, Kepala Lembaga Tinggi/Tertinggi Negara,

2) Pejabat-pejabat yang jabatannya setingkat dengan 1)

A 1) Sekjen, Dirjen, Irjen, Kepala Badan, Deputi,

2) Pejabat-pejabat yang jabatannya setingkat dengan 1)

B 1) Direktur, Kepala Biro, Inspektur, Asisten Deputi

2) Pejabat-pejabat yang jabatannya setingkat dengan 1)

C 1) Kepala Sub Direktorat, Kepala Bagian, Kepala Bidang 2) Pejabat-pejabat yang jabatannya setingkat dengan 1)

D 1) Kepala Seksi, Kepala Sub Bagian

2) Pejabat-pejabat yang jabatannya setingkat dengan 1)

E 1) Kepala Sub Seksi

(18)

Untuk rumah pejabat daerah, tipe rumahnya dapat menyesuaikan dengan Tipe Bangunan Rumah Negara di atas, dan atau ketentuan daerah yang berlaku.

C. STANDAR LUAS BANGUNAN GEDUNG NEGARA

1. GEDUNG KANTOR

Dalam menghitung luas ruang bangunan gedung kantor yang diperlukan, dihitung berdasarkan ketentuan sebagai berikut:

a. Standar luas ruang gedung kantor pemerintah yang termasuk klasifikasi tidak sederhana rata-rata sebesar 9,6 m2 per-personil. b. Standar luas ruang gedung kantor pemerintah yang termasuk

klasifikasi sederhana rata-rata sebesar 8 m2 per-personil.

Kebutuhan total luas gedung kantor dihitung berdasarkan jumlah personil yang akan ditampung dikalikan standar luas sesuai dengan klasifikasi bangunannya.

Untuk bangunan gedung kantor yang memerlukan ruang-ruang khusus atau ruang pelayanan masyarakat, kebutuhannya dihitung secara tersendiri di luar luas ruangan untuk seluruh personil yang akan ditampung. Standar Luas Ruang Kerja Kantor Pemerintah tercantum pada Tabel C.

2. RUMAH NEGARA

Standar luas Rumah Negara ditentukan sesuai dengan tipe peruntukannya, sebagai berikut:

Tipe Luas Bangunan Luas lahan *)

Khusus 400 m2 1.000 m2

A 250 m2 600 m2

B 120 m2 350 m2

C 70 m2 200 m2

D 50 m2 120 m2

E 36 m2 100 m2

Jenis dan jumlah ruang minimum yang harus ditampung dalam tiap Tipe Rumah Negara, sesuai dengan yang tercantum dalam Tabel D. Luas teras beratap dihitung 50%, sedangkan luas teras tidak beratap dihitung 30%.

(19)

3. STANDAR LUAS GEDUNG NEGARA LAINNYA

Standar luas gedung negara lainnya, seperti: sekolah/universitas, rumah sakit, dan lainnya mengikuti ketentuan-ketentuan luas ruang yang dikeluarkan oleh instansi yang bersangkutan.

D. PERSYARATAN

TEKNIS

Secara umum, persyaratan teknis bangunan gedung negara mengikuti ketentuan dalam:

Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 441/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Bangunan Gedung,

Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 468/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas pada Bangunan Umum dan Lingkungan, Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum No. 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Pengamanan terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan,

Peraturan Daerah setempat tentang Bangunan Gedung, serta Standar teknis lainnya yang berlaku.

Persyaratan teknis Bangunan Gedung Negara harus tertuang secara lengkap dan jelas pada Rencana Kerja dan Syarat-syarat (RKS) dalam Dokumen Perencanaan.

Secara garis besar, persyaratan teknis bangunan gedung negara adalah sebagai berikut:

1. PERSYARATAN TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN

Persyaratan tata bangunan dan lingkungan bangunan gedung negara meliputi ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dalam pembangunan bangunan gedung negara dari segi tata bangunan dan lingkungannya, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota atau Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung Kabupaten/Kota yang bersangkutan, yaitu:

a. Peruntukan Lokasi

(20)

b. Jarak antar blok/massa bangunan

Sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah setempat tentang Bangunan Gedung, maka jarak antar blok/masa bangunan harus mempertimbangkan-kan hal-hal seperti:

1) Keselamatan terhadap bahaya kebakaran,

2) Kesehatan, termasuk sirkulasi udara dan pencahayaan, 3) Kenyamanan,

4) Keselarasan dan keseimbangan dengan lingkungan.

c. Ketinggian bangunan

Ketinggian bangunan gedung negara, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah setempat tentang ketinggian maksimum bangunan pada lokasi, maksimum adalah 8 lantai.

Untuk bangunan gedung negara yang akan dibangun lebih dari 8 lantai, harus mendapat persetujuan dari:

1) Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas setelah memperoleh pendapat teknis dari Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, untuk bangunan gedung negara yang pembiayaannya bersumber dari APBN;

2) Gubernur, setelah memperoleh pendapat teknis dari Instansi Teknis setempat, untuk bangunan gedung negara yang pembiayaannya bersumber pada APBD Provinsi.

3) Bupati/Walikota, setelah memperoleh pendapat teknis dari Instansi Teknis setempat, untuk bangunan gedung negara yang pembiayaannya bersumber pada APBD Kabupaten/Kota.

d. Ketinggian langit-langit

Ketinggian langit-langit bangunan gedung kantor minimum adalah 2,80 meter dihitung dari permukaan lantai. Untuk bangunan gedung olah-raga, ruang pertemuan, dan bangunan lainnya dengan fungsi yang memerlukan ketinggian langit-langit khusus, agar mengikuti Standar Nasional Indonesia yang berlaku.

e. Koefisien Dasar Bangunan (KDB)

(21)

f. Koefisien Lantai bangunan (KLB)

Ketentuan besarnya Koefisien Lantai Bangunan (KLB) mengikuti ketentuan yang diatur dalam Peraturan Daerah setempat tentang Bangunan Gedung untuk lokasi yang bersangkutan.

g. Koefisien Daerah Hijau (KDH)

Perbandingan antara luas seluruh daerah hijau dengan luas persil bangunan gedung negara, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah Setempat tentang bangunan, harus diperhitungkan dengan mempertimbangkan:

1) daerah resapan air 2) ruang terbuka hijau

Untuk bangunan gedung yang mempunyai KDB kurang dari 40%, harus mempunyai KDH minimum sebesar 15%.

h. Garis Sempadan Bangunan

Ketentuan besarnya garis sempadan, baik garis sempadan pagar maupun garis sempadan bangunan harus mengikuti ketentuan yang diatur dalam Peraturan Daerah setempat tentang Bangunan Gedung untuk lokasi yang bersangkutan.

i. Wujud arsitektur

Wujud arsitektur bangunan gedung negara harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:

1) mencerminkan fungsi sebagai bangunan gedung negara; 2) seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya; 3) indah namun tidak berlebihan;

4) efisien dalam penggunaan sumber daya dalam pemanfaatan dan pemeliharaannya;

5) memenuhi tuntutan sosial budaya setempat; 6) pelestarian bangunan bersejarah.

j. Kelengkapan Sarana dan Prasarana Lingkungan Bangunan

Bangunan gedung negara harus dilengkapi dengan prasarana dan sarana bangunan yang memadai, dengan biaya pembangunannya diperhitungkan sebagai pekerjaan non-standar. Prasarana dan sarana bangunan yang harus ada pada bangunan gedung negara, seperti:

1) Sarana parkir kendaraan;

(22)

4) Sarana drainase, limbah, dan sampah; 5) Sarana ruang terbuka hijau;

6) Sarana hidran kebakaran halaman; 7) Sarana penerangan halaman; 8) Sarana jalan masuk dan keluar.

k. Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dan Asuransi

1) Setiap pembangunan bangunan gedung negara harus memenuhi persyaratan K3, sesuai yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: Kep.174/MEN/1986 dan 104/KPTS/1986 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi, dan atau peraturan penggantinya.

2) Ketentuan asuransi selama pelaksanaan pembangunan bangunan gedung negara mengikuti ketentuan yang berlaku.

2. PERSYARATAN BAHAN BANGUNAN

Bahan bangunan untuk bangunan gedung negara diupayakan menggunakan bahan bangunan setempat/produksi dalam negeri, termasuk bahan bangunan sebagai bagian dari sistem fabrikasi komponen bangunan. Spesifikasi teknis bahan bangunan gedung negara meliputi ketentuan-ketentuan:

a. Bahan penutup lantai

1) Bahan penutup lantai menggunakan bahan ubin PC, teraso, keramik, papan kayu, vinyl, marmer, granit, granito, maupun karpet yang disesuaikan dengan fungsi ruang dan klasifikasi bangunannya.

2) Adukan/perekat yang digunakan harus memenuhi persyaratan teknis dan sesuai dengan jenis bahan penutup yang digunakan.

b. Bahan dinding

Bahan dinding terdiri atas bahan untuk dinding pengisi atau partisi, dengan ketentuan sebagai berikut:

1) Bahan dinding pengisi: batu bata, batako, papan kayu, kaca dengan rangka kayu/aluminium, panil grc. dan/atau aluminium. 2) Bahan dinding partisi: kayu lapis, kaca, particle board dan/atau

(23)

3) Adukan/perekat yang digunakan harus memenuhi persyaratan teknis dan sesuai bahan jenis bahan dinding yang digunakan. 4) Untuk bangunan sekolah tingkat dasar, sekolah tingkat

lanjutan/menengah, rumah negara, dan bangunan gedung lainnya yang telah ada komponen fabrikasinya, bahan dindingnya dapat menggunakan bahan prefabrikasi yang telah ada.

c. Bahan langit-langit

Bahan langit-langit terdiri atas rangka langit-langit dan penutup langit-langit:

1) Bahan kerangka langit-langit: digunakan bahan yang memenuhi standar teknis, untuk penutup langit-langit kayu lapis atau yang setara, digunakan rangka kayu klas kuat II dengan ukuran minimum:

5/7 cm untuk balok pembagi,

6/12 cm untuk balok penggantung, dan 5/10 cm untuk balok tepi.

Untuk bahan penutup akustik atau gypsum digunakan kerangka aluminium yang bentuk dan ukurannya disesuaikan dengan kebutuhan.

2) Bahan penutup langit-langit: kayu lapis, aluminium, akustik, gypsum, atau sejenis yang di disesuaikan dengan fungsi dan klasifikasi bangunannya.

3) Lapisan finishing yang digunakan harus memenuhi persyaratan teknis dan sesuai dengan jenis bahan penutup yang digunakan.

d. Bahan penutup atap

1) Bahan penutup atap bangunan gedung negara harus memenuhi ketentuan yang diatur dalam SNI/SKSNI/SKBI yang berlaku tentang bahan penutup atap, baik berupa genteng, sirap, seng, aluminium, maupun asbes gelombang. Untuk penutup atap dari bahan beton harus diberikan lapisan kedap air. Penggunaan bahan penutup atap disesuaikan dengan fungsi dan klasifikasi bangunan serta kondisi daerahnya.

2) Bahan kerangka penutup atap: digunakan bahan yang memenuhi Standar Nasional Indonesia. Untuk penutup atap genteng digunakan rangka kayu kelas kuat II dengan ukuran:

(24)

e. Bahan kosen dan daun pintu/jendela

Bahan kosen dan daun pintu/jendela mengikuti ketentuan sebagai berikut:

1) digunakan kayu kelas kuat II dengan ukuran jadi minimum 5,5 cm x 11 cm dan dicat kayu atau dipelitur sesuai persyaratan standar yang berlaku.

2) rangka daun pintu untuk pintu yang dilapis kayu lapis/teakwood digunakan kayu kelas kuat II dengan ukuran minimum 3,5 cm x 10 cm, khusus untuk ambang bawah minimum 3,5 cm x 20 cm. Daun pintu dilapis dengan kayu lapis yang dicat atau dipelitur. 3) Daun pintu panil kayu digunakan kayu kelas kuat II, dicat kayu

atau dipelitur.

4) Daun jendela kayu, digunakan kayu kelas kuat II, dengan ukuran rangka minimum 3,5 cm x 8 cm, dicat kayu atau dipelitur.

5) Penggunaan kaca untuk daun pintu maupun jendela disesuaikan dengan fungsi ruang dan klasifikasi bangunannya.

f. Bahan struktur

Bahan struktur bangunan baik untuk struktur beton bertulang, struktur kayu maupun struktur baja harus mengikuti Standar Nasional Indonesia tentang Bahan Bangunan yang berlaku.

Ketentuan penggunaan bahan bangunan untuk bangunan gedung negara tersebut di atas, dimungkinkan disesuaikan dengan kemajuan teknologi bahan bangunan, khususnya disesuaikan dengan kemampuan sumberdaya setempat dengan tetap harus mempertimbangkan kekuatan dan keawetannya sesuai dengan peruntukan yang telah ditetapkan. Ketentuan lebih rinci agar mengikuti ketentuan yang diatur dalam Standar Nasional Indonesia yang berlaku.

3. PERSYARATAN STRUKTUR BANGUNAN

Struktur bangunan gedung negara harus memenuhi persyaratan keselamatan (safety) dan kelayanan (serviceability) dan standar konstruksi bangunan yang berlaku. Spesifikasi teknis struktur bangunan gedung negara secara umum meliputi ketentuan-ketentuan:

a. Struktur pondasi

(25)

2) Pondasi bangunan gedung negara disesuaikan dengan kondisi tanah/lahan, beban yang dipikul, dan klasifikasi bangunannya. Untuk bangunan yang dibangun di atas tanah/lahan yang kondisinya memerlukan penyelesaian pondasi secara khusus, maka kekurangan biayanya dapat diajukan secara khusus di luar biaya standar sebagai biaya pekerjaan pondasi non-standar.

3) Untuk pondasi bangunan bertingkat lebih dari 3 lantai atau pada lokasi dengan kondisi khusus maka perhitungan pondasi harus didukung dengan penyelidikan kondisi tanah/lahan secara teliti.

b. Struktur lantai

Bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan sebagai berikut:

1) Struktur lantai kayu

dalam hal digunakan lantai papan setebal 2 cm, maka jarak antara balok-balok anak tidak boleh lebih dari 75 cm. balok-balok lantai yang masuk ke dalam pasangan dinding harus dilapis bahan pengawet terlebih dahulu.

bahan-bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan SNI/SKSNI/SKBI yang berlaku. 2) Struktur lantai beton

lantai beton yang diletakkan langsung di atas tanah, harus diberi lapisan pasir di bawahnya dengan tebal sekurang-kurangnya 5 cm.

bagi pelat-pelat lantai beton bertulang yang mempunyai ketebalan lebih dari 25 cm harus digunakan tulangan rangkap, kecuali ditentukan lain berdasarkan hasil perhitungan struktur.

bahan-bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan SNI/SKSNI/SKBI yang berlaku. 3) Struktur lantai baja

tebal pelat baja harus diperhitungkan, sehingga bila ada lendutan masih dalam batas kenyamanan.

sambungan-sambungannya harus rapat betul dan bagian yang tertutup harus dilapis dengan bahan pelapis untuk mencegah timbulnya korosi.

(26)

c. Struktur Kolom

1) Struktur kolom kayu

Bahan-bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan SNI/SKSNI/SKBI yang berlaku. 2) Struktur kolom pasangan bata

adukan yang digunakan sekurang-kurangnya harus mempunyai kekuatan yang sama dengan adukan 1PC : 3 PS.

bahan-bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan SNI/SKSNI/SKBI yang berlaku. 3) Struktur kolom beton bertulang

kolom beton bertulang yang dicor di tempat harus mempunyai tebal minimum 15 cm.

selimut beton bertulang minimum setebal 2,5 cm.

bahan-bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan SKBI/SKSNI/SNI yang berlaku. 4) Struktur kolom baja

kolom baja harus mempunyai kelangsingan (λ) maksimum 150.

kolom baja yang dibuat dari profil tunggal maupun tersusun harus mempunyai minimum 2 sumbu simetris.

sambungan antara kolom baja pada bangunan bertingkat tidak boleh dilakukan pada tempat pertemuan antara balok dengan kolom, dan harus mempunyai kekuatan minimum sama dengan kolom.

sambungan kolom baja yang menggunakan las harus menggunakan las listrik, sedangkan yang menggunakan baut harus menggunakan baut mutu tinggi.

penggunaan profil baja tipis yang dibentuk dingin, harus berdasarkan perhitungan-perhitungan yang memenuhi syarat kekuatan, kekakuan, dan stabilitas yang cukup.

bahan-bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam SKBI/SKSNI/SNI yang berlaku.

d. Rangka atap, dan kemiringan atap

1) Umum

konstruksi atap harus didasarkan atas perhitungan-perhitungan yang dilakukan secara keilmuan/keahlian teknis yang sesuai.

(27)

bidang atap harus merupakan bidang yang rata, kecuali dikehendaki bentuk-bentuk khusus.

2) Struktur rangka atap kayu

ukuran kayu yang digunakan harus sesuai dengan ukuran yang dinormalisir.

rangka atap kayu harus dilapis bahan anti rayap.

bahan-bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan SNI/SKSNI/SKBI yang berlaku. 3) Struktur rangka atap beton bertulang

Bahan-bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan SNI/SKSNI/SKBI yang berlaku. 4) Struktur rangka atap baja

sambungan yang digunakan pada rangka atap baja baik berupa baut, paku keling, atau las listrik harus memenuhi ketentuan pada Pedoman Perencanaan Bangunan Baja untuk Gedung.

rangka atap baja harus dilapis dengan pelapis anti korosi. bahan-bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan SNI/SKSNI/SKBI yang berlaku. untuk bangunan sekolah tingkat dasar, sekolah tingkat lanjutan/menengah, dan rumah negara yang telah ada komponen fabrikasi, struktur rangka atapnya dapat menggunakan komponen prefabrikasi yang telah ada.

Persyaratan struktur bangunan sebagaimana butir 3 huruf a s.d. d di atas secara lebih rinci mengikuti ketentuan yang diatur dalam Standar Nasional Indonesia yang berlaku.

4. PERSYARATAN UTILITAS BANGUNAN

Utilitas yang berada di dalam dan di luar bangunan gedung negara harus memenuhi persyaratan standar utilitas bangunan (SNI) yang berlaku. Spesifikasi teknis utilitas bangunan gedung negara meliputi ketentuan-ketentuan:

a. Air bersih

1) Setiap pembangunan baru bangunan gedung negara harus dilengkapi dengan prasarana air bersih yang memenuhi standar kualitas, cukup jumlahnya dan disediakan dari saluran air minum kota (PDAM), atau sumur.

(28)

3) Bahan pipa yang digunakan harus mengikuti ketentuan teknis yang ditetapkan.

b. Saluran air hujan

1) Pada dasarnya semua air hujan harus dialirkan ke jaringan umum kota. Apabila belum tersedia jaringan umum kota, maka harus dialirkan melalui proses peresapan atau cara lain dengan persetujuan instansi teknis yang terkait.

2) Ketentuan lebih lanjut mengikuti ketentuan dalam SNI yang berlaku.

c. Pembuangan air kotor

1) Semua air kotor yang berasal dapur, kamar mandi, dan tempat cuci, pembuangannya harus melalui pipa tertutup dan/atau terbuka sesuai dengan persyaratan yang berlaku.

2) Pada dasarnya pembuangan air kotor yang berasal dari dapur, kamar mandi, dan tempat cuci, harus dibuang atau dialirkan ke saluran umum kota.

3) Tetapi apabila ketentuan dalam butir 2) tersebut tidak mungkin dilaksanakan, karena belum terjangkau oleh saluran umum kota atau sebab-sebab lain yang dapat diterima oleh instansi teknis yang berwenang, maka pembuangan air kotor harus dilakukan melalui proses pengolahan dan/atau peresapan.

d. Pembuangan limbah

1) Setiap bangunan gedung negara yang dalam pemanfaatan nya mengeluarkan limbah cair atau padat harus dilengkapi dengan tempat penampungan dan pengolahan limbah, sesuai ketentuan dari peraturan yang berlaku

2) Tempat penampungan dan pengolahan limbah dibuat dari bahan kedap air, dan memenuhi persyaratan teknis yang berlaku sehingga tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.

e. Pembuangan sampah

1) Setiap bangunan gedung negara harus dilengkapi dengan tempat penampungan sampah sementara yang besarnya disesuaikan dengan volume sampah yang dikeluarkan setiap harinya, sesuai dengan ketentuan dari peraturan yang berlaku. 2) Tempat penampungan sampah sementara harus dibuat dari

(29)

f. Sarana pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran

Setiap bangunan gedung negara harus mempunyai fasilitas pencegahan dan penanggulangan terhadap bahaya kebakaran, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam:

Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Nomor: 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Pengamanan terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan dan Lingkungan, dan

Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Nomor: 11/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan,

Peraturan Daerah setempat tentang Penanggulangan dan Pencegahan Bahaya Kebakaran

beserta standar-standar teknis terkait yang berlaku.

g. Instalasi listrik

1) Pemasangan instalasi listrik harus diperhitungkan dan aman sesuai dengan Peraturan Umum Instalasi Listrik yang berlaku. 2) Setiap bangunan gedung negara yang dipergunakan untuk

kepentingan umum, bangunan khusus, dan gedung kantor tingkat Departemen/Kementrian/Lembaga Tinggi/Tertinggi Negara, harus memiliki pembangkit listrik darurat sebagai cadangan, yang besar dayanya dapat memenuhi kesinambungan pelayanan.

3) Penggunaan pembangkit tenaga listrik harus memenuhi syarat keamanan terhadap gangguan dan tidak boleh menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.

h. Penerangan alam/pencahayaan

1) Setiap bangunan gedung negara harus mempunyai penerangan alam/pencahayaan yang cukup sesuai dengan fungsi ruang dalam bangunan tersebut, sehingga kesehatan dan kenyamanan pengguna bangunan dapat terjamin.

2) Ketentuan besarnya pencahayaan dan sarana/ prasarananya mengikuti ketentuan standar yang berlaku.

i. Tata udara

1) Setiap bangunan harus mempunyai tata udara yang sehat agar terjadi sirkulasi udara segar di dalam bangunan untuk menjaga kesehatan dan kenyamanan penghuni/ penggunanya.

2) Penggunaan tata udara mekanik (air-conditioning) harus mengikuti ketentuan standar yang berlaku.

(30)

j. Sarana transportasi dalam bangunan

1) Setiap bangunan bertingkat harus dilengkapi dengan sarana transportasi vertikal yang memadai, baik berupa tangga, eskalator, dan atau elevator (lift).

2) Setiap bangunan gedung negara yang bertingkat di atas 5 lantai, harus dilengkapi dengan lift.

3) Penggunaan lift harus diperhitungkan berdasarkan fungsi bangunan, jumlah pengguna, waktu tunggu, dan jumlah lantai bangunan.

4) Pemilihan jenis lift harus mempertimbangkan jaminan pelayanan purna jualnya.

5) Ruang lift harus merupakan dinding tahan api.

6) Ketentuan lebih rinci harus mengikuti ketentuan dari standar lift yang berlaku.

k. Sarana komunikasi

1) Pada prinsipnya, setiap bangunan gedung negara harus dilengkapi dengan sarana komunikasi intern dan ekstern.

2) Penentuan jenis dan jumlah sarana komunikasi harus berdasarkan pada fungsi bangunan dan kewajaran kebutuhan. 3) Ketentuan lebih rinci harus mengikuti ketentuan dari standar

sarana komunikasi yang berlaku.

l. Penangkal petir

1) Penentuan jenis dan jumlah sarana penangkal petir untuk bangunan gedung negara harus berdasarkan pada lokasi bangunan, fungsi bangunan dan kewajaran kebutuhan.

2) Ketentuan lebih rinci harus mengikuti ketentuan dari standar penangkal petir yang berlaku.

m. Instalasi gas

1) instalasi gas yang dimaksud meliputi instalasi gas pembakaran seperti gas kota/LPG dan instalasi medis seperti gas oksigen, gas nitrogen dioksida (N2O), udara tekan, dsb.

2) Rancangan sistem instalasi dan ukuran pipa gas mengikuti ketentuan standar teknis yang berlaku.

n. Kebisingan dan getaran

1) Bangunan gedung negara harus memperhitungkan baku tingkat kebisingan dan atau getaran sesuai dengan fungsinya, dengan mempertimbangkan kenyamanan dan kesehatan sesuai diatur dalam standar teknis yang berlaku.

(31)

tertentu, agar mengacu pada hasil analisis mengenai dampak lingkungan yang telah dilakukan atau ditetapkan oleh ahli.

o. Aksesibilitas bagi penyandang cacat

1) Bangunan gedung negara yang berfungsi untuk pelayanan umum dan sosial harus dilengkapi dengan fasilitas yang memberikan kemudahan bagi penyandang cacat.

2) Ketentuan lebih lanjut mengenai aksesibilitas bagi penyandang cacat mengikuti ketentuan dalam Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 468/KPTS/1999 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas pada Bangunan Umum dan Lingkungan.

5. PERSYARATAN SARANA PENYELAMATAN

Setiap bangunan gedung negara harus dilengkapi dengan sarana penyelamatan dari bencana atau keadaan darurat, serta harus memenuhi persyaratan standar sarana penyelamatan bangunan (SNI) yang berlaku. Spesifikasi teknis sarana penyelamatan bangunan gedung negara meliputi ketentuan-ketentuan :

a. Tangga penyelamatan

1) Setiap bangunan gedung negara yang bertingkat lebih dari 3 lantai, harus mempunyai tangga penyelamatan.

2) Tangga penyelamatan harus dilengkapi dengan pintu tahan api, minimum 2 jam, dengan arah pembukaan ke tangga dan dapat menutup secara otomatis. Pintu harus dilengkapi dengan lampu dan petunjuk KELUAR atau EXIT.

3) Tangga penyelamatan yang terletak di dalam bangunan harus dipisahkan dari ruang-ruang lain dengan pintu tahan api dan bebas asap, serta jarak capai maksimum 25 m.

4) Lebar tangga penyelamatan minimum adalah 1,20 m. 5) Tangga penyelamatan tidak boleh berbentuk tangga puntir. 6) Ketentuan lebih lanjut tentang tangga penyelamatan mengikuti

ketentuan-ketentuan yang diatur dalam standar yang berlaku.

b. Penerangan darurat dan tanda penunjuk arah keluar

1) Setiap bangunan gedung negara untuk pelayanan dan kepentingan umum seperti: kantor, pasar, rumah sakit, rumah negara bertingkat (rumah susun), asrama, sekolah, dan tempat ibadah harus dilengkapi dengan penerangan darurat dan tanda penunjuk arah KELUAR/EXIT.

(32)

3) Ketentuan lebih lanjut tentang penerangan darurat dan tanda penunjuk arah keluar mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur dalam standar yang berlaku.

c. Pintu darurat

1) Setiap bangunan gedung negara yang bertingkat lebih dari 3 lantai harus dilengkapi dengan pintu darurat.

2) Lebar pintu darurat minimum 100 cm, membuka ke arah tangga penyelamatan, kecuali pada lantai dasar membuka kearah luar (halaman).

3) Jarak antara pintu darurat dalam satu blok bangunan gedung maksimum 25 m dari segala arah.

4) Ketentuan lebih lanjut tentang pintu darurat mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur dalam standar yang berlaku.

d. Koridor/selasar

1) Lebar koridor minimum 1,80 m.

2) Jarak setiap titik dalam koridor ke pintu kebakaran atau arah keluar yang terdekat tidak boleh lebih dari 25 m.

3) Koridor harus dilengkapi dengan tanda-tanda penunjuk yang menunjukkan arah ke pintu kebakaran atau arah keluar.

e. Sistem Peringatan Bahaya

1) Setiap bangunan gedung negara untuk pelayanan dan kepentingan umum seperti: kantor, pasar, rumah sakit, rumah negara bertingkat (rumah susun), asrama, sekolah, dan tempat ibadah harus dilengkapi dengan sistem komunikasi internal dan sistem peringatan bahaya.

2) Sistem peringatan bahaya dan komunikasi internal tersebut mengacu pada ketentuan/standar teknis yang berlaku.

Penerapan persyaratan teknis bangunan gedung negara sesuai klasifikasinya tertuang dalam Tabel A1, sedangkan persyaratan teknis khusus untuk rumah negara tertuang dalam Tabel A2.

E. PERSYARATAN ADMINISTRASI

Setiap Bangunan Gedung Negara harus memenuhi persyaratan administrasi baik dalam tahap pembangunan maupun tahap pemanfaatan bangunan gedung negara.

(33)

1. DOKUMEN PEMBIAYAAN

Setiap kegiatan pembangunan Bangunan Gedung Negara harus disertai/memiliki bukti tersedianya anggaran yang diperuntukkan untuk pembiayaan kegiatan tersebut yang disahkan oleh Pejabat yang berwenang sesuai peraturan perundangan yang berlaku yang dapat berupa Daftar Isian Proyek (DIP) atau dokumen lainnya yang dipersamakan, termasuk surat penunjukan/penetapan Pimpinan Proyek. Dalam dokumen pembiayaan pembangunan bangunan gedung negara terdiri atas:

a. biaya pelaksanaan konstruksi fisik; b. biaya perencanaan konstruksi;

c. biaya manajemen konstruksi/pengawasan konstruksi; d. biaya pengelolaan proyek.

2. STATUS HAK ATAS TANAH

Setiap bangunan gedung negara harus memiliki kejelasan tentang status hak atas tanah lokasi tempat bangunan gedung negara berdiri. Kejelasan status atas tanah ini dapat berupa hak milik atau hak guna bangunan. Status hak atas tanah ini dapat berupa sertifikat atau bukti kepemilikan/hak atas tanah Instansi/lembaga pemerintah/negara yang bersangkutan.

3. PERIZINAN

Setiap bangunan gedung negara harus memiliki dokumen perizinan yang berupa: Izin Mendirikan Bangunan, dan Izin Penggunaan Bangunan dalam hal Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan mengharuskan adanya IPB dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota setempat, serta Izin Penghunian dari Satminkal yang bersangkutan bagi rumah negara.

4. DOKUMEN PERENCANAAN

Setiap bangunan gedung negara harus memiliki dokumen perencanaan, yang dihasilkan dari proses perencanaan teknis, baik yang dihasilkan oleh Penyedia Jasa Perencana Konstruksi, Tim Swakelola Perencanaan, ataupun yang berupa Disain Prototipe dari bangunan gedung negara yang bersangkutan.

5. DOKUMEN PEMBANGUNAN

Setiap bangunan gedung negara harus memiliki dokumen pembangunan yang terdiri atas: Dokumen Perencanaan, Izin Mendirikan Bangunan, Dokumen Pelelangan, Dokumen Kontrak Kerja Konstruksi, dan

(34)

6. DOKUMEN PENDAFTARAN

Setiap bangunan gedung negara harus memiliki dokumen pendaftaran untuk pencatatan dan penetapan HDNO meliputi:

a. Fotokopi Dokumen Pembiayaan/DIP (otorisasi pembiayaan); b. Fotokopi sertifikat atau bukti kepemilikan/hak atas tanah; c. Kontrak Kerja Konstruksi Pelaksanaan;

d. Berita Acara Serah Terima I dan II;

e. As built drawings (gambar sesuai yang dilaksanakan) disertai gambar leger;

(35)

BAB III

TAHAPAN PEMBANGUNAN

BANGUNAN GEDUNG NEGARA

A. PERSIAPAN

1. PENYUSUNAN PROGRAM DAN PEMBIAYAAN

Penyusunan program dan pembiayaan pembangunan adalah merupakan tahap awal proses penyelenggaraan pembangunan bangunan gedung negara, yang merupakan kegiatan menentukan program kebutuhan ruang dan fasilitas bangunan yang diperlukan sesuai dengan fungsi dan tugas pekerjaan dari instansi yang bersangkutan, serta penyusunan kebutuhan biaya pembangunannya. a. Penyusunan program dan pembiayaan pembangunan bangunan

gedung negara disusun oleh instansi yang memerlukan bangunan gedung negara, yaitu Pemegang Mata Anggaran.

b. Penyusunan program kebutuhan dan pelaksanaan pembangunan bangunan gedung negara dilakukan dengan:

1) menentukan kebutuhan luas ruang bangunan yang akan dibangun, antara lain:

ruang kerja, ruang sirkulasi, ruang penyimpanan, ruang mekanikal/elektrikal, ruang pertemuan, dan ruang-ruang lainnya

yang disusun sesuai kebutuhan dan fungsi bangunan gedung. 2) menentukan kebutuhan prasarana dan sarana bangunan

(36)

jalan masuk dan keluar,

aksesibilitas bagi penyandang cacat, drainase dan pembuangan limbah, serta

prasarana dan sarana lainnya sesuai dengan kebutuhan dan fungsi bangunan gedung.

yang disusun sesuai kebutuhan dan fungsi bangunan gedung. 3) menentukan kebutuhan lahan bangunan.

4) menyusun jadwal pelaksanaan pembangunan.

Penyusunan program kebutuhan dilakukan dengan mengikuti pedoman, standar, dan petunjuk teknis pembangunan bangunan gedung negara yang berlaku.

c. Penyusunan program kebutuhan bangunan gedung negara yang belum ada disain prototipenya dan luasnya bangunannya di atas 1.500 m2, dapat menggunakan jasa konsultan ahli, sebagai pekerjaan non-standar.

d. Berdasarkan program kebutuhan yang telah ditetapkan, selanjutnya disusun kebutuhan pembiayaan pembangunan bangunan gedung negara yang bersangkutan, yang terdiri atas:

1) biaya pelaksanaan konstruksi fisik, 2) biaya perencanaan konstruksi,

3) biaya manajemen konstruksi atau pengawasan konstruksi, dan 4) biaya pengelolaan proyek.

e. Penyusunan pembiayaan bangunan gedung negara didasarkan pada standar harga per-m2 tertinggi bangunan gedung negara

yang berlaku. Untuk penyusunan program dan pembiayaan pembangunan bangunan gedung negara yang belum ada standar harganya atau memerlukan penilaian khusus, harus dikonsultasikan kepada Instansi Teknis setempat.

f. Pembangunan bangunan gedung negara yang pelaksanaan pembangunannya akan dilaksanakan lebih dari satu tahun anggaran (sebagai multi-years project), program dan pembiayaannya harus mendapat persetujuan dari:

(37)

2) Gubernur, setelah memperoleh pendapat teknis dari Instansi Teknis setempat, untuk bangunan gedung negara yang pembiayaannya bersumber pada APBD Provinsi.

3) Bupati/Walikota, setelah memperoleh pendapat teknis dari Instansi Teknis setempat, untuk bangunan gedung negara yang pembiayaannya bersumber pada APBD Kabupaten/Kota. g. Dokumen program dan pembiayaan merupakan dokumen yang

harus diserahkan kepada pemimpin proyek yang ditetapkan untuk melaksanakan pembangunan bangunan gedung negara yang bersangkutan, sebagai bahan acuan.

2. PERSIAPAN PROYEK

a. Tahap persiapan proyek merupakan kegiatan persiapan setelah program dan pembiayaan tahunan yang diajukan telah disetujui atau DIP telah diterima oleh pemimpin proyek.

b. Tahap persiapan proyek dilakukan oleh pemegang mata anggaran, yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemimpin proyek, berdasarkan program dan pembiayaan yang telah disusun sebelumnya.

c. Kegiatan yang harus dilakukan oleh pemimpin proyek pembangunan bangunan gedung negara meliputi:

1) Pembentukan Organisasi Pengelola Proyek dan Panitia Pengadaan Barang dan Jasa yang diperlukan.

2) Pengadaan Konsultan Manajemen Konstruksi untuk proyek yang menggunakan penyedia jasa manajemen konstruksi.

B. PERENCANAAN

KONSTRUKSI

1. Perencanaan konstruksi merupakan tahap penyusunan rencana teknis (disain) bangunan, termasuk yang penyusunannya dilakukan dengan menggunakan disain berulang atau dengan disain prototipe, sampai dengan penyiapan dokumen lelang.

2. Penyusunan rencana teknis bangunan dilakukan dengan menggunakan penyedia jasa perencana konstruksi, baik perorangan ahli maupun badan hukum yang kompeten, sesuai ketentuan yang berlaku.

3. Rencana teknis disusun berdasarkan Kerangka Acuan Kerja (KAK) yang disusun oleh pengelola proyek dan ketentuan teknis (pedoman dan standar teknis) yang berlaku.

(38)

a. Gambar-gambar rencana teknis bangunan, seperti rencana arsitektur, rencana struktur, dan rencana utilitas bangunan,

b. Rencana kerja dan syarat-syarat (RKS), yang meliputi persyaratan umum, administrasi dan persyaratan teknis bangunan yang direncanakan,

c. Rencana anggaran biaya pembangunan. d. Laporan akhir perencanaan, yang meliputi:

1) laporan arsitektur;

2) laporan perhitungan struktur; dan 3) laporan perhitungan utilitas.

e. Keluaran akhir tahap perencanaan adalah dokumen pelelangan, yaitu Gambar Rencana Teknis, Rencana Kerja dan Syarat-syarat (RKS), Rencana Anggaran Biaya (Engineering Estimate), dan Daftar Volume (Bill of Quantity) yang siap untuk dilelangkan.

f. Penyusunan Kontrak Kerja Perencanaan Konstruksi dan Berita Acara Kemajuan Pekerjaan/Serah Terima Pekerjaan Perencanaan disusun dengan mengikuti ketentuan yang tercantum dalam Keppres tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Pedoman/Petunjuk Teknis pelaksanaannya.

5. Tahap perencanaan konstruksi untuk bangunan gedung negara: yang bertingkat diatas 4 lantai, dan/atau

dengan luas total diatas 5.000 m2, dan/atau dengan klasifikasi khusus, dan/atau

yang melibatkan lebih dari satu konsultan perencana maupun pemborong, dan/atau

yang dilaksanakan lebih dari satu tahun anggaran (multiyear project),

diharuskan melibatkan penyedia jasa manajemen konstruksi, sejak awal tahap perencanaan.

C. PELAKSANAAN KONSTRUKSI

1. Pelaksanaan konstruksi merupakan tahap pelaksanaan mendirikan, memperbaiki, dan atau memperluas bangunan gedung negara dilakukan dengan menggunakan penyedia jasa pelaksana konstruksi, yang merupakan badan hukum yang kompeten.

(39)

dan perubahannya pada penjelasan pekerjaan waktu pelelangan, serta ketentuan teknis (pedoman dan standar teknis) yang berlaku.

4. Pelaksanaan pekerjaan konstruksi fisik harus memperhatikan kualitas masukan (bahan, tenaga, dan alat), kualitas proses (tata cara pelaksanaan pekerjaan), dan kualitas hasil pekerjaan. Kecuali terjadi perubahan pekerjaan yang disepakati dan dicantumkan dalam berita acara, ketidaksesuaian hasil pekerjaan dengan rencana teknis yang telah ditetapkan harus dibongkar dan disesuaikan.

5. Pelaksanaan konstruksi fisik harus mendapatkan pengawasan dari penyedia jasa pengawas konstruksi atau penyedia jasa manajemen konstruksi.

6. Pelaksana pekerjaan konstruksi fisik juga harus memperhatikan ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang berlaku.

7. Keluaran akhir yang harus dihasilkan pada tahap ini adalah:

a. bangunan gedung negara yang sesuai dengan dokumen untuk pelaksanaan konstruksi.

b. Dokumen Pelaksanaan Pembangunan, yang meliputi:

1) gambar-gambar yang sesuai dengan pelaksanaan (as built drawings),

2) semua berkas perizinan yang diperoleh pada saat pelaksanaan konstruksi fisik, termasuk Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB), 3) kontrak pekerjaan pelaksanaan konstruksi fisik, pekerjaan

pengawasan beserta segala perubahan/ addendumnya,

4) laporan harian, mingguan, bulanan yang dibuat selama pelaksanaan konstruksi fisik, laporan akhir manajemen konstruksi/ pengawasan, dan laporan akhir pengawasan berkala,

5) berita acara perubahan pekerjaan, pekerjaan tambah/kurang, serah terima I dan II, pemeriksaan pekerjaan, dan berita acara lain yang berkaitan dengan pelaksanaan konstruksi fisik,

6) foto-foto dokumentasi yang diambil pada setiap tahapan kemajuan pelaksanaan konstruksi fisik,

7) manual pemeliharaan dan perawatan bangunan gedung, termasuk petunjuk yang menyangkut pengoperasian dan perawatan peralatan dan perlengkapan mekanikal-elektrikal bangunan.

c. Dokumen Pendaftaran Bangunan Gedung Negara,

(40)

dalam Keppres tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Pedoman/Petunjuk Teknis pelaksanaannya.

D. PEMELIHARAAN

KONSTRUKSI

1. Pemeliharaan konstruksi adalah tahap uji coba dan pemeriksaan atas hasil pelaksanaan konstruksi fisik. Di dalam masa pemeliharaan ini penyedia jasa pelaksana konstruksi berkewajiban memperbaiki segala cacat atau kerusakan dan kekurangan yang terjadi selama masa konstruksi.

2. Dalam masa pemeliharaan semua peralatan yang dipasang di dalam dan di luar gedung, harus diuji coba sesuai fungsinya. Apabila terjadi kekurangan atau kerusakan yang menyebabkan peralatan tidak berfungsi, maka harus diperbaiki sampai berfungsi dengan sempurna. 3. Masa pemeliharaan konstruksi apabila tidak ditentukan lain dalam

kontrak kerja pelaksanaan konstruksi, untuk bangunan sederhana minimal selama 2 (dua) bulan, sedangkan untuk bangunan tidak sederhana dan khusus minimal selama 3 (tiga) bulan terhitung sejak serah terima pertama pekerjaan konstruksi.

E. PENDAFTARAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA

Pendaftaran bangunan gedung negara, sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Pedoman/Petunjuk Teknis pelaksanaannya, maka bangunan gedung negara yang sudah selesai dibangun harus didaftarkan.

1. DOKUMEN PENDAFTARAN

Dokumen pendaftaran bangunan gedung negara untuk pencatatan dan penetapan HDNO meliputi:

a. Fotokopi Dokumen Pembiayaan/DIP (otorisasi pembiayaan) b. Fotokopi sertifikat atau bukti kepemilikan/hak atas tanah c. Kontrak atau Perjanjian Pemborongan

d. Berita Acara Serah Terima I dan II

e. As built drawings (gambar sesuai yang dilaksanakan) disertai gambar leger

(41)

2. PROSEDUR PENDAFTARAN

Khusus untuk bangunan gedung negara yang sumber pembiayaannya berasal dari APBN, maka prosedur pendaftarannya adalah sebagai berikut:

a. Bila suatu proyek seluruhnya atau sebagian telah selesai, Pemimpin Proyek/Bagian Proyek harus segera menyerahkan proyek atau bangunan yang telah selesai dibangun berikut seluruh kekayaannya kepada Departemen/Lembaga c.q. Satminkal Eselon I yang bersangkutan melalui Kakanwil Departemen/ Lembaga atau Direktur pada Direktorat yang bersangkutan selaku Sub Penguasa Barang dengan dibuatkan Berita Acara Serah Terima.

b. Departemen/Lembaga c.q. Satminkal Eselon I menyerahkan kepengurusan/pengelolaan/pemanfaatan bangunan tersebut kepada salah satu Pengurus Barang di lingkungannya dengan Berita Acara Serah Terima. Selanjutnya Pengurus Barang mendaftarkan bangunan tersebut dengan menggunakan Dokumen Pendaftaran yang telah disiapkan oleh Proyek kepada Direktorat Bina Teknik, Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah.

c. Untuk bangunan gedung Negara yang berada di luar wilayah DKI Jakarta pendaftarannya melalui Dinas Permukiman dan Prasarana wilayah Provinsi/Dinas Pekerjaan Umum Provinsi/Dinas Provinsi yang bertanggung jawab dalam pembinaan bangunan gedung sebagai bentuk penyelenggaraan tugas dekonsentrasi.

d. Untuk pendaftaran bangunan Gedung Negara dari Pengurus Barang yang ada di luar DKI Jakarta, Dinas Permukiman dan Prasarana wilayah Provinsi/Dinas Pekerjaan Umum Provinsi/Dinas Provinsi yang bertanggung jawab dalam pembinaan bangunan gedung meneruskan pendaftarannya kepada Direktorat Bina Teknik, Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, dengan menyampaikan Dokumen Pendaftaran yang terdiri atas: daftar inventaris, kartu leger dan gambar leger, sedangkan lampiran dokumen pendaftaran lainnya menjadi data/arsip Instansi Teknis setempat.

(42)

f. Berdasarkan data pendaftaran Bangunan Gedung Negara dari Pengurus Barang setiap Departemen/ Lembaga, Direktorat Bina Teknik, Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah mendaftar bangunan gedung negara tersebut dengan memberikan Huruf Daftar Nomor (HDNO).

g. Untuk bangunan gedung Negara yang dibangun pada tahun-tahun anggaran yang lalu dan belum terdaftar, Pengurus Barang/Pengelola bangunan gedung negara dari Departemen/ Lembaga yang bersangkutan wajib mendaftar bangunan gedung Negara tersebut.

(43)

BAB IV

PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BANGUNAN GEDUNG NEGARA

A. UMUM

Pembiayaan pembangunan bangunan gedung negara digolongkan pembiayaan pembangunan untuk pekerjaan standar (yang ada standar harga satuan tertingginya) dan pembiayaan pembangunan untuk pekerjaan non-standar (yang belum tersedia standar harga satuan tertingginya). Pembiayaan pembangunan bangunan gedung negara dituangkan dalam Dokumen Pembiayaan yang terdiri atas komponen-komponen biaya untuk kegiatan pelaksanaan konstruksi, kegiatan pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi, kegiatan perencanaan konstruksi, dan kegiatan pengelolaan proyek.

B. STANDAR HARGA SATUAN TERTINGGI

Standar Harga Satuan Tertinggi merupakan biaya per-m2 konstruksi fisik

maksimum untuk pembangunan bangunan gedung negara, khususnya

untuk pekerjaan standar bangunan gedung negara, yang meliputi pekerjaan struktur, arsitektur dan finishing, serta utilitas bangunan gedung negara.

Standar Harga Satuan Tertinggi pembangunan bangunan gedung negara ditetapkan secara berkala untuk setiap Kabupaten/Kota oleh Bupati/ Walikota setempat.

Standar Harga Satuan Tertinggi ditetapkan untuk biaya pelaksanaan konstruksi fisik per m2 pembangunan bangunan gedung negara dan diberlakukan sesuai dengan klasifikasi, lokasi, dan tahun pembangunannya, yang terdiri atas:

1. HARGA SATUAN PER M2 TERTINGGI UNTUK PEMBANGUNAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA KLASIFIKASI SEDERHANA DAN TIDAK SEDERHANA

(44)

Kota-nya, dan untuk bangunan yang bertingkat dan yang tidak bertingkat. Disamping itu juga diberlakukan koefisien/faktor pengali untuk bangunan gedung bertingkat, dan koefisien/faktor pengali untuk bangunan/ruang dengan fungsi khusus.

2. HARGA SATUAN PER M2TERTINGGI UNTUK PEMBANGUNAN BANGUNAN RUMAH NEGARA

Harga satuan per m2 tertinggi untuk bangunan rumah negara, dibedakan untuk setiap tipe rumah negara dan lokasi Kabupaten/Kota-nya. Untuk harga satuan per m2 tertinggi untuk pembangunan rumah susun (pekerjaan standar), menggunakan pedoman harga satuan per m2 tertinggi untuk pembangunan bangunan gedung pemerintah bertingkat tidak sederhana, sesuai dengan lokasi Kabupaten/Kota-nya.

3. HARGA SATUAN PER M1 TERTINGGI UNTUK PEMBANGUNAN PAGAR

BANGUNAN GEDUNG NEGARA

a. Harga satuan per m1 tertinggi pembangunan pagar bangunan

gedung negara ditetapkan sesuai klasifikasi bangunan gedung, letak pagar serta lokasi Kabupaten/Kota-nya.

b. Harga satuan per m1 tertinggi untuk pembangunan pagar rumah

negara, sesuai dengan tipe rumah, letak pagar, dan lokasi Kabupaten/Kota-nya.

c. Harga satuan per m1 tersebut, dengan ketentuan tinggi pagar

sebagai berikut:

1) pagar depan dengan tinggi minimum 1,5 m. 2) pagar samping dengan tinggi minimum 2 m. 3) pagar belakang dengan tinggi minimum 2 m.

atau berdasarkan ketentuan Peraturan Daerah setempat.

Harga satuan tertinggi untuk bangunan gedung negara dengan klasifikasi bangunan khusus, ditetapkan berdasarkan rincian anggaran biaya (RAB) yang dihitung sesuai dengan kebutuhan dan kewajaran harga yang berlaku.

C. KOMPONEN BIAYA PEMBANGUNAN

(45)

1. BIAYA KONSTRUKSI FISIK

Yaitu besarnya biaya yang dapat digunakan untuk membiayai pelaksanaan konstruksi fisik bangunan gedung negara yang dilaksanakan oleh pemborong secara kontraktual dari hasil pelelangan, penunjukan langsung, atau pemilihan langsung.

Penggunaan biaya konstruksi fisik selanjutnya diatur sebagai berikut: a. Biaya konstruksi fisik dibebankan pada biaya untuk komponen

kegiatan konstruksi fisik proyek yang bersangkutan.

b. Biaya konstruksi fisik maksimum untuk pekerjaan standar, dihitung dari hasil perkalian total luas bangunan gedung negara dengan standar harga satuan per-m2 tertinggi yang berlaku.

c. Untuk biaya konstruksi fisik pekerjaan-pekerjaan yang belum ada pedoman harga satuannya (non standar), dihitung dengan rincian kebutuhan nyata dan dikonsultasikan dengan Instansi Teknis setempat.

d. Biaya konstruksi fisik ditetapkan dari hasil pelelangan pekerjaan yang bersangkutan, maksimum sebesar biaya konstruksi fisik yang tercantum dalam dokumen pembiayaan bangunan gedung negara yang bersangkutan, yang akan dicantumkan dalam kontrak, yang di dalamnya termasuk biaya untuk:

1) pelaksanaan pekerjaan di lapangan (material, tenaga, dan alat),

2) jasa dan overhead pemborong,

3) Izin Mendirikan Bangunan (IMB), yang IMB-nya telah mulai diproses oleh pengelola proyek dengan bantuan konsultan perencana konstruksi dan/atau konsultan manajemen konstruksi, 4) pajak dan iuran daerah lainnya, dan

5) biaya asuransi selama pelaksanaan konstruksi.

e. Pembayaran biaya konstruksi fisik dapat dibayarkan secara bulanan atau tahapan tertentu yang didasarkan pada prestasi/kemajuan pekerjaan fisik di lapangan.

2. BIAYA MANAJEMEN KONSTRUKSI

(46)

Penggunaan biaya manajemen konstruksi selanjutnya diatur sebagai berikut:

a. Biaya manajemen konstruksi dibebankan pada biaya untuk komponen kegiatan manajemen konstruksi proyek yang bersangkutan.

b. Besarnya nilai biaya manajemen konstruksi maksimum dihitung berdasarkan prosentase biaya manajemen konstruksi terhadap nilai biaya konstruksi fisik bangunan yang tercantum dalam Tabel B2 dan B3.

c. Untuk biaya manajemen konstruksi pekerjaan-pekerjaan yang belum ada pedoman harga satuan tertingginya (non standar), besarnya biaya manajemen konstruksinya dihitung secara orang-bulan dan biaya langsung yang bisa diganti, sesuai dengan ketentuan billing rate yang berlaku.

d. Biaya manajemen konstruksi ditetapkan dari hasil pelelangan/ pemilihan langsung, maupun penunjukan langsung pekerjaan yang bersangkutan, yang akan dicantumkan dalam kontrak, termasuk biaya untuk:

1) honorarium tenaga ahli dan tenaga penunjang, 2) materi dan penggandaan laporan,

3) pembelian dan atau sewa peralatan, 4) sewa kendaraan,

5) biaya rapat-rapat,

6) perjalanan (lokal maupun luar kota), 7) jasa dan overhead manajemen konstruksi, 8) asuransi/pertanggungan (liability insurance) 9) pajak dan iuran daerah lainnya.

e. Pembayaran biaya manajemen konstruksi didasarkan pada prestasi kemajuan pekerjaan perencanaan dan konstruksi fisik di lapangan, yaitu (maksimum):

1) tahap persiapan/pengadaan konsultan perencana 5%, 2) tahap review rencana teknis sampai dengan serah

terima dokumen perencanaan, 10% 3) tahap pelelangan pemborong 5% 4) tahap konstruksi fisik yang dibayarkan berdasarkan

prestasi pekerjaan konstruksi fisik di lapangan s.d. serah

Gambar

TABEL-TABEL :
TABEL  A1SPESIFIKASI TEKNIS BANGUNAN GEDUNG PEMERINTAH/LEMBAGA TINGGI/TERTINGGI NEGARA
TABEL  A1SPESIFIKASI TEKNIS BANGUNAN GEDUNG PEMERINTAH/LEMBAGA TINGGI/TERTINGGI NEGARA
TABEL  A1SPESIFIKASI TEKNIS BANGUNAN GEDUNG PEMERINTAH/LEMBAGA TINGGI/TERTINGGI NEGARA
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pembinaan ini dilakukan secara terus-menerus, terutama mengenai objek dan tarif pajak, sehingga antara pajak pusat dan pajak daerah saling melengkapi.Metode analisis yang

Gejala awal biasanya mulai tampak pada masa remaja lalu dalam beberapa hari sampai bulan berkembang menjadi gejala-gejala prodromal, dipicu oleh perubahan sosial atau lingkungan

Evaluasi dilakukan untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa dapat menyerap materi perkuliahan melalui pembahasan tugas (PR), tanya jawab & diskusi. Manajemen Perbankan

10 Siswa yang memiliki kemandirian belajar dapat dilihat dari beberapa ciri baik yang terlihat seperti tingkah laku.

Kontak langsung dengan saliva pasien atau darah yang terinfeksi dapat menyebabkan masuknya mikroorganisme melalui luka atau dermatitis pada kulit. Semprotan atau aerosol

Kadar air kerupuk berseledri setelah pengeringan menunjukkan peningkatan seiring dengan meningkatnya proporsi terigu yang digunakan.Kadar air kerupuk dengan proporsi

dikenal dengan istilah Ke-TAUHID-an , Yaitu : perwujudan keyakinan akan Ke- ESA-an TUHAN yang tertuang dalam Ikrar “LAA ILAAHA ILLALLAH”.. KETUHANAN

Se/rang anak laki3laki usia ) tahun dengan kejang' Kejang se1ara ti0a3ti0a seluruh tu0uh kel/j/tan dan mengepalkan tangan serta mata melirik ke atas' Saat kejang mulut