Identitas Imamat: Sebuah Telaah dalam Teologi Imamat
Oleh Thomas J.McGovern.PENDAHULUAN
Teologis
1 Imamat Kristus dan perkembangannya dalam Perjanjian Baru 2 Pelayanan Imam
3 Identitas Imamat: Kristus-Kristus yang lain 4 Tubuh dan jiwa bagi Kristus : selibat imam
Spiritual
5 Kehidupan rohani dari imam
6 Identitas Ekaristis: imam dan korban 7 Beberapa keutamaan imam
Pastoral
8 Imam sebagai penginjil
9 Khotbah tentang kemurnian, pernikahan, dan Humanae vitae
10 Roh Kudus, dosa, rekonsiliasi
11 Bimbingan rohani bagi imam dan awam 12 Imam dan liturgi
EPILOG
PENDAHULUAN
Secara umum diterima bahwa sejak akhir Konsili Vatikan II (KV II) telah terjadi krisis dalam keimamatan katolik. Gejala-gejalanya telah didefinisikan dengan baik, kala sinode uskup yang diadakan pada tahun 1971 untuk membahas topik yang sangat hangat ini. Sinode mengakui bahwa terdapat krisis identitas di kalangan para imam karena keraguan serius setelah KV II tentang esensi dan dan tujuan imamat. Para uskup menilai persoalannya tidak lain adalah krisis rohani yang mendalam yang muncul dari pemahaman teologis yang kurang sempurna tentang hakikat imamat. Jalan ke depan adalah jelas : menurut sinode :
Para Imam... menemukan identitas mereka sejauh bahwa mereka sepenuhnya menjalani tugas perutusan Gereja dan melaksanakannya dengan cara-cara yang berbeda-beda dalam persekutuan dengan seluruh Umat Allah, sebagai para pastor dan pelayan Tuhan dalam Roh, demi memenuhi rencana keselamatan dalam sejarah melalui pekerjaan mereka.1
Karena itu suatu pemahaman yang benar tentang kodrat pelayanan imamat menjadi penting untuk keyakinan, dan komitmen terhadap panggilan ini. Pemahaman yang demikian, sinode menyiratkan, hanya bisa lewat suatu eklesiologi yang penting dan kesadaran yang mendalam tentang betapa pentingnya imamat jabatan untuk melayani umat beriman.
Krisis ini tercermin dalam dua area khususnya - penyimpangan dari imamat dan penurunan yang serius dalam panggilan.2 Selama tiga puluh tahun terakhir lebih banyak imam yang telah meninggalkan panggilan mereka ketimbang pada periode lain yang sama dalam sejarah Gereja.3 Fenomena yang menyedihkan ini oleh Bapa Suci disebutnya sebagai 'tanda terbalik (counter-sign)', 'kesaksian terbalik (counter-witness)' dan 'salah satu kemunduran (setbacks) terhadap pengharapan-pengharapan besar bagi pembaharuan yang muncul di seantero Gereja oleh KV II'.4 Krisis tersebut sungguh merupakan fenomena universal, yang mempengaruhi baik
1De Sacredotio ministeriali, Bag. II, AAS, 68 (1971) 909.
2 Meski terjadi penurunan panggilan di Eropa Barat, Amerika Utara dan Oseania, terdapat pertumbuhan
panggilan yang signifikan selama dua puluh tahun terakhir di Afrika, Amerika Selatan, Asia Tenggara, dan Eropa Timur - bdk. Osservatore Romano, 31 Juli 1996; Lihat juga Peninjauan kembali statistik Gereja untuk periode 1979-1997 dalam Seminarium, xxxix (1999), No. 4, Dimensione quantitativa della Chiesa Cattolica alle soglie dell'anno giubilare, hlm. 652.
3 Selama periode 1964-1997, ada 60.126 penyimpangan dari imamat (Diosesan dan Tarekat). Lih.
OsservatoreRomano, 13/20 Agustus 1997; Seminarium, op.cit., hal. 646.
4 Amanah untuk para imam di Maynooth, 1 Oktober 1979. Amanat-amanat dari Bapa Suci bagi para imam
imam diosesan maupun tarekat, tapi satu yang paling berbekas adalah di negara-negara berkembang di Eropa Barat dan Amerika Utara.
Sulit untuk memahami terjadinya krisis yang mempengaruhi begitu banyak imam sejak KV II ini. Identitas imam tertulis besar pada halaman-halaman Injil, jejak rekam sabda dan karya Kristus Sang Imam par excellence. Kita juga memiliki catatan tentang gaya hidup, khotbah dan ajaran dari generasi pertama para imam dalam narasi Perjanjian Baru. Selain itu, Magisterium selalu memiliki konsep yang sangat jelas tentang peran imam berdasarkan Kitab Suci, wawasan para Bapa Gereja, dan keteladanan hidup begitu banyak imam yang kesuciannya secara umum diakui oleh Gereja. Terutama di abad XX, Magisterium kepausan telah menyatakan persepsi tentang imamat dalam banyak dokumen yang signifikan, yang mencakup setiap segi panggilan dan kehidupan para imam.5
Kenapa, kita mungkin bertanya, sebuah spesifikasi pekerjaan yang terdefinisi secara jelas seperti imam dapat menjadi begitu kabur sebagaimana menyebabkan puluhan dari ribuan orang kehilangan pemahaman terhadapnya dan akhirnya meninggalkan komitmen mereka? Sementara itu tidak ada yang bisa menjawab karena alasan yang sangat pribadi terkandung dalam setiap kasus, dan refleksi teologis dan pastoral tentang fenomena ini telah mengidentifikasi beberapa ide yang secara negatif mempengaruhi persepsi imamat selama periode ini. Pada tahun 1985 Paus Yohanes Paulus II, dalam sebuah amanah di hadapan dewan konferensi uskup Eropa, menilai kesulitan tersebut sebagai berikut :
Sebuah analisis situasi di Eropa saat ini, bersamaan dengan tanda-tanda vitalitas dan kebangkitan yang menggembirakan, menunjukkan suatu krisis panggilan berkepanjangan dan fenomena penyimpangan yang menyakitkan. Penyebab fenomena menyakitkan ini ada beberapa, dan perlulah untuk menghadapinya dengan daya upaya, terutama yang dapat ditelusuri kembali ke suatu proses berhentinya pertumbuhan rohani (spiritual atrophy) atau sikap penolakan yang menghancurkan. Panggilan tidak bertumbuh dalam lingkungan yang demikian. Kita juga harus ingat bahwa bukan dengan mengurangi persyaratan formatif dan kualitatif dari rasullah sehingga terwujud tindakan penginjilan yang lebih efektif dan tajam, tapi justru sebaliknya. 'Memori' Gereja tentang, misalnya, para Orang Suci pelindung Eropa, memberikan pelajaran yang penting dalam hal ini.6
Spiritualitas yang terkena anemia, penolakan teologis, dan pembinaan yang kurang dengan demikian dilihat sebagai katalis dalam proses ke arah kejatuhan panggilan dan masalah penyimpangan. Mengorganisir sinode uskup tahun 1990 tentang pembinaan para seminaris dan imam adalah respons Yohanes Paulus II yang paling signifikan terhadap situasi yang digariskannya pada tahun 1985. Pada penutupan sinode yang sama ini ia menyarankan alasan krisis dalam imamat secara lebih lanjut:
Krisis-krisis ini muncul di tahun-tahun segera setelah Konsili. Hal ini didasarkan pada pemahaman yang keliru - dan bahkan kadang-kadang bias yang sadar terhadap - ajaran Magisterium Konsili. Tidak diragukan lagi, di sinilah letak salah satu alasan bagi jumlah penyimpangan yang besar yang kemudian dialami oleh Gereja, kehilangan-kehilangan yang membuat kerusakan serius terhadap pelayanan pastoral dan panggilan imamat, terutama panggilan misionaris.7
1. PENGARUH TEOLOGIS
Terlepas dari alasan yang dikemukakan oleh Paus atas krisis ini, faktor-faktor lain yang memiliki akarnya dalam sejarah juga memberi dampak. Kaum Reformis abad XVI menghancurkan konsep tradisional imamat dalam dua hal. Pertama, ditolaknya perbedaan esensial antara imamat tertahbis yang bersifat sakramental dan imamat umum kaum awam - dan dengan demikian Tahbisan Suci tidak lagi dianggap sebagai sakramen. Kedua, aspek kultis imamat digantikan oleh suatu penekanan baru pada pelayanan Firman. Dengan penolakan terhadap struktur hirarkis imamat dan yurisdiksi yang berasal darinya, para pelayan dari agama yang baru dipilih atau diutus oleh komunitas gerejani. Sebagai tanggapan terhadap argumen dari kaum reformis
Inggris Osservatore Romano.
5Bdk. The Catholic priesthood: papal documents from St Pius X to Pius XII, ed. Mgr. P. Veuillot, Dublin
1957. Untuk menyebutkan beberapa dari yang lebih penting: St. Pius X: Anjuran, Haerent animo, tentang kesucian imam, 4 Agustus 1908; Pius XI: Ensiklik, Ad Catholici sacerdotii, tentang imam Katolik, 20 Desember 1935; Pius XII: Nasehat Apostolik, Menti nostrae, tentang pengudusan hidup imamat, 23 Desember 1950; Yohanes XXIII: Ensiklik, Sacerdotii nostri primordia, tentang kesempurnaan imam, 1 Agustus 1959; Paul VI: Ensiklik, caelibatus Sacerdotalis, tentang imam selibat, 24 Juni 1967.
6 Amanah, 11 Oktober 1985 (aslinya dalam bahasa Italia).
bahwa tidak ada hal seperti jabatan imam khusus, Konsili Trente menegaskan kodrat hirarkis jabatan Gerejawi yang diberkahi dengan yurisdiksi spiritual yang spesifik. Dalam menanggapi penolakan terhadap karakter imam yang diberikan kepada imam melalui tahbisan sakramental, Konsili Trente menekankan hubungan antara korban yang tampak (Misa) dan otoritas keimamatan.8 Dengan penekanan demikian, konsili secara sederhana mempertahankan teologi Abad Pertengahan bahwa imamat itu harus dipahami pertama-tama dari perspektif tugas dan kekuatan sakramental imam. Perayaan Misa adalah kunci untuk peran dan identitas imam, dan Gereja terutama dipahami sebagai suatu struktur hirarkis dengan aturan otoritas. Posisi kaum awam dalam Gereja karena itu bersifat sekunder, suatu sikap yang tercermin jelas dalam KHK tahun 1917 yang menggambarkan kaum awam sebagai bukan para klerus.9 Namun sekitar masa KV II, bandul teologis mulai berayun kembali ke arah berlawanan menuju teologi kaum Reformis.
Dalam pidatonya pada pembukaan sinode para uskup tahun 1990, Kardinal Ratzinger menegaskan bahwa krisis dalam imamat pasca-KV II terutama berdasar pada fakta bahwa argumen-argumen yang tua dari Reformasi abad XVI, bersamaan dengan temuan penafsiran Alkitab modern yang lebih baru - yang lebih diasupi oleh pengandaian-pengandaian Reformis - mencapai ke-masuk-akal-an tertentu, dan teologi Katolik tidak dapat menanggapinya secara memadai.10
Ide teologis yang dipinjam dari Protestanisme memunculkan reinterpretasi konsep imamat Perjanjian Baru, merampasnya dari dimensi kesakralannya yang unik. Perubahan persepsi tentang sifat esensial imamat mempertanyakan gagasan imam sebagai manusia yang terpisah, sebagai yang entah bagaimana 'berbeda' dari manusia lainnya. Sementara itu para pendukung perspektif baru ini yang mengakui adanya berbagai fungsionaris gereja dalam Perjanjian Baru seperti uskup, diakon, dan imam, berpendapat bahwa dimensi kultis sungguh-sungguh hilang dan, akibatnya, sementara menerima bahwa mereka adalah para administrator, mereka mengingkari bahwa mereka adalah imam. Menurut tesis ini, perlahan-lahan, unsur kultus hanya ditambahkan ke fungsi administratif dan pengajaran pada abad pertama. Dengan jalan ini penatua menjadi imam. Imam kemudian dilihat sebagai wakil dari Gereja bukan sebagai wakil Kristus. Akibatnya, dalam beberapa dekade terakhir tendensi mengarah pada peletakan identitas imam secara eklesiologis daripada kristologis dengan penekanan pada fungsionalisme.11 Model Pelayanan imamat Lutheran sedang membumi dengan mengorbankan identitas imam Katolik seperti yang didefinisikan oleh Konsili Trente.
Kritik Ratzinger diarahkan terutama pada model imamat yang diusulkan oleh sekolah teologi Schillebeeckx. Dominikan Belanda mengembangkan suatu teologi pelayanan yang lebih didasarkan pada kriteria sosiologis dari pada Tradisi hidup Gereja.12 Bagi Schillebeeckx, imamat adalah munculnya pelayanan dari bawah yang didorong oleh dinamika-dinamika sosial komunitas Kristen awal. Ia berpendapat bahwa pelayanan yang asali ini secara bertahap mengembangkan suatu dimensi kultis yang kemudian menjadi karakteristik dominan. Dalam keadaan tertentu ia hendak mengatakan bahwa kebutuhan sakramental komunitas tersebut bisa memandatkan perayaan Ekaristi kepada seorang anggota umat beriman yang ditunjuk, bukan ditahbiskan. Dengan demikian ia secara efektif menyangkal transmisi daya suci melalui suksesi apostolik sebagai landasan imamat Katolik. Dari sini kita melihat bahwa konsepnya tentang pelayanan adalah sungguh bersifat Lutheran. Dalam Suratnya pada tahun 1983, Sacerdotiumministeriale,13 Kongregasi untuk Ajaran Iman menanggapi sejumlah kesalahan ini, tapi amanah Ratzinger tahun 1990 di hadapan sinode para uskup sebagian merupakan tindak lanjut dokumen ditandatanganinya pada tahun 1983.
Sekularisasi
Pengaruh-pengaruh yang menyebabkan perubahan dalam persepsi imamat tak hanya bersifat telogis saja. Pergeseran dalam sikap kultural dan sekuler juga telah memainkan peran di dalamnya. Sebuah karakteristik dari zaman kita adalah sekularisasi yang bersifat progresif dari masyarakat dan menjauhnya orang-orang dari Gereja. Bahkan di negara-negara dengan tradisi Kristen yang tua orang-orang semakin hidup tanpa
8Bdk. 'Dekrit tentang kurban Misa' (Sesi ke-22, 17 September 1562); 'Dekrit tentang Sakramen Tahbisan'
(Sesi ke-23, 15 Juli 1563), dalam The canons and decrees of the council of Trent, terj. H. J. Schroeder, Rockfort, Il., 1978.
9Bdk. Kan.107.
10 Amanah, 1 Oktober 1990, dalam Osservatore Romano, 28 Oktober 1990.
11 Anton Ziegenaus, 'Identidad del sacerdocio ministerial' dalam La formacion de los sacerdotes en las
circunstancias actuales, Pamplona, 1990, hlm. 81-86.
12Bdk. E. Schillebeeckx, Ministry: a case for change, London, 198; Ibid.The Church with a human face: a new and expanded theology of ministry, London, 1985; Lih. Kritik terhadap teori Schillebeeckx yang dipublikasikan oleh Albert Vanhoye dan Henri Crouzel, 'The ministry in the Church: reflections on a recent publication', Clergy Review, 68, 1983, hlm. 155-74.
13 Letter to the bishops of the Catholic Church on certain questions concerning the minister of the
mengacu pada yang transenden. Sejumlah besar telah mengabaikan mengikuti Kristus sebagai “jalan, kebenaran dan hidup " ( Yoh 14:6 ), dan hidup dengan suatu etika relativistis dan subyektif. Kemajuan ekonomi telah menjadi tujuan utama dari individu dan masyarakat, suatu sikap yang mengarah pada ateisme praktis dan mengeringkan kehidupan dari yang misteri.14 Nilai-nilai Kristiani semakin kurang tercermin dalam masyarakat dan program-program politik seringkali secara implisit memusuhi ajaran moral Kristiani. Dalam situasi di mana agama semakin dikurung pada bidang nurani personal, status dan prestise tradisional para imam dalam masyarakat telah jauh berkurang terutama di daerah perkotaan. Akibatnya, sejumlah imam telah kehilangan kepercayaan akan efektivitas pesan Kristiani tentang keselamatan dan kemampuan Gereja untuk mengartikulasikan Injil yang penuh arti.
Karena salah satu ortodoksi saat ini adalah bahwa ekspresi nilai-nilai agama harus terbatas pada daerah hati nurani pribadi, kini banyak orang akan menegaskan bahwa nilai-nilai moral Kristiani seharusnya tidak diperbolehkan untuk mempengaruhi wacana publik atau realitas sekuler. Baik hal yang sakral maupun yang profan memiliki, tentu saja, nilai-nilai dan prinsip-prinsip otentiknya sendiri. Tapi tidak pernah menjadi bagian dari rencana Tuhan bahwa manusia harus menjalani semacam keberadaan yang bersifat skizofrenia - bahwa kehidupan agamanya di satu sisi, dan komitmen profesional, sosial dan keluarganya di sisi lain, harus benar-benar terpisah dan menjadi eksistensi yang terbagi-bagi. Namunpun demikian, ada peningkatan tekanan sosial dan legislatif untuk mempercepat keterbagian ini.
Meskipun ada upaya KV II untuk memulihkan ajaran Injil tentang panggilan universal untuk kekudusan dan pengudusan pribadi dalam dan melalui realitas sekuler, suatu pengaruh materialistik yang kuat telah aktif dalam berbagai bidang masyarakat, menghapus gagasan manusia terhadap gambar dan rupa Allah dengan suatu tujuan adikodrati. Banyak imam telah dipengaruhi oleh tekanan negatif ini, dengan akibat bahwa mereka cenderung melihat peran mereka sebagai pekerja sosial Kristen dan bukan sebagai imam yang diberkati dengan kunci kepada kehidupan adikodrati yang tugas utamanya adalah untuk memimpin jiwa-jiwa ke keselamatan kekal. Efek samping dari pengaruh sekulerisasi ini adalah bahwa imam sangat jarang memberitakan tentang hal-hal terakhir - kematian, penghakiman, surga, neraka. Jika penebusan dipandang berkaitan erat dengan perkara-perkara dunia ini, berbicara tentang hal-hal terakhir kehilangan relevansinya.
PENGARUH BUDAYA
Efek samping yang lain dari hilangnya pandangan adikodrati ini adalah bahwa imam berada dalam bahaya menaruh prioritas mereka untuk menjadi elit politik, akademis dan media. Oleh karena itu, beberapa teolog telah menafsirkan kategori dosa, pertobatan dan anugerah dalam term kolektif dan sosial ketimbang pribadi dan spiritual. Dengan jalan ini mereka telah menanggapi misi yang disetel oleh dunia bagi Gereja daripada mempromosikan misi Gereja yang mengharuskan dunia untuk membuka diri bagi terang Injil. Sejak jatuhnya komunisme opsi politik telah dicabut dari daya tariknya, dan dengan demikian antusiasme baru diperuntukkan bagi versi feminisme, multikulturalisme, dan kebenaran ekologi yang bermacam-macam.15 [ 15 ]
Meningkatnya penekanan pada ide-ide kebebasan dan demokrasi di lingkungan budaya yang umum telah menciptakan suatu iklim pendapat yang secara kritis mempertanyakan otoritas keagamaan dan akhirnya menolaknya, terutama di bidang norma-norma moral. Fakta bahwa gagasan dominan tentang kebebasan dilepaskan dari konsep kebenaran obyektif, dan bahwa kodrat riil dari otoritas keagamaan yang kurang dipahami, memperburuk masalah. Karena imam merupakan bagian dari struktur hirarkis yang tidak bertanggung-jawab pada proses demokrasi manusia, dan karena ia mengkhotbahkan suatu doktrin yang menarik keabsahannya terutama dari otoritas Wahyu, ia dapat merasa semakin tidak nyaman dalam suatu masyarakat yang semakin kurang dibentuk oleh dinamika budaya Kristiani, dan di mana relativisme dalam doktrin dan nilai-nilai moral menjadi karakteristik-karakteristik teologis yang menentukan.16
Ketika KV II 'menemukan kembali' gagasan imamat umum umat beriman, gagasan itu mengubah pemahaman yang ada tentang hal-hal yang terasa bersifat imamat dalam Gereja Katolik hanya dalam term klerikus. Namun, karena suatu kesalahpahaman yang mendasar tentang kodrat panggilan awam (yang terutama menghadirkan nilai-nilai Injil dalam masyarakat sekuler), ayunan ke kutub yang berlawanan telah mengakibatkan suatu peningkatan klerikaslisasi awam dalam upaya untuk membuat mereka lebih terlibat dalam pekerjaan Gereja. Proses pemberdayaan kaum awam telah dipahami terutama sebagai penganugerahan pelayanan yang beranekaragam kepada mereka, tugas yang sebelumnya sering dilakukan oleh para klerikus. Hasilnya adalah kaburnya identitas imam baik di mata klerus sendiri maupun di antara kaum awam. Bahwa hal ini menciptakan masalah dalam Gereja saat ini menjadi jelas dari perhatian yang diberikan untuk itu dalam
14Bdk. Pastores dabo vobis, 7 (25 Maret 1992), selanjutnya disingkat PDV dalam catatan kaki. 15Bdk. J. Nuechterlein, 'Pastoral concerns', dalam First Things, no. 77, November 1997, hlm. 9.
16Bdk. PDV, 8. Lih. juga Gisbert Greshake, The meaning of Christian priesthood, Dublin, 1988, hlm.
pernyataan-pernyataan terkini Paus Yohanes Paulus II dan departemen-departemen Vatikan.17 Praktek-praktek ini 'menimbulkan konsepsi pelayanan yang "fungsionalitstik", yang melihat pelayanan "pastor" sebagai suaatu fungsi dan bukan sebagai suatu realitas sakramental yang bersifat ontologis'.18
YOHANES PAULUS II DAN IMAM
Sejak terpilih sebagai Paus, Yohanes Paulus II sendiri telah memberi sumbangan yang unik terhadap teologi imamat. Beliau memperkenalkan kebiasaan menulis surat yang ditujukan kepada semua imam Gereja untuk hari raya Kamis Putih, hari yang dengan sangat tepat disebutnya sebagai 'hari ulang tahun para imam'. Ini merupakan sebuah inovasi dalam ajaran kepausan, yang telah digunakan secara efektif oleh Bapa Suci selama dua puluh tiga tahun terakhir untuk mengomentari banyak aspek pelayanan imamat dan sebagai sebuah sarana untuk memberi sumbangan khasnya untuk teologi imamat.
Seperti semua tulisannya yang lain, surat-surat ini berakar sangat dalam dari Alkitab dan, lebih sering daripada tidak, ditulis dalam bentuk refleksi doa daripada disertasi doktrinal tradisional. Jelas juga, bahwa ia membawa pengalaman hidup imamatnya sendiri yang kaya pada komunikasi tahunan dengan imam-imam saudaranya ini. Surat-surat ini, bersamaan dengan dokumennya tentang pembinaan para imam tahun 1992,
Pastores Dabo Vobis,19 antara lain merupakan respon terhadap beberapa unsur negatif budaya kontemporer yang, mungkin secara tidak sadar, telah menembus pembinaan dan gaya hidup imam. Unsur-unsur tersebut termasuk rasionalisme tertentu yang merusak keyakinan tentang yang adikodrati, dan individualisme agresif yang membuat komitmen yang mengikat dan permanen menjadi sulit. Iklim sosial yang bersifat subversif terhadap hubungan-hubungan manusia yang baik pasti mengarah pada suatu jenis kesepian yang dicoba untuk dipuaskan orang dengan cara konsumerisme dan suatu pendekatan hedonistik terhadap hidup. Pengaruh-pengaruh korosif dari lingkungan budaya pasti tersaring ke sikap para imam dan pemahaman mereka tentang pelayanan imamat. Pengaruh-pengaruh tersebut juga membuat promosi panggilan menjadi lebih sulit. Faktor-faktor ini, dan yang lainnya, adalah apa yang menyarankan Yohanes Paulus II perlunya pembaharuan dan perevitalisasian imamat dalam terang ajaran KV II tentang panggilan universal untuk kekudusan.20
Konsekuensinya, pada bulan Oktober 1990 ia memanggil sinode para uskup untuk mempelajari persoalan pembinaan para imam. Fokus terhadap pembinaan imam ini, mungkin, menjadi suatu pengakuan diam-diam akan fakta bahwa masalah sehingga krisis yang dimaksud di atas muncul terutama dari pembinaan di seminari dan lanjutannya yang tidak memadai atau kurang baik. Anjuran Apostolik, Pastores Dabo Vobis, adalah dokumen yang paling luas dari magisterium yang dikhususkan untuk pembinaan imam dan mendasari pernyataan Yohanes Paulus II yang paling komprehensif tentang kodrat jabatan pelayanan imamat. Kita sekarang benar-benar dapat berbicara tentang magna carta teologi imamat yang akan terus menjadi otoritatif bagi masa depan Gereja.21 Dokumen ini merupakan pengembangan dari dokumen KVII Optatam totius tentang pembinaan imam.22 Dokumen tersebut meneruskan kebijakan yang tersaring dari sinode 1990 yang ke dalamnya Bapa Suci menambahkan banyak wawasan tembusan pribadinya tentang pembinaan imam. Dokumen itu menunjukkan jalan maju untuk suatu penemuan dan penegasan kembali imamat Kristus sebagai yang diturunkan melalui suksesi apostolik, dan yang diperkaya selama berabad-abad oleh tindakan Roh Kudus dalam Gereja. Baru-baru ini, dalam konteks katekese mingguannya tentang misteri Gereja, antara Maret dan September 1993, Yohanes Paulus II mengkhususkan delapan belas amanah untuk sebuah diskusi tentang aspek yang beragam dari imamat yang menjadi harta teologi dan sumber dari banyak rekomendasi praktis.23
Bab-bab berikutnya tentang imamat secara khusus terinspirasi oleh ajaran Bapa Suci - bahwa bab-bab tersebut sangat berakar pada ide-idenya akan menjadi nyata dari beberapa referensi pada tulisan-tulisannya. Keyakinan bahwa suatu kesadaran yang lebih dalam akan ajaran kepausan ini akan banyak bermanfaat bagi para imam adalah apa yang membenarkan saya untuk menempatkan buku ini bersama-sama. Pada saat yang sama saya harus menunjukkan bahwa tujuan saya adalah bukan untuk menghadirkan teologi imamat yang
17Bdk. Amanah, 21 Nov. 1998, no. 5; Instruction on certain questions regarding the collaboration of the
non-ordained faithful in the sacred ministry of priests, 15 Agustus 1997.
18 Kardinal Joseph Ratzinger, 'Reflections on the Instruction regarding the collaboration of the lay faithful
in the ministry of priests - 6', dalam Osservatore Romano, 29 April 1998.
19 Exhortasi Apostolik Pasca Sinode, PDV, 25 Maret 1992.
20Bdk. George Weigel, Witness to hope: the biography of John Paul II, New York, 1999, hlm. 656.
21 Dalam Teks Pastores dabo vobis, Yohanes Paulus II secara khusus menegaskan fakta bahwa ia
mengeluarkan dokumen ini sebagai 'Uskup Roma dan Pengganti Petrus' ( no. 4 ).
22 Dekrit tentang the pembinaan imam, KV II, Optatam totius, 28 Oktober 1965.
23 Amanah 31 Maret; 21 April; 5, 12, 19 and 26 Mei; 2,9, 30 Juni; 7, 17, 21, 28 Juli; 4, 25 Agustus; 1, 22,
komprehensif, sistematis: ada banyak volume substansial yang sudah tersedia di topik ini. Sebaliknya tujuan saya adalah untuk menarik perhatian pada aspek-aspek tertentu dari panggilan imamat yang membantu mendefinisikan identitas imam dan yang saya rasa pada saat ini perlu ditekankan. Bab-bab yang berbeda dari penelitian ini terkumpul di bawah tiga judul utama - Teologi, Spiritual, dan Pastoral. Buku ini bukanlah ruang terpisah yang kedap air, yang mencerminkan fakta bahwa dalam kehidupan imamat itu sendiri ada tumpang tindih spiritual, teologis, dan pastoral ke tingkat yang cukup diakui dan tidak dapat terpisah satu sama lain. PERTIMBANGAN TEOLOGIS
Sebuah pemahaman yang mendalam mengenai sifat teologis dari pelayanan imamat menjadi penting jika kita memiliki sebuah persepsi yang jelas tentang bagaimana pelayanan ini mempengaruhi kehidupan imam, dan cara di mana prakteknya membawa kesucian pribadinya. Oleh karena itu kami memulai penyelidikan kami pada teologi pelayanan dengan melihat secara rinci pada imamat Kristus. Teologi tersebut adalah dari datum yang mengakarkan semua pertimbangan kami selanjutnya tentang imamat.
Dalam Bab 1, 'Imamat Kristus dan perkembangannya dalam Perjanjian Baru’, kita menyadari bagaimana imamat Yesus adalah pemenuhan (imamat) yang digambarkan sebelumnya dalam Perjanjian Lama. Kita akan menemukan bagaimana Kristus memiliki semua karakteristik imamat, yang dimulai pada saat Inkarnasi dan bagaimana, sementara ia menjalankan jabatan imamatnya selama hidupnya, di Kalvarilah karakteristik itu terpenuhi. Persepsi alkitabiah tentang imamat Kristus, bagaimanapun juga, tidak bisa diambil secara terpisah. Persepsi itu harus dilengkapi dengan wawasan Tradisi hidup Gereja. Melalui tradisi Roh Kudus, yang adalah memori hidup Gereja,24 semakin menuntunnya ke tingkat pemahaman diri yang lebih dalam (lih. Yoh 14:26; 16:13). Dari Kitab Suci dan Tradisi kita melihat bagaimana profil pelayanan imamat dan struktur hirarkis berkembang dalam masa Gereja awal, yang merefleksikan imamat dan ajaran Kristus. Inilah isi dari Bab 1.
Salah satu perkembangan teologi imamat dalam beberapa dekade terakhir adalah suatu kesadaran yang lebih dalam akan hubungan yang vital antara imamat jabatan dan imamat umum atau universal kaum awam. Hal ini terjadi sebagai hasil dari pernyataan kembali eklesiologi Katolik dalam Lumen Gentium, konstitusi dogmatis KV II tentang Gereja. Ringkasnya, dokumen ini mengatakan bahwa Gereja telah menerima misi yang unik dari Yesus Kristus, yang dipercayakan kepada semua anggota umat Allah. Melalui sakramen Pembaptisan dan Penguatan mereka telah dibuat mengambil bagian dalam imamat Kristus untuk mempersembahkan kepada Allah kurban rohani, untuk menjadi saksi Kristus di hadapan manusia, dan untuk membangun Gereja, masing-masing sesuai dengan panggilannya. Misi Gereja meluas ke semua orang dan setiap saat, dan untuk memenuhinya ada satu imamat – imamat Kristus - di mana semua anggota Umat Allah berbagi meski dengan cara yang berbeda. Bersamaan dengan imamat semua orang yang dibaptis, Allah telah menghendaki bahwa juga ada suatu imamat jabatan yang mensharekan imamat Kristus dengan cara yang unik, dan yang pada dasarnya berbeda dari imamat umum umat beriman. Imamat jabatan ini adalah untuk melayani umat karena tujuan utamanya untuk mengaktifkan dan memberdayakan imamat semua orang yang dibaptis. Bab 2, 'Imamat jabatan', meneliti aspek-aspek pelengkap imamat secara mendalam, dan lanjut untuk melihat konsep-konsep teologis dasar tentang imamat seperti konsekrasi dan misi, dan tiga fungsi pelayanan mengajar, menguduskan dan memimpin umat Allah. Dalam beberapa tahun terakhir perhatian yang serius telah diberikan pada gagasan amal kasih pastoral (pastoral charity) sebagai prinsip dinamis dan pemersatu dalam pelayanan dan kehidupan rohani imam. Kita akan melihat beragam aspek dari konsep yang penting ini dengan referensi khusus pada pengartikulasian Yohanes Paulus II terhadapnya dalam Pastores Dabo Vobis.
IDENTITAS IMAM
Dengan refleksi-refleksi ini sebagai konteksnya, dasar untuk mempertimbangkan secara mendalam dimensi-dimensi teologis identitas imam kini telah tersedia. Dasar ini, seperti yang telah kita lihat, telah menjadi pokok persoalan yang banyak dibahas banyak sejak KV II. Dasar ini juga telah disebutkan dalam banyak kesempatan oleh Yohanes Paulus II. Dalam kunjungan pastoralnya ke berbagai negara ia selalu membuat titik tolak pembicaraan dengan para imam dan seminaris untuk meneguhkan mereka dalam panggilan, dan untuk menunjukkan kepada mereka bagaimana menemukan identitas sejati mereka dalam Kristus, Imam Agung Abadi. Dia telah berulang kali mengatakan bahwa hidup mereka akan menjadi otentik sejauh mereka mencerminkan Kristus, sejauh mereka menjadi alter Christus, Kristus yang lain.25
Identitas Imamat dalam tulisan-tulisan Yohanes Paulus II adalah tema utama dari Bab 3. Hal ini dapat dipertimbangkan dari pelbagai sudut. Apa yang saya lakukan di sini adalah memeriksanya dari perspektif panggilan ilahi dan sifat sakramental, serta konsekuensi-konsekuensi yang diberikan oleh kenyataan-kenyataan ini terhadap kehidupan imam. Kemudian menyusul studi tentang identitas imam yang Triniter dengan referensi khusus pada dimensi kristologis - yang terakhir ini mencakup kesadaran akan imam sebagai ikon Kristus. Tidak
akan mengejutkan bahwa suatu tema dasar yang berjalan lewat bab ini adalah bagaimana imam bertindak in persona Christi (dalam pribadi Kristus), ciri khas identitas imam yang menentukan.
Dalam konteks ini karakter relasional imamat juga perlu dipertimbangkan, terutama hubungan imam dengan Gereja, dengan uskupnya, dan dengan para imam saudaranya. Konsep teologis dari persekutuan (communio), yang telah dikembangkan lebih teliti sejak Vatikan II, adalah kunci yang digunakan untuk menembus lebih dalam ke dalam relasi-relasi ini. Pada bagian akhir dari bab ini kita mengkaji beberapa pengaruh negatif yang cenderung mengaburkan dan menggelapkan terangnya identitas imam.
Selibat
Banyak dari mereka yang meninggalkan imamat di era pasca-Vatikan II menyatakan bahwa tuntutan selibat tidak lagi dapat dipertahankan secara teologis, psikologis, atau pada tingkat praksis. Dekrit KV II
pelayanan dan kehidupan pada imam26 menegaskan kembali posisi Gereja terhadap selibat, dan ajaran ini
berkembang kuat beberapa tahun kemudian dalam ensiklik Paus Paulus VI (Sacerdotalis caelibatus) pada tahun 1967. Pikiran Gereja saat ini tentang selibat imamat dinyatakan dengan sangat jelas oleh sinode para uskup tahun 1990 dan diinkorporasikan dalam dokumen sinodal Yohanes Paulus II terhadap pembinaan imam,
Pastores Dabo Vobis. Di dalamnya ia menegaskan 'keteguhan Gereja akan mempertahankan hukum yang menuntut selibat kekal dan yang dipilih secara bebas selibat bagi para calon untuk tahbisan imamat saat ini dan di masa mendatang dalam ritus Latin.'27
Ada kesedihan yang tak dapat dibenarkan dan, sungguh, merupakan suatu skandal yang pasti pada laporan kegagalan seorang imam untuk menjaga kaul selibatnya. Bagi banyak orang imamatnya, dalam arti yang sangat nyata, bernilai apakah selibatnya layak - ini adalah ukuran pentingnya karisma ini bagi umat beriman awam. Namun, intensitas konsentrasi media pada kegagalan di area ini sering menjadi suatu cermin sikap antiklerikalisme yang banyak melingkupi etos media. Koran dan TV, dengan dan secara besar-besaran, berkomitmen pada etika permisif dalam bidang moralitas seksual, dan satu-satunya oposisi yang ditawarkan untuk agenda ini adalah ajaran moral yang konsisten dari Gereja Katolik. Seseorang tidak dapat membantu merasakan pada saatnya bahwa penuntutan aktif atas kegagalan dalam selibat oleh media merupakan cara lain untuk menyerang Gereja yang berdiri pada moralitas seksual dengan mencoba untuk menunjukkannya sebagai penyangkalan diri (self-contradictory).
Sejak saya menerbitkan sebuah studi komprehensif tentang selibat baru-baru ini,28 di sini bukan maksud saya untuk berurusan panjang lebar dengan aspek imamat ini. Sebagian besar dari yang saya katakan dalam karya tersebut merupakan pengembangan dari isu-isu penting yang diangkat oleh Yohanes Paulus II dalam sebuah pidato kepada sekelompok uskup Kanada pada tahun 1993:
Pertimbangan-pertimbangan budaya, dan kelangkaan imam di daerah-daerah tertentu, kadang-kadang menimbulkan panggilan untuk perubahan dalam disiplin ini. Untuk memberikan bobot yang menentukan pada solusi berdasarkan kriteria yang lebih bersumber pada arus-arus antropologi, sosiologi atau psikologi tertentu ketimbang pada tradisi Gereja yang hidup tentu bukanlah jalan untuk diikuti. Kita tidak dapat mengabaikan fakta bahwa Gereja berusaha mengetahui kehendak ilahi melalui tuntunan batiniah Roh (bdk. Yoh. 16:13), dan bahwa kesulitan saat ini dalam menjaga selibat bukanlah alasan yang cukup untuk membalikkan keyakinan Gereja terhadap nilaii dan kepatutannya, suatu keyakinan yang secara terus-menerus ditegaskan kembali oleh Magisterium Gereja, paling tidak oleh Konsili Vatikan II (bdk. Presbyterorum Ordinis, no. 16). Seperti Gereja di negara-negara lain, Gereja di Kanada dipanggil untuk menghadapi situasi ini dengan iman dan keberanian, percaya ‘akan Roh bahwa karunia selibat... akan diberikan secara murah hati oleh Bapa, asalkan mereka yang mengambil bagian dalam imamat Kristus melalui Sakramen Tahbisan, dan sebenarnya seluruh jemaat, dengan rendah hati dan sungguh-sungguh berdoa untuk itu ' (ibid.).29
Bab 4 kita - ' Tubuh dan jiwa kepada Kristus: selibat imam' - akan mempertimbangkan argumen-argumen biblis dan teologis utama untuk karisma ini.
2. DIMENSI SPIRITUAL
Setelah menetapkan ide yang lebih jelas tentang identitas teologis imam, tentang keterikatannya yang unik dengan Sang Sabda yang menjadi manusia melalui konsekrasi sakramental, kita dapat menyelidiki lebih dekat kodrat hubungan personal yang membuat imam dipanggil untuk memilikinya dengan Kristus. Pastores
26Presbyterorum Ordinis, 7 Desember 1965. 27PDV, 29.
Dabo Vobis, yang meninjau doktrin KV II, berbicara tentang panggilan khusus imam menuju kesucian, berdasarkan Sakramen Tahbisan Suci. Dan panggilan itu membuat titik sangat valid bahwa \, jika semua orang Kristen dipanggil pada kesucian, maka imam memiliki tanggung jawab khusus untuk menjadi kudus jika ia sedang bertindak secara efektif in persona Christi, dan dikonfigurasikan kepada Kristus Kepala dan Gembala.30 Sementara kita para imam pasti menerimanya secara teoretis, dalam prakteknya sikap kita mungkin seringkali menjadi seorang yang hanya bertahan hidup secara rohani daripada membuat upaya serius untuk mengikuti Sang Guru secara lebih dekat. Salah satu tujuan yang harus dimiliki imam untuk hidup rohaninya adalah mencoba membatinkan ajaran teologis yang kaya yang tersedia tentang imamat dan identitas imam yang kami bahas di bagian pertama buku ini. Dengan merenungkan ajaran ini di hadapan Kristus, ia akan meletakkan akar jauh ke dalam tanah panggilannya dan memperoleh kematangan spiritual dan emosional yang akan menjadi pertahanan solid melawan lewat mode teologis dan godaan yang berkaitan dengan ketekunan dalam panggilan.
Bagaimana seharusnya imam merespon daya-daya yang luar biasa dan perbendaharaan rahmat dicurahkan di tangannya? Dari kodratnya yang sangat hakiki panggilan imamat menuntut suatu persahabatan yang mendalam dengan Kristus: "Aku menyebut kamu sahabat' (Yoh. 15:15), yang dikatakan-Nya kepada para imamnya yang pertama saat Perjamuan Terakhir. Persahabatan dengan Kristus, bagaimanapun juga, bukanlah sesuatu yang datang secara otomatis sebagai konsekuensi dari pentahbisan. Ini adalah hubungan yang harus diolah dalam doa di seminari dan dimatangkan secara progresif sepanjang hidup imam tersebut. Kebijaksanaan Gereja yang bertumpuk, dan kesaksian para pastor yang benar-benar efektif yang muncul selama berabad-abad, memberi kesaksian pada fakta bahwa hidup-doa yang dikomitmenkan menjadi satu-satunya sarana yang pasti untuk menemukan keintiman tersebut dengan Sang Guru yang dituntut oleh panggilan imamat.
Pastores Dabo Vobis memberikan pusat pentingnya ikatan antara kehidupan rohani imam dan pelaksanaan pelayanan.31 Namun demikian, integrasi antara pengudusan dan misi dalam diri imam hanya dapat dicapai melalui keutuhan hidup. Di sini kita berhadapan dengan elemen dasar spiritualitas imam yang sepenuhnya diuraikan dalam Presbyterorum Ordinis32 dan dikembangkan selanjutnya dalam Pastores Dabo Vobis.33 Dengan mengingat fragmentasi dan dispersi yang mencirikan konteks sosial dan eklesial saat ini,
Pastores Dabo Vobis menegaskan bahwa tuntutan pada keutuhan hidup dalam diri imam bahkan saat ini lebih mendesak. Bab 5, 'Kehidupan rohani dari imam', membahas beberapa cara praktis di mana kekudusan imamat dapat berhubungan dengan pelayanan dalam konteks keutuhan hidup. Bab ini juga menarik implikasi persaudaraan imam tidak hanya bagi kehidupan rohani dari imam secara individual, tetapi juga untuk presbiterat keuskupan secara keseluruhan.
EKARISTI
Dalam rangkaian suatu amanah yang disampaikannya pada tahun 1993, Yohanes Paulus II membuat titik yang mencolok bahwa:
Dalam rangka untuk memiliki pemahaman yang memadai tentang imamat tertahbis, dan untuk menangani dengan benar setiap pertanyaan menyangkut identitas, hidup, pelayanan dan bina lanjut para imam, perlulah untuk selalu menyadari sifat kurban dari Ekaristi, yang terhadapnya mereka menjadi pelayan-pelayan.34
Identitas imam terkait erat dengan kurban Ekaristi. Untuk mengatakan bahwa seorang imam adalah orang yang memperbaharui kurban Kalvari, dalam arti yang sangat nyata, berarti mengatakan segala sesuatu yang signifikan tentang dia. Penegasan ini mendasarkan dan mendukung setiap pernyataan teologis lainnya yang dapat dibuat dalam kaitannya dengan dirinya. Penegasan ini juga menentukan esensi spiritualitasnya, dan segera menuntun pada pernyataan bahwa jumlah total pelayanannya adalah untuk membangun sebuah komunitas Ekaristis. Bab 6: 'Identitas Ekaristi, imam dan korban', membahas, di tempat pertama, dasar alkitabiah untuk pernyataan ini. Bab ini kemudian mulai mengembangkan teologi Ekaristis imamat, dan relevansinya untuk pelayanan dan kehidupan batin sang imam sendiri. Bab ini diakhiri dengan diskusi tentang implikasi dari peran Kristus sebagai Korban bagi kehidupan spiritual imam.
KEUTAMAAN IMAM
St Agustinus menunjukkan bahwa tidak seperti makanan biasa, yang setelah dikonsumsi kita ubah menjadi diri kita sendiri, makanan Ekaristi mengasimilasi kita kepada Kristus. Dengan makan Tubuh-Nya setiap hari kita secara bertahap memperoleh sikap dan perasaannya : kita belajar untuk melihat orang-orang dan peristiwa melalui matanya. Konsekuensinya, jika imam memiliki kehidupan Ekaristi yang mendalam mereka
30Bdk. PDV, 20 dan 21. 31Bdk. No. 24
32Bdk. No. 14 33Bdk. No. 23
akan dengan mudah memperoleh keutamaan-keutamaan imam yang esensial yang kita lihat tercermin dalam kehidupan Kristus seperti halnya kita membaca halamanhalaman Injil. Pada saatnya beberapa keutamaan ini -kerendahan hati, semangat pelayanan, bela rasa, dll. - akan berkembang dan sehingga keutamaan-keutamaan itu harus berjalan jika para imam adalah untuk mencapai profil yang menarik dari Sang Guru. Yesus memiliki kodrat manusia yang sempurna, dan Santo Markus menambahkan bahwa sebagai seorang manusia ia menjadikan segala-galanya baik (bdk. Mrk. 7:37 ). Meskipun dengan keterbatasan manusiawinya imam memiliki tugas untuk mencoba mengembangkan keutamaan-keutamaan kodrati ini - keceriaan, kemurahan hati, empati - yang membuat karya pastoralnya lebih efektif. Di atas segalanya ia perlu mematangkan talenta-talentanya untuk komunikasi dan interaksi sosial sehingga pesannya dapat dipercaya dan menarik meskipun semua pesan bersaing dalam gelombang udara. Sebagai mana yang ditunjukkan Pastores Dabo Vobis, kepribadian manusia seorang imam harus menjadi jembatan bagi orang lain untuk menemukan Kristus.35 Bab 7 memperlihatkan beberapa keutamaan manusia dan Kristiani yang lebih penting yang memfasilitasi imam untuk mereproduksi dalam dirinya citra Gembala yang Baik.
3. Penginjil
Peran kunci imam adalah memberitakan firman Allah, menjadi seorang penginjil. Dalam lingkungan budaya saat ini, di mana orang terus-menerus dibombardir dengan gambar-gambar audio dan visual, sulit bagi imam untuk membuat suaranya didengar di atas semua statis dalam gelombang udara. Khotbahnya juga ditantang oleh sikap buta huruf katekese yang dapat merembes. Karena ia adalah pembawa satu-satunya pesan yang akan membawa kebahagiaan pribadi, dengan mengikuti teladan St Paulus ia diminta untuk memberitakan kabar baik tentang keselamatan di dalam dan keluar dari musim jika ia hendak meyakinkan orang bahwa ketertarikan akan dunia ini tidak menyediakan penebusan dalam jangka panjang.
Sebagai pelayan tindakan penyelamatan yang penting, ia menempatkan pada pelayanan semua orang bukan barang yang mudah rusak, atau proyek-proyek sosial-politik, tapi kehidupan yang kekal dan adikodrati, mengajarkan cara membaca dan menafsirkan peristiwa sejarah dalam perspektif Injil. Ini adalah tugas utama dari imam, bahkan dalam bidang evangelisasi baru, yang membutuhkan imam yang, menjadi penanggungjawab utama bersama dengan Uskup mereka untuk penyemaian Injil yang diperbaharui ini, yang 'secara mendalam dan sepenuhnya tercurah dalam misteri Kristus. (Pastores Dabo Vobis, 18).36
Dalam Bab 8, 'Imam sebagai penginjil', beberapa implikasi dari aspek peran pastoral ini dikembangkan. Karena dorongan penginjilan dan khotbah adalah untuk membantu orang menemukan panggilan masing-masing dalam Gereja, adalah merupakan suatu bagian integral dari peran imam untuk membantu orang-orang yang dipanggil sedemikian untuk menentukan panggilan pada imamat. Karena penurunan radikal dalam panggilan aspek evangelisasi ini kini telah mendapat urgensi khusus. Yohanes Paulus II memperingatkan bahwa para imam tidak bisa lagi mengadopsi peran pasif dalam kaitannya dengan memelihara panggilan-panggilan imamat: dia sangat mendorong mereka untuk menjadi proaktif dan secara positif mengundang orang muda untuk mengikuti Kristus melalui jalan ini. Bab ini memberi kesimpulan dengan mempertimbangkan cara-cara di mana imam dapat merespon tantangan pelayanan panggilan-panggilan.
Chastity, Pernikahan
Sebuah penampilan masyarakat Barat yang menyedihkan selama beberapa dekade terakhir adalah korupsi nilai-nilai moral seksual dan pertumbuhan budaya hedonistik bahkan di negara-negara dengan tradisi Kristen yang mengakar. Penampilan ini memiliki efek negatif yang mendalam tidak hanya pada individu-individu, tetapi juga pada keluarga dan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu untuk berkhotbah tentang kemurnian dalam konteks saat ini adalah sangat banyak menjalankan praksis kontra-budaya. Namun bahkan masyarakat sekuler mulai mengenali buah pahit yang dituai dari pendekatan amoral terhadap seksualitas manusia sebagaimana tercermin dalam pertumbuhan yang cepat dari kehamilan remaja yang belum menikah, aborsi, penyakit menular seksual, dan runtuhnya nilai-nilai keluarga tradisional. Biaya sosial yang sangat besar dari ketidakbertanggungjawaban seksual kini memaksa otoritas publik untuk melihat kembali pada nilai-nilai tradisional di bidang ini, bahkan sampai mengatur kampanye iklan yang memuji nilai dan keuntungan dari keperawanan.
Karena seksualitas adalah sebuah konstituen integral dari kepribadian manusia, dan karena itu adalah karunia yang diberikan oleh Allah untuk tujuan yang sangat mulia, justru karena merupakan kemampuan manusia yang dapat dengan mudah disalahgunakan dan diselewengkan kita perlu senantiasa diingatkan akan dimensi moral aktivitas seksual. Namun homili tentang rencana Tuhan untuk seksualitas manusia, baik di dalam maupun di luar pernikahan, saat ini jarang terdengar. Hal ini mungkin disebabkan sebagian permusuhan media
35Bdk. PDV, 43.
yang lazim terhadap persepsi kemurnian Kristiani, dan kelebihpedulian Gereja yang seharusnya terhadap moralitas seksual dengan mengorbankan bidang tindakan moral yang lain. Sampai saat KV II mungkin ada penekanan negatif tertentu dalam memberitakan tentang kemurnian. Namun, adalah merupakan pengalaman yang langka saat ini untuk mendengar kotbah tentang topik ini, dan bahkan lebih jarang pasangan yang sudah menikah mendengarkan penjelasan Humanae vitae dari ambo tersebut.
Kesucian tentu saja bukan yang pertama atau yang paling penting dari keutamaan Kristiani. Namun karena tuntutn yang tepat akan seksualitas memiliki konsekuensi yang sedemikian besar untuk kebaikan keluarga dan masyarakat, hal ini menuntut perhatian yang memadai dalam setiap program homiletic atau katekese. Katekese Yohanes Paulus II ekstensif pada awal masa kepausannya (1979-1984) tentang 'makna nupsial dari tubuh' telah meninggalkan bagi para imam kekayaan materi untuk berkhotbah tentang kemurnian dan Humanae vitae dengan cara yang mendorong dan menantang. Dia menarik ajarannya dari sumber-sumber kitab suci dan antropologi Kristen yang kaya dan, dengan demikian, menunjukkan bagaimana ajaran moral Katolik tentang seksualitas manusia selalu pro-cinta dan pro-life. Bab 9, 'Khotbah tentang pernikahan, kemurnian dan Humanae vitae', terutama merupakan presentasi ajaran Yohanes Paulus II pada teologi tubuh ini, suatu ajaran yang menyediakan konteks yang diperlukan untuk membuat doktrin Katolik tentang moralitas seksual lebih dapat dipercaya dan meyakinkan. Karena karya pastoral dalam kaitannya dengan pernikahan dan keluarga pada saat ini sangat krusial bagi masa depan Gereja, suatu poin secara konsisten dibuatan oleh Paus yang sekarang, saya telah berurusan tidak hanya dengan sejumlah aspek kunci dari kerasulan keluarga, tetapi juga mencoba memberikan suatu pernyataan yang jelas tentang isu-isu teologis yang mendasar.
ROH KUDUS, DOSA, REKONSILIASI
Inti dari pesan keselamatan adalah undangan untuk menanggapi kasih karunia Allah dan merasakan pengalaman menjadi anak-anak angkat Allah melalui baptisan. KV II menegaskan kembali gagasan bahwa Kristus memanggil semua pengikutnya kepada kekudusan dan bertumbuh semakin besar dalam persahabatan dengannya. Namun aspirasi mulia untuk kesucian dalam diri manusia ini sering digagalkan oleh kecenderungan keberdosaanya. Karena sifatnya yang dirusakkan oleh dosa asal, ia akan terus mengalami dalam jiwanya duri kesombongan, keegoisan dan sensualitas. Dengan hidup di lingkungan yang materialistis dan hedonis, ia juga harus melakukan pertempuran dengan banyak godaan eksternal untuk berbuat dosa.
Untuk merespon kerapuhan moral yang tak dapat diragukan lagi ini, dengan Sakramen Rekonsiliasi Kristus meninggalkan bagi kita penawar yang tangguh terhadap dosa. Pada masa kebangkitan-Nya, Yesus menampakkan diri kepada para rasul dalam Senakel dan mencurahkan ke atas mereka daya suci untuk mengampuni dosa-dosa dalam nama-Nya. Hak prerogatif yang luar biasa ini dihubungkan oleh Kristus dengan suatu anugerah khusus dari Roh Kudus yang dicurahkan pada rasul-Nya pada malam Paskah pertama itu (bdk. Yoh. 20:21-23). Untuk menyelami kedalaman daya sakramental yang diberikan kepadanya dengan pentahbisan, imam harus akrab dengan tindakan Roh Kudus baik dalam jiwanya sendiri maupun dalam jiwa orang-orang yang dilayaninya. Bab 10, 'Roh Kudus, dosa, rekonsiliasi', mengulas kembali dimensi kehidupan imamat ini dengan referensi khusus pada Sakramen Tobat. Bab ini membahas beberapa faktor yang telah menyebabkan hilangnya rasa keberdosaan dalam kebudayaan Barat kontemporer, dan peran Roh Kudus dalam ' meyakinkan tentang dosa'. Bab ini ini juga menunjukkan cara-cara mengatasi penurunan dramatis dalam penggunaan sakramen pengakuan dosa.
PEDOMAN SPIRITUAL
Dalam Pastores Dabo Vobis Yohanes Paulus II mengingatkan para imam bahwa: 'Perlulah untuk menemukan kembali tradisi agung bimbingan rohani pribadi yang selalu membawa buah yang besar dan berharga bagi kehidupan Gereja'.37 Dekrit KV II tentang pelayanan dan kehidupan para imam juga mendorong mereka untuk memiliki kesadaran yang sangat tinggi untuk praktek asketis ini.38 Tujuan dari Bab 11, 'Bimbingan rohani bagi imam dan awam', adalah untuk mengembangkan poin ini dan untuk menyoroti beberapa dari banyak keuntungan praktis yang imam dapat tarik dari bimbingan rohani pribadi. Tidak sedikit dari keuntungan ini akan menjadi efektivitas-efektivitas yang meningkat dalam memberikan bimbingan rohani bagi kaum awam.
Dengan mengacu pada peran imam dalam memberikan perhatian pribadi bagi jiwa, Bapa Suci mengingatkan kita bahwa
dimensi komunitas pelayanan pastoral tidak dapat mengabaikan kebutuhan umat beriman individu... Konsili menekankan perlunya untuk membantu setiap anggota umat beriman untuk menemukan panggilan khususnya sebagai suatu tugas yang khas dan sesuai dari seorang pastor yang ingin menghormati dan
mendukung kepribadian masing-masing orang. Orang bisa mengatakan bahwa dengan teladanNya sendiri Yesus, Gembala yang Baik yang 'memanggil domba-dombanya masing-masing menurut nama' (bdk. Yoh. 10:3-4), telah menetapkan standar pelayanan pastoral individu: pengetahuan dan hubungan persahabatan dengan orang-orang secara pribadi. Adalah merupakan tugas imam untuk membantu tiap orang untuk memanfaatkan karunianya dengan baik, dan secara benar menggunakan kebebasan yang berasal dari penyelamatan Kristus, seperti yang didesakkan St. Paulus (bdk. Gal. 4:3; 5:1, 13; lih. juga Yoh. 8 : 36).39
Di sini kita mendapatkan sekilas dari 'standar pelayanan pastoral individu' yang diharapkan dari imam, terutama dalam konteks panggilan universal pada kekudusan yang dicanangkan oleh KV II.
Kesuburan pastoral bimbingan rohani bagi kaum awam tergantung sebagian besar pada seberapa baik imam memahami kodrat panggilan awam dalam Gereja. Baru-baru ini Paus merasa berkewajiban untuk memperjelas sekali lagi karakter teologis panggilan ini sebagai yang berbeda dari imam. Dia mengingatkan kita bahwa di tempat pertama apa yang KV II
serukan adalah keterlibatan umat dalam dunia keluarga, perdagangan, politik, kehidupan intelektual dan budaya - yang menjadi bidang yang sesuai untuk misi khusus kaum awam. Oleh karena itu Konsili menekankan pentingnya sekularitas panggilan awam (Lumen Gentium, 31; bdk. juga Evangelii nuntiandi, 70; Christifideles laici, 17). Tidak berarti bahwa orang awam tidak memiliki tempat khusus atau bekerja untuk tampil dalam kehidupan Gereja ad intra: dalam banyak tugas pastoral, liturgis dan edukasional, jelas-jelas mereka punyai. Tapi fokus utama dari panggilan awam adalah keterlibatan di dunia, sementara imam yang telah ditahbiskan menjadi pastor, guru dan pemimpin doa dan kehidupan sakramental dalam dalam Gereja.40
Dalam bab ini saya telah mencoba untuk merangkum unsur-unsur utama spiritualitas awam yang diuraikan dalam dokumen-dokumen KV II sebagai konteks dan referensi bagi para imam sehingga bimbingan rohani pribadi yang mereka tawarkan akan menjadi lebih efektif.
IMAM DAN LITURGI
Perayaan liturgi menjadi apa yang mendefinisikan esensi dari imam karena tugas utamanya adalah memperbaharui di atas altar kurban Kristus di Kalvari. Dalam beberapa dekade terakhir, bagaimanapun juga, karena aspek kurban Misa cenderung telah dikalahkan oleh penekanan-berlebihan pada aspek-aspek lain dari Ekaristi, suatu elemen penting dari identitas imam - kurban - telah menjadi agak terselubung dan kabur. Sementara Josef Pieper mengaitkan krisis identitas imam pada iman yang kurang dalam kurban Misa,41 Kardinal Ratzinger ada dalam pendapat bahwa krisis dalam Gereja secara keseluruhan berhubungan (tidak tak berhubungan) dengan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan liturgi:
Suatu pembaharuan kesadaran liturgis, rekonsiliasi liturgis yang mengakui lagi kesatuan sejarah liturgi dan yang memahami KV II, bukan sebagai pelanggaran, tetapi sebagai tahap perkembangan: hal-hal ini sangat dibutuhkan untuk kehidupan Gereja. Saya yakin bahwa krisis di Gereja yang kita alami saat ini adalah sebagian besar karena disintegrasi liturgi, yang kadang-kadang datang sebagai konsep etsi Deus non daretur: dalam hal ini adalah masalah ketidakpedulian apakah Allah ada atau tidak dan apakah ia berbicara atau tidak kepada kita dan mendengar kita.42
Kehilangan kepercayaan akan Kehadiran Nyata bukan hanya konsekuensi dari kurangnya katekese. Erosi dari karakter numenous liturgi selama tiga dekade terakhir juga memiliki peran untuk dimainkan. Mungkin, Tanpa sadar, ada pembongkaran kekaguman religius untuk mendorong partisipasi sosial dalam liturgi. Tapi seperti yang telah ditunjukkan :
Fondasi ibadah yang rapuh. Penghormatan tidak turun-temurun... Hal ini mempercepat kembali dalam setiap generasi. Akibatnya mode-mode penularannya harus dilestarikan dan dihargai. Kita harus waspada tidak untuk mengusir rasa takut tertentu dari Tuhan - kegentaran (trembling) pemazmur kuno -yang tanpanya rasa hormat tidak dapat bertahan. Sungguh luar biasa hal-hal -yang kita pilih sebagai evokasi dari misteri ilahi. Begitu banyak tergantung pada pengaturan yang kita buat untuk hidup doa.
Lex orandi, lex credendi (bagaimana kita berdoa menentukan apa yang kita yakini).43
39 Amanah, 19 Mei 1993
40 Yohanes Paulus II, Amanah, November 1998, no.5.
41 Josef Pieper, In search of the sacred, San Francisco, 1996, hlm. 30.
Dalam Bab 12, 'Imam dan liturgi', saya telah mencoba untuk menyatukan prinsip-prinsip teologis utama yang mendasari ibadah Katolik. Saya menunjukkan kontinuitas antara penyembahan Perjanjian Lama dan Baru, dan beberapa pelajaran yang bisa ditarik darinya. Bab ini juga berkaitan dengan kodrat tanda-tanda dan simbol yang digunakan dalam liturgi, dimensi sakramentalnya, partisipasi kaum awam dalam liturgi, bagaimana keheningan dan lagu merupakan elemen penting dari kultus, dan pengaruh seni dan arsitektur gereja terhadap aspek eskatologis dan doksologis ibadah Katolik. Sebuah sensitivitas yang lebih dalam oleh imam pada unsur-unsur liturgi ini akan meningkatkan perannya dalam karya penebusan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Seperti yang telah saya tunjukkan, banyak dari apa yang saya katakan dalam buku ini mengacu pada tulisan-tulisan dan ajaran Yohanes Paulus II. Akan terlihat bahwa amanah untuk imam di banyak waktu dan tempat yang berbeda, Surat-surat tahunan Kamis Putih, dan seruan apostolik Pastores Dabo Vobis menjadi sumber referensi yang diulang-ulang dalam bab-bab yang mengikutinya. Pada hari Minggu Trinitas tahun 1982, dengan tujuh puluh delapan orang lain, saya mendapat kehormatan untuk ditahbiskan menjadi imam oleh Bapa Suci di lapangan St. Petrus di Roma. Salah satu cara saya merasa saya bisa menunjukkan penghargaan untuk bantuan yang luar biasa ini adalah dengan membuat beberapa ajaran Yohanes Paulus II yang kaya yang telah diberikan kepada kita tentang imamat selama masa kepausannya yang panjang dan berbuah menjadi lebih mudah diakses.
Bagaimana seseorang menulis tentang imamat jelas dipengaruhi oleh persepsi dan pengalaman pribadi. Sepanjang hidup saya, saya memiliki nasib baik untuk mengenal imam-imam yang mencerminkan dalam cara yang berbeda-beda gambaran Kristus Gembala Baik yang menarik. Diantaranya saya ingin menyebutkan dua orang secara khusus. Yang pertama adalah Beato Josemarla Escriva, pendiri Opus Dei, di mana saya memiliki hak istimewa untuk mengenalnya secara pribadi. Dari dia saya belajar banyak hal, tetapi terutama apa artinya menjadi alter Christus, Kristus yang lain, seperti yang saya lihat tercermin dalam contoh hidup imamatnya yang baik dan dalam teologi imamatnya yang kaya. Yang kedua adalah Uskup Alvaro del Portillo, wakil Opus Dei dan penerus Beato Josemaria. Dia memanggil saya untuk imamat, mentransimisikan kepada saya dan rekan-rekan saya manfaat dari pengalaman pastoralnya yang besar sekali, dan mengajarkan kepada kami bagaimana mencintai imamat sebagai hadiah terbesar Allah kepada umat manusia. Dari warisan pastoral dan spiritual tersebut, saya telah mengakarkannya secara sangat mendalam dalam penulisan penelitian ini, mungkin sering kali secara tidak sadar bahwa saya mengulangi ide-ide dan wawasan mereka. Tak perlu dikatakan bahwa tidak ada keterbatasan pekerjaan ini yang dapat dilakukan menentang mereka.
Karena saya menulis terutama bagi para imam, kadang-kadang saya menggunakan 'kita' daripada 'mereka' untuk menghindari pengulangan bertele-tele dan juga di mana saya merasa penggunaan yang demikian mengungkapkan lebih jelas apa yang coba saya katakan. Karena imamat adalah hadiah terbesar yang telah saya terima dan sumber pemenuhan pribadi terdalam, saya akan merasa sulit untuk membahasnya dengan jalan yang benar-benar terpisah, klinis. Saya menulis, karena itu, dengan hati saya pada lengan saya. Namun, saya tidak berpikir bahwa pendekatan ini akan mengurangi objektivitasnya,
Di antara daftar pustaka yang disebut saya ingin mengenali utang saya pada materi yang disajikan pada Kongres Internasional 1990 yang diselenggarakan oleh Fakultas Teologi Universitas Navarre, Pamplona (Spanyol). Topik kongres ini adalah 'Kodrat pembinaan imamat sebagaimana dituntut oleh masyarakat kontemporer'. Secara khusus saya ingin menyampaikan rasa terima kasih atas wawasan yang diperoleh dari makalah yang disajikan oleh Profesor L. Mateo - Seco, J.L Illanes, E. Borda, dan A. Sarmiento.44
Saya juga ingin mengucapkan terima kasih yang berikutnya kepada mereka yang membaca draf-draf teks sebelumnya dan yang menawarkan banyak saran dan ide-ide yang membantu - Mgr Michael Manning, P. James Gavigan, dan P. Tom O'Toole.
44 Makalah ini terbit berikut dengan judul La formación de los sacerdotes en las circunstancias actuales,