BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PERSEROAN TERBATAS
A.Pengertian Umum Perjanjian
Istilah “Perjanjian” dalam “Hukum Perjanjian” merupakan kesepadanan dari
istilah “Overeenkomst” dalam bahasa Belanda atau “Agreement” dalam bahasa
Inggris.9
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata (BW) yang merupakan rumusan konvensional tentang perjanjian, perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Jika kita perhatikan dengan seksama, rumusan yang diberikan Pasal 1313 KUH Perdata (BW) tersebut ternyata menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Ini berarti dari suatu
perjanjian lahirlah suatu kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak)
kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut.
Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi
(debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut
(kreditor). Masing-masing pihak dapat terdiri dari satu orang atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari
satu atau lebih badan hukum.10
Dalam pengertian yang terdapat pada Pasal 1313 KUH Perdata ini, kita dapat
merumuskan unsur-unsur dari suatu perjanjian yaitu:
1. Suatu perbuatan, dimana perbuatan yang dimaksud merupakan “prestasi”
yang diatur dalam Pasal 1234 KUH Perdata (BW) yaitu memberikan
sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu. Sehingga perjanjian
merupakan suatu perbuatan untuk memberikan sesuatu atau berbuat
sesuatu ataupun tidak berbuat sesuatu.
9
Munir Fuady, Op. Cit., hal 2
10
2. Satu orang atau lebih, dimana pengertian satu orang atau lebih ini
merupakan subjek hukum. Secara singkat subjek hukum adalah
pendukung hak dan kewajiban yang menimbulkan wewenang hukum.
Subjek hukum terdiri dari manusia dan badan hukum, dimana manusia
yang dapat melakukan perjanjian adalah yang merupakan orang yang
cakap hukum dalam artian diperbolehkan oleh undang-undang untuk
melakukan tindakan hukum dan tidak dalam keadaan pengampuan
sedangkan badan hukum merupakan subjek hukum yang bukan manusia
yang mempunyai wewenang dan cakap bertindak dalam hukum melalui
wakil-wakilnya atau pengurusnya. Badan hukum tidak disamakan dengan
manusia karena badan hukum tidak dapat melakukan apa yang dilakukan
manusia seperti mempunyai anak. Badan hukum dapat dibagi menjadi
dua yaitu :
a. Badan hukum Publik misalnya : negara, negara bagian dan
kotapraja
b. Badan hukum Privat misalnya : PT, koperasi, dan yayasan
3. Mengikatkan dirinya, yang dimaksud dengan mengikatkan diri adalah
orang yang secara sadar dan tanpa ada paksaan ataupun tipu muslihat
sepakat untuk melakukan perjanjian terhadap orang lain. Pengikatan diri
inilah yang menimbulkan suatu hak dan kewajiban dalam suatu
perjanjian tersebut.
4. Terhadap orang lain atau lebih, dalam melakukan suatu perjanjian
yang dilakukan tidak boleh terhadap dirinya sendiri melainkan ada pihak
lain yang diajaknya untuk melakukan suatu perjanjian.
Suatu perjanjian dianggap ada pada saat adanya kesepakatan kehendak.
Mengenai kapan suatu kesepakatan kehendak terjadi sehingga saat itu pula
perjanjian dianggap telah mulai berlaku, dalam ilmu hukum perjanjian dikenal
beberapa teori, yaitu :
1. Teori penawaran dan penerimaan (offer and acceptance theory)
Yang merupakan teori dasar dari adanya kesepakatan kehendak adalah teori “penawaran dan penerimaan” (offer and acceptance). Yang dimaksudkan adalah bahwa pada prinsipnya suatu kesepakatan kehendak baru terjadi setelah adanya penawaran (offer) dari salah satu pihak dan diikuti dengan penerimaan tawaran (acceptance) oleh pihak lain dalam kontrak tersebut. Teori ini diakui secara umum di setiap sistem hukum, sungguhpun pengembangan dari teori ini banyak dilakukan di
negara-negara yang menganut sistem hukum Commom Law.
2. Teori kehendak (wils theorie)
Teori yang bersifat subjektif ini terbilang teori yang sangat tua. Teori kehendak tersebut berusaha untuk menjelaskan jika ada kontroversi antara apa yang dikehendaki dengan apa yang dinyatakan dalam kontrak, maka yang berlaku adalah apa yang dikehendaki, sementara apa yang dinyatakan tersebut dianggap tidak berlaku.
3. Teori pernyataan (verklarings theorie)
Teori pernyataan ini bersifat objektif dan berdiri berseberangan dengan teori kehendak seperti yang baru saja dijelaskan. Menurut teori pernyataan ini, apabila ada kontroversi antara apa yang dikehendaki dengan apa yang dinyatakan, maka apa yang dinyatakan tersebutlah yang berlaku. Karena masyarakat menghendaki bahwa apa yang dinyatakan itu dapat dipegang.
4. Teori pengiriman (verzendings theorie)
Menurut teori pengiriman ini, suatu kata sepakat terbentuk pada saat dikirimnya surat jawaban oleh pihak yang kepadanya telah ditawarkan suatu kontrak, karena sejak saat pengiriman tersebut, si pengirim telah kehilangan kekuasaan atas surat yang dikirimnya itu.
Menurut teori ini, suatu penerimaan tawaran dari suatu kontrak, sehingga kontrak dianggap mulai terjadi, adalah pada saat jawaban yang berisikan penerimaan tersebut dimasukkan dalam kotak pos (mail box). Pemikiran di belakang teori ini adalah bahwa kontrak efektif setelah pihak yang ditawari kontrak tersebut sudah menerimanya dan sudah terlepas dari kekuasaannya, yakni ketika dia membalas surat penawaran dan memasukkannya ke dalam kotak surat. Bahwa kemudian apakah pihak lawannya terlambat menerima bahkan tidak menerima sama sekali surat jawaban tersebut menjadi tidak relevan. Karena itu, teori kotak pos ini mirip dengan teori pengiriman (verzendings theorie) seperti yang telah disebutkan di atas.
6. Teori pengetahuan (vernemings theorie)
Yang dimaksud dengan “pengetahuan” dalam teori ini adalah pengetahuan dari pihak yang menawarkan. Jadi menurut teori ini, suatu kata sepakat dianggap telah terbentuk pada saat orang yang menawarkan tersebut mengetahui bahwa penawarannya itu telah disetujui oleh pihak lainnya. Jadi pengiriman jawaban saja oleh para pihak yang melakukan tawaran masih belum mengetahui diterimanya tawaran tesebut.
7. Teori penerimaan (ontvangs theorie)
Menurut teori penerimaan ini, suatu kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat balasan dari tawaran tersebut telah diterima oleh pihak yang melakukan tawaran tersebut. Dengan demikian, teori ini sangat konservatif, karena sebelum diterimanya jawaban atas tawaran tesebut, kata sepakat dianggap belum terjadi, sehingga persyaratan untuk sahnya suatu kontrak belum terpenuhi.
8. Teori kepercayaan (vetrouwens theorie)
Teori kepercayaan ini (vetrouwens theorie) ini mengajarkan bahwa suatu kata sepakat dianggap terjadi manakala ada pernyataan yang secara objektif dapat dipercaya.
9. Teori ucapan (uitings theorie)
Menurut teori “ucapan” ini, bahwa suatu kesepakatan kehendak terjadi manakala pihak yang menerima penawaran telah menyiapkan surat jawaban yang menyatakan bahwa dia telah menerima tawaran tersebut.
10. Teori dugaan (veronderstellings theorie)
secara patut dapat menduga bahwa pihak lainnya (pihak yang
menawarkan) telah mengetahui isi surat itu.11
Dari kesepuluh teori tersebut di atas, yang sesuai menurut penulis adalah teori
penawaran dan penerimaan (offer and acceptance theory). Hal ini dikarenakan
makna kesepakatan yang “adil” dan “praktis” adalah pada saat seseorang
menawarkan sesuatu kepada orang lain kemudian orang lain tersebut
menerimanya. Kemudian juga teori kehendak inilah yang dengan jelas
menunjukkan terjadinya suatu perjanjian yang memang melibatkan kedua belah
pihak, artinya penerima tawaran secara langsung tahu bahwa ia diberi suatu
tawaran dan pemberi tawaran secara langsung tahu bahwa penerima tawaran
menerima tawarannya. Sedangkan beberapa teori tersebut di atas, ada yang
menggunakan media-media tertentu untuk mengetahui bahwa penerima tawaran
menerima tawaran sehingga mengakibatkan suatu ketidakpastian akan terjadinya
suatu perjanjian karena media-media tersebut bisa saja musnah atau hilang atau
tidak tersampaikan kepada siapa media tersebut ditujukan. Ada juga beberapa
teori lain yang tersebut di atas menganut sifat yang subjektif sehingga juga sulit
untuk menentukan lahirnya suatu perjanjian karena kesepakatan itu seketika
terjadi hanya berdasarkan persepsi dari sebelah pihak saja.
Dalam perjanjian,dikenal banyak asas yang menjadi landasan untuk membuat
suatu perjanjian yang ideal. Beberapa asas yang penting untuk diterapkan dalam
perjanjian yaitu :
11
1. Asas Konsensual
Asas konsensual sering diartikan bahwa dibutuhkan kesepakatan untuk
lahirnya suatu perjanjian. Pengertian ini tidak tepat karena maksud asas
konsensualisme ini adalah bahwa lahirnya perjanjian adalah pada saat
terjadinya kesepakatan. Dengan demikian, apabila tercapai kesepakatan
antara para pihak, lahirlah kontrak, walaupun kontrak itu belum
dilaksanakan pada saat itu. Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya
kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka
atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut sudah obligatoir, yakni
melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak
tersebut.12
2. Asas Kebebasan Berkontrak
Salah satu asas dalam hukum perjanjian adalah asas kebebasan
berkontrak (freedom of contract). Artinya para pihak bebas membuat
kontrak dan mengatur isi kontrak itu sepanjang tidak bertentangan
dengan kesusilaan dan undang-undang yang berlaku serta memenuhi
syarat sebagai suatu kontrak.
3. Asas Pacta Sunt Servanda
Setiap orang yang membuat perjanjian, dia terikat untuk memenuhi perjanjian tersebut karena perjanjian tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1338 KUH Perdata Ayat (1) yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.13
12
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hal.3.
13
4. Asas Itikad Baik
Di Jerman, Mahkamah Agung mempertimbangkan bahwa apabila ditetapkan syarat-syarat umum mengenai perjanjian, kebebasan berkontrak dianggap ada sejauh kebebasan ini mengenai isi perjanjian menurut ukurannya sendiri, yaitu berdasarkan itikad baik dengan kewajiban untuk memperhatikan kepentingan-kepentingan pihak lawan dalam perjanjian pada awal penyusunan syarat-syarat perjanjian itu. Apabila satu pihak hanya mengajukan kepentingan-kepentingan sendiri,ia menyalahgunakan kebebasan dalam membuat perjanjian. Keputusan tersebut menunjukkan bahwa itikad baik menguasai para pihak pada periode pra perjanjian, yaitu dengan memerhatikan kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain. Walaupun itikad baik para pihak dalam perjanjian sangat ditekankan pada tahap pra perjanjian, secara umum itikad baik harus selalu ada pada setiap tahap perjanjian sehingga kepentingan pihak yang satu selalu dapat
diperhatikan oleh pihak lainnya.14
5. Asas Kepastian Hukum
Dalam membuat suatu perjanjian yang dilakukan oleh seseorang tidak selamanya memiliki kekuatan hukum. Ada juga perjanjian yang tidak memiliki kekuatan hukum (natuurlijke verbintenis) dimana maksudnya adalah tidak memiliki akibat hukum (rechtsgevolg) yang mengikat. Misalnya perjanjian keagamaan, moral, sopan santun dan sebagainya. Kemudian juga ada perjanjian yang memiliki kekuatan hukum yang tidak sempurna dimana ketidaksempurnaan daya hukumnya terletak pada sanksi memaksanya, yaitu atas keengganan debitur memenuhi kewajiban prestasi, kreditur tidak diberi kemampuan oleh hukum untuk memaksakan pemenuhan prestasi. Contoh perjanjian yang memiliki kekuatan hukum tidak sempurna seperti terdapat dalam Pasal 1788 KUH Perdata mengenai hutang yang timbul dari hasil perjudian dan taruhan. Melihat karakter natuurlijke verbintenis ini, timbul suatu pendapat yang menganggap hakekatnya berada di luar perjanjian perdata yang lazim, sebab lazimnya suatu perjanjian perdata pada umumnya melekat di dalamnya “hak memaksa” yang diberikan kepada kreditur apabila debitur tidak memenuhi perjanjiaan yang dilakukannya.
Dan yang terakhir adalah suatu perjanjian yang sebenarnya secara hukum perdata yaitu perjanjian yang sempurna daya kekuatan hukumnya (volledige rechtswerking). Dalam perjanjian ini pemenuhan dapat dipaksakan kepada debitur jika dia ingkar secara sukarela melaksanakan kewajiban prestasi. Untuk itu kreditur diberi hak oleh hukum
14
menjatuhkan sanksi melalui tuntutan eksekusi pelaksanaan dan eksekusi
riel, ganti rugi (schade vergoeding).15
Asas-asas inilah yang menjadi landasan kuat untuk membuat suatu perjanjian
yang sah dan sesuai dengan hukum perjanjian dimana asas ini akan selalu ada dan
mungkin semakin berkembang demi menciptakan kepastian hukum. Memang
masih banyak asas-asas lain dalam perjanjian seperti asas bersifat obligatoir, asas
berlakunya suatu perjanjian dan lain sebagainya. Namun empat asas di ataslah
yang akan dan harus tersirat dalam suatu perjanjian yang sah.
B. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian
Suatu perjanjian dapat dinyatakan sah apabila memenuhi unsur-unsur dalam
Pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata merupakan instrumen pokok
untuk menguji keabsahan perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Dalam Pasal
1320 BW tersebut terdapat empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu
kontrak, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal atau diperbolehkan.16
Keempat hal itu dikemukakan sebagai berikut.
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri
Syarat yang pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan atau konsensus pada para pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 Ayat (1) KUH Perdata. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak
15
M.Yahya Harahap. Segi-segi Hukum Perjanjian. (Bandung: Alumni, 1986). Hal.9
16
itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan:
a. Bahasa yang sempurna dan tertulis
b. Bahasa yang sempurna secara lisan
c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak
lawan. Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya
d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya
e. Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak
lawan
Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak, yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis. Tujuan pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna, dikala timbul sengketa dikemudian hari.
2. Kecakapan untuk membuat perikatan
Kecakapan untuk membuat perikatan adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan adalah telah berumur 21 tahun dan atau sudah kawin. Orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum :
a. Anak dibawah umur
b. Orang yang ditaruh dalam pengampuan
c. Istri (Pasal 1330 KUH Perdata). Akan tetapi dalam
perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Surat Edaran Mahkamah Agung atau SEMA Nomor 3 Tahun 1963 yang mencabut Pasal 108 dan 110 KUH Perdata tentang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di muka pengadilan tanpa izin atau bantuan suaminya. Sehingga setelah dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut maka seorang wanita yang sudah menikah dapat melakukan suatu perjanjian dengan orang lain.
3. Suatu hal tertentu
Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek
perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang
menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Prestasi
a. Memberikan sesuatu
b. Berbuat sesuatu
c. Tidak berbuat sesuatu
Misalnya, jual beli rumah. Yang menjadi prestasi/pokok perjanjian
adalah menyerahkan hak milik atas rumah dan menyerahkan uang harga dari pembelian rumah itu. Contoh lainnya, dalam perjanjian kerja maka yang menjadi pokok perjanjian adalah melakukan pekerjaan dan
membayar upah. Prestasi itu harus dapat ditentukan, dibolehkan,
dimungkinkan, dan dapat dinilai dengan uang. Dapat ditentukan artinya di dalam mengadakan perjanjian, isi perjanjian harus dipastikan dalam arti dapat ditentukan secara cukup. Misalnya, A membeli lemari pada B dengan harga Rp500.000,00. Ini berarti bahwa objeknya itu adalah lemari, bukan benda lainnya.
4. Suatu sebab yang halal atau diperbolehkan
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian sebab yang halal. Di dalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan kausa yang halal. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Hoge Raad sejak tahun 1927
mengartikan oorzaak sebagai suatu yang menjadi tujuan para pihak.
Contohnya A menjual sepeda motor kepada B. Akan tetapi sepeda yang dijual oleh A itu adalah barang hasil curian. Jual beli seperti itu tidak mencapai tujuan dari pihak B. Karena B menginginkan barang yang
dibelinya itu barang yang sah.17
Syarat yang pertama dan kedua disebut syarat subjektif, karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut objek perjanjian. Apabila syarat pertama dan kedua tidak dipenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya, bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Tetapi apabila para pihak tidak keberatan maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Apabila syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, bahwa dari semula
perjanjian itu dianggap tidak ada.18
NBW ( Nu Burgerlijk Wetboek) atau KUH Perdata baru di Belanda sendiri
terkait dengan syarat sahnya kontrak telah mengadakan pembaharuan,
sebagaimana terdapat dalam Buku III tentang Hukum Harta Kekayaan Pada
Umumnya (vermogensrecht in Het Algemeen) dan buku VI Tentang Bagian
17
Salim H.S., Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika,2003),hal.33-34
18
Umum Hukum Perikatan (algemeen Gedeelte van Het Verbintenissenrecht).
Syarat sahnya kontrak menurut NBW tersebar dalam berbagai pasal dengan
substansi pokok, yaitu:
1. Kesepakatan;
2. Kemampuan bertindak;
3. Perjanjian yang dilarang ( gabungan Syarat “hal tertentu” dan syarat
“kausa yang dilarang”).19
Baik syarat sah yang diatur dalam KUH Perdata (BW) maupun NBW secara
garis besar memiliki makna dan penerapan yang sama dalam peraturan hukumnya.
Semua harus tetap harus dipenuhi agar suatu perjanjian yang dibuat memenuhi
syarat sehingga apabila terjadi suatu konflik di belakang hari maka perjanjian
yang berbentuk tertulis tersebut dapat menjadi suatu alat yang cukup kuat untuk
dijadikan barang bukti yang sah sehingga pihak yang wanprestasi kelak tidak bisa
memungkiri dan menyangkal apa yang telah diperjanjikan.
C.Bentuk-bentuk Umum Perjanjian
Di dalam KUH Perdata, tidak disebutkan secara sistematis tentang bentuk
perjanjian. Namun bila kita menganalisis berbagai ketentuan yang tertera dalam
KUH Perdata BW maka kontrak itu dapat secara umum dibagi menjadi dua yaitu
perjanjian tertulis dan perjanjian tidak tertulis.
Perjanjian tidak tertulis atau lisan adalah perjanjian yang dibuat oleh para
pihak cukup dengan lisan ataupun hanya berdasarkan kesepakatan dari para
19
pihaknya saja. Dengan adanya konsensus maka perjanjian telah terjadi. Termasuk
ke dalam ini adalah perjanjian konsensual dan riil. Perbedaan ini diilhami dari
Hukum Romawi. Dalam Hukum Romawi, tidak hanya memerlukan adanya kata
sepakat melainkan juga harus diucapkan dengan kata-kata yang suci dan juga
harus didasarkan atas penyerahan nyata dari suatu benda. Perjanjian konsensual
adalah suatu perjanjian yang ada apabila ada kesepakatan para pihak sedangkan
perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata
atau riil.
Perjanjian tertulis merupakan kontrak yang dibuat oleh para pihak dalam
bentuk tulisan. Hal ini dapat kita lihat dalam perjanjian hibah yang harus
dilakukan dengan Akta Notaris ( Pasal 1682 KUH Perdata). Perjanjian ini dibagi
menjadi dua macam yaitu dalam bentuk akta di bawah tangan dan Akta Notaris.
Akta di bawah tangan adalah akta yang cukup dibuat dan ditanda tangani oleh
para pihak. Sedangkan akta autentik adalah akta yang dibuat di hadapan notaris
ataupun notaris itu yang membuat perjanjian itu. Kemudian ada juga bentuk
perjanjian standar dimana perjanjian ini biasanya sudah mempunyai klausul yang
tertuang dalam formulir artinya sudah ditentukan terlebih dahulu isinya oleh salah
satu pihak, misalnya perjanjian antara nasabah dengan bank yang sudah
mempunyai bentuk perjanjian baku.
Para ahli dibidang perjanjian tidak mempunyai kesatuan tentang pembagian
perjanjian. Ada ahli yang mengkaji perjanjian tersebut berdasarkan hukumnya,
namanya, aspek kewajibannya, maupun aspek larangannya.
1. Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, seperti halnya perkawinan;
2. Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, yaitu yang berhubungan
dengan peralihan hukum benda, misalnya peralihan hak milik;
3. Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban;
4. Perjanjian yang bersumber dari hukum acara, yang disebut dengan
bewijsovereenkomst;
5. Perjanjian yang bersumber dari hukum publik, yang disebut dengan
publieckrechtelijk overeenkomst.20
Di dalam Pasal 1319 KUH Perdata menyebutkan dua macam perjanjian
berdasarkan namanya, yaitu perjanjian nominaat (bernama) dan perjanjian
innominaat (tidak bernama). Yang dimaksud dengan perjanjian bernama adalah
perjanjian yang pengaturannya terdapat di dalam KUH Perdata (BW), yaitu
perjanjian jual-beli, pinjam-pakai, tukar-menukar, sewa-menyewa, persekutuan
perdata, hibah, penitipan barang, pinjam-meminjam, penanggung utang,
pemberian kuasa, perdamaian, dan lain sebagainya. Sedangkan perjanjian tidak
bernama adalah perjanjian yang tidak tertera pengaturannya dalam KUH Perdata
dimana perjanjian ini muncul seiring dengan berkembangnya masyarakat, yaitu
leasing, beli-sewa, franchise, joint venture, production sharing, kontrak karya,
keagenan dan lain sebagainya.
Vollmar mengemukakan bahwa ada perjanjian campuran yaitu perjanjian yang merupakan penggabungan dari perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Misalnya kontrak campuran, pengusaha sewa rumah penginapan (hotel) menyewakan kamar-kamar (sewa menyewa), tetapi juga menyediakan makanan (jual beli), dan menyediakan pelayanan (perjanjian untuk melakukan jasa-jasa).
Perjanjian campuran ini disebut juga dengan contractus sui generis, yaitu
ketentuan-ketentuan yang mengenai perjanjian khusus paling banter dapat diterapkan secara analogi (Arrest HR 10 Desember 1936) atau orang menerapkan teori absorpsi (absorptietheorie), artinya diterapkanlah peraturan perundang-undangan dari perjanjian, dalam peristiwa yang terjadi merupakan peristiwa yang
paling menonjol (HR,12 April 1935), sedangkan pada tahun 1947 Hoge Raad
20
Salim H.S., Op.Cit, hal.27.
menyatakan diri (HR, 21 Februari1947) secara tegas sebagai penganut teori
kombinasi.21
Kemudian perjanjian juga dapat dilihat dari hak dan kewajiban para pihak,
yaitu perjanjian timbal balik. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang
dilakukan para pihak yang menimbulkan hak dan kewajiban-kewajiban pokok
seperti pada jual-beli dan sewa-menyewa. Perjanjian timbal balik ini terbagi
menjadi dua yaitu :
1. Perjanjian timbal balik tidak sempurna , dimana menimbulkan kewajiban
pokok bagi satu pihak, sedangkan lainnya wajib melakukan sesuatu. Di
sini tampak ada prestasi-prestasi yang seimbang satu sama lain.
Misalnya, si penerima pesan senantiasa berkewajiban untuk
melaksanakan pesan yang dikenakan di atas pundaknya oleh orang
pemberi pesan. Apabila si penerima pesan dalam melaksanakan
kewajiban-kewajibannya tersebut telah mengeluarkan biaya-biaya atau
olehnya telah diperjanjikan upah, maka pemberi pesan harus
menggantinya.
2. Perjanjian sepihak merupakan perjanjian yang selalu menimbulkan
kewajiban-kewajiban hanya pada satu pihak. Tipe perjanjian ini adalah
perjanjian pinjam-mengganti.
Selain tersebut di atas, ada juga perjanjian berdasarkan larangannya.
Perjanjian berdasarkan larangannya adalah perjanjian dari aspek tidak
diperkenankannya para pihak untuk membuat perjanjian yang bertentangan
21
dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum disebabkan perjanjian itu
mengandung praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Di dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, perjanjian yang dilarang dibagi menjadi tiga belas
jenis, yaitu:
1. Perjanjian oligopoli, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha
dengan pelaku usaha lainnya untuk secara bersama melakukan penguasaan produk dan atau pemasaran barang atau jasa. Perjanjian ini dapat mengakibatkan perjanjian monopoli dan atau persaingan tidak sehat.
2. Perjanjian penetapan harga, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku
usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar yang bersangkutan sama. Pengecualian dari ketentuan ini adalah suatu perjanjian yang dibuat usaha patungan dan perjanjian yang didasarkan pada undang-undang yang berlaku.
3. Perjanjian dengan harga yang berbeda, yaitu perjanjian yang dibuat
antara pelaku-pelaku usaha yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli untuk barang dan atau jasa yang berbeda.
4. Perjanjian dengan harga di bawah pasar, yaitu perjanjian yang dibuat
antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga yang berbeda di bawah harga pasar, perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
5. Perjanjian yang memuat persyaratan, yaitu perjanjian yang dibuat antara
pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya yang memuat persyaratan bahwa penerimaan barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya. Tindakan itu dilakukan dengan harga yang lebih rendah dari pada harga yang diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan persaingan yang tidak sehat.
6. Perjanjian pembagian wilayah, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku
Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat.
7. Perjanjian pemboikotan, yaitu perjanjian yang dilarang, yang dibuat
pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama,baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri.
8. Perjanjian kartel, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha
dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk memengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat.
9. Perjanjian trust, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan
pelaku usaha lainnya untuk melakukan kerjasama dengan membentuk
gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap
menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing anggota perseroannya. Perjanjian ini bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan tidak sehat.
10. Perjanjian oligopsoni, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha
dengan pelaku usaha lainnya yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar yang bersangkutan. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
11. Perjanjian integrasi vertikal,yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku
usaha dengan pelaku usaha lain, yang bertujuan untuk menguasai sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu, setiap rangkaian produksi itu merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun yang tidak langsung yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.
12. Perjanjian tertutup yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha
13. Perjanjian dengan pihak luar negeri, yaitu perjanjian yang di buat antara pelaku usaha dengan pihak lainnya di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau
persaingan tidak sehat.22
Dari berbagai jenis perjanjian yang dipaparkan di atas maka jenis perjanjian
yang paling asasi adalah pembagian berdasarkan namanya, yaitu kontrak
nominaat dan innominaat. Dari perjanjian bernama dan tidak bernama inilah maka
lahir perjanjian dari segi bentuk, sumber hukum, maupun aspek larangannya,
misalnya saja perjanjian bernama jual beli maka lahirlah perjanjian obligatoir.
D.Pengertian Perseroan Terbatas Secara Umum
Perseroan Terbatas (PT) merupakan persekutuan yang berbentuk badan
hukum. Badan hukum dalam Bahasa Belanda disebut dengan rechtpersoon.
Badan hukum adalah himpunan dari orang sebagai perkumpulan, baik
perkumpulan itu diadakan atau diakui oleh Pejabat Umum, maupun perkumpulan
itu diterima sebagai diperolehkan atau telah didirikan untuk maksud tertentu yang
tidak bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan yang baik ( Pasal 1653
KUH Perdata). Badan hukum dilihat dari segi kewenangannya maka terbagi
menjadi dua yaitu kewenangan atas harta kekayaan dan kewenangan untuk
mempunyai hak dan mempunyai kewajiban.
Dari pengertian lain, badan hukum juga dapat didefenisikan kumpulan
orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai dari pembentukan
badan hukum, memiliki harta kekayaan, kewajiban dan hak serta terorganisir. Dari
pengertian tersebut di atas maka kita dapat menguraikan unsur-unsur yang harus
dimiliki suatu badan hukum, yaitu:
22
1. Mempunyai tujuan tertentu
2. Mempunyai harta kekayaan
3. Mempunyai hak dan kewajiban
4. Mempunyai organisasi.
Sedangkan Perseroan Terbatas sendiri, di dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (WvK) tidak diberikan defenisi yang jelas. Namun dalam Pasal 36, 40, 42, 45 KUHD akan didapati unsur-unsur dari suatu Perseroan Terbatas, yaitu:
1. Adanya kekayaan yang terpisah dari kekayaan pribadi masing-masing
pesero ( pemegang saham ), dengan tujuan untuk membentuk sejumlah
dana sebagai jaminan bagi semua perikatan perseroan;
2. Adanya pesero yang tanggung jawabnya terbatas pada jumlah nominal
saham yang dimilikinya. Sedangkan mereka semua dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) merupakan kekuatan tertinggi dalam
organisasi perseroan, yang berwenang mengangkat dan memberhentikan
Direksi dan Komisaris, berhak menetapkan garis-garis kebijaksanaan menjalankan perusahaan, menetapkan hal-hal yang belum ditetapkan dalam Anggaran Dasar;
3. Adanya pengurus (Direksi) dan Komisaris yang merupakan satu kesatuan
pengurus dan pengawas terhadap perseroan dan tanggung jawabnya
terbatas pada tugasnya, yang harus sesuai dengan Anggaran Dasar dan
atau keputusan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham).23
Walaupun tidak terdapat pengertian secara langsung dari Perseroan Terbatas
namun unsur-unsur yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang
(WvK) tersebut sudah cukup dapat untuk membedakan Perseroan Terbatas dengan
badan usaha yang lainnya seperti CV, Firma, Koperasi dan yang lainnya.
Perbedaan yang sangat mencolok dari Perseroan Terbatas dibandingkan dengan
23
badan usaha yang belum berbadan hukum adalah bahwa harta kekayaan Perseroan
Terbatas terpisah dari harta pribadi pemegang sahamnya. Sebenarnya unsur-unsur
yang terdapat dalam KUHD ini sudah cukup untuk menggambarkan suatu badan
usaha yang berbentuk Perseroan Terbatas.
Menurut Pasal 1 Angka (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 yang
dimaksud dengan Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan
persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha
dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang PT serta peraturan
pelaksananya.
Perseroan Terbatas di dalam bahasa Belanda disebut dengan Naamloze
Venootschap atau disingkat NV. Pada umumnya PT dibentuk dengan tujuan untuk
menjalankan suatu perusahaan dengan modal perseroan tertentu yang terbagi atas
saham-saham. Ditinjau dari cara menghimpun modal perseroan, maka Perseroan
Terbatas dapat dibedakan menjadi:
1. PT Terbuka
PT Terbuka adalah suatu PT dimana masyarakat luas dapat ikut serta
menanamkan modalnya dengan cara membeli saham yang ditawarkan
oleh PT Terbuka melalui bursa dalam rangka memupuk modal untuk
investasi PT atau dewasa ini disebut “PT yang go-public”. Biasanya PT
Terbuka ini memiliki singkatan Tbk pada akhir nama PT, misalnya PT
2. PT Tertutup
Perseroan Terbatas Tertutup adalah Perseroan Terbatas yang didirikan
dengan tidak menjual sahamnya kepada masyarakat luas, yang berarti
tidak setiap orang dapat ikut menanamkan modalnya. Biasanya Perseroan
Terbatas tertutup ini dimiliki oleh pemegang-pemegang saham yang
memiliki ikatan keluarga maupun kerabat.
3. PT Perseorangan
Perseroan Terbatas Perseorangan berarti bahwa saham-saham dalam
Perseroan Terbatas tersebut dikuasai oleh seorang pemegang saham. Hal
ini dapat terjadi setelah melalui proses pendirian Perseroan Terbatas itu
sendiri. Pada waktu pendirian Perseroan Terbatas, terdapat lebih dari
seorang pemegang saham, yang kemudian beralih menjadi berada pada
seorang pemegang saham karena pemegang saham itu ingin menjual
sahamnya. Hal ini sebenarnya tidak boleh berlangsung terus menerus,
pemilik Perseroan Terbatas harus segera mencari investor untuk membeli
saham Perseroan Terbatas tersebut sehingga pemegang saham tidak
hanya satu orang saja.
E.Dasar Hukum Terbentuknya Perseroan Terbatas
Perseroan Terbatas diatur pertama sekali dalam Kitab Undang-undang
Hukum Dagang (WvK) yang aslinya berasal dari Belanda yang dianut oleh
Indonesia sejak tahun 1948 yang merupakan konsekuensi dari penerapan asas
kurang lebih lima puluh tahun, pada tanggal 7 Maret 1995 Indonesia memiliki
undang-undang nasional sendiri yang mengatur mengenai badan hukum Perseroan
Terbatas, yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995. Dalam Undang-undang
Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995 ini, pembuat undang-undang dengan
tegas menyatakan bahwa Pasal 36-56 KUHD yang mengatur mengenai Perseroan
Terbatas dan perubahannya dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
ekonomi dan dunia usaha baik nasional maupun internasional.
Selain itu juga, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 ini juga merupakan
bentuk unifikasi atas dua ketentuan yang mengatur bentuk usaha berbadan hukum
yaitu, KUHD sendiri dan Ordonansi Maskapai Andil Indonesia (Ordonnantie op
de Indonesische Maatschapij op Aandeleen). Setelah dua belas tahun berlaku,
pada 16 Agustus 2007, Pemerintah mengundangkan Undang-undang Perseroan
Terbatas yang baru, yaitu Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007. Setidaknya
terdapat empat alasan pokok diundangkannya Undang-undang Nomor 40 Tahun
2007 ini, yaitu:
1. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi
2. Tuntutan masyarakat akan pelayanan yang cepat, berkepastian hukum
serta pengembangan dunia usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan korporasi yang baik
3. Memperjelas dan mempertegas ketentuan yang menyangkut organ
perseroan, yang termasuk di dalamnya tugas dan tanggung jawab Direksi dan dewan komisaris.
4. Menegaskan bahwa tujuan perseroan tidak semata-mata untuk
mencarikan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pemegang saham tetapi juga ditujukan bagi pemangku kepentingan dan lingkungan
hidup.24
24
Perseroan Terbatas yang ada sebelum dikeluarkannya Undang-undang Nomor
40 Tahun 2007 banyak yang menjalankan usahanya hanya untuk kepentingan
perseroan itu saja. Banyak Perseroan Terbatas yang berusaha dalam bidang
industri menjalankan perusahaannya sampai merusak lingkungan sampai
membuat kesehatan masyarakat sekitar terganggu. Hal ini dapat terjadi karena
pendirian Perseroan Terbatas yang berusaha dalam bidang industri tersebut
dibangun di dekat pemukiman masyaratkat. Pemerintah Indonesia belum
benar-benar menerapkan wilayah industri yang tepat agar tidak mengganggu kehidupan
masyarakat umum
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007, diharapkan dapat menjadi peraturan
yang komprehensif melingkupi berbagai aspek perseroan dan menjadi dasar
hukum terbentuknya Perseroan Terbatas, yang pada akhirnya mencapai tujuan
dari peraturan ini yaitu memenuhi kebutuhan hukum masyarakat serta lebih
memberikan kepastian hukum, khususnya kepada dunia usaha.
F. Pembagian Wewenang dan Tanggung Jawab Dalam Perseroan Terbatas Di dalam ketentuan umum Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 40
Tahun 2007, yang termasuk organ Perseroan Terbatas adalah Rapat Umum
Pemegang Saham, Direksi dan Dewan Komisaris. Ketiga organ Perseroan
Terbatas ini memiliki wewenang dan tanggung jawab masing-masing, berikut
pembagian wewenang dan kewajibannya :
Rapat Umum Pemegang Saham merupakan pemegang kekuasaan
tertinggi dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada
Direksi atau Komisaris dalam Perseroan Terbatas, yang merupakan suatu
wadah bagi para pemegang sahamnya untuk menentukan operasional dari
Perseroan Terbatas.
Dalam forum Rapat Umum Pemegang Saham, pemegang saham berhak
memperoleh keterangan yang berkaitan dengan perseroan dari Direksi
dan atau Dewan Komisaris, sepanjang berhubungan dengan mata acara
rapat dan tidak bertentangan dengan kepentingan Perseroan Terbatas.
Dalam membuat suatu keputusan maka para pemegang saham harus
seluruhnya hadir ataupun dapat diwakilkan. Rapat Umum Pemegang
Saham biasanya dilakukan di tempat kedudukan perseroan atau di tempat
perseroan melakukan kegiatan usahanya yang utama namun untuk
agenda tertentu apabila seluruh pemegang saham hadir maka Rapat
Umum Pemegang Saham dapat dilakukan dimana saja sepanjang masih
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Rapat Umum Pemegang Saham terdiri atas Rapat Umum Pemegang
Saham tahunan yang dilakukan paling lambat enam bulan setelah tahun
buku berakhir dan Rapat Umum Pemegang Saham lainnnya yang
dilakukan setiap waktu berdasarkan kebutuhan untuk kepentingan
Perseroan.
Rapat Umum Pemegang Saham diselenggarakan oleh Direksi dengan
Pemegang Saham. Rapat Umum Pemegang Saham dapat dilakukan atas
permintaan dari satu orang atau lebih pemegang saham yang
bersama-sama mewakili sepersepuluh atau lebih dari jumlah seluruh saham
dengan hak suara dan bisa juga Rapat Umum Pemegang Saham
dilakukan atas permintaan Dewan Komisaris.
Rapat Umum Pemegang Saham membuat keputusan dengan
menggunakan sistem pemungutan suara dimana setiap saham yang
dikeluarkan mempunyai satu hak suara. Rapat Umum Pemegang Saham
dapat dilangsungkan apabila setengah bagian dari seluruh jumlah saham
atau lebih dengan hak suara hadir atau diwakili, apabila tidak terpenuhi
maka dilakukan pemanggilan kedua dimana dalam pemanggilan tersebut
diberi keterangan bahwasanya Rapat Umum Pemegang Saham pertama
telah dilangsungkan dan tidak mencapai korum. Dalam Rapat Umum
Pemegang Saham yang kedua ini dapat dilakukan apabila sepertiga
bagian dari jumlah saham dengan hak suara hadir atau diwakili. Apabila
Rapat Umum Pemegang Saham kedua ini tidak dapat terlaksana juga
karena kekurangan anggota pemegang saham yang hadir maka Direksi
memohonkan penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham ke
Pengadilan Negeri.
2. Direksi
Direksi sebagai organ yang bertindak mewakili dan melakukan
pengurusan perseroan sehari-hari berkewajiban untuk meningkatkan
tujuan Perseroan Terbatas. Untuk mencapai tujuan tersebut, Direksi
diberi wewenang yang dapat mendukung untuk tercapainya hasil yang
optimal dalam pengurusan perseroan.
Secara umum, tanggung jawab Direksi terbatas pada on behalf (untuk
dan atas nama) perseroan yang terdiri atas:
a. Mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan
b. Membuat daftar pemegang saham, daftar khusus, risalah Rapat
Umum Pemegang Saham dan risalah Direksi
c. Membuat laporan tahunan dan dokumen keuangan perseroan
d. Memelihara seluruh daftar, risalah, dan dokumen keuangan
perseroan
e. Memberi kuasa tertulis kepada satu orang karyawan atau lebih
atau kepada orang lain untuk dan atas nama perseroan
melakukan perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang
diuraikan dalam surat kuasa
f. Melaporkan kepada perseroan mengenai saham yang dimiliki
anggota Direksi yang bersangkutan dan atau keluarganya
dalam perseroan dan perseroan lain untuk selanjutnya dicatat
dalam daftar khusus
g. Dan lain sebagainya yang berhubungan dengan kepengurusan
Direksi atau anggota Direksi ( dalam hal Direksi memiliki 2 anggota atau
lebih) bertanggung jawab secara penuh apabila perseroan mengalami
kerugian akibat kelalaian Direksi. Direksi tidak bertanggung jawab atas
kerugian perseroan secara pribadi apabila:
a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahannya
b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan
kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan
tujuan Perseroan Terbatas
c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung
maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang
mengakibatkan kerugian
d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau
berlanjutnya kerugian tersebut.
3. Dewan Komisaris
Yang dapat diangkat menjadi Dewan komisaris adalah orang
perseorangan yang cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam
waktu lima tahun sebelum pengangkatannya pernah dinyatakan pailit
atau menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit dan
atau dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan
negara maupun yang berkaitan dengan sektor keuangan.
a. Melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya
pengurusan pada umumnya, baik mengenai perseroan maupun
usaha perseroan dan memberi nasehat kepada Direksi
b. Dewan Komisaris yang terdiri atas lebih dari satu orang
anggota merupakan majelis dan setiap anggotanya tidak dapat
bertindak sendiri-sendiri melainkan berdasarkan keputusan
Dewan Komisaris
c. Membuat risalah rapat Dewan Komisaris dan menyimpan
salinannya
d. Melaporkan kepada Perseroan mengenai kepemilikan
sahamnya dan atau keluarganya pada perseroan tersebut dan
Perseroan lain
e. Memberikan laporan tentang tugas pengawasan yang telah
dilakukan selama tahun buku yang baru lampau kepada RUPS.
Sedangkan untuk pertanggungjawaban Dewan Direksi apabila lalai,
pengaturannya sama dengan Direksi.
f. Perusahaan Jasa Bidang Konstruksi Pada Umumnya
Dengan adanya perjanjian kerja konstruksi maka tentu ada pihak-pihak yang
terlibat di dalamnya. Pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian konstruksi ini
disebut dengan peserta dalam perjanjian konstruksi ini. Adapun perserta inti atau
prinsipal (pemberi tugas/ pemimpin proyek/aanbesteder/bouwheer) dan penyedia
jasa (rekanan/contractor/).
Pemberi tugas atau bouwheer dapat berupa badan usaha yang tidak berbadan
hukum maupun badan usaha yang berbadan hukum, instansi Pemerintah, atau
swasta. Sedangkan kontraktor dalam Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1994
tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara adalah konsultan
perorangan, perusahaan atau cabangnya yang didirikan/ mendapat izin usaha di
kabupaten/kotamadya tempat lokasi proyek dan yang pimpinan perusahaan serta
karyawannya sebagian besar adalah penduduk daerah yang bersangkutan.
Bentuk usaha yang dilakukan oleh orang perseorangan yaitu usaha kecil selaku
pelaksana konstruksi hanya dapat melakukan pekerjaan konstruksi yang beresiko
kecil, yang berteknologi sederhana dan yang berbiaya kecil. Pekerjaan konstruksi
yang beresiko besar dan/atau yang berbiaya besar hanya dapat dilakukan oleh
badan usaha berbentuk Perseroan Terbatas.
Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang
Jasa Konstruksi, penyedia jasa konstruksi adalah orang perseorangan atau badan
yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi. Kemudian di
dalam Undang-undang Jasa Konstruksi tersebut menjelaskan bahwa untuk
mendirikan suatu perusahaan jasa konstruksi maka terlebih dahulu membentuk
suatu badan usaha baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum,
sehingga proses pendirian perusahaan konstruksi ini juga sama dengan proses
Kemudian setelah itu agar perusahaan konstruksi tersebut dapat beraktifitas
dalam artian mengerjakan proyek konstruksi menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 4 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 2008 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi maka
diperlukan juga mengikuti proses sertifikasi dan kualifikasi usahanya. Sertifikasi
ini dilakukan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) atau oleh
asosiasi yang telah mendapat akreditasi dari Lembaga Pengembangan Jasa
Konstruksi Nasional seperti yang tercantum dalam Pasal 6 Peraturan Lembaga
Pengembangan Jasa Konstruksi Nomor 11 Tahun 2006 tentang Registrasi Usaha
Jasa Pelaksana Konstruksi.
Dalam proses sertifikasi ini dilakukan klasifikasi dan kualifikasi keahlian
badan usaha yang akan menjadi perusahaan konstruksi tersebut yang kemudian
tertuang dalam bentuk Sertifikat Badan Usaha (SBU). Ketentuan mengenai SBU
diatur dalam Undang-undang Nomor18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan
peraturan perundang-undangan di bawahnya, antara lain Peraturan Pemerintah
Nomor 28 dan 29 Tahun 2000 beserta peraturan perubahannya. Menurut
undang-undang tersebut ada tiga hal yang minimal harus dimiliki oleh sebuah BUJK (
Badan Usaha Jasa Konstruksi ) untuk dapat mengikuti proses pengadaan jasa
konstruksi adalah :
1. Sertifikat Badan Usaha
2. Izin Usaha Jasa Konstruksi
Meskipun demikian mengingat UU tersebut diinisiasi oleh Kementerian
Pekerjaan Umum maka penjelasan lebih lanjut tentang Sertifikat Badan Usaha
sudah habis, maka tidak dapat dipergunakan lagi untuk mengikuti pengadaan
barang dan jasa Pemerintah, karena hal tersebut akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah mengenai jasa konstruksi. Namun mengacu kepada Surat Edaran
Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/SE/M/2010, Sertifikat Badan Usaha,
Sertifikat Keahlian Kerja dan Sertifikat Keterampilan Kerja yang belum
diperpanjang, tetap dapat digunakan sebagai pemenuhan persyaratan khusus untuk
pelaksanaan pelelangan pekerjaan konstruksi Pemerintah dan Pemerintah Daerah
untuk tahun anggaran 2011 yang dilaksanakan mulai akhir tahun 2010.
Menurut ketentuan Menteri Pekerjaan Umum yang baru yaitu Peraturan
Menteri Nomor 8 Tahun 2011, Sertifikat Badan Usaha yang diterbitkan sebelum
aturan ini diterbitkan hanya dapat digunakan sampai dengan 1 Agustus 2012,
karena harus disesuaikan dengan kualifikasi dan klasifikasi usaha baru yang diatur
dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum tersebut. Untuk pekerjaan konstruksi,
di samping persyaratan kekayaan bersih dan omset juga disyaratkan ketersediaan
tenaga ahli dan peralatan.
Setelah mendapatkan Sertifikat Badan Usaha (SBU) tersebut maka
perusahaan konstruksi tersebut harus juga mendapatkan Izin Usaha Jasa
Konstruksi (IUJK) yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota tempat
perusahaan konstruksi itu berdomisili, hal ini tercantum dalam Bab II Pasal 1
369/KPTS/M/2001 tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha Jasa Konstruksi
Nasional.
Untuk pekerjaan konstruksi ini sendiri apabila Pemerintah yang menjadi
pemberi tugas maka biasanya Pemerintah akan menunjuk ataupun mengadakan
tender pada perusahaan yang berada dalam satu kabupaten/kota yang sama dengan
lokasi tempat proyek akan dilakukan. Namun bilamana di kabupaten/kotamadya
tersebut tidak terdapat perusahaan setempat yang memenuhi persyaratan maka
pengertian setempat secara berurutan sebagai berikut:
1. Beberapa kabupaten/kotamadya yang terdekat dalam satu propinsi; atau
2. Beberapa kabupaten/kotyamadya lainnya dalam, satu propinsi; atau
3. Beberapa kabupaten/kotamadya propinsi terdekat; atau
4. Beberapa kabupaten/kotamadya dari propinsi lainnya.
Demikianlah bagaimana sebuah Badan Usaha Jasa Konstruksi ataupun
perusahaan konstruksi melakukan kegiatan usahanya mulai dari pendirian sampai